Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar seorang meraung di daratan sana, “Hai, Li Toa-jui, Ok-tu-kui, kalian para cucu keparat ini lekas menggelinding keluar semua.”
“Memang tidak salah, betul si tua gila ini,” kata To Kiau-kiau.
Han-wan Sam-kong bertepuk gembira, serunya, “Haha, dengan datangnya anak kura-kura ini, tentu akan bertambah ramailah.”
Ketika mendengar suara orang yang mirip raungan singa itu, seketika tubuh Thi Sim-lan bergetar, entah terlalu kejut atau karena girangnya.
Sedangkan para nona Buyung diam-diam merasa heran, sungguh sukar dimengerti sahabat para kakek dan nenek aneh ini ternyata juga sahabat Cap-toa-ok-jin ini.
Dalam pada itu Li Toa-jui dan Han-wan Sam-kong sudah memburu ke haluan kapal dan berseru, “Hai, kau si tua gila kiranya belum lagi mampus?”
“Sebelum kalian cucu keparat ini mampus mana aku sampai hati mati lebih dulu?” demikian seru seorang di daratan sana. Di tengah tertawanya segera ia pun melompat ke haluan kapal.
Sedemikian besar kapal layar ini juga sedikit oleng ketika orang itu hinggap di geladak kapal, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat tenaga orang ini.
Tanpa melihat juga setiap orang dapat menduga pendatang ini pasti juga seorang aneh. Dan setelah melihat jelas, tanpa terasa semua orang menarik napas dingin.
Perawakan orang ini tidak terlalu tinggi, boleh dikatakan lumrah, paling-paling hanya enam atau tujuh kaki, tapi diukur ke samping lebarnya ternyata ada empat-lima kaki, jadi bentuknya seperti sepotong batu persegi.
Yang lebih hebat adalah kepalanya, besarnya luar biasa, bila dipenggal dan ditimbang, sedikitnya ada lima puluh kati atau tiga puluh kilogram. Lebih-lebih karena rambutnya yang semrawut tak terpelihara itu mirip sarang ayam, cambangnya yang lebat itu bergandengan dengan rambutnya sehingga sukar dibedakan yang mana rambut dan yang mana cambangnya. Tentu saja hidung dan mulutnya menjadi tertutup sehingga sukar ditemukan.
Kalau dipandang dari jauh, orang ini mirip sepotong batu besar yang di atasnya mendekam seekor landak atau kalau dipandang dari samping mirip juga seekor singa yang telah berubah bentuk.
Begitu melompat ke atas kapal, segera orang ini berangkulan dengan Li Toa-jui dan Han-wan Sam-kong sambil tertawa terbahak-bahak. Umur ketiga orang kalau ditotal jenderal mungkin lebih dua ratus tahun, tapi kelakuan mereka masih seperti anak kecil saja.
Seketika Tan Hong-ciau menjadi ragu-ragu apakah harus menyambut kedatangan orang aneh ini atau tidak.
Mendadak orang aneh ini mendorong minggir Li Toa-jui, lalu meraung pula, “He, aku menjadi lupa memeriksa calon menantuku yang ditemukan kalian para cucu keparat ini. Apa bila tidak cocok dengan seleraku, lihat nanti kalau tidak kuhajar kalian.”
To Kiau-kiau lantas memapak ke sana, katanya dengan tertawa, “Calon menantumu yang kami carikan ini kutanggung kau si orang gila ini pasti akan cocok dan puas, jika kau sendiri yang cari, biar pun keliling dunia sambil menabuh bende juga takkan menemukan menantu sebagus ini.”
Ketika melihat orang aneh itu, air mata Thi Sim-lan sudah lantas berlinang-linang, sekuatnya ia memburu maju dan mendekap orang itu sambil berseru, “Ayah...” karena sedih dan terharu tenggorokannya serasa tersumbat, hanya satu kali saja dia berucap, lalu tidak sanggup bersuara pula.
Baru sekarang Bu-koat tahu pendatang baru ini ialah “Ong Say”, si Singa Gila yang disegani itu. Bila melihat anak perempuannya secantik Thi Sim-lan, sungguh siapa pun tak berani membayangkan ayahnya berbentuk seaneh ini.
Dengan perlahan Thi Cian membelai kepala Thi Sim-lan, ucapnya dengan tertawa, “O, putriku yang baik, janganlah menangis, ayah belum lagi mampus, seharusnya kau bergembira, apa yang kau tangiskan?”
Belum habis ucapannya, mendadak ia lompat ke depan Hoa Bu-koat, anak muda itu dipandangnya dari kepala ke kaki dan dari kaki kembali ke kepala. Sedikitnya tujuh kali dia mengamati Hoa Bu-koat.
Hoa Bu-koat sendiri tampak lesu, maklum, dia kelaparan selama beberapa hari, dengan sendirinya fisiknya sangat lemah.
Thi Cian manggut-manggut, agaknya dia merasa puas terhadap bakal menantunya ini, ucapnya kemudian, “Ehm, bocah ini masih mirip manusia juga, hanya... kenapa mukanya begini pucat dan berdiri saja tidak kuat, jangan-jangan calon mantu yang kalian temukan ini sakit TBC.”
“Dia tidak sakit TBC, tapi semacam penyakit aneh, asalkan diberi sepotong bakpao saja segera akan kuat berdiri,” kata Kui-tong-cu dengan tertawa.
Thi Cian melengak, tanyanya kemudian, “Apakah dia menderita sakit lapar?”
“Betul,” jawab Kui-tong-cu dengan tertawa.
Seketika Thi Cian berjingkrak murka, kembali ia meraung, “Keparat, siapa yang membuat calon menantuku ini kelaparan begini?
“Siapa lagi kalau bukan kawan-kawanmu yang lama itu?” kata Kui-tong-cu.
Sekonyong-konyong Thi Cian membalik tubuh, sekali pentang kedua tangannya, kontan leher baju Ha-ha-ji dan To Kiau-kiau kena dicengkeramnya terus diangkat mentah-mentah.
Padahal ilmu silat Thi Cian tidak tergolong kelas top di antara Cap-toa-ok-jin, hanya cara berkelahinya saja yang nekat dan tidak kenal takut, jika bicara kungfu sejati To Kiau-kiau saja lebih tinggi dari pada dia.
Tapi sekarang dia cuma mencengkeram sekenanya dan To Kiau-kiau serta Ha-ha-ji lantas kena dibekuknya tanpa bisa berkutik, bahkan ingin berkelit saja tidak mampu.
Keruan Li Toa-jui dan lain-lain berjingkrak kaget, sama sekali mereka tidak menyangka si Singa Gila ini kini menjadi begini lihai, nyata kungfunya telah maju pesat. Sekilas pandang Li Toa-jui melihat Ni Cap-pek, Ji Cu-geh, dan lain-lain sama mengunjuk rasa senang dan puas, maka tidak perlu ditanya lagi, jelas ilmu silat Thi Cian ini adalah ajaran para kakek aneh ini.
Karena leher bajunya dicengkeram sedemikian kencang, leher Ha-ha-ji serasa hendak patah, ingin ber-haha saja tidak dapat, malahan napas pun serasa mau putus, cepat ia berteriak dengan serak, “Antara... antara sahabat sendiri, ada urusan apa boleh... boleh dibicarakan secara baik-baik, kenapa main tangan segala?”
“Bicara baik-baik apa?” teriak Thi Cian dengan gusar. “Kau sendiri makan kenyang hingga gemuk melebihi babi, tapi calon menantuku kau buat lapar hingga kurus menyerupai orang sakit paru-paru.”
“Ai, hendaklah Thi-heng maklum,” cepat To Kiau-kiau ikut bicara dengan tertawa. “Apa bila kami tidak membuatnya kelaparan, mungkin sudah sejak dulu dia kabur.”
“Kabur? Mengapa harus kabur?” teriak Thi Cian.
“Kenapa Thi-heng tidak tanya sendiri padanya?” ujar Kiau-kiau.
Benar juga rasa gusar Thi Cian lantas mereda, ia lepaskan cengkeramannya, lalu menjambret leher baju Hoa Bu-koat dan meraung pula, “Ya, ingin kutanya padamu, mengapa kau bermaksud kabur? Memangnya kau kira anak perempuanku tidak setimpal mendapatkan kau si TBC ini?”
Cepat Thi Sim-lan memegang tangan sang ayah dan berseru, “Lepaskan dia, Ayah, urusan ini tiada sangkut pautnya dengan dia.”
Dengan gusar Thi Cian berkata, “Dia bakal lakimu, kalau tiada sangkut pautnya dengan dia, lalu menyangkut siapa?”
“Ayah...” air mata Thi Sim-lan bercucuran, “urusan ini sangat panjang untuk diceritakan, harap Ayah...” pertentangan batin dan duka deritanya mana dapat diuraikannya di hadapan orang sebanyak ini.
“Sesungguhnya apa yang terjadi?” teriak Thi Cian pula. “Tapi aku tak peduli urusan lain, aku cuma ingin tanya padamu, kau suka tidak kawin dengan bocah ini?”
Thi Sim-lan menunduk dan menjawab, “Aku... aku...”
“Mengapa sekarang kau pun berubah kikuk-kikuk begini,” teriak Thi Cian. “Kalau suka bilang suka, jika tidak mau katakan tidak mau, kenapa tak dapat kau katakan terus terang? Asalkan kau mengangguk, sekarang juga bocah ini akan menjadi hakmu. Bila kau menggeleng, segera pula kulempar pergi bocah ini.”
Akan tetapi kepala Thi Sim-lan sama sekali tidak bergerak, ia tidak dapat mengangguk dan juga tidak dapat menggeleng. Bila teringat betapa mendalam cinta Bu-koat, mana dia dapat menggeleng kepala? Ia tahu, asalkan ia menggeleng kepala satu kali saja, maka selanjutnya mungkin takkan bertemu lagi dengan Bu-koat. Akan tetapi bila teringat kepada Siau-hi-ji yang menggemaskan dan juga menyenangkan itu... Ai, cara bagaimana pula dia dapat mengangguk?
Pertentangan batinnya sekarang biar pun malaikat dewata juga mungkin tak dapat memahaminya, apalagi lelaki yang selamanya tidak paham seluk-beluk cinta kasih antarremaja seperti si Singa Gila Thi Cian itu.
Keruan orang tua ini menjadi kelabakan sendiri, ia membanting kaki dan meraung pula, “Kau tidak perlu membuka mulut, masa kepalamu juga tidak dapat bergerak sama sekali?”
Namun kepala Thi Sim-lan tetap tidak bergerak sedikit pun.
Semua orang pun saling pandang dengan bingung, semuanya terkesima. Biar pun para nona Buyung itu rata-rata adalah nona yang pintar dan cerdas, kini mereka pun tidak dapat meraba jalan pikiran Thi Sim-lan dan sesungguhnya apa kehendaknya.
Di dalam hal ini, satu-satunya orang yang memahami perasaan Thi Sim-lan sekarang mungkin cuma Hoa Bu-koat saja.
Namun ia sendiri pun penuh rasa sedih, ia tahu sebabnya Thi Sim-lan tidak menggeleng adalah karena nona itu tidak tega melukai hatinya. Tapi seumpama Thi Sim-lan mengangguk, apakah Bu-koat sendiri takkan berduka?
Dengan sedih ia lantas berkata, “Aku...”
Di luar dugaan, baru satu kata ia berucap, seketika Thi Cian berjingkrak murka dan meraung pula, “Tutup mulutmu! Siapa suruh kau bicara? Pokoknya asalkan putriku mau, maka kau harus menikahi dia, jika putriku tidak suka, maka segera kau enyah dari sini.”
Tindakan Thi Cian ini benar-benar membuat para nona Buyung serbasusah, bakal mertua yang tidak kenal aturan begini sungguh jarang ada di dunia ini.
Sudah tentu mereka tidak tahu apa bila Thi Cian kenal aturan, tentu namanya takkan ikut tercantum di dalam deretan “Cap-toa-ok-jin”.
“Kau bodoh,” tiba-tiba si nenek peniup seruling she Siau ikut bicara. “Setiap anak perempuan bila ditanya soal kawin tentu saja tak berani menjawab. Kalau anak perempuan tidak mengangguk dan juga tidak menggeleng, itu tandanya dia sudah mau.”
Meski rambut nenek she Siau itu sudah putih semua, mukanya juga keriputan dan giginya sudah ompong seluruhnya, namun di antara senyum dan lirikan matanya masih jelas kelihatan dahulu dia pasti juga seorang wanita cantik yang berpengalaman.
Thi Cian menepuk paha keras-keras dan berseru, “Aha, betul, betapa pun Siau-toaci memang lebih paham perasaan anak perempuan...”
Di luar dugaan, mendadak Thi Sim-lan berkata, “Tidak, bu... bukan maksudku...”
“Jadi maksudmu kau tidak mau menjadi istrinya?” tanya Thi Cian.
Dengan air mata bercucuran Sim-lan menjawab, “Juga bu... bukan begitu...”
Thi Cian menjadi bingung dan kelabakan, ia jambak rambut sendiri dan berteriak, “Habis apa maksudmu...? Hai, kalian tahu tidak apa maksudnya? Ayolah katakan!”
Thi Sim-lan menunduk, kembali ia membisu.
Dalam keadaan demikian, jangankan Thi Cian kelabakan setengah mati, sekali pun orang lain juga ikut gelisah.
“Ayolah katakan, masa di antara kalian ini tiada seorang pun yang tahu maksudnya?” teriak Thi Cian sambil berjingkrak.
“Kutahu di sini ada seorang yang tahu maksudnya,” tiba-tiba Han-wan Sam-kong berkata dengan tertawa.
“Siapa dia?” tanya Thi Cian.
“To Kiau-kiau,” jawab si Ok-tu-kui.
Baru saja kata “kiau” terakhir itu terucapkan tahu-tahu Thi Cian sudah mencengkeram leher baju To Kiau-kiau sambil meraung, “Kau keparat, jika kau tahu, mengapa tidak sejak tadi-tadi kau katakan dan membuat Locu kelabakan seharian?!”
Cepat Kiau-kiau menjawab dengan mengiring tawa, “Jika kau sebagai bapak tidak paham isi hati anaknya, dari mana pula aku bisa tahu? Semuanya ini lantaran Ok-tu-kui dendam padaku karena kejadian tadi, makanya dia sengaja membalas sakit hatinya atas diriku.”
“Kentut busuk!” teriak Thi Cian. “Selamanya Ok-tu-kui tidak suka berdusta. Pendeknya, akan kuhitung sampai tiga, jika tetap tidak kau katakan segera juga kubinasakan kau.”
Tapi kata-kata “satu” saja belum dihitung Thi Cian, kontan To Kiau-kiau mendahului bicara, “Baiklah, akan kukatakan, cuma setelah kukatakan tentu kau akan semakin tak berdaya.”
Rupanya To Kiau-kiau cukup kenal sifat si Singa Gila yang berani bicara berani berbuat, dalam keadaan jiwa sendiri menjadi taruhan, terpaksa segala apa pun dibeberkannya.
“Aku tidak peduli,” demikian kata Thi Cian. “Pokoknya asal kau jelaskan, aku tentu punya akal.”
“Andaikan ia tak berdaya juga kami dapat membantunya mencari akal,” tukas Kui-tong-cu.
“Begini duduk perkaranya,” tutur Kiau-kiau kemudian. “Anak perempuan ini sebenarnya ingin menjadi istri Hoa-kongcu ini, akan tetapi dia... dia juga mempunyai seorang kekasih lagi, jadinya, dia ingin menjadi istri Hoa-kongcu, tapi juga ingin diperistri oleh orang itu.”
“Siapa lebih unggul di antara kedua orang ini?” tanya si nenek she Siau tiba-tiba.
To Kiau-kiau tertawa, jawabnya, “Keduanya boleh dikatakan sekati enam belas tahil, setali tiga uang. Masing-masing mempunyai segi baiknya sendiri-sendiri. Jika aku menjadi dia, sesungguhnya aku pun tidak tahu harus pilih yang mana.”
Mendengarkan sampai di sini, hati Thi Sim-lan menjadi malu dan juga sedih, kalau bisa sungguh ia ingin segera mati saja. Tapi bila teringat mereka telah menyinggung Siau-hi-ji, bukankah anak muda itu ada harapan masih hidup, dia menggereget dan bertahan sedapatnya.
“Memang, betapa pun kau tanya seorang perempuan, bila mana menghadapi soal rumit begini juga takkan berdaya,” kata si nenek she Siau. “Maka pantaslah kalau Nona Thi sedemikian sedih, jika aku menjadi dia, aku pun tidak...”
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba Pek Khay-sim menyela, “Kalian tidak berdaya, kami ada akal.”
“Akal apa?” tanya Nenek Siau.
“Kalau sekaligus dia menyukai dua lelaki, maka suruhlah dia menjadi istri dua orang berbareng, sana-sini dapat, kan untung besar?” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.
Dasar “mulut anjing tak mungkin keluar gading”, tidak nanti Pek Khay-sim mengucapkan kata-kata yang menguntungkan orang lain. Maka semua orang mengira sekali ini Thi Cian pasti akan melabrak Pek Khay-sim, andaikan kepalanya tidak dipecahkan tentu juga akan dihajarnya hingga babak belur.
Di luar dugaan, Thi Cian terus melonjak, tapi bukan melonjak murka sebaliknya malah bertepuk gembira dan berseru, “Aha, saran bagus, usul tepat...”
“Kau anggap bagus usulnya?” tanya si Nenek Siau dengan tercengang.
“Mengapa tidak?” jawab Thi Cian. “Seorang lelaki boleh ambil dua istri sekaligus, mengapa seorang perempuan tidak boleh mempunyai dua suami.”
Bagi si Singa Gila yang berpikir sederhana dan polos sudah tentu tak terpikir olehnya bahwa makhluk hidup di dunia ini segala sesuatunya sudah kodrat alam. Menurut jalan pikirannya, demi keadilan, bila lelaki boleh poligami, mengapa perempuan tidak boleh poliandri.
Maka si Nenek Siau lantas berkata, “Tapi... tapi soal ini tidaklah sama.”
“Tidak sama bagaimana?” Thi Cian melotot. “Memangnya perempuan bukan manusia dan harus dibeda-bedakan haknya? Jangan lupa, kau sendiri pun orang perempuan.”
Nenek Siau menghela napas gegetun, gumamnya, “Aku memang orang perempuan, tapi kau orang gila.”
Thi Cian terbahak-bahak, katanya, “Gila atau tidak, demi anak perempuanku, menjadi gila juga tidak menjadi soal.”
Lalu dia pegang tangan Thi Sim-lan dan berkata pula, “Katanya kau masih mempunyai seorang kekasih lagi, siapa dia? Katakan saja, biar Ayah bertindak bagimu.”
Wajah Thi Sim-lan dari merah berubah menjadi pucat, ia benci mengapa dirinya tidak mati saja tiga tahun yang lalu. Sudah tentu sekarang ia tak sanggup bicara apa pun juga.
Sampai para nona Buyung juga menyesalkan nasib Thi Sim-lan, diam-diam mereka merasa anak dara ini sangat kasihan, anak perempuan selembut ini mengapa mempunyai ayah sekonyol ini?
Han-wan Sam-kong mengerling dan berseru tiba-tiba, “Buset, untuk persoalan begini masa anak perempuan berani berterus terang.”
“Dari mana kau tahu?” omel Thi Cian.
“Biar aku saja yang beri tahukan padamu, bocah yang dimaksudkan itu she Kang, orang memanggilnya Siau-hi-ji.”
Nama “Siau-hi-ji” benar-benar membuat semua orang terkesiap, lebih-lebih Siau-sian-li, mukanya menjadi merah karena gemas. Sedangkan To Kiau-kiau dan lain-lain cuma berkerut kening. Hanya Hoa Bu-koat saja, mendadak sorot matanya mencorong terang, sebab akhirnya ia pun tahu maksud tujuan Han-wan Sam-kong.
“Siau-hi-ji... Siau-hi-ji...” sambil mengernyitkan dahi Thi Cian mengulangi nama ini hingga beberapa kali. “Sungguh lucu, mengapa bocah itu memakai nama seaneh ini?”
“Soalnya dia memang juga seorang yang aneh bin ajaib, siapa pun kalau kebentur dia pasti akan sial tiga tahun lamanya,” kata Pek Khay-sim sambil tertawa.
“Kau keparat ini tidak perlu mengacau,” ujar Thi Cian sambil menyengir. “Asalkan putriku suka, biar pun dia itu seorang pengemis juga tidak menjadi soal bagiku.”
Cepat Han-wan Sam-kong menyambung dengan menghela napas, “Tapi sayang, sekarang siapa pun tak tahu Siau-hi-ji berada di mana?”
“Itu tidak menjadi soal,” seru Thi Cian. “Asalkan memang ada seorang yang demikian itu, tentu dapat kutemukan dia.” Mendadak ia tepuk pundak Kui-tong-cu keras-keras, katanya sambil tertawa, “Misalnya aku tak dapat menemukan dia, tentunya kau dapat menemukannya, betul tidak?”
“Tidak betul,” tukas Han-wan Sam-kong.
“Ah, persetan kau, soalnya kau belum kenal kemampuan Kui-toako kita ini,” kata Thi Cian dengan tertawa.
“Untuk mencari orang lain mungkin sangat mudah, tapi untuk mencari Siau-hi-ji, jelas sangat sukar,” kata Han-wan Sam-kong.
Seketika Thi Cian melotot lagi, teriaknya, “Sebab apa?”
Han-wan Sam-kong memandang sekejap ke arah To Kiau-kiau dan lain-lain, katanya, “Sebab Siau-hi-ji telah disembunyikan oleh mereka.”
Kontan Thi Cian melonjak murka, tanyanya sambil melototi To Kiau-kiau, “Mengapa kau menyembunyikan dia? Memangnya kau pun penujui dia untuk dijadikan lakimu?”
Tampaknya dia hendak menubruk maju dan melabrak orang, cepat To Kiau-kiau menjawab dengan mengiring tawa, “Sabar dulu, Thi-heng, jangan kau percaya ocehan setan judi ini, belakangan ini dia memang ketularan penyakit Pek Khay-sim yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri.”
Dengan tertawa Han-wan Sam-kong berkata, “Seumpama kau tidak menyembunyikan dia, paling tidak kau tahu di mana dia berada, betul tidak?”
To Kiau-kiau menghela napas, ucapnya, “Jika kalian berkeras ingin mencari dia, baiklah, akan kubawa kalian ke sana. Cuma sayang, saat ini mungkin sudah terlambat.”
Hakikatnya Thi Cian tidak mendengar kedua kalimatnya yang terakhir, terus saja ia melompat maju dan berseru, “Ayolah, mau pergi, sekarang juga berangkat, makin cepat makin baik.”
Mendadak Tan Hong-ciau juga berbangkit dan berseru, “Betul, pesta ini dapat kita tunda sementara dan kita lanjutkan lagi nanti.”
“Kau pun ingin ikut?” tanya Thi Cian.
“Sudah lama kami mendengar nama besar ‘Siau-hi-ji’ dan sangat ingin berjumpa dengan dia,” jawab Tan Hong-ciau dengan tertawa.
Thi Cian bertepuk gembira, katanya, “Wah, tampaknya calon menantuku ini kekasih orang banyak.”
“Hm, kekasih orang banyak apa? Lebih tepat kalau disebut kebencian orang banyak,” tukas Siau-sian-li dengan mendongkol. “Setahuku paling sedikit ada delapan ratus orang yang benci dan ingin menelannya bulat-bulat.”
Untung orang banyak sedang berbondong-bondong ikut keluar ke sana sehingga tiada seorang pun yang memerhatikan apa yang diucapkan Siau-sian-li itu. Hanya Koh Jin-giok saja memandangi si nona dengan terkesima. Setelah semua orang sudah pergi, Koh Jin-giok menghela napas perlahan dan berucap, “Lekas engkau pun berangkatlah.”
“Kau sendiri tidak ikut?” tanya Siau-sian-li.
Koh Jin-giok menunduk, jawabnya, “Kukira... kukira lebih baik kupulang saja.”
Siau-sian-li melototinya sejenak, jengeknya tiba-tiba, “Hm, dia telah mengacaukan perjodohanmu dengan budak Kiu, makanya kau benci padanya?”
“Seumpama tiada dia, Kiu-moay juga takkan suka padaku,” ucap Koh Jin-giok dengan muram. “Bukan begitulah maksudku.”
“Habis apa maksudmu?” omel Siau-sian-li.
Makin rendah Koh Jin-giok menunduk, jawabnya dengan tergagap, “Aku cuma... cuma merasa engkau juga...” mukanya menjadi merah dan tidak sanggup menyambung pula.
Sekian lama Siau-sian-li melotot padanya, mendadak ia tertawa, katanya, “Tolol kau, memangnya kau kira aku menyukai dia?”
Dengan tergagap-gagap Koh Jin-giok berkata, “Pernah kudengar cerita Sam-moay, katanya apa bila seorang perempuan suka pada seorang lelaki barulah bisa timbul rasa bencinya. Sedemikian bencimu kepada Siau-hi-ji, bukankah... bukankah kau pun...”
Mendadak Siau-sian-li mendekap mulut anak muda itu, ucapnya dengan suara lembut, “Tolol, masa sejauh ini kau tidak tahu perasaanku?”
Terkejut dan bergirang Koh Jin-giok, seketika ia jadi terkesima.
“Jika kau kira aku menyukai dia, biarlah sekarang juga kujadi istrimu, dengan demikian tentu kau tidak perlu khawatir lagi,” kata Siau-sian-li. Mendadak ia bertepuk dan tertawa, katanya pula, “Betul juga, jika kita menikah sekarang, kita tidak perlu repot mengundang pemain musik dan juga tidak memerlukan comblang, bila mana mereka sudah kembali dan mendengar kabar ini, tentu air muka mereka akan kelihatan sangat lucu.”
Makin bicara makin gembira, “brek”, mendadak Koh Jin-giok jatuh terguling bersama kursinya.
“He, ken... kenapa kau?” tanya Siau-sian-li terkejut.
Segera ia bermaksud membangunkan Koh Jin-giok. Siapa tahu mendadak anak muda itu lantas melompat bangun sambil berteriak, “Aku sangat gembira... aku teramat gembira... Aku orang paling bahagia di dunia ini!”
Siau-sian-li terkejut, tapi segera ia pun tertawa dan berkata, “Sungguh tak tersangka Koh-siaumoay bisa berubah menjadi gila.”
“Hahaha, baru sekarang kutahu Siau-hi-ji adalah orang paling baik nomor satu di dunia,” seru Koh Jin-giok dengan tertawa.
“Kau bilang dia orang baik? Ai, kau benar-benar sudah gila,” ujar Siau-sian-li.
“Mengapa tidak baik?” jawab Koh Jin-giok. “Coba kau pikir, jika bukan lantaran dia, dari mana munculnya kedua pasang suami istri bahagia seperti Kiu-moay dan kita ini?”
Siau-sian-li tertawa dengan muka merah, tapi ia lantas pura-pura menarik muka dan mengomel, “Siapa bilang kita akan bahagia? Bisa jadi kelak aku akan lebih buas dari pada macan betina, setiap hari akan kupukul kau, memakimu, bahkan takkan kuberi makan nasi padamu.”
Koh Jin-giok membesarkan nyalinya, tangan si nona dipegangnya, lalu berkata dengan suara halus, “Asalkan senantiasa berdampingan denganmu, tidak makan nasi juga tidak menjadi soal, cukup kita selalu berdekatan saja.”
“Idih, kukira kau ini orang sopan dan pemalu, tak tahunya juga bengal begini,” omel Siau-sian-li.
Sorot mata kedua muda-mudi itu beradu pandang, dalam hati penuh manis madu. Angin meniup sepoi-sepoi membawakan suasana yang penuh bahagia. Tanpa terasa Siau-sian-li menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Koh Jin-giok...
Pada saat itu dua genduk cilik lagi mengintip di balik kabin sana. Bisik salah seorang pelayan kecil itu dengan tertawa, “Coba dengarkan, mereka juga sedang membicarakan Siau-hi-ji. Entah bagaimanakah dan siapakah Siau-hi-ji itu? Apakah dia seorang tua yang suka mencarikan jodoh bagi muda-mudi yang memerlukannya?”
“Apakah kau juga ingin menemui dia untuk minta dicarikan jodoh?” ujar genduk yang lain. “Ya, kutahu kau si genduk cilik ini memang sudah mulai berahi.”
“Kalau ya memangnya kenapa?” jawab si genduk cilik pertama. “Masa kau sendiri tidak ingin bertemu dengan Siau-hi-ji?”
“Tidak, aku tidak ingin menemui dia?” jawab si genduk kedua yang bermuka bulat telur. “Pernah kudengar cerita Sam-naynay (nyonya ketiga), katanya orang ini sangat nakal dan suka mengacau, gemar menggoda orang pula, bukan orang baik-baik.”
“Huh, di mulut kau omong begini, padahal dalam hati kepingin setengah mati untuk menemani dia,” kata genduk pertama yang berbaju merah. “Kalau dia bukan orang baik-baik, mengapa Koh-siauya memuji dia adalah orang paling baik nomor satu di dunia.”
Si muka bundar tampak termenung-menung, sejenak kemudian baru berkata pula, “Memang akhir-akhir ini kudengar juga cerita Sam-naynay, dari nadanya kukira Siau-hi-ji sudah banyak berubah dan seperti tidak terlalu busuk...”
“Tidak peduli dia orang baik atau orang busuk, paling tidak dia pasti seorang yang menarik dan menyenangkan,” kata si genduk baju merah. “Aku menjadi iri terhadap Siau Jui dan Siau Hong, beruntung mereka disuruh ikut pergi bersama Sam-naynay, saat ini mungkin mereka sudah bertemu dengan dia.”
Kedua anak dara ini lantas memandang jauh ke luar sana dengan termangu-mangu, di bawah cahaya bintang yang bertaburan di langit itu seakan-akan seorang pemuda yang menyenangkan dan juga menggemaskan sedang tersenyum kepada mereka...
Siau-hi-ji, nama ini memang selalu hidup di dalam hati setiap orang. Akan tetapi siapakah yang tidak beruntung itu?
Saat itu yang paling senang adalah Han-wan Sam-kong, dia memandang barisan orang yang berjalan di depannya, diam-diam ia bersyukur, apa pun juga dia sudah berbuat sesuatu bagi Siau-hi-ji.
Li Toa-jui menoleh dan memandangnya sekejap, lalu ia mengendurkan langkahnya dan jalan mendampingi Han-wan Sam-kong, katanya, “Kiranya kau pun sahabat baik Siau-hi-ji.”
“Memangnya kau kira Locu cocok untuk berkawan dengan anak kura-kura macam kalian ini?” jawab Han-wan Sam-kong.
Li Toa-jui tertawa, katanya pula, “Waktu kau dengar dari kami bahwa Siau-hi-ji terkurung di perut bukit itu, lantas timbul pikiranmu hendak menolongnya. Tapi lantaran tidak tahu bagaimana caranya menolong, makanya kau sengaja mengajak kami ke tempat keluarga Buyung.”
“Ya, anggaplah benar terkaanmu si anak kura-kura ini,” kata Han-wan Sam-kong. “Sebenarnya maksudku hendak minta bantuan para Nona Buyung itu, tapi belum sempat bicara, tahu-tahu muncul sekawanan tua bangka itu, jadinya aku malah hemat tenaga.”
“Hah, tak terduga kau pun bisa menggunakan akal. Sampai-sampai kami pun tertipu olehmu,” kata Li Toa-jui dengan tertawa.
“Kalian sekawanan anak kura-kura ini pada hakikatnya bukan manusia,” damprat Han-wan Sam-kong tiba-tiba. “Siau-hi-ji dibesarkan di antara kalian dan kalian justru berharap dia terkurung mati di sana.”
Li Toa-jui terdiam sejenak, ia menghela napas panjang, kemudian menjawab, “Bicara terus terang, sebenarnya aku pun ingin menolong dia, tapi... tapi demi mendengar Yan Lam-thian muncul di sekitar sini, seketika aku menjadi bingung.”
“Apakah kau kira Siau-hi-ji akan membantu Yan Lam-thian menyikat kalian?”
“Seumpama betul dia bertindak demikian juga kita tak dapat menyalahkan dia,” ujar Li Toa-jui dengan gegetun. “Meski Kang Hong dan istrinya bukan mati di tangan kita, tapi Yan Lam-thian... Ai!”
“Hmk!” jengek Han-wan Sam-kong. “Supaya kau tahu, kalian telah salah menilai Siau-hi-ji, dia sama sekali bukan manusia yang tidak kenal budi. Apa bila dia masih hidup, dia pasti akan membujuk Yan Lam-thian dan memintakan ampun bagi kalian. Tapi kalau dia mati, kalian para anak kura-kura inilah yang akan celaka.”
Seketika Li Toa-jui melenggong dan tak dapat bicara. Sampai lama, akhirnya ia menghela napas menyesal dan berkata, “Semoga dia masih hidup sekarang.”
Mendadak Han-wan Sam-kong menjambret leher baju Li Toa-jui dan membentak, “Memangnya sekarang dia sudah mati?!”
“Aku pun tidak tahu saat ini ia sudah mati atau masih hidup,” jawab Li Toa-jui sambil menyengir. “Yang jelas dia terkurung di perut gunung itu selama tujuh atau delapan hari, tiada makanan di sana juga tiada air minum...”
“Tanpa air minum selama tujuh atau delapan hari, biar pun baja juga tidak tahan,” teriak Han-wan Sam-kong khawatir.....