"Aduh Gusti...!"
Kartikosari menjerit dan berlutut di samping suaminya, memeriksa enam orang yang sudah menjadi mayat itu. Keadaan mereka sungguh mengerikan. Tidak tampak luka-luka yang mengeluarkan darah di tubuh mereka, namun jelas bahwa mereka tewas penuh penderitaan. Ada yang dengan mata terbelalak, dan wajah mereka masih membayangkan kengerian dan ketakutan. Roro Luhito berdiri seperti patung, terbelalak memandang ke arah mayat-mayat itu, tidak tahu harus berkata apa berbuat apa.
"Ramanda resi...!"
Tiba-tiba Kartikosari yang teringat ayahnya menjerit ngeri dan meloncat lalu lari ke arah pondok, diikuti oleh Pujo yang wajahnya pucat dan gelisah sekali. Roro Luhito juga berlari di belakang mereka. Seperti orang gila, Kartikosari nnemasuki pondok hamper berbareng dengan Pujo dan di belakang mereka, Roro Luhito juga menyusul masuk. Pondok itu kosong! Akan tetapi jelas tampak tanda-tanda bahwa orang telah menggeledah pondok itu dengan kasar. Semua isi pondok jungkir-balik.
Melihat pondok itu kosong, Kartikosari agak lapang dadanya. Akan tetapi ia masih merasa tidak enak, lalu lari keluar dari pintu belakang, diikuti Pujo dan Roro Luhito. Setelah rnencari-cari dan yakin bahwa tidak ada mayat lain di sekeliling pondok, mereka kembali ke depan pondok. Kartikosari terisak dan merangkul lengan kiri Pujo yang berdiri tegak dengan muka pucat dan mata melotot memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang.
Jantung Roro Luhito berdebar-debar, hatinya merasa gelisah dan tidak enak. Siapa yang melakukan pembunuhan keji ini? Jangan-jangan pembunuhnya datang dari Kadipaten Selopenangkep! la merasa cemas sekali.
"Kakangmas Pujo, siapakah kiranya yang begini keji membunuhi para cantrik yang tidak berdosa?"
Kartikosari bertanya, suaranya gemetar. la mengenal semua cantrik ini, apalagi cantrik Wisudo dan cantrik Wistoro yang tua. Kedua orang cantrik ini dahulu seringkali menggendongnya dan mengajaknya main-main ketika ia masih kecil. Mereka itu seperti paman-pamannya, atau kakak-kakaknya sendiri. Dan sekarang, mereka semua menggeletak tak bernyawa di depan kakinya! Pujo rnenggeleng kepada, lalu mengepal tinju tangannya.
"Aku sendiri tak dapat menduga, Nimas. Akan tetapi siapa pun juga orangnya, dia itu tentu memusuhi bapa resi. Mungkin bapa resi tidak berada di pondok, maka kernarahan orang atau orang-orang itu ditimpakan kepada para cantrik. Keji benar mereka!"
"Kakangmas Pujo, bukankah dekat tempat ini terdapat dusun? Tentu di antara penduduk dusun ada yang melihat, siapa yang baru-baru ini datang ke sini. Kulihat para korban ini belum terlalu lama tewasnya..."
"Kau benar!" Pujo berteriak. "Nimas Sari, kau bersama jeng Roro tunggu di sini, biar kucari keterangan sebentar ke dusun!"
Tanpa menanti jawaban Kartikosari yang masih termangu-mangu itu Pujo lalu melesat cepat dan lari secepatnya menuju dusun terdekat, yaitu dusun Karang Tumaritis. Seorang nelayan tua memandangnya dengan mata terbelalak heran. Barulah nelayan ini merasa yakin bahwa la tidak bermimpi ketika Pujo berseru kepadanya,
"Paman Kerpu!"
"Eh... benarkah... Gus Pujo ini...?"
"Benar, Paman."
"Wah, sewindu lebih engkau pergi, gus, juga Nini Kartikosari... malah setahun kemudian kakang resi pergi pula meninggalkan Sungapan. Aduh, betapa banyaknya peristiwa yang terjadi sejak itu... Gus. Perubahan besar terjadi di mana-mana dan..."
"Maaf, Paman Kerpu," Pujo memotong. "Saya sengaja mencari Paman untuk bertanya, apakah Paman melihat ada orang mendatangi Bayuwismo tadi?"
"Tadi...?"
"Dalam hari ini maksud saya, Paman. Adakah Paman melihat orang-orang pergi ke sana?"
Kakek itu mengerutkan keningnya dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku tidak melihatnya, gus. Kalau dahulu memang. Wah, jahat-jahat benar orang-orang dari Kadipaten Selopenangkep. Pantas saja Sang Hyang Widi sekarang menghukum mereka."
"Apa yang terjadi ketika itu, Paman?" Pujo tertarik. Mungkin kejadian dahulu ada hubungannya dengan kejadian sekarang.
"Terjadinya sudah lama sekali. Setahun lebih setelah kau dan isterimu pergi, atau tidak lama setelah kakang resi pergi tanpa pamit. Serombongan orang-orang dari Kadipaten Selopenangkep datang dan... ah, benar kejam sekali. Lima orang cantrik di Byuwismo dibikin tuli semua!"
"Dibikin tuli?"
"Ya, entah bagaimana. Tahu-tahu mereka itu tuli semua. Akhir-akhir ini aku jarang mengunjungi pondok Bayuwismo. Habis, enam orang cantrik sana menjadi tuli semua, sukar diajak bicara. Akan tetapi sekarang datang hukuman Kadipaten Selopenangkep. Kabarnya Adipati Joyowiseso ditangkap, dan kadipaten diambil alih serombongan pasukan dari kota raja. Entah bagaimana duduknya perkara. Kami orang-orang kecil mana berani banyak bertanya?"
"Terima kasih, Paman. Saya harus pergi sekarang juga. Peristiwa hebat terjadi di Bayuwisrno. Keenam paman cantrik di sana telah terbunuh hari ini."
"Mereka terbunuh...? Siapa... siapa...?"
"Entah siapa pembunuhnya. Justeru saya sedang melakukan penyelidikan."
"Kalau begitu, biar kukerahkan kawan-kawan untuk membantu di sana, mengurus mereka..."
Kakek itu menjadi pucat dan segera ia berteriak-teriak sambil lari memasuki dusun. Pujo mengangkat pundaknya, lalu ia menggunakan ilmu Iari cepat kembali ke Bayuwismo di mana kedua orang wanita itu menanti dengan penuh harapan.
"Bagaimana, Kakangmas? Berhasilkan? Siapakah yang melakukan ini?" Kartikosari tidak sabar Iagi, menyarnbut suarninya dengan hujan pertanyaan.
"Tidak ada orang yang melihat orang datang ke sini, Nimas. Akan tetapi..."
Pujo berpaling ke arah Roro Luhito dan menahan kata-katanya. Selama ini, Pujo tidak pernah terlepas dari perhatian puteri Adipati Selopenangkep ini. Belum pernah sedetikpun juga Roro Luhito dapat melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Pujo yang selama bertahun-tahun ia tahan-tahan. Selama bertahun-tahun ketika ia menjadi murid Resi Telomoyo, ia selalu merindukan Pujo dan seringkali di waktu tidur ia bermimpi tentang laki-laki yang menjadi pujaan hatinya.
Biarpun Ia tahu bahwa ia telah salah duga, dan bersama dengan terbukanya rahasia itu maka harapannya untuk menjadi isteri Pujo tersapu habis seperti asap tipis tersapu angin, namun tak pernah hatinya dapat ia yakinkan bahwasanya rnencinta Pujo merupakan hal yang sia-sia belaka. Perasaannya tetap saja lekat kepada laki-laki itu dan setiap gerak-gerik Pujo tak pernah terlepas dari pada perhatiannya, sungguhpun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan secara berterang.
Ia tidak cemburu kepada Kartikosari karena sejak dahulupun ia maklurn bahwa Kartikosari adalah isteri Pujo. Ia hanya merasa diam-diam iri dan perasaannya seringkali hancur, namun tangisnya hanya ia kubur di dalam lubuk hatinya, tak pernah ia biarkan keluar, bahkan ia tutup-tutupi dengan sikap riang gembira! Hanya di waktu malamlah, apabila mereka bertiga sudah tertidur, ia berani membiarkan air matanya bercucuran, menangis tanpa suara! Karena itulah, maka begitu Pujo berpaling dan memandang, ia sudah dapat menangkap bahwa ada sesuatu terjadi yang menyangkut dirinya. Jantungnya berdebar dan ia cepat-cepat bertanya,
"Kakangmas Pujo, ada terjadi apakah? Di Selopenangkep...?"
Pujo mengangguk, dan diam lagi.
"Kakangmas, kalau terjadi sesuatu, ceritakanlah. Diajeng Roro Luhito bukanlah anak kecil lagi, tak perlu menyembunyikan sesuatu."
Pujo menarik napas panjang, kemudian is berkata, "Tadi aku bertemu dengan Paman Krepu"
"Nelayan tua Karang Turnaritis ahli mengail ikan kerpu itu?" potong Kartikosari.
"Benar, dialah orangnya. Dari paman Kerpu aku mendapat keterangan bahwa sehari ini tak tampak orang datang ke tempat ini. Akan tetapi hampir sepuluh tahun yang lalu memang ada pasukan dari Selopenangkep yang datang ke Bayuwismo dan..." Kembali Pujo mengerling ke arah Roro Luhito. Betapa pun juga, setelah mendengar kisah Roro Luhito dan setelah meneliti sikap dan watak gadis bangsawan ini selama dalam perjalanan. Pujo merasa kasihan kepadanya dan tidak ingin menyinggung perasaannya atau membuatnya berduka.
"Teruskanlah, Kakangmas Pujo. Tak perlu ragu dan rikuh kepadaku, karena biarpun aku puteri kadipaten, buktinya aku melarikan diri, minggat dari kadipaten. Berarti aku bukan puteri kadipaten lagi, melainkan seorang gadis gelandangan Kartikosari!"
Gadis itu tersenyum, akan tetapi Kartikosari membuang muka karena hatinya tertusuk, tidak tega melihat wajah ayu yang senyumnya amat pahit membayangkan kehancuran kalbu itu.
"Menurut cerita paman Kerpu, enam orang cantrik itu telah dibikin tuli, lebih tepat lagi, lima orang cantrik karena Paman Cantrik Wistoro memang sudah tuli sejak dahulu."
"Siapa yang melakukan hal sekeji itu?" tanya Kartikosari.
"Paman Kerpu tidak tahu, juga tidak ada orang lain yang tahu. Hanya yang jelas diketahui bahwa yang melakukan adalah rombongan pasukan dari Selopenangkep. Kemudian paman Kerpu menceritakan bahwa Kadipaten Selopenangkep telah diambil alih oleh serombongan pasukan dari kota raja, dan paman Adipati Joyowiseso kabarnya ditangkap."
Perubahan satu-satunya yang terjadi pada diri Roro Luhito hanyalah cahaya matanya yang mendadak menjadi tajam berkilat-kilat seakan-akan mengeluarkan api.
"Kalau begitu, mungkin yang melakukan pembunuhan adalah orang-orang yang kini berkuasa di Selopenangkep!" kata Kartikosari.
"Mungkin sekali dan hal ini baru jelas kalau kita menyelidiki ke sana. Selain itu, agaknya... hemmm, perlu kau membantuku, Nimas. Aku harus melihat keadaan kadipaten itu dan sedapat mungkin menolong ayah diajeng Roro Luhito, hitung-hitung untuk menebus dosaku dahulu..."
Tiba-tiba Roro Luhito tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. la melompat ke depan dan tanpa ragu-ragu ia memegang tangan Pujo dan tangan Kartikosari, bulu matanya yang panjang lentik itu basah ketika ia berkata, "Kakangmas, Kakangmbok aku amat berterima kasih kepada kalian Aku amat khawatir tentang keadaan ayah...! Marilah kita segera!"
Pada saat itu datanglah berbondong-bondong penduduk Karang Tumaritis dan sekitarnya, dipimpin oleh Kerpu. Pujo lalu menyerahkan kepada mereka untuk mengurus penguburan enam orang cantrik itu, kemudian ia bersama Kartikosari dan Roro Luhito segera meninggalkan temput itu, mendapatkan kuda mereka dan cepat mereka menuju ke Selopenangkep. Datang perjalanan membelok ke utara ini mereka tidak banyak cakap, dan malam telah tiba ketika mereka tiba di luar daerah Kadipaten Selopenangkep. Pujo menghentikan kudanya, memberi isyarat kepada dua orang wanita itu untuk berhenti dan turun.
"Lebih baik kita tinggalkan kuda di sini dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kita tidak tahu siapa yang berkuasa di sana, tidak tahu pula apakah mereka itu akan memusuhi kita, karena itu, penyelidikan harus dilakukan secara rahasia."
"Malam hari amatlah tepat untuk melakukan penyelidikan rahasia," kata Kartikosari.
Setelah mengikatkan kuda di bawah sekelompok pohon, mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan hati-hati mendekati tembok rendah yang mengelilingi daerah Kadipaten Selopenangkep.
"Kakangmas berdua setelah nanti tiba di kadipaten, harap melakukan penyelidikan dengan hati-hati. Kurasa paling balk masuk melalui pintu depan dan terang-terangan menyatakan hendak bertemu dengan pengurus yang baru. Mereka tidak mengenal kalian berdua, agaknya keadaan kalian berdua tidak akan berbahaya. Aku pun tidak takut untuk masuk berterang, kalau perlu aku akan mengadakan amuk di sana. Akan tetapi, aku harus rnemikirkan keselamatan ayah dan keluargaku. Mungkin mereka masih di tahan di sana, dan sebelum menyelidiki keadaan mereka, lebih baik aku tidak ikut masuk bersama kalian."
"Habis, bagaimana kau hendak mencari keluargamu?"
"Aku mengenal jalan rahasia memasuki kadipaten dari belakang. Aku sudah hapal akan tempat tinggalku sejak aku lahir di sana. Dan akan lebih leluasalah bergerak seorang diri."
Pujo mengangguk-angguk. "Baiklah, Diajeng. Kami berdua akan masuk dari depan. Biar kami menarik perhatian mereka semua sehingga keadaan di sebelah dalam berkurang penjagaannya dan kau dapat mencari keluargamu dengan leluasa."
Kata-kata Pujo ini disambung oleh Kartikosari, "Mudah-mudahan saja ayahmu sekeluarga dalam selamat, Adikku."
Sepasang mata Roro Luhito kembali memancarkan sinar berapi seperti tadi. Ia mendengus dan sambil rnenggeget (memperternukan gigi) berkata, "Semoga begitu. Kalau tidak kubikin karang abang (lautan api) dan banjir darah di Kadipaten Selopenangkep!"
Kartikosari merangkulnya. "Jangan khawatir, Diajeng. Musuh besar pribadi kita sama orangnya. Agaknya musuh keluarga kita juga sama. Kami akan mendampingimu!"
Roro Luhito meraih dan mengambung pipi Kartikosari. "Kau seorang yang amat baik."
Ketika mereka tiba di depan istana kadipaten, dari luar keadaannya seperti tidak ada perubahan. Diam-diam hati Roro Luhito terharu melihat tempat tumpah darahnya ini. Sepuluh tahun lebih la meninggalkan tempat ini dan betapa rindunya akan tempat ini. Melihat sepasang pohon beringin di depan halaman, pohon sawo di sebelah kiri dan taman sari di sebelah kanan terus ke belakang, terbayanglah is betapa ketika masih kecil ia bermain-main di ternpat itu.
"Kami akan masuk berbareng, Diajeng," bisik Pujo.
Roro Luhito mengangguk dan menyelinaplah dia ke dalam gelap, menyusuri pagar tembok kadipaten sebelah kanan. la mengenal jalan rahasia dari balik pagar tembok taman sari. Sementara itu, Pujo menggandeng tangan isterinya dan melangkah lebar ke arah pintu gerbang depan, di mana terdapat gardu para penjaga. Makin dekat, terdengarlah suara para penjaga, dan kanan kiri pintu gerbang terdapat lampu yang apinya bergoyang-goyang tertiup angin.
Waktu itu belum malam benar dan para penjaga masih berkumpul di gardu karena belum waktunya meronda. Pujo yang pernah melakukan penyerbuan ke kadipaten ini sepuluh tahun yang lalu, melihat betapa pakaian para penjaga kini berbeda dengan dahulu. Pakaian penjaga yang sekarang ini iebih mentereng, juga sebagian besar adalah orang-orang muda.
Ada tujuh orang penjaga di situ, sedang bercakap-cakap dan kadang-kadang tertawa. Setelah dekat jelas terdengar bahwa mereka itu mempercakapkan wanita. Karena percakapan mereka itu kotor dan cabul, Pujo mempercepat langkahnya dan batuk-batuk.
Berhentilah percakapan itu seperti yang diharapkan Pujo dan beberapa orang muncul keluar dari gardu penjagaan. Melihat seorang laki-laki tampan dan seorang wanita cantik jelita berdiri di pintu gerbang, mereka itu tercengang dan segera menegur, "Siapakah kalian dan ada keperluan apakah?"
Tujuh orang penjaga itu kini sudah keluar semua dan empat belas buah mata yang haus semua melotot lebar tertuju ke arah tubuh yang denok montok dan wajah yang cantik jelita itu. Kecantikan wajah dan kehalusan kulit tubuh Kartikosari tampak makin mempesonakan tertimpa sinar lampu yang kemerah-merahan. Mereka itu selain terpesona, juga terheran-heran mengapa selama ini mereka tidak pernah bertemu dengan wanita ayu ini di Kadipaten Selopenangkep.
"Kami hendak menghadap Sang Adipati!" jawab Pujo singkat, sedangkan Kartikosari membuang muka karena tidak dapat menahan kemarahan dan malunya melihat betapa tujuh orang penjaga itu memandangnya dengan mata lahap seakan dengan pandang mata itu mereka hendak menelanjanginya bulat-bulat!
"Menghadap Sang Adipati?" Si penanya menyeringai dan bermain mata dengan teman-temannya.
"Eh, masih keluarga Adipati Joyowiseso?" tanya orang ke dua.
"Dari mana kalian datang?" orang ketiga bertanya pula.
"Kami bukan keluarga Adipati Joyowiseso dan kami datang dari Sungapan."
"Dusun Bayuwismo?" kata seorang.
"Murid Resi Bhargowo...?" seru yang ke dua.
Pujo tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. "Betul, dan lekas beritahukan adipati atau yang menjadi penguasa di Kadipaten Selopenangkep bahwa kami berdua hendak bertemu!"
Tujuh orang itu kelihatan tegang dan tangan mereka otomatis meraba senjata. Ada yang niencabut golok, ada yang meraba gagang pedang dan ada Pula yang menyambar tornbak.
"Tangkap dial"
"Biar kutangkap yang wanita, ha-ha!"
Bermacam-macarn teriakan mereka. Akan tetapi suara ejekan dan ketawa mereka segera disusul teriakan kaget dan kesakitan, mencelatnya senjata dan robohnya tubuh dua orang. Kartikosari sudah menerjang maju dan dua kali tangannya hergerak, dua orang tadi sudah roboh. Pujo juga sudah bergerak karena melihat para penjaga itu mulai menggerakkan senjatanya. Ia pun merobohkan dua orang dengan sekali bergerak.
Melihat ini, tiga orang lain menjadi gentar, namun mereka masih berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan senjata dari tempat agak jauh, takut mendekati suami isteri yang sakti itu.
"Ada apa ribut-ribut ini?" Tiba-tiba terdengar suara keras menegur.
"Raden Mas... mereka itu..."
Akan tetapi penjaga itu terpelanting roboh ketika orang yang muncul itu melihat Pujo dan Kartikosari lalu bergerak maju sambil mendorong penjaga itu dengan tangan kirinya ke samping.
"Adimas Pujo...!" Orang itu berseru sambil melangkah maju mendekat.
Pujo mengerutkan alisnya sedangkan Kartikosari dengan kaget memegang tangan kiri suaminya. Suami isteri ini menatap tajam wajah orang yang baru muncul, kemudian otomatis mereka memandang ke arah tangan kiri orang itu.
"Hemmm... Kakang Jokowanengpati. Semenjak dulu itu engkau masih di sini...?" Sambil berkata demikian Pujo menggunakan tangannya menowel lengan isterinya sebagai isyarat dan Kartikosari dapat menduga bahwa Pujo sedang menjalankan siasat halus.
Memang sebelum yakin benar, tidak baik bertindak sembrono. Tak boleh kali ini mereka salah lagi seperti ketika suaminya menangkap Wisangjiwo. Akan tetapi Jokowanengpati tidak menjawab pertanyaan ini karena dia sedang memandang kepada Kartikosari dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seakan-akan ia melihat munculnya setan di siang hari.
"Dia ini Kartikosari, isteriku, apakah kau lupa?" Pujo memancing.
"...dia... eh... bukankah kau dulu bilang bahwa Diajeng Kartikosari sudah... mati? dimas Pujo, apa yang terjadi? Dahulu kau bilang bahwa Diajeng Kartikosari sudah mati terbunuh oleh Wisangjiwo...!"
Pujo tersenyum kecil. "Tadinya memang kami sangka begitu akan tetapi ternyata tidak demikian. Kakang Jokowanengpati, apa yang telah terjadi dengan kelingking kirimu?"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Jokowanengpati mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini kemudian melihat betapa sinar mata sepasang suami isteri itu memandangnya bagaikan ujung dua buah pedang yang tajam runcing menodong ulu hatinya! Namun Jokowanengpati tetap cerdik sekali bahkan sekarang lebih berpengalaman dan lebih licin. Betapa pun kaget hatinya, wajahnya tidak membayangkan kekagetan ini, bahkan ia dapat memaksa wajahnya itu memperlihatkan keheranan dan kesungguhan. Padahal di hatinya ia mengerti bahwa agaknya suami isteri ini sudah mengerti atau setidaknya sudah menduga akan rahasianya, sepuluh tahun yang lalu di dalam Guha Siluman yang gelap.
Tidak mungkin dalam pertemuan dan dalam percakapan itu, secara tiba-tiba. saja Pujo menyimpangkan percakapan dengan pertanyaan tentang tanga kirinya yang kehilangan jari kelingking, kalau saja mereka berdua itu tidak sudah menduga bahwa kelingking yang dahulu digigit putus oleh Kartikosari dalam gelap itu adalah kelingkingnya! Agaknya suami isteri ini sadar bahwa bukan Wisarigjiwo yang memperkosa Kartikosari dalam guha itu, berdasarkan bukti kelingking itulah.
"Adimas Pujo dan Diajeng Kartikosari, silakan Adinda berdua masuk. Mari kita bercakap-cakap di dalam. Tentang ini..." Ia menggerakkan tangan kirinya ke depan,"... ada riwayatnya. Marilah masuk dan nanti kuceritakan semua kepada kalian."
Pujo dan Kartikosari saling lirik, kemudian mereka mengangguk dan ikut masuk. Sudah sepatutnya sikap Jokowanengpati itu. Andai kata bukan Jokowanengpati musuh besar mereka, tentu begini pula sikapnya. Tak mungkin, seseorang, apalagi seperti Jokowanengpati yang agaknya di kadipaten ini sekarang mempunyai kedudukan tinggi, suka menceritakan tentang buntungnya kelingking di depan para penjaga itu. Seorang di antara tiga penjaga yang tadi belum dirobohkan, dibentak oleh Jokowanengpati,
"Hayo perketat penjagaan dan jangan bertindak sembrono seperti tadi. Kalian bertujuh patut dihukum mampus. Tak tahukah bahwa yang datang ini adalah adik-adik seperguruanku?"
"Ampun... Raden Mas..." mereka berlutut dan menyembah penuh permohonan, wajah mereka ketakutan.
"Keparat, minggir!" Jokowanengpati membentak lagi, lalu mempersilakan dua orang tamunya memasuki pendopo, terus melalui pintu menuju ke ruang tamu di sebelah kiri pendopo. Pujo dan Kartikosari bersikap tenang, namun pandang mata mereka waspada mengerling ke kanan kiri, menjaga kalau-kalau ada serangan gelap.
"Silakan duduk. Di sini sunyi tak terganggu. Kita dapat berbicara leluasa dan tenang. Agaknya banyak hal yang harus mendapat penjelasan, Dimas Pujo. Terutama sekali tentang keterangan dahulu bahwa Diajeng Kartikosari suda meninggal. Aku tidak melihat sebab-sebab yang tepat mengapa dahulu itu engkau berbohong kepadaku. Akan tetapi biarlah engkau sendiri yang nanti memberi keterangan agar hatiku tidak merasa bingung dan penasaran. Sekarang lebih dahulu kau dengarlah tentang Kadipaten Selopenangkep."
Jokowanengpati menarik napas panjang dan memandang kedua orang suami isteri yang duduk di atas bangku berukir di depannya. Lampu lampu dipasang pada dinding di belakang dan atas kepala Jokowanengpati sehingga sinar lampu yang menyinari kepalanya membuat wajahnya tersembunyi dalam bayangan gelap. Sebaliknya, sinar lampu itu langsung menerangi wajah Pujo dan Kartikosari. Melihat betapa suami isteri itu kelihatannya gelisah, kadang-kadang saling lirik dan terutama sekali selalu memandang ke arah tangan kirinya Jokowanengpati tidak memberi kesempatan mereka membuka mulut, langsung menyambung kata-katanya.
"Seperti telah kuceritakan kepadamu sepuluh tahun yang lalu, Adimas Pujo, ketika itupun aku sudah menduga bahwa Adipati Joyowiseso merencanakan pemberontakan terhadap Medang. Maka aku sengaja datang ke sini dan melakukan penyelidikan, terpaksa ketika itu aku berpura-pura memusuhimu, bahkan setelah kau berhasil melarikan diri, aku membawa pasukan untuk mengejar dan mencari-carimu."
Melihat betapa pandang mata suami isteri itu tidak berubah, tetap tegang, penuh selidik dan penuh benci, Jokowanengpati diam-diam menduga-duga. Perbuatannya dalam beberapa hari ini, bersama Ni Durgogini dan Ni Nogogini, menyerbu ke Bayuwismo dalarn usaha mencari pusaka Mataram kalau-kaIau disernbunyikan di situ, kemudian membunuh enam orang cantrik agar tidak mengenalnya, dilakukan secara sembunyi dan tidak seorangpun tahu. Tak mungkin Pujo dan isterinya tahu akan hal itu. Akan tetapi kedatangannya ke Bayuwismo beberapa tahun yang lalu bersama Cekel Aksomolo dan pasukan kadipaten, tentu ada yang tahu. Berpikir sejauh ini ia lalu berkata pula,
"Karena harus dapat melakukan penyelidikan secara tepat, aku terpaksa membantu usaha pemberontakan Adipati Joyowiseso sehingga terpaksa pula aku ikut menyerbu ke Bayuwismo bersama Cekel Aksomolo dan pasukan kadipaten. Untung aku ikut ke sana, kalau tidak ada aku yang mencegah, tentu parnan-paman cantrik di sana sudah dibunuh Cekel Aksomolo ketika itu."
Dua pasang mata di depannya itu memancarkan sinar penuh kemarahan, akan tetapi mereka diam saja. Hal ini bahkan menimbulkan ketegangan dan kegelisahan di hati Jokowanengpati yang cepat-cepat menyambung,
"Akan tetapi, akhirnya tibalah saatnya menghancurkan para pemberontak. Dua pekan yang lalu, aku diberi tugas oleh Gusti Pangeran Anom, memimpin pasukan besar dan menyerbu kadipaten ini, menangkap adipati, membasmi kaki tangannya dan mengambil alih kadipaten atas nama Gusti Pangeran Anom, dan..."
"Cukup! Kami datang bukan untuk mendengarkan obrolan!" Tiba-tiba Kartikosari bangkit berdiri sambil membentak. Jokowanengpati terkejut sekali, dan Pujo segera memegang tangan isterinya, disuruhnya duduk dan bersikap tenang. Kemudian sambil memandang tajam kepada Jokowanengpati, Pujo berkata,
"Kakang Jokowanengpati, maafkan sikap kami. Akan tetapi sesungguhnya kedatangan kami ini mempunyai keperluan penting. Kami tidak mengira akan bertemu denganrnu di sini. Soal-soal lain kami tidak peduli, akan tetapi harap kau suka menjawab dua pertanyaan kami. Pertama, siapakah yang begitu keji membunuh semua cantrik Bayuwismo siang tadi dan ke dua, ke mana hilangnya kelingking tangan kirimu itu!"
Wajah Jokowanengpati menjadi pucat, akan tetapi karena terlindung oleh bayang-bayang gelap, tidak tampak oleh kedua orang tamunya. Di dalam hatinya Jokowanengpati agak menyesal mengapa ia membiarkan Ni Durgogini dan Ni Nogogini pergi dari kadipaten, menuju ke kota raja memberi laporan kepada Pangeran Anom. Kalau saja ia yang pergi ke kota raja, tentu tidak akan bertemu dengan Pujo dan Kartikosari. Akan tetapi, bagaimana ia bisa meninggalkan Kadipaten Selopenangkep kalau kadipaten ini sudah dikuasainya dan setiap hari ia dapat bersenang-senang dengan gadis-gadis rampasan yang cantik-cantik? Sebagai penguasa sementara yang baru, ia memerintahkan agar semua perawan denok di kadipaten itu dikumpulkan di kadipaten untuk melayaninya.
Tentu saja ia membiarkan kedua orang iblis betina yang makin tua makin menggila akan tetapi masih tetap cantik itu untuk mengumpulkan pemuda-pemuda tampan pula dalam kadipaten. Senyum simpul menghias mulut Jokowanengpati. Untung ia cerdik. Terlalu cerdik untuk orang-orang tak berpengalaman macam Pujo dan Kartikosari. Untung ia telah bersiap-siap menghadapi ancaman musuh dari mana pun datangnya. Dengan pelbagai siasat, ia m茅rencanakan penjagaan diri yang cukup kuat, dan di antaranya, ruangan tamu ini merupakan tempat ia menyelamatkan diri dari pada musuh-musuh yang terlampau berat.
Sama sekali ia tidak gentar menghadapi Pujo dan Kartikosari, yang keduanya adalah adik-adik seperguruannya. la sudah banyak menerima gemblengan Ni Durgogini yang sakti. Akan tetapi sebagai seorang cerdik, ia tidak rnau mengambil resiko berbahaya. Kalau ada cara lain mengalahkan lawan yang jauh lebih mudah, mengapa menggunakan cara yang sukar dan berbahaya? Jokowanengpati memasukkan kedua tangannya ke bawah meja yang berdiri di depannya, lalu berkata dengan suara mengejek,
"Mengapa tidak kau cari sendiri siapa yang membunuh para cantrik, dan tentang kelingkingku ini, hemm... digigit kuda betina liar!"
Pujo dan Kartikosari menjadi marah sekali. Sungguhpun Jokowanengpati tidak mengakui perbuatannya secara berterang, namun kata-katanya itu merupakan ejekan yang cukup jelas. Namun, tak sempat suami isteri itu mengeluarkan kata-kata, karena pada saat itu, lantai di bawah mereka amblas ke bawah sehingga dua buah bangku yang mereka duduki berikut tubuh mereka melayang ke dalam lubang dan tidak dapat dicegah lagi!
"Ha-ha-ha-ha!... Orang-orang tolol macam kalian mana mampu melawan aku?"
Jokowanengpati tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk meja di depannya. Otomatis lantai yang berlubang itu bergeser dan tertutup kembali. Tepukan tangannya disambut munculnya empat orang pengawal. Mereka duduk bersimpuh dan menyembah.
"Seorang dari kalian atur penjagaan yang lebih ketat, jangan biarkan siapa pun masuk kadipaten. Seorang lagi bawa pasukan menjaga tawanan di bawah tanah. Kamu dua orang mari ikut bersamaku, bawa regu penyemprot asap belerang!"
Jokowanengpati kelihatan gembira sekali. Dua orang musuhnya, yang selama ini mendatangkan mimpi buruk kepadanya, telah tertangkap dan sebentar lagi tentu dapat dilenyapkan dari permukaan bumi. Yang pasti Pujo, adapun Kartikosari... hemmm! Wanita itu makin montok dan ayu saja.
Kalau orang biasa yang terbanting jatuh dari tempat hamper sepuluh meter, tentu akan luka-luka, setidaknya patah tulang salah urat, kalau tidak pecah kepalanya dan mati. Namun Pujo dan Kartikosari adalah orang-orang yang selain kuat juga terlatih, memiliki susunan syaraf yang amat peka, tubuh yang trampil. Ketika melayang-layang jatuh, cepat mereka dapat mengatur keseimbangan tubuh sehingga ketika terbanting di atas tanah, mereka dapat menahan bantingan itu dengan kedua tumit kaki dan tekukan lutut. Bangku yang turut melayang jatuh, telah mereka dorong ke pinggir sebelum sampai di dasar sumur itu.
"Kau tidak apa-apa, Nimas...?” Pujo merangkul isterinya di dalam ruangan yang gelap pekat itu.
"Tidak, Kakangmas," bisik Kartikosari.
"Aku , sungguh bodoh kita sampai kena di akali jahanam itu!" Pujo mengepal tinjunya dalam gelap.
"Keparat itu dengan perbuatannya ini jelas membuktikan dosanya. Mari kita periksa tempat ini dan berusaha keluar."
Mulailah mereka meraba-raba. Alangkah kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa mereka terkurung di dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat dan sangat kuat, terbuat dari ternbok yang amat tebal. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah tiang kayu jati. Pujo memanjat tiang ini ke atas, ternyata di atas juga tertutup bahkan tertutup oleh jeruji besi yang kuat di bawah atap! Sebuah pintu di kiri terbuat dari besi pula.....