“Hahaha, bagus, bagus!” Siau-hi-ji bergelak tertawa. “Kiranya Kang-heng ini reinkarnasi seorang Hwesio tua,” mendadak ia berhenti tertawa dan berkata pula dengan serius, “Baiklah, jika Kang-heng sudah dapat menyadari artinya orang hidup, maka sekarang kita boleh pergi menolong Hoa Bu-koat.”
Kembali Giok-long menghela napas, ucapnya, “Meski Siaute sudah tidak memikirkan lagi tubuh yang busuk ini, akan tetapi...” dia berpaling dan memandang Thi Peng-koh sekejap, lalu menyambung dengan muram, “Akan tetapi dia... cintanya padaku membuat aku tak dapat meninggalkan dia.”
Termangu-mangu Thi Peng-koh memandangi Kang Giok-tong dengan air mata berlinang-linang, entah gembira, entah terkejut, entah percaya atau tidak?
Siau-hi-ji lantas menukas, “Memang betul, persoalan cinta, biar pun nabi atau dewa sekali pun juga sukar menghindarinya, tapi entah maksud Kang-heng apakah...”
“Setelah mengalami peristiwa ini, Siaute tiada hasrat buat berlomba lagi di dunia Kangouw dengan para saudara, yang kuharap budi dan dendam dapat dibereskan sekaligus, bersama dia, kami akan mengasingkan diri ke tempat yang terpencil, kami akan hidup tenteram dan sejahtera untuk selanjutnya, namun...” dia menyengir dan menyambung pula, “...namun sesungguhnya sudah terlalu banyak kesalahan yang pernah kulakukan, kutahu Hi-heng pasti juga takkan membiarkan kupergi begini saja, betul tidak?”
Dengan sungguh-sungguh Siau-hi-ji menjawab, “Peribahasa berbunyi ‘taruh golok jagal, seketika menjadi Budha’. Tindakan Kang-heng ini sungguh sangat kukagumi, mana bisa kucari perkara lagi padamu?”
“Tapi... bukanlah Siaute tidak mempercayai Hi-heng, soalnya...”
“Soalnya setiap orang tahu Kang Siau-hi bukanlah seorang Kuncu,” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa, “Makanya seumpama kau tidak percaya padaku juga takkan kusalahkan kau. Tapi dengan cara bagaimana kiranya barulah kau dapat percaya padaku?”
Giok-long termenung sejenak, katanya kemudian, “Hi-heng berpengalaman banyak dan berpengetahuan luas, tentunya tahu dalam tetumbuhan jamur ada sejenis yang disebut Li-ji-hong (merah anak perempuan).”
Berubah juga air muka Siau-hi-ji mendengar nama tumbuhan ini, tapi cepat ia menjawab dengan tertawa, “Ah, mana berani kuterima sebutan pengalaman banyak dan pengetahuan luas segala, cuma aku memang dibesarkan di pegunungan, maka secara kebetulan pernah juga mendengar nama Li-ji-hong begitu.”
“Barang apakah Li-ji-hong itu?” tiba-tiba Thi Peng-koh ikut menimbrung.
“Li-ji-hong ini adalah sejenis jamur yang tumbuh di tempat yang lembap,” tutur Siau-hi-ji. “Konon barang siapa memakannya tidak sampai lima hari pasti akan menderita semacam penyakit aneh.”
“O, penyakit aneh apa?” tanya Peng-koh pula.
“Konon penyakit ini pada awalnya tidak memperlihatkan tanda apa-apa, hanya si penderita merasa pening kepala dan ingin tidur melulu. Semangat lesu dan seperti orang sakit rindu,” demikian tutur Siau-hi-ji. “Untuk menyembuhkan penyakit aneh ini, setiap beberapa bulan sekali si penderita harus makan sejenis rumput yang disebut Ok-po-cau, (rumput nenek jahat), dimakan bersama akarnya, kalau tidak, penyakit rindu itu akan bertambah berat dan tidak lebih dari setahun akan tamatlah riwayatnya.”
Siau-hi-ji tertawa, lalu menambahkan pula, “Hanya dengan Ok-po-cau saja dapat mengatasi Li-ji-hong, menarik bukan nama-nama ini? Anehnya, dalam keadaan sekarang tiba-tiba Kang-heng menyinggung jamur Li-ji-hong, apa barangkali Kang-heng ingin membikin diriku sakit rindu?”
Sekali ini Kang Giok-long ternyata tidak berbelit-belit lagi, tapi langsung menjawab dengan terus terang, “Ya, betul.”
Hampir saja Oh Yok-su menyangka Kang Giok-long menjadi gila mendadak sehingga mengemukakan permintaan yang mustahil itu, apa bila Siau-hi-ji setuju dan benar-benar makan jamur Li-ji-hong itu, bukankah dia juga sudah sinting?
Namun Siau-hi-ji lantas tertawa, katanya, “Tapi benda yang sukar dicari itu, dalam waktu singkat begini ke mana akan kau dapatkan untukku?”
“Jika kucari ke tempat lain, mungkin setengah tahun juga takkan menemukannya,” ujar Giok-long. “Tapi sungguh kebetulan, di sekitar sini justru ada sebuah Li-ji-hong, asalkan Hi-heng sudah setuju, segera akan kupergi memetiknya untukmu.”
Thi Peng-koh juga tidak tahan akhirnya, serunya, “Apakah kau sudah gila? Masa kau bicara begitu, mana... mana dia mau terima permintaan ini?”
Tapi Giok-long tidak menggubrisnya, dengan perlahan ia berkata pula, “Tentunya Hi-heng tahu, seperti juga Li-ji-hong, Ok-po-cau pun sangat sukar dicari, akan tetapi rumput ini dapat ditanam dan dirawat oleh tenaga manusia, kebetulan Siaute juga tahu cara menanamnya.”
Bola mata Siau-hi-ji tampak berputar-putar, tapi tidak bicara.
Maka Kang Giok-long lantas menyambung lagi, “Apa bila urusan di sini sudah selesai, segera akan kucari sesuatu tempat terpencil untuk mengasingkan diri dan mencurahkan perhatian penuh untuk menanam Ok-po-cau bagi Hi-heng. Jika Hi-heng ingin badan tetap sehat, dengan sendirinya engkau akan melindungi keselamatanmu.”
Baru sekarang Oh Yok-su tahu maksud tujuan Kang Giok-long, rupanya dia telah memakai perhitungan yang rapi dan persoalan ini hendak digunakan sebagai alat pemeras terhadap Siau-hi-ji agar selanjutnya Siau-hi-ji tidak berani lagi mencari perkara padanya.
Tapi jalan pikiran ini bukankah terlalu kekanak-kanakan, memangnya Siau-hi-ji mau terima begitu saja? Sungguh lucu, hampir-hampir saja Oh Yok-su bergelak tertawa.
Dilihatnya Siau-hi-ji berpikir sejenak, kemudian berkata dengan tertawa, “Bahwa kau tidak percaya padaku, sebaliknya cara bagaimana aku dapat percaya padamu? Dari mana pula kutahu kau benar-benar akan menanamkan Ok-po-cau bagiku? Pula cara bagaimana kutahu Ok-po-cau itu pasti dapat kumakan kelak?”
“Jika Hi-heng benar-benar mau mencariku, biar pun Siaute mabur ke langit atau ambles ke bumi juga sukar menyembunyikan diri.”
Orang pintar seperti Siau-hi-ji ternyata dapat mengajukan pertanyaan sebodoh itu, jawaban Kang Giok-long juga lucu, tanya jawab mereka sama saja seperti nol besar.
Tapi sekarang Siau-hi-ji justru seperti mau percaya, ia malah tanya lagi, “Setelah kumakan Li jihong segera akan kau tolong Hoa Bu-koat?”
“Ya, apa bila Siaute ingkar janji, setiap saat Hi-heng boleh mencabut nyawaku,” jawab Giok-long.
Siau-hi-ji menghela napas, akhirnya dia berkata, “Baik, aku setuju!”
********************
Benar-benar Siau-hi-ji telah menerima syarat Kang Giok-long itu, urusan yang tidak mungkin diterima oleh siapa pun juga, dia justru setuju dan menerimanya. Urusan yang menurut perhitungan orang lain pasti akan dilakukannya justru tidak dilakukannya, tapi urusan yang menurut perhitungan orang lain pasti tidak mungkin dilakukannya justru disetujui dan akan dilakukannya.
Sungguh aneh, sungguh lucu, sungguh tidak masuk akal. Kecuali Siau-hi-ji mungkin di dunia ini tiada orang kedua yang dapat melakukan hal-hal yang mustahil ini.
Oh Yok-su memandang Siau-hi-ji dengan terkesima, pikirnya, “Gila, benar-benar orang gila. Kiranya orang ini tidak waras, konon orang yang kelewat pintar terkadang bisa berubah menjadi gila, tampaknya cerita ini memang tidak salah.”
Thi Peng-koh juga melongo heran dan terkejut sehingga tidak sanggup bersuara.
Kemudian Kang Giok-long benar-benar berhasil menggali Li-ji-hong yang tampaknya sangat menarik dan Siau-hi-ji juga benar-benar memakannya dengan tertawa.
Setelah mengusap mulut, Siau-hi-ji berkata, “Hebat, sungguh hebat. Tak tersangka Li-ji-hong ini adalah makanan selezat ini, selama hidupku ini belum pernah menikmati barang seenak ini.”
Sampai di sini girang Kang Giok-long benar-benar sukar dilukiskan, dia berlagak menyesal, katanya, “Wanita cantik kebanyakan bibit bencana bagi keruntuhan seorang penguasa atau suatu negara, racun yang mematikan sering kali adalah makanan yang terasa paling enak, hanya obat mujarab saja rasanya pasti pahit.”
“Dan kata-kata yang muluk-muluk kebanyakan hanya dusta belaka,” sambung Siau-hi-ji sambil menarik tangan Kang Giok-long, “Nah, ayolah Kang-heng lekas pergi menolong Hoa Bu-koat!”
********************
Letak rumah batu itu memang sangat terpencil, sekarang Kang Giok-long membawa Siau-hi-ji lebih maju lagi ke tempat yang semakin sepi, jalanan juga semakin menanjak dan curam.
Celakanya penyakit Kang Giok-long seperti kumat lagi, belum berapa jauh dia sudah megap-megap, berapa langkah pula dia lantas jatuh, kedua kakinya gemetar seperti orang sakit malaria.
Siau-hi-ji sangat gelisah dan tidak sabar lagi, segera dia pondong Kang Giok-long, katanya, “Di mana tempat yang kau maksudkan, coba katakan, akan kubawa kau ke sana.”
“Wah, bikin capai Hi-heng, rasanya tidak enak,” ujar Giok-long.
Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Tidak jadi soal, tulangmu sangat enteng seperti anak kecil, tidak memerlukan tenaga untuk membopong kau.”
“Apakah tulang Hi-heng sangat besar? Wah, kelak Siaute kan tidak sanggup memondong engkau?” jawab Giok-long dengan tertawa.
Dengan mendongkol Thi Peng-koh lantas menyela, “Sudahlah, maukah kalian berhenti bertengkar mulut?”
“Ah, mana kuberani bertengkar mulut dengan Hi-heng,” ucap Giok-long. “Soalnya...” sampai di sini mendadak ia menuding ke atas sana dan berseru, “Itu dia, apakah Hi-heng melihat gua di atas sana.”
Siau-hi-ji mengikuti arah aneh yang ditunjuk itu, dilihatnya dinding tebing yang curam dan penuh berlumut itu memang betul ada sebuah lubang gua yang gelap gulita. Di mulut gua menonjol sepotong batu sehingga mirip balkon pada gedung bersusun.
“Apakah kau sembunyikan Hoa Bu-koat di gua itu?” tanya Siau-hi-ji.
“Lumayan bukan tempat ini?” ucap Giok-long.
“Mengapa tidak kau sumbat lubang gua itu dengan batu?” tanya Siau-hi-ji pula.
“Selangkah saja Hoa-kongcu tidak mampu berjalan, masa aku khawatir dia akan melarikan diri?” jawab Giok-long.
Mendadak Siau-hi-ji mendelik, bentaknya, “Jika gua itu tidak tertutup, mengapa kau bilang dia bisa mati sesak napas.”
Kang Giok-long tenang-tenang saja, jawabnya acuh, “Mungkin dia takkan mati sesak napas, tapi gua yang terletak di pegunungan begini bukan mustahil ada binatang buas atau ular berbisa...” Belum habis ucapannya, Siau-hi-ji sudah meloncat ke atas.
“Lebih baik Hi-heng menurunkan diriku agar lebih jelas keadaan tempat ini,” kata Giok-long.
Batu yang mirip balkon itu pun penuh berlumut dan sangat licin, setelah Siau-hi-ji menurunkan Kang Giok-long, tampaknya berdiri saja dia tidak berani, khawatir terpeleset. Dia merangkak ke mulut gua dan melongok ke dalam, mendadak ia berteriak, “Hoa-kongcu, kami datang menolongmu, apakah kau dengar?”
Suara yang berkumandang balik terdengar mendengung-dengung, tapi tiada terdengar jawaban Hoa Bu-koat.
Giok-long berkerut kening, serunya pula, “Hoa-kongcu, bag... bagaimana engkau? Meng... mengapa...”
Siau-hi-ji menjadi tidak sabar, ia tarik mundur Kang Giok-long, ia sendiri lantas mendekam di mulut gua dan melongok ke dalam, tapi keadaan di dalam gua gelap gulita, apa pun tidak kelihatan.
“Adakah kau lihat Hoa-kongcu, Hi-heng?” tanya Giok-long.
Dengan gusar Siau-hi-ji menjawab, “Keparat, sebenarnya kau main gila apa...” belum habis ucapannya, sekonyong-konyong tungkak kakinya didorong oleh tenaga mahakuat, belum sempat Siau-hi-ji menjerit kaget, tahu-tahu tubuhnya sudah terjerumus ke dalam gua.
Kang Giok-long yang tadinya tidak sanggup berjalan itu kini mendadak berubah menjadi gagah perkasa, cepat ia melompat bangun dan berseru ke dalam gua, “Hi-heng... Siau-hi-ji...”
Namun tiada jawaban Siau-hi-ji, selang sejenak baru terdengar suara “plung”, nyata gua itu sangat dalam.
Sambil menengadah Kang Giok-long tertawa ngakak, katanya, “Siau-hi-ji, wahai Siau-hi-ji, baru sekarang kau tahu kelihaian Kang Giok-long, akhirnya kau tertipu dan kena kukerjai juga.”
Thi Peng-koh memandang dari bawah ke atas, apa yang terjadi di atas itu tak jelas baginya. Kini mendengar suara tertawa senang Kang Giok-long itulah baru dia terkejut, cepat ia bertanya, “He, engkau telah apakan Siau-hi-ji?”
“Kau lebih memperhatikan dia atau cuma memperhatikan aku?” tanya Giok-long dengan tertawa.
“Tapi... tapi engkau kan tidak boleh -.”
“Tidak boleh apa?” tanya Giok-long dengan tertawa.
“Kau membunuhnya?” seru Peng-koh parau.
“Tidak kubunuh dia, memangnya harus kutunggu dibunuh olehnya?” kata Giok-long dengan terbahak.
Kejut dan gusar Thi Peng-koh, teriaknya dengan parau, “Bukankah kau ingin hidup tenteram bersamaku, mengapa sekarang engkau...”
Sambil bicara segera ia bermaksud meloncat ke atas, tapi baru saja dia hendak bergerak, mendadak teringat olehnya bahwa baju yang dipakai olehnya sekarang adalah baju panjang milik Oh Yok-su, bagian dalam kosong melompong tiada memakai apa pun, jika lompat ke atas, yang pasti untung adalah Oh Yok-su yang berdiri di bawah dan akan menikmati tontonan menarik dan gratis. Karena itulah dia urungkan niatnya sambil mengepit bajunya lebih rapat.
Oh Yok-su juga terkejut dan melenggong, sejenak kemudian barulah dia bersuara, “Jika benar Siau-hi-ji telah kena racun Li-ji-hong, selanjutnya kan dapat kau peralat dia agar tunduk kepada segala perintahmu, kalau sekarang juga kau celakai jiwanya, kan sayang?”
“Tak tersangka olehmu bukan?” tanya Giok-long.
“Ya, aku memang rada-rada tidak mengerti?” ujar Oh Yok-su.
“Apa yang tidak dimengerti olehmu juga tak dimengerti oleh Siau-hi-ji, makanya dia tertipu olehku,” ucap Giok-long dengan tertawa. “Li-ji-hong tadi tidak lebih hanya sebagai kail saja. Nah, sekarang kau paham tidak?”
Kembali Oh Yok-su melengak, ia merasa betapa licin tipu akal Kang Giok-long ini dan kejinya sungguh sukar dibayangkan orang.
Lalu Giok-long berkata pula, “Dia selalu sok pintar, selalu menganggap orang lain tidak dapat menipu dia, justru di sinilah letak kelemahannya. Apa bila seseorang menganggap dirinya sendiri teramat pintar, terkadang dia akan tertipu juga secara amat bodoh,” ia terbahak-bahak, lalu menyambung, “Siau-hi-ji, wahai Siau-hi-ji, kau senantiasa menganggap dirimu adalah orang pintar nomor satu di dunia, sekarang tentunya kau tahu, orang pintar nomor satu di dunia ini sesungguhnya siapa?”
“Dan Hoa Bu-koat bagaimana? Apakah dia juga sudah dicelakai olehmu?” tiba-tiba Oh Yok-su bertanya.
“Sudah sejak tadi Hoa Bu-koat kabur,” jawab Giok Long.
“Kabur? Dia sudah kabur?” Oh Yok-su menegas dengan terkesiap.
“Memangnya kau kira Hoa Bu-koat orang tolol dan linglung?” tutur Giok-long dengan tertawa. “Supaya kau tahu, dia juga bisa menipu orang. Dia sengaja berlagak linglung agar kalian tidak berjaga-jaga padanya, kesempatan baik itu lantas digunakan untuk kabur.”
Oh Yok-su tertegun sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, “Lalu di mana Pek San-kun?”
“Waktu itu penyakitku lagi kumat, dalam keadaan samar-samar aku pun tidak memperhatikannya, rasanya dia seperti pergi mengejar Hoa Bu-koat,” kata Giok-long.
Oh Yok-su menatapnya lekat-lekat dan bertanya, “Dan sekarang penyakitmu...”
“Ada sementara obat yang sangat lihai, tapi punahnya juga sangat cepat...”
Mendadak Oh Yok-su melompat ke atas dan berteriak khawatir, “Wah, celaka, racun yang kuminum belum lagi punah, aku masih harus minta obat penawar padanya.”
“Bagus, silakan mencarinya ke bawah!” jengek Giok-long tiba-tiba. Mendadak sebelah tangannya menghantam.
Padahal Oh Yok-su baru saja melayang ke atas dan belum lagi berdiri tegak, kalau melompat balik ke bawah memang dapat menghindarkan serangan itu, tapi ganti napas saja belum sempat, bila melompat turun ke bawah, andaikan tidak jatuh terluka juga pasti tak dapat berdiri tegak. Bukan mustahil kesempatan itu akan digunakan Kang Giok-long untuk menubruk ke bawah dan menyerangnya lagi, maka pasti sukar untuk mengelak.
Hendaklah diketahui bahwa setiap tokoh “Cap-ji-she-shio” adalah jagoan yang sudah berpengalaman, Oh Yok-su bahkan tergolong salah satu di antaranya paling menonjol, sebab itulah bila mana bergebrak dengan orang selalu digunakan perhitungan yang matang, baik sebelum maupun sesudahnya.
Batu di mulut gua itu sangat licin, menurut perhitungan Oh Yok-su, bagian kaki Kang Giok-long pasti tidak cukup kukuh berdirinya, kalau bagian kaki kurang kuat, daya pukulannya juga pasti tidak keras.
Karena itu pukulan Giok-long itu tidak dihindarkan lagi oleh Oh Yok-su, ia sengaja menerima pukulan itu, tapi kakinya mendadak juga menyapu ke bagian bawah Kang Giok-long.
Serangan ini memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu, benar-benar satu tipu serangan yang bagus, kalau bukan jago kawakan yang berpengalaman pasti tidak dapat melancarkan serangan berbahaya dan jitu ini.
Tapi Kang Giok-long hanya tertawa terkekeh kekeh saja, katanya, “Boleh juga juragan kelinci kita ini!” Mendadak ia melompat ke atas, berbareng kedua kakinya menendang secara berantai dalam keadaan tubuh terapung.
Sama sekali tak terduga oleh Oh Yok-su bahwa di tempat begini Kang Giok-long berani menggunakan serangan demikian, keruan ia terkejut, hendak berkelit pun tidak keburu lagi. Maklum, ia sendiri baru saja menendangkan sebelah kakinya dan belum sempat ditarik kembali, tentu saja bagian bawah menjadi goyah, sedangkan ujung kaki Kang Giok-long sudah menendang ke tenggorokannya.
Dalam keadaan kepepet terpaksa dia menyambut tendangan Giok-long itu dengan tangan. Sudah tentu tenaga tangan tidak sekuat tenaga kaki, seumpama tendangan itu dapat ditangkis oleh tangannya juga orangnya pasti akan terdepak ke bawah. Sebaliknya kalau kaki Kang Giok-long sampai terpegang olehnya, tentu pula akan ikut terseret jatuh ke bawah, meski cara demikian lebih mirip perkelahian antara kaum gelandangan, tapi dalam keadaan kepepet, hal-hal demikian tak terpikir lagi olehnya.
Di luar dugaan, dalam keadaan tubuh terapung Kang Giok-long masih ada sisa tenaga untuk mengubah gerak serangannya. Mendadak kedua kakinya menendang beberapa kali dalam waktu sekejap saja, jangankan hendak menangkap kakinya, bahkan arah datangnya kaki saja tak jelas bagi Oh Yok-su.
Baru sekarang Oh Yok-su tahu bahwa Kang Giok-long ini bukan cuma licin, keji dan kejam, bahkan tinggi ilmu silatnya juga jauh di luar dugaannya. Ia tahu dirinya tidak mampu melawannya, ia menghela napas dan mendadak menjatuhkan diri ke atas batu yang berlumut itu, menyusul terus menggelinding dan terjun ke dalam gua yang gelap gulita itu.
Tinggal Thi Peng-koh saja yang masih berdiri termangu-mangu di bawah tanpa bergerak, Kang Giok-long sengaja pamer, ia berjumpalitan satu kali di udara lalu dengan enteng seperti seekor kupu-kupu raksasa turun di samping Peng-koh. Namun si nona masih tetap anggap tidak melihatnya.
“Beberapa kali tendangan tadi sudah kau lihat bukan?” dengan cengar-cengir Giok-long bertanya.
Tanpa memandangnya Peng-koh menjawab dengan hambar, “Ya.”
“Itulah kombinasi tendangan dari Bu-tong-pay, Kun-lun-pay, Siau-lim-pay, dan Go-bi-pay yang telah kugabungkan dan diubah di sana sini sehingga jadilah ilmu tendangan seperti tadi, untuk itu kuberi nama ‘tendang mati orang tidak ganti nyawa’. Coba, bagus tidak nama ini?”
“Bagus,” jawab Peng-koh dengan dingin.
“Nah, kau mempunyai suami yang berkepandaian setinggi ini, masa tidak gembira?” tanya Giok-long dengan tertawa.
Mendadak Thi Peng-koh melengos terus lari ke sana.
Cepat Giok-long memburu maju dan mengadang di depannya, ucapnya dengan tertawa, “Eh, apa-apaan kau ini? Kan sudah lama kita tidak berkumpul, sekarang penyakitku sudah sembuh, inilah kesempatan pertama bagi kita untuk bermesraan, kenapa kau malah tidak gubris padaku?”
“Silakan kau cari dan bermesraan dengan orang lain saja,” jengek Peng-koh, “Orang pintar seperti kamu, ksatria yang berkepandaian tinggi pula, mana kuberani menaksir dirimu.”
“Mencari orang lain? Mencari siapa? Yang kusukai hanya dikau!” rayu Giok-long, berbareng Peng-koh terus dirangkul dan diciumnya.
Karena tak dapat melepaskan diri, Peng-koh hanya meronta-ronta saja sambil berseru, “Kau... kau... lepaskan!”
“Tidak, tidak akan kulepaskan, biar pun kau bunuh aku juga takkan kulepaskan,” kata Giok-long dengan memicingkan sebelah mata, tangannya juga mulai menggerayang ke dalam baju Peng-koh yang longgar itu.
Peng-koh masih meronta-ronta, akhirnya ia pun kehabisan tenaga, tanpa terasa ia mencucurkan air mata, ucapnya dengan suara gemetar, “Lepaskan dulu diriku, ingin... ingin kutanya sesuatu padamu.”
“Tanyalah, kan mulutmu tidak kusumbat?!” jawab Giok-long dengan cengar-cengir, sudah tentu tangannya tidak pernah berhenti “main”.
“Coba jawab, setelah kau celakai Siau-hi-ji, memangnya kau belum puas dan mengapa masih membinasakan Oh Yok-su pula?”
“Masa kau tidak tahu apa sebabnya?”
“Tidak,” jawab Peng-koh.
“Sudah sejak mula kulihat kelinci keparat itu memandangmu dengan matanya yang serupa mata maling, rasa gemasku sudah tak terlukiskan, kalau bisa seketika itu pun akan kubunuh dia, masa perlu kau tanya lagi?”
“Kau... kau bunuh dia, masa... masa demi diriku?”
“Bukan demi dirimu, memangnya demi siapa lagi?” ujar Giok-long dengan tertawa. “Entah mengapa, asalkan orang lain memandang sekejap padamu, rasa hatiku lantas panas. Apalagi kelinci keparat itu berniat jahat kepadamu. Hm, kecuali aku sendiri, barang siapa berani menyentuh satu jarimu, mustahil tidak kubinasakan dia.”
Sambil bicara, kerja tangannya juga bertambah aktif sehingga Thi Peng-koh sampai geliang-geliut.
“Sungguh tak tersangka sebesar ini cemburumu,” ucap Peng-koh dengan gegetun.
“Jika aku tidak suka padamu, mana bisa cemburu?” kata Giok-long.
Rasa marah Peng-koh sudah lenyap sejak tadi, kini pipinya malah bersemu merah, bukan saja suaranya rada gemetar, bahkan tubuhnya juga mulai gemetar.
Giok-long menempelkan mulutnya ke tepi telinga si nona dan membisiki dua-tiga kata.
Seketika muka Thi Peng-koh menjadi merah dan meronta, serunya, “Tidak, tidak boleh di sini -.”
“Mengapa tidak boleh?” ucap Giok-long tertawa.
“Bila... bila dilihat orang...”
“Setan saja tidak kelihatan di sini, mana ada orang segala?” kata Giok-long. “Ayolah...”
Belum lanjut ucapnya, entah mengapa, tahu-tahu Thi Peng-koh memberosot lepas dari rangkulannya, terus “terbang” ke atas sambil menjerit kaget.
Tentu saja Kang Giok-long juga berjingkat, tanpa terasa ia memandang ke arah Peng-koh, dilihatnya kedua paha si nona yang putih mulus itu sedang terayun-ayun di udara, tubuhnya mengapung lurus ke atas seperti roket yang baru lepas landas, sekaligus mengapung setinggi beberapa tombak dan anehnya dengan tepat hinggap di atas pohon.
Pohon itu tumbuh mencuat keluar dari celah tebing, baju Thi Peng-koh yang longgar itu persis menyangkut pada ranting pohon, seketika badannya telanjang bulat bergelantungan di udara, persis Swike atau kodok hijau yang habis dibelejeti kulitnya oleh si penjual di pasar.
Sungguh tak terbayangkan oleh Kang Giok-long cara bagaimana Thi Peng-koh bisa bergelantungan begitu di udara, tanpa pikir ia berteriak-teriak, “Lekas lompat turun, lekas! Akan kupegang kau!”
Thi Peng-koh seperti melenggong kaget, bergerak saja tidak bisa lagi, mukanya juga pucat lesi, rasa takutnya yang tak terhingga tertampak dari sorot matanya yang guram itu. Tapi sorot matanya itu tidak memandang ke arah Kang Giok-long.
Dengan sendirinya Giok-long lantas berpaling mengikuti arah pandang si nona, baru sekarang dilihatnya seorang berbaju putih dengan rambut panjang terurai di pundak entah sejak kapan telah berdiri di depannya.
Baju putih orang ini berkibar tertiup angin, tubuhnya kaku seperti patung tanpa bergerak, mukanya juga memakai sebuah topeng ukiran kayu, kelihatannya seperti badan halus yang baru muncul dari bawah tanah.
Jelas sekarang bagi Kang Giok-long, mengapungnya Thi Peng-koh ke atas itu adalah karena dilemparkan oleh orang ini. Hanya sekali lempar saja Thi Peng-koh telah mencelat setinggi beberapa tombak dan menyangkut di ranting pohon, kepandaian ini sungguh sukar untuk dibayangkan.
Sebenarnya Kang Giok-long sangat licik dan licin, pintar melihat gelagat, mahir membedakan arah angin. Kalau kebentur orang yang berkepandaian jauh di atasnya, andaikan dia disuruh makan tahi seketika juga dia tak berani membantah.
Tapi bayangkan, seorang lelaki yang hasratnya sedang menyala-nyala, mendadak kehendaknya itu digagalkan orang, maka betapa rasa murkanya itu sungguh tak terkatakan.
Tentu saja Kang Giok-long menjadi gusar dan lupa segalanya, segera ia membentak, “Apakah kau ini gila? Tanpa hujan tiada angin, mengapa kau cari perkara padaku?”
Si baju putih bertopeng kayu itu tetap berdiri tegak, tidak bergerak juga tidak bersuara.
Kang Giok-long tambah murka, segera ia menubruk maju terus menghantam.
Si baju putih tetap diam saja, hanya lengan bajunya mengebas perlahan, kontan pukulan Kang Giok-long itu entah cara bagaimana mendadak berputar balik dan “plak”, dengan tepat muka sendiri yang terpukul.
Seketika muka Kang Giok-long merah bengap karena pukulan itu, tapi otaknya juga lantas sadar oleh pukulan itu, seketika kakinya terasa lemas, dengan suara gemetar ia tanya, “Apakah... apakah engkau ini Ih-hoa-kiongcu?”
“Orang macam kau juga berani sembarangan menyebut Ih-hoa-kiongcu?” jengek si baju putih.
Seketika Kang Giok-long menjatuhkan diri dan menyembah, ucapnya dengan suara parau, “Ya, ya, hamba memang tidak sesuai untuk menyebut nama yang keramat itu, hamba pantas dipukul.”
Dia memang pintar, tanpa menunggu si baju putih memukulnya segera ia memukul dirinya sendiri, bahkan cukup keras caranya memukul.
Si baju putih hanya memandangnya dengan dingin tanpa bersuara.
Karena orang tidak bersuara, tangan Kang Giok-long juga tidak berani berhenti, ia terus memukul muka sendiri, mukanya yang putih cakap itu seketika merah bengap seperti ginjal babi yang baru disembelih, darah pun meleleh dari ujung mulutnya.
Remuk redam perasaan Thi Peng-koh menyaksikan cara Kang Giok-long menghajar mukanya sendiri, tanpa terasa ia memohon, “Kiongcu, sudilah engkau mengampuni dia.”
Baru sekarang si Baju putih menengadah, katanya, “Kau mintakan ampun baginya, lalu siapa pula yang akan mintakan ampun bagimu?”
Dengan suara gemetar Peng-koh menjawab, “Hamba tahu dosa hamba teramat besar, sesungguhnya memang tidak berani meminta ampun kepada Kiongcu.”
“Bagus, jika begitu coba jawab ke mana kau bawa Siau-hi-ji?”
“Siau-hi-ji .-” tiba-tiba Peng-koh tidak berani meneruskan, teringat apa bila dia bicara terus terang bahwa Siau-hi-ji telah dicelakai Kang Giok-long, bukan mustahil seketika Kang Giok-long akan dicincang hingga hancur lebur oleh Ih-hoa-kiongcu.
“Siau-hi-ji bagaimana? Mengapa tidak kau lanjutkan?” tanya si baju putih.
“Dia... dia juga berada di sini,” jawab Peng-koh dengan tergagap-gagap, “Mungkin dia berada di… di sebelah sana.”
“Baik,” kata si baju putih, “Sekarang juga akan kucari ke sana, asal saja keteranganmu ini benar.”
Dalam pada itu Kang Giok-long berkelesetan di tanah karena dihajar oleh dirinya sendiri, namun begitu dia belum lagi berani berhenti.
“Sudah, cukup!” bentak si baju putih mendadak.
Seperti baru bebas dari neraka, Kang Giok-long merangkak bangun sambil menyembah, katanya, “Te... terima kasih Kiongcu.”
“Sekarang kau harus menjaganya di sini, jika dia dicelakai orang lain, segera kucabut nyawamu, bila dia dilarikan orang, jiwamu juga akan kubetot. Nah, tahu tidak?” kata si baju putih.
“Hamba tahu,” jawab Giok-long takut-takut.
“Sedikitnya kau harus tahu, apa bila jiwa seseorang sudah kuincar, biar pun dia lari ke ujung langit juga pasti dapat kutemukan dia,” jengek pula si baju putih.
Kembali Giok-long mengiakan sambil munduk-munduk. Waktu dia angkat kepalanya, tahu-tahu si baju putih sudah menghilang seperti badan halus.
Ia menghela napas dan berucap dengan meringis, “Inilah Ih-hoa-kiongcu, kiranya beginilah Ih-hoa-kiongcu, tak tersangka hari ini aku dapat melihatnya, mungkin nasibku lagi mujur.”
“Masa kau anggap mujur?” seru Peng-koh dengan parau.
“Berapa orang Kangouw yang dapat melihat Ih-hoa-kiongcu, apa namanya jika bukan mujur.”
“Untung yang datang ini Kiongcu muda, jika Kiongcu besar yang datang, saat ini jiwa kita mungkin sudah amblas.”
Namun Kang Giok-long sedang memandang jauh ke sana dengan termangu-mangu, entah apa yang lagi dipikirkan.....