Selama hidup ini dia berharap jangan lagi bertemu dengan Siau-hi-ji, dia lebih suka kepergok seratus setan iblis dari pada bertemu dengan anak muda itu.
Pandangan So Ing lantas beralih pada diri Thi Peng-koh, tanyanya, “Apa kau tidak ingin pergi?”
Peng-koh menunduk bingung karena tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Dia maklum, apa bila dirinya tetap tinggal di sini, tentu So Ing akan sangsi dan mengira dia merasa berat meninggalkan Siau-hi-ji. Akan tetapi kalau pergi, lalu mesti pergi ke mana? Dunia seluas ini seolah-olah tiada tempat bernaung baginya.
“Apakah kau tidak ingin menemui Kang Giok-long?” tanya So Ing.
“Aku... aku...” sukar bagi Peng-koh untuk menjawabnya. Sebenarnya dia mengira dirinya pasti akan menjawab dengan tegas tidak mau bertemu lagi dengan pemuda tak berbudi itu, tapi entah mengapa, kata-kata itu sukar diucapkannya.
Bila teringat kepada macam-macam tindak tanduk Kang Giok-long yang menggemaskan tapi juga menyenangkan, mana bisa dia dapat putus dengan anak muda itu?
So Ing dapat meraba hatinya, dengan tersenyum ia berkata pula, “Kutahu kau pasti ingin menemuinya, sebab, seumpama kau tidak lagi menyukai dia, masa kau tidak ingin menuntut balas padanya?”
“Tapi... tapi aku tidak tahu cara bagaimana harus menuntut balas,” kata Peng-koh dengan menghela napas. Kata-kata ini mestinya tidak ingin diucapkannya, tapi entah mengapa, akhirnya tercetus juga dari mulutnya.
“Aku mempunyai akal,” kata So Ing.
“Akal apa?” tanya Peng-koh.
“Tahukah sebab apa sekarang kau merasa susah? Soalnya kau merasa dia telah meninggalkanmu, kau merasa dirimu sama sekali tidak diperhatikan olehnya, makanya hatimu remuk redam, betul tidak?”
Peng-koh menunduk sedih dan tidak menjawab, sebab apa yang dikatakan So Ing itu memang kena benar di lubuk hatinya.
“Nah, jika ingin menuntut balas,” demikian kata So Ing pula, “Maka kau harus membikin dia merasa kau sama sekali tidak memikirkan dia, jika sudah begini, kujamin dia pasti akan mengesot di bawah kakimu dan goyang-goyang ekor untuk memohon belas kasihan.”
Sampai lama sekali Peng-koh menunduk, setelah berpikir sekian lama, lambat laun matanya mulai bersinar.
“Nah, sekarang kau paham maksudku tidak?” tanya So Ing.
“Ya, aku paham,” jawab Peng-koh.
“Bagus, asalkan kau bertindak menurut petunjukku, kujamin dia pasti akan mencarimu, apalagi dia sudah datang, maka tibalah waktunya bagimu melampiaskan dendammu.”
Thi Peng-koh tertawa, tapi lantas berkata pula dengan gegetun, “Tapi aku... aku sekarang...”
“Apakah kau merasa dirimu sekarang sebatang kara, tidak punya harta benda dan juga tiada sandaran sehingga hati rada takut, begitu?”
Peng-koh mengangguk dengan sedih.
“Tapi jangan kau lupa, kau ini anak perempuan yang cantik dan menggiurkan, usiamu masih muda dan inilah modal perempuan yang terbesar, berdasarkan ini sudah cukup untuk mempermainkan lelaki di atas telapak tanganmu. Dengan modalmu ini, ke mana pun kau pergi sudah cukup untuk berdikari.”
Akhirnya Thi Peng-koh mengangkat kepalanya, ucapnya dengan tersenyum, “Terima kasih!” Ia pandang Siau-hi-ji sekejap, seperti ingin omong apa-apa, tapi urung. Lalu ia menerobos pergi tanpa menoleh lagi melalui terowongan yang ditemukan Oh Yok-su tadi.
Mendadak Siau-hi-ji bertepuk tangan dan berseru, “Bagus, sungguh bagus sekali. Tak tersangka cara nona So kita menghadapi kaum lelaki ternyata sehebat ini. Kukira kau sudah boleh mulai cari tempat untuk membuka kursus, kuyakin dalam waktu singkat muridmu akan datang berbondong-bondong dan sekejap saja akan kaya mendadak.”
So Ing tertawa, katanya, “Jangan khawatir, pasti takkan kugunakan cara ini untuk menghadapimu.”
“Sekali pun kau pakai caramu ini juga tak mempan bagiku,” jengek Siau-hi-ji. “Biar pun kau berpelukan dengan seratus lelaki dan berjumpalitan di depanku juga takkan kupeduli, apalagi marah?”
“Kalau begitu, sekarang belum lagi aku berpelukan dengan seorang lelaki pun, apa pula yang kau marahi?”
Siau-hi-ji melengak, segera ia meraung pula, “Kau telah mengenyahkan orang lain, kau sendiri mengapa tidak pergi?”
“Pergi, mengapa aku harus pergi? Bukankah tempat ini sangat menyenangkan untuk istirahat?”
“O, nonaku, kumohon dengan sangat, sudilah kau pergi saja. Jika tidak, sebentar mungkin aku bisa gila lantaran tingkah-polahmu.”
“Jika kau tidak senang melihat diriku, kenapa tidak kau sendiri saja yang pergi?”
Siau-hi-ji melenggong sejenak, akhirnya ia tergelak-gelak, katanya, “Haha, bagus, bagus, budak cilik, aku benar-benar takluk padamu. Sejak dilahirkan hingga kini belum pernah ada seorang pun yang membikin marah padaku seperti ini, akhirnya aku ketemu batunya juga.”
So Ing tidak pedulikan dia lagi, ia membungkus sisa makanan tadi dan bergumam, “Tempat ini sangat lembap, barang makanan yang tak tersimpan dengan baik mungkin akan bulukan dan membusuk.”
“Umpama membusuk, memangnya kenapa, masa akan kau bawa keluar lagi?” kata Siau-hi-ji.
So Ing seperti tidak mendengar ucapan anak muda itu, ia bergumam pula, “Barang-barang ini masih bisa dimakan untuk beberapa hari lagi, harus disimpan supaya tidak membusuk.”
Siau-hi-ji tidak tahan, tanyanya, “Dimakan lagi beberapa hari? Memangnya kau ingin mengeram beberapa lagi di sini?”
Baru sekarang So Ing menoleh, ucapnya dengan tertawa, “Apakah kau kira Ih-hoa-kiongcu akan segera menemukan Hoa Bu-koat?”
Siau-hi-ji terbelalak, mendadak ia mendekatkan wajahnya ke muka So Ing dan menegas, “Jangan-jangan kau yang menyembunyikan Hoa Bu-koat?”
“Dia kan bukan anakku, masa bisa kusimpan dia dengan begitu saja?”
“Tapi kau tahu dia berada di mana, bukan?”
“Dari mana kutahu?”
“Bahwa kau tahu Kang Giok-long telah menipu aku, maka tentu kau pernah melihat Hoa Bu-koat, betul tidak?”
So Ing tidak menjawab, ia duduk berlipat kaki di atas batu, ia pandang Siau-hi-ji sejenak, kemudian baru berkata dengan perlahan, “Betul, aku memang pernah melihat dia, aku pun tahu dia berada di mana sekarang. Akan tetapi tak dapat kukatakan padamu.”
Siau-hi-ji, meraung gusar, “Mengapa tak dapat kau katakan padaku?”
“Sebab khawatir kau akan marah.”
“Marah? Mengapa aku harus marah?”
“Kalau kukatakan, kau benar-benar takkan marah?”
“Ya, takkan marah!”
“Kalau marah?”
“Kalau marah, anggaplah aku ini setan belang,” teriak Siau-hi-ji.
“Tidak, tidak setuju?” So Ing menggeleng.
“Mengapa tidak setuju?” teriak Siau-hi-ji.
“Sebab kau takkan berubah menjadi setan cara mendadak bukan?”
Sungguh dongkol Siau-hi-ji tak terkatakan, ucapnya kemudian, “Baiklah, kalau kumarah, apa pun yang kau perintahkan pasti akan kulakukan.”
“Ucapanmu dapat dipercaya tidak?”
“Seorang ksatria sejati, seorang lelaki tulen, masa ingkar janji terhadap budak cilik macam kau ini.”
“Baik, kuberitahu, saat ini Hoa Bu-koat lagi pergi mencari Thi Sim-lan.”
“Hah, mencari Thi Sim-lan?” seru Siau-hi-ji. “Dari mana dia mengetahui tempat beradanya Thi Sim-lan?”
“Aku yang bilang padanya,” jawab So Ing.
Baru sekarang Siau-hi-ji benar-benar terkejut, ucapnya, “Kau yang bilang padanya? Dari mana kau tahu tempat beradanya Thi Sim-lan? Kau kenal dia?”
“Aku dan dia sudah mengangkat saudara, masa kau tidak tahu?” tutur So Ing dengan tertawa.
Siau-hi-ji jadi melongo dan tidak dapat bersuara pula.
“Bukankah sudah lama sekali kau tidak berjumpa dengan Thi Sim-lan?” tanya So Ing kemudian.
“Ehm,” Siau-hi-ji mengangguk.
“Apakah kau tahu selama dua bulan ini Thi Sim-lan selalu berada bersama Hoa-Bu-koat?”
Kembali Siau-hi-ji berteriak, “Mereka berada bersama selama dua bulan? Huh, aku tidak percaya.”
“Tidak percaya, ya sudahlah, anggap saja aku berdusta padamu,” ujar So Ing dengan tak acuh. Lalu ia membalik tubuh, membelakangi Siau-hi-ji dan tidak menggubrisnya lagi.
Cepat Siau-hi-ji memutar ke depan si nona, ucapnya dengan tertawa, “Sekarang aku percaya, sudah tentu kejadian demikian kau takkan berdusta, aku cuma merasa rada heran saja.”
“Masih banyak sekali kejadian aneh di dunia,” kata So Ing.
“Kalau mereka berada bersama juga lebih baik, tadinya aku berkhawatir baginya, sekarang aku boleh merasa lega, kutahu Hoa Bu-koat pasti akan memperlakukan dia dengan baik.”
So Ing berkedip-kedip, tanyanya kemudian, “Kau tidak marah?”
“Marah? Mengapa aku harus marah?”
Berkilau sinar mata So Ing, tapi ia lantas menunduk dan berkata, “Kenapa kau tidak tanya saat ini Thi Sim-lan berada di mana?”
“Toh takkan kau antar dia ke liang tikus sana?” ujar Siau-hi-ji tertawa.
“Dia justru berada di sana,” tutur So Ing.
Seketika lenyap tertawa Siau-hi-ji tadi, bahkan ia melonjak kaget dan meraung, “Kau budak mampus, mengapa kau antar dia ke sana?”
“Dia kan kakak angkatku, justru kuantar dia ke tempat yang aman, di sana siapa pun tak berani mengganggu dia,” ujar So Ing.
Siau-hi-ji berteriak gusar, “Tapi Hoa Bu-koat mencarinya ke sana, mana tikus raksasa itu mau melepaskan Bu-koat? Buk... bukankah kau ini sengaja ingin membikin celaka dia? Aku...” Saking gusarnya ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya, ia pegang tangan So Ing dan meraung pula, “Kalau tidak kuhajar adat padamu, sungguh penasaran mereka.”
“Masa kau sudah lupa, memangnya seorang lelaki sejati meski ingkar janji pada seorang budak kecil begini?”
Kembali Siau-hi-ji melengak, akhirnya ia lepaskan tangan So Ing dan cuma banting-banting kaki an mendongkol.
“Sebenarnya kau pun tidak perlu cemas, Hoa Bu-koat takkan mati. Pula, dia kan berkeras hendak membunuhmu, jelas dia bukan kawanmu. Jika dia tidak dapat datang, kan tidak perlu kau sedih baginya?”
Siau-hi-ji mengetok kepalanya sendiri dan berteriak, “Apakah kau kira tidakanmu telah membantuku? Kau kira aku akan gembira bila dia mati? Terus terang kukatakan, apa bila dia benar-benar terbunuh oleh Gui Bu-geh, maka aku... aku akan….”
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar seorang berteriak di luar sana, “Siau-hi-ji, kau berada di dalam situ? Dapatlah kau dengar suaraku?”
Jelas itulah suara Hoa Bu-koat. Keruan Siau-hi-ji dan So Ing sama melengak. Hoa Bu-koat mengapa sudah datang, bahkan sedemikian cepat datangnya.
So Ing pegang tangan Siau-hi-ji dengan erat, ucapnya dengan suara gemetar, “Kumohon dengan sangat janganlah menjawabnya, supaya dia mengira kau sudah pergi dari sini...”
Belum habis ucapannya Siau-hi-ji telah mengibaskan tangannya sambil berteriak, “Hoa Bu-koat, aku berada di sini!”
“Kau tidak apa-apa bukan?” tanya Bu-koat.
“Aku baik-baik saja,” jawab Siau-hi-ji. “Julurkan seutas tambang, segera aku dapat naik.”
Selang tak lama terlihat kepala Bu-koat menongol di mulut gua dengan wajahnya yang gembira dan simpatik.
Tertawa Siau-hi-ji juga tidak kurang riangnya, serunya, “Buset, selama dua bulan tak berjumpa, kita berdua tak berubah sama sekali.”
Bu-koat telah mengulurkan seutas tambang panjang, katanya, “Naiklah, tak dapat kulihat keadaanmu di bawah.”
Melihat kelakuan kedua anak muda itu, sungguh hati So Ing heran tak terkatakan. Betapa pun juga sikap dan ucapan kedua orang ini tiada tanda-tanda bahwa mereka adalah musuh yang sebentar lagi akan duel mati-matian, sungguh sukar dipahami apa yang terjadi sebenarnya antara kedua anak muda itu.
Setelah ujung tambang dapat diraih dengan tangan, segera Siau-hi-ji melompat ke atas, tapi segera ia lompat turun pula dan berkata dengan menarik muka, “Budak she So, sekarang apakah tidak mau pergi?”
“Pergilah, silakan pergilah sendiri, aku tidak ingin menyaksikan keadaanmu setelah dibunuh orang,” jawab So Ing sambil menunduk.
“Kau tidak ingin melihat, sengaja ingin kuperlihatkan padamu, kau tidak mau pergi, justru kuingin kau pergi, coba apa dayamu bisa melawanku” Siau-hi ji meraung sambil mendekati si nona.
“Kau... kau berani...” ucap So Ing sambil menyurut mundur.
Meski air mukanya berlagak sangat gusar, tapi dalam hati sebenarnya senang tidak kepalang. Sebab ia tahu, kini tangannya sudah mulai dapat meraba hati Siau-hi-ji, bahkan, cepat atau lambat, akhirnya hati anak muda itu pasti dapat diraihnya.
Dengan sebelah tangan mengempit So Ing, Siau-hi-ji terus merambat ke atas dengan bantuan tambang panjang itu, hanya sekejap saja ia sudah berada di luar gua.
Sementara itu Bu-koat tak lagi berada di mulut gua, dia tampak berdiri lurus di samping Kiau-goat Kiongcu, air mukanya tampak rada pucat dan kaku tanpa emosi.
Bagi Bu-koat, Kiau-goat Kiongcu bukan cuma gurunya yang kereng, bahkan juga orang tuanya. Sejak kecil belum pernah dilihatnya wajah sang guru menampilkan secercah senyuman. Selama itu pun ia tidak berani sembrono di depan Kiau-goat Kiongcu, sebab hatinya tidak cuma hormat dan terima kasih padanya, bahkan juga rada-rada takut.
Sekarang, akhirnya Siau-hi-ji dapat melihat wajah asli Kiau-goat Kiongcu.
Topeng yang menakutkan itu sudah dibukanya, namun air mukanya terlebih dingin dari pada topengnya. Siapa pun tak mampu menemukan setitik tanda-tanda perasaan senang, marah, suka atau duka pada wajahnya. Tampaknya biar pun dunia ini kiamat juga tak dipedulikannya.
Namun dia juga cantik luar biasa, kecantikan yang sukar dibayangkan, begitu cantiknya sehingga membuat orang yang memandangnya merasa risi sendiri. Kecantikannya ini pada hakikatnya bukan cantiknya manusia melainkan kecantikan malaikat dewata.
Sama sekali tak terduga oleh Siau-hi-ji bahwa perempuan yang pernah mengguncangkan dunia persilatan selama dua-tiga puluh tahun ini tampaknya masih semuda ini. Lebih-lebih tak pernah terbayangkan perempuan yang cantik ini mempunyai wibawa sebesar ini, dapat membuat siapa yang memandangnya akan merasa segan sendiri. Sampai-sampai Siau-hi-ji sendiri, meski cuma memandangnya sekejap saja, tapi terasa seram laksana orang mendadak melihat badan halus yang cantik di tengah malam senyap.
Betapa kesima Siau-hi-ji sehingga tidak diperhatikannya bahwa di samping Kiau-goat Kiongcu terdapat pula Thi Sim-lan.
Sampai gemetar tubuh Thi Sim-lan saking senangnya ketika dilihatnya Siau-hi-ji melompat turun dari gua sana, tanpa terasa segera ia lari menyongsong. Tapi baru dua-tiga tindak, sekonyong-konyong ia berdiri mematung pula.
Hal ini terjadi bukan lantaran dilihatnya So Ing berada dalam rangkulan Siau-hi-ji, tapi disebabkan mendadak ia teringat pada Hoa Bu-koat. Mana boleh terjadi begitu melihat Siau-hi-ji lantas Hoa Bu-koat ditinggalkannya?
Maka sekarang ia berdiri di tengah-tengah antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, ia menjadi bingung apakah harus ke sana atau ke sini, sungguh runyam, dalam keadaan demikian ia berharap lebih baik dirinya tidak dilahirkan di dunia ini.
Dalam pada itu Siau-hi-ji juga telah melihatnya dan lagi menyapanya dengan tertawa, “Sudah lama tak berjumpa, baik-baikkah kau?”
Thi Sim-lan sama sekali tidak mendengarnya, tiba-tiba ia berpaling dan lari ke bawah pohon di sebelah sana, kebetulan pohon itu pun terletak di tengah-tengah antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat.
Sejak tadi So Ing selalu memperhatikan sikap Siau-hi-ji, dilihatnya anak muda itu masih tertawa-tawa, atau lebih tepat dikatakan menyengir. Waktu ia pandang Hoa Bu-koat, anak muda itu tetap menunduk tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sekelilingnya.
Diam-diam So Ing menghela napas panjang.
Memang, melihat hubungan ketiga muda-mudi yang ruwet dan ajaib itu, apa yang dapat diperbuatnya selain menghela napas belaka?
Malahan sekarang ia sendiri pun terlibat ke dalam pusaran asmara ini. Ia merasa kekuatan pusaran ini sungguh teramat dahsyat dan menakutkan seolah-olah dikemudikan oleh sebuah tangan iblis yang misterius.
Mereka berempat, kalau kurang bijaksana, bukan mustahil akan tenggelam semuanya terseret ke dalam pusaran air itu.
Dalam pada itu sorot mata Kiau-goat Kiongcu yang dingin dan setajam sembilu itu lagi menatap Siau-hi-ji.
Siau-hi-ji menarik napas panjang-panjang, ia pun balas menatap Ih-hoa-kiongcu. Katanya dengan tersenyum, “Lumayan juga makanan yang kau antar tadi, cuma sayang tidak ada cabainya. Lain kali bila engkau menjamu makan diriku, jangan kau lupa bahwa aku suka makan pedas.”
Air muka Kiau-goat Kiongcu tidak mengunjuk perasaan apa-apa. Hoa Bu-koat terkejut dan angkat kepalanya, sungguh ia tak percaya bahwa di dunia ini ada orang berani bicara sedemikian terhadap Kiau-goat Kiongcu.
Didengarnya Kiau-goat lagi berkata, “Bagus, sekali ini kalian telah pegang janji dengan tepat.”
“Biar pun aku suka kentut terhadap orang lain, tapi terhadap Hoa Bu-koat harus dikecualikan,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Sekarang akan kuberi tempo lagi tiga jam, dalam tiga jam ini boleh kau mengatur napas dan menghimpun tenaga, tapi dilarang meninggalkan tempat ini,” kata Kiau-goat dengan dingin.
Siau-hi-ji berkeplok tertawa, ucapnya, “Haha, Ih-hoa-kiongcu tetap Ih-hoa-kiongcu, sedikit pun tidak sudi menarik keuntungan dari orang lain. Kau tahu aku lelah, maka sengaja memberi waktu istirahat bagiku.”
Kiau-goat Kiongcu tidak menghiraukannya lagi, ia berpaling ke sana dan berkata, “Kau ikut padaku, Bu-koat.”
“Aku ingin bicara sejenak dengan Hoa Bu-koat, boleh tidak?” seru Siau-hi-ji.
“Tidak boleh,” jawab Kiau-goat ketus tanpa menoleh.
“Mengapa tidak boleh” teriak Siau-hi-ji. “Memangnya kau khawatir kukatakan padanya bahwa Tong-siansing sama dengan engkau sendiri?”
Saat itu Hoa Bu-koat juga sudah berpaling ke sana tanpa menoleh, tapi Siau-hi-ji dapat melihat tubuhnya bergetar ketika mendengar ucapannya ini.
Tertawalah Siau-hi-ji, ia puas karena maksudnya telah tercapai.
Dilihatnya Kiau-goat Kiongcu mengajak Bu-koat ke bawah pohon di kejauhan sana, lalu berpaling dan seperti bicara apa-apa dengan Bu-koat. Namun Bu-koat berdiri mungkur ke sini.
Karena itulah sebegitu jauh Siau-hi-ji tidak dapat melihat bagaimana reaksinya, dengan sendirinya ia pun tidak dapat mendengar apa yang dipercakapkan mereka. Terpaksa ia menghela napas menyesal, gumamnya, “Seorang perempuan yang tidak bersuami hingga berumur 50-an tahun, andaikan sehat badaniahnya juga pasti akan sakit rohaniahnya. Adalah aneh jika dia bisa normal seperti orang lain.”
“Waktu tiga jam tidaklah lama, hendaklah kau mengaso sebaik-baiknya,” kata So Ing.
Saat itu sang surya baru saja menongol, hari masih pagi.
So Ing mengumpulkan daun-daun kering dan ditimbun di bawah pohon untuk tempat duduk Siau-hi-ji, caranya seperti seorang istri tercinta sedang mengatur tempat tidur bagi sang suami.
Thi Sim-lan berdiri di bawah pohon sana, air matanya berlinang-linang di kelopak matanya. Tiba-tiba ia merasa hidupnya di dunia ini hanya berlebihan belaka.
Kalau tadi ia tidak jadi mendekati Siau-hi-ji, tentu saja sekarang ia lebih-lebih tidak dapat mendekati anak muda itu. Tadi dia tidak kembali ke tempat Hoa Bu-koat sana, kini jadi lebih-lebih tak dapat kembali lagi ke sana.
Ia pun tahu, dalam keadaan demikian, baik Siau-hi-ji maupun Hoa Bu-koat pasti takkan mendekati dia. Ih-hoa-kiongcu telah merobek persahabatan antara kedua anak muda itu, jika tiada persahabatan antara mereka, maka nasib Thi Sim-lan jelas akan bertambah buruk dan mengenaskan.
Ia tahu paling baik baginya sekarang ialah menyingkir sejauhnya, makin jauh makin baik, maka segala apa yang terjadi tak bisa lagi dilihatnya.
Namun antara kedua orang yang dicintainya segera akan terjadi duel maut, masa dia tega tinggal pergi?
Thi Sim-lan adalah gadis yang keras hati, dalam keadaan begini, betapa pun ia tidak ingin mencucurkan air mata. Tapi apa yang dilihatnya, apa yang dialaminya sekarang mana bisa tidak membuatnya meneteskan air mata?
Angin meniup sepoi-sepoi, daun rontok berhamburan.
Ia berjongkok menjemput sehelai daun rontok itu, rasanya ia tidak ingin berbangkit lagi, dengan termangu-mangu dipandangnya butiran air mata sendiri yang menetes di atas daun kering yang kuping itu.
Dalam pada itu Siau-hi-ji telah merebahkan dirinya di atas “kasur” daun kering yang dibuat So Ing tadi.
Jika ada orang lain lagi merasa tegang dan ada pula yang menderita batin, hanya Siau-hi-ji saja yang tenang-tenang seperti tiada terjadi apa-apa, ia memejamkan matanya sambil menumpangkan sebelah kakinya di atas kaki yang lain, malahan mulutnya berdengung-dengung bernyanyi kecil lagi.
So Ing berdiri di samping sambil memandanginya, sejenak kemudian, ia menghela napas perlahan, lalu berkata, “Apakah sudah kau lihat Thi Sim-lan?”
“Tidakkah kau lihat tadi aku telah menyapanya?” jawab Siau-hi-ji.
“Hanya cukup menyapa begitu saja?”
“Mengapa tidak? Memangnya kau suruh aku menyembah padanya, begitu?”
“Tapi... tapi dia sungguh harus dikasihani, mestinya kau dekati dia dan menghiburnya.”
Mendadak Siau-hi-ji membuka matanya dan mendelik, “Mengapa aku harus mendekat dan menghiburnya? Mengapa dia tidak kemari?”
“Dalam keadaan demikian dia memang... memang serba susah...”
“Serba susah? Apakah kau tidak serba susah? Apalagi serba susahnya juga lantaran tindakannya sendiri. Siapa suruh dia diam saja di sana dan tidak mau ke sini? Kan kakinya tidak terpantek di sana?”
So Ing terdiam sejenak, katanya kemudian, “Apakah kau lagi cemburu?”
Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Mengapa kau selalu mengira aku cemburu? Jika aku suka cemburu seperti kalian ini, mungkin sekarang aku sudah berubah menjadi ikan masak saus asam.”
So Ing menghela napas pula, katanya, “Jika kau tidak mau mendekatinya, biarlah aku saja yang ke sana.”
“Nanti dulu,” seru Siau-hi-ji tiba-tiba.
“Ada apa?” tanya So Ing.
“Tahukah kau ada semacam kepandaian, yakni melihat gerakan bibir seseorang lantas diketahui apa yang sedang diucapkannya?”
“Ya, itu namanya ‘membaca kata-kata bibir’. Ada orang yang tidak paham seluk beluk ilmu ini lantas mengira kepandaian ini adalah apa yang disebut ‘ilmu mengirim gelombang suara’ dalam dongeng itu.”
“Apakah kau mahir membaca kata-kata bibir?”
“Tidak,” jawab So Ing.
“Ai, alangkah baiknya jika saat ini aku dapat membaca bibir Ih-hoa-kiongcu, entah apa yang sedang dikatakannya kepada Hoa Bu-koat?”
“Sekali pun tak dapat mendengarnya, tentunya dapat kau bayangkan juga. Apalagi yang dibicarakannya kalau bukan memberi petunjuk kepada Hoa Bu-koat dengan cara bagaimana harus membunuhmu.”
Siau-hi-ji termenung sejenak, ucapnya kemudian, “Ai, sungguh aneh. Waktu aku berada di dalam gua, Hoa Bu-koat berteriak memanggilku dan berbicara padaku dengan akrab. Tapi setelah kukeluar, dia lantas tidak gubris padaku, bahkan memandang sekejap saja tidak.”
“Dengan sendirinya karena dia dilarang bicara denganmu oleh Ih-hoa-kiongcu, mungkin dia khawatir kalau kalian bicara punya bicara dan akhirnya dari lawan akan berubah menjadi kawan.”
“Masa Hoa Bu-koat sendiri sama sekali tidak mempunyai pendirian?”
“Bila kau dibesarkan di Ih-hoa-kiong, dan selalu berhadapan dengan Ih-hoa-kiongcu, pasti juga kau akan kehilangan akal dan tiada pendirian.”
“Jika demikian, jadi Ok-jin-kok malah jauh lebih baik dari pada Ih-hoa-kiong, yang berada di Ok-jin-kok paling tidak masih juga manusia, tapi yang hidup di Ih-hoa-kiong pada hakikatnya cuma setan, sekawanan mayat hidup.”
“Silakan kau mengaso saja, kupergi ke sana, segera kukembali,” kata So Ing dengan lembut.
“Mengapa kau berkeras hendak ke sana?” tanya Siau-hi-ji dengan mendelik, “Aku sendiri juga susah, mengapa tidak kau temani aku di sini?”
“Masa engkau tidak ingin tahu cara bagaimana dia dan Bu-koat dapat lolos dari liang tikus sana?” ujar So Ing dengan tersenyum…..
********************
Butiran air mata di atas daun rontok itu sudah kering, namun air mata Thi Sim-lan sendiri belum lagi kering. Dilihatnya So Ing melangkah ke arahnya, sedapatnya ia bertahan agar air mata tidak menetes lagi.
Perlahan-lahan So Ing mendekatinya, tapi Thi Sim-lan sama sekali tidak angkat kepalanya. Rambutnya terurai tertiup angin, sehelai daun rontok tepat jatuh di atas kepalanya.
Dengan perlahan So Ing pungut daun kering itu, ucapnya dengan halus, “Apakah kau marah padaku?” pertanyaan ini sesungguhnya tidak cerdik, soalnya dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Thi Sim-lan juga tidak menjawab pertanyaan ini, sebab ia pun tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya.
Bayangan mereka membujur panjang tersorot sinar sang surya, bayangan mereka seolah-olah tertumpuk menjadi satu, namun hati mereka entah berjarak betapa jauhnya.
Selang sekian lama barulah Thi Sim-lan berdiri dengan perlahan, katanya kemudian, “Kutahu engkau pasti mengira aku dendam padamu lantaran kamu adalah sahabat Siau-hi-ji, tapi kau sengaja tidak mau berterus terang padaku, kau tahu di mana Siau-hi-ji berada, tapi kau suruh aku menunggumu di tempat yang lain.”
“Apakah betul kau tidak dendam padaku?” tanya So Ing menunduk.
Sim-lan tersenyum sedih, ucapnya, “Bila terjadi pada dua-tiga tahun lalu, mungkin sekali aku akan benci dan dendam kepadamu, tetapi sekarang... sekarang aku sudah tahu, apa yang diperbuat oleh seseorang belum pasti timbul atas kehendaknya sendiri, ada kalanya seorang memang tak dapat mengekang keinginan diri sendiri, lebih-lebih dalam hal cinta, sering kali timbul secara di luar kehendaknya sendiri.”
“Tapi aku...” mata So Ing menjadi basah juga.
“Kau tidak perlu menyesal. Apa bila kutahu kau adalah sainganku, tentu aku pun takkan bicara secara terus terang padamu.”
So Ing menghela napas panjang, ia pegang tangan Thi Sim-lan, ucapnya dengan tersenyum haru, “Sungguh tak tersangka engkau adalah anak perempuan sebaik ini, yang kuharapkan sekarang sebenarnya adalah engkau bisa lebih kejam, lebih garang padaku, dengan demikian hatiku akan lebih terhibur.”
Thi Sim-lan memandangnya lekat-lekat, katanya tiba-tiba, “Tapi apa pun juga engkau takkan melepaskan Siau-hi-ji bagiku, bukan?”
Pertanyaan ini boleh dikatakan sangat bodoh, entah mengapa dia bisa mengajukan pertanyaan sedemikian?
So Ing juga menatapnya tajam-tajam, jawabnya, “Betul, takkan kulepaskan dia bagimu, sebab kalau kulepaskan dia, bisa jadi akan membuatmu terlebih serba susah, betul tidak?”
Kembali Thi Sim-lan menunduk, ucapan So Ing ini laksana jarum yang runcing tepat menusuk hatinya sehingga dia tidak tahu apa pula yang harus diucapkannya. Setelah daun rontok tadi diremasnya hingga hancur barulah dia berkata, “Sebenarnya tidak pantas kutanyakan hal ini padamu. Bisa jadi diriku sama sekali tidak terpikir oleh Siau-hi-ji, mungkin hanya engkau saja yang sesuai baginya.”
“Kau salah!” ucap So Ing.
“Salah?” Thi Sim-lan menegas heran.
“Ya, sebab Siau-hi-ji tidak melupakan dirimu, jika dia benar-benar tidak pernah memperhatikan dirimu, tentu dia sudah mendekat ke sini.”
Thi Sim-lan melengak, katanya, “Meng... mengapa engkau mengatakan hal ini padaku? Mengapa tidak kau biarkan persoalan ini lenyap dari hatiku?”
“Mungkin disebabkan aku teramat ingin memiliki Siau-hi-ji, makanya aku tidak ingin dia dendam padaku, kelak, aku ingin dia memilih sendiri, jika orang yang disukai dia adalah dirimu, sekali pun kubunuh kau juga tiada gunanya bagiku.”
Makin tertunduk kepala Thi Sim-lan, dia coba meresapi suara So Ing, terasa penuh pahit getir hatinya. Maklum, semakin bertentanganlah perasaannya sekarang dan juga semakin ruwet, diam-diam ia bertanya pada dirinya sendiri, “Andaikan yang dipilih Siau-hi-ji adalah diriku, apakah aku benar-benar akan bergembira?”
Siapa pun tak tahu jawaban soal ini, bahkan dia sendiri pun tak tahu.
Tiba-tiba So Ing tertawa, katanya pula, “Apakah kamu telah bertemu dengan ayah angkatku? Bukankah tampangnya sangat menakutkan?”
“Aku tidak bertemu dengan dia,” jawab Sim-lan.
Tentu saja So Ing melengak heran, “Sebab apa? Memangnya kau tidak pergi ke tempat yang kusebutkan?”