Bagaimana sekarang Endang Patibroto malah memihak kepada musuh? Meski pangeran muda ini dari Jenggala, akan tetapi bagaimana pun juga ia masih keturunan Sang Prabu Airlangga dan sikapnya amatlah menyenangkan, maka ia menyembah sambil menjawab,
"Terima kasih atas penawaran dan keramahan paduka." Kemudian ia menghadapi puterinya dan berkata, "Anakku, aku dan ibumu Roro Luhito sudah biasa hidup di alam bebas, tidak ingin hidup dalam istana. Kami akan tetap tinggal di sini. Kau saja, anakku, kalau memang mencinta ibumu, kau jangan tinggalkan aku lagi. Kembalilah kepada ibumu dan temani kami di sini."
Mendengar ajakan ibunya ini, Endang Patibroto mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang kepada kedua orang ibunya, dengan pakaian mereka yang sederhana, dan keadaaan gubuk Bayuwismo yang lebih sederhana pula. Kemudian ia menundukkan muka, memandangi pakaiannya yang mewah dan indah, perhiasan emas permata yang berkilauan di tubuhnya. Kerut pada keningnya makin mendalam dan ia menjawab,
"Belum bisa, ibu. Apalagi sekarang selagi Kerajaan Jenggala menghadapi ancaman perang saudara dengan Kerajaan Panjalu. Kerajaan Panjalu yang menjadi musuh kami mempunyai banyak orang pandai, ibu. Kalau aku sudah berhasil membasmi mereka dan Kerajaan Jenggala terbebas dari pada bahaya, barulah aku akan pikir-pikir untuk menemani ibu berdua di sini."
Dengan singkat Endang Patibroto lalu menuturkan bahwa ia menjadi murid Dibyo Mamangkoro dan betapa ia digembleng sampai bertahun-tahun di Pulau Nusakambangan, dan betapa kemudian ia dibawa berhamba kepada Kerajaan Jenggala. Juga ia bercerita betapa ia diuji oleh sang prabu di Jenggala dan berhasil mengambil bendera pusaka dan membawa kembali kepala dua orang pengawal keraton Panjalu. Mendengar penuturan Endang Patibroto ini, mula-mula Kartikosari dan Roro Luhito kaget, kemudian terheran-heran, dan akhirnya marah sekali. Kartikosari tak dapat lagi menahan kemarahannya dan ia memandang tajam puterinya lalu membentak,
"Endang Patibroto, engkau tersesat jauh!"
"Hemmm, Apa maksudmu, ibu?" tanya Endang Patibroto sedangkan Pangeran Panjirawit juga memandang heran.
Kartikosari tidak pedulikan lagi pada pangeran itu dan ia berkata, suaranya tegas dan keras. "Endang, engkau telah tersesat jauh dan mungkin hal itu terjadi karena kau tidak mengerti. Ketahuilah, Raja Jenggala sekarang ini dahulu adalah Pangeran Anom, sedangkan Raja Penjalu adalah Pangeran Sepuh. Dahulu terjadi perang saudara antara Pangeran Anom dan Pangeran Sepuh. Tahukah engkau pihak mana yang dibela mati-matian oleh eyangmu Resi Bhargowo, oleh ayahmu Pujo, dan oleh ibumu berdua? Kami membela Pangeran Sepuh atau Raja Panjalu yang sekarang! Adapun Pangeran Anom dahulu dibela oleh orang-orang kotor macam Cekel Aksomolo, Warok Gendroyono, Krendayakso, Nogogini, Durgogini dan lain-Iain. Bagaimana sekarang engkau, anak kandungku, cucu Resi Bhargowo, menjadi kepala pengawal di keraton Jenggala? Engkau bersekutu dan berkawan dengan orang-orang jahat macam Cekel Aksomolo dan Iain-Iain itu?"
Kaget juga hati Endang Patibroto melihat betapa ibu kandungnya marah hebat seperti itu.
"Tidak, ibu. Biarpun Cekel Aksomolo dan yang lain-lain itu bekerja membela Jenggala, namun aku tidak bersekutu dan tidak bersahabat dengan mereka!" Ia mencoba untuk membantah.
"Keparat! Tahukah engkau betapa mereka itu dahulu pernah mengeroyok eyangmu di Pulau Sempu dan hampir saja membunuh eyangmu? Tahukah engkau bahwa ayah bundamu ini banyak menderita karena perbuatan biadab seorang di antara pembantu-pembantu Jenggala? Dan sekarang engkau menjadi hamba Jenggala? Endang Patibroto, engkau anakku, engkau harus mentaati ibu kandungmu. Mulai detik ini juga, engkau harus berhenti menjadi hamba Jenggala, engkau tidak boleh kembali ke sana!" Kemarahan Kartikosari sudah meluap-luap dan tak dapat ditekan lagi.
Hening sejenak, hening penuh ketegangan, terutama bagi Pangeran Panjirawit yang mendengarkan dan melihat dengan jantung berdebar-debar. Kemudian Endang Patibroto menarik napas panjang, memandang ibunya dan menggeleng kepalanya, "Tidak mungkin begitu, Ibu. Sudah banyak aku menerima hadiah dan kebaikan dari keluarga gusti prabu. Sebelum aku membalas semua kebaikan itu dengan pahala, bagaimana aku bisa meninggalkan Jenggala dengan begitu saja?"
"Kebaikan? Kau bicara tentang kebaikan? Apakah kau tidak tahu betapa ibumu ini hampir berkorban nyawa berkali-kali untukmu? Tidak tahu betapa sengsara hidupku, betapa tersiksa, betapa dengan susah payah memelihara dan mendidikmu, betapa digerogoti dendam dan sakit hati. Dan kau lupakan semua itu, tertutup oleh kebaikan orang lain yang tidak ada artinya itu? Endang, apakah kau ingin menjadi anak durhaka, anak murtad? Sekali lagi, lepaskan semua itu dan, kembalilah kepada ibumu, anakku" Kalimat terakhir ini mengandung isak tangis.
Endang Patibroto menggeleng kepala lagi. "Ibu tidak adil...ibu terlalu mendesak, tanpa memberi kesempatan kepadaku."
Kartikosari melompat maju. "Sekali lagi. Kuminta engkau melepaskan kedudukanmu dan kembali kepada ibumu!" Suara Kartikosari parau, wajahnya memucat.
Endang Patibroto menggeleng kepala. "Tidak bisa, ibu."
"Anak durhaka! Kalau begitu, dari pada melihat engkau hidup tersesat, lebih baik melihat engkau mati! Secepat kilat Kartikosari mencabut keris pusaka Banuwilis lalu maju menubruk, menusukkan kerisnya ke arah dada anaknya sendiri.
"Yunda Sari...!" Roro Luhito menjerit dan bergerak hendak mencegah. Namun terlambat. Keris itu sudah menusuk dada Endang Patibroto. Dara jelita ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis sehingga Pangeran Panjirawit juga berseru kaget dan cemas.
"Capp...!" Keris itu menyeleweng ke samping ketika bertemu dengan dada Endang Patibroto, hanya menancap miring, memasuki kulit dan sedikit melukai daging, akan tetapi tidak kuat menembus ke dalam karena Endang Patibroto mengerahkan sedikit hawa sakti di tubuhnya. Kalau dara ini menghendaki, tentu keris itu tadi membalik dan kulitnya sedikitpun tidak lecet. Akan tetapi ia sengaja membiarkan kulitnya dan sedikit dagingnya terluka sehingga ketika keris itu jatuh terlepas, darah mengalir keluar. Melihat darah ini, Kartikosari agaknya seperti baru sadar dan ia menjerit sambil mundur dan menahan mulut dengan tangan agar tidak menangis mengguguk. Endang Patibroto tersenyum, senyum dingin yang membuat tengkuk Kartikosari meremang.
"lnginkah kau minta kembali sedikit darah yang kau tumpahkan ketika melahirkan aku? Nah, darahku sudah tertumpah. Apakah hatimu puas?" Endang Patibroto menggunakan jari kakinya menyentil keris pusaka Banuwilis yang terletak di atas tanah.
Keris itu melayang naik dan di sambut tangan kanannya. Kemudian ia menusukkan keris itu pada dadanya sendiri.
"Krakkk! Patahlah keris pusaka itu menjadi dua potong! Endang Patibroto memperlebar senyumnya dan membuang gagang keris buntung ke atas tanah. Agaknya dengan perbuatan ini ia hendak membuktikan bahwa kalau tadi ia menghendaki, tusukan ibunya tidak akan melukai dadanya, dan bahwa dadanya terluka karena ia sengaja!
"Aahhh..." Kartikosari membelalakkan matanya, hatinya serasa ditusuk-tusuk, lalu ia menangis mengguguk-guguk menyebut-nyebut nama suaminya. "Aduh kakangmas Pujo... kenapa tidak kau bawa saja aku serta? Kenapa kau membiarkan aku terhina oleh anak sendiri?"
Roro Luhito memeluk dan dengan air mata berlinang berkata, "Sudahlah, ayunda Sari. Ingatlah akan kesehatanmu, ingatlah akan kandunganmu "
Endang Patibroto mengangkat pundaknya, lalu berjalan kearah kuda dan sekali loncat ia telah berada di punggung kudanya. Sekali lagi ia menoleh, memandang ibunya dengan sinar mata penuh kedukaan, kemudian ia menarik kendali kuda dan binatang itu meloncat ke depan.
"Endang, tunggu...!"
Pangeran Panjirawit menengok ke arah dua orang wanita yang bertangis-tangisan itu, meloloskan dua buah gelang tangannya yang bertabur intan, meletakkannya ke dekat dua orang wanita itu, kemudian ia pun lari dan meloncat ke arah kudanya, terus membedal kuda mengejar Endang Patibroto…..
********************
Menjelang senja, amat sunyi di daerah Telaga Sarangan. Sunyi dan dingin. Permukaan telaga seakan-akan mengeluarkan uap keabu-abuan. Joko Wandiro dan Ayu Candra bergandeng tangan, berjalan perlahan meninggalkan telaga, menuju ke pondok. Selama belasan hari, hubungan mereka makin akrab dan seringkali mereka berdua bercengkerama di tepi telaga. Walaupun tiada kata-kata kasih dan cinta keluar dari mulut mereka yang belum mengenal ucapan itu, namun sinar mata dan getaran jari tangan mereka merupakan bahasa indah tak terucapkan yang langsung membisiki hati masing-masing.
Asyik masyuk percakapan mereka selalu, percakapan yang tidak ada artinya, kadang-kadang seperti dua anak-anak bergurau. Namun selalu perhatian mereka tercurah penuh kepada diri masing-masing sehingga mereka tidak tahu betapa sepasang mata yang bersinar tajam mengintai mereka penuh cemburu, iri hati dan marah. Itulah sepasang mata Ki Jatoko yang tentu saja sama sekali tidak disangka-sangka oleh sepasang muda-mudi itu. Ketika menjelang senja hari itu mereka berdua seperti biasanya kembali ke pondok, tubuh Ki Jatoko menyelinap di antara gerombolan pohon dan mengikuti mereka dari jauh.
"Ayu Candra..."
"Itu suara ayah...!"
Ayu Candra berseru kaget dan girang ketika tiba-tiba terdengar suara panggilan itu. Ia segera lari ke arah suara yang datangnya dari pondok. Joko Wandiro lari pula dl belakang dara itu. Alangkah kaget hati Ayu Candra ketika dalam cuaca yang sudah remang-remang itu ia melihat ayahnya rebah tertelungkup di depan pondok sambil merintih-rintih dan bergerak-gerak lemah.
"Ayahhh...!"
Ia meloncat dan berlutut, menubruk ayahnya. Dengan hati cemas dara ini membalikkan tubuh ayahnya dan memangku kepalanya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya ketika melihat wajah ayahnya yang tampan itu kini mengerikan, berubah biru kehitaman, napasnya terengah-engah dan warna putih bola matanya menjadi merah sekali!
"Ayah...! Kau kenapa? Ayah ayah...Apa yang terjadi? Mana ibu?"
Dara ini menjerit-jcrit dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya. Joko Wandiro yang juga berlutut di dekat tubuh Ki Adibroto, menjadi terkejut sekali setelah memeriksa tubuh orang tua itu.
"Akibat pukulan berbisa yang amat hebat...!" katanya lirih.
Mendengar ini, Ayu Candra menangis dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya sambil memanggil-manggil.
"Ayah...! Ayah...!"
"Ayu, minggirlah sebentar. Biar kucoba menyadarkannya," bisik pula Joko Wandiro.
Kemudian ia memeriksa dada Ki Adibroto. Tepat dugaannya, dada pendekar itu totol-totol hitam merah, dan hawa beracun sudah menjalar naik sampai ke muka! Diam-diam Joko Wandiro merasa ngeri. Pukulan ini hebat sekali dan kalau bukan Ki Adibroto yang memiliki kesaktian, tentu sekali terkena pukulan ini terus tewas. Kini keadaan orang tua itu sudah tak mungkin tertolong lagi, maka Joko Wandiro lalu menggunakan lima buah jari tangan kirinya mengurut kedua pundak dan menotok tengkuk. Seketika Ki Adibroto terbatuk-batuk, lalu bergerak-gerak dan mengeluh.
"Ayah...!" Ayu Candra sudah menubruk dan kembali memangku kepala ayahnya,
Ki Adibroto membuka matanya yang merah, memandang Ayu Candra, lalu bibirnya bergerak-gerak dan terdengar ia berkata dengan bisikan lemah.
"Ayu kau pergilah kepada Ki Darmobroto di kaki Merbabu...dia...dia calon mertuamu, kujodohkan engkau dengan puteranya, Joko Seto."
"Ayah, kau kenapa? Di mana ibu...?"
Ayu Candra yang amat pucat mukanya itu bertanya. Ia lebih mengkhawatirkan keadaan ayahnya dan gelisah karena tidak melihat ibunya sehingga pesan tentang perjodohan itu sama sekali tidak ia pedulikan.
"Ibumu...ibumu sudah tewas...kalau bertemu dengan Joko Wandiro dia putera ibumu yang sulung...kau beritahukan...uuuhhh-uuhhh..."
"Ayah...!" Ayu Candra merangkul sambil menangis.
"Beritahukan bahwa ibunya telah meninggal dunia..."
"Ayah, siapa pembunuh ibu? Kenapa ibu tewas? Katakanlah ayah...katakanlah!"
Ayu Candra menjerit-jerit sehingga ia tidak melihat betapa Joko Wandiro yang mendengar pesan terakhir itu menjadi pucat wajahnya dan terbelalak matanya. Ki Adibroto sudah payah sekali keadaannya. ia berusaha untuk bicara banyak, namun tenaganya sudah tidak mengijinkannya. Ia hanya mampu berbisik-bisik,
"Jangan...jangan melanjutkan permusuhan...kau cari tunanganmu... Joko Seto..."
"Ayah, kenapa ibu tewas? Siapa yang membunuhnya? Dan siapa yang melukai ayah?"
Kembali Ayu Candra mendesak-desak dengan suara parau. Hampir ia pingsan, namun rasa penasaran membuat ia dapat bertahan dan kemarahannya melihat ayahnya terluka hebat dan mendengar ibunya tewas membuat ia lupa diri, berteriak-teriak dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya yang keadaannya sudah payah itu.
"Ibumu...ibumu...mencari anaknya...Joko Wandiro...kau beritahu, dia telah tewas...dia itu bukan...bukan..."
Agaknya Ki Adibroto dalam saat terakhir itu hendak membuka rahasia bahwa Listyokumolo bukan ibu kandung Ayu Candra, namun ia tidak kuat lagi dan putuslah napasnya.
"Ayaaaahhh...!"
Ayu Candra merangkul dan pingsan di atas dada ayahnya. Joko Wandiro juga terpukul perasaannya. lapun sedang mencari ibu kandungnya. Ia hanya tahu bahwa ibu kandungnya itu kabarnya diculik perampok. Kini ia mendengar pesan ayah Ayu Candra bahwa ibu kandungnya telah tewas, padahal yang tewas itu adalah ibu kandung Ayu Candra pula!
Hal ini hanya berarti bahwa Ayu Candra adalah anak ibunya pula, jadi adik tirinya! Keterangan ini baginya lebih hebat dari pada berita kematian ibu kandungnya yang belum pernah ia kenal. Lebih hebat dari pada kematian ayahnya Ayu Candra. Lebih hebat dari Apa saja yang mungkin terjadi. Kenyataan ini membuat hatinya serasa ditusuk keris berkarat. Ayu Candra, dia adiknya, adik tirinya, anak kandung ibunya!
Namun Joko Wandiro pemuda gemblengan itu dapat segera menguasai kesadarannya kembali. Betapa pun juga, dara remaja yang sudah merebut hatinya ini bukan orang lain, melainkan adiknya sendiri, sekandungan, seibu. Ia akan tetap mencintanya. Mereka tetap akan saling mencinta sebagai kakak dan adik. Selain itu, oleh ayahnya, Ayu Candra sudah dijodohkan dengan seorang pemuda Iain. Hal ini lebih baik lagi. Setelah dapat menguasai hatinya yang tertusuk, baru Joko Wandiro bergerak menolong Ayu Candra yang pingsan.
Pada saat itu, ia mendengar gerakan perlahan di belakangnya. Ketika ia menengok, kiranya Ki Jatoko yang dating terhuyung-huyung dengan kedua kaki buntungnya. Joko Wandiro sama sekali tidak tahu bahwa laki-laki buntung itu sudah sejak tadi mengintai dan kini melihat Ki Adibroto sudah mati, lalu datang dan membantu Joko Wandiro mengangkat jenazah Ki Adibroto ke dalam pondok.
Ayu Candra yang sudah siuman kembali itu menangis sedih, dihibur oleh Joko Wandiro dan Ki Jatoko. Setelah pembakaran jenazah selesai dan abunya dihanyutkan di Telaga Sarangan, Ayu Candra duduk di pinggir telaga itu. Wajahnya pucat sekali, matanya sayu dan ia tampak lemas karena duka dan kurang tidur. Rambutnya kusut. Hati dan pikirannya sekusut rambutnya. Biar bokor terisi abu jenazah ayahnya sudah tenggelam dan abu itu sendiri telah menjadi satu dengan air telaga, ia masih belum bergerak pergi dari pinggir telaga.
Ki Jatoko diam-diam pergi dari telaga. Joko Wandiro dengan hati penuh keharuan dan kedukaan berjongkok di belakang Ayu Candra yang duduk bersimpuh di atas tanah berumput. Hening keadaan di situ pagi hari itu. Tiada suara burung yang agaknya ikut berkabung. Air telaga juga tenang, tidak ada angin bersilir.
Telaga yang tua itu sudah banyak menyaksikan suka-duka manusia, karenanya ia tenang-tenang saja. Ia maklum bahwa manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka-duka, si kembar sakti yang selalu bercanda dan bermain-main dengan manusia secara bergilir. Telaga tua itu tenang-tenang saja karena ia tidak mengenal suka-duka, karena baginya, suka-duka itu tidak adat yang ada hanya kewajaran. Hal ini hanya dapat dimiliki oleh mereka yang telah menyatukan diri dengan alam, telah menjadi sebagian dari pada alam itu sendiri. Tanpa pamrih, karenanya wajar. Karena wajar, maka tiada suka maupun duka.
"Ayu...!"
Panggilan ini hanya merupakan bisikan yang keluar dari mulut Joko Wandiro, bisikan yang keluar dari hati yang merintih. Getaran bisikan ini amat kuat sehingga Ayu Candra seketika tersadar. Seperti orang kaget ia sadar, seakan-akan diseret turun kembali dari alam mimpi, ke alam kenyataan yang pahit. Ia menoleh dan menghadapi Joko Wandiro. Sejenak mereka saling pandang, dua pasang mata yang bersinar sayu.
"Joko..."
"Ayu!"
Seperti digerakkan tenaga ajaib, keduanya saiing tubruk dan saling rangkul. Ayu Candra menangis tersedu-sedu di atas dada Joko Wandiro sehingga sebentar saja dada itu menjadi basah. Joko Wandiro merasa seakan akan yang membasahi dadanya itu adalah darah yang bercucuran dari jantungnya. Ia mengelus-elus kepala gadis itu, penuh kasih sayang, kasih sayang yang kini ia paksa dan belokkan dari kasih sayang seorang pria terhadap wanita, menjadi kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya.
Joko Wandiro merasa sangat kasih kepada adiknya ini. Ia tahu bahwa mereka tadinya saling mencinta dan ia tahu bahwa sampai saat ini, perasaan Ayu Candra terhadap dirinya tetap tidak berubah. Karena Ayu Candra belum tahu siapa sebenarnya ia. Tidak tahu bahwa dialah Joko Wandiro, bahwa dialah kakaknya yang kemarin disebut-sebut Ki Adibroto dalam pesan terakhirnya.
Dara ini harus diberitahu, akan tetapi ia tidak tega untuk menghacurkan hati yang sudah parah itu, hati yang penuh kedukaan karena sckaligus kehilangan ayah bunda. Dia sendiripun kehilangan ibu kandungnya, yang katanya tewas oleh musuh. Akan tetapi kedukaan hatinya tidaklah begitu besar karena ia belum pernah bertemu ibunya, tidak tahu bagaimana rupa ibu kandungnya. Ia lebih berduka karena kenyataan bahwa Ayu Candra adalah adik tirinya, satu ibu!
"Joko...!" Ayu Candra berbisik tanpa mengangkat mukanya yang bersembunyi di dada Joko Wandiro.
"Ada Apa, Ayu?"
"Engkau mendengar semua pesan ayah kemarin?"
"Aku mendengar, Ayu..."
"Joko engkau tahu bahwa sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi..." ia pun terisak lalu menyambung "aku sebatang kara di dunia... aku hanya... hanya punya... engkau, Joko. Katakanlah, Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Berdebar jantung Joko Wandiro. Bagaimana ia harus menjawab? la masih tidak tega untuk membuka rahasia yang akan rnenghancurkan hati dara itu. Karena itu ia mengalihkan kepada soal lain.
"Apa yang harus kaulakukan, Ayu? Kurasa sementara ini tidak ada apa-apa. Aku setuju dengan pesan ayahmu bahwa kita...eh, kau tidak perlu mencari musuh, tidak perlu memperbesar permusuhan." Sebagai murid Ki Patih Narotama, tentu saja Joko Wandiro sudah mendapat gemblengan batin yang hebat sehingga ia dapat mengatasi rasa dendam karena kematian ibunya dibunuh orang.
Ayu Candra mengangkat mukanya dari dada Joko Wandiro. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu ia nampak makin jelita sehingga Joko Wandiro mengerutkan kening dan terpaksa ia mengalihkan pandang matanya.
"Hal itu harus kupertimbangkan lebih dulu, Joko. Memang semestinya aku mentaati pesan ayah, akan tetapi bagaimana mungkin aku diam saja karena ayah dan ibuku terbunuh orang? Akan kuselidiki mengapa ayah dan ibu sampai tewas di tangan orang dan Apa pula sebabnya ayah meninggalkan pesan seperti itu..."
"Mungkin karena musuh itu luar biasa saktinya, Ayu. Melihat luka di dada ayahmu, memang pukulan itu amat luar biasa, keji dan hanya dapat dilakukan orang yang sakti mandraguna. Agaknya ayahmu tidak ingin engkau bermusuhan dengan orang sakti itu, demi keselamatanmu sendiri."
"Kalau itu sebabnya, tidak mungkin aku berdiam diri saja!" Ayu Candra berkata marah, mencabut sebatang rumput dan mengigit-gigit rumput itu di antara kedua baris giginya. "Kalau sebabnya hanya karena musuh amat sakti, aku tidak takut. Dan aku yakin bahwa engkau akan suka membantuku. Bukankah engkau suka membantuku, Joko?"
"Tentu saja, Ayu. Akan tetapi amatlah tidak baik kalau tidak mentaati pesan terakhir ayahmu sendiri. Ada hal yang lebih penting...lagi "
"Hal Apa lagi? Kalau menurut pendapatmu, aku harus bagaimana?"
"Dari pada mencari musuh yang tidak diketahui siapa dan yang dilarang pula oleh ayahmu, lebih baik apabila engkau mentaati pesan ayahmu, pergi mencari Joko Seto tunanganmu, Ayu"
Tiba-tiba Ayu Candra meloncat bangun dan berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak. "Tidak mungkin!" Ia membanting-banting kaki kanannya.
Joko Wandiro juga bangkit berdiri, membujuk. "Mengapa tidak mungkin, Ayu? Ayahmu sudah meninggalkan pesan yang amat jelas. Joko Seto adalah putera Ki Darmobroto di kaki Gunung Merbabu. Biarlah aku membantumu, Ayu. Kita pergi bersama mencari rumah calon mertuamu..."
"Joko...!"
Ayu Candra menjerit, sepasang mata yang tadinya bersinar sayu itu kini memancarkan api kemarahan.
"Sekejam itukah hatimu? Seganas itukah engkau hendak menyiksa hatiku? Engkau hendak membalas karena engkau marah mendengar ayah menjodohkan aku dengan orang Iain? Joko, kau tahu bahwa itu kehendak ayah, bukan kehendakku, dan ayah tidak tahu bahwa ada engkau..."
"Ah, engkau salah mengerti, Ayu. Aku bicara dengan hati tulus ikhlas, aku tidak menyindir, tidak ingin merusak hatimu, Ayu, percayalah, sebaiknya kalau aku antarkan engkau mencari tunanganmu...!"
"Cukup!" Kembali Ayu Candra menjerit. "Joko, engkau...engkau tega mengeluarkan kata-kata seperti itu setelah kau tahu bahwa hal itu tidak mungkin kulakukan? Kau masih bicara seperti itu padahal engkau tahu bahwa aku...aku...bahwa kita...ah, Joko, tak tahukah kau bahwa tak mungkin aku menjadi isteri orang lain? Ataukah...kau kini hendak mengaku bahwa sikapmu yang lalu itu hanya palsu belaka? Engkau sengaja hendak mempermainkan aku?"
Joko Wandiro meramkan kedua matanya. Jantungnya terasa dibetot-betot, ditusuk-tusuk. Ia masih meramkan kedua mata menahan keluarnya air mata ketika menjawab dengan suara gemetar,
"Ayu Candra..., adikku sayang...ketahuilah, hal itu tidak mungkin...antara kita...aku...aku adalah Joko Wandiro, aku...kita kakak adik sekandung...ibumu adalah ibuku, berlainan ayah "
"Aduh Gusti!"
Tubuh Ayu Candra menjadi limbung dan tak dapat berdiri lagi, lemas seluruh sendi tulangnya. Ia jatuh berlutut dan menangis, mengguguk di belakang kedua telapak tangannya. Kenyataan yang menjadi pukulan ke dua benar-benar meremukkan kalbunya. Kematian ayah bundanya membuat ia kehilangan pegangan, sebatang kara di dunia. Namun di sana masih ada Joko yang telah merebut hatinya, orang yang dicintanya sepenuh jiwa raga, yang menjadi pegangan terakhir baginya. Kini pegangan itupun direnggut kenyataan bahwa laki-laki yang dipuja dalam hatinya itu adalah kakak tirinya, sekandung, dan bahwa ia harus ikut dengan laki-laki lain, menjadi isteri laki-laki lain.
"Ayah ibu...kenapa tidak membawaku bersama? Kenapa meninggalkan aku hidup seorang diri menderita siksa ini...?" Ia merintih di antara tangisnya.
"Jagad Dewa Batara kuatkanlah batin hamba!" Joko Wandiro berdoa sambil menekan perasaannya, menarik napas panjang beberapa kali. Setelah guncangan batin itu mereda dan kedua matanya tidak terasa panas lagi, ia membuka matanya. Sambil menggeleng-geleng kepala ia memandang dara yang mengguguk dalam tangisnya itu. Beberapa kali ia menggerakkan bibir, namun suara hatinya tak terucapkan. Lalu ia mendekat dan berlutut pula, menyentuh kepala Ayu Candra.
"Ayu, adikku jangan engkau khawatir. Ada kakakmu disini, aku pengganti ayah bundamu, aku akan mengantarmu mencari Joko Seto tunanganmu." Ia berkata dengan suara halus menghibur.
Tiba-tiba Ayu Candra menghentikan tangisnya, menurunkan kedua tangannya dan wajah yang kini berada di depan Joko Wandiro dan memandangnya, adalah sebuah wajah pucat sekali dengan sepasang mata yang telah lenyap sinar dan semangatnya. Ayu Candra memandang sejenak, lalu meloncat bangun sambil menjerit, "Tidak! Tidak!"
Kemudian ia lari meninggalkan Joko Wandiro yang masih berlutut di atas tanah. Joko Wandiro meloncat pula berdiri, akan tetapi mengurungkan niatnya mengejar. Ia menarik napas panjang, wajahnya juga pucat dan ia malah kembali ke pinggir telaga. Percuma menemui Ayu Candra pada saat itu, pikirnya. Dara itu baru saja mengalami pukulan batin yang luar biasa hebatnya. Sedangkan dia sendiri yang hanya kehilangan ibu kandung yang belum pernah dilihatnya dan mendengar bahwa dara yang dikasihinya itu ternyata adik sendiri, sudah merasa betapa jantungnya serasa ditusuk-tusuk.
Apalagi Ayu Candra yang kehilangan ayah bunda yang tak pernah berpisah semenjak kecil, yang amat dicintanya, ditambah lagi kenyataan bahwa satu-satunya orang yang diharapkannya ternyata adalah kakak sendiri dan karena itu terpaksa mereka akan berpisah pula karena ia harus menikah dengan laki-laki lain. Penderitaan yang berat, terutama bagi seorang wanita yang perasaannya tentu lebih halus.
Pagi hari sampai sore, sehari penuh, Joko Wandiro duduk termenung di pinggir telaga. Tidak pernah ia berkisar dari tempat duduknya, merenungi nasibnya yang buruk. Dalam renungannya ini, tampak jelas dalam ingatannya betapa tepat sekali wejangan gurunya. Ki Patih Narotama pernah memberi wejangan kepadanya, bahwa sekali hati menikmati kesenangan, maka hati itu pun takkan kebal terhadap kedukaan. Atau, singkatnya, siapa menikmati kesenangan harus siap untuk menderita kedukaan. Sebelum ia bertemu dengan Ayu Candra hatinya kosong, batinnya tenang dan ia berada dalam kebahagiaan, karena sesungguhnya kebahagiaan letaknya di antara susah dan senang, letaknya di tengah-tengah di mana tiada kesenangan dan kesusahan.
Akan tetapi, begitu berjumpa dengan Ayu Candra, hatinya jatuh, darah mudanya menuntut dan menggelora, dan ia menikmati perasaan senang yang luar biasa. Siapa kira, baru beberapa hari saja, saudara kembar kesenangan, ialah kedukaan, muncul dan menggantikan kedudukan dalam hatinya. Lenyap kesenangan, datang kedukaan! Menjelang senja hari itu, batin Joko Wandiro mulai tenang setelah ia teringat akan pelajaran gurunya ini. la bangkit dan merasa heran bercampur kaget melihat bahwa cuaca sudah mulai gelap.
Tidak disangkanya bahwa saat itu sudah senja. Tidak terasa waktu terlewat sedemikian cepatnya. Ia teringat akan Ayu Candra dan ia bernapas panjang dengan hati lega. Wejangan gurunya itu menyadarkannya dan kini ia mengenang Ayu Candra dengan hati lega, menganggap dara itu adiknya dan mulailah ia dapat mengganti rasa kasihnya dengan kasih seorang kakak.
"Kasihan Ayu, aku harus menghiburnya...!"
Ia lalu berjalan perlahan menuju ke pondok. Pondok itu sunyi, sesunyi hati Joko Wandiro. Lebih sunyi lagi hatinya ketika ia memasuki pintu pondok dan mendapatkan pondok itu kosong. Ke manakah perginya Ayu Candra? Ia keluar lagi dan mencari-cari di sekitar pondok. Tidak hanya Ayu Candra, juga Ki Jatoko tidak tampak! Rasa khawatir menyelinap di dada Joko Wandiro. Ia mulai memanggil-manggil, tiada jawaban.
Kemudian ia memasuki pondok, memasuki bilik dara itu. Semua pakaian Ayu Candrapun tidak ada lagi di dalam bilik. Jelas kini bahwa Ayu Candra telah pergi, pergi meninggalkan Sarangan, meninggalkan pondok, meninggalkan dia. Joko Wandiro duduk di atas bangku depan pondok, keningnya berkerut. Kalau Ayu Candra pergi seorang diri, hal itu tidak akan menggelisahkan hatinya benar. Dara itu cukup perkasa, cukup mampu menjaga keselamatan diri sendiri.
Akan tetapi, yang benar-benar mencemaskan hatinya adalah lenyapnya Ki Jatoko, laki-laki buntung itu. Ia tidak percaya kepada Ki Jatoko dan kalau Ayu Candra pergi bersama Ki Jatoko, benar-benar membuat hatinya tidak enak. Berpikir demikian, Joko Wandiro lalu meloncat dan lari untuk mencari jejak dan mengejar. Sebentar saja ia telah meninggalkan tempat itu. Memang tepat Apa yang dikhawatirkan Joko Wandiro itu. Ayu Candra bukan pergi seorang diri, melainkan bersama Ki Jatoko. Dan juga kepergiannya atas bujukan Ki Jatoko pula. Ketika tadi ia meninggalkan Joko Wandiro sampai menangis, Ki Jatoko menyambutnya.
Dara ini tidak tahu bahwa orang buntung yang kelihatannya lemah itu sesungguhnya berilmu tinggi dan tadipun telah mendengarkan semua percakapannya dengan Joko Wandiro. Ketika dara itu meninggalkan Joko Wandiro dan berlari ke pondok, Ki Jatoko telah mendahuluinya dan kini menyambut dara itu dengan muka serius.....