Suatu hari sampailah Siau-hi-ji di tepi sungai. Menghadapi gelombang sungai yang besar itu, tanpa terasa ia memperlambat langkahnya, sungguh ia berharap akan dapat melihat pula perahu kaum pengelana yang hidupnya terhina tapi berkepribadian luhur itu. Ia ingin melihat pula sepasang mata yang besar dan cemerlang itu.
Banyak juga perahu yang hilir mudik di tengah sungai, tetapi perahu kaum pengelana itu sudah tidak nampak lagi bayangannya. Ke mana perginya mereka? Apakah masih tetap mengembara dan terombang-ambing kian kemari?
Sampai lama sekali Siau-hi-ji berdiri termangu-mangu di tepi sungai.
Entah sudah selang beberapa lamanya ketika tiba-tiba terdengar kesiur angin di belakang, lalu seorang menegurnya, “Maafkan jika saudara harus menunggu terlalu lama.”
Meski merasa heran, tapi Siau-hi-ji tidak menoleh dan juga tidak bersuara.
Maka orang itu bertanya pula, “Kenapa saudara hanya sendirian? Di mana dua lagi yang lain?”
Siau-hi-ji tetap diam saja.
Dengan gusar orang itu berkata, “Sesuai kehendak kalian Cayhe sudah datang kemari, mengapa saudara malah tidak menggubris?”
Akhirnya Siau-hi-ji berpaling, katanya sambil tersenyum, “Mungkin kalian salah wesel, aku bukan orang yang hendak kalian cari.”
Ketika ia lihat jelas tiga orang yang berdiri di depannya, tertampak orang yang paling kiri tinggi besar, memakai baju merah, jelas dia inilah si “baju merah golok emas” Li Beng-sing.
Orang yang berada di tengah tampak gagah perkasa, dengan sendirinya dia adalah ayah Li Beng-sing yaitu “Kim-say” Singa Emas, Li Tik. Yang seorang lagi bermuka kelam dan berjenggot pendek, yakni “Ci-bin-say,” Singa Muka Ungu, Li Ting, yang dahulu bertemu dengan Siau-hi-ji dan Kang Giok-long waktu berlayar itu.
Terkejut juga Siau-hi-ji demi melihat ketiga orang ini. Wajahnya yang sedang tersenyum hampir saja berubah menjadi kaku. Untung malam itu cukup gelap sehingga ketiga orang itu tidak mengenalnya.
Cahaya bintang hanya berkelip-kelip, lagi pula Siau-hi-ji sudah lebih tinggi dari pada dulu, mukanya juga kotor, tubuhnya berlepotan minyak goreng, keadaannya lebih mirip seorang jembel.
Si Singa Emas Li Tik berkerut kening, katanya, “Kiranya seorang pengemis kecil.”
“Untuk apa kau berdiri di sini?” bentak Li Beng-sing.
Siau-hi-ji menunduk, jawabnya, “Hamba tiada punya tempat tinggal, terpaksa berada di mana pun.”
“Lekas enyah!” bentak Li Beng-sing. “Apa kau minta di....”
Belum habis ucapannya tiba-tiba si “Singa Ungu” Li Ting berteriak tertahan, “Itu dia sudah datang!”
Pada waktu itu dari permukaan sungai di seberang sana sedang meluncur datang sebuah sampan. Penumpangnya adalah tiga orang berseragam hitam.
Siau-hi-ji menyingkir jauh ke tengah semak alang-alang di tepi sungai, di situlah dia lantas berjongkok. Dia enggan pergi, sebetulnya dia terlalu iseng dan ingin melihat keramaian.
Belum lagi sampan itu menepi, serentak ketiga bayangan itu lantas melompat ke daratan, semuanya tangkas dan gesit, Ginkang mereka ternyata tidak lemah.
Orang yang paling depan memiliki perawakan tinggi tegap, orang kedua di belakangnya berbadan pendek tangkas, orang ketiga bertubuh ramping, tampaknya seperti seorang perempuan.
Ketiga orang itu berseragam hitam serta memakai kedok hitam pula sehingga mata pun hampir tertutup seluruhnya. Tangan masing-masing membawa bungkusan panjang, jelas yang terbungkus itu adalah senjata.
Anehnya kenapa senjata mereka pun harus dibungkus dengan kain hitam? Masa senjata mereka itu pun mengandung rahasia?
Sementara itu keluarga Li ayah beranak itu sudah menyongsong maju, akan tetapi setelah berhadapan dalam jarak beberapa meter mereka lantas berhenti dan saling tatap dengan penuh waspada.
Kim-say Li Tik lantas berteriak dengan bengis, “Apakah kalian ini yang mengaku sebagai ‘Jin-gi-sam-hiap’ (tiga pendekar budiman)?”
Si baju hitam yang tinggi besar menjawab dengan dingin, “Betul!”
“Beberapa tahun belakangan ini, beberapa kereta barang kawalan kami selalu dirampok, apakah semua ini pekerjaan kalian bertiga?”
Kembali si baju hitam menjawab, “Betul!”
Li Tik menjadi gusar, teriaknya, “Ada permusuhan apa antara Siang-say-piaukiok kami dengan kalian? Mengapa kalian sengaja merecoki kami?”
“Tidak besar permusuhan kita, tapi juga tidak kecil,” ucap si baju hitam.
“Hemm, setelah beberapa kali pekerjaan kalian berhasil dengan baik dan pihak kami tak dapat menemukan asal-usul kalian, seharusnya kalian dapat sembunyi dengan aman dan selamat, tapi mengapa sekarang kalian sengaja menyurati kami dan mengundang kami datang ke sini?”
“Setiap orang Kangouw sudah mengetahui bahwa Tio Coan-hay dan Le Hong sama-sama keracunan,” ucap si baju hitam dengan kalem. “Meski pun dua orang itu belum mampus, akan tetapi Liang-ho-piau-lian dan Sam-siang-piau-lian sudah banyak kehilangan pamor dan kepercayaan.”
Seketika air muka Li Tik berubah, tetapi Li Ting lantas menjengek, “Lantas semua itu ada hubungan apa dengan pihak kami?”
“Sudah tentu besar hubungannya,” ujar si baju hitam. Dia berbicara dengan kalem-kalem saja, tidak terburu-buru dan juga tidak alon-alon, tetapi nadanya seperti sengaja dibikin-bikin.
Li Tik menjadi tidak sabar, teriaknya, “Hubungan apa coba katakan?”
“Kalau Liang-ho dan Sam-siang kehilangan kepercayaan, bukankah kesempatan itu dapat digunakan Siang-say-piaukiok untuk menonjolkan diri, barang kawalan Toan Hap-pui itu dengan sendirinya akan jatuh di tangan kalian?” demikian seru si baju hitam.
Sampai di sini mau tak mau hati Siau-hi-ji jadi tergerak. Demikian pula keluarga Li ayah beranak itu pun terketuk pikirannya.
“Jika begitu, mengapa kau tidak menunggu kesempatan baik nanti untuk merampas lagi barang kawalan kami?” teriak Li Tik.
“Tapi bukan soal kecil barang kawalan Toan Hap-pui itu,” ujar si baju hitam dengan kalem. “Kukira pihak Siang-say-piaukiok sendiri juga tidak berani mengawalnya dengan tangan sendiri dan pasti akan minta bantuan orang luar pula untuk membelanya, sedangkan tenaga kami bertiga terasa pula tidak sanggup mengincarnya.”
“Hehe, kau ternyata cukup tahu diri!” jengek Ci-bin-say Li Ting.
“Makanya sekarang aku pun ingin membikin kalian juga tidak dapat mengawal barang Toan Hap-pui itu,” bentak si baju hitam dengan bengis. “Kalau Sam-siang dan Liang-ho-piau-lian lagi sial, maka kalian pun jangan harap akan mengeduk keuntungan.”
Habis berkata, sekali ia memberi tanda, serentak bungkusan yang dibawa mereka itu lalu terbuka, kain hitam terlempar ke atas tanah kemudian terlihatlah tiga batang senjata yang memancarkan cahaya kemilau. Senjata mereka tampaknya seperti gaetan, tapi ujungnya berbentuk bunga Bwe.
“He, Bwe-hoa-kau (gaetan bunga Bwe)?!” seru Li Tik tanpa sadar.
“Haha, kenal juga kau akan senjata ini,” jengek si baju hitam.
“Hmm, kalian ternyata berani memperlihatkan senjata ini, sungguh besar nyali kalian, apa kalian tidak takut musuhmu memenggal kepala kalian secara diam-diam?” ejek Li Ting.
“Tiada seorang pun yang akan tahu bahwa Bwe-hoa-kau telah muncul kembali di dunia Kangouw!” ucap si baju hitam.
“Paling tidak aku kan sudah tahu?” seru Li Ting dengan tertawa.
“Tapi kalian takkan mampu bicara lagi,” jengek si baju hitam.
Berbareng itu ketiga orang seragam hitam lantas menubruk maju. Si pendek tangkas itu mendahului menubruk ke arah Li Beng-sing. Gerak tubuh orang ini sangat cekatan, gaya serangannya juga ganas, tampaknya seperti menaruh dendam terhadap Li Beng-sing.
Ada pun si perempuan baju hitam justru menubruk ke arah Ci-bin-say Li Ting. Gerakannya cepat dan gesit, jurus serangan Bwe-hoa-kau di tangannya ternyata lebih cepat dan ganas dengan macam-macam perubahan.
Ilmu silat Li Ting tergolong lumayan dan dia pun sudah berpengalaman, tapi menghadapi serangan senjata yang aneh dan cepat itu, seketika dia menjadi kelabakan tercecar.
Di sebelah sana Li Tik juga sudah bergebrak dengan si baju hitam yang tegap.
Li Tik terkenal sebagai jago ilmu golok, golok emas yang dimainkannya keras lagi kuat, setiap serangannya selalu membawa sambaran angin yang dahsyat. Tapi si baju hitam yang tegap itu pun tidak kalah lihainya, bahkan keuletannya malah di atas Li Tik. Bwe-hoa-kau khusus digunakan mengunci senjata lawan, maka golok Li Tik menjadi macet dan sukar dikembangkan.
Pertempuran ini boleh dikatakan sangat dahsyat, tapi bagi pandangan Siau-hi-ji ternyata sangat cemplang, sama sekali tidak menarik, kecuali permainan Bwe-hoa-kau yang terkadang muncul sejurus dua serangan aneh dan baru, selebihnya hampir tiada harganya untuk ditonton.
Maklumlah dengan hasil renungan Siau-hi-ji sekarang, ilmu silat orang lain baginya hampir tidak ada artinya lagi, pada hakikatnya seperti seorang ahli lukis sedang menyaksikan anak kecil main corat-coret.
Hendaknya diketahui bahwa ilmu silat dalam kitab pusaka yang dipelajarinya itu meliputi intisari ilmu silat yang paling tinggi di dunia ini, dibandingkan ilmu silat Li Tik dan begundalnya itu bedanya sungguh dapat dikatakan seperti langit dan bumi.
Di antara Li Tik bertiga itu yang paling celaka adalah Li Beng-sing, baru belasan jurus goloknya sudah sukar dikembangkan, butiran keringat sudah mulai merembes di dahi dan ujung hidungnya. Sebaliknya si baju hitam yang pendek tangkas itu semakin bertempur semakin gagah perwira, mendadak ia mengelak sambil menerjang maju, sinar hijau berkelebat, tahu-tahu golok Li Beng-sing sudah terkunci oleh gaetannya.
Sungguh tidak kepalang kaget Li Beng-sing, semangat tempurnya juga runtuh seketika. Sebab dalam keadaan demikian bagian dadanya menjadi terbuka dan tidak terjaga, kalau pihak lawan melancarkan suatu pukulan, andaikan tidak mati juga setengah jiwanya akan amblas.
Tak tahunya si baju hitam hanya memberinya suatu tamparan saja sambil membentak tertahan, “Inilah bayar dulu utangmu!”
Kontan Li Beng-sing terhuyung-huyung oleh tamparan itu, waktu dia dapat berdiri tegak, tanpa terasa ia menegas, “Bayar utang apa maksudmu?”
“Anak murid Bwe-hoa-pang cukup jelas membedakan dendam dan budi, setiap utang-piutang harus dibayar lunas,” jengek si baju hitam.
“Tapi... tapi bilakah aku pernah....”
“Sebelum ajalmu tentu akan kuberitahukan padamu apa utangmu padaku!” bentak si baju hitam, Bwe-hoa-kau kembali bergerak, hanya sekejap cahaya hijau telah mengunci rapat pula sinar golok lawan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa panjang seseorang, sesosok bayangan tahu-tahu menyelinap ke tengah-tengah cahaya gaetan. Menyusul itu lantas terdengar “sarr... serr... serr...” tiga kali, ketiga batang Bwe-hoa-kau kawanan baju hitam mendadak mencelat semua ke udara, dua batang jatuh di tengah sungai.
Keruan ketiga orang berbaju hitam amat terkejut dan serentak melompat mundur. Mereka hanya merasa pergelangan tangan tergetar dan tahu-tahu senjata terlepas dari cekalan, cara bagaimana pihak lawan turun tangan sama sekali tak diketahui oleh mereka.
Waktu mereka mengawasi, entah sejak kapan di hadapan mereka sudah terlihat berdiri seorang pemuda bermuka putih. Pemuda yang tampaknya lemah tak tahan tiupan angin ini hanya dalam sekejap saja ternyata mampu membikin senjata mereka terlepas dari tangan, sungguh mimpi pun mereka tak berani membayangkan akan kejadian luar biasa ini.
Melihat pemuda muka putih ini Siau-hi-ji juga rada terkejut. Kang Giok-long, pemuda bermuka putih pucat dengan senyuman seram ini ternyata bukan lain dari pada Kang Giok-long.
Tapi mengapa ilmu silat Kang Giok-long bisa maju sepesat ini?
Pertanyaan ini dengan sendirinya dapat dijawab oleh Siau-hi-ji. Soalnya Kang Giok-long juga pernah menghafalkan isi kitab pusaka ilmu silat itu, selama dua tahun ini kalau ilmu silatnya tidak mengalami kemajuan pesat, maka percumalah dia menjadi manusia.
Li Tik bertiga tampak kegirangan melihat datangnya Kang Giok-long, sebaliknya kawanan baju hitam jadi terkejut.
“Huh, kiranya kalian sudah menyembunyikan bala bantuan,” bentak si baju hitam yang tinggi besar itu dengan gusar.
“Haha, bagaimana pendapatmu dengan bala bantuanku ini?” jengek Li Tik sambil tertawa.
Si baju hitam tinggi besar itu menggentak kaki dengan mendongkol, tampaknya ia hendak melangkah pergi, namun sekali menyelinap Kang Giok-long sudah menghadang di depan mereka lantas berkata dengan tertawa, “Eh, kalian jangan terburu-buru pergi, masih ada persoalan yang harus kumintakan penjelasan darimu.”
“Kau ingin tanya apa?” bentak si baju hitam tinggi besar.
“Nona ini pun memakai kedok, apakah disebabkan mukanya terlalu jelek atau terlalu cantik?” kata Giok-long dengan tertawa.
Si baju hitam pendek tangkas menjadi gusar, ia meraung murka terus menerjang maju hendak menyerang.
Ilmu silatnya sesungguhnya tidak lemah terbukti Li Beng-sing sama sekali tidak mampu melawannya, tapi kini berada di depan Kang Giok-long, ilmu silatnya ternyata tiada berguna sedikit pun. Belum lagi dia sempat menjotos, tahu-tahu pergelangan tangannya malah sudah terpegang oleh Kang Giok-long, hanya sedikit digentak, kontan tubuhnya lantas mencelat jauh ke sana dan hampir kecebur ke dalam sungai.
“Karena kalian tidak mau mengaku, terpaksa Cayhe sendiri yang memeriksanya,” ucap Giok-long dengan tertawa. Berbareng itu ia terus melompat maju, ia menyelinap lewat di samping si baju hitam yang tinggi besar itu dan tahu-tahu sudah berada di depan si nona.
Sekaligus kedua tangan si nona baju hitam menghantam, tapi entah cara bagaimana kedua tangannya malah kena ditangkap hanya oleh sebelah tangan Kang Giok-long. Cepat ia hendak menendang, tapi baru saja kaki terangkat, tahu-tahu dengkulnya terasa kaku kesemutan dan tak dapat bergerak lagi.
“Hehe, semoga wajah nona cantik molek, kalau tidak tentu Cayhe akan merasa kecewa,” kata Giok-long dengan tertawa.
“Lep... lepaskan!” teriak si nona baju hitam dengan suara parau.
Dengan sendirinya Giok-long tidak mau melepaskan pegangannya. Pada waktu sebelah tangannya bergerak maju, sebisanya si nona mendongakkan mukanya ke belakang, tetapi walau pun begitu akhirnya kain hitam yang menutupi mukanya itu toh tersingkap juga oleh Kang Giok-long.
Di bawah cahaya bintang yang remang-remang tertampaklah wajahnya dan kelihatan pula matanya yang besar itu.
Seketika Siau-hi-ji hampir menjerit.
Hay Ang-cu, nona baju hitam ini ternyata Hay Ang-cu adanya!
“Bagus, bagus! Memang benar seorang nona cantik,” ujar Giok-long dengan tertawa. “He, dia!” tanpa terasa Li Beng-sing berteriak.
“Kau kenal dia?” tanya Giok-long.
“Dia inilah si nona pemain akrobat yang mengakibatkan kematian Pek-toako itu....” seru Li Beng-sing dengan suara serak. “Rupanya si pendek itu adalah bocah yang dulu pernah kutempeleng satu kali. Pantas dia menuntut balas kepadaku dan bilang hendak menagih utang padaku.”
“Haha, bagus, bagus, anak murid Bwe-hoa-pang sampai-sampai menjadi pemain akrobat kelilingan,” seru Giok-long dengan tertawa. “Demi menghindari musuh kalian ternyata sudi melakukan pekerjaan yang rendah itu, untuk ini betapa pun aku sangat kagum.”
Segera si baju hitam tinggi besar itu pun menarik kedoknya, betul juga, dia memang Hay Si-tia adanya. Dengan menggereget dia berteriak, “Lepaskan tangannya!”
“Tidak sukar untuk melepaskan tangannya,” jawab Giok-long, “tapi aku ingin tanya lebih dulu padamu, siapakah orang yang tempo hari sekali pukul membinasakan Pek-kongcu itu? Saat ini dia berada di mana?”
“Kau ingin mencari dia?” teriak Hay Ang-cu dengan nyaring. “Huh, agaknya kau sedang mimpi!”
“O, mimpi...?” Giok-long tersenyum sambil mengencangkan genggamannya, kontan Hay Ang-cu meringis kesakitan sehingga air mata pun berlinang-linang.
Tapi sekuatnya ia bertahan, jeritnya dengan menggereget, “Orang macam kau ini kalau dibandingkan dia, huh, mungkin menjadi kacungnya saja tidak sesuai.” Bicara sampai kalimat terakhir, terdengar suaranya menjadi gemetar, jelas dia menahan rasa sakit, namun begitu mati pun dia tak mau tutup mulut.
Dengan murka Hay Si-tia meraung terus menghantam punggung Kang Giok-long dengan kepalan yang kuat.
Sama sekali Kang Giok-long tidak menoleh, tubuhnya tetap tegak seperti tidak bergerak, tetapi tahu-tahu tangan Hay Si-tia sudah terjepit di bawah ketiaknya sehingga tidak dapat berkutik lagi.
Tampaknya Hay Si-tia membetot-betot tangannya sehingga urat hijau tampak merongkol pada dahinya disertai butiran keringat, tangannya mungkin serasa terjepit oleh tanggam seakan-akan patah.
Dahulunya Hay Si-tia juga pernah malang melintang di dunia Kangouw, tapi sekarang menghadapi seorang anak muda begini ternyata tak bisa berkutik sama sekali, ia menjadi putus asa, ia menghela napas panjang dan berkata, “Sudahlah, aku....”
Belum lanjut ucapannya tiba-tiba terdengar seorang berseru dengan suara memilukan, “O, betapa sakit Sin-kin-hiatku. Kang Giok-long, ayolah bayar kembali jiwaku!”
Suaranya tajam seram seperti rintihan hantu. Menyusul mana sesosok bayangan lantas melayang tiba dari semak alang-alang tepi sungai.
Di tengah malam remang-remang itu tertampak rambut orang yang semrawut tak teratur, sekujur badan berlepotan minyak, keadaannya lebih mirip setan dari pada mirip manusia, tubuhnya kelihatan melayang mengambang tidak menempel tanah. Jerit suaranya ngeri memilukan sehingga membuat setiap orang yang melihatnya mustahil takkan berkeringat dingin ketakutan.
Tentu saja Kang Giok-long juga mengkirik, dengan suara bengis ia tanya, “Kau... kau siapa?”
“Bangsat berhati keji,” damprat Siau-hi-ji dengan terkekeh-kekeh. “Selamanya kita tiada permusuhan apa-apa, tapi di dapur restoran Su-hay-jun itu kau tega membinasakan aku, sekarang kau harus ganti nyawaku.”
Pegangan Kang Giok-long pada tangan Hay Ang-cu kini sudah dilepaskan, dia mulai mundur-mundur ke belakang, serunya dengan tergagap, “Kau... kau....”
Orang seperti Kang Giok-long sebetulnya tak mungkin percaya tentang setan iblis segala, tetapi kini mau tidak mau dia harus percaya, soalnya dia yakin dirinya memang pernah menutuk Hiat-to mematikan si koki dan jelas orang itu pasti tewas, padahal kejadian di dapur Su-hay-jun itu tidak dilihat oleh orang lain. Lalu siapa “orang” ini kalau bukan setan?
Begitulah gigi Kang Giok-long sampai gemertuk sehingga tak sanggup bicara lagi. Melihat jagonya ketakutan sedemikian rupa, tanpa kuasa Li Tik bertiga juga ikut mundur-mundur ke belakang.
“Hehehe, kau ingin lari?” jengek Siau-hi-ji dengan suara seram. “Hah, kau takkan mampu lari, tak mungkin, ayolah lekas serahkan jiwamu!”
Sambil menyeringai dia terus mendesak maju setindak demi setindak, jalannya sengaja dibuat goyang ke kanan dan doyong ke kiri seakan-akan roboh tertiup angin.
Sudah tentu munculnya Siau-hi-ji amat menarik perhatian Hay Ang-cu, ia memandangnya dengan terbelalak, sekonyong-konyong ia berseru, “He kau! Kiranya kau, Siau-ngay?”
Meski lahiriah Siau-hi-ji telah berubah, tetapi sepasang matanya, sorot mata yang sudah terukir di dalam lubuk hati Hay Ang-cu, dan kedipan mata yang takkan terlupakan selama hidupnya ini tentu saja segera dikenalinya.
Tapi begitu dia berteriak menegur, segera pula ia menyadari kesalahannya, namun sudah telanjur dan tak dapat diurungkan lagi.
Diam-diam Siau-hi-ji mengeluh urusan pasti akan runyam.
Benar saja, Kang Giok-long yang cerdik itu segera melihat bahwa di balik kejadian ini ada sesuatu yang tidak beres. Mendadak ia bertindak, cepat sekali ia menubruk maju, dengan enteng dia melancarkan tujuh kali pukulan secara berantai.
Melihat perubahan aneh itu serta menyaksikan pukulan Kang Giok-long yang lihai itu, Hay Si-tia dan kedua anaknya menjadi kaget, bahkan diam-diam Hay Ang-cu berkhawatir bagi si tolol yang dirindukannya.
Akan tetapi ternyata Siau-hi-ji tidak merasa gentar, ia mendengus, “Hmm, masih juga kau ingin membunuhku lagi.”
Dengan tenang Siau-hi-ji berdiri di tempat, tubuhnya seperti tidak bergoyang, pada hakikatnya dia tidak menghindar, tapi beberapa kali pukulan Kang Giok-long itu ternyata tidak mengenai sasarannya, bahkan ujung baju saja tidak menyenggol.
Tentu saja semua orang melongo heran, Kang Giok-long sendiri juga cemas dan gentar, mendadak ia meraung, kembali ia melancarkan pukulan tujuh kali, serangan semakin cepat dan tambah ganas.
Namun Siau-hi-ji tetap tidak bergerak sama sekali dan pukulan Kang Giok-long tetap tidak mampu menyentuhnya.
“Betapa pun kau serang juga takkan mampu membunuhku lagi, apakah sekarang kau masih tidak percaya?” jengek Siau-hi-ji.
Tubuh Kang Giok-long tampak gemetar, jidatnya sudah dipenuhi dengan butiran keringat, para penonton yang menyaksikan kejadian luar biasa ini pun ikut terkesima.
Maklumlah, mereka adalah jago silat pilihan semua, mereka tahu ilmu pukulan Kang Giok-long yang hebat dan lihai itu, bahwa seorang dapat berdiri tanpa bergerak dan empat belas pukulan itu dapat dihindarinya, betapa kejadian ini sukar dibayangkan.
Akan tetapi “orang” ini justru sanggup berbuat demikian, belasan kali serangan Kang Giok-long itu benar-benar mengenai tempat kosong, ini disaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, mana bisa tidak percaya? Mana bisa tidak membuat mereka keder?
Dengan sendirinya mereka tidak tahu bahwa ilmu pukulan Kang Giok-long itu berasal dari satu sumber dengan kepandaian Siau-hi-ji, hanya saja pengetahuan Siau-hi-ji jauh lebih mendalam dari pada Kang Giok-long.
Kitab pusaka ilmu silat itu memang telah dibaca bersama oleh kedua orang, namun kecerdasan dan daya ingat Siau-hi-ji jauh lebih baik dari pada Kang Giok-long, apalagi selama dua tahun ini Kang Giok-long sudah terkenal sebagai pendekar muda, putra Kang-lam-tayhiap Kang Piat-ho yang termasyhur itu, dengan sendirinya dia jarang berlatih, sebab itulah setiap pukulan Kang Giok-long segera diketahui oleh Siau-hi-ji sebelum serangan tiba. Asalkan Siau-hi-ji memperhitungkan dengan tepat arahnya, maka dengan sedikit mengegos saja pukulan Kang Giok-long lantas luput.
Mata Hay Ang-cu terbelalak lebar dengan air mata berlinang-linang, namun bukan lagi air mata kesedihan melainkan air mata kejut dan girang, air mata gembira.
Dilihatnya Siau-hi-ji mulai mendesak maju setindak demi setindak, Kang Giok-long juga mundur setindak demi setindak, kaki tangan seakan-akan sudah lemas seluruhnya, sedikit pun tiada keberanian untuk balas menyerang.
Dengan sendirinya Li Tik bertiga menyingkir mundur terlebih jauh, mundur punya mundur dan akhirnya lantas lari.
Mendadak Kang Giok-long meloncat setingginya ke atas, dia berjumpalitan sekali di udara, habis itu ia pun lari terlebih cepat dari pada Li Tik bertiga.
Siau-hi-ji tidak mengejarnya, ia tertawa sambil memandangi bayangan mereka, gumamnya, “Aku tidak ingin membunuh..., sungguh aku tidak ingin membunuhmu.”
Dalam pada itu Hay Ang-cu telah memburu maju, jeritnya dengan suara gemetar, “Siau-ngay, kutahu kita pasti akan bertemu lagi, kutahu....”
Siau-hi-ji tergelak-gelak, katanya, “Siau-ngay siapa...? aku ini setan... setan...” mendadak ia melayang mundur jauh ke belakang, waktu ia berjumpalitan pula di udara, “plung,” tahu-tahu ia jatuh ke tengah sungai.
Hay Ang-cu memburu sampai tepi sungai, ia menangis sedih dan menjerit, “Siau-ngay... Siau-ngay... apa bila engkau tidak sudi bertemu lagi denganku, untuk apa pula datang ke sini? Jika kau berharap menemuiku, mengapa kau pergi lagi setelah bertemu? Kenapa... kenapa...?”
Hay Si-tia menghela napas panjang, katanya, “Kenapa? Memangnya siapa yang dapat memberi penjelasan berbagai persoalan orang hidup di dunia ini? Anak Ang, sudah sejak mula kukatakan padamu agar sebaiknya kau lupakan dia, kalau tidak kau sendiri pasti akan menderita selamanya....”
********************
Malam sudah larut, sedapatnya Siau-hi-ji mengendurkan seluruh urat anggota badannya dan membiarkan dirinya terapung di permukaan air. Air sungai yang dingin menyerupai sebuah ranjang baginya. Bintang berkelip-kelip bertaburan di langit, ia merasa sangat nyaman.
Betapa pun ia sudah melihat orang yang ingin dilihatnya, walau pun perubahan mereka membuatnya terkejut dan heran, meski dia hanya melihatnya barang sejenak saja, tapi ini sudah cukup baginya. Ia merasa kalau melihatnya lebih lama mungkin malah akan berubah menjadi bosan.
Persoalan yang membuatnya curiga selama beberapa hari kini pun dapat dipecahkan olehnya. Pemuda baju ungu bermuka pucat itu memang betul bersekongkol dengan Kang Giok-long, sedangkan Kang Giok-long jelas adalah peran utama di belakang layar Siang-say-piaukiok.
Dengan demikian, maka persoalan Tio Coan-hay dan Le Hong yang keracunan itu menjadi tidak perlu diherankan lagi. Arak yang mereka minum itu sudah pasti dituang oleh pemuda muka pucat itu.
Begitulah Siau-hi-ji merenungkan semua kejadian itu dan ketika mendadak terasa ada beberapa batang gala bambu sama meraih tubuhnya.
Semula ia kaget, tapi segera teringat olehnya, “Mungkin mereka mengira aku ini orang yang mati tenggelam, maka berusaha hendak menolongku.” Diam-diam ia merasa geli, maka dia sengaja memejamkan mata sekalian.
Terasa beberapa orang menyeretnya ke atas perahu, seorang meraba dadanya, lalu berseru, “Hah, panjang juga nyawa bocah ini, untung dia ketemu kita, belum sampai mati tenggelam.”
Lalu ada orang mencekoki dia dengan semangkuk kuah hangat, ada pula yang mengurut anggota badannya.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring berkata, “Orang macam apa yang tertolong itu? Coba kulihat.”
Segera Siau-hi-ji merasa tubuhnya digotong orang, tapi ia pun malas membuka mata, tapi terasa cahaya lampu yang menyilaukan, agaknya dia telah diantar masuk ke dalam kabin kapal.
Suara nyaring lantas berkata pula, “Orang itu sudah mati ataukah masih hidup?!”
“Hidup!” mendadak Siau-hi-ji membuka mata sambil berteriak tertawa.
Begitu dia pentang mata segera dilihatnya seorang lelaki tinggi besar dengan dada baju setengah tersingkap, kopiahnya setengah miring, sebelah kaki terangkat tinggi di atas kursi sebelahnya, tangan memegang sebuah Huncwe (pipa tembakau) yang panjang dan besar.
Dengan pipa cangklong itu dia tuding Siau-hi-ji, kemudian berseru pula, “Jika orang hidup, mengapa kau pura-pura mati?”
Belum lagi Siau-hi-ji menjawab, tiba-tiba diketahuinya dada “lelaki” ini terjumbul tinggi, pinggangnya ramping, meski alis tebal dan mata besar, tapi wajahnya tidaklah jelek.
“Lelaki” ini ternyata seorang perempuan, bahkan kalau perawakannya diperkecil sedikit, malahan dia tergolong perempuan cantik. Cuma sekarang dia terhitung perempuan gede, kuda teji, kalau boleh diberi poyokan, atau kalau menurut ukuran sepatu jaman kini, sedikitnya dia lebih besar dua nomor dari pada ukuran perempuan normal.
Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas menjawab, “Bilamana kau ini perempuan, mengapa pula kau berdandan sebagai lelaki?”
Seketika nona besar itu mendelik, dampratnya, “Kau tahu tidak siapa diriku?”
“Peduli kau ini lelaki atau perempuan, yang jelas kau ini manusia,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Kukira kau sukar mendapatkan jodoh sekali pun kau sudah banting harga, kalau kau bersikap pula segalak ini, wah, siapa lagi yang berani melamarmu?”
Mulut Siau-hi-ji memang usil dan tajam, selama dua tahun terakhir ini sedapatnya dia mengekang diri, tapi setelah muncul kembali toh penyakitnya ini sukar diperbaiki. Apa mau dikatakan lagi kalau memang dasar wataknya begitu.
Si nona gede itu menjadi gusar, bentaknya sambil gebrak meja, “Kau berani bicara demikian padaku?”
Beberapa orang yang menggotong masuk Siau-hi-ji tadi menjadi ketakutan juga melihat sang nona marah-marah, serentak mereka berjaga-jaga di belakang Siau-hi-ji.
Tapi Siau-hi-ji berlagak tidak tahu, ia masih tertawa dan berkata, “Mengapa tidak berani? Asal kau ini manusia, betapa pun aku tidak....”
Belum habis ucapannya, beberapa orang itu menyela, “Inilah juragan putri kami, putri kesayangan Toan-lothaya, orang Kangouw menyebutnya ‘Li-beng-siang’(Beng-siang wanita), tentu kau pun pernah mendengar namanya, maka cara bicaramu hendaklah hati-hati dan sopan sedikit.”
“O, kiranya kau ini putri Toan Hap-pui,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Bukankah ayahmu hendak mengirim suatu partai keuangan ke Kwan-gwa?”
Nona gede yang berjuluk Li-beng-siang (Beng-siang adalah seorang dermawan di jaman Ciankok) itu berkerut kening, tanyanya, “Dari mana kau tahu?”
Siau-hi-ji berkerut-kerut hidung, lalu bertanya pula, “Muatan bahan obat-obatan ini apakah kau angkut dari Kwan-gwa?”
Mata Li-beng-siang terbelalak lebih lebar, serunya, “Dari mana kau tahu kapal ini memuat bahan-bahan obat-obatan?”