"Kasihan sekali engkau, nini!"
Suara Ki Jatoko menggetarkan keharuan, karena sesungguhnya Ki Jatoko memang menaruh rasa iba yang amat besar terhadap gadis yang diam-diam dicintanya itu. Ki Jatoko selama hidupnya belum pernah mencinta orang, mencinta dalam arti kata yang semurninya. Biasanya ia mencinta wanita berdasarkan nafsu berahi semata. Kini entah bagaimana, ia betul-betul jatuh cinta dan melihat gadis itu berduka, ia merasa kasihan dan juga ikut menderita. Namun di samping perasaan ini, kelicikan juga membuat ia melihat kesempatan baik sekali untuk melaksanakan maksud dan niat hatinya.
Orang yang sedang berduka dan tertimpa malapetaka, apalagi kalau ia wanita, paling tidak kuat mendengar orang yang menyatakan iba hatinya. Mendengar ucapan Ki Jatoko yang menggetar penuh keharuan, makin menggungguk tangis Ayu Candra. Dara ini menjatuhkan diri duduk di atas bangku depan pondok, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis, memanggil-manggil ayah ibunya.
"Ayu Candra, aku mengerti betapa sakit hatimu dan betapa engkau pun bingung karena tidak tahu siapa pembunuh ayah bundamu. Akan tetapi jangan khawatir, bocah ayu, pamanmu ini jelek-jelek tahu siapa musuh besarmu dan percayalah, aku bersumpah kepada Dewa Yang Maha Agung untuk membantumu mencari musuh-musuhmu dan membalaskan sakit hatimu."
Seketika Ayu Candra menghentikan tangisnya. ia menurunkan tangan dan memandang laki-Iaki buntung itu dengan mata terbelalak kaget. "Engkau...engkau tahu betul siapa pembunuh ayah bundaku, paman...?"
Ki Jatoko mengangguk-angguk dan memandang kedua kakinya yang buntung, lalu menarik napas panjang. "Tidak hanya tahu, bahkan musuhmu itu juga musuh besarku, Ayu Candra. Ketika ayahmu dalam pesannya mengatakan bahwa ibumu adalah ibu Joko Wandiro, maka jelaslah semua bagiku. Bukankah ibumu itu bernama Listyokumolo?"
Lenyap seketika keraguan hati Ayu Candra. Ia ingat betul bahwa selama ini tidak pernah ia menyebutkan nama ibu kandungnya. Dari mana si buntung ini mengetahui nama ibunya kalau tidak memang mengetahui hal ini sejak dahulu? Akan tetapi kalau tahu nama ibunya mengapa tidak mengenal Joko Wandiro? Betapa pun juga, peringatan Joko Wandiro kepadanya agar ia berhati-hati terhadap orang buntung ini membuat Ayu Candra berhati-hati. Ia cukup cerdik, maka untuk meyakinkan hatinya, ia bertanya,
"Paman Jatoko, kalau engkau mengenal ibuku, tentu engkau mengenal pula puteranya yang bernama Joko Wandiro."
Ki Jatoko menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak pernah melihat puteranya karena puteranya itu hilang ketika masih kecil, diculik musuhnya, Ibu kandungmu, kalau benar dia itu ibu Joko Wandiro, tentu bernama Listyokumolo. Dahulu ibumu itu adalah Isteri Raden Wisangjiwo, putera kadipaten di Selopenangkep. Nah, kemudian muncullah musuh besar keluarganya, menculik ibumu dan puteranya yang baru berusia setahun bernama Joko Wandiro. Agaknya kemudian ibumu menikah dengan ayahmu dan mempunyai anak engkau ini. Mendengar ucapan mendiang ayahmu, tidak salah lagi, ibu dan ayahmu tentu pergi mencari Joko Wandiro itu dan bertemu dengan penculik yang menjadi musuh besarnya, kemudian bertanding. Memang musuh besarnya itu amat sakti mandraguna sehingga ibumu tewas dan ayahmu terluka hebat. Tidak bisa salah lagi. Aku sendiri mengalaminya. Kedua kakiku ini buntung karena mereka"
"Mereka...?"
Ki Jatoko mengangguk-angguk. "Ya, selain dia sendiri sakti mandraguna, si keparat itu masih mempunyai dua orang isteri yang juga tinggi ilmunya. Karena itu tidaklah mudah bagimu untuk membalas dendam. Akan tetapi kalau engkau percaya kepadaku, aku dapat membawamu. Asal saja engkau tidak bicara kepada siapa pun juga, jangan pula kepada orang muda temanmu itu."
Kini lenyaplah semua syak wasangka di hati Ayu Candra, namun ia masih bertanya lagi, "Paman Jatoko, bagaimana paman tahu akan hal itu semua?"
"Ayu Candra, engkau masih tidak percaya kepadaku? Aku adalah seorang penduduk Kadipaten Selopenangkep, tentu saja peristiwa yang menimpa keluarga Selopenangkep itu kuketahui jelas. Sekarang, hendak kutanya kepadamu. Apakah kau tidak ingin membalaskan kematian ayah bundamu?"
Ayu Candra bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya. "Tentu saja!" jawabnya penuh kemarahan dan dendam.
"Bagus! Kalau begitu, hayo kita berangkat sekarang juga."
"Beri tahu saya, paman. Siapa musuhku Itu dan di mana dia?"
Ki Jatoko menggeleng kepalanya. "Tidak bisa. Mereka itu berpindah-pindah, hanya aku yang akan dapat mencari mereka. Aku pun menaruh dendam, akan tetapi aku sudah cacat, sudah buntung. Aku mengharapkan engkau akan dapat membalas mereka, dan aku harus menyaksikannya dan membantumu. Marilah!"
Tanpa disadarinya, Ayu Candra menoleh ke arah telaga. Hatinya berdebar keras. Girang bahwa ia kini mendapat jalan untuk membalaskan sakit hati ayah bundanya. Akan tetapi teringat kepada Joko Wandiro, ia bersangsi.
"Aku akan memberitahu lebih dahulu kepadanya"
"Apa? Kepada pemuda itu? Kau keliru, rahasia pribadi yang begini penting tidak boleh sekali-kali diberitahukan orang lain."
"Paman Jatoko, hal yang ajaib telah terjadi. Engkau tidak tahu. Kau kira siapakah pemuda itu? Dialah Joko Wandiro...kakak kandungku Dialah putera ibuku."
Tidak dapat ditahan lagi, ucapan yang menusuk perasaannya ini kembali mendorong keluar air matanya. Ki Jatoko benar-benar kaget dan tanpa disadarinya lagi ia lupa bahwa ia sedang bersandiwara, pura-pura menjadi orang tapadaksa yang lemah. Tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali lalu melayang turun bagaikan seekor burung garuda, kedua kaki buntungnya hinggap kembali di atas tanah tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya ringan dan gerakannya tadi cepat. Karena ia menggunakan aji meringankan tubuh Bayu Sakti, tentu saja hebat sekali sehingga Ayu Candra yang tidak menduganya semula, memandang dengan bengong.
"Wah, kiranya engkau berkepandaian hebat, paman Jatoko!" serunya terheran-heran.
Ki Jatoko menyesal mengapa ia tidak dapat menguasai dirinya sehingga membuka rahasianya sendiri. Ia menghela napas. Sungguh mengagetkan sekali kenyataan bahwa pemuda yang gerak-geriknya tangkas itu adalah Joko Wandiro, putera Wisangjiwo yang dahulu lenyap diculik Pujo.
"Aku mengerti sedikit ilmu, karenanya aku akan membantumu dalam menghadapi musuh kita, Ayu Candra. Akan tetapi, setelah sekarang aku tahu bahwa pemuda itu adalah Joko Wandiro, lebih-lebih lagi kau tidak boleh bicara tentang membalas dendam kepada musuh kita itu kepadanya!"
"Eh, mengapa, paman? Bukankah musuhku berarti musuhnya pula? Pembunuh ibuku berarti pembunuh ibunya pula?"
"Engkau tidak tahu, Ayu Candra. Seperti sudah kuceritakan tadi, ketika ibumu diculik oleh musuh besar keluarganya, Joko Wandiro baru berusia setahun. Kemudian ibumu dibebaskan oleh musuhnya, akan tetapi Joko Wandiro tidak dibebaskan bahkan diambil sebagai murid! Nah, pemuda itu semenjak kecil dipelihara dan dididik oleh musuh besar keluarganya. Sudah tentu hatinya lebih berat kepada gurunya dari pada kepada ibunya yang semenjak ia berusia satu tahun tidak pernah dilihatnya. Kalau sekarang kau mengatakan bahwa kau dan aku hendak membalas dendam kepada gurunya, kalau dia tidak melawan kita, tentu ia akan memberi tahu kepada gurunya supaya musuh besar kita itu menyembunyikan diri!"
Berkerut kening Ayu Candra. Teringat ia betapa tadi Joko Wandiro juga mengeluarkan kata-kata mencegah ia membalas dendam kepada musuh! Tentu saja Joko Wandiro sudah dapat menduga bahwa yang membunuh ibunya adalah gurunya sendiri, guru yang semenjak ia berusia setahun telah memelihara dan mendidiknya. Kekecewaan hatinya karena laki-laki yang dicintanya itu ternyata saudara sekandung, kini berubah menjadi kemarahan.
"Hemm, dia murid musuh besarku...?" Ia bersungut-sungut.
"Betul, nini. Kalau saja dia itu bukan putera ibumu sendiri, tentu sekarang juga kuajak engkau menyerangnya!"
Ayu Candra termenung, kemudian ia mengambil keputusan tetap, "Paman Jatoko, aku ikut bersamamu!"
Demikianlah, tak lama kemudian sambil membawa buntalan pakaiannya, Ayu Candra pergi bersama Ki Jatoko yang kini tidak lagi menyembunyikan kepandaiannya sehingga Ayu Candra makin terkejut dan kagum karena laki-laki itu ternyata dapat berlari lebih cepat dari padanya…..!
********************
Di antara para pangeran dan puteri Kerajaan Jenggala, yang paling suka dan akrab dengan Endang Patibroto hanyalah kakak beradik, putera dan puteri sri baginda dari selir yang ke lima. Pangeran Panjirawit dan adiknya, Puteri Mayagaluh segera menjadi sahabat baik Endang Patibroto setelah dara perkasa ini menjadi kepala pengawal istana Jenggala.
Yang menarik kedua orang muda bangsawan itu adalah karena Endang Patibroto seorang yang sakti mandraguna. Di antara putera dan puteri raja, hanya mereka berdua inilah yang suka akan olah keperwiraan dan ketangkasan. Ibu mereka yang menjadi selir ke lima sri baginda adalah seorang bekas perajurit wanita, puteri seorang senopati Kahuripan, maka tidak mengherankan apabila puteri tunggalnya suka pula akan ilmu keperajuritan.
Kesukaan akan ilmu ini agaknya menurun pula kepada Pangeran Panjirawit dan adiknya sehingga semenjak kecil dua orang putera dan puteri ini suka mempelajari ilmu silat. Di samping kesukaan akan aji kedigdayaan, juga kakak beradik bangsawan ini memiliki watak yang periang, ramah dan tidak sombong seperti putera-putera raja lainnya. Agaknya hal ini yang membuat Endang Patibroto suka pula kepadanya dan ia tidak menolak ketika mereka menariknya sebagai sahabat dan sering pula ia memberi petunjuk kepada mereka tentang ilmu ketangkasan.
Semenjak dua orang muda bangsawan itu menjadi sahabat baik Endang Patibroto mereka bertiga seringkali keluar dari istana, menunggang kuda dan pergi ke hutan berburu binatang hutan. Akan tetapi selalu Endang Patibroto yang menjadi pimpinan dan kakak beradik bangsawan itu hanya menurut saja ke mana Endang Patibroto pergi.
Mereka tidak pula menolak ketika pada suatu hari Endang Patibroto mengajak mereka pergi merantau jauh ke barat sampai ke Telaga Sarangan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dalam perjalanan ini, ketika lewat dekat Sarangan, kuda Endang Patibroto terkejut oleh suara gerengan harimau yang bertanding melawan Joko Wandiro. Endang Patibroto marah dan turun dari kudanya, terus berkelebat lenyap memasuki hutan sampai ke pinggir telaga. Ia membunuh harimau dan melukai Ayu Candra yang dianggapnya kurang ajar kepadanya.
Ketika ia bertemu pandang dengan Joko Wandiro, ia merasa seperti kenal pemuda Itu, akan tetapi ia lupa lagi dan ia kagum melihat pemuda itu berhasil menghindarkan diri dari serangan anak panahnya. Padahal biasanya anak panahnya itu seratus kali lepas tiada satupun luput. Namun ia sudah puas melihat dara cantik itu terkena anak panahnya, karena yang kurang ajar kepadanya hanya dara cantik itu saja, maka ia lalu pergi melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Panjirawit dan Puteri Mayagaluh.
Tiga orang muda ini usianya hampir sebaya. Pangeran Panjirawit berusia dua puluh satu tahun, Endang Patibroto berusia delapan belas tahun, dan Puteri Mayagaluh tujuh belas tahun. Mendengar mereka bercakap-cakap dan bersenda gurau secara bebas sungguh sukar diduga bahwa yang dua adalah putera Raja Jenggala sedangkan yang seorang, wanita lagi, adalah seorang hamba sungguhpun pangkatnya cukup tinggi, yaitu kepala pengawal dalam istana Jenggala.
Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan, namun harus diakui bahwa di antara mereka bertiga, Endang Patibroto yang paling tangkas dan pandai menunggang kuda. Hal ini adalah berkat kesaktiannya yang jauh berada di atas tingkat putera-puteri raja itu. Tentu saja kalau bicara tentang latihan, Endang Patibroto kalah terlatih.
Putera dan puteri itu sejak kecil sudah biasa menunggang kuda yang besar, sedangkan Endang Patibroto sendiri baru saja, belum genap setahun, melatih ilmu menunggang kuda. Akan tetapi, karena hawa sakti di tubuhnya yang luar biasa, sebentar saja ia menguasai ilmu ini dan malah lebih mahir dari pada yang sudah berlatih puluhan tahun. Setiap gerak kedua kakinya, setiap hentakan kendali, demikian bertenaga dan antep. Hal ini terasa oleh kuda yang ditungganginya sehingga kuda itu menjadi penurut sekali.
Tujuan perjalanan Endang Patibroto kali ini adalah Bayuwismo di Sungapan! Sudah bertahun-tahun ia rindu kepada ibunya. Ketika ia berada di Pulau Iblis bersama gurunya, Dibyo Marnangkoro ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencari ibunya. Bahkan ia tak pernah menyebut-nyebut tentang ibunya di depan gurunya. Sekarang, setelah ia hidup bebas bahkan menduduki pangkat tinggi di Jenggala, ia banyak menganggur dan teringatlan ia kepada ibunya.
Kesempatan berburu binatang dengan dua orang muda bangsawan itu ia pergunakan untuk terus pergi ke barat, mencari ibunya. Ibunya pernah mengatakan dahulu bahwa kampung halaman ibunya adalah Bayuwismo di Sungapan, di pantai Laut Selatan. Makin dekat dengan Bayuwismo, makin gembira hati Endang Patibroto. Ketika melewati Pegunungan Seribu dan mendengar keterangan dari seorang penduduk bahwa Bayuwismo tidak jauh lagi, ia lalu berkata kepada kedua orang sahabatnya,
"Gusti pangeran dan gusti puteri, tempat tinggal ibuku tidak jauh lagi. Jalan ini terus ke selatan sampai di pantai laut, di sanalah tempat tinggal ibuku. Mari kita berlomba!" Tanpa menanti jawaban, Endang Patibroto membalapkan kudanya menuju ke selatan.
"Jangan tergesa-gesa..." Pangeran Panjirawit menegur, akan tetapi melihat Endang Patibroto tidak mempedulikannya, ia menoleh kepada adiknya. "Mari kita kejar dia!"
Tiga ekor kuda itu membalaplah. Mereka melalui jalan-jalan yang cukup sukar karena Pegunungan Seribu belum juga habis. Selain jalan-jalan sukar juga mereka melalui hutan-hutan kecil yang cukup lebat. Makin lama Endang Patibroto makin jauh meninggalkan dua orang sahabatnya. Pangeran Panjirawit yang sudah berbulan-bulan jatuh hati kepada Endang Patibroto, tidak mau tertinggal jauh, lalu membalapkan kudanya mengejar. Puteri Mayagaluh tentu saja masih kalah oleh kakaknya.
Betapa pun ia membedal kudanya, la masih tertinggal dan akhirnya bayangan kakaknyapun lenyap dan derap kaki kuda hanya terdengar jauh di depan. Namun, karena puteri itu bukan seorang lemah, bukan pula penakut dan memiliki jiwa satria, dia menggigit bibir, membedal kudanya, menjepit perut kuda dengan kedua betisnya yang halus dan putih, terus berusaha mengejar.
Pangeran Panjirawit tetap tak bisa menyusul Endang Patibroto dan akhirnya ia teringat kepada adiknya. la menahan kudanya dan melihat adiknya membalap dengan cepat sekali. Ia tersenyum, membiarkan adiknya lewat kemudian ia yang mengejar dari belakang. Biarpun ia menang mahir dalam hal menunggang kuda, namun ia harus mengakui bahwa kuda yang ditunggangi adiknya itu lebih baik dari pada kudanya sendiri. Tidak lama kemudian, kuda tunggangan Pangeran Panjirawit terhuyung-huyung. Pangeran itu terkejut lalu menahan kudanya, dan membiarkan kudanya membereskan napasnya yang sudah hampir putus itu. Ketika napas kudanya mereda dan ia mengejar lagi, ia sudah tidak melihat bayangan adiknya.
Ternyata Bayuwismo yang dikatakan oleh penduduk gunung disebut dekat itu sama sekali tidak dekat. Setelah naik turun gunung dan melalui hutan-hutan, belum juga Pangeran Panjirawit melihat pantai. Mulailah hatinya menjadi gelisah. Ia mengejar terus dan seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika ia berhasil tiba di Bayuwismo setelah berputaran mencari adiknya dan tersesat ke sana-sini, ia tetap tidak bertemu dengan Puteri Mayagaluh. Adiknya itu telah lenyap tidak meninggalkan jejak!
Ke manakah perginya Puteri Mayagaluh? Ia memang tersesat seperti juga kakaknya dan lebih dari pada itu, ia tertimpa bencana! Sebagai seorang puteri, biarpun ia seringkali pergi berburu, akan tetapi biasanya ia berteman dan hutan yang didatanginya adalah hutan yang sudah dikenalnya. Kini untuk pertama kalinya ia berkuda seorang diri melalui pegunungan yang asing, ditambah banyak hutan-hutan liar sehingga tanpa disadarinya, ia bukannya membalapkan kuda menuju ke selatan lagi, melainkan ke arah barat!
Karena makin lama hutan itu makin lebat dan ia masih juga belum mampu menyusul Endang Patibroto, setelah agak lama timbul kekhawatiran hatinya. Ia memperlambat jalannya kuda untuk menanti kakaknya. Akan tetapi alangkah cemas hatinya ketika ditunggu-tunggu, kakaknya belum juga muncul, bahkan derap kaki kuda kakaknya juga tidak terdengar sama sekali!
Puteri ini memang berhati tabah, akan tetapi setelah malam tiba, hatinya penuh rasa takut juga. Untung baginya, semenjak ia seringkali berburu binatang bersama Endang Patibroto, ia memperoleh banyak pengalaman sehingga ia memberanikan diri naik ke pohon untuk melewatkan malam itu, sedangkan kudanya ia cancang di bawah. Pada keesokan harinya, ia melanjutkan usaha mencari Endang Patibroto atau rakandanya, akan tetapi makin lama ia tersesat makin jauh. Puteri raja ini berkeliaran seorang diri di dalam hutan. Dapat dibayangkan betapa bingung dan gelisah hatinya setelah berhari-hari ia tidak dapat bertemu dengan dua orang yang dicari-carinya itu, bahkan tidak pernah bertemu dengan seorang manusia pun.
Daerah Pegunungan Kidul adalah daerah pegunungan batu kapur yang tidak subur dan tandus sehingga orang-orang tidak suka tinggal di daerah ini. Itulah scbabnya mengapa Puteri Mayagaluh tak pernah melihat pedusunan. Ia menunggang kudanya, kadang-kadang menuntunnya, berkeliaran, tak tahu bahwa beberapa kali ia kembali ke tempat yang itu-itu juga karena tidak mengenal jalan.
Dalam waktu beberapa hari saja, wajah puteri itu menjadi pucat, tubuhnya kurus dan rambutnya kusut. la hanya makan kalau terlalu lapar saja, makan seadanya sekedar menyambung hidup. Masih untung baginya, banyak pohon kelapa di daerah ini, dan ada pula beberapa ekor binatang seperti kelinci dan kijang yang ia robohkan dengan anak panah dan ia panggang dagingnya.
Setelah kurang lebih sepuluh hari ia berkeliaran di dalam hutan-hutan di daerah Pegunungan Kidul ini, akhirnya Puteri Mayagaluh mengambil keputusan untuk pulang sendiri ke Jenggala, meninggalkan Endang Patibroto dan Pangeran Panjirawit yang tak diketahuinya berada dimana itu. la hanya tahu bahwa Jenggala berada jauh di sebelah timur, karena ketika melakukan perjalanan dari kerajaan, mereka bertiga terus pergi ke barat.
Karena inilah, maka setelah bermalam lagi dalam hutan, pada keesokan harinya sang puteri menjalankan kudanya menuju ke arah matahari terbit, yaitu ke timur. Kalau aku terus menuju ke timur, akhirnya tentu sampai ke Jenggala, pikirnya. Di tengah jalan ia dapat bertanya kepada orang yang dijumpainya.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa Pegunungan Kidul merupakan sebaris pegunungan yang tiada putusnya, pegunungan yang seakan-akan merupakan tanggul yang membendung laut Selatan di sepanjang pantai selatan. Pegunungan Kidul ini terus berbaris sepanjang pantai selatan sampai jauh di sebelah timur, bahkan sambung-menyambung sampai di pegunungan sebelah selatan Kerajaan Jenggala sendiri!
Karena sang puteri mengambil jalan langsung ke timur dari pegunungan, tentu saja la tidak pernah terbebas dari daerah pegunungan sehingga berhari-hari la terus menerus naik turun gunung kecil, melakukan perjalanan yang amat sukar dan lambat. Selama tiga hari ia melakukan perjalanan dan gunung-gunung itu belum juga habis, dusun belum juga ditemukan! Pada hari ke empatnya, ketika pagi pagi ia sudah menuntun kudanya pada jalan sempit yang amat sukar, tiba-tiba terdengar bentakan orang.
"Orang yang lewat, tinggalkan kuda dan pakaian!"
Dari balik semak-semak belukar meloncat keluar lima orang laki-laki tinggi besar yang berdiri menghadang di depan. Mayagaluh kaget sekali sehingga mukanya berubah pucat akan tetapi kelima orang itu lebih kaget dan heran ketika sekarang melihat penuntun kuda yang mereka cegat itu kiranya seorang dara muda yang amat cantik jelita dan berpakaian serba indah! Tentu saja perampok-perampok ini menjadi girang sekali. Kuda itu amat bagus dan tentu mahal harganya. Pakaian wanita itupun amat mewah dan halus, apalagi perhiasan perhiasan emas permata itu. Disamping ini, wanita itu sendiri amat cantik menarik, seperti dewi kahyangan.
Puteri Mayagaluh memandang dengan mata terbelalak. Lima orang itu bertubuh tinggi besar dan berwajah galak, terutama sekali orang yang paling muda di antara mereka yang pakaiannya agak berbeda dan agaknya menjadi kepala, bertubuh seperti raksasa dan memandang kepadanya seperti seorang kelaparan nasi. Ia maklum bahwa mereka adalah perampok-perampok, maka ia segera berkata dengan sikap agung seorang putri raja,
"Jangan kalian mengganggu aku! Aku puteri Raja Jenggala yang kehilangan jalan dan hendak pulang ke Jenggala. Kalau kalian suka, boleh kuhadiahkan gelang dan kalungku." Sambil berkata demikian, sang puteri meloloskan kedua gelangnya.
Akan tetapi, lima orang itu adalah perampok-perampok kasar. Keadaan hidup mereka membuat mereka seakan-akan menjadi raja dalarm hutan, tentu saja mendengar disebutnya Raja Jenggala, mereka tidak menjadi takut. Akan tetapi pemimpin mereka bukan seorang bodoh. la tahu bahwa seorang puteri bangsawan, apalagi puteri raja seperti ini, kalau pergi tentu ada banyak pengawal yang mengantarkannya. Kini sang puteri sesat jalan, tentu sedang dicari-cari. Kalau para pengawal muncul, mereka bisa celaka karena ia mendengar bahwa para pengawal memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
"Rampas dulu kudanya," katanya kepada anak buahnya.
Dua orang anak buah perampok yang bernafsu sckali untuk segera merampas kuda dan perhiasan serba mahal itu, melompat maju dan dengan kasar bertindak merenngut kendali kuda dari tangan Puteri Mayagaluh.
"Berani kalian merampas kudaku" sang puteri membentak marah, kedua kakinya melakukan gerakan menendang bergantian amat cepatnya, mengarah bawah pusar lawan. Itulah ilmu tendangan yang amat keji dan ganas, begitu tepat mengenai sasaran tentu akan menewaskan lawan. Ilmu tendangan ini adalah satu di antara banyak ilmu yang ia pelajari dari Endang Patibroto.
Terdengar jerit mengerikan dan dua orang perampok itu terpelanting roboh, berkelojotan dan tak mungkin dapat hidup lebih lama lagi karena anggota tubuh di bawah pusar pecah terkena tendangan tadi! Biarpun semenjak kecil mempelajari ilmu silat, akan tetapi selama hidupnya belum pernah Mayagaluh membunuh orang. Kini menyaksikan betapa dua orang yang ditendangnya itu berkelojotan sekarat, ia merasa ngeri.
"Pergilah...! Jangan ganggu aku...!" katanya setengah memohon, wajahnya sudah pucat dan tubuhnya menggigil.
Melihat sikap ini, tiga orang perampok itu mengira bahwa tentu tendangan tadi secara kebetulan saja mengenai bagian tubuh yang paling lemah dari kedua kawannya. Kalau gadis itu memang berilmu, tentu tidak ketakutan seperti itu. Kepala rampok yang muda itu lalu membentak kepada dua orang temannya.
"Tangkap kudanya. Masa tidak mampu?" Dua orang perampok maju bersama.
Mayagaluh yang ketakutan itu kini terpaksa menghunus kerisnya, keris kecil yang biasa dipakai para puteri. Kini dua orang perampok itu agak terkejut. Cara puteri itu mencabut dan memegang gagang keris jelas membayangkan bahwa puteri ini mengerti ilmu silat, mahir dalam tata tempur menggunakan keris. Maka mereka bersikap hati-hati dan menubruk dari kanan kiri untuk merampas kendali kuda yang dipegang tangan kiri Mayagaluh.
Puteri ini cepat menggerakkan kerisnya, menerima perampok dari kanan dengan tusukan, sedangkan perampok yang menubruk dari kiri ia sambut dengan sebuah tendangan kilat, kini agak tinggi mengarah lambung. Dua orang perampok yang mati tertendang tadi sebetulnya juga bukan orang lemah, melainkan orang-orang kasar yang biasa berkelahi. Tadi mereka sekali tendang roboh oleh Mayagaluh karena mereka memandang rendah dan tidak menduga-duga.
Kini, dua orang lagi perampok yang sudah berhati-hati, cepat mengelak dan mengurungkan niatnya merampas kendali kuda ketika melihat sambutan wanita muda itu. Maklum bahwa wanita itu bukan seorang lemah, dua orang perampok ini lalu bergerak menyerang, seorang mencengkeram ke arah pergelangan tangan kanan yang memegang keris, orang ke dua menubruk untuk mencengkeram pundak dan menangkapnya! Sebetulnya dua orang perampok ini hanya orang-orang kasar yang lebih banyak mengandalkan tenaga dan keberanian dari pada mengandalkan gerakan ilmu silat.
Mayagaluh dapat melihat dengap jelas dan maklum bahwa sebetulnya ia tidak perlu takut melawan mereka. Akan tetapi dasar kurang pengalaman, melihat dua orang laki-laki menerjang dengan muka beringas, mulut menyeringai, mata melotot lebar, ia merasa serem dan muak oleh bau keringat mereka. Karena jijik ia menjadi gugup, menyelinap untuk menjauhkan diri, akan tetapi perasaan jijik dan ngeri membuat ia ingin cepat-cepat mengakhiri ancaman ini maka kerisnya bergerak cepat sekali ke arah lambung perampok ke dua ketika ia menghindar.
"Capp...!"
Ketika gadis bangsawan ini meloncat sambil mencabut keris, darah muncrat-muncrat dari perut perampok itu yang mendekap perutnya sambil berkaok-kaok seperti kerbau disembelih, lalu roboh dan berkelojotan. Melihat darah muncrat-muncrat ini, hampir saja Mayagaluh pingsan.
"Aduh! Kuminta kepada kalian pergilah, bawa kuda dan perhiasanku semua!" la mengeluh sambil memandang korbannya dengan mata terbelalak ngeri.
Akan tetapi perampok yang melihat kawannya roboh menjadi marah sekali. Ia mencabut goloknya yang besar dan tajam lalu mengayun golok itu, menyerang dengan kemarahan meluap.
"Genjul, jangan bunuh dia!"
Kepala perampok yang muda itu menegur anak buahnya yang tinggal seorang. Akan tetapi si Genjul, perampok itu yang melihat tiga orang kawannya sudah tewas, tak dapat menahan kemarahannya lagi. Goloknya menyambar ganas ke arah leher Mayagaluh. Puteri ini terkejut, cepat ia menekuk lutut miringkan tubuh sehingga golok lawan lewat di atas kepalanya mengeluarkan bunyi "swingggg!" menyeramkan sekali. la maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat merobohkan orang ini, keselamatannya sendiri terancam. Maka melihat lawan membuka lengan ketika membacok, dari bawah kerisnya meluncur pula menusuk lambung.
Perampok bernama Genjul ini sudah siap-siap, maka cepat ia meloncat mundur sambil mengayun golok ke bawah. Mayagaluh menarik kembali kerisnya, tidak mau membiarkan kerisnya dihantam golok yang berat. Ketika perampok itu menerjang lagi, kini membabat pinggang, Mayagaluh sudah mendahului meloncat ke atas sehingga babatan golok itu lewat di bawah kakinya. Dari atas, Mayagaluh yang sudah menaksir bahwa golok itu tentu akan lewat di bawah kakinya, menggunakan kakinya menendang ke depan, tepat mengenai pergelangan tangan yang memegang golok.
"Aduhh...!"
Perampok itu berseru keras, goloknya terlepas dari pegangan. Dan pada saat itu dari atas, tubuh Mayagaluh sudah meluncur dengan didahului kerisnya yang menusuk ke arah leher lawan. Perampok bernama Genjul itu terkejut sekali dan timbul rasa takutnya yang hebat. Ketakutannya membuat Genjul menjadi nekat dan ia segera mengembangkan kedua lengannya, terus menubruk ke depan, ke arah tubuh puteri yang meluncur turun itu, langsung memeluk pinggang yang ramping!
Kalau saja Mayagaluh melanjutkan tusukannya, tentu akan berhasil dan kerisnya akan menembus leher. Akan tetapi melihat betapa laki-laki kasar itu mengembangkan lengannya, Mayagaluh merasa ngeri dan jijik sehingga tangan yang memegang keris seketika menjadi lemas. Ia menjerit ketika merasa betapa pinggangnya dirangkul dan tubuhnya merapat pada tubuh yang tinggi besar dan keras. Hampir saja ia pingsan. Sambil menggigit bibir dan menjauhkan mukanya agar hidungnya tidak dekat dada yang penuh bulu dan keringat, ia menggerakkan tangan kanannya dan... "ceppp...!" kerisnya sudah menancap di dada kiri lawannya.
Seketika Genjul seperti disambar halilintar, pelukannya terlepas, mulutnya mengeluarkan suara rintihan, tubuhnya lemas dan berkelojotan. Mayagaluh yang berusaha mencabut kerisnya, tidak berhasil. Keris itu menancap dan menyangkut di antara tulang iga sehingga sukar dicabut. Kalau saja puteri ini tidak hampir pingsan oleh rasa jijik dan ngeri, tentu ia akan dapat mencabut kerisnya. Kini ia meloncat ke belakang, melepaskan gagang keris, takut kalau-kalau darah lawan akan muncrat membasahi tubuh dan mukanya.....