Oh Yok-su jadi melengak muram dan tidak bersemangat lagi. Sebaliknya Siau-hi-ji lantas tepuk-tepuk bahunya, katanya sambil tertawa, “Jangan khawatir, biar pun mereka tidak menolong kita, nanti juga ada orang lain yang akan menolongku.”
“Siapa?” tanya Oh Yok-su.
“Rahasia alam tidak boleh dibocorkan, kalau sudah tiba waktunya tentu kau akan tahu sendiri,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa dan berfilsafat.
Oh Yok-su ingin tanya pula, tapi pada waktu itu juga di luar sana telah berkumandang suara So Ing.
Setelah mengikuti percakapan antara So Ing dengan Thi Peng-koh, mau tak mau Oh Yok-su menghela napas gegetun, katanya, “Nona So benar-benar sangat mendalam cintanya kepada Hi-heng, sungguh amat besar rezeki Hi-heng mendapatkan pacar secantik itu.”
Siau-hi-ji juga menghela napas, jawabnya, “Jika kau merasakan hal ini adalah rezeki, maka bolehlah kuoperkan dia padamu saja.”
Oh Yok-su hanya tertawa, selang sejenak baru ia berkata pula, “Kau kira nona So dapat memanjat ke atas tidak?”
“Jika dia bilang ada akal, tentu dia sanggup memanjat ke atas,” kata Siau-hi-ji.
“Tapi Cayhe tidak dapat membayangkan akal apa yang dipunyai olehnya,” ujar Oh Yok-su.
“Jika kau bisa membayangkan akalnya, tentu kau takkan tertimpa malang seperti sekarang ini,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Thi Peng-koh sedang berteriak, “He, nona So, dinding tebing itu sangat licin, engkau takkan sanggup merambat ke atas sana.”
Benar juga menyusul lantas terdengar jeritan kaget So Ing, mungkin dia baru saja merambat ke atas dan segera terperosot ke bawah lagi.
Selang sejenak, terdengar Thi Peng-koh berkata pula, “Nona So, buat apa engkau nekat begitu? Batu di atas sana setajam pisau, bila engkau telanjang kaki tentu akan lebih mudah terluka lagi.”
Dari nadanya tampaknya dia sangat khawatir bagi So Ing, suatu tanda pula bahwa cara merambat So Ing tentu sangat payah.
Tanpa terasa Siau-hi-ji juga gegetun, ucapnya, “Ya, kakinya pasti putih dan halus, jika sampai terluka kan sayang.”
Oh Yok-su juga gegetun, katanya, “Melihat bentuknya sih lemah lembut, tak tersangka dia mempunyai tekad sebesar itu.”
“Tapi nona pintar seperti dia ternyata memakai cara sebodoh ini, sungguh sangat mengecewakan aku,” kata Siau-hi-ji
“Semakin bodoh cara yang dipakainya, semakin jelas pula cintanya padamu,” ujar Oh Yok-su. “Hi-heng, mestinya engkau berseru memanggilnya untuk memberi semangat padanya.”
“Untuk apa mesti kuberi semangat padanya? Kan dia sendiri yang susah,” kata Siau-hi-ji dengan melotot. “Anak perempuan yang nekat seperti dia ini hanya membikin pusing kepalaku saja. Apalagi, seumpama dia dapat merambat ke atas kan juga tidak mampu menolong kita.”
Oh Yok-su terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, “Jadi Hi-heng sengaja bersikap demikian lantaran tidak ingin membikin susah nona So?”
“Hehe, rasanya kau terlalu tinggi menilai hati nuraniku,” ucap Siau-hi-ji sambil tertawa.
“Ah, meski kasar cara bicara Hi-heng, yang benar kutahu hatimu sangat baik,” ujar Oh Yok-su.
Dalam pada itu sama sekali tidak terdengar lagi suara So Ing di luar sana, hanya Thi Peng-koh yang terkadang mengeluarkan jeritan khawatir, suatu tanda So Ing berulang-ulang mengalami rintangan dan mungkin setiap saat terperosot ke bawah.
Siau-hi-ji berkerut kening, katanya, “Dia dan aku kan juga tiada hubungan yang erat, pula tidak pernah ada sumpah setia apa segala, mengapa dia harus bersusah payah ingin mencariku?”
Oh Yok-su tersenyum, ucapnya, “Seorang perempuan bila sudah mencintai seorang lelaki, hakikatnya dia tidak memerlukan alasan. Pula, alasan perempuan pada hakikatnya juga takkan dipahami lelaki.”
“Betul, asalkan kebentur perempuan, terpaksa kuanggap diriku lagi sial,” kata Siau-hi-ji dengan menyesal.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara sorak gembira Thi Peng-koh.
Lalu terdengar seruan So Ing, “Siau-hi-ji, inilah aku datang mencarimu, apakah kau dengar suaraku?”
Suara itu tersiar dari mulut gua di atas, karena kumandang suara di gua yang geronggang itu, bukan saja Siau-hi-ji dapat mendengarnya dengan jelas, bahkan anak telinganya hampir pekak karena getaran suara yang mendengung itu.
Nyata, So Ing benar-benar telah berhasil memanjat ke atas.
Karena Siau-hi-ji hanya diam saja, segera Oh Yok-su bermaksud bersuara, tapi cepat Siau-hi-ji mendekap mulutnya sambil berbisik, “Jangan sekali-kali menjawabnya, kalau tidak, bisa jadi dia akan terjun kemari.”
Rupanya Siau-hi-ji telah kenal watak So Ing yang keras, apa bila nona itu sudah bertekad akan berbuat sesuatu, biar pun dia harus terjun ke lautan api juga dia pantang mundur.
Terlihat wajah So Ing sudah menongol di mulut gua, cuma gua sumur terlalu dalam, cahaya remang-remang di bagian atas tidak cukup menerangi bagian bawah, sebab itulah Siau-hi-ji dapat melihat So Ing dengan cukup jelas, sebaliknya So Ing tidak dapat melihat anak muda itu.
Samar-samar malahan Siau-hi-ji sudah dapat melihat wajah So Ing yang basah dan lecet, entah air keringat entah air mata.
“Siau-hi-ji,” terdengar suara So Ing yang setengah meratap, “Mengapa engkau tidak menjawab? Apakah engkau benar-benar telah meninggal? Masa kau... sedemikian tidak becus, sampai-sampai binatang kecil semacam Kang Giok-long juga bisa membunuhmu? Sungguh memalukan dan membikin penasaran.”
Dengan tertawa Siau-hi-ji membisiki Oh Yok-su, “Dia sengaja memancing agar aku bersuara, tapi aku justru tidak mau tertipu olehnya.”
Terdengar So Ing lagi berseru pula, “Siau-hi-ji, dengan susah payah telah kuselamatkan kau, tapi kau justru mati konyol di sini, kau sungguh mengecewakan harapanku.”
Namun Siau-hi-ji tetap diam saja.
Sekali ini So Ing tidak bicara lagi, tapi mendadak menangis keras-keras.
Sungguh tak tersangka oleh Oh Yok-su bahwa nona yang biasanya lemah lembut dan anggun, menghadapi persoalan apa pun selalu tenang, kini mendadak bisa menangis tergerung-gerung seperti anak kecil begitu.
Terdengar Thi Peng-koh lagi berseru, “Nona So, orang mati kan tidak dapat hidup kembali, untuk apa nona menangis sedemikian sedihnya?”
Dia seakan-akan lupa bahwa dia sendiri tadi juga menangis. Selang sejenak kembali ia berkata, “Tadi kau sendiri bilang padaku bahwa di dunia ini masih banyak orang yang bernasib jauh lebih malang dari pada kita, sekarang aku tidak menangis lagi, mengapa kau malah menangis sendiri?”
“Jangan khawatir, aku cuma menangis satu kali saja dan selanjutnya takkan menangis lagi,” jawab So Ing sambil tersedu-sedu. “Sebab itulah sekali ini aku harus menangis sepuas-puasnya dan hendaklah jangan kau cegah tangisku ini.”
“Hm, kau dengar tidak, dia cuma mau menangis satu kali saja... hehe, hanya menangis satu kali saja,” demikian jengek Siau-hi-ji dengan suara tertahan.
“Tapi kalau ada seorang nona cilik begitu mau menangis satu kali bagiku, maka puaslah hidupku ini,” ujar Oh Yok-su dengan gegetun.
Entah selang berapa lama, tangis So Ing bukan saja tidak berhenti, bahkan semakin berduka cara menangisnya seakan-akan air matanya hendak dikuras keluar semua.
Dengan suara serak Thi Peng-koh berseru pula, “Kumohon dengan sangat, janganlah menangis lagi. Jika... jika kau menangis terus, aku... aku pun….” Belum habis ucapannya, benar juga, ia sendiri lantas ikut menangis.
Tapi mendadak So Ing berhenti menangis, ucapnya, “Aku pun ingin memohon sesuatu padamu.”
“Urusan... urusan apa?” tanya Peng-koh.
“Kita berkenalan secara kebetulan, tapi ternyata cukup cocok, maka kuharap engkau suka berdaya menyumbat gua ini dengan batu agar kami tidak diganggu orang lain lagi.”
“Mengganggu kalian? Memangnya kau pun akan... akan...” Peng-koh bersuara khawatir dan tergegap.
“Ya,” sahut So Ing singkat.
“Mana... mana boleh kau mati? Setahuku, kau dan Siau-hi-ji kan tiada sumpah setia segala, mengapa kau mau mati baginya?”
“Aku tidak merasakan mati baginya, aku cuma merasa hidup ini tiada artinya lagi.”
“Nah, kau dengar tidak, Hi-heng?” demikian bisik Oh Yok-su di dasar sumur. “Sampai begini, masa engkau tidak mau bersuara?”
“Apakah kau kira dia benar-benar akan mati? Dia cuma menakut-nakuti orang saja,” ujar Siau-hi-ji. “Masa kau tidak tahu senjata rahasia simpanan kaum perempuan, yakni menangis, mogok makan dan bunuh diri?”
“Tapi dia... dia...”
“Dia kenapa? Jika dia benar-benar membunuh diri biar aku...”
Belum habis ucapan Siau-hi-ji, mendadak terdengar jeritan Thi Peng-koh. Waktu mereka mendongak, So Ing benar-benar terjun ke bawah.
Baru sekarang Siau-hi-ji benar-benar terkejut. Cepat ia bertindak, sekuat tenaga ia lompat ke atas, selagi masih terapung di udara sempat ia rangkul tubuh So Ing.
Namun daya anjlok So Ing teramat keras, sekali pun ilmu silat Siau-hi-ji sekarang sudah lain dari pada dulu, namun tetap tidak mampu menahannya, terdengarlah suara “plung” yang keras, kedua orang sama-sama tercebur ke dalam kolam.
Air kolam bergolak, selang sejenak barulah terlihat Siau-hi-ji menongol ke permukaan air dengan basah kuyup sambil merangkul So Ing, lalu dibawa melompat ke atas batu.
“Dia tidak cuma menakut-nakuti orang saja, bukan?” demikian Oh Yok-su berolok-olok dengan tersenyum.
Siau-hi-ji menyengir, ucapnya, “Budak ini ternyata berbeda dari pada perempuan lain. Wah, aku menjadi mulai sangsi apakah dia ini perempuan tulen atau bukan?”
Dia mengira So Ing pasti sudah pingsan karena terjun dari ketinggian begitu dan kecebur pula ke kolam.
Tak terduga “budak” yang bertubuh lemah itu ternyata mempunyai saraf yang lebih kuat dari pada baja. Bukan saja dia tidak pingsan, sebaliknya malah kelihatan sangat enak, sangat senang atas kejadian ini. Matanya terbelalak memandangi Siau-hi-ji tanpa berkedip.
Siau-hi-ji melengak, tiba-tiba ia kendurkan pegangannya sehingga tubuh So Ing terlempar ke atas batu, dengan penasaran ia berteriak, “Ingin kutanya padamu, apa artinya semua ini? Hakikatnya kau dan aku tiada hubungan kentut sekali pun, untuk apa kau mati bagiku? Memangnya kau sengaja hendak membikin aku berterima kasih padamu dan selama hidupku ini akan diperbudak olehmu?”
“Aku tidak ingin memperbudak dirimu, aku cuma berharap kau akan menjadi suamiku,” jawab So Ing dengan perlahan.
Kembali Siau-hi-ji melengak, katanya kepada Oh Yok-su sambil menuding So Ing, “Kau dengar tidak? Apa yang diucapkan budak ini kau dengar tidak?”
“Dengar, kudengar dengan jelas,” jawab Oh Yok-su sambil mengulum senyum.
“Perempuan yang bermuka tebal begini tentunya tak pernah kau lihat bukan?” tanya Siau-hi-ji pula.
“Tapi apa pun juga kan sudah dilihatnya sekarang,” ujar So Ing dengan tertawa.
Terbelalak mata Siau-hi-ji memandangi So Ing sekian lamanya, tiba-tiba ia menghela napas, ucapnya sambil menggeleng, “Aneh, sungguh aneh!”
“Aneh apa?” tanya So Ing sambil membetulkan rambutnya dengan jarinya yang lentik.
“Ingin kutanya padamu,” kata Siau-hi-ji. “Demi seorang lelaki kau rela membunuh diri, tapi sang lelaki merasa kepala pusing apa bila melihatmu, masa hal ini sama sekali tak merisaukan kau?”
“Mengapa aku harus risau?” jawab So Ing. “Kutahu, meski di mulut kau bilang kepala pusing, tapi di dalam hati senang tidak kepalang. Jika sedikit pun kau tidak menaruh perhatian padaku, mengapa tadi kau loncat ke atas untuk menyelamatkan diriku?”
“Biar pun seekor anjing yang jatuh dari atas juga akan kuselamatkan,” ucap Siau-hi-ji dengan ketus.
“Kutahu kau sengaja mengucapkan kata-kata keji dan menusuk perasaan ini, kau sengaja berlagak dingin dan kejam, soalnya hatimu takut, makanya aku pun takkan marah padamu,” kata So Ing dengan tertawa.
“Apa, aku takut?” teriak Siau-hi-ji dengan mendelik. “Apa yang kutakuti?”
“Kau takut selanjutnya akan kalah pengaruh dari padaku, juga takut kelak kau akan keranjingan mencintai aku, makanya kau sengaja bersikap demikian untuk membela diri,” tutur So Ing dengan kalem. Ia tersenyum, lalu menyambung pula, “Jika orang macam Kang Giok-long itu, tentu dia takkan bersikap seperti dirimu. Betul tidak?”
Siau-hi-ji tertawa, ucapnya sambil memiringkan kepala, “Jika begitu, ingin kutanya pula padamu, mengapa aku mesti bersikap demikian, apakah sikap demikian cukup membanggakan?”
“Soalnya terlalu besar emosimu, seorang yang besar emosinya sering kali akan merugikan dirinya sendiri, makanya kau berdaya upaya sedapatnya untuk melindungi kelemahannya sendiri.”
“Hahaha, logika yang janggal begini, selama hidup ini belum pernah kudengar,” seru Siau-hi-ji sambil tertawa.
“Seorang kalau mendengar orang lain membongkar isi hatinya dengan tepat, biasanya memang tidak mau mengaku dengan terus terang.”
Seketika Siau-hi-ji berjingkrak sambil berteriak, “Kentut, kentut busuk!”
“Kalau isi hati seseorang kena dibongkar orang, biasanya dia pasti akan marah,” ucap So Ing dengan tertawa. “Meski kau mencaci maki juga aku tidak menyalahkanmu.”
Untuk sekian lamanya Siau-hi-ji terbelalak memandangi si nona, gumamnya kemudian, “Oh Thian, mengapa engkau mempertemukan aku dengan perempuan begini?!”
Mendadak ia lompat ke dalam kolam, teriaknya sambil mengetuk kepala sendiri, “Celaka, tamatlah riwayatku! Seorang lelaki kalau bertemu dengan perempuan yang sok pintar begini terpaksa ia harus potong rambut dan jadi Hwesio saja.”
“Wah, jika demikian, di dunia bakal bertambah lagi seorang Hwesio sontoloyo dan seorang Nikoh (biksuni), tentu juga Nikoh sontoloyo,” ucap So Ing dengan tertawa.
Siau-hi-ji jadi melengak, tanyanya, “Nikoh sontoloyo apa maksudmu?”
“Habis, kalau kau menjadi Hwesio, terpaksa aku akan menjadi Nikoh, tentulah Nikoh sontoloyo, memangnya cuma ada Hwesio sontoloyo dan tidak ada Nikoh sontoloyo, kan tidak adil?”
Sungguh dongkol Siau-hi-ji tak terkatakan, saking gemasnya ia terus menyelam ke dalam air.
Hampir meledak perut Oh Yok-su saking gelinya menyaksikan perang mulut kedua muda-mudi itu, pikirnya, “Biasanya ucapan Siau-hi-ji selalu membikin gemas orang lain, tak tersangka hari dia ketemu batunya. Tampaknya nona So Ing ini memang pintar dan cerdik, rupanya sudah dalam perhitungannya apa bila seorang perempuan ingin menaklukkan lelaki macam Siau-hi-ji, dia harus berani menggunakan cara ‘dengan racun menyerang racun’.”
Terlihat Siau-hi-ji masih membenamkan kepalanya di dalam air, rupanya dia lebih suka mati tenggelam dari pada mati mendongkol oleh kata-kata So Ing.
Tapi So Ing tidak ambil pusing, ia malah tanya kepada Oh Yok-su, “Nah, sekarang tentunya kau tahu, dia menyukai aku bukan?”
Terpaksa Oh Yok-su mengiakan dengan samar-samar.
“Coba pikir, jika dia tidak suka padaku, mengapa dia membenamkan kepalanya di dalam air pencuci kakiku tanpa peduli bau busuk?” kata So Ing dengan tertawa.
Belum habis ucapannya, secepat kodok tahu-tahu Siau-hi-ji melompat keluar dari kolam.
Dalam pada itu pasang naik air kolam bertambah tinggi, kini hanya permukaan batu karang itu saja yang masih menongol dan So Ing justru duduk di tengah-tengah batu itu, kalau Siau-hi-ji tidak mau duduk di sampingnya terpaksa dia harus terjun lagi ke dalam kolam.
Dengan mengikik tawa So Ing berkata, “Duduklah baik-baik di sebelahku sini, masih ada urusan lain ingin kutanya padamu.”
Terpaksa Siau-hi-ji duduk, ucapnya dengan melotot, “Kau ingin tanya apalagi?”
“Katanya kau ini orang pintar nomor satu di dunia, mengapa sampai tertipu oleh Kang Giok-long?” tanya So Ing dengan tertawa.
“Aku senang, aku suka tertipu olehnya, peduli apa denganmu?” jawab Siau-hi-ji mengada-ada.
“Kutahu kau pasti tak dapat ditipu olehnya, kau hanya ingin menggodanya saja, betul tidak?”
So Ing cukup cerdik, ia tahu Siau-hi-ji sudah cukup dibuatnya keki, kalau tidak tahu batas, dari malu anak muda itu bisa jadi gusar, jika sudah begini, maka urusan bisa runyam. Sebab itulah cepat ia ganti haluan, ucapan yang terakhir itu berubah menjadi lembut.
Lelaki memang tidak terlalu suka kepada anak perempuan yang terlampau lembut dan terlalu penurut, terkadang lelaki juga memerlukan selingan, suka dibikin keki oleh anak perempuan. Cuma sayang, kebanyakan anak perempuan di dunia ini tidak tahu membedakan waktu yang tepat, tidak tahu bila mana dapat menggoda dan membuat keki lelaki dan bila mana harus berhenti, jika setiap anak perempuan di dunia ini sama pintarnya seperti So Ing, maka tidak perlu diragukan lagi pasti sudah lama kaum lelaki menjadi budak kaum perempuan.
Maka Siau-hi-ji balas menjengek, “Hm, kau tidak perlu menjilat pantatku. Sekali ini aku memang tertipu olehnya. Ya, kan bukan apa-apa bila seorang terkadang juga tertipu sekali dua kali.”
So Ing tahu rasa keki anak muda itu sudah buyar, tapi akan lebih baik kalau sekarang jangan lagi diganggu. Dengan suara lembut ia lantas berkata, “Ya, sudah tentu bukan apa-apa. Aku cuma rada heran, orang macam Kang Giok-long itu mengapa bisa membikin Siau-hi-ji kita tertipu?” Tanpa menunggu jawaban si anak muda segera ia berpaling kepada Oh Yok-su dan bertanya, “Kejadiannya tentu kau lihat juga, coba kau saja bercerita.”
Oh Yok-su berdehem satu-dua kali, lalu bertutur, “Peristiwa ini harus dimulai dari Hoa Bu-koat, dia...”
Ketika bercerita sampai urusan “Li-ji-hong”, yaitu jamur racun yang dimakan Siau-hi-ji, seketika So Ing menyelutuk, “He, apakah benar-benar dia telah makan Li-ji-hong itu?”
“Benar-benar telah dimakannya,” tutur Oh Yok-su. “Justru lantaran jamur beracun yang dimakannya itulah maka dia mengira Kang Giok-long pasti takkan mencelakai dia lagi sehingga dia lena dan kena didorong masuk ke sumur ini.”
“Kiranya lantaran ingin menolong Hoa Bu-koat, maka dia menjadi begini. Demi menolong kawan dia rela mengorbankan dirinya sendiri, keluhuran budi ini sungguh hebat...” sekonyong-konyong tubuh So Ing menggigil, ucapnya pula dengan parau, “Tapi apakah tak terpikir olehmu bahwa mungkin Hoa Bu-koat sudah pergi dan Kang Giok-long sengaja berdusta untuk memeras kau?”
“Dengan sendirinya sudah kupikirkan,” jawab Siau-hi-ji.
“Kalau sudah kau pikir mengapa... mengapa kau makan Li-ji-hong itu? Apa tidak dapat kau tunggu lagi?” So Ing menjadi cemas sendiri sehingga kehilangan akal.
Siau-hi-ji menjadi senang melihat kegelisahan si nona, dengan tertawa ia malah berkata, “Li-ji-hong itu kelihatan sangat enak, sebab itulah aku menjadi kepingin mencicipinya. Kan tidak setiap orang mampu makan barang demikian, betul tidak? Kesempatan baik begitu mana boleh kulewatkan?”
“Tapi apakah kau tahu bila mana racun Li-ji-hong itu sudah bekerja, maka kau akan lebih suka mati dari pada tersiksa?” kata So Ing dengan serak.
“Selama ini hidupku selalu menyenangkan, kalau ada orang yang bisa membikin aku menderita, kan boleh juga?” ucap Siau-hi-ji dengan tenang.
Mata So Ing melotot, teriaknya, “Kau sendiri tidak cemas sama sekali?”
“Kalau kau sudah cemas begitu, untuk apa pula aku sendiri harus cemas?”
So Ing melenggong sejenak, ucapnya kemudian dengan gegetun, “Apa bila orang mengira kau akan tertipu, kau justru tidak tertipu. Bila mana orang yakin kau takkan tertipu, tapi kau malah tertipu. Sungguh terkadang aku pun bingung, sukar untuk menerka bagaimana jalan pikiranmu yang sebenarnya.”
“Jalan pikiranku ialah supaya orang lain tak dapat menebaknya,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Jika apa yang hendak kukerjakan sudah dapat kau duga, lalu apa artinya lagi? Kan hidup ini tiada bedanya seperti mati?”
“Betul, bila kau mati, pasti banyak orang akan terkejut. Cuma sayang, waktu itu kau sendiri pun tidak mengetahuinya,” So Ing berseloroh.
“Belum tentu,” ujar Siau-hi-ji sambil menyengir, “Bisa jadi waktu itu aku akan mengintip dari dalam peti mati.”
********************
Waktu So Ing terjun ke dalam sumur, saat itu juga Thi Peng-koh jatuh pingsan. Selama beberapa hari terakhir ini dia benar-benar sangat menderita, jiwa raganya benar-benar tersiksa dan tidak tahan lagi mengalami pukulan apa pun.
Dalam keadaan sadar tak sadar ia seperti mendengar suara percakapan orang di dalam gua itu, tapi ia tak berani memastikannya, kini ia telah kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri.
Semakin dingin angin pegunungan meniup tiada hentinya, sampai akhirnya angin yang mengusap tubuhnya itu serasa sayatan pisau, kulitnya yang halus itu seolah-olah merekah tertiup angin.
Tiba-tiba teringat olehnya dongeng yang pernah didengarnya waktu kecil, konon ada seorang gadis suci, lantaran tidak sudi dinodai atau diperkosa orang jahat, maka dengan nekat membunuh diri dengan cara menggigit putus pangkal lidahnya sendiri.
Sudah lama juga Thi Peng-koh ingin mati, cuma dalam keadaan demikian ingin mati pun tidak bisa. Kini tiba-tiba teringat ada cara mati semudah itu, seketika dia bersemangat dan ingin mencobanya.
Mati adalah jalan terakhir bagi orang yang putus asa, namun betapa pun juga jiwa seseorang tidaklah mudah dibuang begitu saja. Pada waktu keinginan matinya tidak terkabul, tekadnya lantas goyah. Maklum, seseorang yang mendekati ajalnya tentu akan teringat pada kejadian-kejadian di masa lampau yang biasanya tidak berani dipikirkannya.
Teringat olehnya waktu berada di Ih-hoa-kiong, pada masa hidupnya yang hampa dan kesepian itu, akan tetapi kini... Meski ia berharap melewatkan sehari saja kehidupan seperti itu pun sukar terkabul lagi.
Terkenang pula olehnya ketika bersembunyi dua hari di dalam gua bersama Siau-hi-ji.
Kedua hari itu boleh dikatakan paling susah selama hidupnya, di dalam gua yang gelap gulita, tidak makan dan tidak minum, bahkan tiada harapan lagi untuk bisa keluar. Setiap saat, setiap detik selalu diintip maut.
Tapi meski jasmaninya mengalami siksa derita yang tak terperikan waktu itu, namun jiwanya terasa segar dan gembira, asalkan Siau-hi-ji memegang tangannya, maka segala penderitaan lantas berubah menjadi manisnya madu.
Sudah barang tentu, ia pun terkenang kepada Kang Giok-long.
Biar pun jahat dan menggemaskan, tapi Kang Giok-long juga ada saat-saat yang menyenangkan. Yang lebih-lebih sukar dilupakan adalah kemahirannya merayu, kata-katanya yang memikat, belaian dan rabaannya yang menggetarkan sukma...
Adanya suka dan duka sebanyak itu menggeluti relung hatinya, tentulah tidak mudah baginya untuk mati.
Wajah Thi Peng-koh penuh bekas air mata dan tak dapat kering meski ditiup angin pegunungan sekian lama.
Dari jauh ia memandangi gua yang diterjuni So Ing itu, gumamnya dengan perasaan sedih, “Mengapa dia dapat mati dengan begitu mudah dan aku tidak? Mengapa aku tidak mempunyai tekad sekeras itu? Bukankah dia jauh lebih beralasan untuk hidup terus dari padaku?”
Perlahan-lahan Thi Peng-koh menjulurkan lidahnya, sekuatnya ia menggigit.
Namun antara mati dan hidup sesungguhnya tidak begitu sederhana sebagaimana yang dibayangkannya.
Ada setengah orang yang tidak ingin mati, tapi mendadak mati dengan mudah. Tapi ada sementara orang yang benar-benar ingin mati, terkadang malah tetap hidup secara aneh.
Meski di dunia ini setiap hari tidak sedikit orang yang mati, tapi yang mati itu sendiri kebanyakan justru tidak ingin mati, orang lain pun tidak menghendaki kematiannya. Sebaliknya orang yang ingin mati dan pantas mati justru tidak mati malah.
Ini benar-benar sesuatu yang ajaib, sesuatu yang sukar dijelaskan dan juga sesuatu yang menyedihkan.
Thi Peng-koh juga tidak mati meski dia ingin mati. Dia cuma pingsan saja. Waktu dia siuman kembali, pandangan pertama lantas dilihatnya topeng perunggu hijau yang menakutkan itu.
Tong-siansing alias Kiau-goat Kiongcu juga sedang menatapnya dengan tajam, sorot matanya yang dingin itu sungguh lebih menakutkan dari pada topengnya yang beringas itu. Tapi yang lebih menakutkan lagi adalah ucapannya.
“Lakimu itu sudah pergi?” demikian Kiau-goat Kiongcu bertanya.
Peng-koh mengiakan sambil menunduk.
“Tadi dia tidak menolong kau?” kata Kiau-goat Kiongcu pula.
Ucapan ini sungguh seperti anak panah yang menembus jantung hati Thi Peng-koh. Meski selamanya ia tidak ingin mengungkit lagi kejadian ini, tapi ia pun tidak berani menjawabnya. Terpaksa ia menjawab dengan menahan air mata, “Dia... dia tidak berani menolong aku.”
“Hm, kalau dia berani melarikan diri, mengapa dia tidak berani menolongmu?”
Akhirnya air mata Thi Peng-koh bercucuran.
“Tidak perlu kau menangis,” kata Kiau-goat Kiongcu, “Ini adalah hasil perbuatanmu sendiri. Sejak dulu-dulu seharusnya kau tahu tiada seorang lelaki pun berhati baik, mengapa kau mau tertipu olehnya?”
Mendadak Thi Peng-koh menjawab dengan suara keras, “Tidak semua lelaki berhati busuk, ada di antaranya meski aneh tindak tanduknya, tapi hatinya sebenarnya sangat baik dan bijaksana.”
“Siapa yang kau maksudkan?” tanya Kiau-goat.
“Kang Siau-hi,” jawab Peng-koh.
Sorot mata Kiau-goat Kiongcu yang dingin itu mendadak merah membara, bentaknya dengan bengis, “Memangnya yang kau sukai bukan Kang Giok-long melainkan Kang Siau-hi?”
“Kalau aku tidak menyukai dia, masa aku selamatkan dia dari sana tanpa menghiraukan akibatnya?”
“Plak”, kontan Kiau-goat Kiongcu menampar muka Thi Peng-koh, bentaknya dengan parau, “Kau tahu orang she Kang tiada satu pun yang baik, lebih-lebih Kang Siau-hi, dia sama seperti ayah-bundanya yang sudah mampus itu.”
“Aku cuma tahu dia baik hati, bajik menyenangkan...”
“Berani kau singgung dia lagi satu kata, segera kubinasakan kau!” bentak Kiau-goat dengan gusar.
“Engkau boleh menyumbat mulutku agar tidak bisa bicara, tapi engkau tak dapat melarang aku memikirkan dia. Kini dia sudah mati, jika kau bunuh aku malah kebetulan bagiku, aku dapat menemuinya dengan segera di alam baka, hal ini pun tidak dapat kau cegah.”
Mendadak tubuh Kiau-goat Kiongcu bergetar. Rupanya dia teringat pada kejadian 20 tahun yang lalu, waktu Kang Hong dan Hoa Goat-loh menghadapi ajalnya. Apa yang diucapkan Hoa Goat-loh sebelum mati itu pun persis seperti apa yang dikatakan Thi Peng-koh sekarang.
Sudah tentu ia tidak tahu apa yang diucapkan Thi Peng-koh tidak lebih cuma ingin membikin marah padanya. Dengan sendirinya Thi Peng-koh tahu akan apa hukuman Ih-hoa-kiong bagi muridnya yang khianat, sejak larinya Hoa Goat-loh, yaitu ibu kandung Siau-hi-ji, hati Kiau-goat Kiongcu sudah berubah jauh lebih kejam dan ganas dari pada siapa pun juga.
Yang diharapkan Thi Peng-koh hanyalah lekas mati saja, ia tidak gentar menerima akibatnya.
Yang lebih membuat murka Kiau-goat Kiongcu adalah Siau-hi-ji, anak muda itu ternyata sudah mati di tangan orang lain, jadi jerih payahnya selama belasan tahun ini hanya sia-sia belaka.
Meski sudah hampir 20 tahun, namun dendamnya tidak menjadi tawar terhanyut oleh lalunya waktu, sebaliknya dendamnya bertambah keras, semakin merasuk.
Maklumlah, selama 20 tahun ini apa yang pernah diucapkan Hoa Goat-loh serta sikap Kang Hong sebelum ajal masih tetap terang benderang laksana kobaran api yang senantiasa membakar sanubarinya.
Tekanan batin ini sungguh hampir membuatnya gila, tapi sedapatnya ia bertahan, ia tahu pada suatu hari kelak, kedua putra kembar Kang Hong itu pasti akan mengalami nasib tragis yang telah direkayasanya.
Entah sudah berapa kali dia mengkhayalkan adegan Hoa Bu-koat akan membunuh Siau-hi-ji, hanya bila dia membayangkan kejadian ini barulah jiwanya yang menderita itu rada berkurang.....