“Mengapa aku tidak setimpal?” jawab Siau-hi-ji. “Huh, biar pun Ih-hoa-ciap-giok juga tiada sesuatu yang istimewa bagiku, kan serupa dengan Kungfu ‘meminjam tenaga untuk menggunakan tenaga’ itu saja, tiada bedanya seperti ilmu empat tahil menyampuk seribu kati dari Bu-tong-pay atau ‘Cian-ih-cap-pek-tiat’ (menempel baju delapan belas kali terjatuh) dari Siau-lim-pay, hanya saja cara bergerakmu teramat cepat, dapat pula mendahului pihak lawan sebelum dia sepenuhnya mengeluarkan tenaga, maka dalam pandangan orang lain tampaknya menjadi sangat ajaib, ditambah lagi caramu beraksi sedemikian rupa gaibnya sehingga sesuatu yang mestinya sangat sederhana disangka sedemikian hebatnya. Maka orang lain pun menganggap Kungfumu mahasakti.”
Uraian Siau-hi-ji membuat Kiau-goat menampilkan rasa kejut dan heran, mendadak ia membentak bengis, “Apalagi yang kau ketahui?”
“Di dunia ini memang banyak urusan yang tampaknya sangat hebat, tapi kalau sudah dibeberkan sesungguhnya tidak bernilai sepersen pun,” setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, “Umpamanya ketika diketahui tenaga pukulan lawan timbul dari Hu-sik-hiat dan Tong-tian-hiat dari bagian perut terus mengalir ke Hiat-to berikutnya yang menjurus ke bagian tangan sehingga akhirnya tenaga pukulannya pasti terhimpun pada tepi telapak tangan, begitu bukan?”
Kiau-goat Kiongcu seperti terkesima mendengar uraian anak muda itu sehingga gerakannya menjadi lambat, tanpa terasa ia pun mengangguk dan menjawab, “Betul.”
“Nah, jika sudah begitu, sebelum tenaga lawan itu terhimpun pada tempat yang terakhir, pada saat itu juga kau lantas menyampuknya balik,” kata Siau-hi-ji.
Tanpa terasa Kiau-goat mengangguk dan membenarkan.
“Dan karena tenaga pukulan lawan disampuk balik ketika sampai di tengah jalan, lantaran pergolakan tenaga murni dalam tubuh, otot daging pada lengannya menjadi tegang dan tertarik pula ketika tenaganya yang bergolak itu menerjang kembali ke arah semula, maka pukulannya bukan lagi mengenai sasarannya melainkan menghantam tubuh sendiri.”
“Hm, kalau tenaganya sudah tersampuk balik, mana bisa menerjang kembali ke tempat semula?” jengek Kiau-goat.
“Dengan sendirinya disebabkan tenaga yang kau gunakan tepat pada sasarannya, ini pun tidak mengherankan, asalkan aku berlatih beberapa tahun pasti juga kusanggup bermain sama bagusnya seperti dirimu,” ujar Siau-hi-ji.
Kiau-goat mendengus. Ia seperti mau bilang apa-apa, tapi hanya mendengus sekali saja lalu urung bicara. Maklum tiba-tiba ia merasa dirinya telah bicara terlalu banyak.
Siau-hi-ji lantas menyambung pula, “Meski aku belum lagi tahu cara bagaimana kau menyampuk balik tenaga murni lawanmu, tapi ini pun tidak penting. Soalnya aku sudah tahu kunci utama Kungfumu ini, yakni terletak pada mengetahui sejelasnya lebih dulu dari tempat mana dan arah mana tenaga pukulan lawan itu hendak dilancarkan.”
“Hm,” Kiau-goat mendengus pula.
“Maklumlah, tenaga manusia pada umumnya timbul dari beberapa Hiat-to di sekitar perut, maka tanpa kesulitan apa pun dapat kau raba kekuatan lawan, tapi diriku....” Siau-hi-ji bergelak tertawa, lalu melanjutkan, “Lantaran ilmu silatku berbeda dari pada siapa pun juga, guruku sedikitnya berjumlah belasan orang, bahkan berpuluh-puluh orang, bahkan kau pun termasuk satu di antara guruku. Nah, justru lantaran Kungfu yang kupelajari terlalu banyak dan ruwet, makanya dasar Lwekangku juga kurang baik, hakikatnya inilah kelemahanku yang terbesar, tapi untuk digunakan bergebrak denganmu, kelemahanku ini berbalik telah banyak membantu diriku.”
“Huh, memangnya kau kira....” mendadak Kiau-goat tidak melanjutkan.
“Justru lantaran Lwekangku kurang kuat, cara permainanku juga tidak menurut aturan, makanya seketika kau tidak dapat meraba arah tenaga seranganku dan pada hakikatnya kau pun tidak sempat menggunakan ilmu sakti Ih-hoa-ciap-giok.”
“Hm, kau bilang aku tidak dapat menggunakannya?” jengek Kiau-goat, mendadak kesepuluh jarinya terpentang, segera Kiok-ti-hiat dan Thian-coan-hiat bagian lengan Siau-hi-ji hendak ditutuknya.
Siau-hi-ji sedang melancarkan serangan dua kali dan tenaganya justru tersalur melalui kedua Hiat-to tersebut, nyata Kiau-goat Kiongcu sudah berhasil meraba tempat penyaluran tenaga Siau-hi-ji, maka dia telah mendahului mengerjai Hiat-to bagian yang bersangkutan, tenaga kebasan tangannya menyambar dengan kuat.
Sekali pun Siau-hi-ji dapat menghindarkan tutukan jarinya, tapi sukar mengelak akan guncangan tenaga kebasan tangan Kiau-goat Kiongcu itu. Padahal saat ini dia sedang menyerang dengan penuh tenaga, ini berarti tenaga pukulan akan menghantam tubuh sendiri, mengingat betapa kuat serangannya ini bisa jadi dia akan roboh seketika terpukul sendiri.
Siapa tahu, pada detik berbahaya itu, sekonyong-konyong tubuh Siau-hi-ji berputar dengan cepat dan menggeser ke samping sehingga tidak cedera apa-apa.
Ilmu Ih-hoa-ciap-giok yang tidak pernah gagal itu kini ternyata tidak mempan terhadap Siau-hi-ji. Keruan Kiau-goat Kiongcu benar-benar terkejut, padahal sudah diincarnya dengan baik tempat penyaluran tenaga Siau-hi-ji, mengapa bisa salah?
Didengarnya Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Tentunya kau tidak menyangka, bukan? Supaya kau tahu, meski telah kau gunakan tenaga yang keras terhadapku, namun aku sendiri sebenarnya sama sekali tidak menggunakan tenaga, karena tujuanmu hendak meminjam tenagaku untuk memukul aku sendiri, namun hasilnya nihil karena tiada setitik tenaga pun. Cara demikianlah kugunakan untuk menghadapi Ih-hoa-ciap-giok kebanggaanmu. Nah, coba katakan, bagus tidak caraku ini”
Tentu saja air muka Kiau-goat sebentar berubah pucat dan lain saat berubah beringas, jengeknya kemudian, “Hm, memang bagus, syukur kau dapat memikirkan cara sebodoh ini.”
“Kau anggap caraku ini sangat bodoh?” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Kalau bukan cara bodoh, lalu apa pula namanya?” ujar Kiau-goat. “Coba pikir, kau menyerang tanpa menggunakan tenaga, lalu dapatkah kau melukai lawan? Jadi kau sendiri sudah berada di tempat yang tidak mungkin menang, kalau ada orang bertempur, bila kau tidak mengharapkan kemenangan, lalu apa namanya jika bukan cara yang bodoh?”
Siau-hi-ji mengangguk, jawabnya dengan tertawa, “Betul juga, aku sendiri pun merasa caraku ini sangat bodoh. Tapi menghadapi orang semacam kau, cara yang bodoh terkadang malah terlebih berguna. Apalagi, jelas kau bertekad membunuhku, sebaliknya aku tiada maksud membunuhmu, cukup bagiku asal dapat mencegah keganasanmu padaku dan aku pun akan merasa puas.”
“Memangnya kau kira tanpa menggunakan Ih-hoa-ciap-giok tak dapat kubunuh kau?” bentak Kiau-goat dengan bengis.
“Baik, justru ingin kulihat masih mempunyai kepandaian apa yang dapat kau gunakan untuk membunuh diriku?”
Belum habis ucapan Siau-hi-ji, serentak angin pukulan Kiau-goat Kiongcu telah menyambar tiba, menyusul kedua tangan Kiau-goat seolah-olah berubah menjadi belasan tangan. Siau-hi-ji merasa seputarnya cuma bayangan pukulan lawan belaka. Sukar dibedakan yang mana tangan betul dan mana pula bayangan tangan, lebih-lebih tidak tahu cara bagaimana harus menghindar. Sungguh tak terpikir olehnya tangan seorang mengapa bisa bergerak secepat ini.
Meski Siau-hi-ji sudah berusaha menghindar beberapa kali pukulan musuh, tapi ia tidak tahu apakah serangan berikutnya dapat dielakkan atau tidak.
Kalau jiwa seseorang sudah tergenggam di tangan orang lain dan setiap saat, setiap detik bisa direnggut orang, maka bagaimanapun perasaannya dapatlah dibayangkan.
Akan tetapi bagaimana pula perasaan Kiau-goat Kiongcu? Perasaan orang yang hendak membunuh seharusnya lebih gembira dari pada orang yang akan terbunuh. Namun aneh, meski Kiau-goat bertekad harus membunuh Siau-hi-ji, bahkan setiap saat dapat membunuhnya, tapi perasaannya sekarang ternyata lebih menderita dari pada Siau-hi-ji.
Dia sudah bersabar menunggu selama dua puluh tahun, dengan mata kepala sendiri akan kelihatan hasilnya sesuai rencananya, tapi sekarang ternyata akan berubah, ia sendiri yang harus menghancurkan hasil yang telah dipupuknya dengan susah payah selama ini.
Ini dapat diibaratkan seorang pelukis, dengan jerih payah selama dua puluh tahun baru berhasil diselesaikan sebuah lukisan yang indah, ketika hasil karyanya ini sudah mendekati goresan terakhir, dia justru harus memusnahkan lukisan itu, bahkan ia sendiri yang harus menghancurkannya, dalam keadaan demikian betapa perasaannya mungkin sukar dibayangkan orang.
Seorang kalau tidak terpaksa pasti tidak mungkin berbuat demikian, sekarang Kiau-goat merasa pasti mereka telah berada di ambang maut. Mereka sudah ditakdirkan mati di sini dan pasti tidak bakal tertolong. Dengan lain perkataan Siau-hi-ji juga pasti akan mati di tangannya, di dunia tiada seorang pun yang dapat menyelamatkan anak muda itu.
Yang masih belum terjadi hanya dia belum melancarkan serangan mematikan yang terakhir saja.
Pada saat itulah Siau-hi-ji berteriak, “Nanti dulu, aku ingin mengucapkan kata-kata terakhir.”
Namun Kiau-goat tidak pedulikan, secepat kilat ia menghantam. Tapi begitu tangan bergerak, sekonyong-konyong berhenti di tengah jalan, hanya beberapa senti saja tangannya berada di atas kepala Siau-hi-ji.
“Hm, dalam keadaan demikian kau ingin main gila apalagi?” jengek Kiau-goat sambil menatap tajam.
Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya sambil menyengir, “Dalam tiga jurus saja jiwaku dapat kau renggut, untuk apa aku harus main gila lagi?”
“Habis apa yang hendak kau katakan?”
“Tentunya kutahu sekarang bahwa apa pun juga toh tak dapat kabur dan tiada orang yang dapat menolongku lagi, mau tak mau aku pasti akan mati di tanganmu.”
“Memang,” kata Kiau-goat Kiongcu.
“Jika demikian, dalam keadaan begini kan pantas jika engkau memberitahukan rahasia itu padaku?”
Air mukanya penuh rasa berharap dengan sangat sehingga tampaknya sangat memelas. Sungguh tak tersangka bahwa Siau-hi-ji dapat mengunjuk air muka yang minta dikasihani seperti ini.
Kiau-goat memandangnya hingga lama sekali dan tidak bersuara. Biasanya bila mana soal ini ditanyakan Siau-hi-ji, seketika juga dia akan menolaknya dengan tegas. Tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu seakan-akan ada maksud untuk memenuhi permintaan Siau-hi-ji.
Siau-hi-ji tampak bersemangat dan juga bergirang, jantungnya berdebar seakan-akan melompat keluar dari dadanya, ia pikir sebentar Ih-hoa-kiongcu pasti akan membeberkan rahasia pribadinya. Namun begitu air mukanya tetap mengunjuk rasa minta dikasihani.
“Kutahu sebelum ajal setiap orang boleh mengajukan sesuatu permintaan terakhir, bahkan seorang perampok yang paling ganas juga boleh mengajukan permintaan terakhirnya ketika menghadapi hukuman mati. Apalagi engkau sendiri pun akan mati, apa bila rahasia ini tetap tersimpan dalam hatimu, apa perasaanmu tidak tertekan?”
“Setelah kau mati, tentu rahasia ini akan kuberitahukan pada So Ing,” kata Kiau-goat.
“Meng... mengapa tidak kau ceritakan padaku saja?” teriak Siau-hi-ji dengan parau.
“Tidak,” ucap Kiau-goat, jawaban yang singkat dan tegas tanpa kompromi lagi.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya kemudian, “Engkau sungguh jauh lebih ganas dari pada perampok, sampai permintaanku yang terakhir menjelang ajal juga kau tolak.” Biji matanya berputar, tiba-tiba ia menyambung pula, “Kalau permintaanku yang lain, dapatkah kau kabulkan?”
Kiau-goat tampak sangat sangsi, akhirnya ia menjawab perlahan, “Bergantung pada apa permintaanmu itu.”
“Aku... aku mau kencing, boleh tidak?” kata Siau-hi-ji.
Buset, dalam keadaan demikian dia mengajukan permintaan semacam ini, sungguh membuat orang serba konyol. Muka Kiau-goat menjadi merah padam menahan gusar.
“Kencing, hanya kencing saja agar perut terasa lega, ini kan permintaan yang paling sederhana dan paling sepele di dunia ini, masa tidak kau izinkan?” ucap Siau-hi-ji pula dengan santai.
“Kau... kau sesungguhnya mau apa....” suara Kiau-goat menjadi parau karena gemasnya.
“Tadi aku terlalu banyak menenggak arak, sekarang perutku tidak tahan lagi,” tutur Siau-hi-ji. “Jika permintaanku kau tolak, terpaksa kukerjakan di sini saja.”
“Sekarang juga kubinasakan kau,” teriak Kiau-goat gusar.
Siau-hi-ji menjengek, “Kalau perut seorang lagi kembung, tentu kepandaiannya akan banyak terganggu, jika kau bunuh diriku sekarang juga apa tindakan ini dapat dianggap berjaya? Sungguh tak tersangka bahwa Ih-hoa-kiongcu yang disegani tak berani membiarkan orang pergi kencing lebih dulu.”
Dengan geregetan Kiau-goat melototi anak muda itu, tiba-tiba ia pun menjengek, “Baik, pergilah kau, aku tidak percaya kau berani main gila padaku.”
“Jelas tempat ini sudah buntu, memangnya aku berubah bentuk atau dapat menghilang!” Sambil bicara Siau-hi-ji terus melangkah ke depan, di mulut ia bergumam pula, “Tempat ini sepantasnya ada sebuah kakus, aku lupa tanya pada Gui Bu-geh di mana letak kakusnya, entah dapat kutemukan tidak sekarang.”
Kiau-goat Kiongcu terus membayangi Siau-hi-ji, tanpa terasa ia menanggapi grundelan anak muda itu, “Mengapa kau tidak pergi ke tempat tadi.”
“Aha, betul, tidak kau sebut, aku jadi lupa,” kata Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa. “Tadi sudah kubuat kakus darurat, kakus yang longgar dan tembus hawa.”
Maka sejenak kemudian mereka sudah sampai di ruangan bawah tanah tadi, terlihat mayat Gui Bu-geh sudah mulai mengering dan mengerut menjadi kecil. Bentuknya tampak seram dan memualkan.
Baru saja Kiau-goat melangkah masuk ke situ, seketika ia mundur keluar lagi dan membentak, “Ayo, lekas!”
Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapnya, “Kau tidak ikut masuk? Masa kau tidak khawatir aku akan kabur?”
Kiau-goat tidak menggubrisnya. Ruangan ini hanya ada sebuah pintu, dengan sendirinya ia yakin betapa pun tinggi kepandaian Siau-hi-ji juga tidak mungkin bisa lari.
Sambil menghela napas gegetun Siau-hi-ji bergumam pula, “Padahal apa alangannya jika kau masuk kemari? Meski tempat ini rada berbau sedikit, tapi waktu kencing pasti takkan dilihat oleh siapa pun juga. Kau sendiri kan dapat menguras perutmu.”
Kiau-goat pura-pura tidak mendengar saja, kalau tidak, mungkin dadanya bisa meledak saking gusarnya.
Selang tak lama, terdengar di dalam ada suara gemerciknya air atau tepatnya suara air yang dipancurkan.
Selama hidup Kiau-goat mana pernah dengar suara yang menakutkan begini. Tanpa terasa mukanya menjadi merah, kalau bisa ia ingin mendekap telinganya. Untunglah orang buang air tentu takkan lama, kalau bersabar menunggu tentu juga cuma sebentar saja.
Tak tahunya, tunggu punya tunggu, sampai lama sekali suara gemercik itu masih terus berlangsung. Di tunggu pula sekian lama, suara itu masih terus berbunyi tanpa berhenti.
Tentu saja Kiau-goat menjadi tidak sabar dan mulai heran dan curiga.
Meski tak banyak pengetahuannya hal orang lelaki, tapi ia tahu, baik lelaki maupun perempuan, tidak mungkin membuang air sebanyak itu. Air kencing sepuluh orang dikumpulkan juga tidak sebanyak ini. Akhirnya Kiau-goat berteriak dengan mendongkol, “Kang Siau-hi, lekas keluar. Apa-apaan kau mengeram di dalam?”
Tapi di dalam hanya ada suara ‘air mancur’, sama sekali tiada jawaban orang.
Walau pun yakin di situ tiada jalan lolos bagi Siau-hi-ji, tapi tidak urung Kiau-goat menjadi agak khawatir juga. Ia coba memanggilnya lagi dua kali dan tetap tiada jawaban. Diam-diam ia membatin, “Kurang ajar! Jangan-jangan setan cilik ini benar-benar telah menemukan jalan lolos? Mungkin dia tahu di situlah letak jalan keluarnya, maka sengaja menipuku agar dia sendiri dapat kabur dan kami tetap terkurung di sini.”
Berpikir demikian, kaki tangannya menjadi dingin dan lemas, tanpa menghiraukan urusan lain lagi segera ia menerjang ke dalam.
Tapi aneh, di dalam tetap tenang-tenang saja tiada sesuatu perubahan, hanya suara gemercik tadi masih terus terdengar. Lantaran teraling oleh sebuah “dinding”, maka tidak diketahui apa yang dilakukan Siau-hi-ji dalam kakus darurat itu.
Karena gemasnya, begitu menerjang ke dalam, segera Kiau-goat ayun tangannya dengan tenaga murni. Terdengar gemuruh, dinding yang terbuat dari tumpukan batu dan tutup peti itu lantas runtuh. Benar saja, di dalam ternyata tiada lagi bayangan Siau-hi-ji. Hanya ada beberapa botol yang terikat tali dan menjulur turun dari lubang di atas sana, jadi botol-botol itu tergantung di udara, pantat botol diberi berlubang dan arak dalam botol lantas mengucur masuk ke peti mati itu. Rupanya dari sinilah datangnya suara gemercik air pancur tadi. Lalu ke manakah Siau-hi-ji?
Selagi Kiau-goat melenggong bingung, sekilas dilihatnya sesosok bayangan orang menyelinap ke luar.
Kiranya sejak tadi Siau-hi-ji bersembunyi di balik pintu, karena seluruh perhatian Kiau-goat tertarik ke arah sana, kesempatan mana telah digunakan Siau-hi-ji untuk lolos keluar. Waktu Kiau-goat mengetahui apa yang terjadi, sementara itu anak muda itu sudah berada di luar ruangan.
Segera Kiau-goat hendak memburu keluar, namun apa lacur, tahu-tahu pintu batu itu menutup kembali, bahkan suara tertawa Siau-hi-ji di luar juga terputus.
Baru sekarang Kiau-goat Kiongcu benar-benar cemas.
Biasanya, menghadapi urusan betapa pun gawatnya, belum pernah Kiau-goat berteriak atau menjerit, lebih-lebih tidak pernah memohon sesuatu pada orang lain.
Tapi sekarang ia sudah lupa segalanya, mendadak ia berteriak, “Kang Siau-hi, buka pintu, keluarkan aku!”
Selang sekian lama baru terdengar suara Siau-hi-ji berkumandang dari lubang di atas sana, “Keluarkan kau? Haha, supaya aku dapat kau bunuh?”
Dengan menggereget Kiau-goat menjawab, “Aku... aku berjanji takkan membunuhmu.”
Selama hidupnya bilakah pernah mengucapkan kata-kata yang bersifat kompromis begini? Tapi kini toh dia harus merendah diri dan berucap demikian, keruan serasa hancur hatinya. Namun apa daya, mau tak mau dia harus berucap demikian. Sebab ia pun tahu setelah pintu keluar tertutup, ruangan ini tiada ubahnya seperti sebuah guci yang tersumbat dan tiada jalan keluar lagi.
Meski tahu dirinya tetap tak terhindar dari kematian, tapi betapa pun ia tidak sudi mati di sini, tidak sudi mati di samping Gui Bu-geh, lebih-lebih tidak sudi kematiannya diintip oleh Siau-hi-ji.
Dalam pada itu terdengar Siau-hi-ji berkata pula di atas, “Sekali pun kau tidak membunuhku juga tak dapat kukeluarkan kau, sebab, biar pun kau tidak membunuhku, sebaliknya aku yang akan membunuhmu. Jangan lupa, permusuhan antara kita bukan urusan kecil.”
Tergetar hati Kiau-goat Kiongcu, ia tidak dapat bicara lagi.
“Supaya kau tahu, mestinya tadi jangan kau beri kesempatan padaku untuk bicara dengan So Ing,” terdengar Siau-hi-ji berkata pula.
Kiau-goat tidak mau gubris padanya, tapi timbul juga rasa ingin tahunya, segera ia tanya, “Sebab apa?”
“Tahukah apa yang kukatakan pada So Ing tadi?” tanya Siau-hi-ji, ia terbahak-bahak, lalu menyambung, “Waktu itu kukatakan padanya agar dia mengorek botol arak dari atas sini, lalu kusuruh berjaga di samping pesawat rahasia, begitu aku keluar segera dia menutup pintunya. Kalau tidak, selagi aku bertempur mengadu jiwa denganmu masa dia rela menyingkir pergi?”
Tubuh Kiau-goat agak gemetar, katanya “Tapi dia... dia...”
“Jangan kau lupa, dia dibesarkan di sini, semua pesawat rahasia di sini, kecuali Gui Bu-geh, tentu saja dia yang paling jelas.”
Kiau-goat melenggong sekian lamanya, sekujur badan serasa lemas lunglai, ia bergumam, “Ya, aku terlalu gegabah, sungguh aku terlalu gegabah...”
“Apa gunanya baru sekarang kau menyesal? Apakah ada orang yang akan menolongmu sekarang?” Setelah terbahak-bahak Siau-hi-ji melanjutkan, “Maka sebaiknya kau menunggu kematian saja dengan tenang. Meski tempat ini agak bau, paling tidak kan cukup tenteram, tiada lalat tiada nyamuk, apalagi, kau pun tidak sendirian, kan ada Gui Bu-geh yang menemanimu?!”
“Tu... tutup mulut!” teriak Kiau-goat dengan suara seram.
Tapi Siau-hi-ji bahkan berseru pula dengan tertawa, “Gui Bu-geh, wahai Gui Bu-geh! Sewaktu hidupmu tidak dapat tidur seranjang dan sebantal dengan orang yang kau cintai, setelah mati kau malah dapat bersatu liang kubur dengan dia, betapa pun kau masih mujur. Tapi kau pun jangan lupa, akulah yang membantumu, jadi setan juga kau mesti membalas budi kebaikanku ini.”
Kiau-goat murka, dengan kalap ia menubruk ke depan mayat Gui Bu-geh, tangan terangkat dan segera hendak menghantamnya.
“He, apa yang hendak kau lakukan?” seru Siau-hi-ji tiba-tiba. “Haha, Ih-hoa-kiongcu yang gilang-gemilang masa menganiaya mayat yang sudah tak bisa berkutik?”
Seketika tangan Kiau-goat terhenti di atas dan berdiri mematung.
Tiba-tiba Siau-hi-ji menghela napas dan berucap, “Padahal aku pun dapat memahami perasaanmu. Memang tiada seorang pun rela mati di tempat yang kotor dan menjijikkan seperti ini, apalagi di samping mayat yang sangat menjijikkan pula, lebih-lebih dirimu. Meski engkau berjiwa sempit dan juga bersikap dingin kepada siapa pun, namun, bicara sejujurnya, engkau bukankah orang yang kotor dan menjijikkan.”
Perlahan Kiau-goat menurunkan tangannya.
Maka Siau-hi-ji berkata pula, “Terkadang, engkau memang terasa menakutkan, tapi terkadang aku pun merasa kasihan padamu. Selama hidupmu sedemikian hampa, sedemikian kesepian, hakikatnya tiada mempunyai seorang kawan pun. Jika perempuan lain mungkin akan berubah terlebih nyentrik dan lebih keji dari padamu. Sebab aku pun tahu tiada sesuatu di dunia ini yang lebih menakutkan dari pada kesepian.”
Mendengar sampai di sini, kepala Kiau-goat Kiongcu hampir tertunduk seluruhnya.
“Sebab itulah aku pun tidak sungguh-sungguh menghendaki kematianmu secara mengenaskan begini, asalkan kau mau berjanji sesuatu hal padaku, segera juga kulepaskanmu dari sini.”
“Urusan apa?” tanya Kiau-goat tanpa pikir. Tapi setelah diucapkan segera ia tahu urusan apa yang dimaksudkan Siau-hi-ji.
Benar juga, Siau-hi-ji lantas berkata, “Asalkan kau beberkan rahasia itu, segera kulepaskan kau.”
“Kau... kau jangan harap...” jawab Kiau-goat dengan menyesal.
“Masa kau lebih suka mati bersama Gui Bu-geh di sini? Bila kelak, ada orang berkunjung kemari dan melihat kalian mati di dalam suatu liang lahat, lalu bagaimanakah mereka akan berpikir?” Setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, “Ya, tentu orang lain akan bilang, ‘Meski tampaknya Ih-hoa-kiongcu selalu bersikap dingin dan anggun, tapi nyatanya dia juga mempunyai kekasih gelap, buktinya mereka mengadakan pertemuan rahasia di sini dan akhirnya’...” Dia tertawa dan mendadak menghentikan ucapannya, ia sengaja tidak mau melanjutkan.
Maka gemetarlah tubuh Kiau-goat karena emosinya.
“Coba kau pertimbangkan lagi, kapan kau mau bicara, kapan pula akan kubebaskan kau. Toh setelah mendengar rahasia ini aku pun takkan hidup lebih lama lagi,” kata Siau-hi-ji.
Kiau-goat tidak menanggapinya. Ya, paling tidak sekarang dia tetap menolaknya dengan tegas.
So Ing yang selalu mendampingi Siau-hi-ji itu menghela napas gegetun, katanya, “Sudah telanjur begitu, mengapa kau berkeras memaksa dia menceritakan rahasia itu? Jika sudah dia ceritakan kan juga tiada faedahnya bagimu, bahkan akan menambah kemasygulan saja.”
Siau-hi-ji tidak menjawabnya, sebaliknya bahkan tanya kembali, “Tentunya kau tahu, antara aku dan Hoa Bu-koat harus mati salah satu, kalau dia tidak membunuhku tentu akulah yang membunuh dia.”
“Tapi aku pun tahu dia tidak sungguh-sungguh ingin membunuhmu dan kau pun lebih-lebih tidak ingin membunuh dia.”
“Namun nasib kami berdua tampaknya sudah ditakdirkan demikian dan sukar berubah lagi, meski aku sudah berdaya dan sedapatnya mengulur waktu, tapi pada suatu hari kelak toh peristiwa ini harus terjadi.”
So Ing mengangguk dengan pedih.
Siau-hi-ji menyambung pula, “Tapi aku pun tidak percaya bahwa di dunia ini ada urusan yang ditakdirkan, aku pasti berusaha mengubahnya, sebab itulah terpaksa harus kudesak dia agar menceritakan rahasia ini, jika sudah kuketahui apa sebabnya dia menghendaki kami mengadu jiwa, maka urusan ini pasti dapat kuselesaikan dengan baik.”
“Namun... namun nasib kalian bukankah sudah berubah?” ujar So Ing.
“Siapa bilang sudah berubah?” kata Siau-hi-ji.
Dengan muram So Ing menjawab, “Sekarang jelas engkau tidak mampu membunuhnya, dan dia lebih-lebih tidak dapat membunuhmu, sebab... sebab engkau toh pasti akan mati di sini.”
“Siapa bilang aku pasti akan mati di sini?” tanya Siau-hi-ji.
Seketika So Ing tersentak kaget dan bergirang pula, serunya, “He, jadi engkau memiliki akal untuk keluar dari sini?”
Dengan santai Siau-hi-ji menjawab, “Rasanya aku ini mempunyai Hok-khi yang besar, bahwa apa pun yang kuhadapi pada saatnya selalu berubah menjadi selamat. Maka sekarang aku pun berani bertaruh denganmu, pasti ada orang akan datang kemari untuk menolongku.”
“Kau kira... siapa yang akan menolongmu?” tanya So Ing.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, sahutnya kemudian, “Coba kau terka.”
So Ing berpikir sejenak, katanya, “Sebenarnya Hoa Bu-koat pasti akan berdaya untuk menolongmu, tapi sekarang, entah peristiwa apa yang telah dialaminya, kalau tidak, tentu dia takkan berhenti menggali dan masuk ke sini.”
“Memangnya peristiwa tak terduga apa yang dialaminya?”
So Ing berpikir pula agak lama, tiba-tiba ia berkata, “Menurut pendapatku, bisa jadi usaha Hoa Bu-koat telah dirintangi oleh Cap-toa-ok-jin?”
“Haha, betul!” ujar Siau-hi-ji dengan berkeplok tertawa, “Besar kemungkinan, orang yang ditemuinya adalah Li Toa-jui serta kawan-kawannya, sebab mereka memang ada janji bertemu di sini, dalam dua hari ini mereka pasti datang kemari.”
“Tentunya mereka tahu tujuan Hoa Bu-koat menggali terowongan adalah untuk menolong kita. Makanya mereka merintanginya, betul tidak?”
“Ehm,” jawab Siau-hi-ji.
“Jika demikian, kau kira mereka pun akan berusaha masuk ke sini untuk menolong kau?”
“Tentu tidak, sebab sekarang aku pun tahu mereka mengira aku akan bersekongkol dengan orang lain untuk menghadapi mereka, maka mereka pun berharap akan kematianku.”
“Jika begitu, mungkinkah mereka akan kemari untuk menolong Ih-hoa-kiongcu?” tanya So Ing.
“Lebih-lebih tidak mungkin,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa, “Kalau Ih-hoa-kiongcu mati di sini, inilah yang diharapkan mereka.”
“Jika sekarang mereka menghalangi Hoa Bu-koat masuk ke sini, apakah nanti mereka sendiri juga akan berusaha masuk kemari.”
“Ya, mereka akan masuk kemari.”
“Untuk apa?” Tanya So Ing.
“Sebab mereka pun ingin tahu keadaan di sini.”
“Dari mana kau tahu?”
“Mereka mengira ada satu partai harta karun disembunyikan Gui Bu-geh di sini, kalau tempat ini tidak diperiksanya mereka tidak rela.”
“Seumpama mereka akan masuk ke sini, tentu juga akan menunggu setelah kita mati semuanya.”
“Betul, tapi cara bagaimana mereka mengetahui bahwa Gui Bu-geh ternyata tidak terburu-buru menghendaki kematian kita?”
Terbeliak mata So Ing, serunya, “Betul juga, setelah dihitung dan ditimbang, tentu mereka pun tak menyangka bahwa kita masih belum mati, mereka pasti mengira kita sudah mati sesak napas atau mati kelaparan.”
“Ya, makanya kuyakin tidak sampai lebih dari satu-dua hari mereka pasti akan masuk kemari.”
“Dapatkah mereka masuk kemari?”
“Dengan kepandaian mereka beramai-ramai, sekali pun tempat ini adalah gunung baja dan tembok besi juga mereka mampu masuk ke sini.”
Akhirnya So Ing berseri tertawa, katanya, “Kuharap dugaanmu sekali ini tidak meleset.”
Belum habis ucapannya, benar saja, tiba-tiba terdengar lagi suara “trang-tring” di luar, suara orang menggali.
“Betul tidak?” seru Siau-hi-ji sambil bertepuk tertawa. “Sekarang kau percaya akan kehebatanku bukan.”
“Ya, seumpama Khong Beng belum meninggal, paling-paling dia juga cuma begini saja,” ujar So Ing.
Tapi setelah mengikuti sejenak suara ‘trang-tring’ itu, kedengaran tidak sekeras permulaan tadi, daya getarnya juga tidak sekuat tadi, mau tak mau So Ing berkerut kening, katanya, “Apakah orang-orang yang menggali ini belum makan nasi? Mengapa tiada tenaga sedikit pun.”
“Ini bukan tanda mereka tak bertenaga, tapi justru menandakan alat penggali mereka teramat tajam,” ujar Siau-hi-ji. “Karena alat penggalinya tajam, maka suara sentuhan menjadi kecil. Coba bayangkan, bila mana kau memotong tahu, bukankah tiada menimbulkan suara apa pun?”
So Ing tertawa riang, ucapnya, “Berada bersamamu hakikatnya aku telah berubah menjadi tolol.”
“Tidak, aku justru merasakan kau semakin pintar,” kata Siau-hi-ji.
“O, ya?” ucap So Ing sambil berkedip-kedip.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata, “Kan sudah kukatakan sejak dulu, semakin pintar seorang perempuan semakin bisa berlagak bodoh di depan lelaki. Sekarang pun kau sudah pintar berlagak bodoh di depanku, tampaknya lambat atau cepat aku pasti akan kena dikail olehmu.”
So Ing menggigit bibir dan tertawa, ucapnya, “Jangan khawatir, pasti takkan kukail dirimu.”
“Oo!” Siau-hi-ji melenggong.....