Nyeri pada kedua kaki yang mendenyut-denyut sampai menembus jantung dan tulang sumsum. Nyeri karena perih dan sakit-sakit pada seluruh tubuh, pada mukanya. Nyeri yang tak tertahankan lagi, bagaikan dibetot-betot nyawa dari tubuh. Serasa ditarik-tarik semua urat di tubuhnya. Jokowanengpati tidak kuat lagi dan akhirnya ia roboh pingsan di atas pasir. Saat itulah penentuan mati hidupnya. Dan jelas bahwa Tuhan menghendaki dia hidup. Buktinya, secara kebetulan sekali air laut menjadi surut setelah ia roboh pingsan. Andai kata air laut tidak surut dan sebaliknya malah pasang, tentu ia akan terendam air atau dibawa hanyut ke tengah oleh ombak.
Air laut yang surut membuat Jokowanengpati menggeletak tertelungkup di atas pasir, seperti mayat. Semalam suntuk ia menggeletak tak sadarkan diri di atas pasir. Kalau saja ia tidak terluka sewaktu berada di dalam air laut, tentu ia akan tewas, bukan saja karena luka akan tetapi juga karena kehabisan darah. Agaknya air laut menjadi obat penawar yang mujijat. Pada pagi harinya, Jokowanengpati siuman dari pingsannya. Dengan merangkak-rangkak ia mendarat. Setelah ia terbebas dari pada cengkeraman maut yang mengerikan, biarpun ia harus mengorbankan kedua kakinya, kini ia ingin hidup terus! la belum mau mati dan timbul pula semangatnya untuk hidup.
Biarpun harus merangkak-rangkak, akhirnya ia dapat memasuki sebuah hutan dan merawat luka-lukanya sampai sembuh. la tidak berani keluar dari dalam hutan-hutan lebat. la maklum bahwa kalau musuh-musuhnya mengetahui bahwa ia masih hidup, tentu mereka akan datang mencarinya dan rnembunuhnya. Dan dalam keadaan seperti itu, tak mungkin ia mampu mengadakan perlawanan seimbang.
Karena itulah, Jokowanengpati hidup di dalam hutan-hutan, merawat luka-lukanya dan juga memperdalam ilmu-ilmunya karena la ingin hidup terus. Dan untuk dapat hidup terus ia harus memperdalam ilmu-ilmunya untuk mengatasi kebuntungan kakinya. Untuk menyambung hidupnya di dalam hutan ia tidak khawatir. Biarpun kedua kakinya buntung, namun kedua tangannya masih ampuh. Sekali sambit dengan batu ia mampu merobohkan binatang hutan, baik binatang kelinci, kijang, maupun harimau.
Demikian, lima tahun lebih ia merantau seperti binatang di dalam hutan-hutan sehingga akhirnya ia naik ke lereng Gunung Lawu. Ia tadinya berniat hendak bertapa dan memperdalam kesaktiannya. Akan tetapi karena selama lima tahun lebih tidak bergaul dengan manusia, ia merasa kesepian dan terutama sekali ia merasa rindu akan seorang wanita. Perasaan sepi dan rindu ini yang membuat ia tergoda dan tersiksa dalam tapanya sehingga ia mengeluh dan merintih ketika secara kebetulan sekali Ayu Candra lewat.
Alangkah kaget, heran, dan girang hati Jokowanengpati ketika ia mendengar suara wanita menegur di luar pohon dimana ia bertapa! Hampir ia tidak percaya akan pendengaran telinganya. Suara wanita! Dan begitu merdu, begitu halus. Telinganya yang sudah hafal akan suara wanita segera dapat menduga bahwa yang berdiri di luar pohon adalah seorang wanita muda, seorang gadis remaja. Maka ia lalu bersandiwara, membuka pintu tempat pertapaannya di dalam batang gerowong, lalu menggelundung keluar. Dengan akal yang cerdik sekali, disertai Aji Asmoro kingkin yang pernah ia pelajari dari Ni Nogogini, ia berhasil membuat hati gadis itu terharu dan suka kepadanya, ia berhasil mempengaruhinya dan kini dengan hati girang ia ikut gadis remaja yang cantik jelita itu pulang ke pondok!
Dapat dibayangkan betapa jantung laki-laki yang sudah bobrok moralnya ini berdebar tidak karuan ketika ia digandeng oleh Ayu Candra yang menaruh kasihan kepadanya. Akan tetapi, mengingat akan cara gadis jelita ini tadi memecah buah kelapa dengan telapak tangan, kemudian melihat pula cara Ayu Candra mendaki dan menuruni bukit sambil menggandengnya sedemikian cekatan, pula merasa betapa ketika menggandengnya, gadis itu menyalurkan hawa sakti untuk dapat membawanya melompati jurang-jurang kecil, Jokowanengpati yang kini sudah berganti nama Ki Jatoko (Sengsara) itu maklum bahwa Ayu Candra bukanlah gadis sembarangan. Tentu orang tuanya yang bernama Ki Adibroto juga seorang yang memiliki kesaktian.
Maka ia berlaku hati-hati dan menahan-nahan hasrat hatinya yang timbul oleh dorongan nafsu berahi melihat gadis yang benar-benar amat jelita ini. Hatinya girang dan lega mendengar bahwa ayah bunda gadis itu tidak berada di pondok. Gadis itu berada seorang diri! Calon korban yang mudah dan lunak. Betapa pun juga, ia tidak mau berlaku sembrono dan ada sesuatu dalam gerak-gerik dan sikap Ayu Candra yang amat menarik dan yang mengguncangkan hatinya, perasaan yang selamanya belum pernah ia alami.
Biasanya, menghadapi setiap orang wanita dari gadis dusun sampai puteri bangsawan, ia memandang dan menganggapnya sebagai setangkai bunga yang menarik hati, yang menimbulkan rangsang dan hasrat untuk memetik, menikmati keindahannya, mencium keharumannya, kemudian melemparkannya bunga yang melayu tanpa perasaan kecewa atau menyesal lagi. Akan tetapi, kali ini tidak demikian. Memang tersentuh berahinya menyaksikan gadis jelita ini, mendorong nafsunya untuk memiliki Ayu Candra, akan tetapi berbeda dengan yang sudah-sudah, ia mendapat keyakinan dalam perasaannya bahwa hidupnya akan selalu bahagia apabila ia dapat terus berdampingan dengan gadis ini!
Inilah yang membuat hati Ki Jatoko ragu-ragu untuk mempergunakan kekerasan seperti yang seringkali ia lakukan terhadap para wanita korbannya. Inilah yang membuat Ki Jatoko timbul keinginan di hatinya untuk mempersunting Ayu Candra dengan bujuk rayu, ingin dicinta gadis itu sepenuh hati, dan ingin melihat gadis itu menyerahkan diri dan jiwa kepadanya dengan landasan cinta kasih!
Menggelikan sekali! Ki Jatoko, atau Jokowanengpati, yang dahulunya seorang pria yang gagah dan tampan, yang tidak pernah jatuh hati kepada wanita mana pun juga, yang hanya suka untuk mempermainkannya, kini setelah berusia empat puluh tahun lebih, setelah kedua kakinya buntung dan badan serta mukanya penuh cacat, secara mendadak ia jatuh cinta kepada seorang gadis cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Sungguh gila! Gilakah Jokowanengpati karena mencinta gadis jelita remaja puteri? Kalau dia dikatakan gila, maka agaknya di dunia ini penuh orang gila!
Betapa banyaknya di dunia ini terdapat orang-orang seperti Jokowanengpati, malah banyak yang lebih gila dari pada itu. Orang-orang dimabuk cinta, dimabuk benci, dirangsang marah, dibakar dendam, digoda iri dan dengki. Tidak, Jokowanengpati atau Ki Jatoko tidak gila, melainkan lemah. Dia lemah seperti manusia kebanyakan, lemah terhadap nafsu-nafsu pribadi, menjadi hamba nafsu dan karenanya menjadi abdi iblis dan setan!
Cinta kasih yang bersemi secara aneh di lubuk hati Ki Jatoko inilah yang membuat Ayu Candra terjamin keamanannya dalam perjalanan pulang itu. Andai kata tidak ada cinta kasih yang ganjil ini tentu ia telah ditubruknya dan diperkosa dengan kekerasan. Dan betapa pun pandai gadis itu dalam ilmu silat dan kesaktian, dia bukanlah lawan Ki Jatoko atau Jokowanengpati!
Dalam perjalanan pulang ke pondok di Sarangan ini, sambil bergandeng tangan, Ki Jatoko berhasil memancing Ayu Candra menceritakan keadaannya. Gadis ayu yang sama sekali tidak menaruh curiga itu menceritakan bahwa ayahnya, Ki Adibroto, adalah seorang pendekar daerah Ponorogo yang terkenal, seorang warok golongan putih, yang tidak akan ragu-ragu untuk membasmi kejahatan. Dalam bercerita tentang ayahnya, Ayu Candra merasa bangga.
"Pantas saja engkau pun hebat sekali!" Ki Jatoko memuji. "Aku tadi merasa kagum dan heran ketika engkau memecah buah kelapa dengan tanganmu yang halus lunak ini. Kiranya engkau puteri seorang pendekar perkasa!"
Ayu Candra adalah seorang gadis yang masih hijau dalam pergaulan dan pengalaman. Ia tidak dapat membedakan antara bujuk rayu dan pujian sesungguhnya. Ia merasa bangga dan dengan kedua pipi kemerahan ia berkata, "Ah, paman Jatoko, kau terlalu memuji. Kepandaianku tidak ada artinya kalau dibandingkah dengan ayah. Kau tunggulah sampai ayah pulang, tentu ayah akan menolongmu."
"Aku boleh tinggal bersamamu di pondok? Apakah ayah bundamu tidak akan marah?"
Ayu Candra masih bodoh. Belum begitu mendalam pengertiannya tentang tata susila antara pria dan wanita. Apalagi, dalam pandang matanya, Ki Jatoko adalah seorang tua yang bercacat, pantas menjadi pamannya. Apa salahnya kalau mondok di rumahnya? Orang yang berpikiran bersih memang tidak ada syak wasangka yang bukan-bukan.
"Mengapa tidak boleh? Tentu saja mereka tidak akan marah! Siapa orangnya takkan menolong kalau melihat keadaanmu seperti ini?"
"Kau baik sekali...kau baik sekali..." Entah mengapa, Ki Jatoko menggigil seluruh tubuhnya dan biarpun ia berusaha menekan, tangan Ayu Candra yang menggandeng tangannya merasa betapa tangan laki-laki buntung itu tergetar. Hal ini dianggap oleh gadis itu sebagai perasaan terharu si laki-laki buntung yang merasa amat bersyukur dan berterima kasih. Ia menjadi makin kasihan.
Setibanya di pondok, Ayu Candra cepat menanak nasi dan memasak sayuran untuk Ki Jatoko yang duduk di lincak (bangku bambu) depan pondok. Setelah matang, gadis itu mempersilakan tamunya dahar yang diterima dengan rasa syukur dan girang oleh Ki Jatoko. Malam itu Ki Jatoko bermalam di pondok. Akan tetapi ia menolak ketika oleh Ayu Candra ditawarkan bilik belakang.
"Tidak, anak manis, biarlah di sini saja di atas lincak ini cukuplah."
"Akan tetapi, di luar dingin sekali, paman. Pula, kalau malam nanti datang binatang buas, kan berbahaya?"
Di dalam hatinya, Ki Jatoko mentertawakan. Masa ia takut akan segala binatang buas? Akan tetapi mulutnya menjawab, "Ah, kiranya tidak akan ada binatang buas yang doyan tubuhku lagi. Pula, biasanya binatang buas tidak berani mendekati tempat tinggal manusia. Aku sudah biasa tidur di luar, mungkin kalau tidur di dalam pondok malah menjadi gelisah tak dapat tidur."
Ayu Candra tidak memaksa dan malam itu dia segera memasuki biliknya. Betapa pun juga, tidak enak hatinya kalau malam-malam bercakap-cakap dengan laki-laki buntung itu, ia merasa canggung juga. Ia tidak tahu bahwa Ki Jatoko memang sengaja tidak mau tidur di dalam pondok karena ada niatnya. Di samping itu, laki-laki yang cerdik ini menjaga kalau-kalau orang tua gadis itu sewaktu waktu pulang. Jika pulang di waktu malam dan melihat dia sebagai seorang pria berani tidur sepondok dengan puteri mereka, tentu mereka akan marah dan menganggap dia tidak tahu aturan.
Sungguh dia polos, suci murni dan baik budi. Demikian Ki Jatoko termenung memikirkan gadis ayu itu yang tanpa ragu-ragu mempersilakan dia seorang laki-laki asing, untuk tidur di dalam pondok. Bagi umum, tentu hal ini dianggap pelanggaran susila, akan tetapi ia tahu betul bahwa gadis itu menawarkan pondok dengan hati bersih dari pada segala pikiran yang bukan-bukan. Ki jatoko gelisah sekali. Sampai jauh malam ia tidak dapat tidur, hanya duduk merenung di atas lincak.
Bayangan wajah yang cantik jelita, bentuk tubuh yang ramping padat, keindahan dan keranuman usia muda, kulit tangan yang halus lunak dan hangat, semua ini menggoda hatinya, membangkitkan berahi yang makin berkobar. Apalagi kalau ia terkenang akan semua perbuatannya di masa lalu, membanding-bandingkan semua korbannya, yaitu wanita-wanita yang dimilikinya baik secara halus maupun kasar, secara suka rela maupun perkosaan, dalam kenangannya tidak ada yang dapat melawan Ayu Candra!
"Aku harus dapatkan dia! Harus! Matipun takkan penasaran lagi, setiap waktu matipun aku akan rela asal sudah mendapatkan dia. Ah, Ayu Candra bocah ayu denok, kau membikin aku tergila-gila"
Ki Jatoko lalu bersedakap dan matek aji sirep. Sejam kemudian, keadaan pondok dan sekelilingnya sunyi mati, tidak terdengar suara sedikitpun karena terkena pengaruh aji sirep yang ampuh. Ki Jatoko lalu meloncat turun dari lincak dan kini gerakannya amat gesit ketika ia membuka daun pintu pondok dan berjalan biasa menggunakan kedua kaki buntungnya. Berindap-indap ia menghampiri bilik tempat tidur Ayu Candra.
Dari dalam bilik bersinar cahaya dian yang menyorot keluar menembus celah-celah anyamam bambu, menyinari wajah Ki Jatoko yang kelihatan mengerikan sekali. Wajah itu lebih buruk dari pada biasanya. Kini berkilat-kilat basah oleh peluh, matanya agak kemerahan dan bersinar-sinar penuh nafsu berahi, mulutnya menyeringai basah, napasnya agak tersendat-sendat tertahan karena gelora nafsu asmara.
Dengan tangan gemetar didorongnya daun pintu bilik itu dan di lain saat ia sudah memasuki bilik. Seperti terpesona ia berdiri di ambang pintu. Dian itu kecil sumbunya. Api minyak kelapa itu kecil namun anteng dan membuat keadaan bilik remang-remang. Ayu Candra tampak tidur nyenyak. Rambut yang panjang gemuk dan hitam itu terurai, sebagian menutupi muka, terus terurai ke bawah menutupi dada, membuat kulit dada itu tampak makin putih halus di balik kehitaman rambut.
Dada padat membusung itu bergerak perlahan naik turun seirama dengan napas yang halus dan tidak bersuara. Mata yang membuat bulu mata tampak panjang melengkung dan membuat bayang-bayang di bawah mata. Bibir yang merah membentuk gendewa terpentang itu mengulum senyum, manis mengalahkan sari madu. Tubuh yang padat, denok dan ramping, kelihatan panjang ketika tidur telentang.
Lengan kiri dara itu ditekuk ke atas, lengan kanan menyilang perut, seperti gerak tari yang amat indah gemulai. Ki Jatoko mengejapkan matanya, menggoyang-goyang kepala. Akan tetapi ketika memandang kembali, tetap saja ia menjadi seperti mabuk. Berkali-kali ia menelan ludah, tubuhnya makin menggigil, dan perlahan-lahan ia mendekati pembaringan.
"Ayu...Ayu Candra...aduhhh alangkah cantik jelita engkau...belum pernah kumelihat wanita secantik engkau, Ayu...!"
Ucapan ini tidak dibisikkannya, melainkan diucapkan. Akan tetapi Ayu Candra yang biasanya peka dan mudah bangun dari tidurnya setiap mendengar suara yang tidak sewajarnya, kini tetap pulas. Ternyata ia telah terkena pengaruh aji sirep yang ampuh tadi sehingga keadaannya seperti orang pingsan.
Jangankan hanya suara manusia, biar suara harimau mengaum dekat telinganya, ia takkan dapat bangun. Andai kata ia diseret turun dari atas pembaringan sekali pun, ia takkan dapat sadar! Ki Jatoko kini sudah dekat, berdiri di pinggir pembaringan. Harum kembang mawar putih yang tersebar di atas pembaringan membuat ia sejenak memejamkan kedua matanya. Cuping hidungnya tergetar dan napasnya menjadi sesak. Ketika ia membuka matanya kembali, tampak matanya membasah. Keindahan yang tampak di depan matanya begitu mempesona, begitu memikat, begitu indah sampai mendatangkan rasa haru.
"Aduh, dewiku...kalau engkau tidak membalas cintaku, aku tidak mau hidup lagi...!
Kedua tangan Ki Jatoko terulur, jari-jari tangannya tergetar, ia bergerak memeluk, hendak merangkul. Akan tetapi sebelum jari tangannya menyentuh kulit yang putih halus itu, tiba-tiba ia tersentak kaget dan menarik kembali tangannya.
"Duh Jagad Dewa Bathara! Gilakah aku? Ayu Candra...bocah ayu kuning...bagaimana aku dapat memperlakukannya seperti wanita-wanita lain? Bagaimana aku tega untuk memperkosanya? Tentu dia akan benci kepadaku! Tentu ia akan memandang rendah, akan mengutukku, memusuhiku. Ahhh...tidak boleh begini! Jokowanengpati, engkau sudah gila! Gadis ini benar-benar telah menjatuhkan hatiku. Aku...aku cinta kepadanya, tidak boleh ia membenciku. Aduh... Ayu Candra...engkau maafkan aku, nimas! Aku tidak tega memaksamu, aku akan menanti sampai engkau dengan suka rela menyerahkan diri kepadaku, membalas cinta kasihku...!"
Lemaslah kedua kaki yang tinggal paha itu dan Ki Jatoko hanya berani mencium ujung rambut yang terurai keluar dari pembaringan. Kemudian dengan pipi basah air mata ia keluar lagi dari bilik menutupkan pintu dan merebahkan diri di atas lincak di depan pondok. Ia gelisah tak dapat tidur, mengeluh panjang pendek, dan akhirnya baru bisa pulas menjelang fajar.
Cinta memang perasaan ajaib. Akibat dari pada cintapun banyak macamnya dan aneh-aneh. Orang merasa dirinya dalam surga dunia karena cinta. Akan tetapi dapat juga merasa dirinya dalam neraka dunia karena cinta. Cinta ditempeli nafsu berahi membuat orang lupa akan tata susila. Cinta dicampur cemburu dapat membuat orang menjadi kejam dan suka menyiksa. Cinta dapat merubah seorang baik-baik menjadi seorang yang jahat dan keji. Sebaliknya cinta dapat pula merubah seorang yang biasanya jahat menjadi seorang yang baik dan setia terhadap orang yang dicintainya. Cinta mampu merubah watak domba menjadi watak harimau, sebaliknya watak harimau dirubah menjadi watak domba.
Ayu Candra bangun dari tidurnya, bangkit dengan malas, menggeliat dan menguap di belakang kepalan tangannya. Ia merasa tubuhnya segar. Enak sekali tidurnya malam tadi. Akan tetapi...tiba-tiba ia mengerutkan alisnya yang hitam melengkung. Ia bermimpi malam tadi! Mimpi aneh sekali, dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua pundaknya yang telanjang seperti orang jijik. Ia mimpi menggandeng tangan Ki Jatoko seperti kemarin akan tetapi tiba-tiba Ki Jatoko mencium ujung jarinya. Ketika dilepaskan pegangannya, tangan yang dicium itu menjadi busuk dan rusak, seperti orang sakit kusta dan makin lama penyakit itu menjalar makin ke atas, makan jarinya, tangannya, lengannya!
"Ihhh...! Gila, menjijikkan!"
la melompat turun dari pembaringan dan mencoba untuk menghibur diri dengan keyakinan bahwa hal itu hanya terjadi dalam mimpi. Akan tetapi hatinya tetap tidak enak, seakan-akan ada kotoran yang hinggap pada tubuhnya dan harus segera dibersihkan!.
Di luar pondok, ayam hutan terdengar berkokok saling sahut. Memang sudah biasa dara ini bangun pagi-pagi sekali. Bangun pagi di waktu ayam berkokok menyehatkan dan menyegarkan badan. Ia lalu meniup padam dian di atas meja, dan berjalan keluar dari bilik. Hati-hati ia membuka pintu depan dan ketika menjenguk keluar, ia melihat Ki Jatoko masih tidur meringkuk di atas lincak. Kelihatan pendek sekali. Mulutnya terbuka dan dengkurnya kasar. Ayu Candra bergidik teringat akan mimpinya semalam.
Makin tak enak perasaan hatinya setelah melihat orang yang kakinya buntung itu tidur mendengkur di atas lincak. Benar menjijikkan sekali. Karena keadaan si buntung itu tidak menderita seperti siang tadi, rasa kasihan menipis di hatinya dan rasa jijik timbul. Sialan, pikirnya. Mimpi saja kok macam itu. Ia jarang sekali mimpi dan mimpi yang sekali ini benar-benar membuat ia tak tenang jiwanya. Ia menutup daun pintu depan lalu melangkah keluar dan cepat-cepat ia berlari menuju ke telaga. la sengaja jalan memutar dan memilih bagian yang jauh dari pondoknya, yang sunyi dan memang bagian ini menjadi tempat ia mencuci pakaian dan mandi. Bagian ini airnya paling bersih.
Sampai tempat itu, ia duduk di atas batu yang bersih licin. Duduk termenung. Mengapa ayah bundanya lama amat perginya? Kalau mereka pulang, tentu hatinya akan tenteram. Kini teringat ia betapa sepasang mata orang buntung itu seperti mata setan. Aneh sekali, pikirnya. Orang buntung yang sengsara dan lemah itu memiliki sepasang mata yang memancarkan cahaya aneh dan begitu kuatnya, seakan-akan mampu menjenguk isi hatinya.
Mata seperti itu sepatutnya dimiliki seorang yang sakti! Ada persamaan dengan sinar mata ayahnya, hanya kalau sinar mata ayahnya yang tajam itu mengandung kelembutan dan ketenangan, adalah mata orang buntung ini juga tajam akan tetapi mengandung sesuatu yang aneh dan liar tidak tenang.
Ayu Candra tidak segera turun keair. Hari masih terlalu pagi, dan hawa udara amat dingin. Biasanya, ia baru berani terjun ke air kalau matahari sudah muncul sehingga begitu selesai mandi ia dapat berjemur menghangatkan tubuh dan mengeringkan rambut. Apalagi sekarang karena tergesa-gesa hendak segera meninggalkan pondok dan orang buntung itu, ia telah kelupaan membawa kain pengganti.
Ibunya melarangnya mandi bertelanjang, kecuali di waktu malam gelap. Banyak mata laki-laki kurang ajar, kata ibunya. Pernah dibantahnya bahwa di telaga tidak ada orang lain. Siapa tahu, kata ibunya. Di mana-mana dalam dunia ini akan kau jumpai laki-laki kurang ajar yang suka mengintai wanita mandi, apalagi kalau mandi bertelanjang, kata pula ibunya. Ia teringat akan laki-laki buntung.
Apakah mata laki-laki itupun mata kurang ajar? Ayu Candra belum mampu membedakan dengan jelas. Pernah ketika di Ponorogo dahulu, ketika ia pulang dari pasar, lima orang pemuda berandalan menggodanya dengan ucapan ucapan kasar, bahkan tangan mereka berlancang hendak menjamahnya. Mula-mula Ayu Candra melayani mereka bicara, akan tetapi setelah tangan mereka mulai jahil, ia mengeluarkan kepandaiannya dan membuat mereka berlima berjungkir balik dan babak belur. Mulailah ia dikenal orang dan tak seorangpun pemuda berani berkurang ajar kepadanya. Apalagi setelah orang tahu bahwa dia puteri pendekar Adibroto!
Kalau teringat kepada Ki Jatoko dan mimpinya semalam, Ayu Candra masih merasa jijik dan merasa seakan-akan tubuhnya menjadi kotor. Ia bangkit dari duduknya dan mencari daun pandan dan bunga-bungaan karena ia hendak keramas. Kalau hanya mandi biasa tanpa keramas, ia takkan merasa dirinya bersih kembali. Sementara itu, matahari sudah mulai menyinarkan cahayanya yang lembut dan kemerahan.
Lama juga gadis ini duduk termenung tadi. Ayu Candra sama sekali tidak tahu bahwa ketika sedang memetik daun pandan dan bunga-bunga mawar, sepasang mata yang baru bangun tidur menatapnya dari atas sebatang pohon yang besar. Mata itu mula-mula terbuka kaget dan bangun dari tidur ketika Ayu Candra menginjak daun-daun kering, kemudian terbelalak memandang ke bawah, lalu ketap-ketip (berkejap-kejap) dan tangannya menggaruk-garuk kepala, menggosok-gosok kedua mata yang masih sepet, memandang kembali dan sekali lagi melongo.
"Mimpikah aku? Gila benar, ada mimpi begini jelas?"
Tangan itu kini mencubit pahanya sendiri dan mulutnya menyeringai ketika ia merasa nyeri. Ketika memandang ke bawah lagi, ia melihat dara jelita itu yang sudah selesai memetik bunga, kini berjalan pergi. Lenggang yang seenaknya tak dibuat-buat itu seakan-akan mempunyai daya tarik dan membetot-Betot hati laki-laki yang rebah di atas batang pohon besar. Ia bangkit dan duduk di atas cabang pohon, matanya terbelalak memandang pinggul yang menari-nari itu.
"Bukan mimpi! Dia itu peri penjaga hutan atau peri telaga yang kesiangan! Atau bidadari kahyangan hendak mandi! Kalau manusia tak mungkin. Bagaimana seorang dara remaja berada seorang diri dihutan sunyi dan liar ini? Dan kalau manusia tidak ada yang sedemikian eloknya, wajahnya bersinar-sinar seperti mengeluarkan cahaya keemasan, rambutnya seperti awan hitam berarak, kakinya begitu ringan tak menyentuh bumi! Aduh Gusti, benar-benarkah aku melihat bidadari?"
Laki-laki itu menyingkap rambut yang turun ke dahi itu, lalu sekali menggerakkan tubuh ia telah melayang turun dari pohon. Gerakannya amat ringan dan sigap, kedua kakinya menginjak tanah tanpa mengeluarkan suara! Dia seorang laki-laki yang masih amat muda, bertubuh sedang dengan bentuk tegap kuat, wajahnya tampan. Akan tetapi pada saat itu sinar matanya yang tajam berpengaruh itu diselimuti kebingungan yang timbul dari hati yang berdebar-debar. Dengan gerakan yang amat gesit namun sama sekali tidak mengeluarkan suara, ia mengejar ke depan dan mengikuti Ayu Chandra yang berjalan dengan lenggang sewajarnya menuju ke pinggir telaga.
Sinar matahari pagi disambut keriangan burung yang berkicau merdu, tanda bahwa permukaan bumi mulai bangun untuk menyambut kemegahan sang surya. Keadaan yang indah ini agaknya mempengaruhi hati Ayu Candra karena mulutnya mulai tersenyum-senyum, wajahnya berseri dan ia lalu bersenandung.
"Ana pandhita akarya wangsit,
minda kumbang angajab ing tawang,
susuh angin ngendi nggone,
lawan galihing kangkung,
wekasane langit jaladri,
Isining wulung wungwang,
lan gigiring punglu,
tapaking kuntul anglayang,
manuk miber uluke ngurgkuli langit,
kusuma jrahing tawang."
minda kumbang angajab ing tawang,
susuh angin ngendi nggone,
lawan galihing kangkung,
wekasane langit jaladri,
Isining wulung wungwang,
lan gigiring punglu,
tapaking kuntul anglayang,
manuk miber uluke ngurgkuli langit,
kusuma jrahing tawang."
Pemuda yang mengikuti dari belakang itu melongo. Aduhh, pikirnya, tentu bidadari kahyangan. Kalau seorang gadis gunung biasa tak mungkin bertembang seperti itu! Suaranya merdu melebihi burung kenari. Tembang Dandanggendis itu tepat dan indah alunannya seperti nyanyian waranggana istana saja. Dan kata-katanya Mengandung makna yang amat dalam, penuh filsalat kebatinan yang hebat!
Selama hidupnya, baru kali ini Joko Wandiro terpesona oleh seorang wanita. Ya! Pemuda itu bukan lain adalah Joko Wandiro. Setelah ia gagal mengabdi kepada Sang Prabu Panjalu, kemudian di alun-alun kerajaan itu ia berhasil mengalahkan dan mengusir Ni Durgogini dan Ni Nogogini, Joko Wandiro lalu meninggalkan Kerajaan Panjalu. Ia terus mengembara ke barat karena tujuan hatinya adalah mencari ayah angkatnya dan bibinya di Bayuwismo pantai Laut Selatan. Ia melakukan perjalanan seenaknya, melalui gunung-gunung sambil menikmati pemandangan alam yang indah sehingga akhirnya ia sampai di lereng Gunung Lawu dan bermalam di sebuah hutan tidak jauh dari Telaga Sarangan.
Perjumpaannya dengan Ayu Candra benar-benar tak disangkanya sama sekali. Tidak pernah ia menyangka bahwa di tempat sunyi ini tinggal seorang gadis jelita seorang diri sehingga mau ia percaya bahwa gadis itu tentulah sebangsa bidadari penghuni kahyangan. Biarpun Joko Wandiro semenjak kecil digembleng oleh orang-orang pandai, memiliki batin yang amat kuat, namun ia seorang manusia juga. Manusia laki-laki yang masih muda, baru berusia dua puluh tahun kurang.
Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja ia pun mempunyai perasaan wajar terhadap wanita, teristimewa kepala wanita yang memiliki daya penarik khas terhadap perasaan dan seleranya. Joko Wandiro bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, dan biasanya hatinya acuh tak acuh apabila ia bertemu dengan wanita muda. Memang setelah dewasa, ia dapat menilai akan cantik tidaknya seorang wanita, namun belum pernah ia merasa tertarik dan boleh dikatakan hatinya selalu dingin terhadap makhluk jenis lawan ini.
Akan tetapi sekali ini lain sama sekali. Begitu melihat Ayu Candra, ia terpesona, jantungnya berdebar-debar tidak karuan dan semangatnya serasa melayang-layang. Tidak ada hasrat lain di hatinya kecuali mengikuti ke mana pun juga dara itu pergi! Seperti, seorang linglung kini ia berindap-indap dan mengikuti dara itu yang menuju ke pinggir telaga sambil bertembang amat merdunya.
Ayu Candra tidak tahu bahwa dirinya diikuti dan diperhatikan orang. Ia lalu turun ke dalam air, terus ke depan di mana air sampai di pinggangnya. Amat sejuk dan segar. Ia menyelam tiga kali lalu menggosok-gosokkan daun pandan dan bunga-bungaan kepada rambutnya yang terurai basah. Rambut yang hitam gemuk panjang itu mengkilap tertimpa sinar matanari pagi dan kulit yang putih menguning itu seperti kencana muda.
Joko Wandiro berindap-indap mendekat pantai. Seperti mimpi ia terus mendekat sampai berada di tepi pantai, hanya beberapa meter jauhnya dari gadis itu, lalu bersimpuh di atas rumput. Kini ia tidak bersembunyi lagi, melainkan duduk menonton di tepi telaga seperti orang tak sadar akan keadaan dirinya. Terpesona ia memandang ke depan, melihat tubuh belakang dara itu. Kain yang basah itu menempel ketat dan mencetak tubuh belakang yang ramping, padat dan gempal. Di bagian pinggul, kain itu seakan-akan hendak pecah, tidak kuat menahan gumpalan daging yang menonjol haus akan kebebasan.
Ketika kedua tangan dara itu bergerak-gerak mulai menggosok leher dan dadanya, dari belakang tampak tulang belikatnya bergerak-gerak, membuat punggung yang halus itu bergerak-gerak pula seperti menari. Melihat semua keindahan yang selama hidupnya baru kali ini mengikat perhatiannya, Joko Wandiro menahan napas.....