Website Cerita Silat Indomandarin Ready For Sale

Bahagia Pendekar Binal Jilid 36

“Waduh galaknya perempuan ini,” seru Pek Khay-sim. “Pantas si Harimau she Pek itu lari terbirit-birit meninggalkanmu, tampaknya nasibku juga akan...” belum habis ucapannya mendadak ia menjerit kesakitan lagi, kiranya Pek-hujin telah menjewer telinganya.

Diam-diam To Kiau-kiau merasa geli, gumamnya, “Makanya seorang janganlah terlalu banyak berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, sebab dia pasti akan mendapatkan hukuman setimpal dari Yang Mahakuasa. Umpamanya menghukum dia beristri galak seperti macan betina sehingga tersiksa selama hidupnya.”

Memang, seorang kalau salah mengambil istri, maka hidupnya boleh dikatakan akan merana dan sial, mungkin di dunia ini tiada urusan lain yang lebih sial dari pada punya istri berengsek.

Namun semua orang tidak lagi memerhatikan persoalan ini, sebab mereka sekarang telah menemukan air itu bersumber pada suatu lubang yang terletak di samping peti mati, dari situlah air mancur keluar.

Lantai kamar itu sebenarnya beralaskan batu, tapi lantai batu itu sekarang sudah didongkel, lantaran di ruangan ini memang berserakan reruntuhan batu maka tadi tiada orang memerhatikannya.

Dengan terheran-heran Han-wan Sam-kong lantas bertanya, “Apakah maksudmu Siau-hi-ji telah lolos keluar melalui terowongan ini?”

“Betul,” jawab Bu-koat dengan wajah cerah. “Sejak tadi kita cuma memerhatikan dinding sekeliling gua ini, makanya tidak mengira mereka justru bisa lari keluar melalui terowongan di bawah tanah.”

“Ya, betul, dinding batu sekeliling gua ini terlalu keras dan tidak bisa dibobol, tapi bagian bawah adalah tanah yang lunak, dengan sendirinya mudah ditembus,” seru Han-wan Sam-kong. Tapi segera ia berkerut kening dan menambahkan, “Namun untuk membuat terowongan dari sini sehingga menembus keluar kan juga bukan pekerjaan mudah?”

“Sudah tentu tidak mudah,” kata Bu-koat. “Namun terowongan ini bukan digali oleh mereka sendiri.”

“Habis siapa yang menggalinya jika bukan mereka sendiri?” tanya Ok-tu-kui.

“Setahuku, kebanyakan aliran sungai terletak di permukaan bumi,” tutur Bu-koat. “Akan tetapi di bawah tanah juga ada sungai lantaran perubahan geografis, misalnya gempa bumi dan sebagainya, maka aliran sungai ini terpendam di bawah tanah. Jika mereka dapat menemukan sungai di bawah tanah ini, berdasarkan ilmu silat mereka kuyakin tidak sukar bagi mereka untuk menerobos keluar.”

Semua orang sama bergirang mendengar keterangan yang belum pernah mereka dengar ini. Seketika Han-wan Sam-kong melonjak senang, teriaknya, “Aha, pengetahuanmu ternyata banyak dan luas juga!”

Dengan tertawa Bu-koat berkata pula, “Malahan sekarang aku pun dapat menerka apa sebabnya pakaian mereka sobek.”

“Lekas ceritakan, lekas, bagaimana jadinya?” cepat Han-wan Sam-kong mendesak sambil menepuk pundak Bu-koat.

“Begini,” tutur Bu-koat. “Siau-hi-ji juga tidak tahu bahwa di sini ada aliran sungai di bawah tanah. Lebih-lebih tidak mengetahui arah letaknya yang tepat, sebab manusia meski makhluk hidup yang paling pintar dan cerdik, tapi tidak memiliki kemahiran khas sebagaimana dimiliki oleh makhluk hidup lainnya, umpamanya daya cium, seekor anjing dapat melacak sasarannya yang berjarak ribuan li jauhnya berdasarkan daya ciumnya, hal ini jelas tak dapat dilakukan oleh manusia. Mungkin dahulu manusia juga memiliki kesanggupan ini, cuma setelah mengalami evolusi atau perkembangan berangsur-angsur, lama-lama manusia tidak memerlukan kemahiran ini untuk mempertahankan hidupnya.”

“Aha, benar, masuk di akal!” seru Han-wan Sam-kong.

Sekarang dia benar-benar takluk lahir batin kepada Hoa Bu-koat, apa pun yang dikatakannya pasti diterimanya dengan baik, padahal teori uraian Bu-koat itu belum tentu seluruhnya dipahaminya.

Didengarnya Bu-koat lagi menyambung, “Naluri setiap makhluk hidup juga tidak sama, misalnya anjing, hidungnya sangat tajam, kelelawar mempunyai daya reaksi yang peka (seperti alat radar). Burung musiman sangat hafal terhadap setiap perubahan cuaca, bagi binatang-binatang yang tidak mempunyai daya pertahanan terhadap ancaman bahaya dari luar sering-sering memiliki daya rasa yang sangat peka dan aneh.”

Teori sebagaimana diuraikan Hoa Bu-koat ini sudah tentu banyak diketahui oleh orang zaman kini, tapi di zaman dahulu hal ini pada hakikatnya terlebih ajaib dari pada pelajaran lwekang segala yang paling tinggi sekali pun, karena itu semua orang menjadi sangat tertarik.

Tiba-tiba Bu-koat bertanya dengan tertawa, “Dan apakah kalian mengetahui binatang apa di dunia ini yang paling mahir membuat terowongan?”

“Tikus!” dengan tertawa Buyung San mendahului berseru.

“Tepat, memang tikus,” kata Bu-koat. “Di manakah kau kurung tikus itu, pasti dia mampu membuat lubang untuk keluar.”

“Si anak kura-kura Gui Bu-geh sendiri adalah seekor tikus besar, di tempat ini pasti juga banyak tikusnya,” seru Han-wan Sam-kong.

“Ya, kuyakin Siau-hi-ji pasti menemukan beberapa ekor tikus hidup,” tutur Bu-koat pula, “dia ingin tikus menjadi penunjuk jalan baginya, tapi ia pun khawatir tikus itu lari, maka ia lantas menggunakan kain bajunya untuk dijadikan tali, ekor tikus diikat dengan tali, lalu tikus dilepaskan keluar.”

“Aha, benar,” seru Han-wan Sam-kong sambil bertepuk.

“Maka aliran sungai di bawah tanah ini tentu juga ditemukan oleh tikus itu,” kata Bu-koat pula. “Tatkala mana Siau-hi-ji mungkin tidak tahu apa sebabnya tikus itu menerobos ke bawah tanah. Tapi lantaran waktu itu mereka sudah kehabisan akal, maka segala jalan dicobanya.”

Dengan tertawa Han-wan Sam-kong berkata pula, “Kutahu Siau-hi-ji adalah orang pintar nomor satu di dunia ini, siapa menduga kau pun tidak lebih asor dari pada dia, tampaknya kalian berdua mesti mengangkat menjadi saudara.”

Air muka Bu-koat menampilkan kepedihan, sebab kata-kata Ok-tu-kui itu telah menyentuh perasaannya. Sekarang kalau Siau-hi-ji sudah berhasil lolos keluar, bahkan masih berada dalam cengkeraman Ih-hoa-kiongcu, maka itu berarti dia masih harus berduel dengan Siau-hi-ji sebagaimana sudah diputuskan oleh mereka.

Nyata, nasib mereka yang tragis seakan-akan tak dapat berubah untuk selamanya.

Han-wan Sam-kong tidak bicara apa-apa lagi, segera ia pun hendak menerobos terowongan itu.

“He, apa yang hendak kau lakukan?” seru Li Toa-jui.

“Melakukan apa? Sudah tentu mencari Siau-hi-ji!” jawab Ok-tu-kui dengan melotot.

Li-Toa-jui tertawa, katanya, “Mereka menerobosi terowongan itu karena terpaksa, sebab tiada jalan lain. Tapi sekarang kan tidak perlu kau ikut menerobos terowongan ini?”

“Kalau tidak menerobos terowongan ini, dari mana bisa diketahui Siau-hi-ji berada di mana?” ujar Han-wan Sam-kong.

Belum lagi Li Toa-jui bersuara, tiba-tiba di atas ada orang berseru, “Sam-ci, Sam-ci, di mana kalian?”

Sambil mengernyitkan kening Buyung San mengomel, “Dia Thio Cing, mengapa setan cilik ini baru menyusul kemari sekarang?”

Maka ia lantas berseru menjawabnya, di tengah seruan itu tertampaklah Siau-sian-li Thio Cing berlari masuk, mukanya kelihatan merah penuh semangat, begitu berhadapan dengan Buyung San segera ia pegang tangannya, katanya dengan napas terengah-engah, “Aku melihat... melihat seorang... aku melihat seorang...”

“Hanya melihat seorang saja kenapa mesti geger-geger begini?” omel Buyung San geli. “Setiap hari ada puluhan bahkan ratusan orang yang kulihat.”

“Tapi... tapi orang ini...” Mendadak Siau-sian-li tersenyum penuh rahasia, ia mengerling lalu bertanya malah, “Coba kau terka siapa orang ini, selamanya takkan dapat kau terka.”

“Memangnya siapa?” mau-tak-mau Buyung San jadi tertarik. Tiba-tiba tergerak hatinya, ia menjadi tegang dan menambahkan, “He, apakah kau lihat Siau-hi-ji.”

Pertanyaan ini mengakibatkan semua orang ikut tegang, semuanya terbelalak memandang Siau-sian-li dan menantikan jawabannya.

Dengan tertawa Siau-sian-li menjawab perlahan, “Ya, memang betul Siau-hi-ji. Kalian mencarinya ke sini, siapa tahu dia malah mendatangi kapal kita.”

“He, apa betul?!” seketika Han-wan Sam-kong melonjak girang dan kejut.

Siau-sian-li melototinya sekejap lalu berkata pula, “Meja perjamuan di sana belum lagi dibersihkan, sebab hendak menunggu kembalinya kalian untuk melanjutkan pestanya. Siapa menduga sampai lohor belum lagi nampak kalian kembali, tahu-tahu dari dalam sungai melompat keluar beberapa orang, begitu melompat ke atas kapal, tanpa tanya dan tanpa bicara mereka terus makan minum dengan lahapnya seperti setan kelaparan. Seorang di antaranya bahkan tidak pakai sumpit lagi, langsung kedua tangannya mengambil makanan yang tersedia. Dan dia itulah Siau-hi-ji.

“Buset, bisa jadi dia hampir gila saking kelaparan,” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

“Selain dia, masih ada siapa lagi?” segera Bu-koat ikut bertanya.

“Dengan sendirinya ada pula Ih-hoa-kiongcu,” jawab Siau-sian-li dengan tertawa. “Sungguh tak kusangka mereka masih kelihatan begitu muda. Bahkan baju mereka pun sangat aneh, meski baru melompat keluar dari air, ternyata tiada yang basah. Siau-hi-ji kelihatan tak keruan macamnya, tapi kedua Kiongcu itu tetap kelihatan anggun, tiada ubahnya seperti Sian-li (dewi kayangan).”

“Jika demikian, julukanmu seharusnya diberikan kepada mereka saja,” dengan tertawa Buyung San berseloroh.

Siau-sian-li berkedip-kedip, lalu bertutur pula, “Yang ikut datang bersama mereka masih ada lagi seorang anak perempuan, kepalanya tampak besar, sedikit pun tidak cantik, tapi mesra sekali dengan Siau-hi-ji.”

Keterangan ini membuat semua orang merasa heran pula, tanpa terasa semua orang memandang ke arah Thi Sim-lan. Nona itu kelihatan menggigit bibir dan sama sekali tidak berani mengangkat kepala.

Thi Cian menjadi gusar, teriaknya, “Bocah itu berani bermesraan dengan perempuan lain, memangnya anak perempuanku tak dapat menandingi perempuan buruk kepala besar itu?”

Dengan tertawa Siau-sian-li bercerita pula, “Diam-diam aku pun geli mengapa Siau-hi-ji yang suka mencemoohkan orang itu bisa penujui seorang nona macam begitu. Tapi kemudian makin dilihat makin kurasakan anak perempuan itu memang sangat menarik, setiap gerak-geriknya, setiap senyum tawanya, hampir boleh dikatakan tiada cacatnya sehingga membuat siapa pun pasti akan merasa kesengsem, sampai-sampai aku sendiri pun tergiur.”

Semakin gusar Thi Cian mendengar komentar Siau-sian-li itu, dia berteriak-teriak murka.

Buyung San juga heran, ia pandang Siau-sian-li lekat-lekat.

Hanya perempuan saja yang memahami isi hati perempuan. Sudah barang tentu bagaimana perasaan Siau-sian-li terhadap Siau-hi-ji cukup dipahami oleh Buyung San. Ia mengira bila Siau-sian-li melihat Siau-hi-ji bermesraan dengan perempuan lain, tentu hatinya akan tidak senang dan pasti akan memaki perempuan itu. Maka Buyung San sangat heran mengapa pikiran Siau-sian-li bisa berubah sejauh ini?

Ia tidak tahu bahwa hati Siau-sian-li kini sudah mempunyai sandaran, sudah terisi, baginya kini adalah saatnya yang paling manis, paling bahagia, maka terhadap sesamanya juga penuh rasa kasih sayang, ia tidak merasa benci lagi terhadap siapa pun.

Begitulah Buyung-toaci lantas berkata kepada sang suami, “Jika kapal kita kedatangan tamu, mari kita lekas pulang ke sana saja.” Dalam segala hal dia pasti minta dulu persetujuan sang suami, sebab ia pun tahu sang suami pasti akan setuju.

Segera Thi Cian pun berjingkrak dan berseru, “Betul, marilah kita berangkat sekarang juga, ingin kulihat betapa besar nyali bocah itu.”

“Ya, konon Ih-hoa-kiongcu sangat pintar berdandan dan merawat diri, aku pun ingin melihatnya,” kata si nenek Siau.

“Aku justru tidak percaya bahwa Kungfu mereka tiada tandingannya di dunia ini,” kata Ni Cap-pek.

Dengan tertawa Han-wan Sam-kong juga bergumam, “Sudah sekian lama tidak bertemu, entah bagaimana keadaan Siau-hi-ji sekarang, tentu sudah jauh lebih cakap.”

Ternyata ada yang ingin tahu bagaimana bentuk Ih-hoa-kiongcu yang termasyhur itu, ada juga yang ingin tahu bagaimana si cantik berkepala besar yang menjadi pacar Siau-hi-ji itu. Walau pun berbeda-beda alasan mereka, tapi sama-sama satu tujuan, yaitu ingin lekas-lekas kembali ke kapal sana.

Hanya Hoa Bu-koat saja, meski dia jauh lebih bernafsu dari pada siapa pun agar bisa lekas-lekas bertemu dengan Ih-hoa-kiongcu dan Siau-hi-ji, tapi mengingat setelah bertemu dengan Siau-hi-ji mungkin mereka diharuskan duel lagi, maka ia pun berharap semoga tidak lagi bertemu dengan Siau-hi-ji untuk selamanya.

Mendadak terdengar Siau-sian-li berseru. “He, ceritaku belum lagi habis, kalian jangan buru-buru berangkat dulu!”

“Baiklah, lekas kau ceritakan, janganlah kau jual mahal,” omel Buyung San dengan tertawa.

Sinar mata Siau-sian-li tampak gemerdep, katanya kemudian, “Selain Ih-hoa-kiongcu, di atas kapal kita ada seorang tamu agung lagi.”

“Oo, Siapa dia?” tanya Buyung San.

Kembali Siau-sian-li memperlihatkan senyuman misterius, jawabnya, “Nama besar tamu agung ini pasti tidak di bawah Ih-hoa-kiongcu, apakah kalian tahu siapa dia?”

Belum habis ucapannya, semua orang sudah dapat menerka siapa gerangan yang dia maksudkan. Sebab di kolong langit ini hanya ada seorang saja yang namanya dapat disejajarkan dengan Ih-hoa-kiongcu.

Karena itulah tanpa terasa semua orang sama berseru, “Yan Lam-thian! Yan Lam-thian!”

Mendengar nama “Yan Lam-thian”, seketika To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan lain-lain sama pucat, kalau bisa mereka ingin mendadak tumbuh sayap dan terbang sejauh-jauhnya untuk menghindari pendekar besar ini.

Kakak beradik Buyung juga terkesiap. Sedangkan Ni Cap-pek saling pandang sekejap dengan Ji Cu-geh, katanya, “Sungguh tak tersangka Ih-hoa-kiongcu dan Yan Lam-thian juga berada di sana.”

“Ini benar-benar dicari sampai kepala pecah tidak bertemu, di dapatkan tanpa buang tenaga apa pun,” tukas Ji Cu-geh.

“Tapi entah apa yang dilakukan mereka ketika Ih-hoa-kiongcu dan Yan Lam-thian saling bertemu, kukira pemandangan waktu itu pasti sangat menarik,” ujar Kui-tong-cu.

Membayangkan bagaimana ketika kedua tokoh top dunia persilatan itu saling berhadapan, mau tak mau semua orang menjadi sangat tertarik dan menyesal tak dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

“Apakah Ih-hoa-kiongcu kakak beradik kenal Yan Lam-thian?” tiba-tiba si nenek Siau bertanya.

“Mereka seperti tidak kenal Yan-tayhiap, tapi begitu Yan-tayhiap muncul di atas kapal, agaknya semua orang sudah tahu siapa dia, sebab sikap dan gayanya itu tidak mungkin ditirukan oleh siapa pun,” tutur Siau-sian-li.

“Hm, orang lain pun belum tentu mau meniru dia,” jengek Kui-tong-cu.

Siau-sian-li tertawa, tuturnya pula, “Yang aneh ialah Siau-hi-ji, dia seperti tidak pernah melihat Yan Lam-thian, tapi begitu berada di atas kapal tanpa berkedip Yan-tayhiap lantas memandangi anak muda itu.”

“Dan bagaimana dengan Siau-hi-ji sendiri?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Siau-hi-ji juga menatapnya lekat-lekat dan tanpa terasa berbangkit. Selangkah demi selangkah Yan-tayhiap mendekatinya sambil bergumam, “Bagus, bagus...”

“Satu kali bagus saja sudah cukup, kenapa kau berucap sebanyak itu?” ujar Buyung San dengan tertawa.

“Tapi sekaligus Yan Lam-thian telah berucap belasan kali,” kata Siau-sian-li. “Air matanya lantas berlinang-linang, hanya air matanya tidak sampai menetes. Siau-hi-ji tidak berucap apa-apa, dia terus berlutut dan menyembah. Yan Lam-thian lantas menariknya bangun dan berkata, ‘Apa yang telah kau lakukan hampir seluruhnya sudah kuketahui, kau tidak memalukan nama baik ayahmu’.”

Bercerita sampai di sini tanpa sadar air mata Siau-sian-li juga bercucuran. Nyata apa yang disaksikan waktu itu pasti sangat mengharukan hatinya.

Siau-sian-li telah menjadi pusat perhatian orang banyak, semua orang ikut dia keluar, karena asyiknya mereka mendengarkan ceritanya sehingga tanpa terasa mereka pun sudah sampai di luar gua.

Terdengar Siau-sian-li sedang menyambung pula. “Ih-hoa-kiongcu hanya memandangi mereka dengan sikap dingin. Sejenak kemudian barulah Kiongcu besar itu mendengus, ‘Bagus sekali, akhirnya kita bertemu juga’.”

“Dan Yan-tayhiap menggubrisnya tidak?” tanya Buyung San.

“Cukup lama barulah Yan-tayhiap berpaling ke arahnya dan berkata. ‘Dua puluh tahun yang lalu seharusnya kita sudah bertemu’. Kiongcu itu mendengus, ‘Apakah kau anggap sudah terlambat?’ Yan-tayhiap tidak menjawab, ia cuma menengadah dan menghela napas panjang.” Sampai di sini, tanpa terasa Siau-sian-li sendiri pun menghela napas.

“Lalu apa yang dikatakan Yan-tayhiap?” tanya Buyung San.

“Dia seakan-akan hendak melampiaskan duka derita selama dua puluh tahun dengan embusan napasnya itu, kemudian ia berkata, ‘Selama orang she Yan belum mati, maka tiada sesuatu yang terlambat’.”

“Lalu bagaimana?” Han-wan Sam-kong dan beberapa orang lagi tanya berbareng.

“Waktu itu mereka saling melotot dan setiap saat bisa saling labrak, cuma kedudukan mereka memang lain dari pada yang lain, tidak dapat bergebrak begitu saja seperti orang biasa. Aku menjadi gelisah, entah bagaimana jadinya bila mana dua tokoh top persilatan saling gebrak, Jin-giok lantas menarikku ke pinggir dan menyuruhku lekas kemari untuk memberi kabar kepada kalian agar kalian lekas pulang ke sana.”

Menyinggung Koh Jin-giok, tanpa terasa sorot mata Siau-sian-li menampilkan rasa bahagia. Segera ia menyambung lagi, “Kata Jin-giok, kalian pasti akan menyesal selama hidup bila mana kesempatan menyaksikan pertarungan kelas tinggi ini tersia-sia oleh kalian.”

“Memang betul, malahan tidak cuma menyesal saja, bisa jadi seterusnya aku tidak dapat tidur nyenyak lagi,” seru Kui-tong-cu.

“Dan mereka sudah mulai bergebrak belum?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Entah, aku pun tidak tahu,” jawab Siau-sian-li.

“Semoga mereka tidak bergebrak dengan sungguh-sungguh,” ujar Han-wan Sam-kong.

“Sebab apa?” tanya Siau-sian-li.

“Kau tahu, dua ekor harimau berkelahi tentu salah satu akan mati atau terluka, bisa jadi malahan dua-duanya akan sama celaka. Maka akibat dari pertarungan mereka sungguh sukar kubayangkan. Akan lebih baik jika tidak menyaksikan pertarungan maut mereka.”

Dengan rasa terima kasih Bu-koat memandang Han-wan Sam-kong sekejap. Ia tahu bila pertarungan antara Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu jadi berlangsung, maka salah satu pihak pasti akan mati. Jika demikian jadinya, tak peduli pihak mana yang menang atau kalah, yang pasti permusuhannya dengan Siau-hi-ji juga akan semakin mendalam, mungkin akibatnya juga harus mati salah satu dan selamanya tidak dapat dilerai lagi.

Seketika mereka menjadi bungkam, suasana menjadi sunyi.

Selang sejenak, Ji Cu-geh menghela napas gegetun dan berkata, “Sungguh harus disayangkan apa bila mereka sama-sama terluka atau gugur bersama.”

“Apakah kau berharap mereka akan menunggu kedatangan kita untuk bertanding denganmu, begitu bukan?” kata si nenek Siau dengan tertawa.

“Memangnya kau tidak ingin mencoba jurus baru ‘Hwe-hong-cap-pek-pian’ (delapan belas jurus pukulan permaisuri) hasil pemikiranmu itu?” tanya Ji Cu-geh.

“Sudah tentu aku ingin mencobanya,” ujar si nenek Siau dengan gegetun. “Tapi kalau menuruti pembicaraan mereka itu, agaknya permusuhan mereka sudah teramat mendalam. Kalau Yan Lam-thian sudah menunggu selama dua puluh tahun, setelah bertemu sekarang mana bisa diselesaikan dengan begitu saja?”

Ji Cu-geh juga menghela napas gegetun, katanya, “Jika kedua orang itu sudah mulai bergebrak, mungkin di dunia ini tiada seorang pun yang dapat memisahkan mereka.”

********************

Begitulah ketika mereka sudah berada kembali di tepi sungai sana, ternyata meja kursi di bangsal panjang itu sudah disingkirkan, hanya tersisa kertas hiasan serta “tui-lian” yang berkibar-kibar tertiup angin. Tapi di tanah lapang di depan bangsal panjang itu kini berjubel orang banyak entah apa yang sedang menjadi tontonan mereka, jangan-jangan di situlah Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu sedang bertanding.

Segera Han-wan Sam-kong mendahului menerjang ke sana, maksudnya hendak mendesak maju, tapi sebelum dia bertindak apa-apa, orang-orang itu segera menyingkir sendiri demi melihat datangnya rombongan mereka.

Ternyata Ih-hoa-kiongcu tidak berada di situ, malahan bayangan Yan Lam-thian dan Siau-hi-ji juga tidak kelihatan.

Lantas ke manakah mereka? Apakah Siau-sian-li sengaja bercanda dan menggoda mereka?

Namun Siau-sian-li lantas mendahului berteriak, “He, di manakah mereka? Eh, Siau Man, ke mana mereka? Mana Koh-kongcu?”

Siau Man adalah pelayan pribadi Buyung San, setelah Siau-sian-li tinggal di tempat Buyung San, Siau Man lantas disuruh melayani dia. Genduk ini memang pintar dan cerdik, dalam hal omong juga dapat diandalkan.

Tapi pertanyaan Siau-sian-li sesungguhnya terlalu cepat, juga terlalu banyak, maka Siau Man menjadi gelagapan. Setelah menenangkan diri barulah ia menjawab, “Seperginya nona, Yan... Yan-tayhiap itu lantas duduk bersama tuan muda Siau-hi-ji, mereka minum arak bersama secawan demi secawan tanpa berhenti, bicara mereka pun tidak pernah berhenti. Kulihat mereka pasang omong hingga lama sekali, mendadak mereka bergelak tawa, habis itu lantas keduanya sama-sama menghela napas. Nona she So itu melayani mereka dengan menuangkan arak, tapi ketika nona So berpaling, kulihat air matanya lantas menetes.”

Siau-sian-li tahu yang dibicarakan Yan Lam-thian dan Siau-hi-ji pastilah suka-duka masing-masing selama berpisah, namun ia pun bertanya, “Apa yang mereka bicarakan?”

“Suara bicara mereka tidak keras, ada yang sama sekali tak kudengar, ada sebagian kudengar, tapi hamba tidak paham artinya,” tutur Siau Man.

“Ai, dasar kau memang bodoh,” omel Siau-sian-li dengan tertawa.

Siau Man menunduk, katanya, “Meski hamba tidak dengar apa yang mereka bicarakan, tapi melihat sikap mereka, entah mengapa, hati hamba menjadi pilu dan ingin mencucurkan air mata.”

Teringat kepada nasib Siau-hi-ji dan Yan Lam-thian yang malang itu, seketika Han-wan Sam-kong juga merasa pedih dan terharu, teriaknya mendadak, “Benar, meski aku tidak dengar apa yang mereka bicarakan, tapi sekarang rasanya aku pun ingin meneteskan air mata.”

Siau-sian-li melototinya sekejap, lalu bertanya pula kepada Siau Man, “Waktu mereka bicara, bagaimana dengan Ih-hoa-kiongcu?”

“Ih-hoa-kiongcu duduk di sebelah sana, dia tidak memandang mereka, juga tidak gelisah, dia seperti sudah tahu bila Yan-tayhiap selesai bicara tentu akan mencari mereka.”

Semua orang saling pandang sekejap, dalam hati masing-masing sama gegetun, sebab mereka tahu Yan Lam-thian pasti akan perang tanding dengan Ih-hoa-kiongcu, sebab itulah dia perlu memberi pesan terakhir kepada Siau-hi-ji.

“Bicara mereka seperti tidak habis-habis, lebih-lebih tuan muda Siau-hi-ji itu seolah-olah tidak pernah berhenti bicara, selama hidupku tidak pernah melihat seorang lelaki yang suka bicara seperti dia, sungguh mirip seorang nenek yang bawel,” demikian Siau Man menyambung.

“Ai, akulah paham perasaannya,” ujar Han-wan Sam-kong dengan menyesal. “Justru lantaran Siau-hi-ji dapat memahami jalan pikiran Yan-tayhiap, maka dia sengaja banyak bicara untuk mengulur waktu...”

“Jika begitu tentunya Yan-tayhiap juga dapat mengetahui maksudnya,” kata Siau Man.

“O, apa begitu?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Ya, sebab mendadak Yan-tayhiap lantas berdiri, ia tepuk-tepuk pundak Siau-hi-ji, katanya dengan tertawa, ‘Jangan khawatir, Yan-toasiokmu ini selamanya seratus kali bertempur seratus kali menang, lihat saja nanti’.”

“Hm, seratus kali tempur seratus kali menang, besar amat suaranya,” jengek Ji Cu-geh.

Han-wan Sam-kong juga mendengus, katanya, “Jika orang lain yang bilang begitu tentu Locu menganggapnya membual, tapi Yan Lam-thian yang omong, kukira siapa pun pasti percaya.”

Ji Cu-geh tidak menanggapi lagi, dia cuma menjengek saja.

“Tuan muda Siau-hi-ji memandang Yan-tayhiap, seperti mau omong apa-apa lagi. Tapi waktu itu juga Ih-hoa-kiongcu sudah berbangkit dan melangkah keluar,” demikian Siau Man menyambung ceritanya. “Segera Yan-tayhiap ikut keluar. Meski satu patah kata saja mereka tidak bicara, tapi entah mengapa, jantungku berdebar dan tegang luar biasa.”

Dasar Siau Man memang pintar bicara, kini dia sengaja bercerita lebih menarik sehingga pendengarnya ikut tegang seakan-akan menyaksikan sendiri kedua tokoh top dunia persilatan sedang berhadapan dan siap untuk duel.

Saat itu juga angin sungai meniup silir-semilir sehingga suasana bumi raya ini seolah-olah diliputi hawa pertempuran yang tidak kenal ampun.

Siau Man merinding, ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula, “Tapi sesudah keluar, mereka tetap tidak lantas bergebrak, mereka hanya berdiri berhadapan dalam jarak cukup jauh dan saling pandang melulu.”

“Yan Lam-thian tidak memakai senjata?” tanya Ji Cu-geh.

“Tidak, keduanya sama-sama tidak memakai senjata,” tutur Siau Man.

Ji Cu-geh berkerut kening, gumamnya, “Sudah lama kudengar ilmu pedang Yan Lam-thian tiada bandingannya, mengapa dia meninggalkan keunggulannya dan memilih cara yang bukan menjadi keahliannya. Memangnya selama ini dia telah berhasil meyakinkan sesuatu ilmu pukulan yang dia sendiri yakin dapat menandingi Ih-hoa-kiongcu?”

Hendaknya diketahui bahwa ilmu pukulan telapak tangan dan tenaga dalam Ih-hoa-kiongcu selama ini menjagoi dunia Kangouw dan hampir tiada ilmu pukulan lain yang mampu melawannya. Maka seharusnya Yan Lam-thian menghadapi Ih-hoa-kiongcu dengan ilmu pedang yang juga terkenal tiada tandingannya itu.

“Meski mereka bertangan kosong, tapi tampaknya mereka jauh lebih ganas dari pada memakai senjata,” tutur Siau Man pula. “Tampaknya cukup dengan satu kali gebrak saja sudah dapat menentukan kalah-menang atau mati dan hidup. Karena tegangnya hamba telah memohon Koh-kongcu agar membujuk mereka supaya tidak jadi bertempur. Tapi Koh-kongcu tidak berani, katanya, ‘Meski kedua orang belum saling gebrak, tapi saat itu tenaga keduanya sudah terhimpun, jangankan orang lain hendak melerai mereka, asalkan mendekat saja mungkin bisa tergetar roboh oleh tenaga dalam mereka’.”

“Tampaknya Koh-kongcu itu cukup tajam juga penilaiannya,” kata si nenek Siau sambil melirik Siau-sian-li sekejap.

Siau Man lantas melanjutkan, “Waktu Koh-kongcu bisik-bisik bicara denganku, entah cara bagaimana mungkin tuan muda Siau-hi-ji itu pun dapat mendengarnya, tiba-tiba ia mendekati Koh-kongcu dan berkata padanya. ‘Apakah kau kira tiada seorang pun mampu melerai mereka?’”

“Setan cilik itu hendak main gila apalagi?” ujar Siau-sian-li.

“Koh-kongcu kelihatan ragu-ragu menghadapi tuan Siau-hi-ji itu, berulang-ulang Koh-kongcu cuma mengangguk saja, lalu tuan muda Siau-hi-ji berkata pula, ‘Apakah kau berani bertaruh denganku?’”

Siau-sian-li menjadi khawatir, katanya, “Setan cilik itu sangat licin. Sedangkan Koh-kongcu adalah orang jujur, mana boleh bertaruh dengan dia.”

“Mestinya Koh-kongcu juga tidak ingin bertaruh dengan dia,” tutur Siau Man pula. “Tapi tuan Siau-hi-ji itu lantas berkata...”

“Berkata apa?” tukas Siau-sian-li.

Siau Man menunduk, jawabnya kemudian, “Kata... katanya, ‘Memang sudah kuduga Koh-siaumoay pasti tidak berani bertaruh denganku. Ya, sudahlah’”

“Hahahaha!” mendadak Han-wan Sam-kong bergelak tertawa. “Sungguh tak nyana sedikit kepandaianku cara memancing orang bertaruh kini telah diwarisi seluruhnya oleh Siau-hi-ji. Dengan kata-kata pancingannya itu, mustahil Koh-siaumoay takkan bertaruh dengan dia.”

Siau-sian-li melototi Han-wan Sam-kong lagi, sementara itu Siau Man telah berkata, “Ya, memang betul, Koh-kongcu menjadi tidak tahan dan mau bertaruh dengan dia.”

Tentu saja Siau-sian-li tambah khawatir, cepat ia tanya, “Mengapa dia tidak sabar lagi seperti biasanya, lalu apa yang terjadi atas taruhan mereka?”

“Tuan Siau-hi-ji itu bilang, ‘Cukup aku berucap satu kalimat saja akan dapat membikin Ih-hoa-kiongcu batal bertempur, maka Yan-toasiok tentu juga tidak dapat bergebrak lagi sendirian.’ Sudah tentu Koh-kongcu tidak percaya.”

“Jangankan Koh-kongcu tidak percaya, malahan aku pun tidak percaya, andaikan aku yang ditantang bertaruh tentu juga akan kuterima,” sela si nenek Siau.

“Jika demikian, jelas engkau juga akan kalah,” ujar Siau Man gegetun, sampai di sini ia sengaja berhenti bercerita.

Sudah tentu orang banyak sangat ingin tahu sesungguhnya apa yang diucapkan Siau-hi-ji sehingga dapat membatalkan niat Ih-hoa-kiongcu berduel dengan Yan Lam-thian, sedangkan Siau-sian-li juga buru-buru ingin tahu apa yang telah mengalahkan Koh Jin-giok dalam taruhan itu.

Seketika pandangan semua orang tertuju pada Siau Man, semuanya menantikan lanjutan ceritanya.

Bahwa Siau Man bisa menjadi pelayan pribadi Siocia (anak putri) keluarga ternama, dengan sendirinya lantaran dia memang pintar dan cekatan, sejak kecil ia sudah belajar cara bagaimana menyelami isi hati dan kehendak sang majikan serta cara bagaimana menyanjungnya. Maka dia tidak bicara lain, tapi bercerita lebih dulu, “Tuan Siau-hi-ji menyatakan, bila mana dia kalah, maka terserahlah kepada Koh-kongcu hendak diapakan dia, sebaliknya jika Koh-kongcu yang kalah, maka tuan Siau-hi-ji boleh menyuruh Koh-kongcu berbuat sesuatu baginya.”

Salam hangat untuk para Cianpwee sekalian,

Setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati kami memutuskan untuk menjual website ini. Website yang lahir dari kecintaan kami berdua, Ichsan dan Fauzan, terhadap cerita silat (cersil), yang telah menemani kami sejak masa SMP. Di tengah tren novel Jepang dan Korea yang begitu populer pada masa itu, kami tetap memilih larut dalam dunia cersil yang penuh kisah heroik dan nilai-nilai luhur.

Website ini kami bangun sebagai wadah untuk memperkenalkan dan menghadirkan kembali cerita silat kepada banyak orang. Namun, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi mampu mengelola website ini dengan baik. Saya pribadi semakin sibuk dengan pekerjaan, sementara Fauzan saat ini sedang berjuang melawan kanker darah. Kondisi kesehatannya membutuhkan fokus dan perawatan penuh untuk pemulihan.

Dengan hati yang berat, kami membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengambil alih dan melanjutkan perjalanan website ini. Jika Anda berminat, silakan hubungi saya melalui WhatsApp di 0821-8821-6087.

Bagi para Cianpwee yang ingin memberikan dukungan dalam bentuk donasi untuk proses pemulihan saudara fauzan, dengan rendah hati saya menyediakan nomor rekening berikut:

  • BCA: 7891767327 a.n. Nur Ichsan
  • Mandiri: 1740006632558 a.n. Nur Ichsan
  • BRI: 489801022888538 a.n. Nur Ichsan

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar