Resi Jatinendra turun dari tempat duduknya lalu menghampiri Ki Patih yang bersimpuh di depannya. Dirangkulnya Narotama dan suaranya terharu ketika bersabda, "Duh kakang Narotama. Betapa girang hatiku mendengar tuturmu. Agaknya kau pun dapat menginsyafi betapa beginilah sebaiknya. Kita sudah tua, kakang. Kita harus melepas tangan setelah melakukan ikhtiar sekuasa kita. Biarkanlah apa yang akan terjadi, terjadi seperti yang dikehendaki Sang Hyang Wisesa, kakang Narotama!"
"Betul, yayi. Betul sekali. Ampunkan kekhilafan hamba yang sudah-sudah."
"Engkau akan bertapa di mana, kakang?"
"Paduka maklum, hamba takkan pernah dapat meninggalkan paduka. Oleh karena itupun, hamba takkan jauh dari Jalatunda, yayi."
"Bagus, kakang. Berangkatlah, dan jangan lupa, kau didiklah baik-baik si Joko Wandiro."
Demikianlah, Narotama berpisah dari junjungannya dan tidak menyaksikan pembagian Kerajaan Kahuripan, karena hal ini serupa dengan memecah jantungnya menjadi dua. Dahulu, bertahun-tahun dialah yang berjuang menyatukan wilayah-wilayah itu, dengan pengorbanan darah dan peluh. Bagaimana kini ia tega menyaksikan segala jerih payahnya itu dihancurkan, bukan oleh orang lain, melainkan oleh keturunan junjungannya sendiri? Dengan hati berat Narotama lalu mengajak Joko Wandiro meninggalkan Jalatunda, memilih tempat bertapa yang cocok di antara gua-gua yang banyak terdapat di pegunungan sekitar Gunung Bekel.
Biarpun maklum sedalamnya bahwa usaha manusia itu tak mungkin merobah jalannya jangka yang ditentukan Hyang Wisesa, namun Sang Prabu Airlangga berusaha keras untuk bertindak sebaik-baiknya. Pembagian wilayah kerajaan yang dilakukan dalam usaha mencegah perang saudara ini dilakukan dengan upacara besar-besaran, sengaja oleh Sang Prabu Airlangga didatangkan semua pembesar, punggawa, pendeta dan orang-orang terkemuka di seluruh kerajaan agar mereka Ini menjadi saksi.
Semua ini dilakukan dalam rangka usahanya agar kewajibannya sebagai ayah yang adil terpenuhi. Pimpinan upacara pembagian wilayah Kerajaan Rahuripan ini diserahkan kepada Empu Bharodo yang terkenal sebagai seorang kakek sakti yang amat setia kepada Kahuripan, terkenal pula akan kejujuran dan kebersihan hatinya, juga akan kesaktiannya.
Berkat kebijaksanaan Empu Bharodo yang dibantu oleh adik seperguruannya, Resi Bhargowo, pembagian wilayah Kerajaan Kahuripan ini dilakukan dengan sempurna dan seadil-adilnya. Akan tetapi, manusia takkan terlepas dari pada sifat angkara murka dan dengki iri. Betapa pun adil pembagian itu menurut ukuran Empu Bharodo maupun Resi Jatinendra sendiri, tetap saja kedua orang pangeran itu diam-diam merasa tidak puas, karena pembagian itu tidak selaras dengan keinginan hati mereka dan karenanya keduanya menganggapnya kurang adil!
Namun oleh karena yang membaginya adalah Sang Prabu Airlangga sendiri, maka kedua orang pangeran tidak berani membantah dan menerima pembagian masing-masing. Pangeran Sepuh mendapat bagian barat dan menjadi raja dari bagian ini yang kemudian dinamakan Kerajaan Panjalu. Adapun bagian timur menjadi bagian Pangeran Anom dan dinamakan Kerajaan Jenggala. Mereka menjadi raja dari kerajaan masing-masing dan untuk sementara kelihatan puas dan berlomba untuk memperindah dan memperbesar kerajaan masing-masing.
Setelah pembagian kerajaan selesai, Sang Prabu Airlangga kembali ke pertapaan, bertapa makin tekun lagi sambil memohon kepada dewata agar kerajaan yang kini dipimpin oleh kedua orang puteranya dapat makmur dan tidak timbul pula pertengkaran di antara mereka. Empu Bharodo dengan setia mengikuti junjungannya ini di pertapaan Jalatunda di lereng Gunung Bekel.
Biarpun Ki Patih Narotama tidak diperkenankan mencampuri urusan pembagian kerajaan, bahkan tidak hadir pula dalam upacara, namun Ki Patih Narotama tidak merasa kecil hati terhadap junjungan, juga saudara seperguruan dan sahabat yang dikasihinya itu. Ia merasa girang bahwa jalan tengah yang diambil sri baginda itu agaknya memperlihatkan hasil baik.
Apa pun yang terjadi, Ki Patih Narotama yang amat mencinta negara ini sudah merasa puas apabila menyaksikan negara aman makmur. Oleh karena itu, biarpun ia sudah menjadi pertapa, seringkali ia menghadap Resi Jatinendra, bahkan sering pula ia datang mengajak muridnya, Joko Wandiro yang tentu saja merasa girang mendapat kesempatan bertemu dengan eyang gurunya, yaitu Resi Bhargowo.
Karena adanya hubungan ini, terutama sekali juga karena para kakek sakti yang waspada itu dapat melihat bahwa Joko Wandiro merupakan harapan mereka untuk mewakili mereka kelak menanggulangi segala keruwetan dan kekacauan negara, maka tiada bosannya mereka, juga Sang Resi Jatinendra sendiri, memberi nasehat dan petunjuk kepada Joko Wandiro. Anak ini dengan sikapnya yang sopan, dengan otaknya yang pintar, telah menarik perhatian mereka sehingga tidak hanya eyang gurunya saja yang menurunkan ilmunya, bahkan Empu Bharodo juga mengajarkan ilmu kesaktiannya Bayu Sakti kepada Joko Wandiro.
Resi Jatinendra yang masih tunggal guru dengan Ki Patih Narotama, maklum bahwa anak itu tentu akan menerima kepandaian dari Narotama, maka ia pun hanya memberi petunjuk tentang cara bersamadhi untuk menghimpun kekuatan sakti, dan kemudian memberi petunjuk pula tentang aji kesaktian yang luar biasa dan hanya dimiliki oleh bekas raja ini, yaitu aji Triwikrama. Aji Triwikrama ini sesungguhnya adalah aji yang mengandalkan kekuatan batin yang mengungkap keaslian ujud seorang manusia dan yang biasanya hanya dapat dilihat dengan pandang mata batin yang kuat. Aji ini apabila dipergunakan, pengaruhnya amat hebat, menundukkan segala macam lawan tanpa menggunakan kekerasan.
Joko Wandiro adalah seorang anak yang rajin, seorang anak yang pandai nyimpan perasaan dan rahasia hatinya, ia belajar dengan amat tekun, penuh perhatian. Ia tidak pernah bertanya tentang ayahnya, namun didalam hatinya tak pernah ia melupakan ayahnya, tak pernah ia kehilangan rasa rindunya yang ditekan-tekan, dan tak pernah ia lupa akan pesan ayahnya dahulu tentang seorang musuh besar ayahnya yang bernama Wisangjiwo! Tentu saja ia tidak pernah mendengar bahwa Wisangjiwo telah gugur dalam perang saudara. Juga sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya orang yang selama ini dianggap musuh besar, yang kelak harus ia balas, Sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri…..!
********************
Sementara itu, Endang Patibroto dibawa oleh gurunya ke Pulau Nusakambangan. Pada masa itu, pulau ini merupakan sebuah pulau yang terkenal sebagai sarang Iblis dan Siluman. Jangankan mendarat di pulau ini kalau ada yang berani bahkan mendekati pulau saja tidak ada seorangpun nelayan yang berani. Sebuah pulau angker, menyeramkan, dan penuh rahasia mengerikan. Kalau sekali waktu ada perahu-perahu nelayan yang diserang badai Laut Selatan di daerah itu, tentu mereka ini menghubungkannya dengan Pulau Nusakambangan atau yang mereka juluki Pulau Iblis.
Mereka menganggap bahwa iblis-iblis di pulau itu mengamuk dan tidak senang karena ada perahu yang "melanggar" wilayah Pulau Iblis, yang berlayar terlalu dekat dengan pulau. Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan Endang Patibroto mendekati pantai Laut Selatan. Pulau Nusakambangan Nampak dari pantai itu seperti seorang raksasa sedang tidur. Cuaca sudah mulai gelap ketika mereka tiba di pantai.
"Bapa guru, bagaimana kita akan menyeberang ke sana?" tanya Endang Patibroto ketika gurunya memberi tahu bahwa pulau yang jauh itulah tempat tinggalnya. Ia bertanya demikian karena kini gurunya tidak membawa mancung (selapu bunga kelapa) seperti ketika menyeberang ke Pulau Sempu.
"Apakah kita harus mencari mancung lebih dulu? Itu di sana banyak pohon kelapa!" Ia menuding ke arah barat di mana terdapat beberapa batang pohon nyiur melambai-lambai tertiup angin laut.
"Huah-hah-hah, tidak usah, muridku. Setelah kau ikut bersamaku, kita perlu mempunyai sebuah perahu. Nah, bukankah di sana itu ada perahu. Mari...!"
Dibyo Mamangkoro menarik tangan muridnya, diajak pergi mendekati pantai sebelah timur di mana terdapat beberapa buah perahu. Dari jauh kelihatan beberapa orang nelayan sedang berkemas untuk mulai berlayar mencari ikan. Ada yang membereskan layar, ada pula yang menyiapkan jala, pancing, dan lain-lain. Tanpa berkata sesuatu, Dibyo Mamangkoro yang menggandeng tangan Endang Patibroto itu menghampiri para nelayan, lalu seenaknya ia memilih perahu terbaik, lalu melangkah naik bersama muridnya.
"Haiii...! Orang tua, kau mau apa dengan perahuku...?" Seorang nelayan muda yang bertubuh tegap dan Nampak kuat datang berlari-lari sambil membawa sebuah tombak berkail alat menangkap ikan besar. Sikapnya mengancam. Akan tetapi Dibyo Mamangkoro tidak mempedulikan teguran orang itu. Enak saja ia mengambil dayung dan hendak melepaskan dadung yang mengikat perahu dengan perahu lain di pantai.
"Heeeeiii...! Lepaskan perahuku. Turun!" Si nelayan muda membentak sambil menerjang maju. Dengan tangan kanannya ia menangkap lengan Dibyo Mamangkoro dan menyeretnya turun dari perahu.
Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika lengan dan tubuh yang diseretnya itu sama sekali tidak bergoyang! Ia mengerahkan tenaga, membetot lagi. Sia-sia belaka, sama halnya kalau ia mencoba untuk menarik roboh sebuah batu karang yang kokoh kuat. Namun si nelayan yang muda dan kuat itu makin penasaran. Ia menancapkan tombaknya di atas tanah, kemudian menggunakan kedua tangan untuk menyeret.
"Huah-ha-ha...! Endang, kau lihat tingkah monyet pantai ini!" Sambil berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggerakkan tangan yang dibetot dari tubuh nelayan muda itu terlempar sampai lima meter jauhnya ke laut.
Sambil menyumpah-nyumpah nelayan itu berenang ke pinggir, sedangkan para nelayan lain yang belasan orang banyaknya datang mendekat dengan wajah terheran. Nelayan muda itu terkenal sebagai nelayan yang paling kuat di antara mereka. Pernah seorang diri saja melawan dan menaklukkan ikan hiu sebesar manusia ketika ia mengail dan tertarik jatuh dari perahunya ke dalam laut oleh seekor ikan hiu yang terkail. Bagaimana sekarang melawan seorang kakek tua itu, biarpun kakek tinggi besar seperti raksasa, begitu mudah saja dilempar ke laut?
Dengan penuh ketegangan mereka melihat betapa nelayan muda itu sudah berhasil berenang ke pantai. Kini dengan kemarahan meluap melihat kakek tinggi besar itu terbahak-bahak ketawa dan anak perempuan itu tersenyum-senyum geli, si nelayan muda menyambar tombaknya.
"Suro... sabarlah, jangan main-main dengan tombak...!" Beberapa orang nelayan tua memperingatkan.
Para nelayan itu adalah orang-orang sederhana dan menghadapi buruan mereka, yaitu ikan laut, mungkin mereka dapat bersikap ganas dan kejam. Akan tetapi menghadapi peristiwa yang mengancam keselamatan nyawa manusia, mereka merasa ngeri juga. Namun, nelayan muda bernama Suro itu terlalu marah sehingga menjadi mata gelap.
Jelas bahwa kakek raksasa itu hendak merampas perahunya, bahkan kini kakek itu sudah hendak mengembangkan layar, bagaimana ia tidak akan merah? Perahu lebih berharga dari pada nyawa bagi seorang nelayan miskin seperti dia. Kini perahunya hendak dirampas orang, harus ia pertahankan dengan nyawa, kalau perlu ia tidak akan segan untuk membunuh! Kakek itu terlalu kuat, tidak dapat ia lawan dengan kedua tangan kosong. Apa salahnya kini menggunakan senjata untuk mencapai kemenangan mempertahankan perahunya?
Ia tidak tahu bahwa seruan peringatan teman-temannya yang tua tadi bukan hanya karena khawatir melihat ia hendak membunuh orang, melainkan lebih khawatir lagi terhadap keselamatannya. Para nelayan yang tua itu melihat sesuatu pada diri Dibyo Mamangkoro yang menyeramkan hati mereka. Sesuatu yang memancar dari sepasang mata yang liar dan besar itu, sesuatu yang membayang pada sikap kakek yang tidak sewajarnya, tidak seperti manusia umumnya. Terlambatlah seruan peringatan itu.
Suro sudah menerjang dengan tombaknya sambil melompat ke atas perahunya sendiri. Ia bermaksud menyerang kakek raksasa yang tadi telah melemparkannya ke laut, akan tetapi karena Endang Patibroto berdiri di pinggir menjadi penghalang, tentu saja otomatis anak perempuan inilah yang lebih dulu terancam bahaya serangan tombak. Anehnya, melihat datangnya marabahaya terhadap muridnya itu, Dibyo Mamangkoro hanya tertawa bergelak, sama sekali tidak menjadi gugup atau khawatir!
Memang tidak berlebihan sikap ini. Biarpun anak perempuan itu baru beberapa hari saja ikut kepadanya dan menjadi muridnya, namun pandang mata Dibyo Mamangkoro amat tajam sehingga ia mengenal anak macam apa muridnya ini. Kalau hanya menghadapi serangan tombak yang dilakukan oleh tangan-tangan yang curna kuat dan cepat itu saja, tanpa didasari ilmu bermain tombak, bukanlah apa-apa bagi Endang Patibroto.
Dengan jelas matanya yang jeli dapat mengikuti gerakan ujung tombak yang runcing berkail, yang menerjang gurunya akan tetapi lewat tubuhnya. Tombak itu meluncur ke tirah lambung kirinya. Endang Patibroto tidak meloncat pergi, melainkan dengan gerakan yang ringan dan tenang sekali kaki tangannya merobah kedudukan sehingga tubuhnya menjadi miring dan tentu Saja tombak itu tidak mengenai lambungnya.
Secepat kilat gadis cilik ini melanjutkan gerakan kaki melangkah ke depan sambil memutar tangan menangkap batang tombak yang masih meluncur dekat lambung. Sambil mengerahkan tenaga membetot ke belakang, ia menambahi tenaga nelayan itu, atau meminjam tenaga dorongan tombak. Si nelayan berseru kaget dan tubuhnya terjerumus ke depan, disambut tungkak (tumit) kaki kiri Endang Patibroto.
Tungkak yang kulitnya kemerahan, halus dan kecil. Akan tetapi karena tungkak ini dengan cepat "memasuki" perut terdengar suara "ngekk!" dan tubuh nelayan itu terlempar ke belakang, terbanting ke atas pasir dan ia meringis-ringis sambil menekan perut yang mendadak menjadi mulas! Kemarahan Suro makin menjadi-jadi. Akan tetapi dia dan juga para nelayan memandang ke atas perahu dengah muka tiba-tiba menjadi pucat sekali, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
Apakah yang mereka lihat? Sungguh tidak masuk akal dan takkan mereka percaya kalau mereka tidak menyaksikan sendiri. Kakek raksasa itu telah mengambil tombak rampasan tadi, kini sambil tertawa-tawa kedua tangannya mematahkan tombak itu sedemikian mudahnya, dipatah-patahkan menjadi beberapa potong seperti orang mematahkan lidi saja! Kemudian, sambil melemparkan potongan tombak itu ke arah batu karang di pantai, ia berkata, suaranya parau menakutkan.
"Siapa yang hendak mengambil kembali perahu ini, boleh datang ke Pulau Iblis. Huah-ha-hah!"
Perahu itu didayung ke tengah oleh Dibyo Mamangkoro, setelah melewati kepala ombak, angin menangkap layar dan berkembanglah layar itu. Perahu meluncur cepat ke arah pulau yang tampak hitam menyeramkan. Suro dan para nelayan masih berdiri pucat di pantai. Potongan-potongan tombak yang dilemparkan secara perlahan oleh kakek raksasa tadi telah menancap dan amblas terus memasuki batu karang!
"Celaka...! Dia agaknya penghuni Pulau Iblis...!" Akhirnya seorang kakek mengemukakan terkaannya dengan suara gemetar.
"Ah, engkau masih untung, Suro. Untung tidak sampai dibunuh...!
"Tidak salah lagi. Mereka tentulah... bukan manusia biasa, mereka penghuni Pulai Iblis. Bayangkan anak perempuan tadi. Begitu cantik, seperti anak peri... akan tetapi begitu kuat, sekali gerak telah merampas tombak dan merobohkan Suro. Eh, Suro, bukankah tenaga anak tadi luar biasa sekali, bukan tenaga manusia?"
Suro masih ketakutan, mukanya pucat matanya sayu. Ia tidak kuasa membuka suara dan setelah menelan ludah, baru ia dapat menjawab dengan anggukan kepala.
"Suro, kau tentu akan mendapat untung besar. Perahumu diminta penghuni Pulau Iblis, tentu anugerahnya berlipat ganda! Jangan murung, Suro, relakanlah, tentu engkau akan dilindungi!
Bermacam-macam pendapat mereka. Tidak seorangpun berani mengomel atau menyumpahi kakek raksasa itu. Dan tentang untung yang mereka ramalkan untuk Suro, sungguhpun belum nampak untungnya, namun sedikitnya Suro sudah agak terhibur dari pada dukanya karena para temannya secara gotong royong bergilir meminjamkan perahu mereka kepada Suro untuk mencari ikan. Dan secara kebetulan sekali, atau mungkin juga karena Suro sesudah kehilangan itu bekerja keras dan rajin, setiap kali pergi mencari ikan semenjak peristiwa itu, Suro selalu memperoleh penghasilan yang besar! Memang, di dunia ini tidak ada yang lebih kuat dari pada kepercayaan yang mendalam.
Endang Patibroto merasa suka sekali kepada gurunya. Ia merasa cocok dengan watak gurunya yang kasar, berandalan, dan mencari enaknya sendiri saja. Perampasan perahu itu bagi Endang Patibroto bukan hal yang dianggap tidak semestinya. Malah dianggap benar, karena, bukankah mereka membutuhkan perahu untuk menyeberang? Dan bukankah sudah semestinya mereka memakai perahu siapa saja yang tak mampu mempertahankan miliknya?
Semenjak kecil, anak ini hidup dalam asuhan seorang ibu yang mabok dendam. Bahkan semenjak dalam kandungan, ibunya seringkali membayangkan pembalasan dendam yang hebat-hebat dan kejam-kejam. Oleh karena itu, tidak mengherankan pula apabila Endang Patibroto memiliki watak yang aneh, berandalan, keras hati dan tidak mengenal kasihan!
Hebatnya, anak ini secara kebetulan sekali telah rnewarisi keris pusaka Brojol Luwuk, pusaka Mataram yang semenjak dahulu kalau lenyap dari keraton pasti menimbulkan geger dan peristiwa-peristiwa hebat! Untuk melengkapinya lagi, secara kebetulan pula Endang Patibroto menjadi murid seorang sakti mandraguna yang liar dan ganas seperti Dibyo Mamangkoro!
Begitu perahu menempel pulau, Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan muridnya dan melompat ke darat. Kemudian sekali ia rnembetot dan melontarkan, perahu rampasan itu terlempar ke pantai pulau dan rebah miring. Ia tidak pedulikan lagi perahu itu melainkan menarik tangan muridnya, mengajaknya berlari-lari memasuki pulau sambil tertawa-tawa dan berkata,
"Huah-hah-hah! Inilah negara kita, inilah tempat tinggal kita, Endang! Inilah sorga dunia. Aku raja di sini, dan kini engkau menjadi puterinya, ha-ha-ha!"
Akan tetapi tiba-tiba Endang Patibroto terkejut dan berhenti berlari sambil melepaskan tangan gurunya, siap untuk menghadapi bahaya. Di depan mereka muncul seekor harimau tutul yang besar, sebesar anak lembu! Harimau itu meringis memperlihatkan taring yang besar meruncing, matanya bersinar-sinar galak, air liurnya menetes-netes seakan tak dapat ia menahan seleranya melihat manusia cilik yang berdaging lunak berdarah manis ini.
"Huah-ha-hah! Jangan takut, kalau dia berani mengganggu, bunuh saja! He, tutul, kalau kau berani membikin takut tuan puterimu, akan kubuntungi ekormu dan kedua telingamu. Pergi!" Kaki kiri Dibyo Mamangkoro terayun.
"Bukkk!" Tubuh harimau tutul yang besar dan berat itu terlempar sampai beberapa meter jauhnya, jatuh terbanting, lalu binatang itu mengaum kesakitan dan berlari pcrgi terpincang-pincang, diikuti suara ketawa Dibyo Mamangkoro dan Endang Patibroto.
Mulailah isi pulau itu mengenal suara ketawa yang lain dari pada biasanya. Suara ketawa yang merdu dan nyaring, kadang-kadang melengking tinggi, namun mengandung kekerasan yang menyeramkan! Itulah suara ketawa Endang Patibroto yang mulai saat itu menjadi penghuni Pulau Iblis atau Pulau Nusakambangan, hidup berdua dengan gurunya, Dibyo Mamangkoro dan binatang-binatang buas yang menjadi penghuni asli pulau itu.
"Hati-hatilah engkau terhadap manusia di dunia ini Endang," demikian sebuah di antara nasehat-nasehat Dibyo Mamangkoro kepada muridnya. "Jauh lebih baik berhadapan dengan ancaman binatang buas dari pada manusia. Binatang hutan, betapa buaspun, selalu menyerang orang berdepan, bahkan mcmberi peringatan lebih dulu dengan suaranya. Menang atau kalah dalam pertandingan, binatang mengandalkan kekuatan dan kecepatan nya, secara jujur. Akan tetapi tidak demikian dengan lawan manusia.
Manusia lebih sering menang mcngandalkan tipu muslihat yang licik. Karena itu, sekali-kali jangan engkau pereaya manusia. Apalagi manusia yang pandai bermain mulut, wah, berbahaya sekali dia itu, karena biasanya apa yang keluar dari mulutnya berlawanan dengan yang terkandung dalam hati. Kalau berhadapan dengan manusia yang mencurigakan, pukul saja lebih dahulu sebelum engkau dipukul!"
Ajaran-ajaran seperti inilah yang membuat Endang Patibroto menyerang kalang-kabut ketika beberapa bulan kemudian ia melihat tiga orang laki-laki tinggi besar mendarat di Pulau Iblis. Tiga orang laki-laki seperti gurunya, tinggi besar dan menyeramkan. Mereka itu mendarat dan menyeret sebuah perahu kecil ke pantai. Mereka itu adalah Wirokolo dan dua orang anak buahnya, Gagak Kunto dan Cagak Rudro yang telah gagal membunuh Sang Resi Jatinendra di Jalatunda.
Seperti kita ketahui, tiga orang ini mundur setelah Wirokolo dirobohkan Ki Patih Narotama. Setelah gagal, Wirokolo mengajak dua orang kawannya itu pergi ke Nusakambangan menghadap kakak seperguruannya. Melihat laki-laki tinggi besar yang berkalung dan bergelang ular pada leher dan kedua pasang kaki tangannya, tentu saja sekaiigus Endang Patibroto menjadi curiga. Apalagi sikap Gagak Kunto dan Cagak Rudro juga amat kasar dan tidak menyenangkan hatinya. Dari tempat persembunyiannya, di balik scrumpun pandan, Endang Patibroto mcngintai.
Setelah ia merasa yakin akan dugaannya bahwa tiga orang itu tentu datang ke pulau dengan maksud buruk, Endang Patibroto menggerakkan tangan, mengambil beberapa buah pecahan batu karang. "Pukul lebih dahulu sebelum engkau dipukul!" Bukankah demikian pesan dan ajaran gurunya?
Tiga orang ini mencurigakan, kalau tidak didahului tentu hanya akan mendatangkan bencana. Dari tempat persembunyiannya Endang lalu mengayun kedua tangan dan secara berturut-turut, tiga buah batu karang yang keras telah menyambar ke arah kepala tiga orang itu dengan kecepatan mengagumkan. Biarpun orang memiliki tubuh kuat, kalau kepalanya dihantam batu karang yang keras itu, tentu akan celaka, sedikitnya akan moncrot dan bileng!
Namun, tiga orang itu adalah jagoan-jagoan Kerajaan Wengker dahulu, ilmu ke pandaian mereka tinggi. Biarpun sambitan itu dilakukan dari jarak dekat dan dilakukan dengan tenaga yang dahsyat melebihi tenaga orang biasa, namun mereka sudah dapat menangkap sambaran anginnya lebih dahulu sehihgga dengan miringkan tubuh, mereka dapat mengelak sehingga tiga buah batu itu menyambar lewat.
Wirokolo mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan kedua orang temannya. Ia terheran dan meragu. Ia maklum benar bahwa pulau ini adalah pulau yang hanya ditinggali oleh kakak scperguruannya, Dibyo Mamangkoro, tidak ada manusia lain. Ia maklum pula bahwa pulau ini oleh semua nelayan dianggap sebagai pulau iblis yang gawat dan angker bahwa tidak ada manusia lain berani mendatangi pulau ini, bahkan mendekatipun tidak ada yang berani.
Bagaimana sekarang begitu mendarat di pulau ini mereka bertiga diserang orang secara menggelap? Apakah Dibyo Mamangkoro membawa anak buah ke pulau ini? Andai kata demikian, tidak mungkin pula anak buahnya menyerang mereka! Semua anak buah Dibyo Mamangkoro tentu sudah mengenal siapa dia Wirokolo, Gagak Kunto dan Gagak Rudro! Ini pasti perbuatan musuh yang diam-diam menyelundup masuk ke Pulau Nusakambangan! Berpikir demikian, tiba-tiba Wirokolo tertawa berkakakan, kemudian kedua lengannya bergerak dan ia sudah melakukan gerakan memukul ke arah rumpun pandan di mana Endang Patibroto bersembunyi.
"Werrrr... braaaakkkk...!"
Hebat bukan main kesaktian Wirokolo. Ilmu pukulan jarak jauh ini mendatangkan akibat yang mengerikan. Hawa pukulannya yang dahsyat tadi menyambar bagaikan angina puyuh. Debu mengebul dan daun-daun bergoyang, kemudian rumpun pandan itu bobol, tereabut berikut akar-akarnya dan terlempar sampai lima meter lebih. Akan tetapi di belakang rumpun pandan itu tidak ada apa-apa! Wirokolo sampai melongo keheranan. Juga Gagak Kunto dan Gagak Rudro yang tadi tertawa-tawa melihat Wirokolo melakukan pukulan dahsyat ke arah rumpun pandan.
Mereka pun, seperti Wirokolo, sudah dapat mengetahui bahwa yang melakukan penyerangan gelap dengan sambitan batu tadi bersembunyi di belakang rumpun pandan. Akan tetapi setelah rumpun itu terlempar, mengapa di situ tidak tampak ada orangnya? Salahkah dugaan dan perhitungan mereka? Tidak, sebetulnya dugaan mereka tepat sekali. Akan tetapi mereka tidak pernah menyangka bahwa yang melakukan penyerangan gelap hanyalah seorang gadis cilik. Lebih-lebih lagi mereka tidak tahu bahwa gadis cilik itu adalah seorang yang amat cerdik, dan sekecil itu telah memiliki gerakan gesit dan tangkas seperti burung srikatan.
Begitu serangannya tadi gagal, Endang Patibroto sudah maklum bahwa tiga orang itu bukanlah orang sembarangan, maka ia berlaku hati-hati sekali. Kalau mereka mampu mengelak dari sambitannya, tentu mereka itu akan dapat menemukan tempat persembunyiannya, demikian pikirnya. Maka cepat sekali Endang Patibroto lalu menggunakan ajinya Bayu Tantra, melompat dari belakang rumpun pandan ke atas anak pohon nyiur dan dari situ meloncat pula ke atas scbuah batu karang besar lalu bersejnbunyi di situ sambil mengintai!
Ia menjulurkan lidah saking ngeri dan kagum menyaksikan betapa rumpun pandan di mana tadi ia bersembunyi, jebol dan terlempar karena pukulan jarak jauh yang demikian dahsyat! Ia bersyukur bahwa tadi telah berlaku cerdik dan cepat. Kalau ia masih mendekam di belakang rumpun pandan, tentu tubuhnya menjadi korban pukulan dahsyat yang hebat akibatnya!.
Betapa pun cepat gerakan Endang Patibroto, ia tidak dapat terlepas dari pandang mata yang tajam dari ketiga orang kakek itu. Mereka tadi melihat berkelebatnya bayangan dari rumpun pandan ke nyiur, hanya mereka tadi sama sekali tidak menduga bahwa itu adalah bayangan seorang manusia. Setelah kini melihat di balik pandan itu tidak ada apa-apa, barulah mereka maklum bahwa orang yang tadi menyambit mereka itu telah lari bersembunyi dan memiliki gerakan yang cepat.
"Babo-babo! Keparat dari mana berani memasuki Nusakambangan dan menyerang kami? Heh, pengecut di belakang karang. Keluarlah!" bentak Wirokolo.
Akan tetapi Endang Patibroto tidak mau keluar dari tempat sembunyinya. Ia tetap mendekam dan siap melakukan perlawanan apa bila diserang.
"Gagak Kembar, pergi kalian tangkap dia!" Wirokolo memerintah.
Dua orang raksasa kembar Itu tertawa lalu melangkah lebar ke arah batu karang. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan pereaya kepada diri sendiri, menjadi sombong, maka tanpa gentar mereka menghampiri tempat persembunyian lawan sarnbil tertawa-tawa.
Dari tempat persembunyiannya Endang Patibroto melihat datangnya dua orang raksasa yang sikapnya mengancam itu, diam-diam membuat perhitungan. Ia harus menyerang lebih dulu, pikirnya. Laripun tiada gunanya, tentu mereka akan mengejarnya dan kalau ketahuan gurunya, alangkah akan malunya. Melarikan diri dari lawan? Tidak sudi! Ia menanti dengan tubuh setengah membongkok, siap menerjang. Ketika dua orang raksasa itu sudah tiba di dekat batu karang, seperti seekor kijang muda Endang Patibroto melompat keluar, tangan kakinya bergerak menyerang.
"Plak-bukk!"
Cepat bukan main serangan Endang Patibroto, cepat laksana kilat dan sama sekali tidak terduga-duga oleh sepasang Gagak itu yang sejenak tertegun melihat bahwa yang keluar dari balik batu karang adalah seorang anak perempuan! Karena inilah mereka terlambat untuk mengelak atau menangkis sehingga perut mereka kena digebuk sekali oleh tangan Endang Patibroto. Akan tetapi tubuh mereka kebal dan pukulan Endang Patibrpto, sungguhpun jauh lebih keras dari pada pukulan orang dewasa pada umumnya, masih kurang kuat untuk dapat merobohkan dua orang jagoan Wengker ini.
Di lain saat berikutnya, dua orang yang tadinya tertegun dan terkejut itu sudah menubruk hendak menangkapnya. Akan tetapi, biarpun kalah jauh dalam hal tenaga, namun mengenai kecepatan gerak, Endang menang jauh. Dua orang itu menubruk dan dua-duanya mendapatkan angin kosong karena secara indah sekali tubuh kecil itu telah rnenyelinap pergi di antara empat buah tangan mereka yang menubruk.
"Ha-ha-ha, bocah ayu. Mari kugendong, ha-ha!" Gagak Kunto tertawa sambil melangkah maju.
"Kiranya hanya seorang bocah perempuan. Ha-ha, marilah, manis!" Gagak Rudro juga tertawa-tawa untuk menutupi rasa malu bahwa selain tadi kena dihantam, juga sekarang sekali tubruk tak berhasil menangkapnya.
Terjadilah kejar-kejaran yang menggelikan. Dua orang lelaki tinggi besar seperti raksasa itu menubruk kesana sini, namun selalu luput. Gerakan Endang yang menggunakan Aji Bayu Tantra sangatlah cepatnya, secepat burung terbang, sedangkan dua orang raksasa itu tubuhnya terlampau besar sehingga agak lamban. Sampai tubuh mereka mandi peluh, belum juga mereka dapat menangkap Endang Patibroto.....!