"Uuh-huh-huh, kau orang tidak setia kawan! Kau percuma saja menjadi sekutu! Pura-pura suci dan gagah, tidak mau menyerang Narotama. Orang macam kau ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan mencelakakan belaka, huh-huhhuh!"
Cekel Aksomolo mengobat-abitkan tasbihnya yang mengeluarkan bunyi berkeritik aneh. Ki Tejoranu tidak menjawab karena orang ini benar-benar terdesak oleh tasbih yang mengeluarkan hawa mujijat itu. Biarpun sepasang goloknya bergerak cepat, namun semangatnya seakan-akan terbetot dan dipengaruhi suara tasbih dan suara Cekel Aksomolo. Makin kacaulah permainan goloknya dan tiba-tiba terdengar suara
"rrrrrkkkkk!" nyaring sekali dan tubuh Ki Tejoranu terguling, seluruh tubuhnya lemah seakan-akan semua ototnya dilolosi dari tubuh.
Inilah pengaruh tasbih sakti yang ampuhnya mengerikan itu! Cekel Aksomolo terkekeh dan menghampiri dengan sikap mengancam,
"Hua-hah-hah, mampus kau sekarang!" Tasbihnya menghantam ke arah kepala. Biarpun Ki Tejoranu sudah lemas tubuhnya, namun ia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di saat sinar tasbih menyambar, ia masih mampu menggulingkan tubuhnya mengelak.
"Bresss!"
Batu dan tanah muncrat berhamburan karena hantaman tasbih menggantikan kepala Ki Tejoranu yang sudah berhasil bergulingan menjauhkan diri.
"Uuh-huh-huh, punya aji trenggiling agaknya! Hayo, ajar dia! Bacok dia, cacah-cacah jadikan abon (daging halus)!" Cekel Aksomolo memerintah lima orang perampok yang berada di situ. Dia sendiri ogah kalau harus mengejar-ngejar lawan yang biarpun sudah tak dapat melawan namun masih mampu bergulingan cepat itu. Dia malas untuk bermain kucing-kucingan.
Lima orang perampok tinggi besar itu mencabut golok dan ramailah mereka mengejar dan membacok. Namun Ki Tejoranu memang hebat. Tubuhnya bergulingan dan mencelat-celat seperti seekor kucing kepanasan. Namun, karena tenaganya sudah hampir habis akibat pengaruh tasbih mujijat, beberapa bacokan mengenai paha dan pangkal lengannya. Ia tidak mengeluh, hanya tertawa mengejek dan tidak menyerah, bahkan kini pengaruh tasbih makin menipis dan ia dapat berusaha membalas dengan tendangan-tendangan dari bawah.
Wandiro adalah seorang anak yang memiliki dasar pemberani dan juga gagah. Menyaksikan betapa seorang yang sudah kalah kini dikeroyok dan disiksa, membayangkan betapa ia akan menyaksikan penyembelihan yang kejam sekali, ia tidak dapat menahan gejolak hatinya dan ia melompat keluar sambil memaki-maki, "Orang-orang tidak tahu malu! Mengeroyok seorang yang sudah terluka dan tidak pandai melawan, sungguh tak tahu malu!" Ia berdiri dengan tubuh tegak, kedua tangannya bertolak pinggang, matanya berkilat-kilat marah.
Lima orang perampok itu terkejut dan marah, apalagi ketika menengok dan melihat bahwa yang memaki mereka hanyalah seorang laki-laki berusia satu dua belas tahun, kemarahan mereka memuncak. Serentak mereka menerjang untuk membunuh Joko Wandiro. Namun anak itu bukanlah sembarang anak yang mudah dibunuh begitu saja. Melihat datangnya golok yang bersinar-sinar membacok ke arahnya, sigap ia meloncat ke belakang, lalu memasang kuda-kuda dan matanya tajam memandang ke depan, siap untuk melawan mati-matian seperti yang diajarkan ayahnya.
"Uuuh-huh-huh... jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup anak kadal ini!" Cekel Aksomolo berkata ketika mengenal anak yang telah mengencinginya dalam pertandingan mengeroyok Rakyana Patih Kanuruhan.
"Tangkap hidup-hidup, serahkan padaku, akan kuminum darahnya setetes demi setetes! Uh-huh-huh!"
Para perampok merasa heran mengapa kakek itu demikian membenci anak ini, akan tetapi mereka tidak berani membantah.
"Wah, celaka, si keparat menghilang!" Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak ketika teringat kepada Ki Tejoranu dan menengok, ternyata orang itu telah lenyap.
"Uuuuuh, biarkan saja, dia tidak ada artinya. Anak ini lebih penting, tangkap dia, jangan sampai hamburkan darahnya, akan kuhisap semua sampai habis!"
Cekel Aksomolo berseru lagi. Dia amat benci kepada anak ini, yang telah melakukan sirikan atau pantangannya, dan dia baru akan puas kalau dapat menghisap habis darah anak ini, selain untuk membalas dendam kemarahannya, juga ia tahu bahwa anak ini bukan anak biasa dan darahnya tentu akan menguatkan tubuhnya. Lima orang perampok segera menyimpan goloknya dan seorang di antara mereka yang memandang rendah seorang anak kecil, segera maju menubruk. Kedua tangannya dikembangkan, jari-jari tangannya terbuka seperti seekor harimau menubruk kelinci.
"Bruuuukkk! Uuhghh...!" perampok ini merangkak bangun kembali dengan napas terengah-engah sesak karena tadi ia menubruk angin, bahkan menubruk tanah yang keras sehingga dadanya terasa ampeg. Kiranya ketika ia menubruk, Joko Wandiro sudah bergerak cepat sekali menyelinap ke bawah ketiak kanan, tidak lupa ia mengaitkan kakinya ke kaki lawan yang sedang condong menubruk ke depan sehingga tanpa dapat dicegah lagi perampok itu jatuh tertelungkup menubruk tanah!
Perampok itu marah dan bangkit lagi, kini bersama empat orang kawannya mereka mengurung Joko Wandiro. Anak ini maklum bahwa ia dalam bahaya, namun sedikitpun ia tidak gentar. Ia menggerakkan kedua kakinya perlahan, mengatur sikap dan kuda-kuda, matanya mengerling-ngerling tajam ke arah lima orang pengurungnya, menanti gerakan mereka. Ia sudah sering berlatih dengan ayahnya menghindarkan serangan ombak yang memercik pecah, maka ia dapat bergerak gesit.
Hanya diam-diam ia mengharapkan lima orang ini tidak akan menerjang dalam detik yang bersamaan, maka untuk itu ia sengaja memancing dan mendekatkan diri dengan orang yang tadi mencium tanah. Anak ini memang cerdik sekali. Ia tahu bahwa perampok yang telah terbanting tadi tentu lebih bernafsu untuk menerkamnya dari pada empat yang lain. Oleh karena inilah ia sengaja mendekat kepada perampok yang matanya agak juling ini, bahkan ia berkata mengejek.
"Bagaimana? Ampeg (sesak) tidak pulung hatimu, pak de?"
Tentu saja perampok juling ini menjadi luar biasa marahnya, darahnya bergolak naik ke muka sehingga sukar baginya untuk mengeluarkan kata-kata makian yang terlontar dari dalam hati yang panas. Hanya ludah-ludah yang menyemprot dan mulutnya membuih, hidungnya yang pesek itu bergerak-gerak, cuping hidungnya kembang kempis seperti hidung kuda ketakutan. Akhirnya keluar juga suaranya bersama air ludah.
"Bocah kumentus (sombong), bocah nyelelek, gembedig urakan! Ooohhh, kalau tidak dilarang Ki Cekel, ingin kujuwing-juwing (robek) mulutmu!"
Sambil berkata demikian ia menubruk dan tangan kirinya menempiling (menampar) kepala, tangan kanannya mencengkeram ke arah pundak untuk menangkap anak ini seperti yang diperintahkan Cekel Aksomolo. Girang hati Joko Wandiro. Pancingannya berhasil dan dengan pendahuluan oleh si juling ini berarti ia tidak akan menghadapi serangan serentak dari lima orang itu. Kalau mereka menyerang bertubi-tubi saja ia sama sekali tidak khawatir. Cepat ia mengerahkan Aji Bayu Tantra yang biarpun belum ia kuasai sepenuhnya, namun cukup membuat tubuhnya dapat bergerak jauh lebih cepat dari pada gerakan lawan. Dengan gerakan yang amat cepat ini mudah saja baginya untuk menggeser kaki mengatur langkah mengelak dari pada terjangan si juling.
Aji Pethit Nogo adalah aji pukulan yang luar biasa ampuhnya, pukulan yang mempergunakan jari-jari tangan, sepuluh buah banyaknya dan semuanya dipergunakan. Tidaklah mudah untuk menguasai aji yang mujijat ini, maka Joko Wandiro yang baru berusia dua belas tahun belum pula mewarisi aji ini. Namun ayahnya yang menggemblengnya sejak kecil telah melatih jari-jari tangan anak ini sehingga jari-jari tangannya sudah dapat ia pergunakan dan ia isi dengan pengerahan tenaga.
Biarpun belum mempelajari Aji Pethit Nogo, Joko Wandiro sejak beberapa tahun telah diberi pelajaran tentang letak-letak jalan darah dan otot dalam tubuh sehingga ia tahu bagian mana yang lemah. Begitu tubuhnya miring dan kedua lengan tangan si juling hanya beberapa senti meter menyambar di samping kepala dan pundak, cepat tangan anak ini bergerak pula. Mula-mula jari telunjuk tangan kanannya meluncur dan menusuk jalan darah di pergelangan tangan kiri si juling yang menyambar lewat di atas kepalanya.
"Athooooww!"
Si juling berteriak kesakitan karena merasa betapa lengan kirinya itu seakan-akan lumpuh dan sakit sekali. Akan tetapi ia tetap saja melanjutkan cengkeraman tangan kanannya ke arah pundak Joko Wandiro. Akan tetapi kembali tangan kiri Joko Wandiro berkelebat, telunjuk dan jari tengah tangan kirinya sudah menusuk ke arah belakang siku lawan.
"Assshhhh...!"
Si juling mendesis karena merasa seakan-akan otot lengan kanannya putus! Ia melangkah mundur, menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir pegal linu seperti tingkah Dursosono dalam panggung wayang orang! Empat orang perampok lain segera maju dan menyerang bertubi-tubi. Namun hal ini sudah diperhitungkan Joko Wandiro sehingga ia cepat menyelinap di antara hujan kepalan dan tamparan itu, menyelinap di antara tangan-tangan yang kotor dan besar, sebesar kepalanya.
Begitu cepat gerakan anak ini sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak pernah dapat mengenainya, paling hebat hanya menyerempet saja. Ia pun berusaha membalas dan beberapa kali kepalan tangannya yang kecil bertemu lambung dan perut yang gendut lunak. Namun para perampok itu adalah orang-orang yang tebal kulitnya. Apakah artinya pukulan dan tendangan kaki Joko Wandiro yang kecil? Mereka mendesak lagi sambil memaki-maki seperti tingkah laku lima ekor kucing kaku mengejar-ngejar seekor tikus yang gesit.
Akhirnya Joko Wandiro tertangkap juga ketika dari belakangnya sebuah lengan yang kurus kering menyambar. Tahu-tahu tengkuknya telah ditampar jari-jari kecil kering, akan tetapi mengandung tenaga mujijat sehingga anak ini merasa nanar dan roboh terguling. Si juling segera menubruk dan memeluknya kuat-kuat. Demikian kuatnya si juling ini menyikap sehingga Joko Wandiro merasa napasnya sesak.
"Eh... eh... mengapa tidak kau bunuh saja aku? Aha, kau takut kepada kakek tua renta itu, bukan? Ha-ha-ha, lucunya. Orang-orang tinggi besar dan kuat seperti kalian berlima ini masa takut kepada seorang kakek yang sudah mau mampus?"
Si juling marah sekali dan ingin ia sekali gencet membunuh anak ini, juga empat orang perampok lain mendongkol sekali. Hanya karena ada Cekel Aksomolo maka mereka tidak berani membunuh anak ini, sekarang diejek oleh Joko Wandiro tentu saja mereka diam-diam mendongkol pula kepada kakek itu, akan tetapi mereka hanya berani memandang dengan mata mereka yang besar-besar dan melotot.
"Huhh-huh-huh, bocah setan, bocah kurang ajar, kau tidak tahu siapa eyangmu ini. Siapakah yang berani main-main dengan aku? Huuh-huh-huh! Hayo mundur kalian! Dan cari tua bangkai pelo yang melarikan diri tadi, tangkap dia dan seret ke sini!"
Lima orang tinggi besar itu mengundurkan diri dan lenyap di antara pohon dan gerumbul dalam usaha mereka mencari jejak Ki Tejoranu. Sementara itu, melihat lima orang tinggi besar pergi dan ia hanya berhadapan dengan kakek tua renta, Joko Wandiro lalu berkata, "Aku pun mau pergi!" Maka larilah ia
"Eeittt... eittt... nanti dulu, cah bagus. Kau menggelinding ke sinilah!" Tangan Cekel Aksomolo digerakkan dan... tubuh Joko Wandiro terguling roboh lalu bergulingan mendekatnya kembali!
Anak itu hanya merasa seakan-akan tubuhnya dirobohkan dan ditiup angin yang kuat sekali. Ketika ia meloncat berdiri, ia telah berada di depan kakek itu kembali yang telah memegang lengannya dengan jari-jari tangan kurus bengkok-bengkok tinggal kulit membungkus tulang. Diam-diam anak ini bergidik ngeri dan maklumlah ia bahwa kakek ini amat sakti, bahkan yang menjatuhkannya dalam pengeroyokan tadipun kakek inilah. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan muka takut, berdiri tegak dan memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang hitam tajam bersinar-sinar.
Biarpun hatinya benci sekali kepada anak ini yang pernah membikin malu kepadanya, namun diam-diam Cekel Aksomolo menjadi kagum, bocah pilihan, pikirnya dan hatinya girang sekali. Darah anak ini tentu hebat, dan merupakan obat yang amat kuat bagi seorang kakek seperti dia. Ia tahu bahwa sekutunya, Ki Krendoyakso, meyakinkan ilmu yang amat hebat dan untuk itu Ki Krendoyakso memilih bayi-bayi yang baik dan memakan daging minum darahnya!
Anak laki-laki yang ditawannya ini amat baik dan sebagai seorang ahli Cekel Aksomolo dapat melihat bahwa kalau anak ini mendapat didikan ilmu, kelak tentu akan menjadi seorang gemblengan yang luar biasa dan sakti. Oleh karena itu, tulang sumsum dan darah anak ini tentu merupakan penguat yang amat berguna bagi tubuhnya yang sudah mulai lapuk karena usia tua.
"Bocah bagus, siapa namamu?" Cekel Aksomolo mengelus-elus dagu dan pipi Joko Wandiro, kelihatannya menyayang padahal ia menahan air liurnya.
"Namaku Joko Wandiro!" jawab anak itu dengan suara tenang dan berani.
Seketika Cekel Aksomolo melongo, matanya terbelalak dan biji matanya bergerak-gerak ke kanan kiri membayangkan ketololan, mulutnya ternganga memperlihatkan gusi kebiruan yang ompong. Sampai lama ia ketap-ketip (terkesima berkedip-kedip), baru ia dapat berseru, "Aduh-duh-duh-duhhhh... siapa sangka...? Kau kiranya Joko Wandiro? Uhuh huh huh, bertahun-tahun dicari, datang-datang mengencingi orang yang ikut mencari-cari mu. Aduh, raden, kau adalah putera Kadipeten Selopenangkep. Kau cucu Adipati Joyowiseso... huh-huh-huh!"
"Tidak...! Kau melantur! Aku bukan anak adipati! Lepaskan aku..."
"Uuuh-huh-huh, kau memang diculik orang sejak kecil, raden. Kau putera Raden Wisangjiwo... kau..."
"Bohong! Kakek tua bangka suka bohong!" Tiba-tiba Joko Wandiro merengngutkan lengannya terlepas dari pegangan kakek itu dan tangan itu bergerak cepat.
"Plakkk!"
Tepat sekali pipi kiri Cekel Aksomolo kena ditampar oleh Joko Wandiro, kemudian anak itu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Namun sekali lagi ia terguling roboh oleh gerak tangan Cekel Aksomolo yang meniupkan angin pukulan hebat.
"Wuh-huh-huh, sial dangkalan aku! Tak jadi minum darah bersih dan menghisap sumsum murni, malah mendapat tamparan. Uuuh, anak baik, mau tidak-mau kau harus ikut dengan eyangmu, menghadap kakekmu sang adipati! Huuhhuh, setidaknya aku berjasa besar mendapatkan kembali Joko Wandiro...!"
Kakek itu menyambar tubuh Joko Wandiro yang masih rebah, lalu berjalan amat cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu sambil mengempit tubuh Joko Wandiro yang tak dapat meronta sama sekali. Berhari-hari Cekel Aksomolo melakukan perjalanan menuju ke Kadipaten Selopenangkep, hanya berhenti untuk mengaso di waktu malam dan makan. Joko Wandiro mulai merasa gelisah, sungguhpun ia tidak mau memperlihatkannya sama sekali di depan kakek yang bernama Cekel Aksomolo itu. Beberapa kali di waktu kakek itu tidur mendengkur, ia berusaha melarikan diri. Namun, belum jauh ia lari, ia terjungkal dan bergulingan kembali ke dekat kakek itu yang tertawa-tawa dan selalu bersombong,
"Tak mungkin kau dapat melarikan diri kalau Cekel Aksomolo yang sakti mandraguna tidak menghendakinya, raden. Kau menurut sajalah kuhaturkan ke hadapan eyangmu adipati dan kelak aku akan suka sekali menjadi gurumu, hehheh-heh!"
Semenjak kecil Joko Wandiro belajar ilmu dari ayahnya, oleh karena itu ia amat suka akan ilmu kesaktian. Ia tahu bahwa kakek tua yang buruk rupa ini amat sakti dan ia tentu akan senang sekali menjadi muridnya kalau saja si kakek tidak begini jahat. Kakek ini jahat, dan tukang pembohong, atau mungkin juga gila mengatakan bahwa dia putera Wisangjiwo!
Mana ada yang lebih gila dari ini? Justru Wisangjiwo musuh besarnya, telah menghina ibunya, Wisangjiwo yang membuat dia tidak beribu dan tidak pernah melihat bagaimana wajah ibunya. Wisangjiwo musuh yang sekali waktu harus ia bunuh. Akan tetapi kakek ini mengatakan dia putera Wisangjiwo dan cucu adipati Selopenangkep? Gila! Betapa pun saktinya, ia tidak sudi menjadi murid Cekel Aksomolo dan selalu berusaha untuk melarikan diri.
Tiga hari kemudian Cekel Aksomolo mengajaknya beristirahat di dalam sebuah hutan jati. Kadipaten Selopenangkep tidak jauh lagi. Dengan ilmu lari cepatnya yang hebat, besok pagi akan sampai. Saking lelahnya Cekel Aksomolo melepaskan Joko Wandiro, lalu bersandar pohon dan sebentar kemudian bunyi dengkurnya keluar masuk bibirnya yang kering. Joko Wandiro juga merasa amat lelah, dan lapar.
Sejak kemarin ia tidak mau makan karena makanan kakek itu jorok (kotor) sekali, kadang-kadang kalau membunuh binatang lalu dimakan mentah-mentah begitu saja! Kini melihat kakek itu tidur mendengkur, ia mencari akal untuk dapat melepaskan diri. Tak pernah ia menyia-nyiakan kesempatan untuk lari. Akan tetapi sudah beberapa kali, biarpun kakek itu kelihatannya tidur nyenyak, apabila ia lari, selalu ia tertangkap kembali oleh kakek yang kelihatan pulas itu. Maka kali ini ia tidak mau lari lagi, dan memutar otak mencari akal.
"Kalau aku lari, dia tentu tahu seperti biasa," pikirnya. "Kalau bisa kubunuh dia... tapi dia sakti, mana mungkin kubunuh dia...?" Joko Wandiro duduk bertopang dagu, matanya kadang-kadang melirik kakek yang tidur itu penuh perhatian mencari akal.
Kemudian ia mengenangkan betapa kakek sakti ini dalam pertandingan melawan kakek sakti yang disembah ayahnya dan disebut Rakyana Patih oleh ayahnya. Hebat pula senjata tasbih yang mengeluarkan bunyi mujijat. Joko Wandiro melirik tasbih itu yang selalu tergantung pada lengan kiri Cekel Aksomolo. Apakah di tasbih itu terletak kesaktiannya?
Teringat ia betapa bunyi tasbih itu membuatnya pening, menggigil kedinginan sehingga ia terkencing-kencing. Teringat pula ia betapa karena tak tertahankan lagi, ia kencing dari atas pohon dan sengaja ia mengencingi kakek ini. Joko Wandiro tersenyum geli, akan tetapi segera ia teringat betapa setelah tersiram kencingnya, kakek ini terhuyung-huyung, terbatuk-batuk, kemudian merangkak keluar dari medan pertandingan seperti orang yang kehabisan tenaga.
Joko Wandiro kini berdiri, matanya menatap tajam kepada kakek yang masih mengorok itu. Itukah agaknya pengapesannya? Air kencing?. Joko Wandiro seorang anak yang cerdik dan berani. Ia toh sudah berada dalam tawanan kakek ini. Apa pun akan jadinya terserah di tangan kakek ini. Mengapa tidak berusaha untuk keselamatannya sendiri? Menggantungkan nasib, menyerah kepada kakek atau kepada lawan, bukanlah laku seorang gagah.
Dengan hati-hati Joko Wandiro mengingsut-ingsut perlahan, menggerakkan pantatnya memutari kakek itu sampai akhirnya ia tiba di belakang batang pohon yang disandari Cekel Aksomolo. Kemudian ia bangkit berdiri dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara, memaksa diri mendorong keinginan kencing, lalu membuka celananya membuang air kecil, mengarahkan air kencingnya menyiram kepala Cekel Aksomolo yang masih mendengkur!
"Wajoowwww! Bocah setan! Cindil anak tikus!"
Cekel Aksomolo melompat cepat sehingga tidak terkena air kencing. Saking kagetnya Joko Wandiro seketika berhenti kencingnya dan menutup kembali celananya, berdiri memandang kakek. itu dengan mata terbelalak kaget. Cekel Aksomolo menangkap pergelangan tangannya, menguncang-guncang tubuh anak itu dan bertanya, "Siapa memberitahumu akan rahasiaku? Siapa? Hayo bilang, siapa yang membocorkan rahasiaku!"
"Rahasia pengapesanmu? Semua orangpun tahu! Yang membocorkan adalah ayahku, kau mau apa?" Joko Wandiro yang sudah nekat karena tidak melihat jalan lain untuk membebaskan diri, kini sengaja menggunakan nama ayahnya untuk menakut-nakuti kakek menyebabalkan ini.
Cekel Aksomolo berjingkrak-jingkrak marah.
"Apa? Ayahmu? Raden Wisangjiwo mana tahu akan rahasiaku?"
"Raden Wisangjiwo boleh mampus di neraka jahanam!" Joko Wandiro menyumpah marah. "Ayahku bernama Pujo, seorang gagah perkasa, jagoan, sakti mandraguna yang bertapa di muara Sungai Lorog!"
Kini Cekel Aksomolo yang melengak heran sampai mulutnya terbuka lebar-lebar. Saking kaget dan herannya mendengar ini, ia sampai lupa akan kemarahannya. Baru sesaat ia berkata, "Uuuhh-huh, demi setan wewe tetekan! Kau anak Pujo? Laeeee , laeee, bagaimana ini? Kau putera Wisangjiwo dan Pujo si keparat itu, dialah orangnya yang menculikmu dari Kadipaten Selopenangkep!"
"Bohong! Bohong...! Kau kakek busuk, kakek jahat! Pujo adalah ayahku! Wisangjiwo boleh mampus, Kadipaten Selopenangkep boleh hancur-lebur, siapa peduli? Ayahku bernama Pujo, seorang ksatria sejati!"
Pada saat itu terdengar lengking tinggi mengerikan, seakan-akan menyambut atau menjawab ucapan Joko Wandiro yang diucapkan keras-keras itu. Cekel Aksomolo sendiri sampai tersentak kaget mendengar suara ini. Tidak ada binatang hutan seperti itu suaranya, juga tak mungkin manusia. Hanya peri dan iblis saja agaknya yang dapat mengeluarkan suara seperti itu, lengking tinggi menusuk jantung. Hati kakek itu tidak enak, segera ia menangkap pergelangan tangan Joko Wandiro.
"Hayo kita pergi dari sini! Biar di Selopenangkep nanti kau membantah kakekmu sendiri..."
"Tidak mau! Tidak sudi! Kakek jahat, lepaskan aku!"
Joko Wandiro meronta-ronta. Namun Cekel Aksomolo tidak mempedulikannya dan menyeretnya untuk cepat-cepat pergi dari hutan itu. Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek sudah berdiri menghadangnya dengan sepasang golok di kedua tangan. Dia ini bukan lain adalah Ki Tejoranu yang segera berkata mengejek, "Cekel Aksomolo! Seolang tua bangka macam kau memaksa dan menghina anak kecil, akulah lawanmu, tua sama tua!"
Cekel Aksomolo marah bukan main. Tentu saja ia sama sekali tidak takut kalau hanya pertapa Sarangan ini yang muncul. "Uuhhh-huh, kau pecundang, kau sudah keok (kalah) sekarang berani muncul lagi? Minta mampus? Uuhh, dasar bosan hidup!"
Tiba-tiba kakek ini menggerakkan jari tangannya memencet kedua pundak Joko Wandiro. Anak ini mengeluh perlahan dan roboh terguling, tak dapat bangun lagi karena ia merasa seluruh tubuhnya lumpuh. Ia hanya dapat memandang kearah dua orang kakek itu yang sudah bertanding. Betapa pun hebat permainan sepasang golok di tangan Ki Tejoranu dan betapa mahirnya akan ilmu meringankan tubuh, namun menghadapi Cekel Aksomolo, ia masih kalah tinggi ilmunya.
Cekel Aksomolo mengandalkan kesaktiannya kepada ilmu hitam yang mujijat, tidak seperti Ki Tejoranu yang semata-mata mengandalkan Ilmu silatnya. Biarpun tasbih yang digerakkan itu tidak amat cepat, namun dari tasbih itu keluar segulung sinar hitam yang luar biasa ampuhnya, yang seakan-akan merupakan tangan-tangan iblis menghalau gulungan sinar golok. Sambil memutar tasbih ini Cekel Aksomolo bersumbar,
"Heh Ki Tejoranu manusia berlidah pendek! Kau bertapa dan belajarlah dua windu lagi, baru boleh mencoba kesaktian Cekel Aksomolo, huh-huh-huh! Akan tetapi sekarang sudah terlambat, karena aku tidak akan memberi kesempatan kepadamu untuk belajar lagi.. Terimalah kematianmu!"
Tiba-tiba tangan kiri pertapa di lereng Wilis ini bergerak dan sesosok sinar hitam menyambar ke depan, menyambar sambil mengeluarkan suara mendesing. Inilah senjata rahasia yang amat ampuh dari Cekel Aksomolo, yaitu senjata rahasia ganitri yang sebenarnya biji-biji tasbih. Bukan main ampuhnya senjata rahasia ini, karena biarpun hanya sebutir benda kecil terbuat dari pada kayu hitam, namun jika sekali melesat dari tangan sakti dapat mengejar lawan seperti seekor lebah yang berbisa.
Ki Tejoranu terkejut sekali, cepat golok kanannya menyampok benda kecil itu sedangkan golok kirinya masih sibuk melayani untaian tasbih yang menyambar-nyambar dikepalanya.
"Tringgg...!"
Ganitri yang kecil itu tersampok, akan tetapi tidak runtuh atau terlempar jauh, bahkan berputaran dan menghantam kearah mukanya! Ki Tejoranu makin kaget, cepat ia meloncat ke belakang, akan tetapi terlambat! Ganitri telah menyambar dan mengenai pundaknya! Begitu mencium darah, senjata rahasia ganitri yang luar biasa ini terbang kembali ke tangan kiri Cekel Aksomolo yang tertawa terkekeh-kekeh melihat Ki Tejoranu roboh terjengkang lalu bergulingan dengan sepasang goloknya masih menyambar-nyambar melindungi tubuh. Diam-diam kakek bongkok ini kagum bukan main. Betapa orang yang sudah terluka dan roboh masih dapat menggunakan sepasang golok melindungi tubuh seperti itu benar-benar membuktikan kemahiran permainan golok yang hebat.
Maklum bahwa luka akibat ganitri yang berbisa akan mendatangkan maut kepada lawannya, Cekel Aksomolo tidak mempedulikan Ki Tejoranu lagi, melainkan membalikkan tubuh hendak membawa pergi Joko Wandiro. Akan tetapi alangkah kaget hatinya, sampai dia berdiri terlongong. Joko Wandiro telah bangun dan berdiri di tempat itu, dan di sebelahnya berdiri seorang wanita muda yang cantiknya bukan kepalang! Seorang wanita muda yang memiliki wajah, kulit, dan bentuk tubuh yang hanya pantas dimiliki seorang bidadari kahyangan!
Mata Cekel Aksomolo yang berminyak kalau melihat wanita ayu ini seperti hendak terloncat keluar dari tempatnya. Jantungnya mencak-mencak dalam dada, pandang matanya seperti hendak menelan bulat-bulat dan hatinya berbisik, "wadouhhh, denok montok kinyis-kinyis..." Dan seperti seorang mengidam yang melihat mangga, air liurnya menitik turun dari kedua ujung bibirnya!
Wanita itu masih muda dan memang hebat. Wajahnya cantik jelita, dihias rambutnya yang panjang terurai ke belakang hitam berombak. Pakaiannya bagian atas hamper tidak dapat menahan lekuk lengkung tubuh yang seperti hendak memberontak dan memecahkan kain penutup karena kepadatannya.
Namun, kecantikan dan keindahan bentuk tubuh ini dilindungi sikap yang agung, pandang mata yang tajam angker, tarikan mulut yang membayangkan kekerasan hati, kerut di kening yang menggoreskan derita hidup yang kesemuanya itu membuat ia tampak bercuriga kepada setiap orang yang dihadapinya.
"Pergilah engkau, paman tua dan jangan ganggu anak ini!"
Demikian ucapannya yang ditujukan kepada Cekel Aksomolo. Suaranya merdu akan tetapi nadanya dingin menyeramkan, seakan-akan di balik ucapan itu bersembunyi ancaman maut yang mengerikan. Cekel Aksomolo dapat merasakan ini, akan tetapi tentu saja ia tidak takut. Masa seorang sakti mandraguna seperti dia takut terhadap seorang wanita yang begitu denok ayu?
"Aduuhh, ayu kinyis-kinyis, denok montrok-montrok, di dunia tiada keduanya! Engkau siapa, genduk bocah ayu manis? Waduhhh, mati aku ada wanita kok begini cantik!"
Wanita itu mengerutkan kening, pandang matanya mengeluarkan sinar berapi, lalu terdengar lagi ia bertanya, suaranya masih merdu namun lebih dingin dari pada tadi, "Kakek tua, sekali lagi pergilah! Aku tak akan menangani (menghajar) seorang kakek yang sudah tua renta seperti kau, kecuali kalau terpaksa."
"Heh-heh-huh-huh-huh! Biar tua tuanya kelapa, tuanya kemiri, biar tua lebih berguna dari pada yang muda! Bocah denok montrok, aku mau pergi dari sini kalau menggendongmu!"
Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan hampir saja Cekel Aksomolo terjengkang saking kagetnya. Kiranya yang mengeluarkan suara lengking mengerikan tadi adalah wanita ayu ini! Akan tetapi kakek ini tidak diberi kesempatan untuk terheran lebih lama karena pada detik itu wanita tadi telah menerjangnya dengan gerakan kilat dan sebuah tamparan keras menyambar mukanya! Tamparan yang menggunakan telapak tangan, dan hawa pukulannya saja sudah seperti api membara! Kagetlah kakek ini, sama sekali tidak disangkanya wanita seelok ini dapat melakukan pukulan sedahsyat itu. Cepat ia mengelak, kini tangan dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah lambung, hebatnya bukan main.
"Aduhhh, celaka...!"
Cekel Aksomolo adalah seorang sakti tentu saja dalam keadaan bahaya ini ia tidak kehilangan akal. Tahu bahwa tusukan itu biarpun hanya dilakukan dengan jari-jari tangan yang halus meruncing lunak, namun dapat menembus kulit lambungnya, dan bahwa tusukan itu tak dapat lagi ia elakkan, si kakek cepat menggerakkan tasbihnya, menghantam ke arah kepala wanita itu untuk mengajak sampyuh (mati bersama)!
"Kakek jahat!" Wanita itu berseru, tangan kirinya menangkis lengan kanan lawan yang membawa tasbih dan karena itu maka tusukannya tadi melambat sehingga Cekel Aksomolo mendapat kesempatan untuk menangkis pula dengan tangan kiri sambil miringkan tubuh. Dua pasang tangan saling bertemu dan akibatnya, wanita itu terhuyung ke belakang, akan tetapi juga Cekel Aksomolo hampir terguling.....