“Hm, jangan kau gembira dulu, jangan lupa sainganmu yang belum lagi muncul itu, apa jadi...” Maksud Siau-hi-ji hendak menggoda So Ing, tapi, begitu menyinggung Thi Sim-lan, mau tak mau ia jadi teringat pula kepada Hoa Bu-koat, seketika hatinya seperti ditusuk-tusuk sehingga malas untuk bicara lagi.
Air muka So Ing seketika juga berubah prihatin, katanya kemudian dengan gegetun, “Tampaknya pertarungan dengan Hoa Bu-koat sukar lagi dihindarkan.”
“Ehmm,” Siau-hi-ji mengangguk dengan menghela napas.
“Apakah kau ingin mencari akal untuk mengulur waktu pula?” tanya So Ing.
“Ehmm,” kembali Siau-hi-ji mengangguk. Mendadak ia melototi si nona dan bertanya, “Apa yang kupikirkan, mengapa kau tahu?”
“Entahlah, mungkin inilah yang disebut ada ikatan batin,” jawab So Ing dengan tersenyum manis.
Tapi senyuman manisnya itu hanya sekilas saja menghiasi wajahnya, segera ia mengernyitkan kening dan bertanya pula, “Apakah sudah kau dapatkan akalnya?”
Siau-hi-ji tidak lantas menjawab, dengan malas-malas ia duduk, lalu berkata, “Jangan khawatir, akhirnya aku pasti mendapatkan akalnya.”
“Ya, kutahu kau pasti punya akal,” ucap So Ing dengan lembut. “Akan tetapi, sekali pun kau bisa mendapatkan akal yang jauh lebih baik dari pada caramu yang dulu itu, lalu apa gunanya?”
“Siapa bilang tiada gunanya?” jawab Siau-hi-ji dengan melotot.
So Ing menghela napas, katanya, “Sekali ini misalnya kau masih dapat mengulur waktu lagi, tapi cepat atau lambat, persoalan ini toh harus diselesaikan juga, betapa pun Ih-hoa-kiongcu pasti tidak akan melepaskan dirimu, lihat saja, ketika berada di liang tikusnya Gui Bu-geh itu, tampaknya mereka sudah mulai ramah padamu, akan tetapi begitu keluar dari gua itu, sikap mereka seketika berubah lagi.”
“Ya, seharusnya kutahu mereka pasti akan lupa pada pertolonganku bila sudah keluar dari sana, pada umumnya manusia memang suka lupa budi pertolongan orang, setelah menyeberang sungai segera merusak jembatannya,” ucap Siau-hi-ji.
“Sebab itulah cepat atau lambat pertarunganmu dengan Hoa Bu-koat toh tetap tak dapat dihindarkan,” kata So Ing pula, “Kecuali...”
“Kecuali apa?” tanya Siau-hi-ji.
So Ing menatap dengan penuh kasih sayang, katanya kemudian dengan lembut, “Kecuali kita pergi sekarang juga, pergilah ke tempat yang jauh, ke tempat yang indah permai dan sembunyi di sana, tidak perlu bertemu dengan siapa pun dan tidak perlu berurusan lagi segala tetek bengek di dunia ini.”
Siau-hi-ji berpikir sejenak, mendadak ia berseru, “Tidak, tidak bisa, tidak boleh kularikan diri, jika aku diharuskan bersembunyi dan tidak bertemu dengan siapa-siapa, lebih baik aku mati saja. Apalagi masih ada paman Yan... aku sudah berjanji padanya.”
Dengan suara rawan So Ing berkata, “Ya, aku pun tahu engkau pasti tidak mau bertindak demikian. Akan tetapi, bila mana pertarungan kalian berlangsung, akibatnya pasti akan terjadi malapetaka. Salah satu di antaranya pasti mati, begitu bukan?”
Sorot mata Siau-hi-ji memandang jauh ke depan dengan hambar, gumamnya, “Memang, sekali kami sudah bergebrak, maka salah satu pasti akan mati...” Mendadak ia tertawa kepada So Ing, katanya, “Dan kalau salah seorang di antara kami sudah mati, kan segala persoalan menjadi mudah diselesaikan pula, betul tidak?”
Sekonyong-konyong tubuh So Ing menjadi gemetar, katanya dengan suara terputus-putus, “Apakah... apakah kau tega membunuhnya?”
Siau-hi-ji memejamkan mata dan tidak menjawabnya lagi.
“Kutahu, kalah atau menang antara pertarungan kalian ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan tinggi rendahnya ilmu silat masing-masing,” kata So Ing pula dengan sedih. “Persoalannya hanya terletak pada hati nurani masing-masing, siapa yang tega turun tangan, dialah yang akan menang...” Mendadak ia genggam tangan Siau-hi-ji dengan erat-erat, lalu berkata pula dengan suara gemetar, “Aku hanya ingin memohon sesuatu padamu, maukah kau meluluskan?”
Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, “Apakah kau ingin minta aku mengawinimu?”
So Ing menggigit bibir, katanya kemudian, “Aku cuma mohon padamu agar mau berjanji, janganlah sampai engkau terbunuh oleh Hoa Bu-koat, betapa pun engkau tidak boleh mati.”
“Ooo?” Siau-hi-ji terbeliak. “Tapi kalau tiada jalan lain bagiku kecuali mati?”
Tubuh So Ing bergetar pula, katanya dengan gemetar, “Jika... jika demikian maka... maka terpaksa aku pun akan mati bersamamu....” Mendadak menitik dua tetes air matanya, ia pandang Siau-hi-ji dengan termangu-mangu, lalu berkata pula, “Tapi kuyakin kau takkan mati, aku pun tidak ingin mati, aku ingin hidup bahagia denganmu, aku ingin hidup seratus tahun lagi bahkan seribu tahun lagi. Kuyakin kita pasti akan hidup bahagia dan sangat gembira.”
Dengan terkesima Siau-hi-ji memandang si nona, tanpa terasa sorot matanya menampilkan juga perasaan kasih sayang yang amat mesra.
“Asalkan engkau masih tetap hidup, apa pun juga yang harus kulakukan pasti akan kulaksanakan dengan baik tanpa syarat,” kata So Ing pula.
“Bila kau disuruh mati, kau mau?” tanya Siau-hi-ji.
“Jika kematianku akan dapat menyelamatkanmu, maka aku bersedia mati...” So Ing berkata dengan tegas dan penuh tekad, diucapkannya tanpa pikir.
Tapi sebelum habis ucapannya, segera Siau-hi-ji menariknya terus mendekapnya, katanya dengan suara lembut, “Jangan khawatir, kita pasti tidak akan mati, kita pasti akan hidup dengan baik...”
Ia pandang cuaca di luar jendela, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, “Padahal paling sedikit kita masih dapat hidup gembira selama satu hari penuh, mengapa yang kita pikirkan hanya satu hari saja?”
Waktu satu hari memang singkat, tapi bagi dua orang yang sedang dibuai cinta, rasa bahagia, rasa manisnya sehari penuh itu sudah cukup membuat mereka melupakan segala siksa derita, melupakan duka nestapa.....
********************
Hari sudah jauh malam, suasana sunyi senyap, setiap orang seakan-akan sudah hanyut di alam mimpi masing-masing.
Di dalam kelenteng yang dikelilingi oleh lereng bukit itu, orang terkadang dapat meresapi senangnya suasana sunyi.
Akan tetapi bagi Hoa Bu-koat sekarang, rasa sunyi ini sungguh tidak enak, bahkan terasa sangat menyiksa.
Hampir semua orang sudah datang ke sini. Thi Cian dan kawan-kawannya, para nona Buyung beserta suami masing-masing, dan sudah tentu juga kedua Ih-hoa-kiongcu.
Hoa Bu-koat merasa heran mengapa sama sekali tidak terdengar suara mereka?
Bisa jadi mereka tidak ingin mengganggu Hoa Bu-koat, mereka ingin anak muda ini dapat istirahat dengan sebaik-baiknya agar dapat menghadapi pertarungan esok harinya dalam kondisi yang fit. Akan tetapi mengapa mereka tidak bicara sama sekali?
Betapa pun Bu-koat ingin ada seorang yang mengajaknya bicara.
Tapi kepada siapakah dia akan mengajak bicara? Kepada siapa pula ia harus membeberkan isi hatinya?
Angin meniup mendesir-desir, angin pun seperti lagi menangis.
Bu-koat duduk termangu-mangu di tempatnya, apa yang sedang dipikirnya? Apakah dia memikirkan Thi Sim-lan? Apakah memikirkan Siau-hi-ji?
Tapi siapa pun yang dipikirnya, yang pasti, dia tetap berduka dan menderita.
Di dalam rumah tiada lampu, di atas meja ada satu poci arak yang belum habis terminum.
Ia menghela napas perlahan, selagi ia hendak memegang cawan arak, tiba-tiba daun pintu tertolak perlahan, sesosok bayangan yang ramping mendadak menyelinap masuk seperti badan halus.
Kiranya Thi Sim-lan!
Dalam kegelapan, wajah si nona kelihatan sedemikian pucat, tapi sorot matanya sebaliknya mencorong terang seakan-akan serangkum bara sedang membakar di dalam hatinya.
Tangan si nona juga kelihatan gemetar, tampaknya sangat tegang dan bingung.
Memangnya apa sebabnya?
Apakah dia sudah bertekad akan melakukan sesuatu yang menakutkan?
Dengan terkesiap Bu-koat memandang si nona, hingga lama sekali keduanya tidak bersuara.
Perlahan Thi Sim-lan merapatkan pintu pula, kemudian ia menatap Bu-koat lekat-lekat, tetap tanpa bicara apa-apa.
Begitu terang sorot matanya. Mengapa matanya mencorong seterang ini? Begitu terang sehingga boleh dikatakan sangat menakutkan.
Lama dan lama sekali barulah Hoa Bu-koat menghela napas panjang, katanya kemudian, “Ada... ada urusan apakah?”
Thi Sim-lan tidak menjawab, ia hanya menggeleng perlahan.
“Jika demikian, mestinya jangan... jangan kau kemari,” kata Bu-koat pula.
Thi Sim-lan mengangguk.
Bu-koat seakan-akan terpengaruh oleh sorot mata si nona yang membara itu, seketika ia pun tak tahu apa yang harus diucapkannya. Poci arak yang telah dipegangnya ditaruh kembali. Ia pegang cawan arak dan menenggaknya, tapi lupa bahwa cawan itu sudah kosong.
Sekonyong-konyong Thi Sim-lan membuka suara, “Sebenarnya aku berharap akan menganggapmu sebagai kakakku sendiri, tapi sekarang baru kuketahui bahwa anggapanku itu keliru, sebab perasaanku padamu ternyata bukan lagi perasaan antara kakak dan adik, kukira kita tidak perlu lagi menipu diri kita sendiri.”
Apa yang diucapkannya ini entah sudah berapa kali dia katakan kepada dirinya sendiri, tapi sebegitu jauh tidak berani diutarakan kepada Hoa Bu-koat.
Sekarang rupanya ia telah bertekad bulat untuk dikatakannya kepada pemuda itu, maka sekaligus dicetuskan seluruhnya tanpa ragu sedikit pun.
Tentu saja Bu-koat tercengang, cawan arak yang dipegangnya sampai terlepas.
Sama sekali tak terduga olehnya bahwa Thi Sim-lan dapat mengutarakan hal demikian padanya, meski betapa rasa cintanya kepada Thi Sim-lan, begitu pula sebaliknya betapa rasa cinta Thi Sim-lan kepadanya, kedua orang sesungguhnya sama jelasnya.
Akan tetapi mereka anggap perasaan cinta itu adalah rahasia lubuk hati masing-masing dan selamanya takkan diutarakan. Mereka menganggap sampai mati juga rahasia itu akan tetap terpendam di dalam lubuk hati mereka.
Thi Sim-lan menatapnya lekat-lekat, sampai lama sekali masih tetap menatapnya, katanya kemudian dengan rawan, “Kutahu bagaimana perasaanmu padaku, perasaanmu padaku juga pasti bukan perasaan antara kakak dan adik, betul tidak?”
Begitu terang sinar mata si nona sehingga seakan-akan hendak menembus ke lubuk hati Hoa Bu-koat yang paling dalam, ibarat hendak menghindar saja tak dapat lagi, terpaksa Bu-koat menunduk, jawabnya, “Namun aku... aku...”
“Kau tak punya anggapan begitu? Atau cuma tidak berani kau katakan saja?” tanya Thi Sim-lan.
Bu-koat menghela napas panjang, jawabnya dengan rawan, “Ya, mungkin karena aku tidak dapat mengutarakannya.”
“Mengapa tidak dapat?” tanya Sim-lan pula. “Jika cepat atau lambat toh harus kau katakan, mengapa tidak lekas-lekas kau katakan, agar kedua pihak tidak sama-sama menderita.”
Ia bicara dengan menggigit bibir sampai bibirnya pecah dan berdarah.
“Ada juga urusan yang tak terkatakan selamanya akan jauh lebih baik dari pada diutarakannya,” kata Bu-koat.
Thi Sim-lan tersenyum pedih, katanya, “Betul juga perkataanmu, sebenarnya aku pun tidak ingin mengutarakan isi hatiku, akan tetapi sekarang mau tidak mau harus kukatakan, sebab kalau sekarang tidak kukatakan, maka seterusnya tiada waktu lagi.”
“Memang betul, kalau tidak diutarakan sekarang, mungkin selamanya tiada kesempatan lagi,” kata Bu-koat dengan menghela napas sedih.
“Jika... jika demikian, mengapa kau tidak berani mengutarakannya? Apakah kau anggap tindakan ini sangat memalukan?” tanya Sim-lan dengan air mata bercucuran.
Perasaan Bu-koat seperti disayat-sayat, seperti dipuntir-puntir, dengan pedih ia mencela dirinya sendiri kenapa tidak seberani Thi Sim-lan? Padahal persoalan ini seharusnya diucapkan oleh dia sendiri.
Dengan pedih Thi Sim-lan berkata pula, “Kutahu sebabnya engkau tidak mau bicara adalah karena Siau-hi-ji. Sebenarnya aku pun merasa tindakan kita ini berdosa padanya, akan tetapi sekarang persoalannya sudah cukup gamblang, urusan ini tidak dapat dipaksakan, apalagi pada hakikatnya aku pun tidak utang apa-apa padanya.”
Dengan rawan Bu-koat mengangguk, katanya “Ya, kau memang tidak bersalah...”
“Kau pun tidak bersalah,” kata Sim-lan. “Thian mahaadil, Thian kan tidak mengharuskan siapa harus menyukai siapa.”
Mendadak Hoa Bu-koat mengangkat kepala dan memandang si nona, ia merasakan sorot mata Thi Sim-lan itu jauh lebih dalam dari pada lautan, tubuh Bu-koat sendiri pun mulai gemetar, ia pun tidak mampu menguasai diri lagi.
“Besok, tibalah saatnya kau harus duel dengan dia,” kata Thi Sim-lan pula. “Sudah lama sekali, ya, sudah lama sekali kupertimbangkan. Akhirnya kuputuskan harus kukatakan isi hatiku padamu, asalkan kau tahu perasaanku, maka urusan lain tidak menjadi soal lagi.”
Bu-koat tak tahan lagi, ia pegang tangan si nona, katanya dengan gemetar, “Aku... aku sangat berterima kasih padamu, sebenarnya kau tidak perlu sebaik ini padaku.”
Mendadak Thi Sim-lan tertawa, katanya, “Kan sudah sepantasnya aku bertindak dan berbuat baik padamu? Jangan lupa, kita sudah terikat menjadi suami istri, sekarang tiada perbedaan antara engkau dan aku lagi.”
Bu-koat memandangnya dengan termangu-mangu, tangan si nona perlahan bergeser ke muka Bu-koat dan perlahan membelai wajahnya yang makin hari makin kurus itu...
Setitik air mata akhirnya menetes di tangan Thi Sim-lan, titik air seputih mutiara.
Tapi kemudian mutiara air mata itu pun hancur luluh...
Angin masih tetap meniup mendesir-desir, tapi kedengarannya tidak lagi menangis.
Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan saling berdekapan dengan diam saja. Kegelapan dan kesunyian yang tak terbatas ini memang seakan-akan karunia Thian bagi pasangan kekasih di dunia ini yang sedang tenggelam di lautan cinta.
Cinta adalah semacam bunga yang aneh, dia tidak memerlukan cahaya matahari, juga tidak memerlukan air embun, dalam kegelapan bunga cinta ini malah akan mekar terlebih indah.
Namun kegelapan perlahan mulai lalu, malam panjang akhirnya pergi, fajar telah menyingsing pula.
Mendadak Thi Sim-lan menghela napas panjang, katanya, “Hari sudah terang, cepat amat hari sudah terang!”
Bu-koat hanya memandangi keremangan fajar di luar dengan rawan dan tidak bersuara lagi.
Ia tahu saat bahagia yang dimilikinya selama hidup ini kini sudah tamat terbawa oleh datangnya cahaya sang fajar. Cahaya memang lebih sering membawakan harapan yang tak terkatakan bagi orang lain, tapi bagi Bu-koat sekarang hanya penderitaan belaka.
“Kau pikir hari ini dia akan datang atau tidak?” kata Sim-lan kemudian.
“Mungkin mau tak mau dia akan datang juga,” jawab Bu-koat.
“Betul,” kata Sim-lan dengan menghela napas, “Urusan toh harus diselesaikan cepat atau lambat, meski dia hendak lari juga tidak bisa lagi. Meski aku tidak berani membayangkan, tapi tak tahan rasanya untuk tidak membayangkan, bila mana fajar menyingsing pula esok, dunia ini entah akan berubah menjadi bagaimana keadaannya?”
“Esok pagi sang surya akan tetap terbit dengan cahayanya yang cemerlang, apa pun takkan terjadi perubahan,” ucap Bu-koat dengan tersenyum pedih.
“Akan tetapi bagaimana dengan kita...?”
Mendadak Thi Sim-lan merangkul Bu-koat erat-erat, katanya pula dengan suara lembut, “Apa pun juga, sekarang kita sudah berada bersama, dibandingkan Siau-hi-ji kita tetap lebih beruntung. Dapat hidup sampai sekarang, tiada sesuatu lagi yang perlu kita sesalkan, betul tidak?”
Hati Bu-koat seperti disayat-sayat, jawabnya dengan menghela napas panjang, “Betul, sesungguhnya kita memang jauh lebih beruntung dari pada dia. Dia...”
“Dia benar-benar seorang yang harus dikasihani,” tukas Sim-lan “Selama hidupnya ini pada hakikatnya tidak pernah merasakan setitik bahagia apa pun juga. Dia tidak punya orang tua, tak punya sanak famili, ke sana-sini selalu dicemoohkan orang, dimaki orang. Bila mana dia mati mungkin tiada seberapa orang yang akan meneteskan air mata baginya, sebab semua orang hanya kenal dia sebagai orang busuk...”
Sampai di sini Thi Sim-lan tidak sanggup melanjutkan lagi, suaranya tersendat-sendat, tenggorokannya serasa tersumbat.
Dengan rawan Bu-koat berkata, “Ya, selama hidupnya memang penuh penderitaan, kecuali malapetaka dan kemalangan, hampir tiada hal lain yang didapatkannya. Dia tidak pernah mendapatkan pujian, juga tidak...” Ia pandang Thi Sim-lan dengan perasaan pedih dan tidak melanjutkan lagi.
Selama hidup Siau-hi-ji, paling tidak toh masih ada seorang nona yang mencintainya dengan segenap jiwa-raganya, yakni Thi Sim-lan, akan tetapi sekarang...
Hoa Bu-koat tidak berani lagi memandang si nona, ia menunduk dengan air mata bercucuran.
Sim-lan juga menunduk, katanya kemudian, “Aku... aku cuma ingin memohon sesuatu padamu, entah... entah engkau sudi menerima atau tidak?”
“Mana bisa aku tidak menerima?” jawab Bu-koat dengan tersenyum pedih.
Thi Sim-lan memandang jauh ke depan sana, katanya, “Kurasa bila mana sekarang dia mati, maka matinya pasti tidak rela, mati penasaran, sebab itulah...” Tiba-tiba ia menatap Bu-koat lekat-lekat, lalu menyambung dengan sekata demi sekata, “Kumohon dengan sangat padamu, janganlah engkau membunuhnya. Betapa pun jangan engkau membunuhnya!”
Seketika Bu-koat melenggong, sedetik itu darahnya serasa membeku.
Dalam hati seakan-akan menjerit: “Kau minta aku jangan membunuh dia, bukankah ini berarti aku harus dibunuh oleh dia? Demi mempertahankan hidupnya, kau tidak sayang mengorbankan kematianku? Kedatanganmu ke sini ini apakah melulu untuk memohon padaku agar bertindak demikian?”
Walau pun begitu kata hatinya, namun Hoa Bu-koat takkan mengucapkannya, selamanya takkan diucapkannya. Ia lebih suka dirinya sendiri yang menderita dari pada mencelakai orang lain. Lebih-lebih ia tidak ingin melukai perasaan dan mengecewakan harapan orang yang dicintainya.
Maka dia cuma tersenyum getir saja, katanya kemudian, “Andai kata kau tidak minta padaku, pasti juga aku takkan membunuh dia.”
Dengan lekat-lekat Thi Sim-lan memandang Bu-koat, sorot matanya penuh rasa kasih mesra, penuh rasa simpatik dan pedih pula, bahkan timbul juga semacam rasa hormat dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Tapi ia pun tidak bicara apa-apa lagi, hanya dengan perlahan ia berucap, “Terima kasih!”
********************
Sang surya belum lagi menongol, suasana sunyi senyap, lereng bukit ini diliputi kabut tipis putih. Angin sepoi-sepoi sejuk membawa bau harum bunga hutan yang membangkitkan semangat.
Siau-hi-ji menarik napas dalam-dalam, gumamnya, “Tampaknya cuaca hari ini pasti sangat cerah, dalam keadaan yang baik ini, siapakah yang ingin mati?”
Dengan tersenyum So Ing menggelendot di samping Siau-hi-ji, sebenarnya ia ingin bilang, “Biar pun hari bercuaca betapa buruk tentu juga jarang ada orang yang ingin mati?”
Namun sekarang ia tidak mau berdebat dengan Siau-hi-ji, dalam saat demikian, ia ingin menurut segala tindak dan ucapan anak muda itu. Biar pun Siau-hi-ji bilang matahari itu persegi dan bulan itu gepeng, pasti dia akan mengiakan dan tidak lagi menyangkalnya.
Akan tetapi Siau-hi-ji lantas berkata pula dengan tertawa, “Sebenarnya seorang ingin mati atau tidak kan tiada sangkut-pautnya dengan cuaca yang baik atau buruk. Misalnya seseorang kalau baru punya istri, lalu mendapat lotere satu miliar, maka sekali pun cuaca berubah menjadi buruk dan hujan dua tahun lebih tiga bulan juga takkan dipedulikannya, apalagi disuruh mati.”
So Ing tersenyum, katanya, “Tepat sekali apa yang kau katakan.”
“Umpama seseorang mempunyai istri, lalu istrinya menyeleweng, main pat-gulipat dengan lelaki lain, anaknya menjadi perampok pula, maka biar pun cuaca sangat cerah dan semuanya serba indah toh dia lebih suka mati juga.”
“Ya, memang tidak salah,” kata So Ing.
Mendadak Siau-hi-ji mendelik, katanya, “Jika istrinya menyeleweng dan anaknya menjadi rampok, semua itu kan anak dan istrinya yang brengsek, mengapa dia harus mati?”
“Aku kan tidak bilang dia harus mati?” jawab So Ing tertawa.
“Kau tidak bilang habis siapa yang bilang?” teriak Siau-hi-ji pula.
“Baiklah, anggaplah aku yang bilang, aku salah omong,” ujar si nona.
Serentak Siau-hi-ji berjingkrak, teriaknya pula, “Sudah jelas bukan kau yang omong, mengapa kau mau mengakui?”
Berputar-putar biji mata So Ing, dengan suara lembut ia berkata, “Apakah kau sengaja mau bertengkar?”
“Aku memang ingin bertengkar, kau mau apa?” jawab anak muda itu.
Mendadak So Ing juga berteriak, bahkan tidak kalah galaknya, “Baik, akan kukatakan padamu bahwa sesungguhnya kau orang yang paling brengsek, bagi seorang lelaki sejati, seorang jantan gagah perwira, menghadapi sesuatu harus dapat berpikir secara tegas, kalau kuat harus dijinjing, bila tidak sanggup harus ditaruh, bila perlu silakan turun gunung, kalau tidak ya naiklah ke sana dan bertempur. Bila seperti caramu ini, belum berhadapan dengan lawan hati sendiri sudah kacau lebih dahulu, setiap orang kau jadikan pelampiasan, maka pertandingan ini akan lebih baik diurungkan saja, sebab sebelum bertanding jelas-jelas kau sudah kalah lebih dulu.”
Dia mengira sekali ini Siau-hi-ji akan berjingkrak murka. Tak terduga, setelah didamprat begini, Siau-hi-ji berbalik menjadi sopan dan termangu-mangu hingga lama sekali.
“Ya, ucapanmu memang tidak salah, aku memang betul-betul seorang yang sangat brengsek, seorang konyol,” kata Siau-hi-ji tiba-tiba sambil menghela napas menyesal. “Memang betul, sebelum bertanding hatiku sudah bingung, pikiranku sudah kacau. Bila benar-benar bertanding nanti, jelas aku pasti kalah.”
Melihat sikap Siau-hi-ji yang lesu dan lemas itu, tanpa terasa timbul pula rasa kasih sayang So Ing, perlahan ia membelai rambut anak muda itu.
Selagi ia hendak mengucapkan beberapa kata halus untuk menghiburnya, sekonyong-konyong seorang berseru dengan suara tertahan di samping, “Pertarungan antara jagoan kelas tinggi, bila pikiran kacau pasti akan kalah. Jika kau tahu teori ini, mestinya tenangkan dulu hatimu. Ketahuilah bahwa pertandingan ini sangat besar sangkut-pautnya, maka kau harus menang dan tidak boleh kalah.”
Tanpa menoleh juga Siau-hi-ji tahu siapa pembicara itu, yaitu Yan Lam-thian, terpaksa ia mengiakan dengan menunduk.
Perawakan Yan Lam-thian yang kekar itu laksana malaikat gunung yang tegap berdiri di tengah-tengah kabut pagi yang masih remang-remang itu. Sinar matanya mencorong terang, ia memandang Siau-hi-ji dengan tajam, katanya pula, “Apakah dendam selama hidupmu ini sudah kau selesaikan seluruhnya?”
Siau-hi-ji mengiakan. Tapi mendadak ia menengadah dan berkata pula, “Tapi, masih ada budi besar seorang lagi yang belum kubalas hingga sekarang.”
“O, siapa,” tanya Yan Lam-thian.
“Ialah paman Ban, paman Ban Jun-liu yang baik hati itu,” jawab Siau-hi-ji.
Sinar mata Yan Lam-thian yang kereng itu menampilkan perasaan hangat, katanya, “Kau masih mempunyai pikiran demikian, tidak percumalah dia pernah sayang padamu. Tapi embun menyuburkan segala macam tanaman bukanlah karena berharap segala macam tumbuhan itu akan membalas budinya. Asalkan segalanya tumbuh dengan subur, maka cukup puaslah dia.”
“Yang kuharapkan sekarang hanya ingin tahu di mana beliau berada? Apakah beliau tetap sehat walafiat?” kata Siau-hi-ji
“Maksudmu, kau ingin menemui dia?” tanya Yan Lam-thian.
Siau-hi-ji mengiakan.
“Baik sekali,” ujar Yan Lam-thian dengan tersenyum. “Dia memang sedang menunggumu dan ingin melihat dirimu...”
Dengan kegirangan Siau-hi-ji lantas berseru, “He, apakah paman Ban sekarang juga berada di sini?”
“Ya, baru kemarin ia sampai di sini,” jawab Yan Lam-thian…..
********************
Sudah lama juga So Ing ingin bertemu dengan tabib sakti yang berbudi luhur dan berilmu tinggi ini. Waktu ia menoleh, terlihatlah seorang Tojin berjubah panjang dan berkopiah kuning berdiri di bawah pohon sebelah sana.
Kejut dan girang Siau-hi-ji tak terkatakan, cepat ia memburu ke sana. Sebenarnya banyak urusan yang akan ia bicarakan, tapi seketika tenggorokannya seperti tersumbat oleh sesuatu sehingga satu patah kata saja tidak sanggup diucapkannya.
Wajah Ban Jun-liu yang kelihatan tenang itu pun menampilkan perasaan terharu, sudah sekian tahun mereka berpisah, kini ternyata masih dapat berjumpa di sini, sudah tentu timbul rasa girang dan terharu yang sukar dilukiskan.
Yan Lam-thian juga tertegun sejenak karena harunya, tiba-tiba ia berkata, “Sang surya hampir terbit, sudah waktunya aku pergi.”
Dengan terharu Siau-hi-ji berseru, “Aku...”
“Untuk sementara boleh kau tinggal di sini,” kata Yan Lam-thian. Lalu dengan kereng ia menyambung pula, “Lantaran pikiranmu belum lagi tenang, saat ini tidak cocok bagimu untuk bertempur.”
“Tapi kalau menunggu terlalu lama juga dapat mengacaukan pikiran,” ujar Ban Jun-liu.
“Jika begitu, akan kujanjikan pada mereka untuk bertempur tepat pada siang hari nanti,” kata Yan Lam-thian. Begitu kata-kata terakhir itu terucapkan, segera bayangannya menghilang di tengah kabut.
Ban Jun-liu memandang Siau-hi-ji sekejap, lalu dipandangnya So Ing, katanya kemudian dengan tersenyum, “Sebenarnya aku pun mesti menyingkir pergi, tapi kesempatan bicara kalian selanjutnya kan masih banyak, sedangkan aku...”
“Apa yang engkau kehendaki, paman Ban?” tanya Siau-hi-ji dengan terharu.
“Tidak ada apa-apa yang kuhendaki selain ingin melihatmu saja, di dunia fana ini pun tiada sesuatu yang memberatkanku lagi,” ucap Ban Jun-liu dengan menghela napas.
Siau-hi-ji termenung sejenak, mendadak ia menarik muka dan berkata kepada So Ing, “Jika ada dua lelaki sedang bicara, apakah pantas kau ikut mendengarkan di sini?”
So Ing tertawa, jawabnya, “Memangnya antara engkau dan paman ini ada sesuatu rahasia yang perlu dibicarakan?”
“Ada pembicaraan rahasia atau tidak, pokoknya, kalau lelaki sedang bicara, tidak pantas jika perempuan ikut mendengarkan,” kata Siau-hi-ji.
Berputar biji mata So Ing, katanya dengan tersenyum, “Baiklah, biar kupergi jalan-jalan dulu ke sana.”
Melihat si nona sudah pergi jauh, dengan tersenyum Ban Jun-liu berkata, “Kuda liar yang terlepas dari kekangan, tampaknya akhirnya toh dapat dipasangi pelana.”
Siau-hi-ji mencibir, katanya, “Huh, selama hidupnya jangan dia harap akan dapat mengendalikan diriku, akulah yang akan mengendalikan dia.”
“Ooo? Apa betul?” tanya Ban Jun-liu.
“Hm, jika bukan lantaran dia suka menuruti setiap perkataanku, tentu sudah sejak mula kudekap dia,” ujar Siau-hi-ji.
“Hahaha, dasar Siau-hi-ji, sekali Siau-hi-ji tetap Siau-hi-ji,” seru Ban Jun-liu dengan tertawa, “Meski di dalam hati sudah lunak, tapi di mulut tetap keras dan tidak mau kalah.”
“Siapa bilang hatiku sudah lunak?” tanya Siau-hi-ji.
“Jika dia tidak yakin pasti akan memilikimu mana dia mau tunduk dan menuruti segala kehendakmu?” kata Ban Jun-liu. “Dan kalau dia yakin selanjutnya kau juga pasti akan menuruti setiap perkataannya, masa dia mau menurut pada kehendakmu sekarang?”
Dia berhenti sejenak, lalu menyambung pula dengan tersenyum, “Dalam hal ini perempuan selalu lebih pintar dari pada lelaki, perempuan pasti tidak mau kalah.”
Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapannya kemudian dengan tersenyum, “Dalam hal meracik obat dan menyembuhkan orang, sudah barang tentu paman Ban Jun-liu jauh lebih ahli dari padaku, tapi mengenai urusan perempuan...” Dia tertawa cekikikan dan tidak melanjutkan lagi.
Ban Jun-liu tersenyum, katanya, “Orang muda selalu mengira pengetahuannya terhadap perempuan jauh lebih banyak dari pada siapa pun juga. Tapi nanti, kalau usiamu sudah lanjut, barulah kau akan mengetahui bahwa dirimu sesungguhnya tidak memahami urusan perempuan sama sekali?”
Siau-hi-ji tertawa, katanya kemudian, “Paman Ban, pertemuan kita ini bukan maksudku hendak belajar urusan perempuan dengan engkau.”
“Ya, kutahu,” jawab Ban Jun-liu sambil manggut-manggut. “Sejak mula memang sudah kuduga pasti ada sesuatu urusan yang sangat penting dan penuh rasa rahasia yang akan kau mohon padaku. Nah, sesungguhnya urusan apa, toh aku tidak dapat menolak permintaanmu.”
Ia pandang anak muda itu dengan sorot mata yang penuh rasa kasih sayang, katanya pula dengan tersenyum, “Apakah kau masih ingat kejadian dahulu, pernah kau minta sebungkus obat bau busuk padaku untuk mengerjai Li Toa-jui sehingga dia kelabakan dan merasa kapok untuk mengganggumu lagi, dan sekali ini hendak kau kerjai siapa pula?”