"Anak baik, kau bangkitlah. Tentu aku suka menolongmu." Suara itu parau akan tetapi diucapkan dengan halus sehingga Roro Luhito hilang takutnya, lalu bangkit dengan hormat.
"Eyang wiku, nasibku amat buruk, hampir aku mati. Agaknya Dewata menolongku dengan kehadiran, eyang..."
"Sudah, jangan menangis. Maafkan aku yang sudah terlalu lama tidak bertemu manusia, apalagi seorang puteri cantik jelita seperti engkau, maka aku menjadi bingung, gugup dan curiga. Bocah manis, siapakah yang mengganggumu? Ceritakan kepada Resi Telomoyo! Ahhh, si jahat itu tentu akan kucekik lehernya!"
Diam-diam Roro Luhito terkejut dan terheran. Sikap dan gerak-gerik kakek ini seperti seorang pertapa, akan tetapi ucapannya mengapa begini ganas? Namun ia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang sakti, maka ia segera bercerita, "Eyang resi, ketika saya sedang berjalan di hutan, saya diserang lima ekor lutung hitam. Kemudian muncul kera putih itu..." Ia menuding ke arah kera putih yang masih duduk di atas cabang pohon, "dia... dia itu memanggulku dan membawaku lari! Harap eyang suka menghukum dia!"
"Si Wanoroseto? Ha-ha-ha-ha, lucunya! Kau dengar ini, Wanoroseto? Kau dituduh jahat, disangka menculiknya. Haha-ha!"
Kakek itu tiba-tiba meloncat ke atas, berjungkir balik kembali dan tahu-tahu sudah berdiri lagi di depan Roro Luhito, masih tertawa terpingkal-pingkal. Celaka dua belas! Roro Luhito menjadi pucat wajahnya. Dasar nasibnya sialan! Bebas dari lutung-lutung hitam terjatuh ke tangan kera putih, kini bebas dari kera putih terjatuh ke tangan seorang kakek yang miring otaknya! Akan tetapi dasar Roro Luhito seorang gadis yang lincah dan pemberani. Memang ia jijik dan geli menghadapi kera-kera liar, akan tetapi menghadapi seorang manusia, ia tidak takut. Tegurnya marah, "Eyang resi, mengapa eyang malah mentertawakan aku?"
"Ha-ha-ha, ini namanya air susu dibalas air tuba, yang menolong dibalas pentung! Cah ayu (anak cantik), kalau tidak ada Wanoroseto ini, agaknya kau sudah mati di tangan lima ekor lutung hitam! Dia menolongmu dan membawamu ke sini menghadapku, bagaimana kau minta aku menghukum Wanoroseto?"
Roro Luhito terkejut dan memandang ke arah kera putih yang msih duduk di atas cabang pohon. "Ahhhh... kalau begitu aku telah salah sangka...!" seru Roro Luhito penuh penyesalan. "Tadinya kusangka dia seekor kera liar yang ganas."
"Ha-ha, Wanoroseto adalah seekor kera putih, cerdas tidak kalah oleh manusia, bahkan hatinya jauh lebih baik dari pada manusia. Dia peliharaanku yang amat setia. Bocah ayu, kau siapakah dan mengapa kau seorang gadis muda sampai berada di dalam hutan liar seorang diri?"
Roro Luhito menangis lagi, menyusuti air matanya dengan ujung kemben. Kemudian ia menuturkan riwayatnya dengan terus terang karena ia yakin berhadapan dengan seorang pertapa sakti yang dapat menolongnya.
"Demikianlah, eyang..." ia menutup penuturannya, "karena saya merasa bahwa diri saya adalah milik Pujo, maka saya bermaksud mencarinya dan akan bersuwito (menghamba) kepada Pujo. Saya rela menjadi isteri ke dua, dari pada hidup di kadipaten ayah dan menjadi bahan percakapan orang."
Berkerut-kerut dahi Resi Telomoyo, keningnya bergerak-gerak. Ia membanting-banting kakinya dan tiba-tiba bertanya dengan suara membentak marah, "Dia sudah beristeri?"
Roro Luhito terkejut. "Siapa...eyang...?" tanyanya gagap.
"Si Pujo itu! Dia sudah beristeri dan masih berani mengganggumu?"
"Sudah, eyang. Kakangmas Pujo adalah murid yang diambil mantu oleh Resi Bhargowo..."
"Resi Bhargowo? Di Sungapan Kali Progo?"
"Betul, eyang resi."
"Jagad Dewa Batara! Tua bangka itu membiarkan saja anak mantunya melakukan perbuatan sewenang-wenang? Jangan kau khawatir, Luhito, biarlah kelak aku yang akan menegur Resi Bhargowo atas perbuatan anak mantunya. Dia harus bertanggung jawab!"
"Terima kasih atas pembelaan eyang resi, akan tetapi eyang, yang saya butuhkan adalah kakangmas Pujo. Saya tidak ingin mencari Resi Bhargowo, melainkan hendak bertemu dengan kakangmas Pujo. Eyang resi, tolonglah saya agar saya dapat bertemu dan bersatu dengan kakangmas Pujo..."
Kini Resi Telomoyo menggaruk-garuk kepalanya dengan kedua tangan dan melihat ini, Wanoro seto si kera putih juga sibuk sekali menggaruki kepalanya. "Roro Luhito, cah ayu, urusan orang muda aku tidak berani mencampuri. Kalau berurusan dengan si tua bangka Resi Bhargowo, biarlah aku yang akan menegurnya dan kalau dia tidak mau mengurus kejahatan anak mantunya, aku akan menantangnya bertanding selama seratus hari! Akan tetapi untuk mencari Pujo, hal itu adalah urusan dan kewajibanmu. Jadi kau sendirilah yang harus pergi mencarinya. Cuma saja dalam keadaanmu selemah sekarang ini, aku tidak membiarkan kau pergi mencari Pujo karena kau tentu akan mengalami hal-hal yang akan mencelakaimu. Kau harus tinggal dulu disini mempelajari ilmu, setelah cukup kuat, baru kau boleh turun gunung mencari Pujo."
Hati Roro Luhito girang mendengar ia akan diajar ilmu, akan tetapi juga kecewa karena ia ingin segera bertemu dengan pria pujaan hatinya. "Eyang resi, berapa lamakah saya harus belajar ilmu?"
Resi Telomoyo menjelajahi tubuh gadis itu penuh perhatian, lalu berkata, "Hemm, tergantung kepada bakat dan ketekunanmu. Mungkin sampai lima tahun, mungkin juga kurang..."
"Lima tahun?" Roro Luhito bertanya kaget.
Sang pertapa mengelus jenggotnya yang putih. "Begini saja. Asal engkau sudah mampu mengalahkan Wanoroseto dalam latihan, kau boleh turun gunung."
Lega hati Roro Luhito. Kera putih itu, betapa pun juga hanya seekor binatang, pikirnya. Betapa pun besarnya masih jauh lebih kecil dari pada manusia. Berapa hebat sih tenaga dan kepandaian seekor kera? Paling-paling hanya cekatan dan gesit, akan tetapi ia sudah pernah belajar ilmu silat, kalau kini digembleng lagi oleh Resi Telomoyo yang sakti, kiranya dalam beberapa bulan saja ia akan mampu menandingi Wanoroseto!
Hal ini hanya sangkaan dan harapan Roro Luhito saja maka ia cepat-cepat menyatakan setuju dan mengangkat resi itu menjadi gurunya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dalam latihan pertama setelah ia tiga bulan mempelajari ilmu, belum juga lima jurus ia sudah dibikin roboh oleh si kera putih yang kemudian mentertawakannya sambil bertepuk-tepuk tangan!
Roro Luhito mendongkol bukan main. Timbul panas hatinya dan ia belajar makin tekun. Bahkan kera putih itu menjadi sahabat baiknya, yang merupakah hiburan dalam kehidupan sunyi itu. Selain sahabat yang pandai menghibur, ternyata Wanoroseto juga merupakan teman berlatih yang hebat. Biarpun ia maklum bahwa akan makan waktu lama sebelum ia dapat menandingi Wanoroseto, namun diam-diam ia girang sekali karena kini ia merasa makin yakin akan kepandaian gurunya. Melatih seekor kera saja dapat menjadi kera sakti yang kepandaiannya tinggi, apalagi melatih manusia!
Gurunya menurunkan dua macam ilmu silat tangan kosong yang disebut Sosro Satwo (Seribu Binatang) dan Kapi Dibyo (Kera Sakti) yang juga meliputi ilmu gerak dan loncat seperti seekor kera, tangkas, cepat dan ringan. Ilmu silat tangan kosong ini dapat dimainkan dengan keris karena setiap pukulan dapat diubah menjadi tikaman keris.
Adapun ilmu silat senjata ia diajar menggunakan sebatang tongkat yang dapat diganti dengan ranting pohon, pedang, tombak atau apa saja yang agak panjang. Kalau perlu, gagang sapu dari bambu juga dapat menggantikan kedudukan tongkat yang dapat dimainkan dengan ampuh! Akan tetapi, untuk mempelajari ini semua dan dapat melatih dengan sempurna, membutuhkan waktu cukup lama dan Roro Luhito harus berlatih dengan tekun dan sabar.
Demikianlah, mulai hari itu gadis puteri adipati ini belajar ilmu dari Resi Telomoyo yang sudah bertahun-tahun menyembunyikan diri dan puncak Gunung Telomoyo seakan-akan menjadi terang dan gembira sejak hadirnya Roro Luhito di situ. Dasar gadis ini wataknya Jenaka lincah, maka Wanoroseto si kera putih sering kali memekik-mekik gembira di kala bermain-main dengan Roro Luhito. Bahkan kini pertapa itu seringkali terdengar suaranya terkekeh-kekeh dan wataknya menjadi periang…..
********************
"Heh-heh-heh-heh, huh-huh-huh, seorang tua Bangka macam aku ini, mengapa masih dibutuhkan oleh Adipati Joyowiseso, raden? Untuk menghadapi Kerajaan Medang, sepantasnya dibutuhkan orang-orang muda seperti angger, raden. Tua bangka seperti aku ini untuk apa? Huh-huh-huh!" Yang bicara dengan lagak lagu seperti Bhagawan Durno di zaman Mahabharata itu adalah seorang pertapa tua renta, tubuhnya tinggi kurus agak bongkok, tangannya membawa seuntai tasbih panjang berwarna hitam, pakaiannya seperti seorang cantrik (murid pendeta).
Inilah Cekel Aksomolo, seorang pertapa di lereng Gunung Wilis, seorang sakti mandraguna yang puluhan tahun lamanya tidak pernah meninggalkan hutan Werdo di lereng itu. Dia bicara dengan Jokowanengpati, dan ketika ia menyebut Kerajaan Medang, ia maksudkan Kerajaan Mataram. Memang sesungguhnya, sejak permulaan abad ke sepuluh (kurang lebih tahun 928), Kerajaan Mataram dikenal pula dengan nama baru, yaitu Kerajaan Medangkamulan, atau Medang yang dimulai dengan rajanya yang bernama Empu Sindok (929 - 947).
"Eyang Cekel terlalu merendahkan diri," kata Jokowanengpati memuji. "Siapakah yang tidak tahu bahwa sang pertapa Cekel Aksomolo amat sakti mandraguna, manusia setengah dewa yang sukar dicari tandingnya di seluruh jagat raya ini? Kita bersama telah mengalami penghinaan dari Raja Airlangga, anak Bali itu. Akan tetapi, karena Raja Mataram itu didukung oleh banyak orang pandai, bagaimana kita akan mampu menghadapinya untuk membalas dendam kalau kita tidak bersatu padu? Oleh karena cita-cita yang murni inilah, eyang! Maka paman Adipati Joyowiseso mengutus saya menghadap eyang Cekel Aksomolo, mohon bantuan eyang dalam menghadapi orang-orang sakti yang diperhamba oleh Mataram."
"Huh-huh-huh, lucu... lucu...! Bukankah engkau ini murid Bharodo, Raden Jokowanengpati? Dan Empu Bharodo adalah penasehat si putera Bali Raja Mataram! Heh-heh, orang muda, harap kau jangan mempermainkan aku si tua bangka!"
"Ah, tidak... tidak sama sekali tidak, eyang! Bukan baru sekarang eyang mengenal saya, apakah pernah saya membohongi eyang? Mana saya berani? Memang betul bahwa guru saya Empu Bharodo mendukung Mataram, dan karena perbedaan faham inilah maka saya diusir pergi oleh bapa empu. Bapa Empu Bharodo terlalu lemah semangatnya, karena itu pula maka saya bersekutu dengan Adipati Joyowiseso dan mengumpulkan sahabat-sahabat sakti dari empat penjuru untuk menghadapi Mataram! Banyak tokoh sakti sudah menyiapkan diri membantu, di antaranya Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo, Ki Krendoyakso dari Begelen. Ni Durgogini dewi sakti dari Girilimut, dan Ni Nogogini dewi Laut Selatan!"
"Wah-wah, begitu banyak tokoh sakti sudah membantu, mengapa kau masih mencari aku, raden?"
"Bukan begitu, eyang. Betapa pun sakti mereka, tanpa bantuan eyang saya rasa akan sukar mengalahkan para senopati dan tokoh Mataram. Apalagi dalam menghadapi Resi Bhargowo, saya benar-benar mengharapkan bantuan eyang. Bahkan kedatangan saya menghadap eyang hari ini adalah untuk mohon bantuan eyang menghadapi Resi Bhargowo untuk merampas kembali cucu paman Adipati Joyowiseso dan seorang puterinya yang telah diculik Resi Bhargowo dan mantunya."
"Uh-uh-uh! Resi Bhargowo sampai berani menculik cucu dan puteri Adipati Selopenangkep?"
"Betul, eyang. Mantunya datang mengamuk di kadipaten, membunuh banyak pengawal dan hampir saja paman adipati juga terbunuh. Untung saya kebetulan berada di kadipaten dan saya berhasil menolong paman adipati, akan tetapi karena Resi Bhargowo membantu mantunya, maka mereka berhasil menculik cucu dan puteri paman adipati."
Akhirnya setelah diberi janji-janji muluk oleh Jokowanengpati, bahwa kelak apabila mereka berhasil menjatuhkan Sang Prabu Airlangga, tentu kakek ini akan diberi hadiah kedudukan tinggi di kota raja, Cekel Aksomolo menjadi tertarik dan berangkatlah mereka keluar dari hutan Werdo di lereng Gunung Wilis, melakukan perjalanan ke barat untuk mencari Resi Bhargowo dan Pujo!
Mereka berdua mampir di Kadipaten Selopenangkep dan tentu saja Adipati Joyowiseso menyambut kedatangan Cekel Aksomolo dengan penuh penghormatan, menjamunya dengan hidangan-hidangan istimewa, bahkan pada malam harinya tamu kakek yang bungkuk dan aneh ini disuguhi tari-tarian yang ditarikan wanita-wanita cantik jelita dan muda genit!
Sambil minum tuwak (minuman keras) Cekel Aksomolo tertawa-tawa dilayani Jokowanengpati dan Adipati Joyowiseso sendiri. Untuk menyenangkan tamu dan tuan rumah Jokowanengpati menceritakan tentang kehebatan ilmu kesaktian pertapa Gunung Wilis itu.
"Paman adipati, biarpun kelihatannya eyang Cekel Aksomolo sudah beryuswa (berusia) lanjut, namun kekuatannya masih luar biasa dan gerakannya cepat sekali. Kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tidak percaya. Saya sendiri ketika mengajak beliau ini ke sini dan melakukan perjalanan bersama, harus mengerahkan seluruh ilmu berlari cepat agar tidak ketinggalan, padahal Ilmu Bayu Sakti yang saya pergunakan itu biasanya tidak pernah kalah oleh ilmu lain golongan!"
"Heh-heh-uh-uh-uh, bisa saja Raden Jokowanengpati memuji!" Si kakek berkata sambil tertawa sedangkan di dalam hatinya terasa bangga sekali. "Mana aku yang tua mampu menandingi Bayu Sakti? Harap kanjeng adipati jangan percaya akan obrolan seorang muda!"
Adipati Joyowiseso tertawa. "Biarpun anakmas Jokowanengpati tidak menceritakannya, saya pun sudah mendengar tentang kehebatan ilmu bapa cekel yang sakti mandraguna. Bukannya saya kurang percaya, akan tetapi saya mohon sudilah bapa memberi sedikit petunjuk untuk lebih menggembirakan pesta kecil ini."
"Uh-huh-huh, saya tua bangka ini bisa apa sih? Hanya kulihat tiga orang penari yang denok ayu itu terlalu lambat tariannya. Bagaimana pendapat paduka kalau saya membuat mereka menari lebih cepat lagi?"
Adipati Joyowiseso merasa heran, akan tetapi ia mengangguk tanda menyetujui. Sambil tertawa-tawa kakek pertapa Gunung Wilis itu kemudian menggerak-gerakkan tasbih hitam yang tak pernah terlepas dari tangannya. Terdengarlah bunyi tak-tik-tak-tik yang aneh, tidak keras namun nyatanya dapat menyusup di antara suara gamelan, bahkan makin lama makin menguasai suara dan menelan semua suara gamelan. Anehnya, para penabuh gamelan itu tidak merasa betapa irama lagu kini makin lama makin cepat, terseret oleh arus yang keluar dari suara berketiknya biji-biji tasbih, dan beberapa menit kemudian suara gamelan menjadi cepat menggila, dan hebatnya, para penari kinipun menari cepat sekali seperti kesetanan!
Tentu saja pertunjukan ini menjadi aneh sekali karena para penari itu menari seperti orang kesurupan, membuat gerakan-gerakan yang menggairahkan, membusung-busung dada, memutar-mutar pinggul, menggeleng-geleng kepala, matanya mengerling ke kanan kiri dan mulut yang tersenyum-senyum itu kini mulai tertawa-tawa!
Mula-mula para tamu, termasuk Adipati Joyowiseso bergelak dan terpingkal-pingkal, tetapi akhirnya mereka memandang dengan khawatir karena di antara para penabuh gamelan ada yang roboh pingsan, sedangkan para penari juga sudah mulai pucat, keringat mereka membuat wajah dan leher sampai ke pundak berkilau, langkah kaki mereka mulai terhuyung-huyung!
"Bapa Cekel, saya rasa cukuplah, harap bapa menaruh kasihan kepada mereka."
Mendengar permintaan adipati ini, Cekel Aksomolo menghentikan gerakan tasbihnya dan otomatis suara gamelan terhenti karena sudah tidak karuan lagi iramanya. Tiga orang penari itupun dengan tubuh lemas menjatuhkan diri di atas lantai, duduk dan menghapus keringat dengan selendang mereka. Seorang di antara mereka, yang paling muda dan paling cantik, menoleh ke arah Cekel Aksomolo, merengut dan melerok, agaknya tahu bahwa yang main-main tadi adalah kakek tua yang aneh ini.
Cekel Aksomolo tertawa. "Huh-huh, penari-penarimu denok-denok dan ayu, kanjeng adipati, terutama sekali yang berselendang hijau itu. Harap paduka suka menyuruh dia berdiri, saya ingin sekali melihat bentuk tubuhnya... heh-heh-heh."
Adipati Joyowiseso tersenyum. Ia sudah mendengar dari Jokowanengpati bahwa kakek sakti ini mempunyai semacam penyakit, yaitu suka menggodai wanita-wanita muda! Maka ia lalu berkata perlahan, "Dia memang paling muda dan pandai, bapa, dan selain menari dan bertembang, ia pun pandai sekali memijati urat mengusir pegal lelah."
Dengan tangannya sang adipati memberi isyarat. Penari muda berselendang hijau itu segera bangkit berdiri, tunduk akan perintah junjungannya. Adipati Joyowiseso lalu memberi isyarat supaya gamelan ditabuh kembali dan mengisyaratkan si selendang hijau untuk menari seorang diri. Agaknya penari muda ini dapat menduga pula bahwa kakek itulah agaknya yang minta kepada sang adipati untuk memerintahnya menari lagi, maka sekali lagi ia melempar kerling ke arah Cekel Aksomolo.
Dua orang penari lain mengundurkan diri duduk dekat para penabuh gamelan. Agaknya memang penari muda yang banyak disuka ini biasanya dimanjakan orang, maka kali ini ia menumpahkan kemarahan hatinya kepada Cekel Aksomolo. Ketika ia mulai menembang sambil menari mengikuti irama gamelan, ia sengaja memasukkan kata-kata sindiran kepada Cekel Aksomolo yang menimbulkan kemendongkolan hatinya.
"Kakek tuwek untune entek clelak-clelek tur elek, ora melek kok isih arep golek-golek! (Kakek tua giginya habis, menjemukan dan buruk, tak membuka mata masih ingin mencari-cari!)"
"Uuuh-huh-huh, sialan awakku!" Cekel Aksomolo mengeluh sambil terkekeh. "Di cuci habis-habisan oleh si denok ayu!"
"Akan kuhukum dia, bapa...!" kata Adipati Joyowiseso, mukanya menjadi merah karena ia pun dapat menangkap sindiran yang ditujukan si penari berselendang hijau kepada Cekel Aksomolo.
"Aahhh, jangan, kanjeng adipati. Dia benar! Biarlah nanti saja sehabis menari dia memijat punggungku yang lelah. Uhhuh-huh, sekarang ingin kulihat bentuk tubuhnya..."
Setelah berkata demikian, Cekel Aksomolo menggerakkan tangan kirinya seperti mendorong, kemudian memutarkan tangan itu ke depan. Terjadilah keanehan. Dari tangan itu menyambar hawa berciutan ke arah si penari dan tiba-tiba pakaian si penari berselendang hijau itu terlepas semua! Sejenak ia berdiri bengong dalam keadaan telanjang bulat, kemudian ia menjerit-jerit dan dengan gugup menyambar pakaiannya yang sudah terlepas di bawahnya, menarik pakaian itu sedapatnya menutupi tubuhnya lalu ia lari sambil menangis kesamping pendopo yang gelap!
Sejenak orang terkesima, akan tetapi lalu terdengar suara ketawa meledak terkekeh-kekeh. Adipati Joyowiseso memberi perintah agar gamelan dilanjutkan, kini dua orang penari itu yang menari dan menembang bergantian. Jokowanengpati memberi keterangan kepada Adipati Joyowiseso yang mendengarkan penuh kagum.
"Paman, alanglah hebatnya kepandaian eyang Cekel."
"Bukankah itu ilmu sihir?" tanya sang adipati.
"Sama sekali bukan, paman. Eyang Cekel Aksomolo terkenal karena senjatanya yang ampuh dan yang juga menjadi nama julukannya, yaitu Aksomolo Ireng (Tasbih Hitam). Baru suaranya ketika digerakkan saja mampu menimbulkan suasana mujijat, apalagi kalau dipergunakan untuk bertanding! Pula, yang menelanjangi penari kewek (genit) tadi bukanlah ilmu sihir, melainkan ilmu pukulan jarak jauh yang sudah mencapai puncak kesempurnaan!"
Makin kagum dan hormatlah Adipati Joyowiseso terhadap tamu agungnya. Malam itu si penari remaja yang denok ayu, penari berselendang hijau itu harus menebus kelancangannya sore tadi dengan penyerahan dirinya kepada si tua bangka! Tebusan yang amat hebat mengerikan baginya, yang membuat ia pada keesokan harinya seperti orang kehilangan semangat, dan membuat ia pada malam-malam berikutnya sering girap-girap (menjerit-jerit dalam tidur)!
Setelah bermalam selama sepekan di Kadipaten Selopenangkep, berangkatlah Jokowanengpati bersama Cekel Aksomolo menuju Sungapan. Untuk memperkuat tugas mereka sebagai utusan kadipaten, sepasukan perajurit kadipaten terdiri dari dua losin orang mengawal mereka. Kali ini Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati menunggang kuda, juga pasukan perajurit itu semua berkuda. Ketika pondok Bayuwismo yang terletak di depat pantai dan Sungapan Kali Progo sudah tampak dari jauh, Cekel Aksomolo menyuruh dua losin orang pengawal itu berhenti.
"Kalian tak boleh masuk rumah itu, bahkan jangan terlalu dekat. Berhentilah di sini, berjaga-jaga saja menanti perintah." Kemudian la mengeluarkan dua bungkusan kain kecil dan memberikannya kepada Jokowanengpati.
"Raden, kalau sewaktu-waktu aku terpaksa menggunakan suara tasbih, akan kuberi tanda dan kau harus memasukkan benda-benda ini menutupi kedua lubang telingamu."
Jokowanengpati menerima dan mengangguk, maklum akan keampuhan tasbih itu. Mereka berdua lalu melangkah mendekati pondok yang bersunyi sendiri tanpa tetangga di tepi pantai. Berdebar juga hati Jokowanengpati. Yang sedang ia datangi ini adalah pondok Resi Bhargowo, paman gurunya yang ia ketahui memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingnya. Untuk menghadapi Pujo ia tidak takut. Dan untuk menghadapi Resi Bhargowo, kiranya Cekel Aksomolo merupakan lawan setingkat. Akan tetapi ia gentar kalau teringat kepada Kartikosari.
Benar bahwa Pujo dahulu menyatakan bahwa Kartikosari seakan-akan sudah mati, akan tetapi betulkah itu? Menghadapi Pujo ia tidak takut, juga tentang ilmu kepandaian Kartikosari, ia pun tidak takut. Yang membuat ia gelisah adalah jika Kartikosari berada di situ, terdapat bahaya akan terbongkar rahasia perbuatannya di malam badai dalam Gua Siluman itu.!
Memang, Kartikosari tidak akan menduganya, namun apabila wanita itu melihat buntungnya kelingking kiri tangannya, tentu akan menimbulkan dugaan dan curiga. Betapa pun juga, hati Jokowanengpati menjadi besar lagi kalau ia teringat akan kedigdayaan Cekel Aksomolo dan mereka melangkah terus mendekati pondok sunyi. Selain itu, Pujo sendiri tampak jelas sikapnya bahwa ia tidak tahu akan rahasia itu. Andai kata Kartikosari berada dengan suaminya, tentu wanita itu akan menceritakan tentang buntungnya kelingking tangan dan tentu Pujo sudah akan menyangka dia, atau setidaknya akan bercuriga.
Peristiwa itu sudah lewat setahun lebih, dan ia tidak perlu takut-takut lagi, karena andai kata diketahui sekali pun ia tetap akan menjadi lawan mereka. Sekutunya memiliki banyak orang sakti, takut apa?
Telah kita ketahui bahwa setahun kurang semenjak terjadinya badai Laut Selatan yang mengamuk hebat dan menghancurkan pondok, Resi Bhargowo meninggalkan Bayuwismo di Sungapan, meninggalkan pondok yang sudah dibangun lagi itu kepada para cantriknya, bahkan lalu meninggalkan nama lama, mengganti julukan dengan Bhagawan Rukmoseto dan melakukan perjalanan lelana brata untuk menghibur batinnya yang terguncang hebat setelah menduga bahwa puteri dan mantunya tentu tewas ditelan badai.
Pertapa ini meninggalkan pondoknya Bayuwismo di Sungapan dan menyerahkan pondok itu di bawah pengawasan dan dalam pemeliharaan enam orang cantriknya yang dipimpin oleh cantrik Wisudo. Karena pondok itu berdiri si tepi pantai terbuka, maka kedatangan Cekel Aksomolo yang langkahnya terseok-seok dan terbongkok-bongkok bersama Jokowanengpati, segera terlihat oleh enam orang cantrik.
Para cantrik itu sedang sibuk, ada yang memperbaiki perahu bocor, ada yang menambal jala, karena di daerah yang tanahnya tidak subur seperti pantai selatan itu, mereka bekerja sebagai nelayan, mencari ikan di sepanjang pantai dan muara Sungai Progo. Kini mereka meninggalkan pekerjaan masing-masing, berkumpul dan menyambut kedatangan dua orang itu dengan sikap tenang juga heran. Apalagi setelah kedua pendatang itu dekat, cantrik paling tua yang pernah bertemu dengan Empu Bharodo, segera mengenal Jokowanengpati. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka mengenal kakek tua tinggi kurus dan bongkok yang membawa seuntai tasbih hitam itu.
Cantrik Wisudo memimpin lima orang saudaranya menyambut di luar pondok, cepat memberi hormat dan berkata, "Selamat datang di Bayuwismo, Raden Jokowanengpati! Selamat datang saudara tua cantrik, apakah saudara ini seorang cantrik dari Lembah Konta?"
Wisudo menyangka bahwa cantrik tua yang dating bersama Jokowanengpati itu seorang cantrik pengikut Empu Bharodo yang bertapa di lembah Sungai Konta di lereng Gunung Anjasmoro.
"Hoh-hoh-hoh, bukan... bukan!" jawab Cekel Aksomolo terkekeh-kekeh. "Aku adalah cantrik yang sudah berdikari! Bukan cantrik yang menghamba kepada seorang pendeta, melainkan bekas cantrik yang kini menjadi pertapa. Aku Cekel Aksomolo, pertapa di hutan Werdo. akulah yang mbaurekso (dewa penjaga) Gunung Wilis, huh-huh-huh!"
Cantrik Wisudo dan saudara-saudaranya merasa tak senang mendengar dan melihat sikap pembicaraan Cekel Aksomolo yang jelas membayangkan kesombongan. Akan tetapi mereka juga merasa geli dalam hati melihat persamaan kakek itu dengan tokoh cerita Maha Bharata, yaitu tokoh Begawan Durno! Karena maklum bahwa dia menghadapi seorang kakek yang sombong, Wisudo lalu tidak mau mengacuhkan lagi dan berpaling kepada Jokowanengpati yang sedang mencari-cari dengan pandang matanya ke arah pondok dan sekitarnya.
"Raden Jokowanengpati, ada keperluan apakah raden datang ke tempat sunyi ini? Apakah diutus oleh paman Empu Bharodo?"
"Eh, kakang cantrik Wisudo!" Pemuda ini berkata tak senang. "Kami sudah datang ke sini, mengapa engkau tidak lekas-lekas melaporkan kedatangan kami kepada paman Resi Bhargowo? Mengapa engkau lancang mengadakan penyambutan sendiri?"
"Huh-huh-huh, benar... benar... segala macam cantrik cilik mau tahu saja, heh-heh!"
Panas hati Wisudo dan saudara-saudaranya mendengar ucapan Cekel Aksomolo itu, akan tetapi karena kakek itu datang bersama Jokowanengpati, mereka menahan sabar. Wisudo menjawab, "Ketahuilah, raden. Baru beberapa hari ini sang resi telah pergi meninggalkan pondok, karena sang resi tidak ada maka saya berani mewakilinya menyambut tamu yang datang."
Jokowanengpati kecewa. "Paman Resi Bhargowo bepergian? Ke mana...?"
"Raden, sebagai murid terkasih paman Empu Bharodo, bagaimana raden masih mengajukan pertanyaan ini? Kemanakah perginya seorang pertapa? Kemana lagi kalau tidak melakukan lelana brata, melaksanakan tugas suci memberi penerangan bagi yang gelap, mencarikan tongkat bagi yang pincang dan mengulurkan tangan menolong mereka yang memerlukan pertolongan."
"Cukup! Tak perlu kau memberi wejangan! Lalu... di mana adanya Pujo dan Kartikosari?" Kembali pandang mata Jokowanengpati liar mencari-cari. Mulai tak enaklah hati para cantrik Bayuwismo, dan makin panas hati Wisudo.
"Mereka pun tidak berada di sini, dan harap jangan tanyakan kepada kami ke mana mereka pergi, karena kami sendiri tidak tahu."
Jokowanengpati tampak kecewa sekali. Ia menoleh kepada Cekel Aksomolo dengan keping berkerut. "Bagaimana ini, eyang? Kedatangan kita sia-sia..."
"Ooohh-hoh, jangan percaya segala cantrik cilik yang omongannya molak-malik. Tentu mereka ini tahu di mana sembunyinya Resi Bhargowo dan Pujo! Resi pengecut itu bersama mantunya tentu telah melihat kita datang, lalu mereka pergi menyembunyikan diri, dan cantrlk-cantrik penguk ini sengaja membohong."
Jokowanengpati dalam hatinya tidak percaya bahwa orang seperti paman gurunya itu akan lari menyembunyikan diri, akan tetapi dia diam saja, lalu ia berkata, "Kakang cantrik Wisudo, aku akan melihat apakah benar-benar paman resi tidak berada di dalam pondok!"
Setelah berkata demikian, cepat sekali tubuhnya berkelebat memasuki pondok. Enam orang cantrik Bayuwismo marah melihat kelancangan Jokowanengpati, akan tetapi tak mungkin mereka dapat menghalangi karena pemuda itu mempergunakan Aji Bayu Sakti sehingga gerakannya seperti terbang saja. Oleh karena tidak berdaya menghadapi murid Empu Bharodo yang sakti itu, cantrik Wisudo dan lima orang saudaranya menumpahkan kemarahan hati kepada Cekel Aksomolo!. Cantrik Wisudo melotot memandang kepada kakek itu dan membentak.
"Heh, Cekel Aksomolo! Kau ini seorang tua bangka yang tak patut dihormati orang muda. Pekertimu seperti ini sungguh tidak patut, apalagi mengingat pengakuanmu bahwa engkau sudah menjadi pertapa. Kata-katamu berbisa seperti Durno, tingkahmu sombong dan tak tahu malu. Ingatkah kau bahwa kami ini tuan rumah sedangkan engkau hanyalah seorang tamu tak diundang?"
"Wuah-wah, huh-huh, kurang ajar! Bocah cilik kurang ajar! Cantrik okrak-akrik bocah kemarin sore, berani kurang ajar terhadap Cekel Aksomolo? Apakah sudah bosan hidup?"
"Mengapa tidak berani? Bukan usia tua yang kulawan, bukan pula orangnya yang kucela, melainkan pekertinya! Biarpun engkau tua, pekertimu seperti bocah nylelek. Apalagi engkau pun hanya seorang cekel, seorang cantrik, sama dengan kami! Hayo pergi dari sini, tak sudi kami melihat tingkahmu lebih lama lagi!" Kini Wisudo sudah maju dengan sikap menantang.....