Terdengar Kang Giok-long berteriak dengan parau, “Jika berani bolehlah kau tunggu setelah sakitku sembuh baru kita mengadakan pertarungan menentukan, sekarang kau menyatroni seorang sakit, memangnya Enghiong (ksatria) macam apa kau ini?”
“Siapa bilang aku ini Enghiong?” jengek Siau-hi-ji, “Jika aku ini Enghiong, mungkin sudah lama kumati dikerjai olehmu.”
Meski pukulan Siau-hi-ji itu tidak menggunakan tenaga murni, tapi sudah cukup membuat Kang Giok-long babak belur, hidung matang biru dan mata bengkak, namun jotosannya masih terus menghujaninya.
Thi Peng-koh melengos ke sana karena tidak tega menyaksikan kekasihnya dihajar sedemikian rupa, tapi ia pun tahu tiada maksud Siau-hi-ji untuk membunuh Kang Giok-long, kalau tidak, cukup sekali dua pukulan saja sudah pasti akan membinasakan Giok-long. Karena itu, meski rasa pedih perasaannya, tapi diam-diam juga rada bergirang.
Terdengar Giok-long berteriak, “Peng-ji, kenapa, tidak kau lerai dia? Kau pernah menyelamatkan jiwanya, dia pasti akan menurut padamu, masa... masa kau tega menyaksikan aku dipukul mati cara begini?”
Peng-koh menjadi serba susah, pikirnya, “Bukannya aku tidak mau menolongmu, yang kuharap setelah pelajaran ini dapatlah kau perbaiki kelakuanmu, asalkan kau mau sadar, biar pun aku harus mati bagimu juga aku rela.”
Tapi mendadak Kang Giok-long bergelak tertawa latah malah, teriaknya, “Baiklah, jika memang jantan kau, ayo pukul mati aku, bila mana aku berkerut kening bukanlah seorang laki-laki.”
“Huh, kau masih sok laki-laki segala? Baik biar kupukul lebih keras,” seru Siau-hi-ji.
Tapi Kang Giok-long lantas bergelak tertawa, katanya, “Cuma, kalau betul kau memukul mati aku, maka selama hidupmu ini pun jangan harap akan dapat bertemu pula dengan Hoa Bu-koat.”
Seketika kepalan Siau-hi-ji berhenti di udara baru sekarang teringat olehnya bahwa Pek San-kun dan Hoa Bu-koat yang dicarinya itu seharusnya juga berada di rumah ini.
Keadaan Kang Giok-long sudah kempas-kempis, tapi dia masih tertawa dan berteriak, “Ayolah pukul... kenapa tidak pukul lagi?”
Tapi Siau-hi-ji lantas menyeretnya bangun dan membentak bengis, “Di mana Hoa Bu-koat?”
“Kau ingin melihatnya?” jawab Kang Giok-long.
“Kau mau mengaku tidak?” Siau-hi-ji meraung.
“Jika kau ingin melihatnya, sepantasnya kau bersikap hormat dan memohon padaku...”
Kontan Siau-hi-ji menjotos pula dan mendamprat, “Anak jadah, mohon apa katamu?”
“Baik, pukul saja,” jengek Giok-long. “Yang pasti kepalan takkan mendapatkan keterangan apa pun. Umpama kau jadi aku, memangnya kau mau mengaku hanya karena dijotos begini? Bila mana sudah kukatakan, mustahil kau tidak akan memukulku lebih kejam lagi.”
Berputar bola mata Siau-hi-ji, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Kupukul kau...? Ah, bilakah pernah kupukul kau?” Lalu dia malah memayang bangun Kang Giok-long dan mengebutkan debu kotoran bajunya. Katanya pula dengan tertawa, “Selamat bertemu pula, Kang-heng. Baik-baikkah selama ini?”
Giok-long tertawa terkekeh-kekeh, jawabnya, “Baik, cukup baik, cuma tadi seekor anjing gila telah menggigitku beberapa kali.”
Siau-hi-ji juga bergelak tertawa, katanya, “Anjing gila hanya menggigit anjing gila, kalau Kang-heng tidak gila, juga bukan anjing, dari mana ada anjing gila yang menggigit kau?”
“O, jika begitu mungkin aku yang salah lihat,” ujar Giok-long dengan terbahak.
“Mungkin Kang-heng teramat merindukan diriku, kau menangis hingga matamu bengkak, makanya pandanganmu rada kabur.”
“Betul, senantiasa kupikirkan keadaan Hi-heng, sering khawatir jangan-jangan kakak Hi terhinggap penyakit ayan atau mengidap sakit ambein, sungguh hatiku sedih apa bila terkenang padamu.”
“Siaute malah mengira Kang-heng yang sehat walafiat ini pasti takkan terhinggap penyakit apa pun, tapi tadi kulihat Kang-heng berkulai di pojok sana dalam keadaan kelojotan, apakah bukan Kang-heng yang mengidap penyakit ayan?”
Gayung bersambut, kata berjawab. Begitulah kedua orang saling berolok-olok dengan tajam seakan-akan sedang melawak.
Menyaksikan perang lidah itu, Oh Yok-su merasa geli dan juga gegetun, pikirnya, “Pemeo yang mengatakan gelombang laut dari belakang mendorong ke depan tampaknya memang tepat. Di kalangan Kangouw dahulu meski juga banyak tokoh-tokoh lihai yang licik dan licin, tapi kalau dibandingkan kedua anak muda ini sungguh masih selisih jauh.”
Diam-diam ia pun heran entah ke mana perginya Pek San-kun dan Hoa Bu-koat. Apa bila Pek San-kun membawa pergi Hoa Bu-koat, mengapa Kang Giok-long ditinggalkan sendirian di sini?
Didengarnya Siau-hi-ji sedang berkata pula, “Kang-heng duduk sendirian di pegunungan sunyi ini, apakah tidak takut kedatangan setan pencabut nyawa yang akan menagih janji padamu?”
Dengan tertawa Giok-long menjawab, “Untuk ini kiranya Hi-heng tidak perlu ikut risau, beberapa hari terakhir ini saku Siaute sedang seret, bila mana ada arwah gentayangan berani merecoki diriku, kebetulan akan dapat kujual dia untuk membeli arak... Apalagi, sebenarnya tadi Siaute juga tidak sendirian.”
Kalimatnya yang terakhir ini barulah mulai memasuki pokok persoalannya. Tapi Siau-hi-ji sengaja berlagak tidak paham dan bertanya, “O, memangnya siapakah yang menemanimu di sini?
Dengan terkekeh Giok-long menjawab, “Seorang di antaranya seperti she Hoa, rasanya Hi-heng kenal dia.”
“O, Hoa Bu-koat maksudmu?”
“Ya, betul dia,” seru Giok-long tertawa.
“Kebetulan memang hendak kucari dia untuk suatu urusan, entah berada di mana dia sekarang?”
“Kutahu, dia dan kakak Hi ada sedikit persoalan, khawatir dia akan mencari perkara lagi padamu, maka ada niatku hendak membantu Hi-heng untuk membinasakan dia.”
“Haha, bila mana Kang-heng benar-benar membunuh dia, Siaute jadi hemat tenaga juga...” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Betapa pun membunuhnya kan lebih mudah dari pada menanyai keterangannya, betul tidak?”
Giok-long juga tertawa, katanya, “Tapi kemudian Siaute berpikir pula, jangan jangan Hi-heng ingin membunuhnya dengan tangan sendiri, lalu bantuanku bukankah salah alamat? Sebab itulah hanya kuberinya minum sedikit obat bius saja.”
“Apakah... apakah Pek San-kun juga terkena obat biusmu?” saking ingin tahu Oh Yok-su menimbrung.
Giok-long tidak langsung menjawab, hanya bergumam sambil tertawa, “Yang diminumnya juga tidak terlalu banyak, kira-kira tiga atau lima hari lagi tentu akan siuman.”
Seorang kalau benar-benar terbius selama tiga sampai lima hari, andai kata siuman nanti mungkin juga akan berubah menjadi linglung.
Mata Siau-hi-ji mengerling, tiba-tiba ia bergelak tertawa, segera Kang Giok-long ikut tertawa, keduanya sama-sama tertawa keras, terpingkal-pingkal sehingga air mata pun meleleh.
Thi Peng-koh dan Oh Yok-su saling pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang ditertawakan kedua orang itu.
“Lucu, sungguh lucu, hampir pecah perutku saking gelinya!” kata Siau-hi-ji sambil memegangi perutnya yang mulas dan masih terbahak-bahak.
Dengan bergelak tertawa Kang Giok-long juga berkata, “Hahaha, Pek San-kun yang gagah perkasa dan Hoa-kongcu yang lihai itu dapat kubius dengan sedikit bubuk warna putih, kejadian ini sungguh amat menggelikan.”
“Yang kutertawakan bukan hal ini,” ujar Siau-hi-ji sambil menggeleng.
“Habis apa yang menggelikan Hi-heng?” tanya Giok-long.
Mendadak Siau-hi-ji tidak tertawa lagi, ia melototi Kang Giok-long dan berkata, “Keadaan Kang-heng tampaknya sangat payah, andaikan belum mati sekarang, rasanya juga tak tahan lama lagi, tapi kau mampu memanggul seorang lelaki kekar dan menyembunyikan dia, bukankah ini lelucon yang paling mustahil di dunia ini?”
Tergerak hati Oh Yok-su, pikirnya, “Ya, betul juga, tentu di balik ini pasti ada muslihat tertentu. Agaknya bukan urusan mudah apa bila orang ingin menipu ‘ikan kecil’ ini.”
Namun sikap Kang Giok-long tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan perlahan, “Apa bila mereka tidak terbius olehku, lalu ke mana perginya mereka? Memangnya Pek San-kun akan mengajak Hoa-kongcu pergi pesiar? Apakah ini bukan lelucon yang lebih besar?”
“Betul, seumpama mereka hendak pesiar juga pasti akan membawa serta kau,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. “Orang yang menyenangkan seperti dirimu ini mana tega ditinggal pergi begini saja.”
“Ya, memang begitulah,” kata Giok-long dengan tertawa tanpa kikuk sedikit pun.
Kembali Siau-hi-ji melototi Kang Giok-long dan berkata, “Tapi kalau mendadak Hoa-kongcu tinggal pergi, bukankah orang she Pek itu akan mengejarnya?”
“Sudah tentu akan mengejarnya,” jawab Giok-long.
“Nah, umpama dia merasa berat meninggalkan kau, tapi demi mengejar Hoa Bu-koat terpaksa juga ia kesampingkan dirimu,” kata Siau-hi-ji.
“Hahahaha!” tiba-tiba Kang Giok-long tertawa. “Daya khayal Hi-heng sungguh sangat hebat, cuma sayang Hoa-kongcu itu...”
“Hoa-kongcu kenapa?” sela Siau-hi-ji, ia benar benar rada cemas.
“Kenapa Hi-heng tidak tanya saja pada Oh-siansing ini,” ujar Giok-long dengan acuh. “Coba tanyakan apakah Hoa-kongcu masih dapat berjalan atau tidak?”
Segera sorot mata Siau-hi-ji menatap ke arah Oh Yok-su, katanya, “Baik, coba katakan.”
Oh Yok-su menghela napas, tuturnya, “Ya, bukan saja Hiat-to Hoa-kongcu tertutuk, bahkan dia seperti mengalami guncangan jiwa sehingga kehilangan ingatan, mungkin... mungkin dia tidak sanggup jalan sendiri.”
Siau-hi-ji termenung, dengan jari ia ketuk-ketuk dahi sendiri, setelah berpuluh kali mengetuk dahi, kemudian tersembul pula senyumannya dan berkata, “Wah, jika demikian, jadi mereka benar-benar terbius olehmu?”
“Mungkin memang betul,” kata Giok-long dengan terkekeh-kekeh.
“Dan setelah mereka roboh, lalu kau memanggul mereka keluar?” tanya Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip.
“Penyakitku ini terkadang sembuh dan terkadang kumat lagi, bila mana kumat, jangankan memanggul orang, dipanggul orang pun rasanya tidak tahan. Tapi kalau tidak kumat, untuk memanggul seorang saja bukan soal bagiku.”
Siau-hi-ji lantas melirik ke arah Oh Yok-su, dilihatnya Oh Yok-su mengangguk-angguk.
“Nah, apa yang kukatakan tidak dusta bukan?” ucap Kang Giok-long.
“Ya, tidak dusta, memang tidak dusta,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Tapi setelah kau memanggul pergi kedua orang itu, mengapa kau kembali lagi ke sini? Apakah badanmu terasa gatal sehingga perlu menunggu di sini agar dipukuli orang?”
Kang Giok-long tetap tenang-tenang saja dan juga tidak marah, katanya dengan tertawa, “Peng-ji kan masih berada di tangan mereka, mana boleh kutinggal pergi? Seumpama kutahu Hi-heng akan datang dan bakal mencincang tubuhku juga tetap akan kutunggu di sini untuk bertemu sekali lagi dengan Peng-ji.”
Siau-hi-ji mencibir, ucapnya dengan tertawa, “Wah, sejak kapan Kang Giok-long telah berubah menjadi orang yang penuh kasih sayang, lucu sungguh lucu...”
Thi Peng-koh menjadi terharu dan tidak tahan lagi, ia menubruk ke bawah kaki Kang Giok-long dan menangis tersedu-sedan.
Siau-hi-ji menghela napas, gumamnya, “Budak bodoh, apa bila bocah ini bilang kentutnya harum, apakah kau pun percaya padanya?”
Betapa pun Siau-hi-ji adalah lelaki yang tidak memahami perasaan seorang perempuan, apalagi gadis remaja seperti Thi Peng-koh. Apa bila seorang gadis sudah terpikat oleh lelaki, sekali pun dia tahu lelaki itu telah menipunya juga tetap akan percaya padanya.
Terdengar Thi Peng-koh berkata dan menangis, “Apakah parah penyakitmu? Sakit tidak?”
Perlahan Giok-long membelai rambut Peng-koh, ucapnya dengan suara lembut, “Sekali pun sakit, apa bila melihatmu lantas tidak terasa sakit lagi.”
“Akan tetapi aku... aku…”
“Kutahu kau pasti tidak sengaja menyaksikan aku dipukuli orang, kau tentu mempunyai kesulitannya sendiri, sama sekali aku tidak menyalahkanmu, maka kau tidak perlu sedih.”
Sekonyong-konyong Siau-hi-ji berteriak, “Sudah, sudahlah, aku jadi merinding mendengarkan rayuanmu yang berbau gombal ini, sudah tamat belum sandiwara permainanmu ini?”
“Memangnya Hi-heng ada pesan apa?” ucap Giok-long.
Siau-hi-ji menghela napas, katanya sambil menyengir, “Sekarang kau yang pegang barangnya, kau juragannya, maka silakan kau yang buka harga.”
Dengan kalem Giok-long berkata, “Apakah Hi-heng tahu penyakitku ini berasal dari mana?”
Berputar mata bola Siau-hi-ji, katanya, “Jangan-jangan So Ing...”
“Betul,” tukas Giok-long. “Penyakitku ini memang berkat hadiah nona So... Bukankah Hi-heng mempunyai hubungan baik dengan nona So Ing itu?”
“Jika aku tidak kenal dia, mana bisa timbul kesulitan sebanyak ini,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.
“Ini pun bukan kesulitan,” kata Giok-long. “Asalkan Hi-heng mencari nona So agar menyembuhkan penyakitku ini, maka Siaute akan segera juga mengundang Hoa-kongcu kemari untuk mengobati penyakitnya.”
“Tapi kalau So Ing tidak mau, lalu bagaimana?”
“Perempuan mana di dunia ini yang sanggup menolak permintaan Hi-heng?”
Siau-hi-ji menghela napas panjang, gumamnya, “Perempuan, o, perempuan... Apa bila tiada seorang perempuan yang kukenal, maka hidupku pasti bahagia seperti di surga.”
“Jadi Hi-heng sudah terima?” tanya Giok-long dengan tersenyum.
“Baik, ayolah berangkat,” jawab Siau-hi-ji.
“Siaute juga mesti ikut pergi?” tanya Giok-long.
“Ya, soalnya aku pun merasa berat meninggalkanmu sendirian di sini.”
“Kukira kepergian ini tidak diperlukan lagi,” tiba-tiba Oh Yok-su menyela.
“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.
“Sebab nona So itu segera akan datang kemari,” tutur Oh Yok-su perlahan.
Giok-long juga melengak, tanyanya, “Dari mana kau tahu dia akan datang ke sini?”
“Seperti halnya nona Thi ini denganmu, nona So juga... juga sangat mendalam cintanya kepada Hi... Hi-kongcu,” tutur Oh Yok-su dengan tertawa. “Ketika Siau-hi-kongcu pergi meninggalkan tempatnya, segera pula dia ikut keluar.”
“Haha, daya tarik Hi-heng sungguh luar biasa,” seru Giok-long sambil berkeplok tertawa. Lalu dia berkerut kening pula dan berkata, “Tapi sekali pun nona So ikut keluar mencari Hi-heng, belum tentu dia akan mencari ke sini.”
“Untuk ini kau tidak perlu khawatir, dia pasti akan mencari kemari,” kata Oh Yok-su dengan tersenyum.
Giok-long berpikir sejenak, katanya kemudian, “Betul juga, karena kalian berniat menggunakan Hi-heng untuk memerasnya, maka sepanjang jalan kalian sengaja meninggalkan jejak agar dia dapat menyusul ke sini.”
“Jika begitu, bolehlah kita menunggunya di sini,” ucap Siau-hi-ji dengan menghela napas.
Giok-long memandang cuaca di luar, katanya kemudian, “Semoga di tengah jalan dia tidak kepergok siapa-siapa…..”
********************
Dalam pada itu Pek-hujin yang ditinggalkan berendam di sungai itu sedang berusaha melepaskan Hiat-to yang tertutuk, sedikit demi sedikit ia bergeser ke bawah air terjun, setelah berusaha sekian lamanya, berkat daya gerujuk air terjun yang tepat mengenai Hiat-to di telapak kaki, akhirnya terbukalah Yong-coan-hiat yang tertutuk itu.
Namun sekarang dia sudah hampir kehabisan tenaga, untuk melompat dari batu sini ke batu yang lain pun terasa susah.
Apa bila memberosot lagi ke dalam air dan berenang ke sana, jangan-jangan akan terhanyut oleh arus air yang cukup deras dan akibatnya pasti akan mati kelelap.
Sekuatnya ia menegakkan badannya dengan bingung, selagi celingukan kian kemari mencari akal, tiba-tiba diketahuinya di balik semak-semak sana sepasang mata sedang mengintip bagian dadanya.
Muka orang itu penuh lumpur, entah sudah berapa lama tidak pernah cuci muka, namun sepasang matanya tampak besar lagi terang, seperti sangat tertarik oleh tubuh Pek-hujin yang bugil ini.
Mendadak Pek-hujin sengaja bergaya malah dan membusungkan dadanya sehingga semakin menonjol. Ucapnya dengan tertawa genit, “Anak muda, memangnya kau tak pernah melihat perempuan mandi?”
Orang ini seperti terkesima, dengan bingung ia menggeleng.
Dengan tertawa Pek-hujin lantas mengomel, “Asalkan kau tidak takut matamu bakal timbilan silakan keluar saja dan menonton dengan blak-blakan. Ai, kasihan, sudah sebesar ini, masa perempuan mandi saja tidak pernah lihat, kan sia-sia saja hidupmu ini.”
Sekonyong-konyong orang itu tertawa, “Tidak perlu takut engkau, aku... aku pun perempuan.” Sembari bicara orangnya lantas berdiri dari balik semak-semak.
Terlihat pakaiannya sangat kotor lagi koyak-koyak, akan tetapi tidak mengurangi garis tubuhnya yang memesona.
Pek-hujin jadi melengak malah, bahkan dia seperti rada-rada kecewa.
“Aku benar-benar seorang perempuan, masa kau tak dapat membedakannya?” kata pula orang itu.
Pek-hujin menghela napas, ia tatap pinggang orang yang ramping dengan dadanya yang montok serta kedua kakinya yang jenjang. Ucapnya dengan gegetun, “Ya, dengan sendirinya kau adalah perempuan... sekali pun orang buta juga pasti tahu.”
Muka gadis itu menjadi merah malah, merah yang menggiurkan. Nyata gadis ini sekali-kali tidak jelek, bahkan tampaknya sangat cantik.
Pek-hujin masih terus menatapnya lekat-lekat, dengan tersenyum ia coba memancingnya, “Melihat keadaan nona, jangan-jangan baru saja menempuh perjalanan jauh?”
“Ehm,” gadis itu bersuara singkat sambil menunduk.
“Pegunungan ini tiada sesuatu pun yang menarik, untuk apakah jauh-jauh nona datang ke sini?”
Tiba-tiba wajah si gadis menampilkan perasaan sedih, setelah termangu-mangu, lalu menjawab dengan muram, “Aku... aku mencari orang.”
Tergerak hati Pek-hujin, tanyanya, “Penduduk di lereng sini hampir seluruhnya kukenal, entah siapakah yang dicari nona?”
Gadis itu menunduk, katanya dengan menghela napas, “Kau pasti tidak kenal dia, ia pun tidak pasti berada di sini.”
Apa pun juga, seorang gadis berani mencari orang ke pegunungan yang terpencil dan sunyi begini jelas bukan kejadian yang biasa, di balik urusan ini tentu ada sesuatu yang menarik.
Bila dalam keadaan biasa pasti Pek-hujin akan bertanya sejelasnya, tapi sekarang ia harus memikirkan keadaannya sendiri, mana dia sempat menanyai rahasia orang lain. Sedangkan gadis itu tampaknya sudah mau pergi. Cepat Pek-hujin berkata pula dengan tertawa, “Eh, siapakah nama nona? Bolehkah diberitahukan padaku?”
Gadis itu ragu-ragu dan tidak bersuara.
Pek-hujin lantas menyambung, “Kaum lelaki yang biasa berkelana di rantau memang mudah mengikat persahabatan dengan orang yang dikenalnya, mengapa kaum wanita seperti kita tidak boleh bersahabat juga. Ya, mungkin kaum wanita seperti kita memang harus lebih hati-hati menghadapi sesuatu.”
Dengan muka merah gadis itu berucap dengan tersenyum, “Namaku Thi Sim-lan.”
Akhirnya Thi Sim-lan duduk di tepi sungai. Ia merasa perempuan ini agak terlalu berani karena berani mandi telanjang bulat di sungai, namun perempuan ini sedemikian cantik, sedemikian simpati.
Selama beberapa hari dia selalu berada dalam keadaan berduka dan tersiksa lahir batin, datangnya ke sini dengan sendirinya ingin mencari Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat. Tapi bila mana benar-benar mereka sudah diketemukan, lalu mau apa dia sungguh ia sendiri pun sukar menjawabnya.
Kini cahaya sang surya yang baru menyingsing menyinari bumi raya ini, segala sesuatu di jagat raya ini terasa sedemikian menyenangkan, senyuman wanita ini pun terasa sangat simpati. Untuk pertama kalinya perasaan Thi Sim-lan terasa longgar, tanpa terasa dilepaskannya sepatunya yang sudah butut, kakinya yang putih halus direndamkan di air sungai.
Kaki yang sudah pegal dan rada kencang itu mendadak berendam dalam air sungai yang segar, rasanya yang nikmat membuat pikirannya melayang-layang dan tanpa terasa mengeluh perlahan lalu memejamkan mata.
Sejak awal Pek-hujin terus-menerus mengawasi gerak-gerik Thi Sim-lan, dengan suara halus ia berkata, “Kenapa kau tidak meniru aku, mandilah sepuas-puasnya di sini.”
“Mandi di sini?” Sim-lan menegas dengan muka merah.
Pek-hujin menatapnya lekat-lekat, katanya kemudian, “Masa kau tidak berani?”
Tertarik juga hati Thi Sim-lan memandangi air sungai yang jernih dan nyaman itu, ucapnya dengan terkikik-kikik, “Tapi... tapi di sini...”
“Jangan khawatir,” ujar Pek-hujin. “Setiap hari aku selalu mandi satu kali di sini, selain dirimu, belum pernah kepergok orang lain.”
“Apa... apakah benar jarang orang datang ke sini?”
“Jika sering didatangi orang, masa aku berani mandi di sini?”
Tambah tertarik hati Thi Sim-lan, ia melirik Pek-hujin sekejap, dengan muka merah ia berkata pula, “Tapi... tapi biarlah aku cuci kaki saja.”
“Masa kau khawatir aku mengintipmu?” ucap Pek-hujin dengan tertawa genit. “Bukankah aku pun seorang perempuan?”
“Ya, masa aku tak tahu,” jawab Sim-lan tertawa.
“Nah, apa pula yang kau khawatirkan?” bujuk Pek-hujin pula. “Jika kau khawatir terlihat olehku, biarlah aku memejamkan mata, setelah kau buka pakaian cepat menyusup ke dalam air dan aku pun takkan melihatmu lagi.”
Namun Thi Sim-lan masih tetap ragu.
Pek-hujin lantas memejamkan matanya dan berkata dengan tertawa, “Nah, lekas, takut apalagi? Setelah mandi tentu akan kau rasakan enaknya.”
Thi Sim-lan memandangnya sekejap, dipandangnya pula air yang bening kehijau-hijauan itu, sesungguhnya tubuhnya memang sangat kotor dan terasa gatal, betapa pun ia tak tahan akan pancingan mandi bebas itu.
“Nah, sudah belum?” dengan tertawa Pek-hujin bertanya.
Lekas Sim-lan menjawab, “Be... belum, jangan... jangan membuka mata sekarang, se... sebentar lagi.”
Cepat ia menyelinap ke balik semak-semak dan membuka baju secara kilat, meski tiada orang yang mengintip, namun cahaya sang surya sudah menyinari dadanya yang montok itu.
Sekujur badan serasa merinding semua, jantung juga berdebar seakan-akan melompat dari rongga dadanya, secepat terbang ia terjun ke dalam air, air yang segar dan rada hangat itu segera melingkupi seluruh tubuhnya. Baru sekarang dia menghela napas lega dan berseru, “Baiklah, sudah!”
Pek-hujin membuka mata dan memandangnya, katanya dengan tertawa, “Segar bukan?”
“Ehm,” Thi Sim-lan mengangguk.
“Baiklah, sekarang aku pun akan turun, harap bantu memegangi aku,” kata Pek-hujin, baru sekarang ia benar-benar merasa lega, perlahan ia merosot ke dalam air.
Arus sungai memang cukup deras, kedua kaki Pek-hujin terasa lemas, untung Thi Sim-lan bantu memayangnya, kalau tidak pasti sukar untuk berenang ke tepi sungai, andaikan tidak mati tenggelam juga pasti akan hanyut terbawa arus.
Melihat Pek-hujin hampir tidak kuat berdiri di dalam air, cepat Thi Sim-lan memegangnya dan bertanya, “Ken... kenapa kau hendak pergi?”
“Aku cuma naik ke tepi sana untuk pasang mata bagimu kalau-kalau ada orang datang, supaya kau dapat mandi dengan tenteram,” ujar Pek-hujin dengan tertawa.
Sim-lan merasa lega, jawabnya, “Tapi jangan sekali-kali kau pergi terlalu jauh.”
Pek-hujin terkikik-kikik, katanya, “Ada si cantik sedang mandi di kali, masa aku tega pergi terlalu jauh.”
Muka Thi Sim-lan menjadi merah, sampai tangan pun tak berani dijulurkan keluar air. Tiba-tiba ia merasakan mata kaum wanita terkadang juga sama ngerinya seperti mata lelaki.
Sementara itu Pek-hujin telah dapat menepi berkat bantuan Thi Sim-lan tadi, katanya, “Baiklah, aku akan berpakaian, kau juga tidak boleh mengintip lho!”
Padahal Thi Sim-lan sudah mendahului memejamkan mata, sekejap saja dia tidak berani memandangnya. Bila melihat tubuh yang putih mulus itu, hati Thi Sim-lan lantas berdebar-debar keras. Kembali dia menemukan suatu hal, yakni perempuan yang telanjang bulat tidak saja penuh daya tarik bagi lelaki, terkadang juga sama besar daya tariknya bagi sesama perempuan.
Dalam pada itu Pek-hujin sudah selesai memakai baju yang ditinggalkan Thi Sim-lan. Meski pakaian itu sangat kotor lagi rombeng, tapi jauh lebih baik dari pada sama sekali tidak berbaju. Biar pun kulit muka Pek-hujin setebal kulit badak juga tak berani keluyuran kian-kemari dalam keadaan bugil.
Thi Sim-lan masih memejamkan mata, setelah menunggu sejenak, didengarnya Pek-hujin lagi berkata, “Bahan pakaian ini ternyata lumayan juga, cuma sayang agak kotor.”
Tanpa tertahan Thi Sim-lan membuka matanya, mukanya menjadi pucat karena terkejut, cepat ia berseru, “He, mengapa kau pakai bajuku?”
“Tidak pakai bajumu, habis pakai baju siapa lagi?” jawab Pek-hujin dengan terkikik-kikik.
Jawaban Pek-hujin ini sungguh lucu dan tepat pula, seolah-olah dia memakai baju orang lain adalah sesuatu yang adil dan pantas.
Thi Sim-lan malah jadi melengak, lantas bertanya dengan tergagap, “Dan baju... bajumu sendiri?”
“Justru lantaran aku tidak punya baju, maka dengan segenap daya upaya aku memancing kau mandi, kalau tidak, sekali pun tubuhmu berbau seperti kakus juga aku tidak pusing.”
“Jika bajuku kau pakai, lalu aku bagaimana?” seru Sim-lan dengan suara rada gemetar.
“Silakan mandi lebih lama sedikit di sini,” kata Pek-hujin dengan tertawa. “Orang yang berlalu lalang di sini kan tidak sedikit, meski hampir semuanya lelaki, tetapi lelaki juga ada yang baik hati, bisa jadi salah seorang di antaranya mau menolongmu dengan membuka celananya untukmu...”
Uraian Pek-hujin ini membikin Thi Sim-lan bertambah cemas, hampir-hampir saja ia menangis. Sebaliknya Pek-hujin tertawa terpingkal-pingkal, lalu berkata pula, “Kukira kau belum pernah memakai celana kaum lelaki bukan? Ya, meski agak lebih besaran, tapi rasanya longgar dan tembus angin, jauh lebih enak dari pada celana belah selangkang yang pernah kau pakai waktu kecil.”
Muka Thi Sim-lan menjadi merah, bentaknya dengan suara parau, “Kau orang gila, kau perempuan jahat, lekas kembalikan pakaianku!”
Saking geregetan, Thi Sim-lan hampir-hampir menerjang keluar dari sungai.
Tapi Pek-hujin lantas bertepuk tangan dan berteriak-teriak, “Haha, ada tontonan menarik! Ayo kemarilah, lihat di sini ada perempuan telanjang bulat!”
Baru saja setengah badan Thi Sim-lan menongol di permukaan air, saking takutnya cepat dia membenamkan diri pula sebatas leher, lalu teriaknya dengan suara gemetar, “Paling... paling tidak kau tinggalkan sepotong bagiku...”
Namun Pek-hujin tidak menggubrisnya lagi, dengan tertawa ngikik ia terus tinggal pergi.
Saking gusarnya Thi Sim-lan lantas mencaci maki, “Kau... kau bukan manusia, kau binatang, kau anjing betina...”
Tanpa menoleh Pek-hujin menyahut dari kejauhan, “Makilah sesukamu! Cukup sebentar lagi tentu setiap lelaki yang tinggal di sekitar sini akan terpancing kemari!”
Thi Sim-lan menjadi takut dan tidak berani bersuara pula.
Sambil meringkuk di dalam air, tanpa terasa air mata lantas bercucuran. Sebenarnya ia tidak percaya bahwa seorang dewasa dapat menangis kehabisan akal seperti anak kecil, baru sekarang ia tahu bahwa segala apa pun mungkin terjadi di dunia ini. Berpikir demikian, segera timbul harapannya bukan tidak mungkin ada seorang lelaki yang kebetulan lewat dan mau meminjamkan celana baginya.
Di sebelah kiri sungai sana adalah sebuah hutan, setelah menyusuri hutan itu, Pek-hujin melanjutkan perjalanan dengan cepat. Diam-diam ia pun kebat-kebit entah Siau-hi-ji yang sialan itu telah mengapakan suami dan gendaknya?
Tiba-tiba ia lihat ada beberapa potong pakaian semampir di ranting pohon di depan sana, bajunya berwarna dasar merah bersulam bunga mawar yang indah memesona.
Sekali pun emas intan, ratna mutu manikam, dengan keadaan Pek-hujin sekarang mungkin takkan dipandangnya barang sekejap, tapi seperangkat pakaian perempuan yang indah, daya tariknya benar-benar teramat besar bagi Pek-hujin, betapa pun ia tidak ingin memakai baju yang rombeng dan kotor begini untuk menemui sang suami.
Dia terus mengincar pakaian itu, langkahnya mulai diperlambat, cuma hati masih ragu-ragu, dan tidak berani meraih pakaian itu.
Pakaian seindah ini tidak mungkin tumbuh dari pohon itu. Jika demikian, dari mana datangnya pakaian ini? Mengapa bisa semampir di pohon?
Diam-diam ia waswas, ia coba memperingatkan dirinya sendiri, “Awas, bisa jadi ini cuma suatu perangkap, jangan mencari gara-gara lagi.” Berpikir demikian, hakikatnya ia tidak mau memandang lagi ke sana.
Akan tetapi pakaian itu sesungguhnya teramat indah. Lebih-lebih bunga sulamannya, bahannya juga dari sutera yang halus, warnanya yang serasi, semua ini sangat memikat.
Kalau menyuruh perempuan jangan memandang pakaian yang indah, rasanya terlebih sulit dari pada menyuruh lelaki jangan memandang perempuan cantik.
Akhirnya Pek-hujin mengambil keputusan, “Paling-paling hanya sepotong pakaian saja, memangnya pakaian bisa bergigi dan menggigit orang?”
Memang betul, hanya sepotong pakaian saja yang menggapai-gapai, tiada cacat dan tiada tanda-tanda mencurigakan, setiap orang dapat mengambilnya tanpa mendatangkan kesulitan apa-apa.....