Mendengar ucapan ini, Pujo dan Kartikosari seketika sadar. Lenyaplah kemuraman dari wajah mereka, akan tetapi kini berganti penyesalan. Pujo lebih-lebih lagi merasa betapa perbuatannya yang lalu merupakan dosa besar.
Karena salah sangka, ia telah menghancurkan rumah tangga Wisangjiwo, bahkan sudah menculik Joko Wandiro, memisahkan anak itu dari ayah bundanya sehingga sampai pada kematiannya, Wisangjiwo tidak pernah bertemu dengan puteranya! Alangkah hebatnya penderitaan itu, sedangkan mereka sendiri, baru beberapa bulan saja kehilangan Endang Patibroto, sudah merasa gelisah dan duka!
"Saya mengaku dosa saya, rama, semoga Dewata mengampuni saya..." kata Pujo sambil menundukkan muka, penuh penyesalan.
Resi Bhargowo mengelus jenggotnya. "Perbuatanmu terdorong oleh rangsangan dendam dan nafsu membalas dan karena salah pengertian. Kurasa tidak ada malapetaka menimpa diri Endang, akan tetapi segala hal. Dewatalah yang mengaturnya. Sekarang masih belum terlambat untuk memperbaiki kesalahan lama dengan membuat pengakuan kepada Joko Wandiro. Baiknya bahwa biarpun engkau bukan ayahnya, akan tetapi sekarang telah menjadi suami bibinya. Itu dia datang! Sering ia berkunjung ke sini."
Semua orang menengok dan benar saja, dari jauh tampak pernuda tanggung itu berjalan dengan langkah tenang. Agaknya dia pun melihat bahwa kakek gurunya bercakap-cakap dengan tiga orang yang dari jauh tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah agak dekat ia mengenal Pujo, maka berlarilah ia. Gerakannya tangkas, larinya cepat sekali sehingga mengagumkan dan menggirangkan hati Pujo dan kedua isterinya.
"Sayang ia pun tidak tahu ke mana perginya Endang," Resi Bhargowo berkata. "Di Pulau Sempu mereka memang berpisah jalan..."
"Ayaaaaahhh...!"
Joko Wandiro berseru girang lalu merangkul ayahnya. Pujo memeluknya dan sepasang matanya menjadi basah air mata ketika ia teringat bahwa anak yang dikasihi ini harus mendengar bahwa ia bukan ayahnya! Joko Wandiro amat rindu kepada Pujo dan tentu ia akan bersikap lebih mesra lagi kalau saja ia tidak ingat bahwa di situ terdapat orang lain. Ia lalu melepaskan rangkulannya, menoleh kepada Roro Luhito yang memandangnya dengan air mata bercucuran!
Wanita ini masih mengenal keponakannya, yang dahulu sering ia gendong-gendong dan sekarang sudah menjadi seorang pemuda tanggung. Saking terharu hatinya, ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Joko Wandiro hanya merasa heran mengapa wanita itu menangis dan menduga-duga siapa gerangan wanita cantik ini. Ketika ia memandang kepada Kartikosari, ia segera mengenalnya dan menegur,
"Ah... bibi! Bukankah bibi ini ibu Endang Patibroto? Dimanakah dia sekarang, bibi?"
Melihat Roro Luhito menangis dan teringat akan Wisangjiwo, Kartikosari juga meruntuhkan air mata. ia memegang pundak anak itu, merangkulnya dan berkata, "Anak yang baik, kami sendiri tidak tahu dia sekarang berada di mana."
Joko Wandiro makin terheran melihat semua orang meruntuhkan air mata. Ia menoleh lagi kepada ayahnya dan Pujo lalu menarik tangannya, diajak duduk di atas batu.
"Anakku, Joko Wandiro, kau dengarlah baik-baik dan dengan hati tenang ada yang akan kuceritakan kepadamu. Rama resi ini memang benar adalah kakek gurumu karena aku... aku hanyalah gurumu, sama sekali bukan ayahmu..."
"Aaahh...!"
Joko Wandiro meloncat bangun dari tempat duduknya. Benar-benar ia terkejut seperti disambar petir mendengar keterangan yang sama sekali di luar dugaannya ini. Wajahnya menjadi pucat dan ia memandang Pujo dengan mata terbelalak.
"Tenanglah, nak...!"
Pujo menegur, terharu akan tetapi juga mendesak. Merah sekali wajah Joko Wandiro. Sudah bertahun-tahun ia digembleng oleh ayahnya ini, digembleng lahir batin sehingga sebetulnya ia dapat menguasai perasaannya. Akan tetapi tadi ia hampir tak dapat menguasai perasaannya oleh karena memang berita itu amat mengejutkan. Ia duduk lagi dan berbisik,
"Maaf, ayah...!
Pujo tersenyum pahit. Sungguh tidak enak tugasnya bercerita dan membuat pengakuan ini. Akan tetapi memang betul ayah mertuanya. Ia harus berterus terang membuka rahasia ini, demi kebaikan mereka semua.
"Ayah kandungmu yang sejati sebetulnya adalah Raden Wisangjiwo..."
Kembali Joko Wandiro memotong, "Tapi...ayah bilang Wisangjiwo adalah musuh besar yang harus kubunuh kelak!"
Mendengar ini, serasa ditampar muka Pujo. Mukanya menjadi merah sekali, lalu berubah pucat dan ia menundukkan mukanya. "Besar sekali dosaku, anakku...! Dan semua ini terjadi hanya karena salah duga yang timbul dari sifat terburu nafsu!"
Berceritalah Pujo tentang peristiwa dua belas tahun yang lalu. Mendengar tentang gurunya yang tadinya ia anggap ayah kandungnya, kemudian mendengar pula betapa ia di waktu kecil bersama ibu kandungnya yang ia lupa lagi bagaimana wajahnya itu, diculik oleh gurunya, makin lama makin pucatlah wajah Joko Wandiro. Dadanya terangsang sesuatu yang menggelora, yang membuat tubuhnya menggigil. Teringat ia akan penuturan Cekel Aksomolo yang pernah menangkapnya, pernah mengatakan bahwa dia adalah putera kadipaten, putera Raden Wisangjiwo, bahwa Pujo adalah penculiknya. Dan ia malah memaki-maki dan memukul Cekel Aksomolo yang disangkanya membohong!
Kini mendengar betapa satu-satunya orang di dunia ini yang dicintanya, dipujanya dan disangka ayah kandungnya itu telah sedemikian kejamnya terhadap ayah bundanya, terhadap dia sendiri, hatinya seperti disayat-sayat. Apalagi kalau ia teringat betapa Pujo semenjak ia kecil selalu menekankan bahwa musuh besar di dunia ini adalah Wisangjiwo yang harus dibunuhnya kelak! Ayah kandungnya sendiri! Harus dibunuhnya! Alangkah kejinya dan hal ini sungguh-sungguh mengecewakan dan menghancurkan hatinya. Saking kerasnya desakan gelora hati yang ditekan-tekannya, ketika mendengar cerita bahwa ayah kandungnya, Wisangjiwo gugur dalam perang, sedangkan ibunya yang pulang ke Selogiri dibawa lari perampok, Joko Wandiro terbelalak memandang ke angkasa, lalu tiba-tiba menjerit dan tubuhnya terjungkal roboh pingsan.
Ketika siuman dari pingsannya, Joko Wandiro berada dalam pelukan Roro Luhito. Tentu saja ia terheran-heran, apalagi melihat wanita itu menangis sambil menyebut-nyebut namanya. Sejenak timbul harapannya. Inikah ibu kandungnya? Ah, tak mungkin. Bukankah tadi diceritakan bahwa ibu kandungnya diculik perampok di Selogiri?
"Joko, aku adalah bibimu sendiri, aku adik kandung ayahmu." Dengan suara terputus-putus Roro Luhito memperkenalkan diri. Kemudian ia membuat pengakuan bahwa ia pun telah menjadi isteri Pujo.
Makin tertusuk hati Joko Wandiro, makin bingung dan kecewa. Pujo ternyata bukan ayahnya, hanya gurunya. Ayah kandungnya sudah tewas, ibunya diculik perampok, bibinya menikah dengan Pujo yang seakan-akan membikin celaka rumah tangga ayah bundanya. Tidak tertahankan lagi, melihat gurunya menundukkan mukanya yang pucat, melihat eyang gurunya mengelus-elus jenggotnya dengan senyum pahit, melihat isteri gurunya, ibu Endang Patibroto juga tertunduk, kemudian melihat bibinya menangis terisak-isak, Joko Wandiro juga menangis! Tangis penuh penyesalan, penuh kekecewaan.
"Duh, anakku, angger Joko! Gurumu tadi belum menceritakan semuanya. Ayahmu telah meninggal dunia dan bukan maksud bibimu ini memburukkan nama ayahmu, sama sekali bukan. Akan tetapi agaknya engkau harus mendengar segalanya dengan jelas agar jangan engkau timbul kebencian kepada kami."
Setelah berkata demikian, Roro Luhito lalu menceritakan segala yang telah terjadi, betapa Wisangjiwo bersama ayahnya, mendiang Adipati Joyowiseso tadinya menyeleweng dan hendak memberontak, bersekutu dengan tokoh-tokoh sakti yang jahat seperti Cekel Aksomolo dan lain-lain. Betapa Wisangjiwo menyerang Pujo dan Kartikosari di dalam gua gelap sehingga ketika muncul Jokowanengpati mempergunakan namanya, maka Pujo dan Kartikosari tertipu. Semua ia ceritakan dengan jelas, tanpa tedeng aling-aling lagi, bahkan ia ceritakan kekejian dan kejahatan Jokowanengpati terhadap keluarga Kadipaten Selopenangkep, terhadap dirinya sendiri!
Mendengar cerita ini, berubahlah wajah Joko Wandiro. Lenyap semua bayangan penyesalan. Betapa pun juga, orang yang selama ini ia kasihi, ia anggap ayah kandung sendiri, ternyata adalah seorang satria utama, yang telah salah tindak karena tertipu. Seluruh penyesalan dan bencinya kini ia timpakan kepada orang yang bernama Jokowanengpati.
"Si bedebah Jokowanengpati! Di mana si jahat itu sekarang?" Ia melompat berdiri dengan kedua tangan terkepal.
Pujo meraihnya. Girang dan bangga hatinya bahwa murid yang ia kasihi seperti puteranya sendiri ini sekarang telah melihat kenyataan, dan tidak membencinya. Ia merangkul dan berkata, "Joko anakku, musuh besar itu telah tewas di tangan kedua bibimu, baru-baru ini."
Joko Wandiro balas memeluk gurunya, lalu berkata, "Harap sebuah permohonanku dikabulkan."
"Tentu saja, Joko. Jangankan hanya sebuah, biarpun seribu permohonanmu tentu akan kupenuhi," jawab Pujo terharu.
"Hanya satu saja, yaitu... karena ayah kandungku telah tewas... supaya... supaya aku tetap boleh menyebut... ayah kepadamu."
Pujo merangkul dan memeluk kepala Joko Wandiro. Dari kedua pelupuk matanya mengalir beberapa butir air mata. Sambil mencium kepala anak Itu, ia berkata, "Engkau memang anakku! Biarpun bukan anak kandung, akan tetapi engkau anakku, Joko! Terima kasih bahwa engkau masih mau menyebut ayah kepadaku. Akan tetapi, karena engkau telah mendapatkan seorang guru yang maha sakti, engkau harus melanjutkan pelajaranmu kepada gurumu yang sakti mandraguna dan bijaksana, Ki Patih Narotama. Kami bertiga akan kembali ke Bayuwilis di pantai Laut Selatan, dan kelak, kalau ada perkenan gurumu, kita akan bertemu lagi, Joko."
Anak yang semuda itu telah mengalami kecewa, sesal, dan duka yang amat hebat itu hanya mengangguk-angguk sambil memandang dengan air mata berlinang. Pujo, Roro Luhito dan Kartikosari memandang anak itu dengan hati penuh keharuan sehingga suasana menjadi sedih. Tiba-tiba Resi Bhargowo tertawa. Suara ketawanya tenang dan sewajarnya, sekaligus mengusir suasana yang lengang sedih itu.
"Ha-ha-ha, alangkah lemahnya kita diseret kedukaan berlarut-larut! Joko, cucuku yang baik. Gurumu adalah kawula yang paling gagah perkasa dan sakti di seluruh Kahuripan, sungguh mengecewakan kalau engkau sebagai muridnya tak mampu melawan nafsu perasaan sendiri!"
Sadarlah mereka semua. Joko Wandiro segera menjatuhkan diri berlutut, menyembah kepada empat orang itu sambil berkata, "Hamba pamit mundur...!"
Tanpa menanti jawaban, tubuhnya sudah melesat dan bagaikan terbang ia lari meninggalkan tempat itu untuk kembali ke tempat pertapaan gurunya yang berada di lereng gunung…..
********************
Segala sesuatu di permukaan bumi ini, mau atau tidak, semua harus tunduk kepada kekuatan Sang Waktu. Betapa pun kerasnya besi baja, betapa pun besarnya gunung dan luasnya lautan, semua itu akan lenyap atau berubah setelah tiba saatnya. Namun, demikian halus Sang Waktu bekerja sehingga sedikit demi sedikit kesemuanya itu digerogoti sampai habis tanpa ada yang merasakannya! Manusia sendiri, setiap hari digerogoti waktu dalam bentuk usia, kanak-kanak menjadi dewasa, dewasa menjadi tua dan kakek-kakek, tanpa si manusia merasainya, sehingga tahu-tahu Sang Waktu menyeretnya ke lubang kubur!
Sang Waktu merayap selambat kura-kura apabila diperhatikan, akan tetapi terbang secepat kilat apabila tidak diperhatikan. Tahun-tahun lalu serasa hari kemarin! Karena inilah, sebelum terlambat, seyogyanya manusia mengisi hidupnya yang tak berapa lama ini dengan perbuatan-perbuatan bermanfaat bagi dunia, bangsa, negara, masyarakat atau sedikitnya bagi orang lain. Bahagialah mereka yang tidak menyia-nyiakan waktu hidup sebentar ini hanya dengan perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri saja. Karena sudah pasti bahwa pada akhir hidup, hati nurani sendiri menuntut jasa apakah yang telah diperbuat semasa hidupnya bagi dunia dan manusia?
Sang Waktu melesat cepat sehingga tanpa disadari, Endang Patibroto telah enam tahun tinggal di Pulau Iblis. Selama enam tahun ini, setiap hari ia menerima gemblengan dari gurunya. Dibyo Mamangkoro yang amat mencinta muridnya, bahkan menganggap muridnya itu seperti anak atau cucu sendiri. Tidak ada ilmu yang ia sembunyikan, semua kedigdayaannya ia turunkan kepada Endang Patibroto. Bahkan pada kesempatan menurunkan ilmu terakhir, Dibyo Mamangkoro berkata,
"Muridku yang pintar, anakku yang denok! Sudah habislah sekarang semua aji kau pelajari. Tidak ada apa-apa lagi yang dapat kuajarkan kepadamu, kecuali hanya hawa sakti di dalam tubuhku yang dapat kuberikan kepadamu. Akan tetapi tidak Sekarang, muridku, karena penyerahan hawa sakti itu akan mendatangkan kematian padaku. Aku tidak sayang mengorbankan nyawa untukmu, Endang, akan tetapi jangan sekarang."
Endang Patibroto, kini seorang gadis berusia tujuh delapan belas tahun, cantik manis dengan tubuh padat berisi dan ramping, dengan sepasang mata yang tajam akan tetapi bersinar dingin, bibirnya yang selalu merah basah itupun tak pernah ketinggalan senyum, senyum dingin mengejek, kini berdiri memandang gurunya. Sukar untuk menduga apa yang terkandung di hati gadis muda ini, karena wajahnya menyerupai topeng puteri jelita yang tidak pernah berubah.
Bahkan Dibyo Mamangkoro sendiri, seorang sakti mandraguna, seorang yang berwatak aneh, liar dan ganas, kadang-kadang mengakui di dalam hati bahwa dalam diri muridnya ini terdapat kekuatan luar biasa, dan memancarkan keanehan dan kesereman. Bahwa di balik sinar mata yang tajam bersinar itu tersembunyi kedinginan yang membeku, dan di balik senyum yang manis menggairahkan hati tiap pria itu tersembunyi maut yang selalu mengintai korban!
"Bapa guru," jawab Endang Patibroto terhadap ucapan gurunya tadi. "Kalau bapa tidak hendak memberikan hawa sakti kepadaku karena takut mati, perlu apa bapa menceritakannya kepadaku? Tenagaku sendiri cukup, dan sesungguhnya aku tidak membutuhkan penambahan tenaga dari luar lagi." Setelah berkata demikian, perlahan Endang Patibroto membalikkan tubuhnya, lengan kirinya bergerak lambat ke depan, seperti main-main mendorong sebatang pohon sebesar tubuh manusia dan...
"kraaakkk!" pohon waru itu roboh!
"Huah-hah-hah-hah... Kiranya tidak akan mudah mencari orang yang mampu melawan Endang Patibroto, murid terkasih Dibyo Mamangkoro!" Kakek raksasa itu tertawa bergelak, akan tetapi akhirnya suara ketawanya lenyap dalam keraguan. Keningnya yang tebal berkerut ketika ia berkata, "Betapa pun juga, menghadapi manusia-manusia luar biasa seperti Airlangga dan Narotama, Empu Bharodo, Resi Bhargowo dan lain-lain tokoh di Kahuripan, tak boleh sekali-kali kau memandang rendah, muridku. Kalau teringat akan mereka itulah timbul kegelisahanku, dan agaknya hanya kalau engkau mendapatkan tambahan hawa sakti dari tubuhku, kau akan dapat menghadapi mereka. Sudah enam tahun engkau berada di sini, Endang. Biarlah sekarang aku pergi dulu menyelidik ke Kahuripan, melihat bagaimana perkembangan keadaannya sekarang. Wirokolo hanya mengabarkan bahwa Sang Prabu Airlangga telah meninggal dunia dalam pertapaannya, bahwa Narotama masih menjadi pertapa dan tidak mencampuri urusan kerajaan. Selain itu, ada berita baik bahwa mulailah kini Kerajaan Jenggala bergerak untuk menumpas Kerajaan Panjalu! Sekaranglah saatnya engkau muncul dan memperkenalkan diri pada dunia, muridku. Biarlah dunia membuka mata terhadap munculnya Endang Patibroto, sang puteri perkasa. Kau tinggallah menanti di sini, muridku. Aku pergi ke Kahuripan, menyelidiki keadaan."
Pada hari-hari pertama kepergian Dibyo Mamangkoro, tidak dirasakan oleh Endang Patibroto. Akan tetapi, setelah lewat tiga pekan, mulailah ia merasa betapa sunyi pulau itu. Selama enam tahun tak pernah ia berpisah dari gurunya. Kini mulailah ia kehilangan suara gurunya yang bergema di seluruh pojok pulau. Endang Patibroto mulai merasa tidak senang dan tidak kerasan di pulau ini, di mana selama enam tahun belum pernah ia tinggalkan. Diam-diam timbul rasa marah di dalam hatinya terhadap gurunya yang begitu lama meninggalkannya. Kenapa gurunya tidak mengajaknya pergi? Makin lama kemarahannya makin membesar, rasa jemu tinggal seorang diri di pulau tak tertahankan lagi dan akhirnya ia pun meninggalkan Pulau Ibiis!
Biarpun enam tahun ia tinggal di pulau, namun gurunya selalu mencukupi semua keperluannya. Bahkan pakaianpun Endang Patibroto tidak pernah kekurangan. Ia selalu menerima pakaian-pakaian yang halus dan indah. Bahkan keris pusakanya, Brojol Luwuk, kini memakai gagang yang amat indah, bertabur mutiara pilihan dan sarungnya terbuat dari pada emas berukir!
Pagi hari itu, karena tidak tahan lagi, Endang Patibroto meninggalkan Pulau Iblis. Ia mengenakan pakaiannya yang paling baru. Ia mempunyai banyak kain, akan tetapi sayang, sungguhpun bajunya banyak, namun oleh gurunya disuruh orang luar pulau membuatnya setahun yang lalu. Kini pakaiannya yang terbaik sekali pun terlalu ketat mencetak tubuhnya, agak kurang longgar karena tubuhnya makin berisi selama setahun ini. Keris pusaka tidak ia sembunyikan seperti dahulu lagi, melainkan kini terselip di pinggangnya yang dihias sabuk emas pula.
Perahu rampasan dahulu itu masih ada. Gurunya tidak menggunakan perahu ketika pergi. Mungkin menggunakan mancung kelapa seperti biasa. Ia sendiripun kini sanggup menyeberang dengan bantuan mancung kelapa, bahkan ia sanggup melakukan yang lebih hebat dari pada itu. Akan tetapi ia tidak suka meniru gurunya karena selain melelahkan, juga ombak akan membasahi kainnya. Dengan perahu lebih enak. Sudah sering kali ia bermain-main dengan perahu di sepanjang pantai pulau. Ia bukan seorang ahli berlayar, namun cukup dapat menguasai perahu dengan dayungnya.
Oleh karena belum pernah Endang Patibroto menyeberang, perahunya hanyut oleh ombak ke timur sehingga ketika perahu itu tiba di pantai, ia berada jauh dari pada tempat penyeberangan biasa. Betapa pun juga, hatinya lega ketika ia meloncat ke darat. Tidak disangkanya sedemikian sukar mengendalikan perahu yang hanyut oleh aliran air yang sangat kuatnya. Ia membiarkan perahu itu dihanyutkan ombak ke tengah, dan dengan pandang mata gembira ia melihat ke depan. Hutan yang lebat dan gelap, dunia baru baginya setelah enam tahun dikeram dalam pulau kosong. Bagaikan seekor kijang muda yang baru terlepas dari kurungan, Endang Patibroto memasuki hutan, terus berlari menuju ke timur.
Tujuannya hanya satu. Ke Kahuripan dan menurut gurunya, Kahuripan terletak di sebelah timur. Ia hendak ke Kahuripan yang kini terpecah menjadi dua kerajaan, yaitu Panjalu dan Jenggala, menyusul gurunya. Hanya menyusul gurunya? Tidak! lapun ingin mencari ibunya. Ingin mencari eyangnya, Resi Bhargowo. Hatinya rindu kepada ibu, Hatinya bertanya-tanya, apakah eyangnya, Resi Bhargowo yang dahulu dikeroyok orang di Pulau Sempu, masih hidup.
Dan, teringat akan Joko Wandiro, tak dapat ia menahan senyum yang dibayangi tarikan bibir mencibir, mengejek! Hi-hik, hatinya mentertawakan. Apakah Joko Wandiro masih terus menggendong dan bermain-main dengan patung kencana? Endang Patibroto tertawa lagi sambil meraba gagang kerisnya. Bangga dan senang hatinya bahwa ia dahulu memilih keris pusaka ini. Pusaka ampuh. Bahkan gurunya sendiri merasa jerih terhadap pusaka ini! Secara berterang Dibyo Mamangkoro pernah berkata,
"Jangan engkau main-main dengan pusakamu itu, Endang. Dengan pusaka Ki Brojol Luwuk di tanganmu, semua aji kepandaianmu menjadi berlipat-lipat ampuhnya. Dengan pusaka itu, engkau akan mampu menggegerkan dunia, akan dapat menghancurkan kerajaan, seakan-akan dapat menggugurkan gunung menguras lautan! Kalau tidak terpaksa sekali, jangan mencabutnya dari sarungnya. Pusaka keramat tidak boleh dipergunakan sembarangan saja!"
Samar-samar ia masih ingat ketika enam tahun yang lalu Dibyo Mamangkoro mengajaknya sampai ke Pulau Iblis. Sedapat mungkin ia mencari jalan itu agar tidak sampai tersesat. Beberapa hari kemudian, setelah keluar dari sebuah hutan yang luas, tibalah ia di lembah Sungai Bogowanto. Ia merasa agak lelah karena perutnya lapar sekali. Melihat sungai dari jauh, begitu keluar dari hutan, ia sudah mengambil keputusan untuk beristirahat di tepi sungai, mencari kijang atau binatang hutan lain untuk dipanggang dagingnya, dan buah-buahan yang banyak terdapat di lembah sungai. Akan tetapi baru saja ia muncul dari daerah hutan, tiba-tiba dari balik pohon-pohon berlompatan keluar orang-orang tinggi besar yang segera mengepung Endang.
Sebentar saja lima belas orang telah berdiri mengepung dengan sikap garang. Mereka semua adalah laki-laki yang bertubuh tegap, bersikap kasar dan beroman galak. Paling depan berdiri seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan paling buas di antara mereka, jelas memperlihatkan sikap pimpinan. Baju orang Itu berkembang totol-totol besar seperti kulit harimau. Mukanya juga mengerikan seperti muka harimau, dengan sepasang mata lebar berkilauan dan agak hijau, tidak seperti mata manusia. Hidungnya gemuk tebal, mulutnya terkurung kumis dan jenggot yang kasar menjijikkan. Sambil meraba gagang golok, laki-laki tinggi besar ini membentak,
"Berhenti! Siluman, peri ataukah manusia yang berani mati lewat di sini? Eh, bocah denok ayu, langsing kuning seperti kijang kencana, denok montok seperti bidadari kahyangan! Kedua kakimu menginjak tanah, berarti engkau adalah anak manusia. Siapa engkau, dari mana hendak ke mana dan mengapa seorang gadis jelita seperti engkau berani menjelajah hutan rimba seorang diri tanpa pengawal?"
"Kakang Suro, alangkah jelita gadis ini! Aduh, disambar kerling matanya saja seperti dicabut rasa jantungku!" Seorang di antara mereka, yang masih muda, berkata,
"Kakang Suro, berikan dia padaku sebagai hadiah! Wah, mau aku dikurangi umurku sepuluh tahun kalau dia menjadi punyaku!" kata orang ke dua.
"Uuuh, bodoh amat! Kalau aku yang beruntung mendapat dia, akan kuusahakan supaya aku jangan menjadi tua, jangan mati-mati,"lebih lama lebih baik menikmati hidup di sampingnya," seru orang ke tiga.
Mereka semua tertawa-tawa, atau setidaknya menyeringai lebar. Semua mata memandang penuh selidik, menjelajahi seluruh tubuh Endang Patibroto dengan lahap seperti mata harimau kelaparan menjilat kelinci muda. Gigi yang besar-besar menguning atau menghitam karena kinang, tampak di balik kumis yang tak terpelihara. Belasan orang laki-laki buas dan liar, yang terlalu lama berkeliaran di dalam hutan, berbulan-bulan tidak bertemu wanita.
Sikap mereka akan membuat seorang laki-laki pun akan menjadi gentar, karena jelas dari sikap mereka bahwa belasan orang ini adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, sudah biasa memaksakan kehendak mereka mengandalkan golok yang tergantung di pinggang.
Akan tetapi Endang Patibroto sama sekali tidak merasa gentar. Seujung rambut pun ia tidak takut menghadapi kepungan belasan laki-laki tinggi besar dan bersikap kasar itu. Dengan tangan kanan meraba gagang keris di pinggang, ia berdiri menentang pandang mereka, lalu perlahan-lahan ia memutar tubuh agar dapat memandang wajah mereka seorang demi seorang.
Pandang matanya dingin, tak pernah berkejap, sikapnya tenang dan pada wajahnya yang jelita tidak terbayang perasaan apa-apa, tenang dingin seperti permukaan air telaga yang dalam. Ia harus mengukur keadaan belasan orang itu dengan sapuan pandang mata tadi dan mendapat kenyataan, menurut ajaran gurunya, bahwa mereka ini orang-orang yang memiliki keberanian dan tenaga besar saja, akan tetapi pada hakekatnya kosong. Mungkin hanya orang bermuka singa itu saja, pemimpin mereka, yang agaknya sedikit berisi!
Orang-orang macam begini berani menghadangnya dan bersikap kurang ajar. Endang Patibroto tersenyum, senyum yang membuat wajahnya menjadi manis sekali, akan tetapi senyum yang dingin, yang akan membuat beku dan ngeri orang yang berperasaan. Akan tetapi lima belas orang itu adalah orang-orang kasar sehingga seperti buta terhadap kenyataan yang tersembunyi. Melihat gadis jelita ini tersenyum, mereka makin berani dan tertawa-tawa gembira, bahkan mulai bergerak mendekat dengan sikap kurang ajar.
Melihat mereka itu maju dekat sehingga muka-muka menyeringai itu amat menjijikkan, ditambah bau keringat yang apek, Endang Patibroto menjadi marah. Namun wajahnya tidak membayangkan sesuatu, hanya senyum yang masih membayang di bibirnya menjadi masih dingin. Tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya, diputar sambil berseru, "Mundur...!"
Hebat kesudahannya! Tujuh orang tinggi besar yang berdiri paling depan, seperti daun-daun kering diterbangkar lesus (angin puyuh), terpelanting dan menabrak kawan sendiri yang berdiri di belakang! Tentu saja mereka menjadi terkejut dan mundur.
Endang Patibroto yang masih berdiri di tengah kepungan, kini dengan sikap tenang berkata, "Pergi kalian! Ataukah ada yang sudah bosan hidup? Mereka yang sudah bosan hidup boleh maju!"
Surosardulo, demikian nama kepala gerombolan yang bermuka singa itu, tadi juga merasa betapa ada angin mendorongnya, namun ia hanya terhuyung ke belakang. Kini ia berkata marah, "Heh-heh, kiranya gadis cilik yang punya kepandaian juga! Berani kau menyentuh kumis harimau! Hayo konco, siapa yang berani menangkapnya untukku?"
Mereka yang tadi berdiri di belakang, tidak merasai kehebatan sambaran hawa dari tangan Endang Patibroto. Mendengar seruan kepala mereka ini, tiga orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar meloncat hampir berbareng ke depan menghadapi Endang Patibroto. Yang Iain-lain agaknya merasa malu untuk maju setelah melihat bahwa sudah ada tiga orang kawannya yang maju.
Tentu saja mereka merasa malu kalau menghadapi seorang gadis cilik saja mereka harus maju bersama mengeroyok. Tiga orang itu yang amat kepingin menangkap dan mendekap tubuh muda yang padat itu, seperti hendak berlomba. Endang Patibroto memandang tiga orang ini dengan sinar mata mengukur dan bibir mengejek.
"Kalian benar sudah bosan hidup? Ingin mampus secara bagaimana?"
Ucapan ini bernada dingin penuh ancaman maut, akan tetapi oleh karena keluar dari mulut mungil, terdengar lucu bagi tiga orang raksasa itu. Mereka bergelak tertawa.
"Ha-ha, cah-ayu manis! Apa engkau bisa membikin aku mati tanpa kepala?" ejek orang pertama yang mukanya pucat.
"Aduh mati aku! Kerlingmu dan senyummu sudah cukup membikin remuk dadaku, denok." Orang ke dua yang matanya juling berkata.
"Dan aku rela mati dengan tubuh hancur di depan kakimu, asal... hemm, engkau suka menjadi punyaku, sayang!" kata orang ke tiga yang kumisnya jarang.
Endang Patibroto dengan sikap tenang menghitung-hitung dengan jari tangannya. "Seorang ingin mampus tanpa kepala, yang ke dua ingin mampus dengan dada remuk, yang ke tiga dengan tubuh hancur. Hemmm, kehendak kalian akan terpenuhi. Majulah!"
Si mata juling agaknya sudah tidak dapat menahan lagi hasrat hatinya, ingin segera dapat memeluk gadis itu, maka sambil tertawa ia sudah menubruk maju dengan gerakan laksana seekor harimau menubruk kelinci. Dua orang temannya tidak mau kalah dulu, juga segera menerjang maju dengan kedua tangan menjangkau ke depan.
Sukar diikuti pandangan mata apa yang selanjutnya terjadi. Dalam sekelebatan mereka yang tidak bertanding melihat betapa gadis jelita itu menggerakkan tangan kakinya menyambut tiga orang pengeroyoknya. Mula-mula terdengar suara "krakkkk!" disusul jeritan si mata juling yang terpelanting roboh. Disusul berkelebatnya golok menyambar leher si muka pucat yang roboh dengan leher putus dan darah menyembur-nyembur, kemudian tampak gadis itu sudah memegang lengan kanan si kumis jarang dan tubuh laki-laki ini terayun ke atas lalu terbanting pada batu besar yang terletak tak jauh dari tempat pertempuran. Kemudian keadaan menjadi sunyi. Gadis itu berdiri di tempat tadi, tegak dan tenang, matanya tajam dan bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek.
Semua mata terbelalak memandang penuh kengerian. Tiga orang penyerbu tadi tak dapat bangun kembali, mata dalam keadaan amat mengerikan. Si muka pucat telah terbabat putus lehernya, oleh goloknya sendiri, dan kini kepalanya menggelinding agak jauh dari tubuhnya, mati tanpa kepala! Si mata juling rebah telentang mandi darah, dadanya pecah terkena hantaman tangan Endang Patibroto. Adapun si kumis jarang lebih mengerikan lagi. Tubuhnya yang dibanting di atas batu tadi remuk dan pecah-pecah!
Sejenak gerombolan itu tercengang dan dengan muka pucat memandang mayat tiga orang teman mereka. Akan tetapi segera timbul kemarahan di hati mereka. Tanpa diperintah lagi, mereka semua menghunus golok dan dua belas orang itu sudah bergerak maju mengurung dengan sikap mengancam.....