Ia menjadi ragu-ragu dan hendak memberi peringatan kepada Endang Patibroto tentang pendapatnya itu. Namun terlambat karena pada saat itu, tubuh Endang Patibroto sudah berkelebat ke depan dan langsung dara perkasa ini bagaikan seekor harimau betina yang marah, telah melompat jauh kedepan, menerkam laki-laki penunggang kuda di samping Mayagaluh sambil mengeluarkan pekik dahsyat.
"Celaka dia...!"
Sang Pangeran Panjirawit mengeluh dan mengira bahwa laki-laki tampan itu tentu tewas seketika diserang seperti itu oleh Endang Patibroto yang sudah cukup ia kenal kedigdayaannya yang menggiriskan. la segera melompat dan lari ke depan.
Joko Wandiro yang sedang enak-enak menunggang kuda bersama Puteri Mayagaluh dalam perjalanan mereka ke Bayuwismo di pantai Laut Selatan, tentu saja kaget setengah mati ketika tiba-tiba ada sesosok bayangan putih menyambar dan menerkamnya laksana seekor harimau dan kedua tangan yang menerkamnya itu tahu-tahu telah melancarkan pukulan dengan kedua tangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat sekali ke arah pelipis dan ubun-ubun kepalanya!
Dari sambaran angin pukulan ini saja maklumlah Joko Wandiro bahwa siapa pun juga yang menyerangnya, penyerang ini adalah seorang yang amat ganas dan kejam, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi dan dahsyat. la belum dapat melihat siapa penyerangnya dan juga tidak tahu mengapa orang ini datang-datang menyerangnya sedahsyat itu, maka lapun hanya mengangkat kedua tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sakti Bojro Dahono ke dalam kedua tangannya.
"Dessss!"
Hebat bukan main pertemuan dua pasang tangan di udara itu. Joko Wandiro menggunakan Aji Bojro Dahono yang sifatnya panas dan kuat cepat bagaikan kilat menyambar. Di lain pihak Endang Patibroto mempergunakan Aji Wisang Nolo, juga sifatnya panas sekali mengandung hawa beracun. Saking hebatnya pertemuan tenaga sakti itu, tubuh Endang Patibroto yang terapung di udara itu, terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting di atas tanah di mana gadis itu cepat menggunakan Aji Trenggiling Wesi, bergulingan untuk mematahkan luncuran tubuhnya.
la selamat tidak terbanting, namun pakaian dan rambutnya kotor terkena debu. Di lain pihak, Joko Wandiro kaget sekali karena pertemuan tenaga itu membuat ia terpelanting dari atas kudanya dan biarpun ia dapat berjungkir-balik sampai tiga kali sehingga dapat turun ke atas tanah dengan kedua kaki lebih dulu, namun ia terhuyung-huyung ke belakang sampai empat meter jauhnya!
Kini keduanya sudah bangkit berdiri, dalam jarak tujuh delapan meter, saling pandang dengan heran dan penasaran. Endang Patibroto marah sekali. Marah sampai hampir tak tertahankannya Lagi. Mukanya mangar-mangar (merah padam), sepasang matanya bercahaya menyilaukan seperti sepasang mata harimau tersorot lampu, bagaikan bernyala-nyala menciptakan api unggun yang akan membakar lawannya, memandang kepada Joko Wandiro seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat!
Hidung yang kecil mancung itu bergerak-gerak karena cuping hidungnya yang tipis kembang-kempis, napas halus yang keluar masuk agak berdesis. Bibirnya tersenyum! Ya, bibir yang manis, merah basah itu tersenyum, akan tetapi senyum yang bagaimana! senyum maut! Senyum yang sama sekali bukan menyejukkan hati pemandangnya, melainkan senyum yang membayangkan ancaman maut, yang dingin seperti air wayu, Dagunya agak berlekuk karena ditarik keras dalam kemarahannya, kedua tangannya mengepal tinju.
Endang Patibroto marah sekali. Apalagi ketika ia mengenal laki-laki yang pernah ia jumpai di dekat Telaga Sarangan, yang pernah ia serang dengan panah tangan namun gagal, laki-laki yang mengawani seorang gadis jelita, agaknya kekasih si gadis jelita yang menjadi korban anak panahnya. Sekarang, dalam adu tenaga ia sampai dibikin jatuh terguling-guling oleh bocah ini!
Joko Wandiro tadinya terheran-heran, juga kagum dan penasaran ketika mendapat kenyataan bahwa yang penyerangnya demikian dahsyat dan ganas adalah seorang wanita muda yang cantik jelita seperti bidadari. Akan tetapi kekagumannya segera berubah menjadi kemarahan yang meluap-luap ketika ia mengenal wanita itu. Inilah dia wanita iblis yang pernah merobohkan Ayu Candra dengan serangan anak panah tangan! Inilah dia wanita iblis yang selain memanah mati harimau dan melukai Ayu Candra, juga pernah menyerangnya dengan panah tangan, dan kini tiada hujan tiada angin menyerangnya dengan pukulan maut yang demikian dahsyatnya!
"Kau! Perempuan keji...!"
"Kau! Bocah keparat!"
Keduanya memaki hampir berbareng, disusul gerakan tubuh mereka menerjang maju. Hebat sekali terjangan kedua orang muda ini dan berbareng mereka berseru kaget karena loncatan mereka itu serupa benar gayanya. Gaya dari aji meringankan tubuh Bayu Tantra dan ketika mereka berdua menampar ke depan, keduanya secara kebetulan sekali juga menggunakan aji yang sama, yaitu tamparan dengan jari-jari tangan, Aji Pethit Nogo! Kembali mereka mengadu tenaga dan keduanya terpental ke belakang oleh getaran jari tangan mereka yang mengandung tenaga sakti yang sama kuatnya!
Karena terkejut dan terheran betapa lawan masing masing memiiiki aji yang sama, sejenak keduanya hanya saling pandang dan saling melotot, seakan-akan hendak melanjutkan pertandingan itu bukan dengan kepalan dan kesaktian lagi, melainkan dengan saling menusuk dan menelan melalui pandang mata!. Saat ini dipergunakan oleh Pangeran Panjirawit dan adiknya, Puteri Mayagaluh. Pangeran Panjirawit melompat maju dan memegang kedua lengan Endang Patibroto dari belakang, sedangkan Puteri Mayagaluh juga menghampiri Joko Wandiro dan memegang lengannya.
"Joko Wandiro, sabar dulu, dia itu adalah kepala pengawalku, Endang Patibroto!" kata Puteri Mayagaluh dengan suara halus dan menarik-narik lengan Joko Wandiro yang ia rasakan amat keras macam baja saja pada saat itu.
"Endang, sabarlah. Dia bukan musuh, dia malah penolong diajeng Mayagaluh. tenangkan hatimu, padamkan kemarahanmu" kata Pangeran Panjirawit sambil menarik tangan Endang Patibroto.
"Kau...Endang Patibroto...?"
Joko Wandiro membelalakkan matanya, berseru dengan suara gagap. Endang Patibroto tersenyum mengejek, dan tiba-tiba dara perkasa ini tertawa. Suara ketawanya bebas lepas, tak ditutup-tutupinya lagi dan inilah kebiasaan dara murid Dibyo Mamangkoro. Akan tetapi dasar dara cantik manis, biarpun tertawa secara terlepas seperti itu, tetap saja masih menarik dan menggairahkan.
"Hi-hi-hi-hik! Jadi engkau ini Joko Wandiro bocah bengkring (berpenyakitan) seperti cacing dahulu itu? Hi hi-hik! Kiraku masih berada di Sempu sambil menimang-nimang golek kencanamu!"
Wajah Joko Wandiro menjadi merah sekali. Pantas saja ketika dahulu di telaga Sarangan menyerangnya dan Ayu Candra, ia merasa kenal baik dengan wanita ini. Kiranya Endang Patibroto si bocah nakal! Dan kini tidaklah aneh baginya kalau Endang Patibroto menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala.
Kiranya gadis ini sekarang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, yang memiliki kedigdayaan yang hebat, yang dahsyat dan yang amat ganas. Kalau tadi ketika diserang pertama kali ia tidak mempergunakan Bojro Dahono untuk menangkis, tentu sekarang ia telah menjadi mayat! la diam-diam bergidik.
Mengapa puteri ayah angkatnya kini menjadi seperti ini? Mengapa sifatnya menjadi ganas dan keji, mudah menurunkan tangan maut kepada orang yang baru saja dijumpainya? Memang harus ia akui, Endang Patibroto sekarang amat cantik jelita, di dalam keganasannya itu bersembunyi kecantikan dan keluwesan yang aseli, tidak dibuat-buat, kecantikan seekor harimau betina yang kuat dan indah, kegagahan seekor kuda betina liar, dengan tubuh yang lemas tapi kuat, bergoyang-goyang lemas seperti ular sawah kembang.
"Endang, tak kusangka bertemu denganmu di sini. Dan sungguh tak pernah kusangka bahwa engkaulah yang begitu keji menyerangku dengan panah tangan di Telaga Sarangan dahulu "
"Hemm, kau mau apa? Gadis cantik itu tentu telah mampus! Dan kau sakit hati? Hendak membalas? Boleh!" Endang Patibroto terus saja menantang dan melangkah maju hendak menyerang!
Teringat ia betapa ibu kandung Joko Wandiro telah membunuh ayah kandungnya, dan biarpun ia telah membalas, telah membunuh Listyokumolo untuk membalas kematian ayahnya, namun pemuda ini tentu saja menjadi musuh besarnya Ayahnya sebelum mati berpesan menjodohkan dia dengan bocah ini? Ah, begitu bertemu untuk pertama kalinya telah bermusuhan, mana bisa menjadi jodoh?
"Ah, Endang Patibroto, bersabarlah engkau. Orang muda ini sudah menolong dan menyelamatkan diajeng Mayagaluh, bukan musuh kita."
Pangeran Panjirawit menarik lengan Endang Patibroto dan gadis ini betapa pun juga tidak berani untuk membantah. Ia hanya berdiri memandang dengan mata melotot dan menantang. Mayagaluh lalu menceritakan dengan singkat semua pengalamannya dan betapa Joko Wandiro menolongnya. Ketika bercerita tentang Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjirawit kelihatan terkejut.
"Wah, kalau begitu kita harus segera pergi dan sini. Sungguh tidak baik kalau sampai aku bertemu dengan kakangmas Pangeran Darmokusumo. Joko Wandiro, aku mengucapkan banyak terima kasih atas semua budi pertolonganmu kepada adikku Puteri Mayagaluh. Kalau kau suka, Joko Wandiro, marilah kau lkut bersama kami ke Jenggala. Kanjeng rama prabu tentu akan suka sekali mendengar tentang jasamu dan kau tentu akan diberi kedudukan tinggi di Jenggala."
Puteri Mayagaluh juga melangkah maju dan berkata sambil tersenyum, "Betul Apa yang dikatakan kakangmas Panjirawit, Joko. Marilah kau ikut bersama kami ke Jenggala." Ia menoleh kepada Endang Patibroto yang masih cemberut sambil tersenyum dan berkata. "Kebetulan sekali agaknya kau sudah mengenal Endang sejak kecil. Pertengkaran sedikit antara kalian lebih baik dilupakan saja dan aku percaya, kalian berdua akan dapat menjadi eh, sahabat-sahabat baik yang baik sekali...!"
Joko Wandiro menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, sedangkan Endang Patibroto memandang dengan makin marah. Pemuda itu menggeleng kepala dan berkata dengan hormat, "Beribu terima kasih hamba haturkan kepada gusti pangeran dan gusti puteri berdua. Akan tetapi hamba mempunyai banyak urusan lain. Kelak masih banyak waktunya hamba menghadap paduka, apabila keadaan mengijinkan."
Melihat keadaan Joko Wandiro, pangeran itu maklum bahwa ia tidak akan mungkin dapat membujuk seorang satria seperti ini, maka ia lalu berkata, "Kalau begitu, biarlah lain kali kami menanti kunjunganmu ke Jenggala. Mayagaluh, Endang, mari kita berangkat, jangan sampai bertemu dengan orang-orang Panjalu!"
Ketiga orang muda itu meloncat naik ke atas kuda dan tiga ekor kuda itu lari ke arah timur. Puteri Mayagaluh untuk penghabisan kali melempar kerling dan senyum manis kepada Joko Wandiro, akan tetapi Joko Wandiro yang tadinya tersenyum mesra pula memandang puteri yang pernah dicium pipinya itu, tiba-tiba membuang muka karena melihat Endang Patibroto juga menoleh dan memandang kepadanya dengan pandang mata penuh ejekan!
Setelah bayangan ketiga orang itu lenyap dan derap kaki kuda mereka tak terdengar lagi, barulah Joko Wandiro menaiki kudanya dan menjalankan kudanya ke barat. Tiada habis heran hatinya mengenangkan Endang Patibroto. Gadis itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Kalau ia ingat akan benturan tangan dua kali tadi, ia yakin bahwa ilmu kesaktian gadis itu jauh tinggi dari pada ilmu orang-orang yang pernah menjadi lawannya. Jauh lebin tinggi dari kepandaian Wirokolo atau Ni Durgogini serta Ni Nogogini digabung menjadi satu!
Kalau mengingat bahwa gadis itu adalah puteri ayah angkatnya, ia girang dengan kehebatan itu. Akan tetapi kalau teringat akan sifat-sifat ganas dan keji itu, ia mengerutkan kening dan menarik napas panjang berulang-ulang.
Kemudian pemuda ini lalu mempercepat perjalanannya menuju ke Bayuwismo di pantai Laut Selatan, dengan perasaan bercampur aduk. la merasa girang kalau membayangkan betapa ia akan bertemu dengan ayah angkatnya. Betapa pun juga, ia harus mengakui bahwa sampai sekarangpun ia masih menganggap Pujo sebagai ayah sendiri yang amat dicintainya.
Di antara orang-orang tua di dunia ini, Pujolah orang pertama yang ia cinta dan hormati, baru kemudian gurunya, Ki Patih Narotama, dan kakek gurunya, Resi Bhargowo. Ayah bunda kandungnya sendiri tidak begitu dekat dengan hatinya karena semenjak kecil ia tak pernah melihat mereka Lagi. Akan tetapi kalau teringat bahwa ibu kandungnya tewas dalam usaha mencari Pujo, kegirangan hatinya akan bertemu dengan ayah angkatnya itu menipis terganti rasa khawatir dan tegang.
Atas petunjuk para penduduk yang berdekatan, akhirnya ia sampai juga di Bayuwismo dan melihat sebuah pondok yang menyendiri di tepi pantai itu. Hatinya berdebar keras ketika ia meloncat turun dari kuda dan penuh selidik ia memandang kepada dua orang wanita yang keluar dari dalam pondok. Ia segera mengenal dua orang wanita itu, yang seorang adalah Kartikosari ibu kandung Endang Patibroto dan yang kedua adalah bibinya, Roro Luhito adik kandung mendiang ayahnya. Segera ia menghampiri mereka dan memben hormat dengan wajah berseri.
"Bibi kartikosari dan bibi Roro Luhito, saya Joko Wandiro, kiranya bibi berdua belum lupa kepada saya," kata Joko Wandiro ketika melihat dua orang wanita itu rnemandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak seperti melihat setan, dan disangkanya bahwa dua orang bibinya itu pangling (lupa) kepadanya.
Tiba-tiba Kartikosari membalikkan tubuhnya dan masuk lagi ke dalam pondok tanpa berkata sesuatu, sedangkan Roro Luhito lalu menubruk dan merangkul Joko Wandiro sambil menangis sesenggukan! Tentu saja hal ini membuat Joko Wandiro terkejut sekali. Memang hatinya sudah merasa tidak enak dalam perjalanan ke tempat ini dan telah menduga hal-hal yang tidak baik. Melihat sikap kedua orang wanita ini ia berdebar dan merasa cemas sekali.
"Bibi Roro Luhito...apakah yang terjadi, bibi? Ada apakah? Harap bibi memberi tahu kepada saya..."
"Aduh, angger Joko Wandiro, anakku...! Semoga Hyang Wisesa mengampuni kita semua, kulup...! Telah terjadi peristiwa yang amat hebat, malapetaka yang mengerikan..."
Tidak syak lagi sekarang hati Joko Wandiro. Sudah tentu perkara kematian ibu kandungnya. "Bibi, ceritakanlah. Saya dapat menahan segala berita yang bagaimana pun. Ceritakanlah, bibi!"
"Mari, anakku. Mari masuk ke pondok dan kau...kau maafkanlah sikap bibimu Kartikosari. Engkau akan mengerti mengapa dia bersikap seperti itu ketika tiba-tiba melihat kedatanganmu, Joko Wandiro."
"Tidak mengapa, bibi. Saya percaya, bibi Kartikosari adalah seorang yang bijaksana dan tentu sikap beliau tadi ada sebabnya yang hebat. Marilah, bibi."
Mereka memasuki pondok kecii sederhana itu. Berdegup jantung Joko Wandiro karena ia mengharapkan untuk bertemu dengan Pujo di dalam pondok. Ia menyapu semua penjuru dengan pandang matanya, namun tidak melihat Pujo di situ. Yang ada hanyalah perabot rumah sederhana dan Kartikosari duduk di atas sebuah balai-balai bambu dengan muka berduka dan kedua pipi basah air mata. Melihat keadaan Kartikosari ini, Roro Luhito yang tadi rnenggandeng tangan Joko Wandiro segera rnelepaskan tangan itu dan lari mengharnpiri Kartikosari dan merangkulnya.
"Apakah engkau datang untuk membalas dendam kematian ibumu? Kalau begitu, hunus kerismu dan tusuklah dadaku, agar himpas dan lunas hutang-pihutang nyawa ini!" kata Kartikosari kepada Joko Wandiro, suaranya gemetar akan tetapi sikapnya tenang.
Joko Wandiro terkejut sekali. Tidak disangkanya akan disambut dengan ucapan seperti itu oleh Kartikosari. Apakah ibu kandungnya tewas di tangan bibinya ini? Ah, tidak mungkin! Ia cukup mengenal ayah angkatnya, dan ia mendengar dari ayah angkatnya bahwa bibi Kartikosari ini dahulu adalah adik seperguruan ayah angkatnya.
Ayah angkatnya adalah seorang satria sejati, memiliki iimu-ilmu kesaktian yang bersih, warisan Sang Resi Bhargowo. Sedangkan yang membunuh ibu kandungnya tentulah yang melukai Ki Adibroto pula, dan melihat luka itu, jelas membayangkan bahwa pemukulnya adalah seorang yang amat ganas dan memiliki ilmu yang jahat dan keji.
"Bibi Kartikosari, mengapa bibi berkata seperti itu? Sesungguhnyalah bahwa secara kebetulan sekali saya bertemu dengan paman Adibroto dan mendengar bahwa ibu kandung saya yang tak pernah saya jumpai itu telah meninggal dunia, tewas di tangan musuh yang juga melukai paman Adibroto sampai tewas Akan tetapi saya tidak tahu siapa pembunuhnya dan kedatangan saya ke Bayuwismo ini sekali-kali bukan untuk urusan itu, melainkan karena sudah rindu kepada bibi berdua, terutama sekali kepada...ayahanda Pujo. Di manakah beliau? Dan Apa yang sudah terjadi di sini, bibi?"
Tiba-tiba Kartikosari bangkit berdiri, wajahnya pucat sekali. "Kau tanyakan kakangmas Pujo...? Ayahmu itu kakangmas Pujo...dia...dia telah tewas...dan anak...anakku keparat dia...oohhhh..."
Kartikosari tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ia menjatuhkan diri di atas balai bambu sambil menangis tersedu-sedu. Roro Luhito memeluknya dan juga menangis sesenggukan. Joko Wandiro memandang dengan muka pucat. Ayahnya, Pujo, telah tewas? Oleh siapa? Mengapa? Oleh ibunya dan Ki Adibroto? Kemudian mereka berdua itupun tewas dalam pertandingan ini? Melihat betapa dua orang wanita itu menangis penuh kesedihan, dia tidak berani mengganggu dan segera ia menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menunjang dagu dan mengatur napas menenteramkan hatinya.
Melihat betapa Kartikosari tenggelam ke dalam kedukaan yang hebat, Roro Luhito lalu bangun dan duduk menyusuti air matanya. Dia maklum betapa hancur hati Kartikosari, tidak hanya karena kehilangan suami tercinta, melainkan juga kehilangan puteri yang amat diharap-harapkan. Memang betul Endang Patibroto masih hidup, akan tetapi bahkan lebih hebat dari pada mati bagi seorang ibu kandung yang melihat puterinya menyeleweng jauh sekali dari pada kebenaran! Di samping ini, Roro Luhito kasihan melihat Joko Wandiro yang tentu saja menjadi bimbang dan bingung serta amat mengharapkan penjelasan.
"Anakku Joko Wandiro, kau dengarlah baik-baik Apa yang akan kuceritakan kepadamu dan bersiaplah engkau menerima pukulan batin ini. Aku percaya, sebagai seorang satria murid Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna dan arif bijaksana, dan sebagai seorang yang telah dewasa, engkau tentu akan dapat menerima semua peristiwa yang terjadi ini sebagai sesuatu yang sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa dan bahwa semuanya itu memang sudah semestinya terjadi maka tak seorangpun manusia mampu merubahnya," kata Roro Luhito yang mulai dapat menekan perasaannya sehingga suaranya makin jelas dan tenang.
"Bicaralah, bibi, Biarpun belum tahu jelas, kiranya saya sudah dapat banyak menduganya."
"Aku akan mulai dari permulaan, anakku. Terjadinya kira-kira dua puluh tahun yang lalu, karena sesungguhnya mulai saat itulah terjadinya awal segala peristiwa ini yang kuharapkan sudah berakhir sampai sekian saja. Ketika itu, ayahmu atau gurumu Pujo bersama bibimu Kartikosari masih pengantin baru. Mereka berdua pergi bertapa ke dalam Guha Siluman. Tidak lama kemudian datanglah kakakku, mendiang ayah kandungmu sendiri Raden Wisangjiwo. Aku berterus terang saja, anakku, biar dia kakak kandungku, biar dia itu ayah kandungmu, dia pada masa itu adalah seorang bangsawan muda yang menjadi hamba nafsunya. Dia bersikap kurang baik terhadap bibimu Kartikosari sehingga terjadi pertempuran. Kakangmas Pujo pingsan dan ketika ia sadar, ia melihat betapa bibimu Kartikosari dalam keadaan terluka dan tak berdaya telah diperkosa orang, Keadaan dalam guha itu gelap-gulita dan karena tadinya yang menyerang mereka adalah Raden Wisangjiwo, tidak aneh kalau kakangmas Pujo dan bibimu Kartikosari merasa yakin bahwa Raden Wisangjiwolah orang yang melakukan perbuatan keji itu."
Joko Wandiro menggigit bibirnya. Dahulu pernah ia mendengar tentang permusuhan itu dan ia amat menyesal sekali. Akan tetapi ia tidak mau mengganggu cerita bibinya karena ia maklum bahwa kalau ia membuka mulut tentu suaranya akan gemetar.
"Memang menyesalkan sekali, anakku, akan tetapi itu kenyataan. Nah, semenjak saat itulah kakangmas Pujo berpisah dari bibimu Kartikosari. Kakangmas Pujo yang merasa dihancurkan kebahagiaannya oleh ayah kandungmu, menyerbu ke Kadipaten Selopenangkep. Di sana dia tidak menemukan Raden Wisangjiwo, maka untuk membalas sakit hatinya, ia... menculik ibu kandungmu, mbokayu Listyokumolo dan engkau sendiri yang pada waktu itu baru berusia satu tahun."
Joko Wandiro menundukkan mukanya untuk menyembunyikan mukanya yang menjadi merah dan terasa panas. Ia juga amat menyesalkan perbuatan ayah angkatnya yang terburu nafsu dan sembrono ini, Akan tetapi tepat seperti dikatakan bibinya tadi, segala sudah terjadi dan ia juga mempunyai keyakinan bahwa segala hal yang sudah, sedang, atau akan terjadi kesemuanya sudah diatur oleh Hyang Maha Wisesa, sedangkan manusia hanyalah menjadi pelaku-pelakunya belaka.
"Kemudian engkau tahu betapa engkau diaku anak oleh kakangmas Pujo dan engkau pun sudah mendengar betapa setelah kakangmas Pujo dan mbokayu Kartikosari tahu bahwa musuh besar mereka sesungguhnya bukan Raden Wisangjiwo melainkan Jokowanengpati si manusia biadab, dari musuh mereka menjadi sahabat. Dan engkau pun tahu betapa ayah kandungmu, biarpun dahulunya pernah melakukan penyelewengan, namun di saat terakhir telah menjadi seorang pahlawan dan tewas dalam medan yuda sebagai seorang pahlawan pula. Akan tetapi ibu kandungmu..." Sampai di sini Roro Luhito berhenti dan menarik napas panjang dan dua titik air mata meloncat ke atas kedua pipinya yang pucat.
"Teruskanlah, bibi. Saya siap mendengar hal yang seburuk-buruknya," kata Joko Wandiro tenang.
"Ibumu, mbokayu Listyokumolo setelah kehilangan kau yang dilarikan oleh kakangmas Pujo, dia...dia menjadi berubah ingatan, kulup. Kasihan sekali. Ayahmu yang pada waktu itu belum sadar dari pada penyelewengannya, melihat ibumu seperti orang gila, lalu mengantarnya kembali ke dusun Selogiri di lereng Lawu. Akan tetapi, agaknya memang ibu kandungmu harus banyak menderita di waktu hidupnya. Belum lama tinggal di rumah kakekmu yang menjadi lurah di dusun itu, desa Selogiri menjadi korban serbuan perampok-perampok. Eyangmu dan seluruh keluarganya tewas, ibu kandungmu menjadi tawanan perampok! Dan semenjak itulah kami tidak pernah mendengar apa-apa lagi dari ibumu. Ayahmu setelah insyaf akan kesalahannya, telah bersusah payah, dibantu oleh kami semua dan pasukan-pasukan, berusaha mencari ibumu, akan tetapi sia-sia."
Hemm, setelah itu tentu telah ditolong oleh paman Adibroto, pikir Joko Wandiro, Kemudian setelah ditolong lalu menjadi isteri paman Adibroto dan melahirkan seorang anak, Ayu Candra! Berpikir sampai di sini, jantung Joko Wandiro serasa ditusuk-tusuk, akan tetapi mulutnya tidak mengucapkan sepatahpun kata.
"Siapa dapat menduga, beberapa hari yang lalu..."
"Ibu datang ke sini bersama paman Adibroto?" Tidak tertahankan lagi Joko Wandiro menyambung karena bibinya agak meragu.
"Benar, anakku. Ibumu tidak melupakan dendamnya kepada kakangmas Pujo yang sama sekali tidak menyangka-nyangka dan hidup aman tenteram bersama kami berdua di sini. Ibumu dapat bertemu berdua saja dengan kakangmas Pujo dan kakangmas Pujo...yang selalu merasa berduka dan malu atas semua perbuatannya terhadap ibumu dahulu, mengakui dosanya dan rela menebus dosa, rela dijatuhi hukuman oleh ibumu. Kakangmas Pujo tidak melawan ketika ditusuk keris, sengaja menerima kematian di tangan ibumu agar dosanya tercuci oleh darahnya sendiri..."
Roro Luhito terisak dan Kartikosari yang tadinya sudah agak reda tangisnya, kini tersedu kembali. Joko Wandiro mengepal tinjunya. Ingin ia menjerit-jerit. Ingin ia menangis, menangisi keduanya, menangisi Pujo dan Listyokumolo. Bangga ia mendengar akan sikap Pujo yang ternyata seorang satria utama, seorang jantan sejati. Sedih ia mengingat akan nasib ibu kandungnya, dan dia tidak dapat menyalahkan ibu kandungnya yang tentu saja merasa dirusak kebahagiaan hidupnya oleh Pujo. Ingin sekali ia mendesak bibinya agar bercerita terus, akan tetapi kerongkongannya serasa tercekik.
"Kakangmas Pujo...dia melarang kami menuntut balas... dia menyatakan rela dan senang mati di tangan ibumu untuk menebus dosa..."
"Aduh ayahku...! Ayah dan guruku...!"
Joko Wandiro bangga sekali dan hampir ia tidak kuat menahan air matanya yang sudah membuat pandang matanya berkaca-kaca.
"Kemudian, secara tak terduga-duga muncullah Endang Patibroto!"
Joko Wandiro terkejut dan mendongakkan muka, memandang bibinya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.
"Sungguh berbahagia sekali kakangmas Pujo ketika melihat puterinya. Baru sekali itu ia memandang wajah anak kandungnya, baru sekali itu, di ambang kematiannya, ia bertemu muka dengan puterinya. Hatinya puas sekali dan merasa betapa mendapat anugerah Dewata. Pertama, sudah dapat menebus dosa di tangan ibumu sendiri, ke dua, sebelum mati dapat bertemu anaknya. Sekali lagi kakangmas Pujo meninggalkan pesan agar jangan membalas kepada ibu kandungmu, bahkan berpesan bahwa untuk menghapus permusuhan itu, Endang Patibroto dijodohkan dengan... engkau, anakku Joko Wandiro!"
Pemuda itu merasa seakan-akan dadanya hendak meledak, jantungnya berdebar-debar keras sekali. Ia merasa makin bangga kepada Pujo! Bukan main ayahnya, juga gurunya itu, seorang manusia bijaksana, seorang satria sejati.
"Jadi ayah...Pujo tidak membalas kepada ibuku?"
"Tidak. Dia meninggal dunia sambil tersenyum bahagia."
"Dan bibi berdua, juga tidak membalas kepada ibuku...?"
Roro Luhito menggelengkan kepala. "Betapa pun sakit dan sedih hati bibimu Kartikosari, namun dia juga seorang berdarah satria utama, dan mematuhi pesan suaminya."
"Kalau begitu, mengapa ibuku...?"
Tiba-tiba Kartikosari melompat turun dan dengan muka pucat, rambut awut-awutan ia menjerit, "Anakku yang membunuhnya! Anakku Endang Patibroto, yang kukandung sembilan bulan, yang kubela dengan taruhan nyawa...dia yang membunuh ibumu! Dan dia pula yang membunuh Ki Adibroto. Ya, anakku! Anak kandungku! Dia yang membunuh ibu kandungmu, Joko Wandiro. Maka itu, kalau kau hendak menuntut balas, jangan ragu-ragu, ini ibunya yang bertanggung jawab. Kaucabutlah senjatamu dan kau bunuhlah aku...aku...takkan melawan... kau sempurnakan aku...biar aku...aku ikut suamiku..."
Terdengar jerit melengking mengerikan dan tubuh Joko Wandiro sudah mencelat keluar dari pondok itu.
"Joko...!"
Roro Luhito menjerit dan mengejar keluar, juga Kartikosari berlari keluar. Di depan pintu pondok mereka berhenti dan memandang ke depan dengan muka pucat. Mereka melihat betapa Joko Wandiro sambil mengeluarkan suara menggereng-gereng seperti seekor harimau, mengamuk dan kalang kabut menghantami batu-batu karang di pinggir laut! Batu karang pecah berhamburan dan terdengar pemuda itu menggereng-gereng di antara isak tangisnya, terus menghantami batu karang seperti orang gila.
"Joko Wandiro... anakku...! Kau ingatlah, nak...ingatlah...!"
Roro Luhito lalu berlari-lari dan menubruk kaki keponakannya, juga Kartikosari rnenghampiri dengan bercucuran air mata. Kini Joko Wandiro telah dapat menguasai iblis yang mengamuk di dalam kepala dan dadanya. Ia berdiri dengan kedua kaki tepentang, kedua tangan berlepotan darah karena dalam kemarahannya tadi ia tidak mengerahkan aji kesaktiannya sehingga kulit tangannya tidak kebal dan kini hancur oleh batu karang. Kedua lengan yang tangannya berdarah itu kini tergantung di kanan kiri tubuhnya, darahnya menetes-netes seperti air mata yang juga menetes-netes dari kedua matanya.
"Anakku...ah, anakku Joko Wandiro...jangan salah mengerti, nak. Bibimu...Kartikosari mengeluarkan kata-kata itu saking remuk perasaan hatinya oleh kelakuan anaknya. Kau tidak tahu, setelah Endang Patibroto membunuh Listyokumolo dan melukai Ki Adibroto tanpa dapat kami cegah karena gerakannya yang amat dahsyat, kemudian bibimu Kartikosari mendengar bahwa Endang menjadi kepala pengawal Jenggala. Bibimu marah dan berusaha menginsyafkan puterinya, akan tetapi sia-sia. Bahkan bibimu sudah menyerang hendak membunuhnya, akan tetapi juga tidak berdaya rnenghadapi kesaktian Endang Patibroto yang amat hebat."
Kini Joko Wandiro sudah dapat menekan perasaannya dan ketenangannya pulih kembali. "Saya tidak menaruh dendam kepada bibi Kartikosari, bahkan saya merasa amat terharu dan kasihan., Bibi Kartikosari, maafkan saya, percayalah, saya tidak mempunyai permusuhari apa-apa dengan bibi..."
"Joko Wandiro...kau dianggap putera sendiri oleh kakangmas Pujo dan memang... memang kau patut menjadi puteranya. Ahh, anakku...!"
Kartikosari merangkul dan mereka berpelukan. "Saya juga tahu akan kesaktian Endang Patibroto, karena sudah dua kali dia menyerang saya, bahkan dia hampir saja membunuh Ayu Candra."