"Plakk...! Plakkk...!"
Tamparan kedua orang wanita sakti itu ditangkisnya dan sengaja Joko Wandiro mengadu telapak tangannya dengan telapak tangan mereka.
"Iiiiihhh...!"
Ni Durgogini dan Ni Nogogini mengeluarkan jerit nyaring ketika tubuh mereka terlempar sampai lima meter lebih seakan-akan dilontarkan tenaga mujijat. Namun sebagai dua orang wanita yang memiliki kedigdayaan, mereka dapat meloncat turun dan tidak sampai terbanting. Kemarahan mereka meluap-luap, bercampur rasa keheranan dan penasaran.
Adapun Ki Patih Suroyudo dan para perwira kerajaan, kini benar-benar berdiri dengan mata. terbelalak lebar dan mulut ternganga. Andai kata ada lalat memasuki mulut pada saat itu, agaknya mereka tidak merasakannya. Mereka tenggelam ke dalam keheranan yang amat sangat.
Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sudah tentu takkan ada yang percaya kalau mendengar bahwa pemuda gunung yang tadi minta pekerjaan di istana, kini dalam gebrakan pertama sudah sanggup membuat Ni Durgogini dan Ni Nogogini terlempar sampai jauh!
Dengan dua kali loncatan, Ni Durgogini dan Ni Nogogini sudah kembali ke hadapan Joko Wandiro. Sepasang mata mereka berkilat-kilat penuh kemarahan, wajah mereka kini cemberut kehilangan manisnya, kening berkerut. Sinar maut membayang pada mata mereka yang dengan penuh kebencian menentang wajah Joko Wandiro. Pemuda ini tetap tenang, lalu berkata.
"Sesungguhnya aku tidak mencari permusuhan. Andai kata kalian ini tidak melakukan sesuatu yang jahat, tidak nanti aku akan mencampuri urusan kalian. Akan tetapi, melihat kalian mengamuk di alun-alun Kerajaan Panjalu, membunuh banyak orang kemudian malah menantang-nantang semua orang yang terkenal sebagai satria-satria utama, tidak mungkin aku mendiamkannya saja."
"bocah keparat!"
"Jahanam sialan!"
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini, belum terlambat apabila kalian insyaf dan pergi dari sini."
Akan tetapi dua orang wanita itu mana mau berhenti sampai sekian saja? Sambil memekik nyaring, suaranya melengking seperti bukan suara manusia lagi, kakak beradik yang sakti mandraguna ini lalu menerjang Joko Wandiro. Gerakan mereka cekatan sekali, tubuh mereka seperti lenyap dan hanya tampak bayangan mereka menyambar-nyambar di sekeliling Joko Wandiro. Apabila bayangan tangan mereka berkelebat, terdengar angin bersiutan. membuat debu beterbangan daun-daun pohon waringin yang kecil-kecil itu bergoyang-goyang.
Namun Joko Wandiro menghadapi mereka dengan tenang. Gerakannya pun lambat dan tenang, namun kedua tangannya yang bergerak itu membentuk lingkaran-lingkaran hawa sakti yang amat kuat, yang merupakan benteng melindungi tubuhnya dari pada terjangan-terjangan lawan. Semua pukulan lawan, sebelum dapat menyentuh tubuhnya telah bertemu dengar lingkaran hawa sakti itu dan membalik.
Bagi pandangan para perwira yang kurang tinggi ilmunya, keadaan Joko Wandiro seperti terdesak. Pemuda ini kelihatan menggerak-gerakkan kaki tangan melawan dua bayangan yang amat cepatnya. Akan tetapi bagi Ki Patih Suroyuda dan mereka yang ahli, terutarna bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini sendiri, mereka amat kagum menyaksikan perlawanan Joko Wandiro yang jelas membuktikan keunggulannya.
"Pergilah!" Tiba-tiba Joko Wandiro berseru keras dan tubuh dua orang wanita itu kembali terlempar jauh, melayang seperti daun kering tertiup angin. Bentakan tadi disertai Aji Dirodo Meto dan kedua tangannya mendorong dengan Aji Bojro Dahono. Demikian dahsyat serangan balasan ini sehingga tidak tertahankan oleh kedua orang lawannya yang mencelat sampai beberapa meter jauhnya.
Namun Ni Durgogini dan Ni Nogogini juga bukan orang sembarangan. Biarpun mereka tidak kuat menahan hawa sakti yang mendorong sedemikian dahsyatnya, namun tubuh mereka juga memiliki kekebalan sehingga biarpun terlempar, mereka masih belum terluka karena cepat-cepat mereka tadi mengerahkan tenaga sehingga ketika terbanting ke tanah, mereka dapat mencelat kembali ke atas dan kini sudah berdiri dengan muka merah saking marahnya.
"Tar-tar-tar!"
Terdengar ledakan-ledakan nyaring ketika Ni Durgogini menggerakkan dan melecutkan cambuknya di udara. Kiranya dalam keadaan marah sekali wanita ini telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu cambuk Sarpokenoko. Juga Ni Nogogini tidak mau ketinggalan. Ia pun merasa marah dan malu, maka dengan gerakan cepat penuh kegemasan ia telah menghunus pusakanya, yaitu sebuah cundrik yang terkenal ampuh dan mengeluarkan sinar berkilauan. Inilah cundrik Embun Sumilir!
Joko Wandiro cepat mengerahkan Bayu Sakti untuk menyelamatkan diri dari pada hujan serangan itu. Cambuk Sarpokenoko hebat bukan main. Suaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat, karena suara ledakan-ledakan itu mengandung daya menggetarkan jantung. Dari atas, cambuk itu menyambar-nyambar ganas sekali melingkar-lingkar, ujungnya mematuk-matuk mencari bagian tubuh yang berbahaya atau jalan darah mematikan, seperti seekor ular sakti!
Selain diserang oleh sambaran cambuk dari atas yang sudah amat berbahaya, dari bawah Joko Wandiro diterjang bertubi-tubi oleh Ni Nogogini yang mempergunakan keris pusakanya Embun Sumilir. Hanya dengan gerakan Bayu Sakti yang luar biasa cepatnya, barulah ia dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan itu lalu melompat ke belakang. Dua orang lawannya berseru garang dan menerjarg maju lagi.
Akan tetapi pada saat itu, para senopati dan pengawal yang menonton pertandingan, tiba-tiba menjadi gaduh, menuding-nuding ke arah dua orang wanita itu, berseru kaget dan ada yang menahan ketawa. Hal ini mengherankan hati kedua orang wanita itu sehingga sesaat mereka menunda penyerangan mereka lalu saling pandang. Begitu mereka saling pandang, keduanya menahan jerit, tangan kiri membuat gerakan menutup mulut.
"Aiiiiihh! Mbokayu Lasmini...! Kau kenapa...? Rambutmu penuh uban, mukamu penuh keriput...!" Ni Nogogini menegur dengan mata terbelalak.
"Kau...kau...juga, Mandari...!"
Ni Durgogini berkata sambil menudingkan telunjuk kiri ke arah adiknya dan dengan suara terisak. Kedua orang wanita itu lalu sibuk meraba-raba rambut dan wajahnya sendiri. Jelas terasa oleh ujung jari betapa kulit muka yang biasanya halus itu kini menjadi kasar dan kerut-merut berkeriputan. Dan ketika mereka membawa rambut ke depan untuk dilihat, sebagian besar rambut itu membodol (rontok) dan yang masih tinggal bercampur banyak uban!
Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi, mengertilah kedua orang wanita ini. Apa yang telah terjadi. Ternyata pukulan pemuda tadi yang mengandung hawa panas seperti halilintar, disertai pekik dahsyat, yang membuat mereka berdua terlempar, telah membuyarkan aji dan khasiat obat Suketsungsang yang membuat mereka menjadi awet muda.
Getaran hebat yang hampir mematahkan tungkai jantung, yang tadi menjalar ke seluruh tubuh, telah membuat mereka terluka di sebelah dalam sehingga hawa yang mempengaruhi jalan darah membuat mereka awet muda itu terdorong keluar. Akibatnya, keadaan mereka menjadi badar dan kembali asal, atau menjadi sewajarnya, Rambut mereka beruban, kulit mereka berkeriput, sesuai dengan keadaan semestinya wanita-wanita yang usianya mendekati enam puluh tahun!.
Bagi seorang wanita biasa dan normal, dalam usia hampir enam puluh tahun, kiranya kenyataan ini tidak mempengaruh铆 hatinya, uban dan keriput bukan hal yang mengecilkan hati. Akan tetapi, bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kenyataan ini amat hebat. Mereka adalah orang-orang yang telah menjadi hamba nafsu berahi, bagi mereka hidup adalah senang, dan senang hanya dapat mereka nikmati melalui wajah cantik dan tubuh muda menarik. Kini mereka telah sadar dan kenyataan ini bagi mereka terasa lebih menderita dari pada luka-luka maut. Wajah mereka menjadi pucat sekali, tubuh gemetaran dan urat syaraf lemas, Kedukaan hati mereka demikian besar, jauh melampaui kemarahan mereka terhadap Joko Wandiro. Terdengarlah ratap tangis mereka.
"Aduh Dewa, cabutlah saja nyawa hamba...!" Ni Nogogini mengeluh.
"Aduh rama (ayah)...rama bhagawan... ketiwasan (celaka), rama...!"
Ni Durgogini menjerit-jerit lalu lari pergi dari tempat itu sambil menyeret cambuknya. Ni Nogogini juga mengikuti kakaknya sambil menangis. Dalam waktu sebentar saja lenyaplah bayangan kedua orang wanita sakti itu.
Sejenak Joko Wandito berdiri tertegun. Kemudian la menarik napas panjang, hatinya terasa trenyuh. Dia tidak membenci mereka berdua dan hanya menentang mereka berdua karena mereka membuat geger, membunuh banyak orang dan menantang ayah angkatnya. Kini, menyaksikan keadaan mereka, mendengar ratap tangis mereka, hati pemuda ini merasa kasihan dan terharu. Akan tetapi tidak ada rasa sesal di hatinya oleh karena bukan dialah yang membuat mereka berdua menderita. Dia sama sekali tidak ada niat membuat mereka menderita seperti itu dan semua yang terjadi tadi adalah buah dari pada perbuatan mereka sendiri.
"Orang muda, kiranya andika adalah seorang satria yang perkasa!" terdengar Ki Patih Suroyudo berkata kagum.
"Raden Joko Wandiro, maafkan kami yang tadi kurang hormat kepada andika," kata seorang perwira.
"Marilah, Joko Wandiro. Mari ikut bersamaku menghadap sang prabu, akan kulaporkan tentang kedigdayaanmu dan kau tentu dianugerahi kedudukan yang pantas," kata pula Ki Patih Suroyudo.
Di dalam hatinya, Joko Wandiro merasa senang. Ternyata sekarang bahwa ki patih dan para ponggawa keraton ini adalah orang-orang yang baik hati, tidak menaruh iri hati dan dengki kepada orang lain yang berjasa. Kiranya tadi memandang rendah kepadanya karena memang ragu-ragu dan tidak percaya kepada seorang pemuda dari dusun seperti lajimnya sikap para bangsawan terhadap rakyat kecil.
Perasaan Joko Wandiro yang halus segera dapat memaklumi hal ini dan dia memang tidak suka memelihara dendam. Akan tetapi, sejak semula ia memang tidak mempunyai hasrat untuk menghambakan diri ke istana. Kalau tadi ia menghadap raja, hanyalah untuk memenuhi pesan gurunya. Dan ia tadi sudah menghadap, berarti ia tidak mengabaikan pesan gurunya. Kalau ia tidak diterima, itu bukan salahnya. Maka ia cepat-cepat memberi hormat dan berkata,
"Gusti patih, hamba tidak berani lagi mengganggu gusti prabu. Biarlah lain kali saja hamba datang menghadap."
Setelah berkata demikian, tanpa jawaban lagi, Joko Wandiro sudah melompat jauh ke belakang lalu menggunakan Aji Bayu Sakti lari meninggalkan tempat itu. Ki Patih Suroyudo dan para senopati dan pasukan pengawal, hanya dapat memandang dengan melongo. Mereka semua merasa menyesal sekali mengapa seorang pemuda sakti mandraguna seperti itu kini tidak mau tinggal di kota raja karena kekeliruan sikap mereka tadi. Agaknya hanya orang sesakti pemuda itu yang akan mampu menandingi si maling haguna yang telah menggegerkan istana sebulan yang lalu…..
********************
Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu itu amat luas dan indah. Air kebiruan menelan bayangan pohon-pohon cemara yang tumbuh di tepinya. Sunyi dan damai keadaan sekelilingnya. Hanya kicau burung dan teriakan-teriakan kera bercanda kadang-kadang terdengar, menambah indah keadaan. Hawa udaranya sejuk bersih.
Di pinggir telaga sebelah selatan tampak sebuah pondok kayu berdiri sunyi menyendiri. Para pendeta, pertapa, dan orang-orang yang sudah bosan akan keramaian kota dan dusun, yang ingin menyatukan diri dengan keindahan alam aseli itu, tentu akan mengilar karena kepingin melihat pondok dan suasana di sekitarnya yang hening dan bersih ini.
Dahulu, beberapa tahun yang lalu, pondok ini menjadi tempat tinggal Ki Tejoranu. Seperti telah kita ketahui, Ki Tejoranu beberapa tahun yang lalu telah pergi meninggalkan Pulau Jawa, pulang ke tanah asalnya, yaitu Negeri Cina. Pondok itu ditinggalkan begitu saja tak terpelihara dan menjadi rusak. Akan tetapi setahun yang lalu, datanglah seorang laki-laki tinggi kurus bersama isteri dan puterinya. Mereka menemukan pondok kosong ini, memperbaikinya dan selanjutnya merekalah yang tinggal di tempat indah sunyi ini. Mereka bertiga hidup penuh damai dan bahagia.
Siapakah gerangan mereka bertiga yang memilih tempat sunyi sebagai tempat tinggal ini? Laki-laki tinggi kurus berusia lima puluh tahun itu adalah seorang pendekar terkenal. Namanya Ki Adibroto, seorang sakti mandraguna dari Ponorogo. Di Ponorogo ia pun terkenal sebagai seorang warok yang gemblengan dan namanya tidak kalah terkenalnya kalau dibandingkan dengan Ki Warok Gendroyono.
Akan tetapi, berbeda dengan Ki Gendroyono, Ki Adibroto ini adalah tokoh warok golongan putih yang selalu menentang kejahatan. Berkat pimpinan Ki Adibroto bersama saudara-saudara seperguruan dan para tokoh warok aliran atau golongan putih inilah maka daerah Ponorogo menjadi aman dari gangguan para warok golongan hitam. Bahkan Ki Warok Gendroyono yang menjadi tokoh utama warok golongan hitam, terdesak dan akhirnya menghilang dari daerah Ponorogo.
Tadinya, Ki Adibroto hidup bahagia bersama isterinya dan seorang puteri yang diberi nama Ayu Candra, tinggal di Ponorogo sebagai seorang yang dihormati kawan disegani lawan. Namun, seperti segala apa di permukaan bumi ini, juga keadaan hidup seseorang tidaklah kekal. Ketika Ayu Candra berusia satu tahun, ibu anak ini meninggal dunia karena sakit. Hal ini menghancurkan kebahagiaan Ki Adibroto yang tenggelam dalam laut kedukaan. Tidak tahan lagi hati Ki Adibroto untuk tinggal di tempat di mana ia akan selalu terkenang kepada isterinya. Maka ia lalu membawa puterinya yang masih kecil itu pergi merantau.
Pada suatu pagi, sambil memondong puterinya, Ki Adibroto berjalan perlahan melewati sebuah hutan di lereng Gunung Lawu sebelah barat. Ia berniat hendak menuruni gunung ini dari barat. Melihat anaknya yang tidur pulas dalam pondongannya, hati pendekar ini amat trenyuh. Anak ini mirip benar dengan ibunya, dan teringat akan isterinya yang sudah meninggal, meninggalkan dia dan puterinya, Ki Adibroto mengeluh dan mengambungi pipi anaknya yang masih tidur pulas.
"Duh Hyang Wiseso yang menguasai jagad semoga hamba diberi kekuatan menahan segala derita ini demi anak hamba Ayu Candra!"
Dua butir air mata menetes di atas pipi anaknya. Pada saat itu muncullah belasan orang perampok yang segera mengurung Ki Adibroto. Kalau saja Ki Adibroto tidak sedang tenggelam dalam duka nestapa, tentu sejak tadi ia sudah tahu bahwa di sekeliling tempat itu terdapat banyak orang. Kini ia baru sadar bahwa ia telah dikepung, ketika beberapa orang di antara para perampok itu tertawa.
Ki Adibroto mengangkat mukanya dan memandang ke sekeliling. Ada tujuh belas orang laki-laki kasar yang mudah diduga dari golongan apa. Dan di belakang mereka ini, di tempat-tempat tersembunyi, masih ada belasan orang lagi. Di sudut kiri berdiri seorang laki-laki yang mukanya penuh brewok. Melihat pakaiannya, agaknya laki-laki brewokan ini tentulah kepala perampok. Ia berdiri sambil merangkulkan lengan kirinya pada leher seorang wanita yang cantik manis. Heran sekali hati Ki Adibroto melihat seorang wanita cantik dan gerak-geriknya halus seperti itu dapat bersama dengan orang-orang kasar macam ini. Melihat wajah orang-orang kasar yang mengepungnya itu menyeringai, Ki Adibroto menegur,
"Kalian ini mengapa mengepungku?"
"Ha-ha-ha! Lihat mukanya sudah pucat!"
"Heh-heh-heh, tubuhnya menggigil!"
Banyak suara mengejek dan menertawakannya. Kemudian terdengar suara laki-laki brewokan, suara yang parau dan keras, "Kisanak, tinggalkan semua pakaian, juga perhiasan-perhiasan emas di tubuh anak itu!"
Ki Adibroto penasaran.
"Untuk apa harus kutinggalkan?"
Kembali muka-muka yang mengerikan itu tertawa bergelak. "Untuk ditukar dengan nyawamu, tolol!" teriak seorang di antara mereka.
Si kepala rampok hanya tersenyum-senyum saja, tangannya yang merangkul leher itu kini meraih dagu dan hendak mencium muka yang ayu manis itu. Akan tetapi wanita itu mengeluh, memalingkan mukanya dan keningnya berkerut tanda tidak senang hati. Namun pandang mata wanita itu tidak pernah beralih dari anak dalam pondongan Ki Adibroto.
"Ha-ha-ha-ha, bojoku denok ayu, sudah hampir setahun kau bersamaku, mengapa masih jual mahal? Hayo beri cium...!" Laki-Iaki brewokan itu menangkap dagu wanita itu, lalu dengan paksa menariknya dan mencium bibirnya dengan kasar sekali.
Kembali wanita itu mengeluh dan meronta, namun tak mungkin ia dapat melepaskan diri dari cengkeraman dua tangan kasar dan kuat itu. Para anak buah perampok hanya tertawa-tawa menyaksikan perbuatan tak tahu malu ini.
"Kekasihku yang ayu kuning, denok montok, kau lihatlah ada rejeki datang, perhiasan emas anak itu akan menghias tubuhmu, manis..." kata laki-laki brewokan setelah melepaskan mukanya yang brewokan dari atas muka yang halus itu.
Menyaksikan peristiwa ini, dada Ki Adibroto terasa panas. Kemarahan bergejolak dalam hatinya. la dapat menduga kini bahwa wanita cantik itu tentulah seorang wanita yang dipaksa, diperkosa atau diculik oleh kepala perampok itu. Dengan sepasang mata berkilat dan muka merah saking marahnya, Ki Adibroto memandang kepala perampok itu. Agaknya dadanya yang panas terasa oleh anaknya karena tiba-tiba Ayu Candra terbangun dari tidurnya lalu menangis menjerit-jerit!.
"Anakku! Kesinikan anakku!"
Tiba-tiba wanita cantik itu menjerit dan memberontak dari dekapan kepala perampok. Pengaruh tangisan anak itu sedemikian hebat sehingga agaknya wanita itu memperoleh tenaga mujijat dan ia berhasil merenggutkan diri dan terlepas dari pelukan, lalu lari menubruk Ki Adibroto dengan kedua tangan terbuka, agaknya hendak merampas Ayu Candra.
"Anakku! Kembalikan anakku!"
Berdiri bulu tengkuk Ki Adibroto ketika ia cepat mengelak. Gilakah wanita itu? Ataukah dia sendiri yang gila dan melihat yang bukan-bukan? Ataukah arwah isterinya menyusup kedalam tubuh wanita ini? Akan tetapi, melihat betapa kepala rampok brewokan itu agaknya marah melihat wanita cantik itu melepaskan diri, kemudian sekali menggerakkan cambuk panjang kepala rampok jtu telah membelit kaki si wanita dengan ujung cambuk dan menarik cambuk sehingga wanita itu roboh terguling, hatinya tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Sambil mengeluarkan suara gerengan, Ki Adibroto yang masih memondong anaknya yang menangis menjerit-jerit lalu menerjang ke depan. Tangan kirinya memondong anaknya, namun dengan tangan kanannya ia menyerang. Tubuhnya berkelebat ke arah kepala rampok, tangan kanannya bergerak memukul. Kepala rampok itu berusaha untuk menangkis akan tetapi tangkisan tangannya tidak ada gunanya karena selain tangannya terpental, juga pukulan Ki Adibroto terus meluncur mengenai kepalanya.
"Desss...!
Terdengar jerit ngeri dan tubuh kepala rampok yang tinggi besar itu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting ke atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi karena kepalanya sudah pecah berantakan terkena hantaman tangan yang ampuh itu.
Para perampok yang terdiri dari orang-orang kasar itu terkejut sekali, akan tetapi mereka kurang cerdik untuk memaklumi bahwa pendekar yang memondong anak kecil itu sama sekali bukanlah tandingan mereka. Mereka hanya menurutkan nafsu amarah melihat kepala mereka roboh tewas. Sambil berteriak-teriak mereka lalu menyerbu dengan senjata di tangan. Golok, pedang, keris dan tombak berkilauan datang bagaikan hujan menyerbu Ki Adibroto.
Tentu saja para perampok kasar itu tidak dipandang sebelah mata oleh Ki Adibroto. Akan tetapi oleh karena ia sedang memondong anaknya, ia lebih mengkhawatirkan keselamatan puterinya itu. Maka cepat ia melolos lepas sabuk dan pinggangnya. Ketika ia menggerakkan sabuk berwarna putih ini di tangan kanannya, terdengar teriakan-teriakan kesakitan. Senjata-senjata lawan beterbangan dan bagaikan membabat rumput saja, tubuh para perampok bergelimpangan.
Ternyata sabuk yang lemas itu ketika disabetkan, dapat memecah kulit meremuk tulang sehingga banyak perampok roboh untuk tak dapat bangun kembali karena telah pingsan. Kini para perampok yang tadinya tinggal di belakang, sudah maju pula. Namun Ki Adibroto mengamuk dan sebentar saja belasan orang perampok sudah roboh.
Setelah setengah lebih para perampok roboh bertumpang tindih, baru sisanya sadar bahwa kalau dilanjutkan pengeroyokan itu, berarti mereka semua membunuh diri. Timbul sifat pengecut mereka. Dengan tubuh gemetar mereka melempar senjata lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah-nyembah minta ampun! Ki Adibroto tegak berdiri. Anaknya di pondongan masih menangis. Ia memandang ke arah para perampok yang berlutut, lalu tersenyum masam.
"Kalau menurut sepatutnya kalian harus kubunuh semua. Akan tetapi biarlah aku melihat muka anakku ini dan mengampuni kalian semua!"
Setelah berkata demikian, tanpa menoleh ke belakang lagi Ki Adibroto lalu meninggalkan tempat itu sambil memondong dan mengayun-ayun anaknya yang masih terus menangis. Hatinya bingung dan gelisah sekali. Pendekar ini boleh jadi gagah perkasa dan selalu tenang menghadapi apa pun juga. Akan tetapi, semenjak melakukan perjalanan, apabila anaknya menangis dan rewel seperti ini, ia betul-betul bingung dan tak tahu Apa yang harus ia lakukan kecuali mengayun-ayun tubuh kecil lemah ini dengan keringat membasahi dahi dan jantung serasa diremas-remas. Sudah jauh juga ia meninggalkan tempat pertempuran tadi, akan tetapi anaknya masih juga menangis. Saking bingungnya ia lalu duduk di bawah pohon yang teduh, memangku anaknya sambil mengeluh berkali-kali,
"Aduh anakku sayang...angger Ayu Candra, kau diamlah, nak. Diamlah anakku bocah ayu...jangan kau membikin hancur hati ayahmu..!"
Akan tetapi anak kecil itu tetap menangis sampai terisak-isak. Saking bingungnya, tak terasa pula dua butir air mata menetes turun ke atas pipi Ki Adibroto. Pendekar yang baru saja dengan sebelah tangan membikin kocar-kacir pengeroyokan tiga puluh lebih perampok-kasar, kini ingin sekali menangis meraung-raung saking sedih dan bingungnya menghadapi puterinya yang menangis terus!
"Anakk...! Aduh kasihanilah aku, kasihani anakku...mari kembalikan anakku, biar dia kugendong selendang, kubopong kutimang-timang, kutidur-tidurkan"
Ki Adibroto terkejut. Saking bingungnya, ia tidak tahu bahwa sejak tadi, wanita yang tadi bersama kepala rampok telah rnengikutinya. Cepat ia melompat bangun dan memandang. Wanita itu amat cantik. Cantik jelita, akan tetapi wajahnya pucat, rambutnya kusut, pakaiannya sudah robek sana-sini, sebagian membayangkan kulit tubuhnya yang kuning halus. Kini wanita itu memandangnya dengan mata penuh permohonan, mata yang bercucuran air mata.
"Apa...Apa maksudmu...?!" Ki Adibroto tergagap. "Siapakah engkau?"
"Dia anakku anakku sayang kembalikanlah..." Kini wanita itu menekuk lutut, mengembangkan kedua lengannya, wajahnya menimbulkan iba.
"Dia anakku, jangan engkau mengaku yang tidak-tidak!" Ki Adibroto berkata, masih ragu-ragu tidak tahu dengan orang bagaimana ia berhadapan. Gilakah wanita ini? Atau mempunyai niat buruk hendak mencelakai puterinya? Ataukah ataukah berpikir begini kembali bulu tengkuknya meremang, arwah isterinya menyusup ke dalam tubuh wanita ini?
"Kasihanilah dia...ooohhh, betapa kejam hatimu...! Lihat, dia menangis begitu hebat...aduh, bisa putus dan sesak napasnya...dia minta dipondong ibunya...hu-hu-huukk!" Wanita itu menangis makin keras sampai tersedu-sedu.
Ki Adibroto menundukkan muka memandang puterinya. Benar-benar aneh anak ini. Menangis begini hebat. Kembali bulu tengkuknya meremang. Benarkah anak ini minta dipondong ibunya? Dan wanita itu benarkah arwah isterinya di situ? Tanpa disadarinya lagi ia mengulurkan kedua lengan, memberikan puterinya. Namun seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk mencegah kalau-kalau wanita itu akan mencelakai anaknya. Dengan teriakan girang sekali wanita itu menerima Ayu Candra yang masih menangis, mendekap anak itu ke dadanya, menciumnya sambil bercucuran air mata dan berbisik-bisik,
"Anakku...anakku...diamlah, nak. Ini ibumu ini ibumu... engkau juntung hatiku, pujaan kalbu, mustika hidupku...ahhh, anakku, Joko Wandiro."
Ki Adibroto memandang dengan mata terbelalak. Benar saja. Anaknya mulai berkurang tangisnya, kemudian malah berhenti menangis ketika wanita itu memangkunya, menidurkannya membujur di ruas pangkuan sambil melepas-lepaskan baju dan selimut sarung yang membungkusnya.
"Aduh kasihan engkau, anakku...tentu saja kau menangis karena panas Orang telah berlaku nakal kepadamu manis? Engkau merasa panas? Ah, tentu saja, tapi diamlah, ibu kini menjagamu, nak"
Ki Adibroto melongo. Tahulah ia kini bahwa anaknya tadi menangis sampai begitu kerasnya. Kiranya anak itu merasa gerah, panas tubuhnya dibungkus serapat itu!.
"Nah, ini dia! Engkau digigit semut ini, anakku? Semut kurang ajar. Huh mampus tidak kau sekarang!" Wanita itu meremas seekor semut angkrang yang tadi rnenempel di paha anak kecil itu.
Makin mengertilah kini Ki Adibroto Kiranya hawa panas dan semut angkrang. la mulai merasa girang dan tertarik ke pada wanita itu. Ia memandang jari-jari tangan halus yang cekatan sekali membuka-buka pakaian anaknya dan tiba-tiba wanita itu terbelalak dan berteriak keras,
"Joko anakku kenapa menjadi perempuan...?"
Mengertilah kini Ki Adibroto. Wanita ini sama sekali tidak disusupi arwah mendiang isterinya. Wanita ini terganggu jiwanya, agaknya karena kehilangan puteranya yang bernama Joko Wandiro. Entah hilang karena tewas ataukah hilang karena diculik orang. Akan tetapi agaknya puteranya itu tewas, mengingat bahwa wanita ini sendiri terjatuh ke tangan kepala rampok yang demikian kejam. Naik hawa amarah di dadanya, akan tetapi segera dingin kembali setelah ia ingat bahwa kepala rampok itu telah ia bunuh tadi. Mau rasanya ia membunuh sekali lagi kepala rampok keji itu. Dengan hati penuh iba menyaksikan wajah wanita itu demikian kaget, bingung, dan duka, ia lalu berjongkok di dekatnya dan berkata halus,
"Harap andika jangan kaget. Anak ini adalah anak saya, bernama Ayu Candra. Tentu saja perempuan. Karena itulah tadi tidak saya berikan kepadamu." Setelah berkata demikian, Ki Adibroto mengambil anaknya dari pangkuan wanita itu dan memondongnya kembali.
Wanita itu kini diam saja hanya memandang dengan mata terbuka lebar, mata yang bening dan bagus bentuknya, sayang bersinar layu dan penuh duka. Alangkah akan indahnya mata ini kalau sinarnya penuh bahagia pikir Ki Adibroto.
"Aduh, Jagad Dewa Bathara kenapa tidak dicabut saja nyawa hamba?" Wanita itu merintih-rintih lalu menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya sambil tetap berlutut.
Wanita itu bukan lain adalah Listykumolo, isteri Raden Wisangjiwo, mantu Kadipaten Selopenangkep. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini wanita yang bernasib malang ini setelah kehilangan anaknya, Joko Wandiro yang dibawa lari Pujo, telah terganggu ingatannya. Oleh suaminya ia dipulangkan kerumah ayahnya yang menjadi lurah Selogiri di lereng Gunung Lawu. Ketika Wisangjiwo sudah insyaf dan menyuruh pasukan menjemput isterinya, ia mendengar bahwa Listyokumolo telah diculik oleh gerombolan perampok, tidak lama setela pulang ke dusun itu, sedangkan dusun Selogiri dibumi hanguskan para perampok!
Memang amat malang nasib wanita ini. ia diculik oleh perampok kasar dan ada baiknya bahwa kepala rampok itu jatuh cinta padanya, biarpun ia memperlihatkan tanda-tanda tidak waras otaknya. Cinta kasih kepala rampok ini menyelamatkan Listyokumolo dari serbuan para perampok yang haus perempuan itu. Namun, ia harus menderita siksaan lahir batin di tangan kepala perampok. Wanita ini seakan-akan mati sekerat demi sekerat.
Baiknya Ki Adibroto yang membebaskannya dari siksaan batin itu. Melihat Listyokumolo menangis sedih, hati Ki Adibroto serasa ditusuk. Ia merasa terharu dan kasihan sekali. Apalagi ketika itu anaknya mulai menangis lagi!
"Di manakah rumah andika? Biar saya antar andika pulang." Akhirnya Ki Adibroto bertanya, suaranya mengandung getaran iba hati.
Listyokumolo mengangkat mukanya, memandang. Matanya kemerahan, pipinya basah oleh air mata yang masih terus bercucuran, sangat mengharukan.
"Pulang...? Pulang...? Ke mana pulang? Aku aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai keluarga...aku sebatang kara...tinggal menanti maut datang menjemput. Sungguh tega benar para Dewata membiarkan aku hidup seperti ini..."
Ki Adibroto menarik napas panjang, kembali memandang anaknya. Berkali-kali ia menggeleng kepala, ragu-ragu. Ia amat mencinta isterinya dan seakan-akan merasa berdosa kalau sepeninggal isterinya ia menoleh kepada wanita lain. Ah, tidak, bukan demi aku sendiri, melainkan demi Ayu Candra, demikian akhirnya ia menghibur hatinya dan menekan debar jantungnya sebelum berkata,
"Saya amat kasihan melihat anda. Siapakah nama anda dan Apa yang telah terjadi dengan keluargamu? Mengapa sampai terjatuh ke tangan perampok laknat itu? Harap anda suka ceritakan kepada saya dan percayalah bahwa saya tentu akan menolong anda sekuasa saya."