Tubuh Genjul berkelojotan lalu roboh terlentang, kerongkongannya mengorok dan matanya mendelik. Mayagaluh mengkirik. Pada saat itulah, kepala rampok sudah menerjangnya dari belakangnya dan sebuah pukulan dengan tangan miring tepat menghantam tengkuk Puteri Mayagaluh. Puteri ini mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas, matanya meram. la pingsan!
Kepala rampok yang berhasil merobohkan Mayagaluh, segera memondong puteri itu dan meloncat ke atas punggung kuda sang puteri, terus membedal kuda membalap karena khawatir kalau-kalau para pengawal sang puteri akan menyusul ke tempat itu.
Guncangan-guncangan dan tiupan angin menyadarkan Mayagaluh. Ia membuka rnata dan alangkah kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia berada dalam pondongan kepala perampok, dilarikan di atas kuda.
"Tolooongggg... Toloooongggg...!" ia menjerit dua kali, akan tetapi lalu tak dapat mengeluarkan teriakan lagi karena mulutnya didekap tangan kasar dan kepala rampok itu mengancam,
"Sekali lagi kau berteriak, golokku akan memenggal lehermu!"
Seluruh tubuh Mayagaluh menggigil penuh kengerian. La berusaha meronta-ronta dan membentak-bentak, "Lepaskan aku! Lepaskan! Lepaskan!"
Namun sia-sia saja dan akhirnya ia tidak berani lagi meronta karena kudanya lari cepat sekali dan apabila ia dapat melepaskan diri, tentu ia akan terbanting dan terseret, mungkin akan terinjak kaki kuda.
"Heh-heh, kau cantik sekali. Kau pantas menjadi biniku, sayang!"
Si kepala rampok terkekeh, kemudian menundukkan mukanya hendak mencium muka yang cantik jelita itu. Mayagaluh terkejut dan lupa akan rasa takutnya. Rasa ngeri dan marah mengaduk hatinya dan kembali ia meronta, tangannya menampar ke atas.
"Plakk!". Muka perampok itu kena tamparan yang cukup keras sehingga kepala rampok itu membatalkan niatnya mencium, mukanya berubah merah dan ia marah sekali. Dengan tangan kirinya, dicekiknya leher Mayagaluh. Sang puteri meronta dan berusaha melepaskan diri namun sia-sia sehingga ia terengah-engah dan tubuhnya menjadi lemas. Setelah Mayagaluh pingsan baru kepala rampok itu menghentikan cekikannya dan terus membalapkan kuda.
Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat cepat sekali laksana kijang melompat. Bayangan ini bukan lain adalah Joko Wandiro! Seperti telah kita ketahui, Joko Wandiro mengejar Ayu Candra yang melarikan diri pergi dari pondoknya bersama Ki Jatoko. Akan tetapi karena tidak tahu ke mana perginya dara itu, juga tidak dapat mengira-ngira ke mana gerangan tujuannya, Joko Wandiro mengejar ke jurusan yang berlawanan.
Pemuda ini mengejar ke selatan, terus ke selatan sampai akhirnya ia tiba di Pegunungan Kidul dan teringatlah ia akan pesan ayah angkatnya bahwa ayah angkatnya dahulu tinggal di Bayuwismo, di pantai Laut Selatan Karena lapun tidak mempunyal tujuan tertentu, tidak tahu pula ke mana harus mencari Ayu Candra, maka ia lalu membelok ke barat, hendak pergi ke Bayuwismo.
Di dalam hutan itu ia tadi mendengar jerit minta tolong. Mendengar jerit wanita minta tolong ini, hatinya berdebar keras. Jangan jangan Ayu Candra yang tertimpa malapetaka, pikirnya sambil meloncat dan mengerahkan aji kesaktian dan lari bagaikan kijang melompat cepatnya. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul dan ia melihat seorang laki-laki tinggi besar memondong tubuh seorang dara yang tak bergerak-gerak dan lemas, agaknya pingsan, kemarahannya timbul. Ia tidak menegur lagi, terus melompat dan tubuhnya menyambar bagaikan seekor elang rajawali, sambil mulutnya membentak,
"Bedebah!"
Kepala rampok melihat tiba-tiba ada orang menyambarnya dari atas seperti Raden Gatutkaca terbang menyambar, kaget setengah mati. Ia melepaskan kendali kuda dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja ia bukan seorang lemah. Tenaganya besar dan ia pandai ilmu silat. Akan tetapi sekali ini ia bertemu batu. Begitu lengannya bertemu dengan lengan Joko Wandiro, tubuhnya terguling dan terlempar dari atas punggung kuda, dan entah bagaimana tahu-tahu tubuh sang puteri telah berpindah tangan, berada di pondongan Joko Wandiro!
Ada rasa kecewa di hati Joko Wandiro ketika ia melirik dan melihat wanita itu, walaupun cantik jelita dan muda remaja, ternyata bukan Ayu Candra. Kemarahannya mereda dan ia berdiri tenang sambil memandang kepala perampok yang kini sudah meloncat bangun sambil mencabut golok.
"Babo-babo, si keparat dari manakah berani merampas tawananku? Hayo kembalikan kalau engkau tidak ingin mampus di tanganku!"
"Kisanak," jawab Joko Wandiro tenang, "namaku Joko Wandiro. Tadi aku mendengar jerit wanita ini minta tolong, lalu melihat engkau melarikannya secara paksa. Tadinya aku ragu-ragu dan tidak tahu siapakah wanita ini dan mengapa kau larikan. Setelah kini aku tahu bahwa dia tawananmu, tentu saja aku tidak boleh tinggal diam saja. Aku harus menolongnya dan dia takkan kukembalikan kepadamu."
"Keparat Joko Wandiro, kalau begitu kau sudah bosan hidup!" bentak si perampok sambil menerjang maju dengan ayunan goloknya. Melihat gerakan golok yang cepat dan bertenaga, Joko Wandiro maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian biasa saja. Ia mengelak dengan tenang, kakinya menyambar dari samping dan perampok itu terbanting roboh!
Si perampok kaget setengah mati. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal seperti ini. Ia bergolok. Orang muda itu bertangap kosong. Bukan itu saja, bahkan kedua tangan orang muda itu memondong tubuh sang puteri, tidak ikut bergerak, hanya menggunakan kakinya tapi dalam segebrakan saja ia roboh! Rasa kaget dan heran merubah penasaran dan marah sekali.
Kembali ia menerjang setelah meloncat bangun, kali ini terjangannya lebih ganas dari pada tadi dan kembali Joko Wandiro mengelak sambil mengangkat kaki dan untuk kedua kalinya perampok itu terbantmg roboh, lebih keras dari pada tadi. Ia tidak tahu bahwa pemuda sakti itu merobohkannya dengan meminjam tenaganya, maka makin kuat ia menyerang, makin keras pula ia terbanting roboh oleh tangannya sendiri. Sampai nanar kepalanya dan sampai kabur pandang matanya sehingga setelah terbanting roboh, ia hanya mampu bangkit duduk dan sejenak ia menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir kepusingan.
Dasar perampok ini seorang kasar dan bodoh. Ia masih belum kapok dirobohkan dua kali, bahkan makin penasaran dan marah. Setelah hilang kepusingan kepalanya, ia meloncat bangun dan sambil mengeluarkan teriakan marah, goloknya diputar-putar, kemudian sambil menubruk maju ia membacokkan goloknya ke arah sang puteri yang dipondong Joko Wandiro! Pemuda ini terkejut dan marah sekali. Tidak disangkanya bahwa lawan itu akan menggunakan siasat begini keji.
"Manusia jahat!" bentaknya, kini tubuhnya bergerak menendang susul-menyusul. Kaki kanan menendang pergelangan tangan lawan yang memegang golok, kaki kiri mendugang ke arah dada.
"Bress! Ngekkk!" Tubuh perampok itu terlempar sampai tiga meter ke belakang, goloknya mencelat entah ke mana dan kini ia bangkit duduk sambil terengah-engah dan memegangi ulu hati. Napasnya sesak, perutnya mulas dan ia tidak dapat mengeluarkan suara. Kemudian, matanya jelilatan dan tubuhnya mencelat ke atas, lari ke arah kuda, meloncat ke punggung kuda, dan membalapkan kuda seperti orang dikejar setan!
Joko Wandiro hanya tersenyum-geli melihat tingkah laku perampok itu. Ia mengira bahwa kuda itu kuda tunggangan si perampok, maka ia mendiamkannya saja. Wanita muda dalam pondongannya masih pingsan. Joko Wandiro menduga-duga. Pakaian dara ini amat indah, bukan pakaian sembarang orang. Juga wajahnya yang cantik jelita itu terpelihara, rambutnya halus mengeluarkan ganda harum, terhias emas permata.
Siapakah gadis ini? Baru saja ia dating dari timur dan sepanjang pegunungan itu tidak terdapat dusun. Juga di kanan kiri tempat itu merupakan daerah sunyi dan mati. Tak mungkin gadis ini berasal dari tempat ini, dan agaknya tidak mungkin pula gadis ini seorang dusun. Tentu seorang kota, seorang puteri bangsawan. la mengingat-ingat dan timbul dugaan bahwa tempat tinggal gadis ini tentu berada di sebelah barat.
Bayuwismo tak jauh lagi, juga Selopenangkep. Mungkinkah gadis ini tinggal di Selopenangkep? la tidak tahu lagi siapa gerangan kini yang menguasai Selopenangkep, setelah keluarga ayahnya tidak menguasai tempat itu lagi. Berpikir sampai di situ, Joko Wandiro mengambil keputusan untuk membawa gadis ini ke barat, melanjutkan perjalanan dan kalau perlu mengajaknya ke Bayuwismo atau ke Selopenangkep. Maka ia Lalu mempergunakan ilmu lari cepat, memondong dara ayu itu menuju ke barat.
Matahari telah naik tinggi, hawa mulai panas. Joko Wandiro yang memondong puteri itu, mulai merasa gerah. Ia tidak lelah, tubuhnya sudah amat kuat sehingga untuk berlari cepat sehari saja tidak nanti melelahkannya. Akan tetapi, berlari sambil memondong tubuh orang membuat gerakannya canggung. Apalagi tubuh itu mengeluarkan hawa yang hangat, ini menurut perasaannya, ditambah teriknya sinar matahari, membuat peluhnya keluar juga. Berhentilah ia sebentar di bawah sebatang pohon, lalu menyusutkan muka pada pundak bahunya di kanan kiri.
Sebenarnya, Sang Puteri Mayagaluh sudah sadar semenjak tadi! Puteri ini tadi sadar dari pingsannya dan segera tahu bahwa ia tidak lagi dibawa lari di atas kuda, melainkan dipondong dan dibawa lari orang. Ketika ia membuka mata dan memandang, ia terheran heran. Wajah di atas itu sama sekali bukan wajah perampok yang kasar, bengis, dan menyeringai menjijikkan. Tubuhnya bukan tubuh penuh bulu pada dada dan lengan. Wajah ini muda dan tampan sekali, lengannya yang kuat berkulit halus tidak berbulu.
Ketika Joko Wandiro berhenti sebentar untuk menghapus peluh di mukanya dengan pundak dan pangkal lengan bajunya, Mayagaluh sudah sadar betul. Ia mengintai muka orang dan jantungnya berdebar. Dapatlah ia menduga bahwa tadi dalam keadaan pingsan, pemuda ini telah menolong dirinya, telah mengalahkan perampok kemudian membawanya pergi.
Ke manakah kudanya? Dan siapakah pemuda ini? Melihat cara pemuda ini mendukungnya, kedua lengannya menyangga bagian punggung, leher dan bawah paha, ia tahu bahwa pemuda ini seorang yang bersusila, tidak seperti perampok tadi yang memeluknya secara kurang ajar.
Joko Wandiro yang sedang mengusap keringatnya, tiba-tiba merasa betapa dada orang yang dipondongnya berdetak-detak keras. Dalam keadaan terpondong itu, samping dada gadis itu tentu saja merapat pada dadanya dan kini dari dalam dada gadis itu timbul detakan-detakan yang seakan-akan memukuli dadanya sendiri. la melirik ke arah muka orang yang dipondongnya.
Joko Wandiro menahan senyumnya. Hemm, ternyata gadis itu sudah sadar, pikirnya. Hampir ia tertawa melihat betapa dara jelita itu berpura-pura pingsan, menutup sebelah mata kanan rapat-rapat, akan tetapi mata kiri bergerak-gerak bulu matanya, agaknya sedang mengintainya dari balik bulu-bulu mata yang panjang lentik. Hemmm, bukan main cantiknya gadis ini, pikir Joko Wandiro. Hatinya juga berdebar dan pipinya terasa panas. Timbul rasa kasihan dan juga suka. Entah bagaimana, perasaan mujijat menguasai hatinya dan membuat ia perlahan-lahan menundukkan mukanya dan hidung dan bibirnya menyentuh pipi yang halus dan putih kemerahan itu.
Hanya sebentar dan cepat-cepat Joko Wandiro menjauhkan lagi mukanya sambil memaki diri sendiri dalam hatinya. Ihh! Benar-benar dia telah gila. Setan telah menguasai hatinya. Benarkah ia seorang mata keranjang? Seorang yang gila akan wajah jelita? Kalau tidak demikian, mengapa ia suka sekali kepada gadis ini, suka mendukungnya dan bahkan ingin sekali berdekatan, ingin sekali menciumnya?
Makin berdebar jantung Joko Wandiro ketika ia merasa betapa dada gadis itu terengah-engah, betapa detak jantung gadis itu seakan-akan hendak memecahkan rongga dadanya, kemudian melihat betapa warna kemerahan pada wajah yang berkulit halus putih itu kini menjadi makin merah seperti udang dipanggang. Tiba-tiba dara itu meronta, membuka matanya yang lebar dan amat indah, mulutnya menahan isak dan ia merintih perlahan, lalu berkata,
"Lepaskan aku...!"
Joko Wandiro melepaskan dukungannya. Melihat gadis itu berdiri di depannya dengan wajah penuh kemarahan, mata itu memancarkan sinar dan kedua tangan kecil terkepal, Joko Wandiro menundukkan mukanya dan berkata perlahan,
"Maafkan aku, nona. Aku sudah berani...berani memondongmu karena kau tadi dilarikan perampok dan kau pingsan" kata Joko Wandiro gagap.
Mata gadis itu tidak sehebat mata Ayu Candra, akan tetapi harus ia akui bahwa tidak banyak ia bertemu dengan gadis yang bermata seindah ini. Karena tidak berani berterus terang, Joko Wandiro merasa seperti orang membohong dan mukanya seketika menjadi merah sekali.
"Engkau laki-laki lancang! Engkau sudah berani... hemm... berbuat kurang ajar kepadaku. Apakah kau tahu siapa aku? Aku adalah Puteri Mayagaluh, puteri Raja Jenggala!"
Bukan main kagetnya hati Joko Wandiro. Celaka, pikirnya. Ia telah melakukan dosa besar sekali. Ia telah berani mencium pipi puteri raja! Dosa yang tak dapat diampuni lagi. Biarpun gurunya berpesan agar ia membantu Kerajaan Panjalu untuk menghadapi Jenggala, namun betapa pun juga, Kerajaan Jenggala masih bersaudara dengan Kerajaan Panjalu. Raja Jenggala adalah adik kandung Raja Panjalu, masih keturunan mendiang Sang Prabu Airlangga. Dan ia telah berani mencium pipi sang puteri. Wajahnya seketika menjadi pucat, kedua kakinya lemas dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan mukanya.
"Karena hamba tidak tahu, hamba mohon paduka suka memberi ampun," katanya merendah.
Dan karena ia tertunduk itulah, ia tidak melihat betapa wajah sang puteri berseri-seri dan kemerahan, betapa sepasang mata yang jeli itu menatap wajahnya dengan tajam dan senyum simpul menghias bibir merah.
"Sudahlah, tidak mengapa. Karena kau tidak tahu, dan juga karena aku sedang pingsan sehingga aku tidak tahu akan perbuatanmu, biarlah kita jangan bicarakan hal itu pula. Betapa pun juga, engkau sudah menolongku dari tangan perampok jahat. Orang muda, siapakah namamu?"
Lega rasa hati Joko Wandiro. Terasa lapang dan kepucatan wajahnya segera terganti warna merah. Ia tahu betul bahwa sang puteri tadi tidak pingsan lagi ketika ia menciumnya, tapi kini sang puteri menyatakan bahwa sang puteri dalam keadaan pingsan ketika ia melakukan perbuatan tadi dan menghendaki agar hal itu jangan dibicarakan lagi. Memang tidak akan ia bicarakan, akan tetapi bagaimana akan dapat ia lupakan? Ia telah mencium pipi seorang puteri raja! Biarpun puteri ini puteri Kerajaan Jenggala, namun ternyata baik budi dan mudah mengampuni kesalahan orang serta menghargai pertolongan orang.
"Nama hamba Joko Wandiro, gusti puteri."
"Joko Wandiro, aku mengucap banyak terima kasih kepadamu atas pertolonganmu tadi. Engkau kawula manakah? Dan di mana tempat tinggalmu?"
Joko Wandiro tidak suka menceritakan keadaannya. Apalagi menceritakan tentang gurunya, Ki Patih Narotama karena gurunya ini amat tidak suka kepada ayah puteri ini. Di samping itu, tidak ada keinginan hatinya pula menceritakan keadaan keluarganya. Bukankah ia sekarang sudah yatim piatu? Ayahnya yang bernama Wisangjiwo sudah tewas dalam perang membela Pangeran Sepuh yang kini menjadi Raja Panjalu, yaitu dalam perang melawan bala tentara ayah puteri ini! Ibunya belum lama ini terbunuh orang pula. Dan tempat tinggalnya Dia tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.
"Hamba adalah seorang yang hidup sebatang kara, tidak mengabdi kepada siapa pun juga dan tiada tempat tinggal tertentu seperti sehelai daun kering terbawa angin tanpa tujuan."
Berkerut kening sang puteri, dan pandang matanya membayangkan iba hati. "Ah...! Betapa mungkin seorang seperti engkau tidak mempunyai pekerjaan!"
Hampir saja terloncat kata-kata "gagah dan tampan" dari mulut puteri ini. Segera ia menyambung, "Joko Wandiro, maukah engkau menolongku? Kelak tentu ramanda prabu akan memberi ganjaran yang setimpal dengan jasamu ini."
Lucu, pikir Joko Wandiro. Sudah jelas tadi tanpa diminta ia sudah menolong puteri ini, mengapa sekarang masih ditanya lagi apakah suka menolong. Adapun tentang ganjaran...ah, kembali mukanya menjadi merah sekali karena harus la akui bahwa ia tadi telah menerima ganjaran yang lebih menyenangkan dari pada ganjaran apa pun juga!
"Tentu saja hamba akan melakukan segala perintah paduka tanpa mengingat akan ganjaran apa pun juga."
"Engkau baik sekali, Joko Wandiro. Aku minta agar kau suka mengantar aku pulang ke Jenggala."
"Kalau tidak salah, Kerajaan Jenggala amatlah jauh dari sini, gusti puteri. Maka amatlah mengherankan bagaimana paduka bisa sampai di tempat sejauh ini, seorang diri pula dan terjatuh ke tangan penjahat?"
"Kau tidak tahu, Joko Wandiro. Aku tadinya tidak melakukan perjalanan seorang diri. Aku pergi mengikuti kakakku, Pangeran Panjirawit, dan dikawal oleh panglima kepala pengawal istana sendiri. Akan tetapi ketika kami berlomba, aku kehilangan jalan dan tersesat, kemudian bertemu dengan lima orang perampok. Yang empat orang dapat kurobohkan, akan tetapi kepala perampok itu dapat menawanku dan membawaku lari. Untung ada engkau yang menolong, hanya sayang kudaku tidak dapat kau rampas kembali."
"Ahhh! Kalau hamba tahu bahwa dia itu tadi kepala perampok, tentu hamba tidak akan semudah itu melepaskannya Dan kuda itu hamba sangka miliknya. Benar keparat!"
Joko Wandiro mendongkol sekali, dan berbareng juga kagum terhadap puteri ini. Seorang puteri bangsawan, puteri raja, dapat merobohkan empat orang perampok Benar-benar hebat!
"Sudahlah, engkau sudah membebaskan aku dari tangannya, itu sudah merupakan jasa yang amat besar. Joko Wandiro, mari kau antar aku pulang ke Jenggala."
"Baiklah, gusti. Hanya sayang, kuda itu dirampas perampok. Kalau tidak, tentu paduka dapat menunggang kuda dan perjalanan dapat dilakukan lebih cepat lagi."
"Tidak mengapa. Kita jalan kaki. Jangan kau khawatir, biarpun seorang puteri raja namun aku bukan seorang lemah. Aku dapat berjalan cepat."
"Ssttt...! Ada orang datang! Harap paduka bersembunyi..." bisik Joko Wandiro yang merasa khawatir kalau-kalau yang datang adalah perampok tadi bersama teman-temannya. Jika terjadi pertempuran, ia pikir lebih baik sang puteri bersembunyi saja sehingga tidak menambah bebannya harus melindungi diri sang puteri. Akan tetapi Mayagaluh mengerutkan keningnya dan memasang telinga mendengarkan. Pendengaran telinganya tidak setajam Joko Wandiro dan setelah agak lama barulah ia mendengar derap kaki kuda dari jauh. Segera wajahnya berubah girang.
"Ah, itulah kakakku dan kepala pengawal!" teriaknya sambil meloncat dan menghadap di tengah jalan.
Joko Wandiro juga girang mendengar ini. Kalau puteri ini bertemu dengan kakaknya dan pengawal, ia akan terbebas dari pada tugas mengantar ke Jenggala. Sebetulnya, ia pun segan untuk pergi ke Jenggala, pertama karena ia masih merasa cemas akan hilangnya Ayu Candra dan sedang mencari dara itu, ke dua ia ingin mengunjungi ayah angkatnya di Bayuwismo, ke tiga ia pun merasa tidak enak harus membantu puteri Raja Jenggala yang dianggap musuh oleh gurunya, Ki Patih Narotama.
Setelah derap kaki kuda terdengar makin jelas, Puteri Mayagaluh berseru heran, "Mengapa begitu banyak kuda? Dengan siapakah rakanda pangeran datang?"
Kembali Joko Wandiro merasa tidak enak hatinya. Akan tetapi sekarang sudah tidak ada waktu lagi bagi sang puteri untuk bersembunyi. Sebelum ia minta kepada sang puteri supaya bersembunyi, para penunggang kuda itu sudah muncul dari sebuah tikungan jalan. Mereka itu ternyata adalah tujuh orang pria menunggang kuda-kuda besar. Lega hati Joko Wandiro ketika melihat tujuh orang itu, karena pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah ponggawa-ponggawa berkedudukan tinggi dan sama sekali bukanlah perampok perampok. Tujuh orang itupun merasa heran melihat dua orang muda itu berada di dalam hutan liar di pegunungan sunyi. Mereka menahan kuda mereka yang tubuhnya sudah basah oleh keringat.
"Eh, bukankah andika Joko Wandiro?" Seorang di antara mereka menegur ketika mengenal pemuda itu.
"Betul, anda Joko Wandiro!" seru orang ke dua.
Joko Wandiro memandang dan kini ia pun teringat bahwa dua orang ini adalah dua orang di antara panglima Kerajaan Panjalu, anak buah Ki Patih Suroyudo dan dahulu ikut menyaksikan ketika la menghadapi pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Lima orang yang lain agaknya juga Panglima-panglima Panjalu karena pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka pun perajurit-perajurit tingkat tinggi dan karena usia mereka sudah tua dari pada kedua orang itu, tentu mereka memiliki kepandaian yang lebih tinggi pula.
"Benar, hamba adalah Joko Wandiro. Paduka sekalian ini datang dari mana dan hendak ke mana?"
Akan tetapi sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru sambil memandang kepada sang puteri, "Dan paduka ini bukankah Gusti Puteri Mayagaluh dari Jenggala?"
Yang Iain-Iain kaget dan kini semua orang memandang. Biarpun mereka adalah Panglima-panglima Panjalu yang bermusuhan dengan Jenggala, akan tetapi sang raja di Jenggala adalah putera mendiang Sang Prabu Airlangga pula sehingga puteri ini termasuk anak kemenakan Raja Panjalu, maka tentu saja mereka menghadapinya dengan sikap hormat pula. Dengan sikap agung dan gagah, menyembunyikan kekhawatiran hatinya, Puteri Mayagaluh menjawab,
"Benar, aku adalah Mayagaluh. Paman sekalian hendak ke mana?"
Seorang di antara mereka yang tertua dan yang kumisnya panjang ujungnya menjulang ke atas, segera meloncat turun dari kudanya, diikuti enam orang teman-temannya. Dengan sikap hormat si kumis panjang ini menghampiri sang puteri, kemudian berkata, "Kalau begitu, hamba persilakan paduka menunggang kuda ini untuk hamba antar menghadap paman paduka, sang prabu di Panjalu."
Puteri itu nampak terkejut. Sebagai seorang puteri raja, tentu saja ia maklum apa artinya kata-kata yang halus itu. Di balik sikap halus dan ucapan mempersilakan, ia telah dijadikan seorang tawanan! Akan tetapi ia tidak takut. Ia maklum bahwa biarpun ayahnya bermusuhan dengan pamannya, namun permusuhan itu hanya karena urusan kerajaan, sehingga dia sendiri tentu tidak akan diganggu oleh pamannya. la tidak takut maupun khawatir, hanya ia menjadi tidak senang sekali.
"Paman, aku mau pulang ke Jenggala! Kalau aku berniat mengunjungi paman prabu di Panjalu, tidak perlu kalian minta! Pergilah dan jangan menggangguku."
Wajah perwira berkumis panjang itu menjadi merah. la tak dapat menyangkal kebenaran jawaban puteri itu. Akan tetapi, setiap orang ingin menonjolkan pahala kepada yang dipertuan. Secara kebetulan ia bertemu dengan seorang Puteri Jenggala. Kalau ia dapat menawannya ke Panjalu dan menyerahkan puteri itu sebagai tawanan, tak dapat tidak sang prabu tentu akan merasa senang. Biarpun sang puteri takkan diganggu, akan tetapi hal ini sedikitnya akan menyuramkan Jenggala dan siapa tahu puteri itu akan dapat dijadikan semacam cara untuk menundukkan musuh.
"Harap saja paduka tidak menyulitkan hamba. Paduka adalah seorang Puteri Jenggala, karena itu termasuk musuh hamba sekalian. Hanya karena mengingat bahwa paduka adalah anak kemenakan gusti prabu, maka hamba memperlakukan paduka sebagai seorang tamu agung, bukan sebagai seorang tawanan. Gusti puteri, silakan menunggang kuda ini."
Menyaksikan betapa sang puteri dipaksa secara halus, Joko Wandiro lalu melangkah maju dan berkata, "Paman, yang berselisih adalah Raja Panjalu dan Raja Jenggala, yang berperang adalah perajurit-prajurit Panjalu melawan perajurit-perajurit Jenggala. Kurasa dalam hal itu sang puteri tidak ikut-ikut. Jelas bahwa sang puteri tidak suka singgah di Panjalu, mengapa kalian hendak memaksa? Apakah perbuatan ini tidak memalukan kalian sebagai perwira-perwira yang perkasa? Menghina wanita bukanlah perbuatan jantan!"
Seorang perwira yang paling muda menghardik, "Joko Wandiro! Begini mudahkah engkau berkhianat? Belum lama ini engkau memohon kepada gusti prabu untuk menghambakan diri kepada Panjalu, dan sekarang engkau sudah ingin melindungi puteri musuh?"
"Kalau kalian berperang melawan perajurit-perajurit Jenggala, aku tidak akan membantu Jenggala, akan tetapi saat ini kalian tidak sedang perang, melainkan sedang melakukan perbuatan yang tidak benar. Kalian hendak memaksa, hal itu berarti hendak menculik sang puteri. Hal ini mana mungkin aku mendiamkan saja? Pendeknya, kalau sang puteri tidak dengan suka rela sendiri ikut kalian menghadap pamannya, aku akan membelanya!"
"Keparat, kau memang manusia sombong!" bentak perwira muda itu yang segera menerjang maju dengan pukulan keras ke arah dada Joko Wandiro. Pemuda ini tenang saja, tidak menangkis, juga tidak mengelak.
"Blukkk!"
Kepalan yang besar dan keras itu dengan tenaga dahsyat menghantam dada Joko Wandiro. Akan tetapi akibatnya tubuh perwira Panjalu itu sendiri yang terlempar dan terjengkang ke belakang! Melihat datangnya pukulan tadi, Joko Wandiro maklum bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga kasar yang kuat, maka ia lalu mengerahkan hawa saktinya, menggunakan tenaga menendang pada dadanya sehingga akibatnya lawan itu terjengkang. Bukan main marahnya perwira ini. la meloncat bangun tanpa mempedulikan tangannya yang sakit dan membengkak. Ia telah dibikin malu di depan rekan-rekannya. Seorang perwira Panjalu adalah seorang perajurit pilihan yang sudah lulus ujian ketangkasan, bagaimana kini menghantam dada seorang pemuda malah roboh sendiri? Ia menerjang lagi sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau.
Melihat kenekadan orang ini Joko Wandiro mendongkol. Kini kepalan lawan di arahkan ke perutnya. Sekali lagi ia tidak menangkis rnaupun mengelak, melainkan diam-diam mengerahkan hawa sakti, menggunakan tenaga menempel dan menekan.
"Krakkk!" Si berangasan menjerit dan tubuhnya terlempar sampai tiga meter ke belakang, di mana ia terbanting jatuh dan menggereng kesakitan sambil memegangi lengan yang sudah patah tulangnya.
"Keparat engkau, Joko Wandiro Merobohkan seorang perwira kerajaan berarti memberontak!" bentak perwira ke dua yang bertubuh tinggi besar. Diikuti empat orang temannya yang semua menghunus keris, mereka maju dan menerjang Joko Wandiro.
Pemuda ini merasa menyesal. Teringat akan pesan gurunya, ia tidak suka bermusuhan dengan orang-orang Panjalu. Bahkan ketika ia dipandang rendah di istana dan tidak ditenma penghambaan dirinya, ia tidak merasa sakit hati. Akan tetapi, kali ini ia menghadapi perwira-perwira Panjalu bukan sekali-kali membela Jenggaa, dan di dalam hatinyapun bukan sekali-kali ia hendak membela seorang puteri Jenggala, melainkan ia hendak membela seorang wanita yang terancam kebebasannya oleh sekelompok orang-orang yang hendak menawannya.
"Aku tidak memberontak atau melawan Panjalu, aku menentang dan melawan kalian orang-orang yang hendak menghina wanita!" jawabnya dan kini ia tidak berani menerima sambaran keris para perwira itu. Bukan saja ia khawatir bajunya akan rusak oleh tikaman keris-keris itu, juga ia tahu bahwa perwira-perwira Panjalu bukanlah orang-orang sembarangan dan keris mereka pun tentu saja merupakan senjata-senjata ampuh yang tak boleh dipandang rendah.
Memang sesungguhnya demikianlah. Gerakan lima orang itu tangkas dan cepat sekali dan biarpun mereka berlima bergerak berbareng mengurung Joko Wandiro, namun gerakan mereka tidak kacau dan dapat saling membantu. Lima orang perwira ini adalah perwira-perwira setengah tua yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak sembrono seperti perwira berangasan tadi. Mereka tahu bahwa pemuda ini pernah mengalahkan pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang membuktikan bahwa pemuda Ini seorang sakti mandraguna. Oleh karena itulah kini mereka mengeroyok dengan gerakan hati-hati. Kalau saja mereka tidak sudah tahu bahwa Joko Wandiro adalah seorang yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, tentu saja sebagai perwira-perwira Panjalu mereka akan merasa malu untuk mengeroyok.
Keris pertama yang menyerangnya dengan tusukan kilat ke arah pusar adalah keris perwira tinggi besar. Joko Wandiro menggeser kaki miringkan tubuh. Pada detik berikutnya, dua batang keris perwira Iain menyambarnya dari kanan kiri, mengarah leher dan lambung. Ia merendahkan tubuh mengelak dari tusukan keris di leher sambil memutar tubuh dan mencengkeram lengan yang memegang keris menusuk Iambung sehingga si pemegang keris cepat-cepat menarik kembali kerisnya.....