Lalu dia tunjuk Siau-hi-ji dan menyambung pula, “Apalagi maksudku membunuh orang paling tidak kan ada tujuan tertentu, yakni demi membela kau. Seorang perempuan demi membela orang yang dicintainya, apa pun yang diperbuatnya pasti dapat dipertanggung jawabkan dan tidak memalukan. Sebaliknya dengan kalian? Apa maksud kalian dengan pertarungan maut kalian nanti? Segera kalian akan mengadu jiwa, dan apa bila kau tidak membunuhnya, kaulah yang akan terbunuh, lalu semua ini untuk apa dan demi siapa? Apa pula sebabnya kalian berbuat demikian? Huh, kalian ini tidak lain dari pada seperti anjing menggigit anjing, bahkan lebih tepat dikatakan dua ekor anjing gila.”
Melengak juga Siau-hi-ji mendengar dampratan So Ing yang penuh emosi itu, satu kata saja ia tidak sanggup menjawabnya.
Bahwa Siau-hi-ji sampai membisu didamprat orang, selama hidup benar-benar baru terjadi sekarang.
Hoa Bu-koat juga berdiri mematung di situ, dahinya penuh keringat dingin dan bercucuran seperti hujan.
Dengan suara parau So Ing mencerca pula, “Ya, aku ini memang perempuan yang bawel, perempuan judes, perempuan berhati keji. Sedangkan engkau adalah seorang Enghiong seorang ksatria sejati, selanjutnya aku pun tidak berani naksir lagi padamu, siapa di antara kalian yang bakal mati atau hidup bukan lagi urusanku dan juga tiada sangkut-pautnya denganku...”
Suaranya semakin tersendat dan tambah tergegap, akhirnya meledaklah tangisnya, segera ia lari pergi sambil mendekap mukanya.
Ia tidak menoleh lagi. Hati seorang perempuan kalau sudah remuk redam, untuk selamanya dia takkan berpaling lagi.
Daun waru masih bertebaran tertiup angin dan menimbulkan suara gemersik, jangkrik di pojok halaman sana masih terus mengerik, sarang labah-labah di langit serambi sana telah bobol tertiup angin.
Namun benang sarang labah-labah yang putus itu tidak membuat jera labah-labah itu, dengan cepat jaringannya sudah tersambung dan membentang lagi. Selamanya labah-labah tidak kenal patah semangat, tapi kalau benang cinta juga putus, apakah dengan cepat dapat tersambung kembali?
Apakah manusia juga memiliki semangat yang tidak menyerah dan pantang putus asa seperti labah-labah?
Sampai lama sekali Siau-hi-ji saling pandang dengan Hoa Bu-koat, keduanya sama-sama tidak dapat bersuara.
Selang sekian lama barulah Bu-koat menghela napas, lalu berkata, “Mengapa kau bersikap begitu padanya?”
Siau-hi-ji tidak lantas menjawab, ia termenung hingga lama, gumamnya kemudian, “Tampaknya kau dan aku memang banyak perbedaannya.”
“Antara manusia dan manusia memang tiada yang persis sama,” kata Bu-koat.
“Demi diriku dia mencarimu untuk mengadu jiwa, tapi aku malah mendampratnya habis-habisan, dia hendak membunuh engkau, tapi engkau malah membelanya, kukira di sinilah letak perbedaan paling besar di antara kita,” setelah tersenyum getir lalu Siau-hi-ji menyambung lagi, “Katanya engkau ini adalah Kuncu, sebaliknya aku senantiasa adalah....”
“Mengapa kau remehkan dirimu sendiri?” potong Bu-koat. “Padahal engkaulah seorang Kuncu benar-benar, kalau tidak, mengapa kau lukai perasaannya hanya karena membela diriku?”
Ia merandek sejenak, lalu berkata pula dengan menghela napas, “Selain kau, rasanya tak terpikir olehku ada orang yang mau membela lawan dengan melukai hati pacarnya sendiri.”
Mendadak Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Tindakanku ini bukan demi membelamu, tapi demi diriku sendiri.”
“Demi dirimu sendiri?” Bu-koat menegas.
“Ya, demi diriku sendiri...” Siau-hi-ji mengulang ucapannya itu dengan perlahan, sorot matanya menampilkan cahaya yang sukar diraba, ini membuat anak muda itu kelihatan seperti telah berubah menjadi seorang yang sangat aneh.
Setiap kali Bu-koat melihat mata Siau-hi-ji memancarkan cahaya demikian, segera diketahuinya ada orang akan segera tertimpa kesialan, akan dikerjai oleh anak muda itu. Lantas siapakah sasarannya sekali ini?
Dengan perlahan Siau-hi-ji menyambung pula, “Sebab kalau sekarang engkau mati dibunuh orang, maka tidak saja aku akan menyesal selamanya, bahkan mungkin aku akan menderita selama hidup.”
“O, sebab apa?” tanya Bu-koat terharu.
“Sebab...”
Belum lanjut ucapan Siau-hi-ji, mendadak seorang menukasnya, “Sebab dia juga ingin membunuhmu dengan tangannya sendiri!”
Jelas itulah suara Kiau-goat Kiongcu, suaranya tetap ketus, bahkan jauh lebih dingin dari pada dulu.
Air mukanya kini juga sudah berubah, meski masih tetap pucat dan dingin seperti dulu, tapi kini wajahnya telah bertambah semacam cahaya halus gemerlap, jika wajahnya dahulu dapat diibaratkan es, maka sekarang adalah giok atau kemala.
Siau-hi-ji menghela napas panjang sambil memandang Kiau-goat Kiongcu, ucapnya, “Baru dua-tiga hari tidak bertemu, tampaknya engkau banyak bertambah muda. Agaknya setiap perempuan di dunia ini harus berlatih Beng-giok-kang, agar semuanya awet muda dan mahasakti seperti engkau.”
Kiau-goat Kiongcu hanya memandang dengan melotot tanpa menanggapi.
Kembali Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Sejak kuselamatkan kalian dari liang tikus sana, kenapa engkau tidak menggubris diriku lagi? Ai, terkadang aku jadi menyesal, akan lebih baik kalau kita tetap terkurung selamanya di liang tikus itu, di sana engkau akan lebih suka menuruti perkataanku, sikapmu juga lebih sungkan padaku.”
Air muka Kiau-goat Kiongcu tampak berubah lagi, dengusnya kemudian, “Sudah habis belum ucapanmu?”
“Sudah habis,” jawab Siau-hi-ji tertawa, “Cuma perlu kuingatkan padamu, jika tidak ada diriku, sekali pun engkau berubah lebih muda lagi juga tiada gunanya, sebab dalam waktu beberapa hari juga engkau pasti akan mati terkurung di liang tikus itu.”
********************
Dipandang dari puncak bukit, gumpalan awan tampak mengambang mengelilingi angkasa, sungai panjang (Tiangkang) yang lekuk-lekuk menjulur panjang laksana seutas tali raksasa.
Yan Lam-thian sendiri berdiri di puncak bukit yang paling tinggi itu, tampaknya dia sangat kesepian.
Padahal di atas gunung itu tidak cuma dia saja, masih banyak orang yang berada di situ, namun setiap orang seakan-akan berjarak sangat jauh dengan dia.
Angin meniup mengibarkan ujung jubahnya, gumpalan awan melayang lewat di sekitarnya.
Tiba-tiba Buyung San menghela napas panjang, katanya dengan terharu, “Yang ditunggu tidak datang, sahabat lama juga tidak tampak... Meski Yan-tayhiap gagah perkasa tiada bandingannya, tapi selama hidupnya ini pernahkah menikmati sesuatu kegembiraan apa?”
“Tinggi pohon besar badainya, lebih baik beta hidup bersahaja...” Gumam Buyung Siang seperti berpantun.
“Ya tampaknya seorang memang lebih baik hidup biasa saja,” kata Buyung San.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar orang berseru, “Itu dia, sudah datang!”
“Siapa yang datang?” tanya Buyung Siang sambil berpaling ke sana.
Maka terlihatlah bayangan Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat muncul dari balik gumpalan awan yang mengelilingi mereka.
Angin meniup semakin kencang, cuaca mulai guram.....
********************
Sementara itu So Ing masih terus melangkah ke depan dengan pikiran bimbang tanpa arah tujuan. Entah sudah berapa jauh ia berjalan dan entah di mana dia berada.
Kalau bisa, dia berharap mendadak guntur akan berbunyi dan sekaligus menghancurkan tubuhnya berkeping-keping lalu berhamburan tertiup angin, tersebar ke segenap pelosok jagat raya ini.
Ia pun geregetan kalau saja Siau-hi-ji mendadak memburu tiba, lalu bertekuk-lutut di depannya serta meminta maaf, mohon ampun padanya, bahkan bersumpah takkan meninggalkan dia untuk selamanya.
Akan tetapi semua itu cuma angan-angan belaka, Siau-hi-ji tidak menyusul tiba, guntur juga tidak menggelegar.....
********************
Di pihak lain, Thi Sim-lan juga sedang dirundung penderitaan batin.
Dari tempat berdirinya ia dapat melihat Siau-hi-ji dan juga Hoa Bu-koat. Dilihatnya sorot mata Bu-koat yang menderita itu, maka hati sendiri pun serasa hancur luluh.
Sebaliknya Siau-hi-ji masih tetap tersenyum simpul, seperti tidak berkhawatir sama sekali.
Sungguh aneh, apakah sudah diperhitungkannya bahwa dia pasti tidak akan kalah? Apakah dia yakin Hoa Bu-koat tidak akan membunuhnya? Atau dia sendiri sudah mempunyai sesuatu pegangan yang mampu mengalahkan Hoa Bu-koat?
Thi Sim-lan menggigit bibir, sedapatnya menahan perasaannya. Bibir sampai berdarah, darah terasa asin, tapi hatinya terasa pahit.
Tapi siapa yang tahu akan kepahitgetiran hatinya?
Si singa Gila Thi Cian masih terus muring-muring, berulang-ulang ia mengentak kaki, dengan melotot ia menggerutu, “Hoa Bu-koat si bocah itu benar-benar keterlaluan, selaku bapak mertua aku ini tidak menjadi soal, tapi paling tidak dia kan mesti kemari sejenak, bicaralah sebentar dengan anak Lan.”
“Eh, kenapa kau jadi uring-uringan sendiri?” ujar si nenek Siau. “Ketahuilah, setelah pertarungan ini, selekasnya nama bakal menantumu akan termasyhur ke seluruh dunia, mendapatkan menantu begitu baik, masa kau masih kurang puas?”
“Saat ini, sebelum namanya terkenal saja sudah menyepelekan diriku sebagai mertuanya, kalau sudah termasyhur apalagi?” ujar Thi Cian.
“Ini pun tidak dapat menyalahkan dia,” kata si nenek Siau pula. “Orang muda tentu berkulit muka lebih halus, kan malu dia disuruh menyembah pada sang mertua di depan umum begini. Apalagi saingan asmaranya juga sedang mengawasi dengan melotot di sebelah sana.”
Gemetar sekujur badan Thi Sim-lan mendengar percakapan kedua orang tua ini. Kalau boleh, sungguh ia ingin tinggal pergi sekarang juga ke tempat jauh.
Akan tetapi sekarang ia belum dapat tinggal pergi, ia masih ingin mengucapkan sesuatu...
Angin tiba-tiba mengembus, suasana terasa mencekam, alam ini seakan-akan penuh diliputi hawa pembunuhan.
Siau-hi-ji mengkeretkan kuduknya dan berkata, “Kencang amat tiupan angin ini, rasanya menjadi dingin, mestinya kupakai baju rangkap.”
Yan Lam-thian mengernyitkan dahi, ucapnya dengan suara kereng, “Apakah kau merasa tidak tahan?”
“Jangan khawatir Paman, masa tubuhku selemah itu?” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Jika Lwekang seorang sudah mencapai tingkatan yang cukup, meski tidak mutlak dapat menahan hawa dingin, paling sedikit pasti tidak akan takut dingin seperti orang biasa,” kata Yan Lam-thian dengan perlahan dan mantap.
Siau-hi-ji mengiakan.
Lalu Yan Lam-thian menyambung pula, “Kungfu yang kulatih adalah intisari peyakinan beberapa Cianpwe dunia persilatan, boleh dikatakan setiap jurus adalah hasil pengamatan yang sempurna. Apalagi pondasimu sudah terpupuk baik oleh paman Ban sejak kau masih kecil sehingga Kungfumu tidak menjurus ke arah sesat. Karena adanya semua persyaratan ini, makanya aku tidak merasa khawatir mempertandingkan kau dengan Hoa Bu-koat.”
Kembali Siau-hi-ji mengiakan.
“Tapi sampai di mana tingkat latihanmu, sampai betapa kuat keuletanmu, inilah tidak kuketahui,” kata Yan Lam-thian pula. “Tapi kau sangat pintar dan cerdik, nasibmu juga selalu mujur. Satu-satunya yang masih kukhawatirkan adalah sifatmu yang kurang mantap, pikiranmu terlalu gopoh sehingga Kungfumu belum terlatih sempurna.”
Siau-hi-ji menunduk dan tertawa, katanya, “Dalam urusan lain memang sering kukerjakan dengan acuh tak acuh, tapi dalam hal berlatih Kungfu telah kulakukan dengan sepenuh tenaga dan mencurahkan segenap perhatian.”
“Baik sekali jika memang begitu,” kata Yan Lam-thian sambil manggut-manggut. Tiba-tiba ia bertanya pula, “Jika kau sudah pernah bergebrak dengan Hoa Bu-koat, apakah sudah kau selami pula sampai di mana ilmu silatnya?”
Siau-hi-ji berpikir sejenak, jawabnya kemudian, “Bahwa Ih-hoa-kiongcu telah mendapatkan nama besar dan sudah lama termasyhur, dengan sendirinya ilmu silat mereka mempunyai ciri khasnya sendiri. Lebih-lebih Kungfu mereka yang disebut Ih-hoa-ciap-giok itu, sungguh membuat kepala pusing.”
Dia tertawa, lalu menyambung pula, “Untunglah, sedikit banyak Kungfu andalan mereka sudah dapat kuraba.”
Dengan sungguh-sungguh Yan Lam-thian berkata, “Ih-hoa-ciap-giok hanya satu di antara sekian macam Kungfu Ih-hoa-kiongcu yang lihai, betapa luas dan ruwet perubahan ilmu silat Ih-hoa-kiongcu memang tidak mudah diselami. Apalagi, lahiriah Hoa Bu-koat kelihatan tidak secerdik dirimu, tapi sebenarnya dia pasti tidak bodoh. Ilmu silatmu boleh dikatakan luas dan campur-campur, sebaliknya ilmu silat Hoa Bu-koat lebih matang dan lebih dalam. Jika bergebrak dengan dia jangan sekali-kali menghadapi dia dengan keras melawan keras, paling baik berdayalah untuk menguras tenaganya, bila kekuatannya sudah mulai berkurang, itulah saatnya kau lancarkan serangan balasan.”
“Ya, hal ini pun sudah kuketahui,” kata Siau-hi-ji, “Pondasinya memang terpupuk lebih baik dari padaku, pertarungan nanti rasanya tidak banyak harapan untuk menang bagiku, tapi untuk ini aku telah menarik suatu hal yang sangat menguntungkan.”
“Dalam hal ilmu silat sama sekali tiada soal menarik keuntungan segala,” ucap Yan Lam-thian dengan nada bengis. “Jika kau ingin menarik keuntungan dari lawan, ini berarti kau sudah kalah lebih dulu.”
Dengan khidmat Siau-hi-ji menjawab, “Ya, cuma... cuma betapa cetek atau dalam ilmu silatnya sudah seluruhnya kuketahui, sedangkan inti ilmu silatku sama sekali tak diketahui olehnya, sebab selama ini tidak pernah kupamerkan ilmu silatku yang sejati di depan umum.”
Sorot mata Yan Lam-thian menampilkan rasa terhibur dan bersyukur, ucapnya sambil manggut-manggut, “Bagus, bagus sekali. Tahu kemampuan sendiri dan kenal kekuatan pihak lawan, cara begini barulah dapat menang dalam setiap pertempuran.”
Mendadak Siau-hi-ji tertawa, tanyanya, “Paman Yan, aku pun ingin tanya sesuatu padamu.”
“Baik, katakanlah,” jawab Yan Lam-thian.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapnya kemudian dengan tersenyum, “Apa bila paman Yan bergebrak dengan Kiau-goat Kiongcu, kira-kira berapa bagian kemenangan berada pada paman Yan, berapa persen menurut keyakinan paman.”
Yan Lam-thian memandang jauh pada gumpalan awan yang menyerupai sekuntum bunga raksasa yang mengambang di udara, ia termenung agak lama, tiba-tiba ujung mulutnya yang menunjukkan kekerasan hati dan kebulatan tekadnya itu menampilkan secercah senyuman yang jarang terlihat.
Ia tidak menjawab pertanyaan Siau-hi-ji itu, namun Siau-hi-ji juga tidak memerlukan jawabnya lagi. Tanpa terasa tersimpul juga senyuman berarti pada wajah anak muda itu.
Ban Jun-liu yang hanya mendengarkan saja di samping tadi, tiba-tiba berkata, “Waktu sudah hampir tiba, apakah persiapanmu sudah cukup?”
Siau-hi-ji mengangguk, tiba-tiba ia pun berkata, “Aku pun masih ada sesuatu hal yang ingin kutanyakan kepada paman Ban.”
Ban Jun-liu tertawa, katanya, “Belum pasti dapat kujawab semua pertanyaanmu, sebab apa yang kuketahui rasanya tidak lebih banyak dari padamu.”
“Tapi urusan ini paman Ban pasti tahu,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
Segera ia mengeluarkan sebuah cawan arak dengan sangat hati-hati dan diangsurkan kepada Ban Jun-liu, katanya, “Di dalam cawan ini masih ada setetes arak, kucuriga arak ini beracun, bahkan semacam racun yang tak berwarna dan tak berbau. Coba paman Ban memeriksanya arak ini sesungguhnya beracun atau tidak?”
Ban Jun-liu terima cawan arak itu, dengan jari kecilnya dia celup setitik air arak, lalu diciumnya beberapa kali. Kemudian dijilatnya perlahan dengan lidah sejenak, kemudian baru dia berkata, “Arak ini....”
“Nanti dulu, paman,” mendadak Siau-hi-ji memotong ucapan Ban Jun-liu. “Apakah di dalam arak ini mengandung racun atau tidak, untuk sementara ini paman Ban jangan memberitahukan padaku.”
“Kenapa begitu?” tanya Ban Jun-liu.
“Sebab kalau di dalam arak memang betul beracun, maka aku akan sangat marah,” tutur Siau-hi-ji dengan menghela napas gegetun. “Tapi jika di dalam arak tiada mengandung racun, maka aku akan merasa berduka pula. Sebab itulah jangan paman Ban katakan sekarang, nanti setelah pertempuran ini selesai barulah paman Ban beritahukan padaku, jika sekarang paman Ban memberi keterangan padaku, bisa jadi perhatianku akan terpencar.”
Ban Jun-liu menjadi heran, ia tidak tahu apa maksud anak muda ini. Tapi ia pun menurut, dengan tertawa ia berkata, “Baiklah, dasar kau ini memang anak binal, setiap tindak tandukmu memang sukar diraba orang lain.”
Siau-hi-ji tersenyum lega.
Tapi dalam hal ini agaknya Siau-hi-ji melupakan sesuatu.
Coba bayangkan, bagaimana jika Siau-hi-ji kalah dalam pertarungan maut nanti? Jika dia mati terbunuh, bukankah selama-lamanya dia takkan mengetahui keterangan Ban Jun-liu itu…..?
********************
Para nona keluarga Buyung dan suami mereka dengan sendirinya dapat melihat keadaan di pihak Siau-hi-ji dan suasana di pihak Hoa Bu-koat sana. Mereka menjadi agak heran. Karena kedua pihak itu sangat berbeda.
“Kalian sudah lihat bukan?” demikian ucap Buyung Siang. “Siau-hi-ji dan Yan-tayhiap bercakap-cakap tidak habis-habisnya. Sebaliknya Hoa Bu-koat dan Ih-hoa-kiongcu hanya berdiri melenggong saja di sana.”
“Betul, tampaknya Ih-hoa-kiongcu sama sekali tidak memusingkan kalah atau menang Hoa Bu-koat dalam pertempuran ini,” kata Buyung San. “Aku pun heran, apakah tiada suatu kontak perasaan antara mereka guru dan murid?”
“Bisa jadi lantaran kedua Ih-hoa-kiongcu itu merasa yakin Hoa Bu-koat pasti akan menang dalam pertandingan nanti,” kata Lamkiong Liu dengan menghela napas.
Buyung San mencibir, ucapnya, “Kukira belum tentu. Meski Hoa- Bu-koat memang cerdas dan tinggi ilmu silatnya, tapi Siau-hi-ji juga bukan lawan yang empuk. Jika bicara tentang kecerdikan dan reaksi menurut keadaan, kukira tiada seorang pun dapat menandingi dia.”
“Betul,” tukas Buyung Siang. “Dalam hal keuletan memang harus diakui Hoa Bu-koat lebih kuat, tapi pertarungan antara dua jago, melulu kekuatan saja tidak banyak gunanya, yang utama adalah bertempur menurut gelagat, bergerak sesuai keadaan, mengatasi musuh pada kesempatan pertama.”
“Setahuku,” Cin Kiam ikut bicara, “pengetahuan ilmu silat Siau-hi-ji sangat luas, apa yang dipelajarinya terdiri dari berbagai aliran, pertempuran ini kupercaya 60% akan dimenangkan oleh dia.”
“Kukira lebih dari itu,” tukas Buyung San.
Agaknya tuan-tuan dan nyonya-nyonya keluarga Buyung itu tidak bersimpati kepada Hoa Bu-koat, sebaliknya sepenuhnya mereka condong pada pihak Siau-hi-ji dan mengharapkan anak muda ini yang menang.
Tapi sekarang menjadi sangat berbeda dengan rombongan Thi Cian sana.
Si nenek Siau sedang berkata kepada Thi Cian, “Eh, coba katakan, menurut penilaianmu, pertarungan bakal menantumu ini berapa persen kira-kira bisa menang?”
“Seratus persen! ” jawab Thi Cian tanpa pikir.
Si nenek Siau tertawa geli, katanya, “Hihi, jangan terlalu yakin, kulihat lawannya si ikan kecil itu pun bukan orang yang mudah dilayani. Apalagi di belakangnya mendapat dukungan Yan Lam-thian.”
“Biar pun didukung Yan Lam-thian juga tiada gunanya, memangnya Yan Lam-thian mewakili dia bertempur!” kata Thi Cian. “Betapa pun pintarnya bocah ini, paling-paling cuma anak didik sebangsa Li Toa-jui, To Kiau-kiau dan sebagainya, memangnya apa kemampuannya? Andaikan lihai juga terbatas.”
“O, jadi dia cuma anak didik kawanan Ok-jin begudalmu itu?” tanya si nenek Siau. “Tahu begitu, tentu tidak sudi kudatang ke sini, hanya membuat kantuk saja nanti pertarungan mereka ini, tadinya kukira dia adalah murid Yan Lam-thian.”
Mendadak terlihat Yan Lam-thian tampil ke muka dan berseru, “Baiklah, sudah tiba saatnya, majulah kau!”
Meski ucapannya ditujukan kepada Siau-hi-ji, tapi suaranya lantang dan menggema angkasa pegunungan sehingga dapat juga didengar oleh Hoa Bu-koat dan siapa saja.
Segera Hoa Bu-koat bangkit dari tempatnya, lebih dulu ia memberi hormat kepada Ih-hoa-kiongcu, katanya, “Adakah sesuatu pesan dari Suhu?”
“Tidak ada lagi,” jawab Kiau-goat Kiongcu, “Majulah kau, kuyakin kau pasti tidak akan membuat kecewa padaku.”
Meski datar saja nadanya, tapi tidak urung bergolak juga perasaannya.
Detik terakhir dimulainya pertarungan maut ini akhirnya tiba juga.
Sekali ini, betapa pun Ih-hoa-kiongcu tidak akan membiarkan pertarungan ini batal setengah jalan lagi. Sekali ini, antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat harus roboh salah satu.
Rasanya tidak mudah untuk menggambarkan betapa tegang dan terangsang perasaan Kiau-goat Kiongcu sekarang, satu-satunya orang di dunia ini yang dapat menyelami perasaannya hanyalah Lian-sing Kiongcu.
Wajah Lian-sing Kiongcu kelihatan jauh lebih pucat dari pada biasanya. Waktu Bu-koat berpaling ke sana, dia ternyata menghindari sinar mata anak muda itu, rupanya ia khawatir kalau-kalau dirinya tidak tahan perasaannya dan mungkin akan membuka rahasia yang telah disimpannya selama dua puluh tahun itu.
Sebenarnya watak Lian-sing Kiongcu juga dingin, tapi selama dua-tiga hari terakhir ini, ia merasa dirinya sudah agak berubah, sebab di dalam gua sana dia telah banyak mengalami hal-hal yang belum pernah ditemuinya selama hidup ini. Selamanya tak pernah terbayang olehnya bahwa hal demikian ini dapat terjadi atas dirinya.
Selama hidupnya tak pernah terpikir olehnya, bagaimana rasanya orang yang menghadapi ajal, selama hidupnya tidak pernah kenal apa artinya takut.
Selamanya dia tidak pernah bersandar pada perlindungan orang lain, ia pun tidak pernah merasa harus berterima kasih kepada siapa pun juga.
Dengan sendirinya ia pun tidak pernah kelaparan juga tidak pernah minum-minum hingga mabuk. Lebih-lebih tidak pernah terpikir bahwa pada suatu hari dia akan berbaring di dalam pelukan seorang lelaki.
Tadi semua yang belum pernah dialaminya selama hidup beberapa puluh tahun itu, hanya dalam waktu dua-tiga hari saja telah terjadi seluruhnya atas dirinya. Bahkan semuanya berkesan, setiap kejadian itu masih terbayang sejelas dan sedalam itu. Meski dia berusaha melupakan semua itu, tapi sukar.
Selama dua hari ini, bila mana teringat pada Siau-hi-ji, hatinya lantas pedih. Betapa pun Siau-hi-ji cukup baik padanya, sebaliknya bagaimana dirinya terhadap anak muda itu?
Rencana keji dan kejam ini boleh dikatakan timbul dari gagasannya, dialah yang mengaturnya.
Dan sekarang, nasib Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat yang tragis itu segera akan terjadi, namun asalkan dia mau berucap satu kata saja, maka semuanya itu akan berubah. Akan tetapi dia justru tidak dapat melakukannya, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.
Siau-hi-ji memberi hormat dengan khidmat kepada Yan Lam-thian dan Ban Jun-liu, habis itu ia lantas maju ke tengah gelanggang. Di situ Hoa Bu-koat sudah menunggunya.
Namun sedikit pun Siau-hi-ji tidak tergesa-gesa, sama sekali ia tidak gelisah, lebih dulu ia mendekati Han-wan Sam-kong, dengan tertawa ia tanya, “Bagaimana peruntunganmu selama dua hari ini?”
Meski sejak tadi Han-wan Sam-kong terus mengawasi anak muda itu, tapi sekarang dia datang padanya, Ok-tu-kui menjadi terharu, matanya menjadi agak merah, hampir-hampir ia tidak dapat bersuara apa pun. Selang agak lama barulah ia tertawa, katanya, “Keparat, akhir-akhir ini anginku benar-benar lagi meniup keluar, kalah terus-menerus, sampai kepala pusing tujuh keliling, semuanya ludes. Dalam keadaan bokek, apa yang dapat kupertaruhkan?”
Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Haha, katanya engkau ini Ok-tu-kui, masa tidak tahu hukum alam yang mengatakan ‘sesuatu kalau sudah mencapai puncaknya pasti akan terjadi arus balik’, jika pada saat-saat paling krisis engkau bertaruh sekali lagi, pasti kemujuranmu akan datang.”
Han-wan Sam-kong mengangguk, ucapnya, “Ya, masuk di akal.”
“Dan sekarang engkau ingin bertaruh atau tidak?” tanya Siau-hi-ji.
“Sekarang?” Han-wan Sam-kong menegas dengan melenggong.
“Ya, sekarang,” kata Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip. “Bila kukatakan di tubuhku sekarang ada seekor kutu busuk, kau percaya tidak?”
Han-wan Sam-kong jadi tertawa geli, katanya, “Haha, masa di tubuhmu ada kutu busuk segala?”
“Jika tidak percaya, ayolah kita bertaruh?” tantang Siau-hi-ji.
“Taruhan apa?” tanya Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.
“Taruhannya juga seekor kutu busuk,” jawab Siau-hi-ji.
“Hahaha,” Han-wan Sam-kong bergelak tertawa. “Jika aku kalah, masa aku harus mencari seekor kutu busuk untukmu? Apakah kutu busuk di tubuhmu itu ingin dicarikan jodoh?”
“Bukan begitu cara pertaruhan kita,” kata Siau-hi-ji.
“Habis cara bagaimana?” tanya Ok-tu-kui.
“Jika di tubuhku tidak ada kutu busuk, kau harus menangkap seekor kutu busuk untukku dan akan kupiara kutu busuk itu di tubuhku,” kata Siau-hi-ji. “Sebaliknya jika kau kalah segera kuberikan kutu busuk yang berada di tubuhku ini kepadamu dan kau harus memeliharanya di tubuhmu...”
Belum habis ucapannya, bergelak tertawalah Han-wan Sam-kong, serunya, “Piara anjing atau piara kucing dan piara kura-kura sekali pun belum pernah kulihat, tapi sengaja piara kutu busuk, haha, ini kerja macam apa? Apakah takkan gatal digigit kutu busuk setiap hari?”
“Jadi kau tidak berani bertaruh denganku?” tanya Siau-hi-ji.
“Kuhidup lima puluh delapan tahun sampai sekarang, belum pernah kutolak tantangan bertaruh siapa pun juga,” jawab Han-wan Sam-kong dengan tertawa.
“O, jadi kau berani?” tanya Siau-hi-ji pula.
“Ya, memangnya siapa takut? Ayo, jadi!” jawab Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.
Siau-hi-ji terdiam sejenak, mendadak ia menghela napas, katanya, “Kau memang pemberani. Baiklah, anggap aku yang kalah.”
“Hahaha, memang sudah kuketahui kau cuma main gertak belaka, masa aku dapat kau tipu?” seru Han-wan Sam-kong dengan terbahak-bahak.
“Baiklah, engkau sudah menang, sekarang lekaslah mencarikan seekor kutu busuk untukku,” kata Siau-hi-ji. “Tapi ingat, harus kutu busuk yang masih hidup. Jika seketika tak dapat kau temukan diriku, sementara boleh titip dulu di tempatmu kutu busuk itu, piaralah yang baik supaya gemuk. Aku cuma suka pada kutu busuk gemuk, tidak suka yang kurus.”
Untuk sejenak Han-wan Sam-kong jadi melenggong, ia tertawa, katanya, “Haha, tampaknya aku toh tetap tertipu olehmu, setan cilik, cuma kau saja yang dapat mengemukakan pertaruhan cara begini.”
Mendadak suara tertawanya berhenti, ia pandang bayangan punggung Siau-hi-ji dan menampilkan perasaan sedih, ia bergumam, “Apakah karena menyadari dirinya pasti akan gugur, makanya dia mengajak pertaruhan terakhir denganku?”
Dalam pada itu Siau-hi-ji sedang mendekati anggota keluarga besar Buyung, dengan tertawa ia menyapa, “Baik-baiklah kalian semua?”
Sebagai anggota tertua, Tan Hong-ciau mewakilkan para kerabatnya menjawab, “Terima kasih, kami semuanya baik-baik, semoga engkau pun baik-baik.”
Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya, “Pertanyaanku ini sebenarnya tidak perlu kuajukan, jika kalian masing-masing bisa mempersunting istri cantik dan bijaksana begini, tentu saja segala sesuatunya berjalan dengan baik-baik.”
“Terima kasih atas pujianmu...” dengan kikuk Buyung Siang menjawab.
Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa pula dan berkata, “Sebenarnya aku pun hampir menjadi sanak keluargamu, cuma sayang, agaknya aku memang tidak mempunyai rezeki sebesar itu.”
Buyung Siang seperti menghela napas gegetun, ucapnya dengan tertawa, “Ah, mungkin adik Kiu yang tidak...” Dia tidak melanjutkan ucapannya, sebab dia tidak sanggup.
Siau-hi-ji tepuk-tepuk pundak Koh Jin-giok, tanyanya dengan tertawa, “Baikkah engkau akhir-akhir ini?
“Baik, baik,” jawab Koh Jin-giok dengan muka merah.
“Rezekimu juga besar, aku pun sangat kagum dan iri padamu,” kata Siau-hi-ji dengan menyesal. “Sebenarnya engkau pun masih terhitung pamanku, Kohtio atau Ihtio (paman, suami adik ayah atau ibu)”
Koh Jin-giok melengak bingung, ia menegas, “Kohtio atau Ihtio?”
“Ya, begitulah,” kata Siau-hi-ji. Lalu dia berpaling dan tertawa kepada Siau-sian-li, katanya pula, “Apakah kau masih ingat, waktu untuk pertama kalinya kita bertemu, bukankah engkau mengharuskan aku memanggil bibi padamu?”
Muka Siau-sian-li seketika berubah merah, jawabnya, “Oo, aku... aku tidak ingat lagi.”
“Tapi masih kuingat dengan jelas,” kata Siau-hi-ji pula. “Malahan waktu itu aku salah panggil sehingga mendapat persen tiga kali tamparan darimu.”
“Oo, masa... masa begitu?” ujar Siau-sian-li.
Padahal mana bisa dia melupakan kejadian dahulu, malahan setiap kata dan setiap hal paling kecil sekali pun masih dapat diingatnya dengan jelas.
Masih teringat olehnya waktu Siau-hi-ji kontan membalas tiga kali tamparannya, bahkan anak muda itu berkata kepadanya, “Kutahu selamanya kau takkan melupakan diriku, sebab perempuan pasti takkan melupakan lelaki pertama yang pernah memukulnya, seperti halnya perempuan yang pasti takkan lupa kepada kekasihnya yang pertama...”