“Tapi si gemuk ini lebih licin dari pada belut, jika kucari dia bukan mustahil aku akan dijualnya.”
“Bagaimana dengan To Kiau-kiau?” tanya Pek-hujin.
“Si banci ini pun tidak dapat dipercaya,” ujar Pek Khay-sim. “Lahirnya saja dia cukup baik padaku, tapi selamanya dia sangat takut pada Toh-lotoa, jika disuruh memusuhi Toh-lotoa, mati pun dia tidak mau.”
“Bisa jadi diam-diam dia ada main dengan Toh-lotoa,” kata Pek-hujin dengan tertawa keras.
“Sialan, memang betul juga,” omel Pek Khay-sim dengan tertawa. “Makanya setelah kupikir agaknya cuma Im Kiu-yu saja yang dapat kubujuk untuk bersekutu, ditambah dirimu, kita bertiga sudah cukup untuk menghadapi mereka.”
“Kau yakin dapat membujuknya?” tanya Pek-hujin sambil berkedip-kedip.
“Tadinya aku pun sangsi, tapi sekarang aku sudah punya akal.”
“O, ya? Jika begitu, mengapa tidak sekarang saja kau cari dia?”
“Tidak perlu kucari dia, dia yang akan mencari diriku.”
“Ooo?” tercengang juga Pek-hujin.
“Kau tahu orang she Im ini selama hidupnya paling suka mengintip rahasia orang lain, lebih-lebih mengintip pasangan suami istri yang lagi ‘main’. Soalnya dia sendiri tidak mampu, terpaksa mencari kepuasan dengan jalan mengintip.” Sampai di sini, tak tertahan lagi tangannya lantas menggerayangi dada Pek-hujin bahkan terus menarik gaunnya.
Pek-hujin mengerling genit, omelnya dengan tertawa, “Memangnya kau hendak ‘main’ denganku di sini juga?”
Pek Khay-sim terus merangkulnya dan menciumnya satu kali, katanya dengan tertawa, “Keparat, cocok lagi ucapanmu. Dan bila kita sudah bergulat, tidak seberapa lama orang she Im itu pasti akan datang.”
“Tapi... tapi kalau diintip orang aku... aku tidak mau,” kata Pek-hujin dengan terkikik-kikik.
“Sialan, memangnya kau kira aku tidak paham?” omel Pek Khay-sim dengan tertawa. “Justru kalau diintip orang barulah kau bisa main lebih bersemangat.”
Mendadak Pek Khay-sim meremas paha Pek-hujin dengan keras, lalu berseru. “Ayolah, goyang!”
Terdengar Pek-hujin mengeluh perlahan. Perempuan yang histeris dan suka diperlakukan sadis ini lantas membisiki Pek Khay-sim dengan napas yang mulai terengah-engah, “O, keras sedikit, sayang... Keraslah sedikit... makin keras makin baik!”
Selang sejenak, mendadak Pek Khay-sim berkata dengan tertawa, “Im-lokiu, jika ingin melihat, mengapa tidak keluar saja, untuk apa mengintip segala?”
Benar juga, segera terdengar suara Im Kiu-yu menjawab dengan terkekeh-kekeh, “Keparat, kau sungguh pintar mencari bini, permainannya sungguh merangsang, nikmat!”
“Eh, apakah kau ingin mencoba?” tanya Pek-hujin dengan tersengal-sengal.
“O, tidak, tidak, cukup kutonton dari samping saja dan sudah puas bagiku, ” kata Im Kiu-yu.
“Betul juga, kau harus lebih banyak bergembira mumpung masih ada waktu,” kata Pek Khay-sim. “Jika Yan Lam-thian sampai menemukanmu, maka terlambatlah segalanya.”
Menyinggung nama Yan Lam-thian, seketika air muka Im Kiu-yu berubah, jengeknya, “O, maka sekarang kalian bergembira sepuas-puasnya, begitu?”
“Kami sih tidak menjadi soal,” ujar Pek Khay-sim. “Aku kan tidak pernah ikut menyerang Yan Lam-thian, makanya aku tidak perlu takut padanya. Tapi kau... Hehe...” Sampai di sini, ia sengaja tidak melanjutkan ucapannya.
Dengan muka kehijau-hijauan Im Kiu-yu melenggong sejenak, tiba-tiba ia pun tertawa dan berkata, “Haha, apakah kau kira aku takut? Saat ini mungkin Yan Lam-thian sudah mati di tangan Ih-hoa-kiongcu, apa yang perlu kutakuti?”
“Hahaha, betul, betul,” Pek Khay-sim bergelak tertawa. “Sesungguhnya kau memang tidak perlu takut. Ilmu silat Yan Lam-thian pada hakikatnya tidak berharga seperser pun, sekali bergebrak dengan Ih-hoa-kiongcu, kepalanya pasti akan pamit dengan tuannya.”
Im Kiu-yu menyeringai, katanya, “Meski ilmu silat Yan Lam-thian cukup hebat, tapi Ih-hoa-kiongcu...”
“Kalian cuma tahu ilmu silat Yan Lam-thian sudah telantar sekian tahun, tapi kau lupa bahwa mungkin sekali selama ini dia telah berhasil meyakinkan semacam Kungfu lain yang mahalihai,” sela Pek Khay-sim, “Kalau tidak masakan dia berani mencari Ih-hoa-kiongcu dan menantangnya bertanding? Memangnya dia sudah bosan hidup?”
Im Kiu-yu melengak, air mukanya tambah pucat.
“Apalagi,” demikian Pek Khay-sim menyambung pula, “Sudah beberapa hari Ih-hoa-kiongcu kelaparan terkurung di dalam gua sana, betapa pun lihainya juga takkan tahan oleh siksaan fisik ini. Seumpama sekarang dia sudah makan sesuatu, tapi ilmu silatnya akan terpengaruh banyak, jika mereka berani bergebrak dengan Yan Lam-thian pada saat demikian...” Dia menggoyang kepala dan menghela napas gegetun, lalu menyambung, “Hm, kukira dia lebih banyak celaka dari pada selamatnya.”
Setelah tercengang sejenak, kemudian Im Kiu-yu berkata, “Apa alangannya seumpama Yan Lam-thian tidak mati? Aku memang bukan tandingannya, tapi apakah aku tak dapat bersembunyi?”
“Bila Yan Lam-thian hendak mencari perkara kepada seorang, belum pernah kudengar sasarannya bisa kabur,” ujar Pek Khay-sim. “Apalagi, orang yang sudah berumur lebih setengah abad, jika hidupnya senantiasa kebat-kebit dan main sembunyi ke sana-sini, lalu apa artinya hidup ini baginya? Kan kasihan?”
Lama-lama Im Kiu-yu jadi gegetun, dampratnya dengan mendongkol, “Apa maksudmu sebenarnya bicara hal-hal ini padaku?”
“Aku pun tiada maksud apa-apa, aku cuma ingin membantumu agar Yan Lam-thian tidak lagi mencari kau,” kata Pek Khay-sim dengan tenang.
“Kau ingin membantuku? Kau punya akal?” tanya Im Kiu-yu, jadi tertarik.
“Jika aku tidak punya akal tentu takkan kucari kau,” jawab Pek Khay-sim.
Serentak Im Kiu-yu menarik bangun Pek Khay-sim yang masih berpelukan dengan Pek-hujin itu dan berseru, “Keparat, lekas katakan apa akalmu?”
Pek Kay-sim tidak lantas menjawab, ia sengaja memejamkan mata untuk mengumpulkan tenaga, sejenak kemudian barulah ia berkata, “Setahuku, yang menyerang Yan Lam-thian di Ok-jin-kok dahulu bukanlah kau.”
“Betul,” cepat Im Kiu-yu berseru. “Li Toa-jui yang mengatur perangkap. To Kiau-kiau yang menyamar sebagai orang mati...”
“Itu dia,” Pek Khay-sim bertepuk gembira. “Hanya mereka berdua itulah biang keladinya, asalkan Yan Lam-thian melihat mereka berdua sudah mampus, rasa dendamnya akan lenyap sebagian besar dan tentu takkan ngotot menuntut balas lagi pada orang lain.”
Gemerdep sinar mata Im Kiu-yu, katanya, “Jadi maksudmu agar aku membinasakan mereka berdua?”
“Kau sendiri tentu kurang kuat, jika ditambah kami suami-istri, lalu pakai lagi sedikit akal, mustahil kepala mereka takkan terpenggal dengan mudah?”
Im Kiu-yu berpikir sejenak, jengeknya kemudian, “Kukira kalian hanya ingin melampiaskan dendam kalian sendiri.”
“Memang betul,” jawab Pek Khay-sim. “Jika bukan untuk melampiaskan dendam sendiri, untuk apa mesti kusuruh kau membantuku? Aku kan bukan bapakmu?”
Im Kiu-yu tidak marah, sebaliknya malah tertawa, katanya, “Kulihat mereka memang sudah hidup cukup lama, bila lebih cepat bikin tamat riwayat mereka, rasanya juga tiada jeleknya.”
“Kau keparat, akhirnya kau paham juga maksudku, tampaknya aku memang tidak keliru mencari sekutu,” kata Pek Khay-sim dengan girang.
“Kau dirodok, tampaknya matamu memang tidak buta,” Im Kiu-yu balas mengumpat dengan tertawa.
Tapi mendadak Pek Khay-sim menarik muka pula, katanya sambil menghela napas, “Cuma, bila sekarang kita turun tangan, walau pun Ha-ha-ji mungkin tidak ikut campur, tapi Toh-lotoa pasti tidak berkenan di hati, bila dia ikut campur, maka urusan ini bisa sulit.”
Sinar mata Im-Kiu-yu gemerdep, katanya, “Memangnya kau dirodok, kau pun hendak mengerjai Toh-lotoa sekalian?”
“Hehehe, ini namanya kalau sudah mau berbuat janganlah kepalang tanggung,” kata Pek Khay-sim dengan terkekeh-kekeh.
“Tapi kalau cuma tenaga kita bertiga harus melawan mereka bertiga, rasanya akan seperti daging disodorkan ke mulut harimau, pasti akan dimakan mereka,” jengek Im Kiu-yu.
“Ai, kau keparat ini sungguh bodoh, sama sekali tidak paham ilmu siasat,” kata Pek Khay-sim.
Im Kiu-yu termenung sejenak, segera matanya terbeliak pula, ucapnya, “Apakah maksudmu...”
“Pada waktu musuh tidak siap siaga, serang titik kelemahannya, habis itu baru tumpas satu per satu,” kata Im Kiu-yu.
“Tapi... tapi mana ada titik kelemahan Toh-lotoa?” ujar Im Kiu-yu
“Kelemahannya terletak pada kecongkakannya,” kata Pek Khay-sim. “Dia sok gagah, anggap dirinya paling top, maka jalan paling baik adalah menghadapi dia dengan perempuan, sebab dia selalu menganggap perempuan adalah kaum lemah.”
Mendadak Pek-hujin tertawa, katanya, “Hihi, lelaki yang menganggap perempuan adalah kaum lemah, dia sendiri pasti akan konyol.”
********************
Dalam pada itu, Ha-ha-ji, To Kiau-kiau, Toh Sat dan Li Toa-jui telah berhenti di depan sana, mereka merasa lereng gunung ini sangat sunyi dan sejuk, boleh dibuat tempat istirahat.
Mereka tahu, selanjutnya mereka akan mulai buron lagi tanpa ada habis-habisnya, mereka pun tahu untuk buron jangka panjang diperlukan perencanaan yang matang.
Akan tetapi sekarang mereka sama sekali tidak mempunyai sesuatu gagasan apa pun.
Tiba-tiba To Kiau-kiau berkata, “Apakah kalian kira Yan Lam-thian akan mati di tangan Ih-hoa-kiongcu?”
“Kukira dia memang lebih banyak celaka dari pada selamatnya,” ujar Li Toa-jui.
“Kukira belum tentu,” tukas Toh Sat. “Ilmu silat Yan Lam-thian cukup jelas bagiku,” ia pandang tangannya yang buntung, sorot matanya menampilkan rasa rawan dan pedih.
“Kalau Yan Lam-thian tidak mati, tentu dia takkan melepaskan kita,” kata Kiau-kiau pula. “Lalu ke manakah kita akan lari? Memangnya kita akan kembali lagi ke Ok-jin-kok?”
Mereka sama tahu Ok-jin-kok memang suatu tempat sembunyi yang baik, tapi hanya bagi orang lain, bagi Yan Lam-thian, Ok-jin-kok sudah tiada artinya lagi. Tapi selain Ok-jin-kok memangnya mau ke mana lagi mereka?
Seketika anggota Cap-toa-ok-jin yang biasanya suka omong menjadi bungkam semua.
Entah sudah berapa lama, Li Toa-jui berkerut kening dan mengomel, “Keparat, bocah she Pek yang suka merugikan orang lain itu entah kabur ke mana? Jangan-jangan sedang merancang akal busuk untuk membuat susah orang lain?”
“Kukira dia tidak berani,” kata Toh Sat.
Selagi Kiau-kiau hendak bicara, tiba-tiba tertampak Pek-hujin berlari datang dengan langkah terhuyung, air mata tampak meleleh di kedua pipinya, ia memandang sekeliling dengan cemas, habis itu dia mendekati Toh Sat dan berlutut sambil meratap “O, Toh-toako, tol... tolong, sudilah engkau... menolong diriku.”
“Menolong engkau?” tanya Toh Sat. “Ada urusan apa?”
Dengan menangis Pek-hujin menjawab, “Kami baru kawin satu hari, tetapi dia sudah... sudah tidak menghendaki diriku lagi, bahkan aku akan dibunuhnya. O, Toh-toako, diriku sudah sebatang kara, tidak punya sanak, tidak punya kadang, hanya Toh-toako saja yang dapat kumintai bantuan, sudilah engkau menolong diriku. Kutahu selamanya Toh-toako suka membela keadilan.”
Toh Sat benar-benar menjadi gusar, serunya, “Keparat, kalau dia sudah kawin denganmu mana boleh bertindak kasar padamu.”
Segera Li Toa-jui menyambung, “Benar, seumpama dia tidak suka lagi padamu, kan dapat menceraikan dirimu, mana boleh main bunuh segala. Memang sudah sejak dulu kutahu bocah she Pek itu tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik).”
Sekonyong-konyong Toh Sat berdiri, serunya dengan bengis, “Di mana keparat itu? Coba bawaku ke sana, akan kulihat apakah dia berani mengganggu seujung jarimu atau tidak?”
Sambil mengusap air mata dan ingusnya, Pek-hujin berkata, “Kutahu hanya Toh-toako saja seorang ksatria sejati dan tidak nanti membiarkan seorang perempuan lemah dibuat susah orang.”
Habis berkata, ia meronta-ronta bangun, berdiri saja tampaknya hampir tidak kuat.
“Apakah dia telah melukaimu?” tanya Toh Sat.
Pek-hujin menghela napas, jawabnya dengan sedih, “Dia telah menghajarku hingga babak belur, coba Toh-toako melihat sendiri.” Mendadak ia membuka baju sehingga kelihatan tubuhnya yang montok, lalu menyambung pula, “Kutahu hanya Toh-toako saja yang adil, pasti takkan...”
“Sudahlah, lekas benarkan bajumu, akan kubantu...” Belum habis ucapan Toh Sat, sekonyong-konyong sebilah belati menancap di dadanya.
Keruan kejut Toh Sat tak terkatakan, ia meraung keras, tangannya yang buntung dan berkait tajam itu terus terayun ke depan.
Tapi sekali berhasil menikam sasarannya, segera pula Pek-hujin melompat mundur, ia merasa kaitan baja Toh Sat menyerempet lewat buah dadanya dan hampir saja terkait, ia terkesiap hingga muka pucat.
Kejadian ini berlangsung mendadak dan terlalu cepat, sama sekali Ha-ha-ji, Li Toa-jui dan To Kiau-kiau tidak menduga perempuan histeris ini bernyali sebesar ini dan berani turun tangan keji terhadap Toh Sat.
Tertampaklah Toh Sat telah mencabut belati yang menancap di dadanya itu, seketika darah segar menyembur seperti pancuran air. Ia bermaksud menubruk maju, akan tetapi tenaga sudah ikut terembes keluar bersama pancuran darah itu. Kedua tangannya yang pernah membunuh orang dalam jumlah sukar dihitung itu kini telah berlepotan darah pula. Tapi sekali ini darah itu adalah darahnya sendiri.
Li Toa-jui dan To Kiau-kiau memburu maju hendak menolongnya, namun Toh Sat telah mengebaskan tangannya, ucapnya dengan menyesal sambil menengadah, “Selama hidup orang she Toh gagah perkasa, tak tersangka sekarang harus mati di tangan perempuan hina dina yang tidak tahu malu ini.”
“Jangan khawatir, Toh-lotoa,” seru To Kiau-kiau dengan gemas. “Dia pun takkan hidup!”
“Ba... bagus...” kata Toh Sat dengan terputus-putus, mendadak ia tersenyum pedih dan menyambung pula, “jika tahu akan jadi begini, lebih baik kita mati di tangan Yan Lam-thian saja, betapa pun dia kan seorang ksatria sejati...” Sampai di sini, ia tidak kuat lagi, ‘brek’, orang yang menganggap dirinya gagah perkasa ini telah ambruk dan tidak bangun lagi untuk selamanya.
Pek-hujin seperti ketakutan dan baru sekarang ingat akan lari, ia menjatuhkan diri terus menggelinding ke sana, lalu melompat bangun dan hendak kabur.
“Mau kabur ke mana?” bentak Li Toa-jui dengan bengis.
“Dia takkan dapat kabur!” terdengar seorang menanggapi dengan suara seram.
Seperti arwah gentayangan saja mendadak Im Kiu-yu muncul dari balik batu sana mengadang di depan Pek-hujin. Tanpa bicara, segera Pek-hujin menyerang beberapa kali. Tapi cuma sekali gebrak saja, sekali meraih dapatlah Im Kiu-yu memegang pergelangan tangan Pek-hujin.
“Hehehe, kalau hari ini kau dapat kabur begitu saja, lalu ke mana lagi nama Cap-toa-ok-jin kami akan ditaruh?” kata Im Kiu-yu dengan terkekeh-kekeh.
Pek-hujin menggereget, katanya, “Aku sudah kenyang disiksa oleh kawanan Ok-jin kalian ini, kau bunuh saja diriku, betapa pun dendamku sudah terlampias sebagian.”
“Bunuh kau?” tukas Im Kiu-yu, “hehe, masa begitu mudah?” Lalu dia berpaling dan berkata kepada Li Toa-jui. “Konon daging manusia yang lezat harus langsung dikupas dari tubuh orang hidup, biarlah kuhadiahkan masakan ini untukmu.”
Li Toa-jui menyeringai, ucapnya, “Aku bukan orang she Li jika tidak kusayat seribu tiga ratus lima puluh kali dagingnya, lalu kubinasakan dia.”
Mendadak Pek-hujin bergelak tertawa histeris, teriaknya, “Hahaha, kukira kau hendak menuntut balas bagi Toh-lotoa, tak tahunya kau cuma ingin makan dagingku saja. Baiklah, majulah kemari, anak yang baik, silakan menetek saja susu biangmu ini, jika biangmu mengernyitkan kening, anggaplah aku yang melahirkan kau.”
“Hm, mustahil perempuan bejat ini mempunyai nyali sebesar ini untuk turun tangan keji pada Toh-lotoa, pasti Pek Khay-sim yang mendalangi dia,” jengek Kiau-kiau mendadak.
“Hehe, masakan ibumu ini perlu didalangi orang?” jengek Pek-hujin dengan tertawa. “Terus terang kukatakan, si bangsat keparat Pek Khay-sim itu pun sudah mampus di atas tubuhku, mayatnya sedang menantikan kalian untuk menguburnya.”
Sinar mata To Kiau-kiau gemerdap, ucapnya tiba-tiba, “Sementara jangan kalian bunuh dia, akan kujenguk dulu ke sana.”
“Jangan khawatir, kujamin dalam tiga hari tiga malam dia tidak akan mampus,” ujar Li Toa-jui sambil menyeringai seram. Dia jemput belati yang berlepotan darah Toh Sat itu dan selangkah demi selangkah mendekati Pek-hujin yang terpegang oleh Im Kiu-yu itu.
Ha-ha-ji memandang Li Toa-jui sekejap, lalu memandang pula To Kiau-kiau yang sudah berada jauh di sana, ia tertawa lalu berkata, “Entah bagaimana jadinya wajah Pek Khay-sim yang sudah mampus itu, biarlah aku pun menjenguk dia.”
Habis berkata ia terus mendekati Pek-hujin. Tapi belum lagi sampai di depannya, mendadak Pek-hujin berteriak, “Im Kiu-yu, setan alas kau! Jika kau masih berbau manusia, boleh kau bunuh diriku saja, jangan sampai aku disiksa oleh binatang pemakan manusia ini, nanti jadi setan pun aku akan berterima kasih padamu.”
“Aku setan alas? Manusia? Hehehe, hakikatnya aku cuma setengah setan setengah manusia!” Demikian Im Kiu-yu terkekeh-kekeh.
Li Toa-jui bergelak tertawa, katanya, “Kiranya kau pun kenal takut. Baiklah mengingat Pek Khay-sim juga kau bunuh, maka akan kukurangi seratus kali sayatan dan tidak boleh ditawar lagi, satu kali pun tidak boleh kurang.”
Dengan suara parau Pek-hujin berteriak, “Kau... kau binatang, kau...”
Mendadak Li Toa-jui melompat maju, jengeknya dengan menyeringai, “Hm, tadinya aku bingung sayatan pertama harus kumulai dari bagian mana, baru sekarang kutahu harus kupotong dulu lidahmu agar perempuan judes seperti dirimu ini tak bisa omong lagi.” Sembari bicara, segera pula ia angkat belatinya hendak memotong lidah Pek-hujin.
Siapa tahu, pada saat itu juga, sekonyong-konyong Im Kiu-yu melepaskan Pek-hujin, dari kanan-kiri kedua orang itu terus mengerubutnya.
Belum lagi Li Toa-jui menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu rusuk kiri sudah kena dihantam sekali oleh Pek-hujin, berbareng rusuk kanan juga kena di tonjok Im Kiu-yu, kontan darah segar tersembur dari mulutnya dan jatuh tersungkur.
“Hihihi, kan sudah kukatakan pasti tiada kesulitan apa-apa, coba lihat sekarang kan lebih mudah dari pada makan kacang goreng?” ujar Pek-hujin dengan tertawa nyekikik.
“Hehe, semula kukira hatiku paling berbisa dari pada hati siapa pun, baru sekarang kutahu hati yang paling berbisa adalah tetap hati perempuan,” kata Im Kiu-yu sambil tertawa ngekek.
“Semua ini kan berkat perhitunganmu yang cermat,” kata Pek-hujin dengan senyum genit. “Menurut pendapatku, biarlah mereka semua ini bergabung menjadi satu juga tidak dapat membandingkan satu jarimu.”
“Hehe, apakah kau hendak memikat diriku? Kukira kau telah salah sasaran, selamanya tuan Im tidak suka hal-hal begini,” kata Im Kiu-yu dengan terkekeh. “Ayolah, lekas angkat serigala mulut besar ini dan ikutlah pergi bersamaku.”
“O, apa dayaku kalau kasih hanya bertepuk sebelah tangan, tak tersangka hati kakanda sekeras baja, terpaksa kusesali nasibku sendiri,” ucap Pek-hujin dengan rawan.
Dia bicara seperti sedang main sandiwara di atas panggung, tapi Im Kiu-yu menjadi senang. Maklum, selama hidupnya memang tidak ada seorang perempuan yang pernah menunjuk cinta padanya. Jika seorang lelaki pada hakikatnya tidak tahu bagaimana rasanya berhubungan antara lelaki dan perempuan, maka kata-kata perempuan yang semakin genit akan semakin menyenangkan dia.
Begitulah dengan menggigit bibir dan lesu Pek-hujin mendekati Li Toa-jui.
Li Toa-jui ternyata belum mati, dia sedang merintih dan berkata, “Akan... akan kau bawa ke mana diriku? Meng... mengapa tidak... tidak kau bunuh saja aku?”
“Kau bilang akan sayat tubuhku ini seribu tiga ratus lima puluh kali, mana aku tega membunuhmu sekarang juga?” ucap Pek-hujin dengan suara halus.
Lalu dia setengah berjongkok, bibirnya tampak bergerak-gerak entah apa yang diucapkannya di telinga Li Toa-jui. Yang jelas mendadak mata Li Toa-jui mencorong terang.
Saat itu Im Kiu-yu sedang mondar-mandir dengan bertolak pinggang, tiba-tiba ia merasa dirinya telah bertambah ganteng, sungguh ia ingin mencari sebuah cermin untuk melihat wajah sendiri apakah memang sudah bertambah cakap.
Tak terduga, mendadak Pek-hujin mengangkat tubuh Li Toa-jui terus ditolak ke depan, seketika tubuh Li Toa-jui melayang ke atas terus menubruk ke arah Im Kiu-yu, kontan rambut Im Kiu-yu terjambak sehingga keduanya jatuh terguling.
Mimpi pun Im Kiu-yu tidak menyangka Li Toa-jui masih bisa bertindak demikian, keruan ia terkejut, segera ia bermaksud memukul untuk membuat Li Toa-jui terpental, tapi sudah terlambat, tahu-tahu Kiat-hay-hiat di pinggangnya tertusuk jarum perak Pek-hujin, seketika tubuhnya kaku kesemutan dan bisa bergerak lagi.
Dengan menyeringai Li Toa-jui berucap dengan terengah-engah, “Jika kau tahu hati perempuan paling berbisa, mengapa kau masih percaya kepada kata-kata perempuan? Kau mencelakai diriku, memangnya apa manfaatnya bagimu?”
Terdengar suara ‘krak-kruk’ di tenggorokan Im Kiu-yu, satu kata pun tak dapat diucapkannya. Maklumlah, tulang lehernya telah diremas patah oleh Li Toa-jui. Maka kini dia telah menjadi setan seluruhnya dan tidak setengah-setengah lagi.
Memandangi kedua tangan sendiri yang berlepotan darah itu, Li Toa-jui bergelak tertawa seperti orang gila.
“Li-toaya, sudah kubantu membalas sakit hatimu, sekarang cara bagaimana kau harus berterima kasih padaku?” kata Pek-hujin dengan tersenyum kenes.
Suara tertawa Li Toa-jui berhenti perlahan-lahan, dengan napas tersengal ia menjawab, “Sesungguhnya apa kehendakmu?”
“Sudahlah, apakah kau berterima kasih atau tidak padaku, yang pasti aku tetap akan membantumu,” kata Pek-hujin pula dengan suara lembut.
“O, jangan, kumohon jangan, jangan lagi engkau membantuku, aku tidak sanggup menerima lagi,” kata Li Toa-jui.
“Tapi bantuan ini mau tak mau harus kuberikan,” ujar Pek-hujin dengan tertawa, “Kalian Cap-toa-ok-jin sedemikian baik padaku, mana boleh aku tidak membalas kebaikan kalian ini secara setimpal?”
Dia bicara dengan tersenyum, mendadak sebelah kakinya melayang, kontan Li Toa-jui ditendangnya hingga jatuh kelengar.
Di sebelah sana Pek Khay-sim memang benar sudah mati, mati tergantung di atas pohon.
Waktu hidupnya tampaknya memang tidak terbilang cakap, sesudah mati tentu saja tambah jelek, matanya mendelik persis tikus yang dijemur.
To Kiau-kiau menghela napas menyesal, gumamnya, “Memang sudah kuduga orang ini pasti tidak bakal mati dengan baik-baik, tapi tak tersangka dia akan mati secara begini mengenaskan. Kita telah membantu merebut bini si harimau she Pek itu, jadinya malah telah membantu si harimau itu.”
Sembari menggerutu, tahu-tahu ia pun sudah sampai di bawah pohon tempat Pek Khay-sim digantung dengan terjungkir itu.
Mendadak didengarnya Ha-ha-ji berseru di belakangnya, “Awas, hati-hati, bukan mustahil jahanam itu cuma pura-pura mati saja.”
Mendingan kalau dia tidak bersuara, lantaran seruannya itu, dengan sendirinya To Kiau-kiau lantas menoleh. Karena sedikit meleng inilah, tahu-tahu kedua tangan Pek Khay-sim telah mencekik lehernya.
Ha-ha-ji terkesiap dan melenggong seperti patung di tempatnya, rasanya selangkah saja tidak sanggup berjalan lagi.
Terdengar Pek Khay-sim sedang menjengek, “Hm, To Kiau-kiau, sebenarnya aku pun tidak dendam apa-apa padamu, juga tiada niatku hendak membunuhmu, semua ini adalah gagasan Im-lokiu. Bila kau telah menjadi setan, sebaiknya kau menagih jiwa padanya dan janganlah mencari diriku.”
To Kiau-kiau tampak melotot karena lehernya tercekik, sama sekali ia tak dapat bersuara, bahkan mendengar saja tidak bisa lagi.
Pek Khay-sim lantas melompat turun, katanya dengan tertawa sambil memandang Ha-ha-ji, “Coba, caraku menyamar sebagai orang mati kan tidak kalah dibandingkan To Kiau-kiau, bukan? Selama hidup si banci paling mahir pura-pura mati untuk menjebak orang, tak tersangka akhirnya ia sendiri pun mampus di tangan orang yang pura-pura mati.”
Ha-ha-ji menghela napas gegetun, gumamnya, “Dunia berputar terus, segala sesuatu balas membalas, pada penitisanku yang akan datang, tak berani lagi aku berbuat jahat.”
Pek Khay-sim bergelak tertawa, katanya, “Apakah kau hendak kembali ke jalan yang baik, Ha-ha-ji? Padahal Cap-toa-ok-jin sekarang tinggal tersisa beberapa orang lagi dan memerlukan tenagamu untuk perkembangan selanjutnya, sebab bobotmu seorang cukup menandingi tiga orang lain.”
Ha-ha-ji seperti kegirangan, cepat ia tanya dengan suara agak gemetar, “Jadi... jadi engkau sudi mengampuni diriku?”
“Bisa jadi,” jawab Pek Khay-sim sambil mendongak angkuh. “Cuma aku perlu mengingat, menimbang untuk kemudian baru memutuskan.”
“Sudahlah, kumohon dengan sangat, janganlah pakai menimbang lagi,” pinta Ha-ha-ji dengan wajah memelas. “Asalkan engkau sudi mengampuni diriku, maka engkau adalah ayah bundaku, selanjutnya akan kuturut segala perintahmu, engkau memerintahkan aku ke timur pasti aku takkan ke barat, engkau suruh aku merangkak, pasti aku tidak berani berdiri.”
“Hihi, bagus, jika begitu. Coba sekarang kau merangkak satu putaran dulu,” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.
Tanpa bicara lagi Ha-ha-ji terus menjatuhkan diri ke bawah dan mulai merangkak kian kemari.
“Hahaha,” Pek Khay-sim bertepuk tertawa senang. “Marilah kemari, lihatlah ada tontonan menarik, di sini ada seekor kura-kura lagi merangkak.”
Sambil merangkak malahan Ha-ha-ji sembari cengar-cengir dan berseru, “Kura-kura gemuk, suka merangkak, Tuan Pek tertawa hahaha, nyonya Pek memburu tiba juga tertawa...”
Benar juga, Pek-hujin telah menyusul tiba dengan menyeret Li Toa-jui, ia pun tertawa gembira.
Pek Khay-sim memicingkan mata kepada perempuan itu, katanya, “Apakah semuanya sudah beres?”
“Tentu saja sudah,” jawab Pek-hujin dengan genit. “Betapa pun liciknya mereka juga takkan lolos dari tanganku.”
“Dan mana Im-lokiu?” tanya Pek Khay-sim.
“Untuk apa menyisakan dia, sudah kubereskan sekalian,” jawab Pek-hujin. “Bila dia dibiarkan hidup, jangan-jangan nanti kalau kita lagi ‘main’, lalu dia ingin menonton di samping, kan bikin runyam saja.”
“Kau keparat, memang betul juga ucapanmu,” seru Pek Khay-sim dengan tertawa. “Kalau kelinci sudah mati semua, untuk apa piara anjing?”
Pek-hujin lantas lemparkan Li Toa-jui, katanya, “Hanya sisa serigala ini, kutahu kau merasa berat bila dia mati begitu saja.”
Pek Khay-sim terus melompat maju, Pek-hujin dirangkulnya dengan mesra, ucapnya, “O, jantung hatiku, mestikaku, kau memang seperti cacing pita dalam perutku, segala isi hatiku dapat kau ketahui seluruhnya.”
Pek-hujin tertawa nyekikik, katanya, “Dan bagaimana dengan kura-kura gemuk ini?”
“Kukira setiap saat jiwanya dapat kita habiskan bila mana kita mau, maka sekarang tidak perlu terburu-buru membunuhnya,” kata Pek Khay-sim. “Biarkan saja, kalau hatiku lagi kesal, akan kupermainkan dia seperti kura-kura sebagai pelipur lara.”
“Lalu bagaimana dengan serigala mulut besar ini? Akan kau bereskan dengan cara bagaimana?” tanya Pek-hujin pula.
Pek Khay-sim berkedip-kedip, katanya, “Ah, jangan-jangan kau ada gagasan baru lagi?”
“Kau tahu,” jawab Pek-hujin dengan tertawa, “Segala macam daging sudah pernah dimakannya, sampai-sampai daging istrinya juga dimakannya. Hanya ada semacam daging manusia yang belum pernah dia makan, kalau dia mati begini saja kan bisa menyesal di neraka? Maka aku harus membantu dia memenuhi seleranya yang terakhir ini.”
“O, daging manusia macam apa yang belum pernah dia makan?” tanya Pek Khay-sim.
“Daging orang yang suka makan orang,” jawab Pek-hujin.
Terbeliak mata Pek Khay-sim, “O, maksudmu menyuruh dia makan dagingnya sendiri?”
“Coba katakan, gagasan ini bagus tidak?” tanya Pek-hujin sambil terkikik-kikik.
Kembali Pek Khay-sim merangkulnya dengan mesra, serunya sambil bergelak tertawa, “O, jantung hatiku, mestikaku tercinta, betapa bahagianya kau menjadi istriku.”
Di tengah gelak tertawanya itu, mendadak terdengar suara “krek”, sekonyong-konyong Pek-hujin menjerit ngeri, tubuhnya lantas roboh terkulai seperti tak bertulang lagi. Kepalanya juga terkulai ke bawah. Bergelantung ke depan dada, tapi matanya tampak melotot sebesar gundu, dengan sorot mata penuh rasa kejut dan takut ia berkata, “Kau... kau...”
Namun leher yang sudah patah mana bisa bersuara lagi, biar pun banyak kata-kata caci-maki yang paling keji hendak dilontarkannya, namun yang keluar dari mulutnya hanya suara mendesis-desis saja, keadaannya sungguh mengerikan.....