Tentu saja sang prabu dan para senopati memandang dengan kening berkerut dan tidak percaya.
Namun, karena para senopati itu mengenal baik siapa dia Dibyo Mamangkoro, sungguhpun mereka merasa tersinggung dan terhina dengan usul yang diajukan raksasa itu, mereka tidak berani mengeluarkan bantahan. Hanya sang prabu yang berani berseru,
Namun, karena para senopati itu mengenal baik siapa dia Dibyo Mamangkoro, sungguhpun mereka merasa tersinggung dan terhina dengan usul yang diajukan raksasa itu, mereka tidak berani mengeluarkan bantahan. Hanya sang prabu yang berani berseru,
"Paman Dibyo! Hentikan kelakarmu ini! Gadis muridmu ini paling banyak berusia sembilan belas tahun"
"Baru tujuh belas tahun usia hamba!" Tiba-tiba Endang Patibroto memotong sabda Sri Baginda dengan suara melengking nyaring, mengagetkan semua orang. Sejenak sang prabu sendiri tercengang, kemudian tertawalah beliau dengan geli hati.
"Ha-ha-ha! Baru tujuh belas tahun lagi! Paman Dibyo, sungguh kau lucu, akan tetapi leluconmu ini kau keluarkan tidak pada saat yang tepat. Sedangkan Ni Nogogini dan Ni Durgogini berdua yang merupakan wanita-wanita paling sakti di dunia ini, masih tidak sanggup memimpin semua barisan menghadapi Panjalu. Apalagi gadis remaja ini!"
"Huh, nenek-nenek!" Dibyo Mamangkoro berseru mengejek. "Harap paduka jangan memandang rendah murid hamba ini. Benar dia baru tujuh belas tahun usianya, akan tetapi nenek-nenek Durgogini dan Nogogini bukan tandingannya!"
"Ahhh...!" Para hulubalang tidak dapat menahan seruan kaget mereka.
"Benarkah itu, paman Dibyo Mamangkoro?" sang prabu juga terkejut dan heran.
"Hamba tidak berkata bohong. Mohon paduka perintahkan apa saja, tentu akan dapat dilakukan murid hamba."
Sang prabu mengerutkan kening, masih meragu. Benarkah seorang wanita begini muda dapat menandingi kedigdayaan Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Sukar dipercaya. Ia menarik napas panjang lalu berkata,
"Menjadi senopati bukanlah hal mudah, paman. Tentu saja tentang hal ini paman sendiri yang pernah menjadi senopati besar telah mengerti, bukannya aku tidak percaya kepadamu, akan tetapi melihat muridmu ini hanya seorang wanita muda, memang amatlah sukar dipercaya kalau tidak ada buktinya. Pada saat kami menghadapi perang besar ini, hanya dua hal yang selalu membuat hatiku selalu khawatir. Pertama, adalah paman Narotama yang kini masih menjadi pertapa di lereng Gunung Bekel. Biarpun semenjak pembagian kerajaan, paman Narotama tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, namun aku tahu bahwa diam-diam ia berpihak kepada Panjalu! Sebelum dia mati, hatiku takkan merasa tenteram dan aku selalu masih ragu-ragu untuk mulai perang melawan Panjalu. Kedua, keadaan di Panjalu kini tertutup, penuh rahasia sehingga sukarlah bagi para penyelidikku untuk mengukur kekuatan mereka. Pernah aku mengutus Ni Durgogini dan Ni Nogogini pergi menyelidik, akan tetapi hampir saja mereka berdua tertawan. Kiranya Panjalu sudah mengumpulkan banyak orang sakti."
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak. Suara ketawanya mengumandang di seluruh ruangan yang luas itu.
"Terbukalah kesempatan bagi murid hamba untuk memperlihatkan kepandaian. Apa yang tidak dapat dicapai oleh dua orang nenek itu, tentu akan dapat diiakukan oleh murid hamba. Eh, Endang muridku yang denok montok, muridku yang ayu manis! Engkau sudah mendengar sabda sang prabu. Beranikah engkau menyelidiki keadaan keraton Panjalu?"
Sambil mengangkat muka dan membusungkan dada Endang Patibroto menjawab, "Mengapa tidak berani? Kapan aku harus berangkat, bapa? Dan apa yang harus kukerjakan di keraton Panjalu?"
Selagi sang prabu dan para menteri terkejut mendengar jawaban seenaknya ini, Dibyo Mamangkoro tertawa lagi saking girang dan bangga hatinya.
"Huah-ha-ha! Muridku, kau berhati-hatilah kalau berada di Kota Raja Panjalu. Jangan bertindak sembrono dan jangan sekali-kali membiarkan dirimu terkepung atau tertawan. Kau selidiki keadaan di sana, sedapat mungkin kau tangkap pembicaraan antara sang prabu di Panjalu dengan menteri-menterinya, kemudian sebagai tanda kenang-kenangan kau bawa ke sini bendera pusaka yang berkibar di atas keraton Panjalu. Sanggupkah?"
"Sanggup, dan aku berangkat sekarang juga, bapa. Hamba mohon diri, gusti!"
Belum lenyap gema suaranya, gadis remaja itu telah berkelebat secepat kilat dan tahu-tahu sudah lenyap dari ruangan itu!
"Jagad Dewa Bathara! Bukan main muridmu itu, paman Dibyo Mamangkoro!" Sang prabu akhirnya bersabda setelah sejenak terpaku keheranan. Juga para menteri dan hulubalang saling pandang. Menipis keraguan mereka terhadap gadis remaja tadi, menyaksikan gerakan yang sedemikian cepat seakan-akan gadis itu pandai ilmu menghilang saja.
"Sudah hamba haturkan tadi, murid hamba takkan mengecewakan paduka. Akan tetapi, tentu saja untuk berhadapan dengan Narotama, murid hamba kalah gemblengan dan kalah pengalaman. Untuk mengatasi Narotama, hamba sendirilah yang akan maju, gusti. Perkenankan hamba mundur, karena hamba hendak langsung menuju ke Gunung Bekel dan mencari si Narotama, musuh besar hamba!"
"Apakah engkau tidak membutuhkan pasukan pengawal, paman?"
"Ha-ha-ha! Tidak perlu, gusti. Hamba sudah mempunyai pasukan sendiri, yang telah hamba beri kabar dan sekarang agaknya sudah menanti di alun-alun."
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar lapat-lapat suara gagak. Dibyo Mamangkoro tertawa, "Ha-ha, itulah mereka, gusti, para anak buah hamba telah menanti di alun-alun."
Semua menteri dan senopati merasa serem. Benar-benar kakek raksasa ini seorang yang menyeramkan. Adapun sang prabu yang merasa girang melihat datangnya bantuan seorang sakti seperti Dibyo Mamangkoro, segera berkata, "Baiklah, paman. Berangkatlah, doaku mengiringimu dan biarlah kutunda pesta penghormatan untukmu setelah kau kembali menyelesaikan tugas."
"Huah-ha-ha Seorang panglima yang baik tidak akan bicara tentang jasa sebelum tugas terlaksana, gusti. Hamba mohon diri!
Setelah sang prabu mengangkat tangan kanan memberi perkenan, raksasa tua itu mengundurkan diri dan melangkah lebar meninggalkan Keraton Jenggala. Benar saja seperti perhitungannya, di alun-alun telah menanti pembantu-pembantunya, yaitu Wirokolo, sepasang Gagak dan sepasukan orang-orang tinggi besar berjumlah tiga puluh enam orang.
"Hayo, konco, kita berangkat sekarang juga ke Gunung Bekel!" teriak Dibyo Mamangkoro setelah tiba di alun-alun disambut oleh Wirokolo dan sepasang Gagak.
"Gunung Bekel?" sepasang Gagak bertanya hamper berbareng. Agaknya Gagak Kunto dan Gagak Rudro masih teringat akan pengalaman mereka ketika menyerbu Jalatunda sehingga disebutnya gunung itu membuat mereka jerih.
"Huah-ha-ha! Sang prabu ingin agar kita lebih dulu membereskan si keparat Narotama!"
"Na... Narotama...?" Gagak Kunto berseru kaget. Juga Gagak Rudro nampak pucat.
"Huh, kalian takut apa? Bersama kakang Dibyo Mamangkoro, iblis mana yang takkan dapat kita hancurkan?" bentak Wirokolo sambil melototkan mata.
Teringat akan hadirnya Dibyo Mamangkoro, sepasang Gagak timbul pula keberaniannya dan tertawa-tawalah mereka ketika rombongan ini bergerak menuju ke Gunung Bekel…..
********************
"Sekarang ujilah Aji Bojro Dahono pada pohon itu!" terdengar kakek tua yang duduk bersila di atas batu kepada Joko Wandiro yang baru saja selesai berlatih di depan gurunya. Mendengar perintah ini, Joko Wandiro mengerahkan hawa sakti, menyalurkan hawa dari pusar ke arah kedua lengannya, lalu kedua kakinya bergerak, tubuhnya diputar dan kedua lengannya dipukulkan ke depan, ke arah pohon trembesi yang besarnya sepelukan orang dan yang letaknya kurang lebih tiga meter di depannya.
"Werrrr...!
Tidak terjadi apa-apa pada pohon itu, akan tetapi Joko Wandiro mengeluarkan keringat pada dahinya, tanda bahwa ia telah mengerahkan tenaga. Sehabis melakukan gerak pukulan ini, ia lalu meramkan mata dan menyalurkan pernapasan panjang untuk memulihkan tenaganya.
"Bagus! Cukup baik, kuat, dan tepat gerakannya. Muridku yang baik, kau dorong roboh pohon itu ke sebelah sana, agar jangan roboh oleh angin dan menimpa pondok kita."
Joko Wandiro menghampiri pohon trembesi yang dihantamnya dari jarak jauh tadi, lalu perlahan ia mendorong dan dengan amat mudahnya pohon itu tumbang. Kiranya di sebelah dalam pohon itu sudah hangus seperti dibakar atau seperti disambar geledek! Demikian hebat ilmu pukulan Bojro Dahono (Api Berkilat) yang telah dimiliki Joko Wandiro.
"Ke sinilah, angger Joko Wandiro, dan dengarlah wejanganku." Dengan suara penuh kasih sayang, kakek yang bukan lain adalah Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna itu memanggil Joko Wandiro.
Joko Wandiro, kini sudah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah berusia Sembilan belas tahun, cepat menghampiri gurunya, menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan bersila di depan kaki gurunya.
"Hamba siap menanti perintah dan petuah bapa guru yang mulia," kata Joko Wandiro, sikapnya penuh hormat. Ia amat mencinta gurunya ini yang selama bertahun-tahun telah menggemblengnya, baik dengan ilmu silat yang luar biasa, aji-aji mantera yang hebat, maupun ilmu batin dan filsafat hidup yang tinggi.
"Angger, Joko Wandiro, muridku. Setelah Bojro Dahono dapat kau lakukan dengan baik, berarti tamatlah sudah pelajaranmu. Tidak ada aji lain yang belum kuberikan kepadamu, Joko. Dan aku merasa puas melihat hasilnya. Engkau sudah menjadi seperti aku ketika masih muda. Sekarang sebelum kita saling berpisah..."
"Berpisah, bapa guru? Mengapa... mesti saling berpisah...?!
Resi Narotama tersenyum dan terbayanglah ketampanannya yang sudah terselimut usia tua. "Mengapa? Ha-ha-ha, pertanyaan yang selalu akan timbul dalam hati sanubari manusia. Ya, mengapa selalu ada perpisahan sebagai akhir pertemuan? Mengapa ada kematian sebagai akhir kelahiran? Mengapa ada ketidakadaan sebagai akhir keadaan? Karena memang sudah semestinya demikian, angger! Karena ada pertemuan, maka timbul perpisahan. Karena ada kelahiran, maka timbul kematian dan seterusnya. Hal ini tidak perlu engkau herankan, lebih-lebih tidak boleh kau sesalkan, Joko. Sudah banyak kuwejangkan kepadamu tentang sebab akibat. Sekarang kulanjutkan kata-kataku tadi yang terputus oleh pertanyaanmu. Ku ulangi lagi, sebelum kita saling berpisah, kau jawablah lebih dulu pertanyaanku ini. Setelah bertahun-tahun engkau bersusah payah mempelajari segala macam ilmu dan kini telah tamat belajar dengan hasil memiliki ilmu, akan kau pergunakan untuk apakah ilmu yang kau pelajari dengan segala pengerahan jerih payah itu, angger?"
Joko Wandiro menundukkan mukanya, berpikir dalam-dalam sebelum menjawab. Pertanyaan yang gawat dan pelik ini harus ia jawab dengan hati-hati, maka ia kumpulkan kembali segala wejangan yang pernah ia terima dari gurunya untuk bahan jawaban, kemudian ia menyembah dan menjawab, suaranya lantang,
"Hamba akan pergunakan segala ilmu yang hamba dapat berkat bimbingan bapa guru yang bijaksana, untuk melakukan prikebajikan, membela kebenaran dan keadilan, memberantas, menindas, dan melenyapkan kejahatan, melindungi kaum lemah tertindas, menentang mereka yang sewenang-wenang adigang-adigung-adiguna mengandalkan kepintaran, kedudukan, kekuasaan, dan kekuatan untuk bersimaharajalela melakukan kejahatan yang menyusahkan lain orang. Semoga hamba akan selalu ingat akan hal itu seperti yang diajarkan oleh bapa guru."
Resi Narotama mengangguk-angguk. "Benar, angger. Kalau demikian, tidak percuma kau berjerih payah selama bertahun-tahun mempelajari ilmu. Baik buruknya ilmu, bersih kotornya kepandaian yang dimiliki, tergantung dari pada penggunaannya. Betapa pun baik ilmu, betapa tinggi kepandaian, kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka ilmu itupun akan menjadi ilmu jahat. Hitam putihnya ilmu tergantung dari pada pemakaiannya. Ilmu merupakan alat, angger. Tiada bedanya dengan sebatang golok. Kalau golok dipergunakan untuk membabat alang-alang, menebang kayu membuat alat rumah tangga, golok itu merupakan alat berguna. Akan tetapi kalau dipergunakan untuk membacok leher manusia lain tanpa dosa, golok itu menjadi alat pembunuh keji! Oleh karena itu, bahagialah orang yang pandai mempergunakan ilmu untuk kebajikan dan terutama sekali, untuk mendatang kan manfaat bagi orang-orang Iain. Sebaliknya, kasihanlah mereka yang setelah dikaruniai ilmu lalu menjadi besar kepala, sombong dan merasa diri sendiri paling pintar, paling jagoan sehingga ia terperosok ke dalam jurang kegelapan, melakukan segala tindak maksiat dan kejahatan."
"Hamba perhatikan segala perintah bapa guru" jawab Joko Wandiro.
"Kulanjutkan lagi pertanyaanku sebagai ujian terakhir dan bekal bagimu, kulup Joko Wandiro. Setelah kau mengerti kegunaan ilmu yang kau pelajari itu untuk melakukan kebajikan, apakah pamrihmu dalam melakukan kebajikan? Apakah untuk membikin puas hati? Apakah dengan pamrih agar Dewata kelak memberi ganjaran kemuliaan di kahyangan? Apakah ingin agar dicinta orang, dipuja dan disebut satria budiman dan perkasa? Ataukah ingin kelak diganjar kedudukan tinggi oleh raja? Heh, kulup Joko Wandiro, katakan kepada gurumu, apakah pamrihmu hendak mempergunakan ilmu guna kebajikan?"
"Ampun kalau jawaban hamba keliru dan mohon petunjuk, bapa guru. Sesungguhnya, kalau hamba pergunakan ilmu yang ada pada hamba untuk kebajikan, hamba tiada berpamrih apa-apa di dalam hati hamba, bapa."
"Hemm...tidak berpamrih? Lalu, apa dasarnya? Mengapa engkau memilih kebajikan, mengapa tidak memilih sebaliknya? Ada dasarnya maka engkau hendak mempergunakan ilmu untuk perbuatan bajik, membela kebenaran dan keadilan dan sebagainya tadi?"
"Sesungguhnya memang ada dasarnya, bapa guru. Sesuai dengan segala petunjuk dan nasehat bapa, kalau hamba tidak keliru, dasarnya adalah pelaksanaan kewajiban, tidak ada dasar lain!"
Kembali Resi Narotama mengangguk-angguk dan mengelus-elus jenggot memelintir kumisnya yang penuh uban.
"Mendasarkan segala langkah di dalam hidup di atas kewajiban! Sungguh baik sekali ini, kulup. Orang yang mengenal wajib tidak mudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Akan tetapi engkau lupa hal yang jauh lebih penting dari pada itu, angger. Seyogjanya engkau dasarkan kepada kewajiban sebagai manusia yang sadar akan kemanusiaannya, dan terutama sekali, engkau dasarkan kepada kebaktian terhadap Hyang Wisesa (Yang Maha Kuasa)!"
"Aduh... ampunkan hamba, bapa. Hamba tidak mengucapkan karena hal itu sudah sejiwa dengan hamba, bagaikan pernapasan yang sampai tidak terasa lagi, namun tidak pernah terlupa."
"Bagus! Memang engkau tak akan salah langkah dalam hidupmu, segala perbuatanmu, segala penggunaan Ilmu yang ada padamu, engkau dasarkan sebagai korban kepada Hyang Wisesa, sebagai tanda bakti kepadaNya. Perbuatan yang disertai pamrih tidaklah bersih lagi, tidak wajar lagi. Betapa pun besar pertolongan yang kau berikan kepada orang lain, namun apabila pertolongan itu kau lakukan dengan pamrih di dalam hati, betapa pun kecilnya pamrih itu, maka perbuatanmu menolong itu bukan menolong lagi namanya! Itu bukan kebajikan lagi namanya, angger, karena engkau bergerak menolong orang lain, digerakkan oleh pamrih demi kepentingan diri pribadi! Pamrih boleh bermacam-macam, namun sama juga. Pamrih dipuji orang? Siapa yang dipuji? Diri sendiri...! Pamrih disebut satria perkasa dan budiman. Siapa yang disebut? Diri pribadi...! Perbuatan kebajikan yang berpamrih bukanlah kebajikan, karena andai kata pamrihnya tidak ada, tentu tidak akan terlahir kebajikan itu. Seperti seorang anak kecil yang bersikap rajin dan patuh dengan pamrih agar dipuji dan diberi ganjaran. Kalau tidak akan ada pujian dan ganjaran, takkan terdorong keluarlah sikap rajin dan patuhnya! Berbeda dengan mereka yang mendasarkan langkah hidup dengan wajib dan bakti kepada Hyang Wisesa. Perbuatannya wajar, tiada dorongan demi kepentingan pribadi. Jelaskah bagimu, angger?"
"Cukup jelas, bapa."
"Sekarang kulanjutkan lagi pertanyaanku. Setelah engkau tahu akan penggunaan ilmu yang kau pelajari dan tahu pula bahwa perbuatan yang didasari pamrih itu palsu, jawablah... Apakah yang menjadi cita-citamu? Jelasnya, apakah yang menjadi keinginanmu dalam hidup di dunia ini, kulup Joko Wandiro?"
"Maaf, bapa. Apakah orang bercita-cita itu bukan berpamrih?"
"Ha-ha! Bukan, angger. Pamrih bukan cita-cita. Yang dimaksud pamrih tadi adalah pamrih yang mendasari tiap perbuatan manusia. Adapun cita-cita adalah tujuan hidup. Manusia sudah dikaruniai akal budi dan sudah menjadi kewajiban manusia pula untuk mempegunakan akal budi itu, untuk mencari apa yang belum diketahuinya, untuk menjenguk dan memandang masa depan, untuk bercita-cita sebagai pengisi hidupnya. Manusia berhak untuk menikmati hidup, untuk memuaskan keinginan hatinya, asal saja tidak melanggar kebajikan, tidak merugikan orang lain. Kesenangan dan kenikmatan hidup adalah anugerah Dewata yang Maha Murah, Maha Kasih. Manusia biasa, bukan pendeta yang menggayuh tingkat lebih tinggi, berhak menikmati hidup, berhak bercita-cita. Karena itu, aku bertanya kepadamu, angger. Apakah yang menjadi cita-cita hidupmu?"
Setelah berpikir sejenak, Joko Wandiro menjawab. "Hamba bercita-cita untuk memperjuangkan kewajiban hamba sehingga lenyaplah kejahatan di dunia, sehingga hamba tidak perlu lagi mempergunakan ilmu untuk menentang kejahatan. Hamba ingin melihat dunia yang tata tenteram karta raharja, ingin hidup bersama-sama manusia lain dalam keadaan rukun, kasih-mengasihi, hormat-menghormati, tolong-menolong, di mana tiada dengki tiada iri, tiada murka, tiada permusuhan, yang ada hanya persahabatan dan persaudaraan."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Resi Narotama tertawa sampai terbahak-bahak dan ia menghapus dua butir air mata yang keluar karena tertawa itu.
"Alangkah indahnya kalau ada keadaan seperti itu di dunia, angger. Sayang seribu sayang, aku sendiri belum pernah mengalami hidup dalam dunia seperti itu indahnya. Mudah-mudahan saja engkau kclak akan mengalaminya. Akan tetapi, muridku. Cita-cita tinggal cita-cita, yang penting adalah pelaksanaan yang menjadi kewajiban. Jangan sekali-kali engkau mabuk oleh cita-cita kosong, angger."
"Bagaimanakah maksud bapa? Hamba kurang mengerti."
"Cita-cita adalah harapan akan tercapainya sesuatu yang indah sebagai akibat atau hasil dari pada perjuangan. Karena cita-cita adalah hasil atau akibat, oleh karena itu takkan tercapai tanpa perjuangan, tanpa pelaksanaan. Dan karena keindahannya maka dapat memabukkan orang. Seorang yang lemah batinnya selalu menghendaki sesuatu yang indah tanpa perjuangan yang susah payah, selalu menghendaki tercapainya cita-cita dengan mudah, tidak peduli baik buruknya cara yang ditempuhnya. Namun seorang bijaksana, tidak mabuk oleh cita-cita, melainkan penuh ketekunan dan keyakinan melaksanakan tugas sebagai kewajibannya. Karena cita-cita hanya akibat, maka dengan sendirinya akan datang dan tercapai apabila kewajibannya dilaksanakan. Seperti halnya orang yang bercita-cita mengenyam buah mangga yang harum manis dari pohon mangga yang hendak ditanamnya. Kalau ia hanya mabuk dalam cita-citanya yang muluk-muluk, ia hanya akan mengenyam mangga dalam alam mimpi belaka. Sebaliknya, orang yang sadar akan kewajibannya, akan tekun menanam bibit mangga, memeliharanya baik-baik, menyiraminya setiap hari, menjaganya dari gangguan luar. Kelak hasilnya akan datang sendiri!"
Joko Wandiro mengangguk. "Hamba mengerti sekarang, bapa."
"Setelah engkau berpisah dariku, berhati-hatilah dan waspadalah, angger. Seperti kau ketahui, dunia ini penuh dengan pertentangan, iblis dan setan selalu berusaha menyeret manusia untuk melakukan kejahatan, sebaliknya para dewata bertugas menuntun manusia ke arah jalan kebajikan. Akan tetapi iblis dan setan amatlah pandai, kadang-kadang membujuk manusia sambil menyamar sebagai dewata. Kadang-kadang ia akan membujukmu melakukan sesuatu yang kelihatannya baik, namun sesungguhnya adalah kejahatan belaka. Inilah sebabnya maka timbul kebaikan-kebaikan palsu, yang pada hakekatnya hanya kejahatan yang berkedok, seperti musang berbulu ayam. Inilah sebabnya mengapa orang-orang memperebutkan kebenaran dan keadilan, Kebajikan yang diperebutkan pada hakekatnya bukanlah kebajikan lagi karena kebajikan itu sifatnya memberi, bukan meminta. Kebenaran dan keadilan bagi orang lain, barulah benar! Kebenaran dan keadilan untuk dan demi diri pribadi, masih diragukan kebersihannya!"
Hening sejenak mengikuti gema ucapan sang resi ini, seakan-akan alam sendiri termenung memikirkan dan mencari-cari makna dari pada wejangan itu. Kemudian tiba-tiba sekali terdengarlah suara parau kasar,
"Gaaaokk... gaaaoookkk...!"
Suara burung gagak! Suara ini seakan-akan suara iblis sendiri yang menjawab wejangan-wejangan tadi, penuh ejekan. Guru dan murid itu saling pandang, Wajah si murid berkerut tegang, akan tetapi wajah si guru tetap tenang, bahkan tersenyum.
"Agaknya para dewata sudah menghendaki, muridku, bahwa pada saat terakhir ini engkau harus menghadapi ujian berat. Pernahkah engkau mendengar suara itu?"
Joko Wandiro mengangguk, berusaha menenteramkan hatinya. "Kalau hamba tidak keliru, mereka adalah Gagak Kembar, bapa."
"Benar, suara itu sudah kukenal baik. Gagak Kunto dan Gagak Rudro, kaki tangan Wirokolo si manusia liar. Heran, apa yang mereka kehendaki, sedangkan bertahun-tahun aku telah menjauhkan diri dari dunia ramai."
Tiba-tiba agaknya sebagai jawaban ucapan sang resi ini, terdengar ketawa terbahak-bahak, nyaring sekali sampai menggema di seluruh lereng dan memasuki telinga seperti jarum-jarum berbisa!
"Wah! Siapa lagi itu kalau bukan Dibyo Mamangkoro?" Resi Narotama tampak tercengang dan kaget, akan tetapi hanya sebentar karena ia segera tersenyum kembali dan wajahnya tenang-tenang saja.
"Joko, kita kedatangan orang-orang sakti yang masih belum kuketahui niatnya. Akan tetapi, mendengar suaranya, agaknya sang waktu tidak merobah watak mereka dan kalau dugaanku ini benar, berarti kita akan diserang. Akan tetapi kau hanya boleh bergerak kalau kusuruh."
Suara burung gagak makin lama makin sering dan makin dekat. Kemudian, tampaklah pasukan terdiri dari orang-orang tinggi besar berjumlah tiga puluh enam orang itu, dipimpin oleh dua orang yang sama bentuk, sama wajah, dan sama pakaian, yaitu Sepasang Gagak, kakak beradik kembar, Gagak Kunto dan Gagak Rudrol Setelah tiba di depan pondok, mereka segera membuat setengah lingkaran, berbaris rapi, siap dan menanti komando.
Kemudian muncullah dua orang raksasa yang dengan langkah lebar mendatangi tempat itu sambil tertawa-tawa. Mereka itu bukan lain adalah Dibyo Mamangkoro si raksasa tua tampan dan gagah bersama adik seperguruannya, Wirokolo. Dibyo Mamangkoro segera melangkah maju sedangkan Wirokolo berdiri di sebelah Sepasang Gagak. Melihat Resi Narotama yang duduk bersila di atas batu, didampingi seorang pemuda tanggung yang menundukkan muka, Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak dan mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
"Huah-ha-ha-ha! Narotama...! Kiranya engkau masih hidup dan bersembunyi di sini?"
Dengan sikap tenang Resi Narotama mengangkat muka memandang. Sepasang matanya memandang dan biarpun sikapnya tenang wajahnya tidak membayangkan sesuatu, namun sepasang mata itu berkilat penuh wibawa. Suaranya halus penuh kesabaran ketika ia berkata,
"Dibyo Mamangkoro, makin dalam orang mengenal dirinya, makin dinginlah hatinya untuk membiarkan diri hanyut oleh gelombang nafsu. Tiada yang lebih baik dari pada diam dan tenang di dunia ini, Mamangkoro. Engkau datang mengganggu ketenanganku, mempunyai kehendak bagaimanakah?"
Kembali raksasa tua itu tertawa bergelak. "Narotama, kita sudah sama-sama tua sekarang, agaknya tidak patut kalau kita harus bertanding yuda seperti belasan tahun yang lalu. Tentu kita akan ditertawai kanak-kanak kalau masih berkelahi. Dengarlah, aku diutus sang prabu di Jenggala untuk memanggil engkau menghadap ke keraton Jenggala sekarang juga."
"Hemmm! Sudah bertahun-tahun aku Narotama bertapa di gunung ini, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu. Antara Jenggala dan Narotama tidak ada urusan sesuatu, Dibyo Mamangkoro, tidak ada sangkut-pautnya, maka terpaksa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu ini."
"Heh-heh, ingatlah Narotama! Engkau adalah Patih Kahuripan. Bukankah ia junjunganmu juga? Mengapa kau membangkang?"
"Memang dahulu aku Patih Kahuripan, akan tetapi sekarang bukan patih lagi, melainkan Resi Narotama. Antara Resi Narotama dan Kerajaan Jenggaia sungguh tidak ada urusan apa-apa."
"Jadi kau kukuh tidak akan mau ikut bersamaku ke Jenggala?"
"sekarang tidak, besokpun tidak, Mamangkoro."
"Heh, si sombong Narotama! Tahukah engkau bahwa aku telah diberi purbawa sesa (mandat penuh) oleh sang prabu? Tahukah kau bahwa kalau aku tidak dapat membawamu bersamaku ke Jenggala, aku harus membawa kepalamu?"
Narotama tersenyum dan kilat sinar matanya makin terang. "Apakah itu berarti bahwa engkau hendak memenggal leherku dan membawa kepalaku ke Jenggala, Dibyo Mamangkoro?"
"Benar begitu, Narotama."
"Kalau begitu silakan, hendak kulihat apakah engkau mampu memanggal leherku!"
"Engkau menantang, si keparat?"
"Aku hanya mengiringi kehendakmu, selaras gending yang kauminta, melayani segala sepak-terjang dan tandang-tandukmu, Mamangkoro."
"Babo-babo, si keparat Narotamal Engkau terlalu memandang rendah Dibyo Mamangkoro! Dibyo Mamangkoro sekarang tidak sama dengan Dibyo Mamangkoro belasan tahun yang lalu, Narotama!"
Narotama menggeleng kepala. "Aku tidak melihat sedikitpun perubahan dalam dirimu, Mamangkoro. Masih menjadi abdi angkara murka seperti dahulu juga!"
"Ijinkanlah hamba berdua memberi hajaran kepada mulut kakek sombong ini, kakang senopati!"
Gagak Kunto dan Gagak Rudro sudah melompat maju dengan senjata di tangan. Gagak Kunto memegang tombak pusaka sedangkan Gagak Rudro memegang ruyungnya. Mereka berdua adalah anak buah Dibyo Mamangkoro dan sampai waktu itupun mereka masih menyebut kakang senopati kepada Dibyo Mamangkoro. Tentu saja keduanya cukup maklum akan kesaktian Narotama yang menggiriskan, akan tetapi karena di situ hadir Wirokolo dan terutama Dibyo Mamangkoro, mereka berdua tentu saja ingin menonjolkan jasa, dan keberanian mereka pun meningkat. Dibyo Mamangkoro tertawa.
"Heh-heh, boleh-boleh! Biar kulihat bagaimana sepak terjang Narotama sekarang."
Akan tetapi pada saat itu, Joko Wandiro sudah berlutut di depan gurunya dan menyembah, berkata memohon, "Bapa guru, hamba harap bapa suka mengabulkan hamba mewakili bapa memberi hajaran kepada orang-orang kasar ini. Kiranya tidak perlu bapa yang sudah sepuh mengotorkan tangan melayani orang-orang jahat ini."
Narotama mengangguk. "Majulah, Joko. Lawan mereka dan jangan ragu-ragu untuk memberi hajaran keras. Membasmi mereka seperti membersihkan bumi dari pada abdi-abdi iblis yang kejam. Akan tetapi berhati-hatilah, angger."
Dengan hati girang Joko Wandiro melompat bangun menghadapi Sepasang Gagak yang sudah siap dengan sikap menantang itu.
"Bukankah kalian ini Gagak Kunto dan Gagak Rudro yang pada lima tahun lalu telah dirobohkan secara mudah oleh eyang Resi Bhargowo? Dan sekarang kalian masih berani berlagak di sini? Sungguh kalian orang-orang bermuka tebal dan tidak tahu malu, orang-orang bebal yang tidak juga hendak insyaf dan sadar kcmbali ke jalan benar."
"Bocah bermulut besar! Siapakah kau, hayo mengaku agar jangan mampus tanpa nama!" bentak Gagak Kunto.
"Namaku Joko Wandiro."
"Keluarkan senjatamu, keparat!" Gagak Rudro membentak sambil memutar-mutar ruyung di atas kepalanya.
Joko Wandiro teringat akan jawaban Resi Bhargowo lima tahun yang lalu ketika menghadapi Sepasang Gagak ini, yang menyatakan bahwa senjatanya adalah kebenaran, maka ia tersenyum dan menjawab, "Senjataku adalah kebenaran. Majulah kalian dengan senjata kalian, akan kuhadapi dengan tangan kosong!"
"Babo-babo si keparat! Ujudmu kecil, sumbarmu sebesar gunung anakan! Kau sendiri yang mencari mati, bukan kami yang tak tahu diri melawan bocah!" bentak Gagak Kunto makin marah.
"Ah, bukankah pemuda ini bocah yang dahulu berani kurang ajar ketika kita menyerbu Jalatunda?" teriak Gagak Rudro.
Mereka kini mengenal Joko Wandiro dan hal ini menambah kemarahan mereka. la segera menerjang maju dengan langkah lebar dan menyerang Joko Wandiro dengan hantaman ruyungnya ke arah kepala. Serangan ini disusul oleh Gagak Kunto yang sudah menusukkan tombak ke arah dada pemuda itu. Dua serangan susul-menyusul yang amat berbahaya!
Namun Joko Wandiro bersikap tenang. Dahulu ketika ia melihat Resi Bhargowo diserang oleh dua orang ra ksasa liar ini, ia menganggap kakek itu terlalu tenang dan kurang cepat bergerak. Akan tetapi sekarang setelah digembleng oleh Resi Narotama, mengertilah Joko Wandiro mengapa kakek itu demikian tenang. Kiranya untuk menghadapi lawan yang gerakannya buas memang amat dibutuhkan ketenangan, makin tenang makin mudahlah untuk mengikuti gerakan lawan.
Kini, menghadapi terjangan dua orang lawannya ini, Joko Wandiro hanya menggeser kakinya, menggerakkan kedua lengan dan hanya dengan langkah kecil disertai kebutan lengan yang membuat tubuhnya miring ke sana ke mari, dua serangan itu dapat ia elakkan secara amat mudah.
Gagak Kunto berseru keras dan kini ia menusukkan lagi tombaknya ke arah perut setelah tadi tombaknya mengenai tempat kosong. Gerakan ini disusul oleh hantaman ruyung Gagak Rudro yang mengarah tengkuk. Melihat datangnya tombak lebih cepat, Joko Wandiro miringkan tubuh ke kanan, lengan kirinya menangkis dari bawah, tepat mengenai leher tombak yang mencelat atau menyeleweng ke atas.....