“Berbuat... berbuat sesuatu urusan apa?” tanya Siau-sian-li.
“Tatkala itu dia tidak bilang, kemudian waktu dia katakan kepada Koh-kongcu juga tidak kudengar,” jawab Siau Man.
“Ai, dasar kau ini memang tidak becus, segala apa tidak tahu melulu,” omel Siau-sian-li.
“Padahal cukup banyak juga yang diketahuinya,” ujar si nenek Siau dengan tertawa.
“Betul,” sela Han-wan Sam-kong. “Lekas kau jelaskan sesungguhnya satu kalimat apa yang diucapkan Siau-hi-ji sehingga Ih-hoa-kiongcu benar-benar batal bergebrak dengan Yan Lam-thian.”
“Tuan muda Siau-hi-ji itu tidak langsung bicara kepada Ih-hoa-kiongcu yang siap bergebrak dengan Yan-tayhiap, tapi dia bergurau kepada Ih-hoa-kiongcu satunya yang lebih muda, katanya, ‘Sungguh sayang seribu sayang, apa bila nanti aku bergebrak dengan Hoa Bu-koat, mungkin kalian kakak beradik tidak dapat menyaksikannya lagi.’.”
“Setelah mengucapkan kata-kata itu, apakah benar-benar Ih-hoa-kiongcu tidak jadi bergebrak dengan Yan Lam-thian?” tanya si nenek Siau.
“Ya, seketika mereka batal bertanding,” jawab Siau Man “Aku pun sangat heran, entah bagaimana bisa jadi begitu?”
Si nenek Siau menjadi heran juga, ucapnya, “Aneh, mengapa Ih-hoa-kiongcu berkeras ingin menyaksikan pertarungan Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat? Memangnya pertarungan ini akan jauh lebih menarik dari pada pertarungannya melawan Yan Lam-thian?”
Ji Cu-geh kelihatan termenung, katanya kemudian, “Entah Kungfu lihai apa yang telah berhasil diyakinkan Yan Lam-thian sehingga dapat membatalkan niat Ih-hoa-kiongcu bertanding dengan dia?”
“Bukan Yan-tayhiap yang membuatnya batal bertanding, tapi kata-kata tuan Siau-hi-ji tadi,” tukas Siau Man.
“Budak bodoh, jangan banyak omong,” omel Buyung San, sudah tentu ia tahu apa artinya ucapan Ji Cu-geh.
Dengan tersenyum si nenek Siau lantas berkata pula, “Memang, kalau Ih-hoa-kiongcu ada harapan untuk menang, habis bertanding kan masih dapat menyaksikan pertarungan antara Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji, jika demikian halnya tentu dia tidak perlu batal bertanding dengan Yan Lam-thian, betul tidak?”
Siau Man berpikir sejenak, segera ia berkata dengan tersipu-sipu, “Ya, ya betul, sungguh bodoh aku ini.”
Maklumlah, bahwa mendadak Ih-hoa-kiongcu mau membatalkan niatnya bergebrak dengan Yan Lam-thian setelah mendengar ucapan Siau-hi-ji itu, jelas disebabkan ketika, berhadapan dengan Yan Lam-thian telah diketahui bahwa pendekar besar itu memiliki Kungfu yang sukar diukur, kemenangan baginya jelas sangat tipis.
Yang senantiasa dipikir Han-wan Sam-kong hanya Siau-hi-ji saja, urusan lain pada hakikatnya tak dipusingkannya. Segera ia tanya dengan suara keras, “Dan sekarang ke mana perginya tuan muda Siau-hi-ji?”
“Yan-tayhiap sudah berjanji dengan Ih-hoa-kiongcu untuk bertemu setiap pagi di atas puncak pada waktu sang surya belum terbit, pertemuan ini akan terus berlangsung hingga Ih-hoa-kiongcu menemukan Hoa-siauya itu, dan kemudian Yan-tayhiap akan pergi dengan membawa tuan muda Siau-hi-ji,” demikian tutur Siau Man.
“Lalu ke mana Ih-hoa-kiongcu?” tanya Han-wan Sam-kong.
“Dengan sendirinya pergi mencari Hoa-siauya, bisa jadi mereka akan segera pulang ke sini,” jawab Siau Man, “Sebab Koh-siauya telah memberitahukan pada mereka bahwa Hoa-siauya pergi bersama dengan tuan-tuan dan nyonya-nyonya.”
Yang dipikirkan Siau-sian-li kini hanya Koh Jin-giok saja, segera ia pun bertanya, “Dan ke mana perginya Koh-siauya!”
“Koh-siauya kalah bertaruh dan kini sedang melakukan pekerjaan yang diberikan oleh tuan Siau-hi-ji,” tutur Siau Man.
“Sialan, masa si pengacau itu bisa menyuruhnya berbuat sesuatu yang baik? Mengapa dia mau menurut dan pergi begitu saja?” omel Siau-sian-li, ia menjadi cemas dan hampir-hampir saja menangis.
Sejak tadi Buyung San memandangi tingkah laku Siau-sian-li, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Adikku yang baik, selamat ya padamu.”
“Orang gelisah setengah mati, kau memberi selamat urusan apa?” gerutu Siau-sian-li.
“Koh-siaumoay kan bukan sanak keluargamu, mengapa kau cemas baginya?” ujar Buyung San dengan tertawa.
Kembali Siau-sian-li mengomel, “Dia kan punya nama, mengapa kalian suka memanggil dia Koh-siaumoay?”
Buyung San mengikik tertawa, jawabnya, “Sebutan Koh-siaumoay kan kau sendiri yang memberinya, sekarang malah kau larang orang lain memanggilnya demikian, sungguh aku menjadi heran apa sebabnya? Aha, baru satu hari tidak bertemu agaknya hubungan kalian sudah lain dari pada biasanya.”
Siau-sian-li menunduk, mukanya merah jengah, katanya, “Kami... kami...”
Buyung San mencolek pipi Siau-sian-li sambil mengomel, “Masa kau hendak mengelabui kami, budak setan. Arak bahagiamu ini harus kau sediakan.”
Mendadak Buyung Siang menyela, “He, kan tiada perkelahian lagi, untuk apa kalian berkerumun di sini? Memangnya di sini mendadak tumbuh setangkai bunga?”
“Kalau tanah tumbuh bunga kan biasa, jika tumbuh bakpau, inilah yang aneh,” ujar Siau Man dengan tertawa.
“Bakpau apa katamu?” Buyung Siang melengak juga. Waktu ia berpaling ke sana, dilihatnya di tanah datar sana ternyata ada segundukan tanah sehingga dipandang dari jauh seperti sepotong bakpau tanah.
“Budak bodoh, memangnya apanya yang menarik dan membuatmu heran?” ujar Buyung Siang dengan tertawa.
“Nyonya tidak tahu, apa yang terjadi di situ justru sangat aneh, benar aneh,” tutur Siau Man. Mendadak ia lari ke atas gundukan tanah itu, lalu berkata pula, “Di sinilah tadi Ih-hoa-kiongcu berdiri. Waktu dia berdiri di sini, tempat ini sebenarnya datar seperti tempat lain. Akan tetapi belum seberapa lama dia berdiri di sini, lambat-laun tanah tempat dia berinjak ini lantas mulai menyembul, seperti bekerjanya ragi pada tepung gandum yang mulai melar.”
Semua orang merasa geli dan juga terheran-heran oleh cerita Siau Man ini. Malahan Ji Cu-geh, Ni Cap-pek dan lain-lain segera memburu ke sana untuk memeriksa bakpau tanah yang menyembul itu, bahkan cara memeriksa mereka sedemikian teliti dan diulangi berkali-kali seakan-akan di atas gundukan tanah itu benar-benar tumbuh bunga yang indah.
Ji Cu-geh dan lain-lain tampak terkesiap, ucap mereka beramai-ramai. “He, memang betul... Wah mana mungkin ini...? Sungguh tak tersangka benar-benar ada orang berhasil meyakinkannya.”
Serentak orang banyak lantas berkerumun ke sana, kini baru diketahui di atas gundukan tanah itu ada bekas sepasang kaki, cuma bekas tapak kaki ini tidak mendekuk ke bawah, sebaliknya menjembul ke atas.
Jika ada pertarungan dua tokoh silat kelas tinggi yang mengerahkan segenap tenaga dalamnya, sering memang kakinya akan meninggalkan bekas tapak kaki yang dalam, ini tidak perlu diherankan. Tapi bekas tapak sekarang ini muncul ke atas, inilah kejadian aneh yang jarang terlihat.
Gemerdep sinar mata Buyung San, katanya kemudian, “Jangan-jangan Ih-hoa-kiongcu telah berhasil meyakinkan semacam ilmu mahasakti?”
“Betul,” ujar Ji Cu-geh dengan gegetun, “Meski ilmu sakti yang berhasil diyakinkannya ini belum dapat dikatakan tiada bandingnya sejak dulu hingga kini, tapi paling sedikit boleh dikatakan dapat menjagoi dunia persilatan jaman ini.”
“O,” Buyung San melongo heran.
“Apakah kalian melihat kedua tapak kaki ini?” tanya Ji Cu-geh. Ia tahu semua orang tentu sudah melihatnya, maka tanpa menunggu jawaban ia sendiri lantas menyambung pula, “timbulnya bekas tapak kaki ini disebabkan waktu dia mengerahkan tenaga dalamnya bukan dipancarkan keluar, sebaliknya malah ditarik ke dalam, benda apa pun bila tersentuh olehnya akan tersedot seperti terisap oleh besi sembrani.”
“Jika demikian, jadi tenaganya takkan pernah terkuras habis, sebaliknya akan terus bertambah, makin banyak digunakan makin besar pula kekuatannya,” tukas Buyung San.
“Memang betul begitu,” kata Ji Cu-geh. “Waktu bertanding dengan orang, tenaga yang digunakannya akan semakin besar, sebaliknya pihak lawan pasti akan semakin berkurang. Sebab itulah seumpama seorang yang sama kuatnya bertanding dengan dia, pada akhirnya juga pasti akan kalah.”
“Wah, Kungfu macam apakah namanya itu?” tanya Buyung San dengan terkesiap.
“Beng-giok-kang,” sela si nenek Siau. “Hanya Beng-giok-kang yang sudah mencapai tingkatan kesembilan barulah ada gejala aneh ini, sebab pada tingkatan ini seluruh hawa murni dalam tubuhnya telah terbentuk menjadi semacam pusaran, benda apa pun kalau menyentuhnya pasti akan digulung oleh tenaga pusaran itu, sama halnya seperti seorang yang berenang mendadak bertemu dengan air pusaran.”
“Seorang yang menyentuh dia, apakah hawa murni sendiri juga akan terisap oleh pusaran tenaga murninya itu?” tanya Buyung San.
“Jika tenaga perlawanan tidak cukup kuat, tentu saja sukar menghindari hal begitu,” tutur si nenek Siau.
“Kalau begitu asalkan sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti ini, tiada tandingannya lagi di kolong langit ini?” kata Buyung San.
Seketika si nenek Siau saling pandang dengan Ni Cap-pek dan lain-lain, semuanya tampak lesu.
“Memang betul, sesungguhnya tiada tandingannya lagi dia, kedatangan kami ini jadi sia-sia belaka,” ujar Ji Cu-geh dengan menyesal.
“Bila betul dia sudah tiada tandingannya, dengan sendirinya Yan Lam-thian juga bukan tandingannya,” kata Buyung San. “Lalu apalagi yang dia khawatirkan atas lawan itu? Memangnya Yan Lam-thian juga sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti yang sama?”
“Tidak mungkin,” kata si nenek Siau. “Sebab orang yang sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti ini, hawa murni dalam tubuhnya akan terbentuk hawa pusaran dan akan punya daya serap yang keras, dua orang yang memiliki ilmu sakti yang sama ini tidak mungkin berakhir begini saja dalam pertarungan mereka.”
“Habis mengapa mereka mendadak urung bertanding?” kata Buyung San pula.
“Ini hanya ada suatu penjelasan,” ujar si nenek Siau dengan prihatin, “Yakni, karena Yan Lam-thian juga telah berhasil meyakinkan semacam ilmu sakti yang dapat menandingi Beng-giok-kang.”
“Masa di dunia ini masih ada ilmu sakti yang dapat melawan Beng-giok-kang?” tanya Buyung San.
“Ada,” jawab si nenek Siau.
“Ilmu sakti apa itu?” tanya Buyung San.
“Keh-ih-sin-kang (ilmu sakti pindah baju)?” Buyung San menegas. “Sungguh aneh nama ini.”
“Ya, sebab kalau ilmu sakti ini sudah berhasil diyakinkan dengan baik, maka hawa murni dalam tubuh akan berkobar seperti bara, bukan saja dirinya sendiri tidak dapat menggunakannya, sebaliknya siang dan malam akan tersiksa, penderitaannya sungguh sukar untuk ditahan, jalan satu-satunya agar terhindar dari siksa derita bergolaknya hawa murni yang membara itu ialah menyalurkan tenaga dalam itu kepada orang lain,” si nenek Siau menghela napas gegetun, lalu menyambung pula, “Tapi untuk bisa berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang ini sedikitnya diperlukan ketekunan berlatih selama dua puluh tahun, lalu siapakah yang rela memberikan hasil jerih payah itu kepada orang lain dengan begitu saja?”
“Sebab itulah pernah ada cerita di dunia Kangouw jaman dulu, bahwa bila kau ingin membuat susah orang lain, ajarkanlah ilmu Keh-ih-sin-kang itu padanya agar dia menderita selama hidup,” demikian Jin Cu-geh menyambung.
“Jika demikian, memang benar Yan-tayhiap telah berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang, bukankah sebelum dia berhadapan dengan Ih-hoa-kiongcu, lebih dulu dia sudah mati tersiksa oleh ilmu sakti yang diyakinkannya itu?” ujar Buyung San.
“Tapi bila Keh-ih-sin-kang itu disalurkan kepada orang kedua, orang pertama akan tamat seperti kehabisan minyak, sebaliknya orang kedua akan menerima manfaat sepenuhnya dari ilmu sakti itu,” ujar Ji Cu-geh.
“O, maksud Cianpwe, ada orang berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang, lalu menyalurkan kepada Yan-tayhiap, begitu?” tanya Buyung San.
“Tidak, sebab setelah mengalami penyaluran begitu, daya sakti Keh-ih-sin-kang juga akan banyak berkurang dan tak dapat disejajarkan lagi dengan Beng-giok-kang,” kata Ji Cu-geh.
Buyung San menjadi bingung. Ia pandang sekejap semua orang, tapi orang lain justru menunggu pertanyaannya lagi, sebab dia memang pintar bicara, cepat dan tepat pula pokok pertanyaannya, maka orang lain pun membiarkan dia bicara.
Syukurlah Ji Cu-geh lantas menyambung lagi, “Maklumlah, hanya orang yang memiliki kecerdasan yang luar biasa barulah dapat menciptakan Kungfu yang bergaya khas tersendiri. Orang yang menciptakan Keh-ih-sin-kang ini lebih-lebih harus dipuji, jika ilmu sakti ini benar-benar cuma untuk dipindahkan kepada orang lain, lalu untuk apa diciptakannya dengan susah payah?”
Semua orang merasa di balik ucapannya ini pasti ada arti lain, maka mereka hanya mendengarkan saja agar si kakek menyambung pula.
Sejenak kemudian baru Ji Bu-geh melanjutkan, “Pada umumnya orang hanya tahu Keh-ih-sin-kang tidak boleh dipelajarinya, mereka tidak tahu bahwa ilmu sakti ini tentu saja boleh dipelajari oleh siapa pun juga, hanya saja ada kuncinya bila ingin meyakinkan ilmu sakti ini dengan baik.”
Buyung San merasa ada kesempatan untuk buka suara, cepat ia bertanya, “Apa kuncinya?”
Ji Cu-geh lantas menguraikan cara meyakinkan Keh-ih-sin-kang itu, katanya “Karena ilmu ini terlalu keras sifatnya, maka bila latihan sudah mencapai enam-tujuh bagian, seluruh kekuatan latihan itu perlu dimusnahkan, habis itu mulai lagi melatihnya dari awal.”
“Cara ini seperti halnya seorang yang makan buah persik, karena ketidaktahuan, persik dimakan bulat-bulat bersama kulitnya yang keras, akibatnya mati keselek, maka orang lantas bilang buah persik tidak boleh dimakan. Orang tidak tahu bahwa persik justru sangat enak dimakan, soalnya cuma cara makannya yang salah, harus dikuliti dahulu dan baru dimakan bijinya,” kata si nenek Siau dengan tertawa.
“Sesudah mengalami gemblengan begitu,” sambung Ji Cu-geh, “bila dilatih lagi, maka ketajaman hawa murni ilmu itu akan banyak berkurang, namun tidak mengurangi daya saktinya, apalagi sudah dua kali melatihnya, dengan sendirinya orang akan lebih kenal sifat ilmu sakti yang keras ini dan dapat menggunakan dengan sepenuhnya serta sesuka hatinya.”
“Akan tetapi, untuk bisa mencapai enam-tujuh bagian ilmu sakti Keh-ih-sin-kang itu juga diperlukan ketekunan latihan lebih lama, lalu siapa yang rela membuang hasil jerih payah yang telah dikumpulkannya itu?” kata Cu-geh pula.
“Makanya kalau tidak mempunyai tekad yang bulat dan kesabaran yang penuh, tiada mungkin orang dapat meyakinkan Kungfu mahatinggi ini,” tukas si nenek Siau.
Sampai di sini barulah Kui-tong-cu menimbrung dengan menghela napas gegetun. “Semua ini membuktikan bahwa Yan Lam-thian memang benar-benar seorang yang berbakat luar biasa dan tiada bandingnya, untung kita belum sempat mencari dia untuk bertanding, kalau tidak tentu kita bisa mati konyol.”
Secara teori memang benar seperti apa yang diuraikan Ji Cu-geh tadi, mereka tidak tahu bahwa praktiknya ternyata tidak terjadi sebagaimana dugaan mereka. Sebab waktu Yan Lam-thian meyakinkan Keh-ih-sin-kang, sama sekali tiada maksud hendak memusnahkannya untuk kemudian mengulangi latihan lagi. Watak Yan Lam-thian memang keras, kepala batu. Ia menganggap apa yang tak dapat diperbuat orang lain pasti dapat dilakukannya.
Sebab itulah dia bertekad akan menguasai Keh-ih-sin-kang dengan segenap kekuatannya, siapa tahu, belum lagi Kungfunya terlatih sempurna, lebih dulu dia sudah mengalami nasib malang di Ok-jin-kok, seluruh tenaga dalamnya telah musnah.
Tapi masih mujur juga baginya, waktu itu sebenarnya To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan lain-lain bermaksud membunuhnya, tak terduga peristiwa itu malah membantunya. Sebab setelah mereka mengeroyok dan menghajarnya, ketajaman tenaga murni Keh-ih-sin-kang yang sudah mencapai enam-tujuh bagian sempurna itu telah menjadi punah, padahal ilmu sakti itu memang harus dilatih secara berulang, dimusnahkan untuk kemudian dilatih lagi, dengan demikian barulah dapat mencapai tingkatan paling sempurna tanpa menyiksa diri orang yang melatihnya.
Jadi seperti sebatang pohon, mereka telah memotongnya sampai bongkotnya, tapi tidak tahu bahwa di bawah tanah masih tersisa akarnya.
Kalau bukan begitu, sekali pun Yan Lam-thian tidak binasa, tentu juga tiada ubahnya seperti orang cacat, mana bisa lagi pulih tenaga dalamnya. Bahkan lebih lihai dari pada sebelumnya.
Begitulah Buyung San melenggong gegetun hingga sekian lamanya, kemudian ia tanya pula, “Tapi dari manakah kalian mengetahui Yan-tayhiap sudah berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang?”
“Jika kau bertempur dengan orang, asalkan seluruh tenagamu terhimpun, mungkin di tempat kau berpijak juga akan meninggalkan bekas kakimu,” kata Ji Cu-geh.
“Betul, bila berdiri di tanah seperti ini pasti akan meninggalkan bekas tapak kaki, cuma saja takkan terlalu mendekuk,” jawab Buyung San setelah berpikir.
“Tapi tempat berdiri Yan Lam-thian ternyata tidak meninggalkan bekas setitik pun, apakah ini berarti kekuatannya tidak dapat dibandingkan kau?” tanya Ji Cu-geh.
Buyung San tertawa, jawabnya, “Jika kekuatan Yan-tayhiap lebih rendah dari padaku tentu sudah dulu-dulu Ih-hoa-kiongcu membinasakan dia.”
“Memang begitulah, justru lantaran Yan Lam-thian sudah dapat menguasai tenaga dalamnya dengan sesuka hatinya, bila tidak terpakai, setitik pun takkan tersalur keluar, maka tempat berdirinya tiada meninggalkan bekas apa pun jua,” kata Ji Cu-geh.
“Dan lantaran tenaga dan badannya sudah terlebur menjadi satu, segala tenaga dari luar tidak dapat menggoyahkannya sedikit pun, maka biar pun Ih-hoa-kiongcu sudah berhasil meyakinkan Beng-giok-kang hingga puncaknya juga tak berdaya terhadap Yan Lam-thian,” sambung si nenek Siau.
Buyung San menghela napas, ucapnya, “Setelah mengikuti uraian para Cianpwe ini, baru sekarang pikiran kami benar-benar terbuka.”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Siau Man berseru di sana, “Koh-siauya, lekas engkau masuk kemari, ada orang sedang mengkhawatirkan engkau.”
Waktu mereka berpaling, benar saja Koh Jin-giok telah melangkah masuk.
Siau-sian-li melototi Siau Man, tapi ia lantas tertawa geli sendiri. Jika orang lain bisa jadi malu, tapi dia tidak pedulikan soal-soal begitu, segera ia menyongsong ke sana sambil mengomel, “He, ke manakah kau, mengapa tidak meninggalkan sesuatu pesan.”
Muka Koh Jin-giok tampak merah lagi, jawabnya dengan tergagap, “Aku... aku harus melakukan sesuatu bagi Siau-hi-ji.”
“Masa ada urusan baik yang dia berikan padamu, mungkin kau tertipu lagi olehnya,” ujar Siau-sian-li.
“Tidak,” kata Koh Jin-giok dengan gegetun. “Baru sekarang kutahu dulu kita telah salah paham padanya, sesungguhnya dia bukan orang jahat.”
Siau-sian-li berkedip-kedip heran, katanya, “Wah, hebat juga kepandaian setan cilik itu, entah dengan cara bagaimana dia berhasil mengubah pandanganmu padanya.”
“Kau tahu apa yang telah terjadi?” tanya Koh Jin-giok. “Kang Piat-ho dan anaknya telah bersekongkol hendak menjebak Yan-tayhiap. Mereka pura-pura tidak saling kenal, dengan demikian Kang Giok-long akan mencari kesempatan untuk menolong ayahnya, bila ada kesempatan mereka pun dapat turun tangan keji terhadap Yan-tayhiap.”
“Memang sudah sejak dulu kutahu kedua ayah beranak itu bukan manusia baik-baik,” kata Siau-sian-li dengan gemas.
“Tapi sejak pengalamannya di Ok-jin-kok, Yan-tayhiap sekarang sudah berbeda jauh dari pada dulu,” tutur Koh Jin-giok pula. “Dengan cepat Yan-tayhiap telah memusnahkan ilmu silat kedua jahanam itu, lalu mengurung mereka di suatu gua agar nanti Siau-hi-ji dapat menuntut balas dengan tangan sendiri bagi ayah bundanya.”
Siau-sian-li bertepuk gembira, katanya, “Haha, tak tersangka kedua jahanam itu akan berakhir dengan nasib begini, sungguh sangat menyenangkan.”
“Tapi kalau tiada Siau-hi-ji, siapa pula yang tahu bahwa Kang Piat-ho dan Kang Giok-long adalah manusia yang begitu licik, keji dan jahat,” ujar Koh Jin-giok.
“Betul, selama hidupnya baru sekali ini dia telah berbuat sesuatu yang baik,” kata Siau-sian-li. “Tapi apa yang kau kerjakan baginya?”
“Dia suruh aku melepaskan Kang Piat-ho berdua,” jawab Koh Jin-giok.
“Apa? Lepaskan mereka?” seru Siau-sian-li terkejut.
“Ya, bukan cuma disuruh aku melepaskan mereka, bahkan aku diharuskan mengatur suatu tempat bagi kehidupan mereka selanjutnya, sebab mereka sudah cacat selama hidup, tiada tenaga buat cari makan lagi,” setelah menghela napas, lalu Koh Jin-giok menyambung pula, “Apalagi orang yang biasa berkecimpung di dunia Kangouw tentu banyak musuhnya, jika orang tahu ilmu silat mereka sudah punah, tentu musuh-musuhnya akan mencari dan menuntut balas pada mereka. Karena itulah jelas mereka tidak dapat pulang ke rumah, untuk inilah Siau-hi-ji minta aku mengatur suatu jalan hidup bagi mereka dengan menerima mereka sebagai tukang kebun di rumahku. Dengan demikian hidup mereka tidak sampai merana dan takkan mati kedinginan atau kelaparan, juga tidak perlu khawatir musuh-musuhnya akan mencari dan menuntut balas pada mereka.”
Siau-sian-li jadi melengak, tanyanya kemudian, “Kang Piat-ho telah mengkhianati ayah bundanya, dia sendiri tidak membalas dendam, sebaliknya malah khawatir orang lain menuntut balas pada Kang Piat-ho. Sesungguhnya bagaimana jalan pikiran setan cilik yang tidak genah itu?”
“Meski Kang Piat-ho berbuat salah terhadap ayah-bundanya, tapi Siau-hi-ji menganggap hukuman ini sudah cukup baginya. Ia anggap pendapat ‘dendam harus dibalas, utang darah harus dibayar darah’ bukan lagi jalan pikiran yang sehat. Banyak orang Kangouw telah dikuasai oleh jalan pikiran demikian sehingga banyak perbuatan bodoh telah terjadi, maka Siau-hi-ji bertekad takkan berbuat seperti itu lagi.”
“Sakit hati orang tua setinggi langit, tapi dia tidak menuntut balas, apakah tindakannya ini dapat dipuji?” ujar Siau-sian-li.
“Dia anggap menuntut balas tidak perlu dibalas dengan membunuh musuhnya,” tutur Koh Jin-giok. “Apalagi ia pun tidak ingin membunuh orang yang cacat, bisa jadi orang akan menganggap jalan pikirannya ini keliru, tapi ia merasa pendiriannya itulah yang benar, asalkan hati sendiri benar, apa komentar orang lain terhadapnya pada hakikatnya tidak menjadi soal baginya.”
“Dan kau juga anggap...”
Belum lanjut ucapan Siau-sian-li, dengan sungguh-sungguh Koh Jin-giok berkata, “Aku pun anggap benar pendiriannya. Entah sudah berapa banyak korban akibat ‘dendam’, setiap hari entah berapa orang yang mati konyol saling membunuh karena dendam permusuhan. Jika jalan pikiran semua orang bisa sama seperti jalan pikiran Siau-hi-ji, kupercaya umat manusia di dunia ini pasti akan hidup damai dan bahagia.”
Dia pandang lekat-lekat pada Siau-sian-li, lalu berkata pula dengan suara lembut, “Tuhan menciptakan manusia kan bukan menghendaki mereka saling bermusuhan dan saling membunuh, betul tidak?”
“Jika begitu mengapa bukan dia sendiri yang melepaskan mereka?” tanya Siau-sian-li.
“Dia khawatir Yan-tayhiap tidak menyetujui jalan pikirannya, maka sementara tidak ingin diketahui oleh Yan-tayhiap,” tutur Koh Jin-giok.
“Nah, rupanya dia tetap main licik dan tetap membohongi orang,” kata Siau-sian-li.
“Betul, dia memang sering berbuat licik dan menipu orang, tapi pada dasarnya dia bermaksud baik, kuyakin setiap orang yang bisa berpikir secara bijaksana tentu takkan merasakan tindakannya itu salah.”
Untuk sejenak Siau-sian-li termangu-mangu, katanya kemudian sambil menyengir, “Dia memang orang yang sangat aneh, sungguh sukar dibedakan sebenarnya dia orang baik atau orang jahat.”
Mendadak Ji Cu-geh berkata dengan tertawa, “Meski aku tidak kenal dia, juga tidak tahu sebenarnya dia orang baik atau jahat, tapi kutahu bila orang Kangouw semuanya serupa dia, maka kami pasti tidak perlu menyingkir jauh ke pulau terpencil di luar lautan sana.”
Han-wan Sam-kong bertepuk, katanya, “Buset, memang betul. Jika orang jahat seperti Siau-hi-ji bertambah banyak, aku rela seterusnya tidak pegang kartu lagi.”
“Wah, mana boleh jadi, lalu selanjutnya dengan siapa kami harus bertaruh?” kata Buyung San dengan tertawa.
“Aku kan bilang tidak pegang kartu dan tidak bilang tidak main dadu,” ujar Han-wan Sam-kong.
Maka bergelak tertawalah semua orang.
Setelah mengalami ketegangan selama dua hari dua malam, baru sekarang semua orang merasa lega. Hanya Hoa Bu-koat saja, tampaknya bertambah berat perasaannya.
Betapa pun Bu-koat tidak tega mencelakai Siau-hi-ji, bahkan ia lebih suka dirinya sendiri yang terbunuh oleh Siau-hi-ji. Sudah tentu ia tidak tahu, meski dia tidak sayang mengorbankan jiwanya sendiri, namun hidup Siau-hi-ji pasti akan bertambah merana.
Tiada seorang pun yang dapat hidup tenteram setelah membunuh saudara kandung sendiri. Mereka sudah ditakdirkan akan berakhir dengan suatu tragedi dan tampaknya tragedi ini tak dapat diubah oleh siapa pun juga.
Di tengah suasana ramai-ramai tadi, siapa pun tidak memperhatikan Li Toa-jui, To Kiau-kiau, Pek Khay-sim dan lain-lain diam-diam bolos di tengah jalan.
Setelah mengetahui kemunculan kembali Yan Lam-thian, sekali pun kuduk mereka diancam dengan golok juga mereka tidak berani lagi ikut kembali ke sana.
Pek-hujin yang bukan anggota Cap-toa-ok-jin kini juga selalu berada di sisi Pek Khay-sim.
Setelah digampar oleh Toh Sat tadi, kini sebelah muka Pek Khay-sim menjadi merah bengkak sampai-sampai mulutnya juga setengah merot, darah masih merembes keluar dari ujung mulutnya.
Sambil berjalan Li Toa-jui bergumam sendiri, “Sebenarnya kita juga perlu menonton pertarungan antara Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu, tontonan menarik ini kuyakin sukar dicari lagi, jika kita sia-siakan kesempatan baik ini, sungguh mirip siluman kerbau gagal menikmati daging Tong Sam-cong.”
Pek Khay-sim terkekeh sambil memegang mukanya yang bengap itu, katanya, “Betul, sungguh terlalu sayang, lekas kau pergi melihatnya, kukira masih keburu.”
Karena bicara, seketika rasa sakit mukanya tambah hebat sehingga keringat dingin bercucuran. Tapi dasar orang bermulut bejat, biar pun sakit setengah mati tetap dia ingin bicara. Rasanya hidupnya akan terasa tak berarti jika dia tidak omong seberapa patah kata yang merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri.
Li Toa-jui malas mengubris ocehan Pek Khay-sim itu, kembali ia bergumam, “Menurut pendapatku, Yan Lam-thian pasti bukan tandingan Ih-hoa-kiongcu. Ilmu saktinya sudah telantar sekian tahun, betapa pun takkan lebih lihai dari pada dulu. Apalagi dua kepalan juga sukar melawan empat tangan. Ih-hoa-kiongcu ada dua, Yan Lam-thian cuma sendirian, sedikit banyak tentu kurang menguntungkan dia.”
“Dua lawan satu maksudmu?” jengek Pek Khay-sim. “Hehe, kau kira orang lain pun tidak kenal malu seperti kau? Kaum ksatria Kangouw justru mengutamakan peraturan, harus satu lawan satu, tidak nanti main kerubut.”
Mendadak Li Toa-jui melonjak murka sambil meraung, “Keparat, jika kau berani omong satu kata lagi, segera kuhantam kau supaya mukamu yang sebelah juga bengap. Kau percaya tidak?”
“Memang seharusnya tadi kugampar kedua sisi mukanya,” tukas Toh Sat.
Karena Toh Sat ikut buka suara, seketika Pek Khay-sim tak berani omong lagi.
Tiba-tiba Pek-hujin membisiki Pek Khay-sim, “Apakah kau tahu sebabnya kau selalu dihina orang?”
“Sebab aku ketemu bintang kemungkus (lambang sial) seperti dirimu ini,” jawab Pek Khay-sim dengan mendongkol.
Pek-hujin tak marah, sebaliknya malah tertawa, katanya, “Sebabnya karena mereka berkawan, sebaliknya kau cuma sendirian. Katamu sendiri dua kepalan sukar melawan empat tangan. Kalau kau tahu teori ini, mengapa kau tidak mencari bala bantuan.”
Seketika mencorong sinar mata Pek Khay-sim, segera ia menarik Pek-hujin ke samping. Sementara itu mereka sudah berada di lereng bukit yang penuh batu padas berserakan. Pek Khay-sim menarik Pek-hujin ke balik sepotong batu besar, lalu berkata dengan suara tertahan, “Satu kata menyadarkan orang dalam mimpi, ucapanmu tadi telah mengingatkan padaku akan seorang pembantu yang baik.”
“Dan sekarang masih kau anggap aku ini bintang kemungkus lagi?” tanya Pek-hujin dengan tertawa genit.
“O, tidak, tidak, melihat hidungmu yang mancung, kutahu kau pasti membawa keberuntungan bagi sang suami,” jawab Pek Khay-sim.
“Sialan,” omel Pek-hujin dengan tertawa. “Tidak perlu mengumpak. Cobalah katakan dulu siapa pembantu yang baik itu?”
“Kau tahu, di antara mereka ini, sudah lama Li Toa-jui memusuhi aku,” demikian tutur Pek Khay-sim. “Sekarang tampaknya Toh-lotoa sudah serong ke sana, Kungfu mereka berdua cukup hebat, lebih-lebih Toh-lotoa, dia bukan lawan yang empuk.”
“Ya, aku pun tahu,” kata Pek-hujin.
“Sebenarnya dapat kucari bantuan Ha-ha-ji agar melayani mereka,” kata Pek Khay-sim pula.....