"lblis betina yang curang!" bentaknya sambil menudingkan telunjuk ke arah wanita di atas pohon itu.
"Lihat, Joko! Dialah yang membunuh harimau secara curang!" Ketika Ayu Candra menoleh ke belakang, ia melihat Joko berdiri dan terbelalak memandang ke arah wanita cantik itu.
Pandang mata penuh kagum, kaget, dan heran. Ketika ia mengalihkan pandang ke atas, ia melihat wanita cantik itupun memandang ke arah Joko dengan mulut tersenyum! Rasa panas yang aneh menyelinap dan membakar dada Ayu Candra.
"lblis betina yang curang! Kau pengecut sekali, tanpa alasan membunuh harimau secara curang!" ia makin marah dan menghardik ke atas.
Wanita itu memperlebar senyumnya lalu menjawab, suaranya halus lunak dan merdu,
"Bocah dusun, mengapa kau banyak tingkah? Aku sedang berkuda, mendadak harimau ini menggereng-gereng keras mengagetkan kudaku yang tidak mau berjalan tenang lagi. Aku datang dan menghukum harimau itu, dan kau masih bilang tanpa alasan?"
"Keparat, kau sombong sekali! Harimau ini memang tempatnya di hutan. Kau ini wanita sombong mau apa berkeliaran di sini, mengumbar nafsu mengandalkan kepandaian bermain curang membunuhi binatang hutan?" Ayu Candra makin marah karena dilihatnya Joko masih diam saja seperti orang terkena pesona, menengadah memandang wanita itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap.
"Turunlah kalau kau berani! Atau aku harus menyeretmu turun...?" Ayu Candra berteriak marah.
"Ayu...jangan...! Eh, awas senjata...!"
Joko Wandiro berseru keras ketika melihat berkelebatnya tiga sinar ke arah dirinya dan tiga sinar lagi ke arah Ayu Candra. Ia cepat menggunakan tenaga saktinya, memutar tangan dengan jari-jari terbuka, memukul runtuh tiga batang anak panah itu dengan hawa pukulannya, dan melanjutkan gerakannya untuk menolong Ayu Candra. Ia berhasil meruntuhkan sebatang anak panah lagi dan Ayu Candra sendiri berhasil mengelak dari sambaran sebatang anak panah, akan tetapi anak panah yang terakhir menyambar, tak dapat dielakkannya dan karena ia berdiri agak jauh dari Joko Wandiro, pemuda inipun tidak sempat menyelamatkannya.
"bles!"
Anak panah itu menancap di dada kanan Ayu Candra yang mengeluarkan suara rintihan dan terguling roboh!
"Ayu!"
Joko Wandiro berseru kaget. la menoleh dan melihat wanita cantik itu melayang turun dengan gerakan ringan seperti seekor burung, kemudian mulut yang selalu tersenyum manis itu mengeluarkan suara mencemooh dan sekali berkelebat, wanita itu lenyap. Kemudian terdengar suara derap kaki kuda pergi menjauh. Rasa penasaran hampir saja membuat Joko Wandiro meninggalkan Ayu Candra untuk mengejar dan memberi hajaran kepada wanita cantik itu. Akan tetapi pada saat itu Ayu Candra merintih-rintih dan ia cepat menghampiri dan berlutut. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa anak panah itu menancap di dada dan betapa di sekitar kepala anak panah itu kulit yang tadinya putih kuning tampak menghitam. Anak panah beracun!
Masih untung bahwa Ayu Candra bukan seorang wanita biasa. Ketika tadi mengelak kemudian melihat bahwa sebatang anak panah tak mungkin dielakkan, ia mengerahkan tenaga dalam dan hal ini membuat anak panah itu menancap hanya sampai di kepala anak panah saja, tidak terlalu dalam. Namun cukup membahayakan keselamatan nyawanya karena racun di ujung anak panah mulai bekerja.
"Ayu, diamlah saja jangan bergerak, dan maafkan aku. Ini demi keselamatan nyawamu, Ayu."
Tanpa meragu lagi, Joko Wandiro membalikkan tubuh Ayu Candra sehingga terlentang, kemudian sekali mengerahkan tenaga ia mencabut keluar anak panah itu. Darah yang hitam mengalir keluar dari luka di dada. Joko Wandiro lalu mengerahkan tenaga dalam, menyalurkan hawa sakti. Kemudian menunduk. Ia harus mengerahkan kekuatan batin seluruhnya, bukan hanya untuk pengobatan, melainkan terutama sekali untuk menekan guncangan hatinya.
Terpaksa ia meramkan mata untuk mengusir bayangan dada yang membusung, kulit yang halus putih ketika ia menempelkan bibirnya pada luka menghitam itu. Dengan mengerahkan tenaga ia menyedot luka itu, menyedot terus sampai darah hitam memenuhi mulutnya. Ia melepaskan mukanya dan meludahkan darah hitam itu keluar. Ketika ia hendak menempelkan mukanya lagi, tiba-tiba Ayu Candra menampar pipinya.
"Plakk...!"
Berkunang pandang mata Joko Wandiro. Pipi yang ditampar terasa berdenyut-denyut panas. Ketika ia menatap wajah dara itu, ia melihat Ayu Candra menjadi merah sekali kedua pipinya dan dua butir air mata menitik turun. Ia tidak peduli. Luka itu belum bersih betul dari racun. Dengan nekat Joko Wandiro kembali menempelkan mukanya pada dada, mulutnya menyedot luka. Ia merasa betapa tubuh dara itu meronta, mendengar suara dara itu mengeluh dan merintih, akan tetapi ia tidak peduli. Ia cukup maklum betapa keadaan ini amat janggal, betapa perbuatan ini merupakan pelanggaran susila yang hebat, tetapi Apa artinya pelanggaran itu kalau dipikirkan betapa keselamatan nyawa dara ini terancam hebat? Kembali ia meludahkan darah dari dalam mulutnya. Hatinya lega melihat warna hitam di sekitar luka itu telah menipis, tinggal warna hijau.
"Sekali lagi cukup" katanya perlahan dan kembali ia menunduk.
"Plakk...!"
Tamparan di pipi kirinya lebih keras dari pada tadi, sampai terasa nanar kepalanya. Kini air mata di kedua pipi dara itu makin banyak. Joko Wandiro maklum akan perasaan dara itu namun keyakinan bahwa Apa yang ia lakukan itu berlandaskan kebenaran dan usaha menolong, ia tidak peduli, terus saja ia membenamkan muka pada dada yang lembut dan menempelkan mulut pada luka, lalu menghisap. Baru sekarang setelah perasaannya tidak tercekam kegelisahan lagi, ia merasa betapa lembut dada itu, dan jantungnya berdebar seperti hendak meledak.
Tiba-tiba ia merasa betapa kedua tangan gadis itu mencengkeram rambut di kepalanya, menjambak-jambak dan betapa Ayu Candra menangis terisak-isak. la melepaskan mukanya dan ketika ia menyemburkan darah dari mulutnya, darah itu sudah banyak yang merah. Ia memandang ke arah luka. Tidak ada warna hijau lagi dan darah mulai mengalir keluar. Bahaya sudah lewat. Akan tetapi Ayu Candra menangis tersedu-sedu, bangkit duduk dan menyembunyikan muka di belakang kedua tangan, pundaknya berguncang-guncang, tangisnya tersedu-sedu.
"Ayu, kenapa kau menangis? Kau sudah bebas dari pada bahaya maut. Diamlah, Ayu, mengapa kau begini berduka?"
Dara itu tidak menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi, sampai mengguguk sehingga Joko Wandiro menjadi bingung sekali. Dengan gerakan halus ia menyentuh pundak dara itu dan berkata lagi,
"Ayu, aku mengaku salah. Aku...aku telah berlaku amat tidak sopan. Kau maafkanlah aku, Ayu. Tadipun sebelumnya aku sudah minta maaf. Sekarang, aku minta maaf lagi dan kalau kau mau melampiaskan kemarahanmu, kau pukullah aku, kau bunuhlah aku."
Ayu Candra tiba-tiba menghentikan tangisnya, mengangkat muka dari balik telapak tangan. Mukanya masih merah padam, akan tetapi basah air mata. Hanya sebentar saja ia berani bertentang pandang dengan Joko Wandiro karena ia segera menundukkan muka seperti orang yang merasa malu. Bibirnya bergerak perlahan, berbisik lirih,
"Mengapa kau lakukan itu?"
"Mengapa? Tentu saja untuk menolongmu, Ayu. Kau pun maklum bahwa anak panah itu mengandung bisa yang amat jahat. Karena tidak mungkin mendapatkan obat yang bisa cepat menyedot racun, jalan satu-satunya terpaksa harus menyedotnya langsung dengan mulut untuk mengeluarkan racunnya. Memang aku lancang...kurang ajar, tapi...kau maafkanlah aku, aku terpaksa"
"Tidak Apa, bukan itu. Yang kumaksud, kenapa kau menolongku dan rela melakukan hal semacam itu? Kenapa?"
Joko Wandiro bingung. "Kenapa aku menolongmu? Ah, Ayu, aku harus menolongmu, biar apa pun akibatnya. Andai kata aku akan kehilangan nyawa untuk menolongmu, aku rela."
Kembali Ayu Candra mengangkat muka memandang, kini amat tajam pandangannya, penuh selidik. "Kenapa begitu? Mengapa kau rela berkorban nyawa untukku? Kita baru saja bertemu, kita bukan apa-apa, bukan sanak bukan kadang. Kenapa kau rela berkorban nyawa untukku?"
Joko Wandiro merasa terpojok. lapun memeras otaknya untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang sama, yang mengaduk hatinya. Memang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang pendekar untuk menolong sesamanya. Hal ini sudah ia janjikan kepada gurunya. Akan tetapi, mengapa terhadap gadis ini landasan itu berubah? Tidak sekedar sebagai kewajiban lagi, bahkan agaknya ia, akan rela mati berkorban nyawa untuk gadis ini. Mengapa?
"Karena...karena aku tidak ingin melihat kau mati, Ayu. Dan karena bagiku kau bukanlah seorang yang baru saja kukenal. Bagiku, kau seakan-akan sudah selama hidupku kukenal baik, bahkan lebih dari itu. Aku sendiri tidak mengerti mengapa begini, Ayu, Semenjak pertemuan kita tadi, aku tidak dapat menguasai hatiku sehingga aku melakukan hal-hal yang tidak patut. Sudah mengintaimu, mengikutimu secara diam-diam sampai-sampai menimbulkan kemarahanmu. Aku sendiri tidak mengerti, Ayu. Selama hidupku baru kali ini aku mengalami hal aneh seperti ini. Agaknya...kalau menurut dongeng...dalam kelahiran dahulu, agaknya kita sudah saling mengenal, tidak asing lagi. Aku malah ingin bertanya kepadamu mengaku kau berhal seperti ini, Ayu Candra."
Dara itu menundukkan mukanya, menyembunyikan senyum! Senyum yang mekar dari hati penuh kebungahan. Ia sendiripun tidak mengerti mengapa hatinya menjadi begini bungah mendengar ucapan pemuda itu. Sedangkan perasaannya sendiri yang aneh ia tidak dapat mengerti artinya, apalagi keadaan pemuda itu. Ia hanya tahu bahwa ia senang sekali dekat dengan pemuda ini, dan bahwa tadi, biarpun ia merasa amat malu dan marah, namun di balik itu ia merasakan kebahagiaan yang amat aneh dalam hatinya.
"Joko..."
la sendiri kaget mengapa mulutnya memanggil nama ini. Ia tidak bermaksud memanggil, akan tetapi sebutan dalam hatinya ini menyundul sampai ke mulutnya.
"Ya... Ada Apa, Ayu?"
"Ahh...! tidak ada apa-apa, Joko. Eh, maksudku, kau baik sekali dan aku berterima kasih atas pertolonganmu tadi. Kau telah menyelamatkan nyawaku, Joko."
Girang bukan main hati Joko Wandiro. Dara ini ternyata benar seorang yang amat baik hatinya, tidak seperti yang kadang-kadang ingin diperlihatkannya. Saking girang hatinya, ia memegang gadis itu, memegang kedua tangannya.
"Bukan aku yang baik, Ayu, melainkan engkau. Aku hanya membalas, ingat? Kaulah yang pertama-tama nekat berusaha menyelamatkan nyawaku dari dalam air. Kaulah seorang yang berhati mulia, Ayu."
"Ahh, kau hanya pura-pura tenggelam."
"Betapa pun juga, kau mengira aku benar-benar akan mati tenggelam dan kau telah terjun menolongku. Apa bedanya? Aku yang berterima kasih kepadamu."
Sejenak kedua orang remaja itu berdiri dan saling berpegang tangan. Jari-jari tangan mereka saling menggenggam. Hati mereka berdebar aneh penuh kebahagiaan. Mereka sendiri tidak tahu mengapa begitu, tidak tahu Apa artinya perasaan yang menerbangkan semangat mereka ke angkasa ini. Namun jari-jari tangan mereka, digerakkan oleh perasaan halus, lebih tahu. Jari-jari tangan mereka membelai mesra, saling mencurahkan rasa kasih asmara.
Akan tetapi hanya sebentar. Kewanitaannya membuat Ayu Candra melepaskan kedua tangannya karena jengah. Mukanya merah sekali, matanya bersinar-sinar, akan tetapi pandang matanya tidak berani langsung menatap wajah Joko Wandiro. Untuk menenangkan dada yang berdebar-debar ia mengalihkan perhatian.
"Joko, siapakah wanita tadi?"
"Entahlah, aku tidak tahu, sungguhpun serasa pernah aku melihatnya, akan tetapi entah di mana."
"Dia cantik sekali."
"Hemmm, agaknya dia berkepandaian hebat, melihat cara ia melayang turun dari pohon. Cara dia melepaskan anak panah tanpa busur, benar-benar membutuhkan tenaga yang hebat. Akan tetapi ia kejam."
"Dia cantik sekali," Ayu Candra mengulang.
"Memang cantik dia."
"Lebih cantik dari pada aku."
"Lebih cantik dari pada engkau? memang, pakaiannya lebih cantik, lebih mewah, akan tetapi orangnya...hemmm, tiada bidadari kahyangan, apalagi manusia biasa, yang menandingi kecantikanmu, Ayu."
Makin merah wajah dara itu, sampai ke leher dan daun telinganya. Akan tetapi giginya berkilat putih di balik bibirnya.
"Bisa saja kau memuji."
"Bukan memuji, melainkan bicara sebenarnya. Dia memang cantik dan kepandaiannya hebat. Hal itu tidak ada artinya. Yang mengkhawatirkan, ia amat kejam dan entah mengapa dia memusuhi kita."
"Karena harimau."
"Bukan, Ayu. Tidak mungkin kalau hanya karena harimau tadi ia melepas anak panah untuk membunuh kita. Aku khawatir sekali kalau-kalau ia akan datang kembali ke sini dan mengganggumu. Kau katakan tadi bahwa ayah bundamu sedang bepergian, bukan?"
"Kalau begitu engkau jangan pergi dulu, Joko. Kau temani aku sampai ayah bundaku pulang."
Di balik kata-kata ini ada harapan di hati Ayu Candra agar pemuda ini berkenalan dengan ayah bundanya!. Joko Wandiro mengangguk-angguk.
"Baiklah, Ayu. Akan tetapi karena engkau hanya seorang diri di pondok, tidak baik kalau aku bermalam di pondokmu. Biarlah aku tinggal di luar pondokmu, menjaga kalau-kalau wanita kejam itu datang kembali."
"Apa engkau mampu melawan dia? Tidak kusangka kau seorang yang sakti, Joko. Kalau kubayangkan betapa tadi kusangka kau seorang..." Dia menutupi mulut menahan tawa. "seorang gendeng dan berpenyakit ayan...!"
"Kau bocah nakal bukan orang sakti, bukan pula gendeng atau ayan, akan tetapi sedikit-sedikit aku mengerti bagaimana caranya menghadapi orang jahat."
Ketika mereka berjalan menuju ke pondok Ayu Candra, kadang-kadang tangan Joko Wandiro menggandeng tangan dara itu. Mula-mula tangan dara itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian, tangan itu menjadi hangat dan mereka bergandengan tangan sambil bercakap-cakap. Ketika Ayu Candra bercerita tentang laki-laki buntung, Joko Wandiro mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak menyatakan sesuatu. Setelah tiba di depan pondok, dari jauh mereka melihat laki-laki buntung duduk di atas bangku depan pondok. Mereka saling melepaskan gandengan tangan.
"Ayu Candra! Kalau ayah bundamu mendengar, bahwa engkau bermain-main dengan seorang pria muda, tentu mereka akan menjadi marah sekali!"
Ayu Candra terkejut mendengar teguran ini. Dan ia merasa heran pula mengapa laki-laki buntung itu kelihatan begitu marah. Menurutkan suara hatinya, ia membentak laki-laki buntung itu, ingin mengatakan agar laki-laki itu tidak mencampuri urusannya. Akan tetapi mengingat bahwa laki-laki itu sudah tua dan buntung pula kedua kakinya, ia hanya menjawab dengan mata bersinar marah,
"Paman Jatoko, dia ini adalah seorang sahabat baruku yang telah menolongku dari maut. Namanya Joko, dan dia akan menemaniku di sini sampai ayah ibuku pulang."
Dalam ucapan yang sifatnya memberi keterangan ini terkandung tantangan dan penandasan bahwa dialah pemilik pondok dan dia pula yang berhak menentukan apa yang akan dibuatnya. Mendadak sikap Ki Jatoko berubah. Lenyap sinar matanya yang marah, lenyap pula sikapnya yang keras dan kaku. Mulutnya kini tersenyum dan Joko Wandiro mendadak merasa kasihan. Muka yang buruk itu makin jelek kalau tersenyum, Laki-laki yang malang, pikirnya.
"Ahh, lain lagi kalau begitu! Ada terjadi apakah? Aku tadipun mendengar suara harimau menggereng-gereng marah. Saking takut aku tadi masuk ke pondok bersembunyi. Apakah kalian diserang harimau?"
Ayu Candra lalu menceritakan pengalaman mereka. Tentu saja ia tidak bercerita tentang anggapannya semula bahwa Joko adalah seorang gila atau ayan. Ia menceritakan betapa mereka diserang harimau dan betapa Joko telah mengalahkan harimau itu. Ia bercerita pula tentang munculnya wanita keji yang membunuh harimau dan berusaha membunuh mereka pula, dan tentang dirinya yang terkena anak panah, sehingga hampir saja nyawanya melayang.
"Aduh kau terpanah? Ah, kulihat dadamu itu...di situkah yang terpanah?" Ki Jatoko membelalakkan kedua matanya, kelihatan terkejut dan khawatir sekali.
"Betul, paman. Akan tetapi sekarang sudah sembuh."
Ki Jatoko memandang ke arah Joko Wandiro penuh selidik. "Kalau wanita itu demikian jahat dan kau hendak melindungi Ayu Candra, hal itu adalah baik sekali. Biarlah aku berganti tempat, kalau malam aku tidur di bilik belakang dan kau boleh tidur di bangku ini, orang muda."
Joko Wandiro menggeleng kepalanya. "Tidak usah, paman. Biarlah saya akan mencari tempat di luar untuk mengaso. Saya tidak mau mengganggu Ayu dan paman."
"Sesukamulah! Ayu Candra, biarkan hari ini aku yang masak. Aku sudah menanak nasi dan tadi kebetulan sekali ada seekor kelinci yang kudapati terluka dan tidak bisa lari. Mungkin terluka oleh harimau tadi. Aku akan memasaknya."
Tanpa menanti jawaban, Ki Jatoko turun dari bangku dan berjalan terbongkok-bongkok dan sukar sekali ke samping pondok, diikuti pandang mata Joko Wandiro dengan kening berkerut.
"Ayu," bisiknya, "kau berhati-hatilah terhadap dia... "
"Apa?!" Ayu Candra juga berbisik, wajahnya terheran, "dia seorang tapadaksa, orang yang lemah dan patut dikasihani"
"Ssttt, aku melihat sesuatu yang tak menyenangkan akan dirinya. Aku tidak percaya kepadanya. Kau berhati-hatilah, Ayu."
"Tapi" Melihat wajah Joko Wandiro yang bersungguh-sungguh, Ayu Chandra tidak mau membantah lagi. "Baiklah, Joko, akan kuperhatikan pesanmu. Akan tetapi... engkau hendak bermalam di mana?"
Pemuda itu tersenyum. "Mudah bagiku. Kalau perlu biar di atas pohon dekat pondokmu, agar lebih mudah aku menjaga keselamatanmu."
Ayu Candra menyentuh tangan Joko Wandiro yang segera menggenggam tangan yang.kecil hangat itu.
"Engkau baik sekali kepadaku, Joko."
"Aku harus baik kepadamu, Ayu. Harus, dan selamanya."
"Siapa mengharuskan?"
"Hatiku."
"lhh, bicaramu aneh sekali, tapi...tapi...hatiku sendiripun mengharuskan aku berbaik dan tunduk kepadamu, Joko."
Kembali kedua tangan itu saling genggam ketika mereka bercakap-cakap sambil berbisik dan baru mereka saling menjauhkan diri ketika Ki Jatoko berteriak memanggil mereka, mengundang mereka untuk makan…..
********************
Sia-sia saja Ki Adibroto membujuk-bujuk isterinya agar suka membatalkan niatnya mencari Pujo untuk membalas dendam. Ia sudah berusaha sekuatnya dan melakukan perjaianan secara memutar, tidak langsung menuju ke Sungapan Kali Progo. Dengan dalih mencari sabahat baiknya, ia bahkan mengajak isterinya menyimpang ke kaki Gunung Merbabu untuk mengunjungi Ki Darmobroto, saudara seperguruannya dan sahabat baiknya yang tinggai di dusun kecil.
Perjumpaan dengan kakak seperguruannya ini amat menggembirakan, apalagi ketika Ki Adibroto melihat putera tunggal sahabatnya itu. Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang tampan dan gagah, bersikap halus dan berkulit putih bersih. Karena kulitnya yang putih sejak lahir itulah maka oleh ayahnya diberi nama Joko Seta. Sebagai seorang putera tunggal yang teiah kehilangan ibunya semenjak kecii, Joko Seta mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan biarpun masih muda, ia merupakan seorang yang sakti mandraguna. Melihat pemuda ini, timbullah rasa suka dalam hati Ki Adibroto dan dengan persetujuan isterinya pula, ia lalu mengajukan usul kepada Ki Darmobroto untuk berbesanan.
Ki Darmobroto menerima usul ini dengan penuh kegembiraan. Biarpun ia menjadi saudara seperguruan yang lebih tua, namun ia sudah cukup tahu akan sepak terjang adik seperguruannya yang mengagumkan, sudah mengenal watak adik seperguruannya ini sebagai seorang pendekar besar yang sakti. Kacang tidak akan meninggalkan lanjarannya, demikian ia berpendapat. Ayahnya seorang pendekar, puterinyapun tentu seorang yang berbudi.
Adapun Joko Seta adalah seorang putera yang amat berbakti dan patuh kepada ayahnya. Di lubuk hatinya memang ia kurang puas menerima keputusan itu, menjodohkan dengan seorang dara yang sama sekali belum pernah ia melihatnya. Akan tetapi maklum bahwa penolakannya akan menyusahkan hati ayahnya, maka ia menerima dengan wajah gembira untuk menyenangkan hati ayahnya. Demikianlah, ikatan perjodohan itu diresmikan oleh kedua orang tua.
Penyimpangan perjalanan ini tidak membuat Listyokumolo berubah niat hatinya. Setelah meninggalkan rumah calon besan itu, ia lalu mengajak suaminya melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, yaitu ke Bayuwismo, bekas tempat tinggal Resi Bhargowo yang diduga menjadi tempat tinggal Pujo dan isterinya sekarang. Sambil menghela napas Ki Adibroto terpaksa meluluskan kehendak isterinya dengari hati penuh kekhawatiran. Dalam percakapannya dengan Ki Darmobroto, ia telah menyinggung tentang Pujo yang dicari-cari isterinya itu dan Apa kata calon besan itu tentang diri Pujo?
"Aku mengenal baik paman Resi Bhargowo dan aku pernah bertemu satu kali dengan adimas Pujo, murid dan mantunya yang gagah perkasa, pendekar yang menjunjung kebenaran dan keadilan."
Jawaban Ki Darmobroto itu menambah kedukaan hati Ki Adibroto. Tepat seperti yang telah diduganya dan ditakutinya. Pujo adalah seorang satria yang perkasa dan tentang permusuhan Itu, tak salah lagi tentulah bekas suami isterinya, Wisangjiwo, yang memulainya. Betapa pun juga, ia merasa tidak setuju dengan sepak terjang Pujo dalam membalas dendam. Kalau Wisangjiwo yang bersalah terhadap pendekar itu, kenapa Pujo membalasnya kepada Listyokumolo dan puteranya yang sama sekali tidak berdosa? Dengan modal pendapat inilah maka ia mengikuti isterinya menuju ke Bayuwismo. Ia hanya akan melihat dan mendengar dan siap membela isterinya dari pada marabahaya dan mencegah isterinya melakukan sesuatu yang melanggar kebenaran.
Menjelang senja mereka tiba di Sungapan. Dan kebetulan sekali mereka berdua melihat Pujo berdiri seorang diri di pinggir hutan kering di dekat pantai, di lembah sungai yang menumpahkan airnya ke laut. Begitu melihat laki-laki itu, Listyokumolo segera mengenalnya. Wajahnya menjadi merah, sinar matanya berapi dan ia mendesis.
"Itulah dia, si keparat Pujo!" Hampir ia berlari menuju ke tempat musuh besarnya berdiri. Namun suaminya sudah memegang lengannya dan berbisik,
"Kau bersikaplah tenang, isteriku. Jangan dibikin mabuk oleh nafsu dendam. Kau boleh menemuinya dan bertanyalah secara baik-baik, tegurlah ia akan perbuatannya yang lalu dan tanyakan di mana adanya puteramu. Jangan bertindak terburu nafsu, dan apabila puteramu dalam keadaan baik, kurasa tidak perlu kau melanjutkan permusuhan ini. Aku akan tinggal di sini dan mengamat-amati dari sini, karena aku merasa tidak enak kalau mencampuri urusan ini."
Listyokumolo mengangguk kemudian meninggalkan suaminya yang bersembunyi di balik gerombolan pandan itu. Dengan hati berdebar dan tangan menggigil saking menahan gelora hatinya, wanita itu berlari cepat menghampiri Pujo yang tengah berdiri melamun seorang diri. Pondok kecil di pinggir laut tampak puluhan meter dari tempat itu dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi. Pria itu memang Pujo adanya. Beberapa tahun sudah ia tinggal di Bayuwismo, hidup penuh kebahagiaan dengan kedua orang isterinya, yaitu Kartikosari dan Roro Luhito.
Dua orang wanita ini seakan berlumba dalam pencurahan cinta kasih yang mendalam terhadap dirinya sehingga Pujo merupakan seorang pria yang amat bahagia dalam hal ini. Akan tetapi, kadang-kadang ia suka termenung kalau berada sendirian, teringat akan puterinya yang tak pernah dilihatnya, yaitu Endang Patibroto. Kalau teringat akan hal ini, penyesalan memenuhi hatinya, menghambarkan semua kebahagiaan hidupnya. Ia merasa amat rindu kepada puterinya, anak tunggal yang tidak pernah ia lihat itu.
Memang ada hal yang mengurangi kedukaan dan penyesalan ini yaitu bahwa kini kedua orang isterinya sedang mengandung! Sekaligus ia akan mendapatkan pengganti puterinya yang hilang sebanyak dua orang anak. Akan tetapi, betapa pun juga, ia masih sangat ingin bertemu dengan puterinya yang hilang. Apalagi kalau ia ingat betapa Kartikosari sering kali menangis sedih apabila teringat akan Endang Patibroto.
Teringat akan ini, hati Pujo merasa perih dan membuat ia teringat akan semua sepak terjangnya yang lalu. Kalau sudah begitu, timbullah penyesalan besar di dalam hatinya. Teringatlah ia akan Wisangjiwo yang disangkanya menjadi musuh besarnya. Teringatlah ia betapa nafsu dendam membuat ia seperti gila, membuat ia mengamuk di Kadipaten Selopenangkep, membunuhi orang tak berdosa, bahkan telah menculik isteri Wisangjiwo dan puteranya. Teringat akan keadaan isteri Wisangjiwo yang menjadi gila karena perbuatannya itu sehingga wanita yang malang nasibnya itu dipulangkan ke desanya, kemudian bahkan dibawa lari perampok. Semua ini gara-gara perbuatannya yang didorong nafsu dendam yang menggila.
"Ah, agaknya hilangnya puteriku merupakan hukuman bagi perbuatanku itu. Beginilah rasanya kehilangan anak, dan aku telah merenggut Joko Wandiro dari tangan dan hati ayah bundanya! Hukum karma, tepat seperti yang dikatakan bapa Resi Bhargowo. Semoga Dewata sudi mengampuni dosaku dan anakku dalam keadaan aman sentosa "
Demikianlah pada senja hari itu ia melamun dan menyesali perbuatannya. Tiba-tiba Pujo meloncat dan memutar tubuhnya membalik. Biarpun gerakan di sebelah belakangnya itu perlahan sekali, namun sebagai seorang sakti ia telah dapat mendengarnya. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik telah berdiri di situ, menentangnya dengan pandang mata penuh kebencian dan kemarahan serta memegang sebatang keris yang mengeluarkan sinar, sebuah keris pusaka! Akan tetapi, pendekar sakti ini segera dapat menenangkan hatinya dan dengan sabar dan tenang ia bertanya,
"Siapakah andika dan apakah kehen..."
"Pujo! Sudah butakah matamu sehingga kau tidak mengenal aku? Ataukah engkau pura-pura tidak mengenal? Lupakah kau akan peristiwa di Gua Siluman delapan belas tahun yang lalu?"
Wanita itu membentak dan memotong pertanyaannya. Kini Pujo benar-benar kaget sekali. la mengenal suara ini, mengenal pula sekarang wajah ini dan ia benar-benar terkejut bukan main. Kedua matanya terbelalak dan ia berdiri bagaikah arca, bibirnya bergerak,
"Andika...Listyokumolo...?" Ia masih belum percaya akan dugaan ini dan memandang dengan penuh keheranan.
Listyokumolo tersenyum mengejek, dan tangan yang memegang keris itu gemetar. "Bagus, engkau masih ingat kepadaku. Aku datang untuk menuntut balas, untuk minta pertanggungan jawabmu atas kekejian yang kau lakukan delapan belas tahun yang lalu! Hayo katakan di mana kau kubur anakku? Kau tentu telah membunuh Joko Wandiro!"
Seketika lemas kedua lutut Pujo ketika mendapatkan kenyataan bahwa wanita ini memang betul Listyokumolo. Wanita inilah yang selama ini ia bayangkan, menjadi pengganggu kebahagiaan hidupnya karena ia merasa berdosa kepada wanita ini. Sekarang wanita ini datang. Dia ibu Joko Wandiro, muridnya! Melihat sinar mata penuh kebencian, penuh dendam dan kedukaan, tak tertahankan lagi Pujo menjatuhkan diri berlutut. Sejenak ia merasa kepalanya pening dan ia menutupi muka dengan kedua tangannya. Alangkah besar dosanya kepada wanita ini, wanita yang tidak berdosa sama sekali. Ia telah merenggut semua kebahagiaan hidup wanita ini, merampas puteranya, membuat ia menjadi gila sehingga terpisah pula dari suami.
Kehidupan wanita ini telah hancur lebur, semua karena akibat perbuatannya. Dendamnya kepada Wisangjiwo dahulu telah membuat ia gila, membuat ia menumpahkan dendamnya kepada wanita tak berdosa ini. Alangkah kejamnya ia. Alangkah menyesal hatinya sekarang, apalagi kalau dia ingat bahwa dendamnya kepada Wisangjiwo dahulu itu salah alamat! Dosanya kepada wanita ini adalah dosa tak berampun. Ia telah merusak kehidupan Listyokumolo, merusak sehingga tak dapat diperbaikinya kembali.
"Aku berdosa...aku mengaku bersalah. Aku telah menjadi gila dan buta oleh dendam kepada suamimu, dendam yang salah alamat pula. Engkau sudah datang, engkau berhak menuntut balas. Aku menerima segala pembalasanmu. Akan tetapi, percayalah, puteramu Joko Wandiro tidak kubunuh. Dia kupelihara baik-baik, bahkan menjadi puteraku, menjadi muridku. Kini ia menjadi murid Ki Patih Narotama."
"Bohong! Pengecut kau! Inikah seorang satria? Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, tidak berani mengaku. Aku tak percaya omonganmu! Kalau Joko Wandiro masih hidup, tentu dia sudah mencari ibu kandungnya."