Mendadak Gui Bu-geh tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Kau tidak perlu menjelaskan lagi, sekali pun kau bantu dia membunuhku juga aku tidak menyalahkan kau. Anak muda seperti dia ini, jika aku menjadi anak perempuan juga pasti akan minggat bersama dia.”
Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Haha, meski kau ini jahat, paling tidak pandanganmu cukup tajam dan dapat membedakan antara yang baik dan busuk.”
Gui Bu-geh terkekeh-kekeh, ucapnya, “Tidak perlu kau menjilat pantatku, biar pun kau putar lidah bagaimana pun juga aku tidak mampu mengeluarkan kau dari sini. Meski di tempat ini ada tiga lapis pintu, namun ketiga lapis ini sama-sama dikendalikan oleh suatu alat pesawat, bahkan cuma dapat digunakan satu kali saja, begitu balok batu sudah anjlok, pada saat itu pula aku sendiri pun sudah siap untuk mati di sini.” Dia pandang So Ing dan berkata pula dengan tertawa, “Jika kau tahu waktu kubangun tempat ini sudah siap mengubur diriku sendiri di sini, caraku membangun tempat ini serupa bangunan makam maharaja di jaman kuno, mengapa pula kau masih mengira di tempat ini ada jalan keluar lagi?”
So Ing melenggong sejenak, akhirnya ia menunduk dengan muram.
“Tapi di sini masih ada tempat yang tembus hawa, bukan?” seru Siau-hi-ji.
“Betul, apakah kau kira tempat ini memerlukan pintu yang tembus hawa?” Gui Bu-geh mengebaskan tangannya, lalu menyambung. “Tempat seluas ini dengan penghuni sebanyak ini, jika cuma mengandalkan tiga lapis pintu sebagai lubang hawa, bukankah sudah lama kami mati sesak di sini? Hehe, tampaknya kau sangat pintar, tapi yang kau pahami ternyata tidak terlalu banyak.”
Siau-hi-ji menjengek, “Aku kan bukan tikus dan tak pernah bertempat tinggal di liang tikus, dari mana kutahu kawanan tikus menggunakan apa sebagai lubang hawa?”
Padahal sekali-kali bukan Siau-hi-ji tidak paham, hanya saja dalam keadaan kepepet, asalkan ada setitik harapan, tentu takkan disia-siakan olehnya, makanya ia pura-pura tidak tahu.
Dengan tertawa terkekeh-kekeh Gui Bu-geh berkata pula, “Kutahu dalam hatimu sekarang tentu lagi berdaya upaya agar aku mau mengatakan di mana letak lubang hawa itu. Untuk ini dapat kukatakan padamu, tidak perlu lagi kau peras otak, sebab tiada gunanya.”
“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji sambil melotot.
“Sebab waktu kubikin lubang-lubang hawa itu justru sudah kupikirkan kemungkinan kawanan tikus akan lari keluar melalui lubang hawa ini,” setelah bergelak tertawa, lalu Gui Bu-geh menyambung, “Kalau saja tikus tidak mampu menyusup keluar, lalu manusia sebesar kau masa dapat menerobos keluar?”
Siau-hi-ji tidak menanggapi, ia termenung sejenak, tiba-tiba bertanya pula, “Mengapa kau tidak menyumbat sekalian lubang hawa itu?”
“Untuk apa kusumbat?”
“Memangnya kau khawatir kita mati terlalu cepat?”
“Tepat,” seru Gui Bu-geh sambil terkekeh-kekeh. “Dengan susah payah baru berhasil kupancing kalian ke sini, mana boleh kalian mati begitu saja di sini? Dengan sendirinya kalian tidak boleh mati terlalu cepat. Kalian harus mati secara perlahan-lahan, dengan demikian barulah dapat kusaksikan perbuatan konyol kalian pada waktu mendekati ajal, kutanggung di dunia ini pasti tiada tontonan yang lebih menarik dari pada ini.”
Agaknya semakin dipikir semakin geli sehingga Gui Bu-geh tertawa terpingkal-pingkal.
Siau-hi-ji tertawa juga, katanya, “Ingin kutanya padamu, perbuatan konyol apa yang akan kami lakukan menurut perkiraanmu?”
Gemerdep sinar mata Gui Bu-geh, tuturnya dengan tertawa, “Tentunya kau tahu, selamanya kakak beradik Ih-hoa-kiongcu itu tidak mau duduk, tempat apa pun bagi mereka terasa kotor, tapi aku berani garansi, tidak lebih dari pada tiga hari mereka pasti akan rebah di ranjang yang pernah ditiduri lelaki busuk bagi pandangan mereka, biasanya mereka tidak suka makan barang sembarangan, tapi beberapa hari lagi, biar pun seekor tikus mati juga akan mereka ganyang mentah-mentah, bisa jadi kalian berdua juga akan disembelih oleh mereka untuk dimakan. Nah, kau percaya tidak?”
Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Jika aku benar-benar dimakan mereka, wah, bagus juga, aku lebih suka terkubur di dalam perut mereka. Hahaha!”
Meski dia bergelak tertawa, tapi diam-diam ia merinding juga, sebab ia tahu apa yang dikatakan Gui Bu-geh memang bukan tidak mungkin sama sekali.
Betapa pun bajik dan anggunnya seseorang, apa bila dia sudah kelaparan, maka perbuatan kotor dan rendah apa pun dapat dilakukannya, dalam keadaan begitu antara manusia dan hewan mungkin sudah tiada bedanya.
Maka terdengar Gui Bu-geh berkata pula dengan tertawa, “Ada lagi, kutahu kalian berempat sama-sama masih suci bersih, masih perawan dari jejaka tulen, belum ada yang pernah menikmati benar-benar kebahagiaan orang hidup. Nanti kalau kalian sudah dekat ajal, bisa jadi kalian akan berubah pikiran dan menganggap kematian kalian ini sia-sia belaka, bukan mustahil lantas timbul pikiran ingin mencicipi rasanya orang berbuat begituan.”
Sorot matanya penuh memancarkan rasa porno, otaknya seolah-olah sedang membayangkan kejadian begituan, badannya sampai bergeliat-geliat, sambil tertawa ia menyambung pula, “Nah, tiba saatnya begitu, mungkin kau anak muda ini akan menjadi barang perebutan mereka.”
Meski muka So Ing menjadi merah, tapi keringat dingin pun mengucur keluar mengingat apa yang dikatakan Gui Bu-geh itu memang bisa terjadi.
Tapi Siau-hi-ji lantas mengejek, “Hm, kau sendiri mengapa tidak suka menikmati rasa begituan? Memangnya kau sudah tidak sanggup lagi?”
Seketika lenyap suara tertawa Gui Bu-geh, sekujur badannya lantas menggigil.
Sambil menatap kedua kaki orang yang melingkar itu, Siau-hi-ji menjengek pula, “Hm, kiranya kau memang tidak mampu lagi, makanya kau berubah menjadi gila begini. Tadinya aku sangat benci padamu, tapi sekarang aku menjadi rada kasihan padamu.”
Mendadak Gui Bu-geh meraung murka terus menubruk ke arah Siau-hi-ji.
Laksana segumpal daging saja mendadak dia melejit ke atas seakan-akan hendak menumbuk Siau-hi-ji dengan tubuhnya. Tapi ketika Siau-hi-ji berkelit sambil menangkis, tahu-tahu gumpalan daging ini tumbuh keluar dua belati, kedua tangannya secepat kilat menusuk tenggorokan dan kedua mata anak muda itu.
Cepat Siau-hi-ji berputar, kedua telapak tangannya balas memotong.
Tak terduga tubuh Gui Bu-geh mendadak bertambah pula sebilah pedang pandak terus menyayat pergelangan tangan Siau-hi-ji.
Kiranya setiap jari Gui Bu-geh tumbuh kuku yang panjangnya belasan senti, biasanya kuku panjang melingkar di telapak tangan, bila mana bertempur, dengan tenaga dalam yang kuat, kuku panjang itu lantas dijulurkan dan digunakan sebagai senjata.
Di bawah sinar lampu kelihatan kesepuluh kukunya gemerlap kehitam-hitaman, jelas kuku beracun, asalkan kulit daging Siau-hi-ji tergores lecet saja pasti sukar tertolong lagi.
Sekali tubrukan Gui Bu-geh itu ternyata mengandung tenaga gerakan ikutan, setiap gerak perubahan juga di luar dugaan lawan, sungguh serangan aneh dan keji, sungguh sukar dicari bandingannya.
Saking terkejut hampir saja So Ing menjerit.
Dilihatnya Siau-hi-ji sempat menjatuhkan diri ke lantai dan menggelinding jauh ke sana, caranya mematahkan serangan Gui Bu-geh ini pun bukan gerakan ilmu silat sejati, hanya ikhtiar Siau-hi-ji sendiri bila mana menghadapi bahaya.
“Ikhtiar cepat menurut keadaan”, inilah letak ciri khas Siau-hi-ji yang mahalihai.
Dilihatnya Gui Bu-geh telah mengerahkan segenap tenaga murninya, sekali pun kepandaiannya berlipat lebih tinggi lagi juga tidak mungkin ganti napas di udara seperti burung terbang saja. Sebab itulah begitu dia hinggap di atas tanah, Siau-hi-ji segera dapat mendahuluinya, soalnya anak muda itu sekarang sudah tahu di mana letak kelemahan lawan, yaitu pada kedua kakinya yang cacat.
Siapa duga, sekali putar tubuh di atas, tahu-tahu Gui Bu-geh jatuh kembali di atas kursinya yang beroda itu. Baru saja Siau-hi-ji hendak menubruk maju, sekonyong-konyong kereta itu berputar cepat mengitarinya.
Dalam sekejap Siau-hi-ji merasa di muka, di belakang, kanan dan kiri, seluruhnya cuma bayangan Gui Bu-geh melulu, betapa cepatnya Gui Bu-geh mengemudikan kursinya sungguh jauh lebih lihai dari pada Pat-kwa-yu-sin-ciang (pukulan menurut peta Pat-kwa) yang termasyhur itu.
Kereta beroda itu memang dibuat dengan sangat bagus, sepanjang tahun Gui Bu-geh duduk di atas kursinya ini sehingga kereta dan orangnya seakan-akan sudah terlebur menjadi satu, dia dapat mengemudikannya dengan sesuka hati.
Seketika Siau-hi-ji merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, hampir saja ia roboh sendiri tanpa diserang oleh Gui Bu-geh.
Terdengar suara tertawa Gui Bu-geh yang terkekeh-kekeh itu berkumandang dari berbagai penjuru membuat merinding orang yang mendengarnya, sehingga sukar bagi Siau-hi-ji untuk membedakan di mana letak pihak musuh.
Mendadak Siau-hi-ji bersiul panjang terus meloncat tinggi ke atas. Gerakan ini adalah ilmu sakti Kun-lun-pay, namanya “Hwi-liong-pat-sik” atau delapan gerakan naga terbang.
Supaya maklum, meski ilmu silat Siau-hi-ji belum dapat disejajarkan dengan tokoh ilmu silat kelas top, tapi betapa banyak ragam ilmu silat yang dipelajarinya dan betapa luas pengalamannya kini sukar lagi ditandingi oleh siapa pun juga.
Serangan Gui Bu-geh yang luar biasa ini memang cuma Hwi-liong-pat-sik saja yang dapat mematahkannya, selain itu, sekali pun tokoh utama Siau-lim-pay sekarang juga sukar lolos dari ilmu sakti “roda terbang” Gui Bu-geh ini. Akan tetapi Siau-hi-ji justru sudah berhasil meyakinkan Hwi-liong-pat-sik dan tepat dapat mematahkan ilmu sakti kebanggaan Gui Bu-geh ini.
Sudah tentu Gui Bu-geh tidak tinggal diam, begitu Siau-hi-ji meloncat ke atas, segera ia pun mengapung ke atas dan memapaknya, kesepuluh kuku beracun yang gemerlap itu kembali menusuk tenggorokan anak muda itu.
Gui Bu-geh seperti telah berubah menjadi bayangan Siau-hi-ji, ke mana pun perginya Siau-hi-ji selalu dibayanginya, ingin ganti jurus serangan juga tidak sempat lagi bagi anak muda itu. Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia menggunakan ilmu Siau-lim-pay yang terkenal, yaitu Jian-kin-tui, ilmu membikin tubuh menjadi seberat ribuan kati.
Padahal sewaktu tubuh sedang meloncat ke atas secara mendadak, hendak menahan dan menurunkannya pula jelas bukan pekerjaan yang mudah. Tapi pada detik yang sukar dibayangkan itulah Siau-hi-ji justru dapat anjlok ke bawah.
Tak tahunya baru saja tubuhnya menyentuh tanah, terdengar suara mendesing kencang tiga kali, tiga larik sinar hitam tahu-tahu menyambar dari tiga arah yang berbeda.
Gui Bu-geh jelas-jelas masih mengapung di atas, siapakah yang menyambitkan senjata rahasia ini?
Kiranya meski tubuh Gui Bu-geh terbang ke atas, namun keretanya masih terus berputar dan ketiga larik sinar hitam itu justru terpancar keluar dari kursi beroda itu.
Gui Bu-geh satu telah berubah menjadi dua.
Serangan ini sungguh di luar dugaan Siau-hi-ji, kalau tokoh silat lain, sekali pun jago kelas satu aliran mana pun, di bawah serangan aneh ini mustahil kalau jiwanya tidak melayang di bawah ketiga panah hitam ini.
Namun Siau-hi-ji justru telah mahir “Bu-kut-yu-kang”, ilmu lemaskan badan tak bertulang, ilmu yang berasal dari negeri Thian-tiok (India) yang dibawa masuk ke Tiongkok oleh kaum Lama, ilmu itu lebih terkenal dengan nama Yoga.
Tertampak tubuh Siau-hi-ji mendadak menekuk dan menggeliat, ruas tulang seluruh tubuhnya seolah-olah terpisah-pisah, tiga larik sinar hitam itu pun menyerempet lewat bajunya pada detik menentukan itu.
Seperti diketahui, akhir-akhir ini Siau-hi-ji telah berhasil menyelami ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka yang diperolehnya di istana bawah tanah ketika dia dan Kang Giok-long dikurung oleh Siau Mi-mi dahulu, intisari ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka itu meliputi hasil ciptaan berbagai tokoh ilmu silat dari berbagai penjuru dunia ini. Dengan sendirinya ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu pun beraneka ragamnya.
Cuma sayang, lawan yang dihadapi Siau-hi-ji ialah Gui Bu-geh, ilmu silat Gui Bu-geh sungguh luar biasa anehnya dan sukar dibayangkan orang, sampai kursi beroda yang ditumpanginya pun berubah menjadi lawan yang mahalihai. Maka tidak sampai tiga puluh jurus mulailah Siau-hi-ji kewalahan.
So Ing menjadi khawatir dan berteriak, “Apa pun juga dia toh akan mati di sini, mengapa kau menyerangnya cara begini?”
Gui Bu-geh menjengek, “Hm, aku tidak ingin mencabut nyawanya, aku cuma ingin memotong lidahnya agar selanjutnya dia tidak dapat mengoceh pula. Lalu akan kupatahkan kedua kakinya agar dia berjalan dengan merangkak.”
“Sekali pun merangkak dengan tangan juga ada sesuatu kemampuanku yang jauh lebih kuat dari padamu,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Tentu saja Gui Bu-geh bertambah murka, dampratnya, “Anak jadah, aku akan membikin....” belum habis ucapnya, mendadak Siau-hi-ji melangkah miring ke samping, dengan enteng kedua telapak tangannya lantas menghantam.
Pukulan ini tampaknya tiada sesuatu yang istimewa, tapi aneh, entah mengapa, hampir saja Gui Bu-geh tidak dapat menghindar, sama sekali tak terpikir olehnya dari mana Siau-hi-ji dapat mempelajari jurus serangan lihai ini. Yang lebih sukar dimengerti ialah gaya serangan Siau-hi-ji serentak berubah, setiap jurus serangan terasa enteng tak menentu, seakan-akan tidak bertenaga sedikit pun. Namun setiap serangan selalu mengarah titik kelemahan Gui Bu-geh.
Sebenarnya So Ing lagi khawatir setengah mati, sekarang wajahnya dapat menampilkan gembira.
Kiranya pada saat berbahaya tadi, tiba-tiba Siau-hi-ji melihat kedua Ih-hoa-kiongcu sedang bergebrak sendiri di tempat kejauhan. Gerak serangan yang mereka lancarkan itu yang satu menyerang dan lain bertahan, yang satu positif, yang lain negatif, setiap gerakan mereka dilakukan dengan sangat lambat seakan-akan khawatir orang lain tidak dapat mengikutinya dengan jelas.
Melihat itu, biar pun Siau-hi-ji lebih goblok lagi juga tahu kedua Ih-hoa-kiongcu sedang mengajarkan ilmu silat padanya. Dalam keadaan demikian umpama dia ingin menolak juga tidak dapat lagi. Segera ia menirukan gaya serangan Kiau-goat tadi dan dihantamkan ke arah Gui Bu-geh. Benar saja, Gui Bu-geh terkejut. Waktu Gui Bu-geh balas menyerang, Siau-hi-ji lantas gunakan gerakan Lian-sing Kiongcu untuk mematahkannya.
Meski gerak serangan ini tampaknya sederhana dan tidak punya daya serang yang keras, tapi entah mengapa, sesudah belasan jurus, dengan mudah Siau-hi-ji berubah di atas angin.
Baru sekarang Siau-hi-ji merasakan betapa mukjizatnya ilmu silat Ih-hoa-kiong, gerak serangan yang tampaknya sederhana ini ternyata setiap jurusnya merupakan gerak serangan mematikan bagi Gui Bu-geh.
Meski Ih-hoa-kiongcu tidak bergebrak langsung dengan Gui Bu-geh, tapi setiap kelemahan silat Gui Bu-geh seakan-akan sudah diketahuinya jauh lebih jelas dari pada Gui Bu-geh sendiri.
Padahal sama sekali Ih-hoa-kiongcu tidak memandang Gui Bu-geh, namun setiap kali sebelum Gui Bu-geh melancarkan serangan, tipu serangan apa yang akan digunakan seakan-akan sudah diketahui lebih dulu oleh mereka.
Ketika Gui Bu-geh mengetahui duduk perkaranya, sementara itu ia sudah terdesak oleh Siau-hi-ji hingga kelabakan, ingin berganti napas pun sulit. Sungguh ia tidak habis mengerti mengapa jurus serangannya sendiri yang mahalihai ini bisa dipatahkan oleh gerakan yang hambar dan begitu sederhana.
Ia tidak tahu bahwa tipu serangan Ih-hoa-kiongcu itu sesungguhnya telah menghimpun intisari berbagai tipu ilmu silat yang paling ruwet dan telah dileburnya menjadi satu. Maka setelah 30 jurus pula, kini Gui Bu-geh berbalik terdesak di bawah angin.
Dengan tertawa Siau-hi-ji mengejek, “Haha, aku sih tidak ingin memotong lidahmu dan juga tidak hendak mematahkan kedua kakimu yang sudah tak berguna ini, aku cuma ingin mencukil kedua biji matamu agar selanjutnya kau tidak dapat melihat apa pun.”
Pada saat itulah mendadak terdengar suara “tring” yang keras dan nyaring. Suara ini seperti berkumandang dari luar gua, tapi gema suaranya menggetar seluruh gua ini.
Siau-hi-ji terkejut dan bergirang. Sedangkan kursi beroda Gui Bu-geh lantas meluncur pergi sejauh dua-tiga tombak. Tampaknya dia hendak kabur melalui jalan rahasia itu, namun sial baginya, sekali ini Ih-hoa-kiongcu sempat mencegat jalan larinya.
“Kang Siau-hi, ayo lekas turun tangan!” bentak Lian-sing Kiongcu.
Tapi Gui Bu-geh lantas berseru, “Nanti dulu, ada yang hendak kukatakan.”
“Apa pula yang hendak kau katakan?” tanya Lian-sing Kiongcu.
“Suara yang terdengar barusan, jangan-jangan ada orang yang mengetahui kalian terkurung di sini?” kata Gui Bu-geh.
Dalam pada itu suara “tang-ting” di luar masih terus berkumandang masuk, tertampak sinar mata Lian-sing Kiongcu mengunjuk kegirangan, namun di mulut ia menjawab dengan acuk tak acuh, “Ya, kukira begitu.”
“Makanya kalian mengira bakal tertolong, bukan?” tanya Gui Bu-geh pula.
“Memangnya kau kira kami benar-benar akan mati di tanganmu?” jengek Lian-sing Kiongcu.
“Kau kira dari dalam sini sulit membobol pintu batu, sedangkan dari luar tentu cukup banyak alat penggali dan kalian pasti dapat tertolong keluar, makanya kalau sekarang kalian membunuh diriku juga bukan soal lagi, begitu bukan?”
“Jika kau dapat menggali gua di bawah ini, mengapa orang lain tidak dapat?”
“Haha, memang betul,” jawab Bu-geh. “Tempat Ini memang digali dengan tenaga manusia, tapi apakah kau tahu berapa banyak tenaga dan betapa lama waktu yang kukorbankan?” Setelah terbahak-bahak pula ia menyambung lagi, “Memangnya kalian mengira aku tidak tahu ada seorang kawanmu yang telah masuk ke sini lalu keluar pula?”
Lian-sing Kiongcu berkerut kening, ucapnya kemudian, “Mau apa seumpama kau tahu?”
“Kalau dia tahu kalian terkurung di dalam perut gunung ini dan melihat jalan keluarnya tersumbat buntu, dengan sendirinya dia akan berusaha menolong kalian. Jika kutahu hal ini, seharusnya kututup sekalian lubang hawa agar kalian mati lebih cepat, akan tetapi sedikit pun aku tidak terburu-buru. Nah, apakah kalian tidak paham sebab musababnya?”
“Memangnya kau kira anak murid Ih-hoa-kiong tidak mampu membobol pintu batu segala?” jengek Lian-sing Kiongcu.
“Sudah tentu mampu, tetapi untuk itu sedikitnya diperlukan waktu dua-tiga hari,” ujar Gui Bu-geh.
“Kalau dua-tiga hari lantas bagaimana, masa kami tak dapat menunggu?”
“Tentu saja kalian dapat menunggu, namun dari luar sampai ke sini, seluruhnya ada 13 pintu batu, sekali pun seratus tenaga dikerahkan juga memerlukan waktu paling sedikit sebulan baru sampai di sini.”
“Sebulan?” Lian-sing menegas dengan rada cemas.
“Kubilang paling sedikit satu bulan, bisa jadi lebih,” kata Bu-geh dengan tenang.
Lian-sing Kiongcu memandang sekejap sang kakak, air muka kedua orang sama berubah.
Gui Bu-geh berkata pula, “Di sini tiada makanan dan juga tiada air minum, biar pun kalian mempunyai kepandaian setinggi langit paling-paling cuma juga dapat bertahan selama sepuluh hari, bila mana orang-orang di luar dapat menggali hingga sampai di sini, tatkala mana mungkin kalian sudah berwujud seonggokan jerangkong.”
Mendadak Siau-hi-ji berteriak, “Jika begitu, lebih-lebih kami harus membunuh kau saja.”
“Betul, setelah membunuhku, tentu kekonyolan kalian tidak akan terlihat olehku, namun....”
“Namun apa?” tanya Siau-hi-ji.
Gui Bu-geh tersenyum hambar, jawabnya, “Bila kalian membunuhku sekarang, apakah kalian tidak merasa sayang.”
“Sayang?” Siau-hi-ji menegas. “Bagiku, sekali pun kucacah kau dan kuberikan makan kepada anjing juga tidak perlu merasa sayang.”
Sama sekali Gui Bu-geh tidak marah, ia tetap tenang, katanya dengan tertawa, “Coba kalian ikut pergi bersamaku untuk melihat beberapa macam barang.”
“Melihat apa?” tanya Siau-hi-ji.
“Jika sudah tiba di sana tentu kalian akan tahu sendiri,” kata Bu-geh.
Siau-hi-ji memandang sekejap pada Ih-hoa-kiongcu, lalu berkata, “Baik, aku ikut pergi, rasanya aku pun tidak takut bila kau ingin main gila.”
“Hehe, di depan Ih-hoa-kiongcu serta orang pintar nomor satu di dunia, permainan gila apa yang dapat kulakonkan?” ejek Gui Bu-geh.
Segera ia mendorong kursinya dan meluncur masuk ke lorong bawah tanah sana. Kakak beradik Ih-hoa-kiongcu lantas membayanginya dengan ketat.
Siau-hi-ji memandang So Ing sekejap, tanyanya, “Apakah di bawah gua ini masih ada ruangan lain lagi?”
So Ing mengangguk.
“Memangnya di bawah sana ada apa?” tanya Siau-hi-ji pula.
So Ing menghela napas perlahan, katanya, “Aku pun tidak tahu, sebab selama ini tak pernah kuturun ke bawah sana.”
Siau-hi-ji menjadi rada heran dan waswas, katanya, “Kau pun tidak pernah turun ke bawah sana?”
“Ya, tampaknya dia sangat merahasiakan ruang di bawah tanah ini serta merupakan tempat yang sangat penting, kecuali dia sendiri, siapa pun dilarang masuk. Pernah dua anak muridnya ingin mengintip apa yang dilakukannya di bawah sana, akibatnya mereka dijatuhi hukuman mati dicincang.”
“Perbuatan rahasia apa yang dilakukan di bawah sana, mengapa tidak boleh dilihat orang lain?” ucap Siau-hi-ji sambil berkerut kening.
“Siapa pun tidak tahu apa yang diperbuatnya di bawah, hanya pernah terdengar semacam suara yang aneh,” tutur So Ing.
“O, suara aneh? Suara apa itu?”
“Asalkan dia sudah turun ke bawah, segera terdengar suara nyaring ‘trang-tring’ berturut-turut, terkadang suara itu berlangsung beberapa hari dan beberapa malam tanpa berhenti.”
Terbeliak mata Siau-hi-ji, katanya, “Suara trang-ting-trang-ting, apakah suara batu tergores oleh benda keras?”
“Ya, seperti begitulah,” jawab So Ing.
“Hah, jangan-jangan dia sedang menggali terowongan di bawah sana,” kata Siau-hi-ji dengan girang.
Sementara itu Gui Bu-geh sudah meluncur masuk ke balik sebuah pintu batu yang sempit, Siau-hi-ji menjadi sangsi jangan-jangan pintu inilah jalan keluar rahasia yang masih ditinggalkan oleh Gui Bu-geh. Cepat ia memburu ke sana dan ikut masuk.
Tapi ia menjadi kecewa setelah berada di dalam, di balik pintu sempit ini hanya sebuah ruangan batu segi enam dan tiada terdapat pintu lagi. Ruangan ini lebih guram dari pada tempat lain, samar-samar Siau-hi-ji melihat di tengah ruangan ada peti mati yang sangat besar, ada pula patung batu yang tak terhitung banyaknya.
Terdengar Gui Bu-geh berkata, “Sekarang kalian tentunya mau percaya bahwa aku memang sudah siap untuk mati di sini. Nah, peti mati batu hijau ini adalah liang kuburku yang telah kusediakan.”
“Lalu patung-patung ini apa artinya?” tanya Siau-hi-ji.
Gui Bu-geh tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Inilah hasil karyaku yang cermat, hasil kerja seorang seniman sejati. Biar kunyalakan lampu agar kalian dapat melihat lebih jelas.”
Dalam tertawanya ternyata mengandung rasa kegaiban yang sukar diterangkan. Demi mendengar suara tertawanya, Siau-hi-ji lantas tahu pasti ada sesuatu yang aneh pada patung-patung ini.
Sementara itu Gui Bu-geh telah meluncur ke pojok sana, ia mengeluarkan geretan api dan menyala belasan lampu minyak yang terselip di sekeliling dinding.
Waktu lampu keempat baru menyala, terkesimalah Siau-hi-ji.
Dilihatnya patung-patung itu semuanya terukir menyerupai kakak beradik Ih-hoa-kiongcu serta Gui Bu-geh sendiri, malahan besarnya hampir sama dengan manusia asli, setiap kelompok terdiri dari tiga patung dengan gaya yang berbeda-beda.
Kelompok pertama menggambarkan kakak beradik Ih-hoa-kiongcu bertekuk lutut di tanah sambil menarik ujung baju Gui Bu-geh, yakni seperti layaknya kalau orang sedang memohon ampun dengan sangat.
Kelompok kedua menggambarkan Gui Bu-geh sedang melecuti Ih-hoa-kiongcu dengan cambuk, bukan saja air muka Ih-hoa-kiongcu kelihatan sangat menderita seakan-akan orang hidup, bahkan cambuknya juga seperti cambuk asli.
Kelompok ketiga menggambarkan Ih-hoa-kiongcu kakak beradik merangkak di tanah dan kaki Gui Bu-geh menginjak punggung mereka, sebelah tangannya memegang cawan dengan gaya sedang menenggak arak. Begitulah makin lanjut makin tidak senonoh ukiran patung-patung itu, namun ukirannya justru sedemikian indah dan hidup. Di bawah cahaya lampu yang cukup terang tampaknya seperti sejumlah Ih-hoa-kiongcu sedang dilecuti dan disiksa oleh Gui Bu-geh dan lagi menjerit, meronta, meminta ampun.
Baru sekarang Siau-hi-ji tahu sebabnya Gui Bu-geh sembunyi di ruang bawah tanah ini, kiranya untuk mengukir patung ini, pantas terkadang selama beberapa hari dan beberapa malam ia bekerja tanpa berhenti, rupanya dia sedang mencari pelampiasan, hanya dengan cara demikian barulah nafsu berahinya mencapai kepuasan.
Akan tetapi patung-patung ini sungguh terukir sangat indah, benar-benar karya seni pahat yang bernilai tinggi.
Mau tak mau Siau-hi-ji menghela napas gegetun, gumamnya, “Tak tersangka si gila ini memiliki bakat seni sebesar ini.”
Sebaliknya kakak beradik Ih-hoa-kiongcu sampai gemetar saking gemasnya, mendadak mereka menubruk maju, sebuah patung diangkat terus dibanting hingga hancur lebur.
“Sayang, sungguh sayang,” kembali Siau-hi-ji menghela napas menyesal, “Jika patung-patung ini disimpan dengan baik, kelak pasti sukar dinilai harganya dan menjadi barang seni antik yang abadi.”
Patung-patung batu yang keras itu berada di tangan Ih-hoa-kiongcu ternyata tidak lebih dari pada orang-orangan buatan kertas. Maka dalam sekejap saja hasil karya yang tiada ternilai itu berubah menjadi bubuk batu.
Sebaliknya Gui Bu-geh hanya duduk tenang-tenang saja di kursinya tanpa bergerak sedikit pun.
Akhirnya Lian-sing Kiongcu menubruk ke depan Gui Bu-geh, bentaknya dengan murka, “Binatang kau, sekali ini jangan kau harap akan lolos dari tanganku.”
Di tengah bentakannya leher baju Gui Bu-geh dijambretnya dan diangkat dari kursi beroda, terus dibanting ke dinding sana.
Maka terdengarlah suara “pyar”, Gui Bu-geh terbanting hingga hancur.
Sungguh aneh, mengapa tubuh manusia yang terdiri dari darah daging bisa terbanting “hancur”?
Keruan Lian-sing Kiongcu melengak, akhirnya baru diketahui bahwa “Gui Bu-geh” ini pun ukiran batu, hanya pakaiannya saja yang tulen. Gui Bu-geh sendiri entah sudah kabur ke mana sejak tadi.
Mendadak Siau-hi-ji melonjak sambil berseru, “Celaka, sekali ini mungkin kita benar-benar bisa konyol.”
Ternyata satu-satunya pintu batu ini pun sudah tersumbat rapat, dinding sekelilingnya adalah dinding batu gunung belaka, dinding itu tidak bergerak sama sekali ketika kena bantingan patung yang dilemparkan Ih-hoa-kiongcu tadi, maka kerasnya dapatlah dibayangkan.
Namun mereka tidak rela, dengan berbagai macam cara tetap tak dapat membobol dinding batu itu dan juga tidak mampu membuka pintu batu meski cuma satu lubang saja.
Siau-hi-ji yang pertama-tama mengakhiri usahanya. Meski dia sudah hampir putus asa, tapi ia pikir akan lebih baik bila tenaganya tidak dihabiskan. Maka bersama So Ing mereka lantas duduk di lantai bersandar dinding.
“Baru sekarang aku benar-benar kagum pada Gui Bu-geh, orang ini memang benar hebat,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.
So Ing termenung sejenak, katanya kemudian, “Kalau dia sudah mengurung kita, mengapa dia memancing kita ke sini pula?”
“Cukup banyak alasannya,” ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum getir. “Pertama, setelah kita terkurung di sini, maka dia sendiri dapat bebas bergerak sesukanya, bahkan dapat makan minum sepuasnya, nanti kalau kita sudah mati kelaparan, lalu dia sendiri dapat pergi.”
“Kau kira dia tidak bertekad mati di sini?”
“Memangnya kau kira dia benar-benar akan mengiringi kematian kita di sini? Semua ini hanya tipu muslihatnya, tujuannya cuma memancing kita ke sini, apa yang diucapkan dan diperbuatnya di luar tadi hanya sandiwara belaka.”
So Ing menunduk dan menghela napas perlahan.
Sambil menyengir Siau-hi-ji berkata pula, “Sekarang kita mirip sekawanan kera yang berada di kurungan, terpaksa kita harus main baginya.”
“Kau... kau kira dia akan mengintip?” tanya So Ing terputus-putus.
“Dia sengaja memancing kita ke kurungan ini, tujuannya justru ingin melihat bagaimana perubahan tingkah laku kita ketika mendekati ajal, sudah tentu yang diharapkannya adalah perbuatan-perbuatan tidak senonoh yang dibayangkannya.”