"Engkau anak hina! Engkau buah dari pada perbuatan jahanam! Hidupmu hanya akan mencemarkan dunia. Tak layak engkau hidup!
Sikap dan kata-kata yang terlontar dari mulut wanita itu mengerikan. Suaranya nyaring mengatasi debur ombak memecah di batu karang. Wajahnya yang cantik jelita itu tidak terurus, tampak bengis. Matanya yang bening dan indah bentuknya itu menatap liar penuh benci kepada seorang anak bayi perempuan yang telanjang bulat dan tidur nyenyak dalam pondongannya. Rambut wanita itu terurai, panjang sampai ke pangkal pahanya.
Pakaian yang menutup tubuhnya yang muda padat dan berkulit kuning halus bersih itu tak dapat menyembunyikan lengkung lekuk tubuh seorang wanita yang sudah masak karena hanya sehelai tapih pinjung (kain yang bagian atasnya dibelit kan menutup dada), membuka telanjang memperlihatkan bagian atas dada yang bulat membusung, dada seorang wanita yang baru melahirkan, pundak dan lengan. Juga memperlihatkan kaki dari lutut ke bawah, kaki yang betisnya gemuk memadi bunting dan mata kaki yang kecil berlekuk dalam. Sepasang kaki yang kecil itu berdiri di atas batu karang yang tercapai percikan ombak memecah di pantai.
Wanita itu adalah Kartikosari! Isteri Pujo yang bernasib malang ini telah melahirkan seorang anak perempuan, dua pekan yang lalu! Setelah ia berpisah dari Pujo di Gua Siluman akibat peristiwa di malam jahanam itu, dalam keadaan berkeliaran di sepanjang pantai Laut Selatan di daerah Baron dan Karangracuk setiap hari siang dan malam menangisi nasibnya, mengeluh meratapi nama suaminya, kadang-kadang memaki dan menyumpahi nama Wisangjiwo, atau ada kalanya tertawa-tawa dan bermain-main dengan ombak yang datang bergulung-gulung, beberapa bulan kemudian barulah ia sadar akan keadaan dirinya.
Sadar bahwa ia telah mengandung! Setengah hari Kartikosari menggeletak pingsan di dalam sebuah gua kecil di pantai Karangracuk yang ia jadikan tempat tinggalnya, setelah ia ketahui bahwa ia telah mengandung. Di waktu sadar dari pingsannya, ia menangis menggerung-gerung, menjambaki rambutnya sendiri sampai rambut yang hitam halus dan panjang itu awut-awutan, mencakari mukanya yang cantik jelita sampai kulit yang halus dan kuning kemerahan itu menjadi merah oleh darah dari pipi yang terluka kuku, lalu menangis lagi bergulingan di lantai gua seperti anak kecil.
Setelah reda, ia terisak-isak menyembunyikan muka di balik kedua tangan, berlutut di dalam guha. Ingin ia membunuh diri. Tak kuat rasanya harus menghadapi penderitaan yang susul-menyusul, tindih-menindih ini. Namun, ia masih ingin hidup untuk melampiaskan dendamnya!
Demikianlah, beberapa bulan lamanya Kartikosari mengalami penderitaaan lahir batin yang amat hebat. Ia makan seadanya, makan apa saja yang bisa ia dapatkan. Kadang-kadang ia mendaki bukit batu karang di utara, mencari ketela atau buah-buahan, ada kalanya ia hanya makan ikan laut dibakar. Namun, penderitaan lahir ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penderitaan batinnya dengan peristiwa malam jahanam di Gua Siluman, kadang-kadang ia seperti kalap dan gila, ingin ia merobek perutnya sendiri untuk membuang jauh-jauh bayi yang mulai bergerak-gerak dalam kandungannya!
Akan tetapi ada kalanya hati kecilnya membisikkan harapan bahwa kandungannya itu adalah darah daging Pujo, suaminya. Kalau menduga begini, ia akan mengelus-elus perutnya sambil meramkan mata, lalu merintih-rintih membisikkan nama suaminya. Setelah merasa bahwa kandungannya sudah mendekati kelahiran, Kartikosari berjalan meninggalkan pantai, mencari orang. Setengah hari ia berjalan dan barulah ia melihat sebuah dusun kecil di lereng bukit, dusun yang penghuninya hanya petani-petani miskin di tanah kapur Gunung Kidul, tinggal dalam gubuk-gubuk kecil kotor dan miskin tak lebih dari tujuh buah gubuk. Namun hal ini cukup menggirangkan hati Kartikosari.
Tubuhnya sudah lelah, hampir ia tak kuat berjalan tadi kalau saja ia tak melihat gubuk-gubuk itu dari puncak bukit. Ia tadi telah mengerahkan segenap sisa tenaganya untuk berjalan kearah dusun, dan setibanya di depan pintu gubuk pertama, matanya berkunang-kunang, perutnya sakit sekali dan ia terguling roboh pingsan di atas tanah. Betapa ia ditolong beramai-ramai oleh penghuni dusun yang setengah telanjang karena miskin itu, ia tidak tahu. Betapa ia meronta-ronta, merintih-rintih dan bergulat dengan maut, ia pun tidak tahu.
Sejak roboh pingsan sampai melahirkan, Kartikosari dalam keadaan tidak sadar. Ketika ia sadar dengan tubuh lemas, ia telah berada di atas balai-balai bambu yang ditilami tikar anyaman dari daun kelapa, dan di dekatnya rebah seorang bayi yang masih merah, bayi perempuan telanjang bulat, gemuk dan berkulit putih bersih berambut hitam tebal, hanya tertutup sehelai popok (kain) kumal dan kotor! Ia tidak pernah menjawab hujan pertanyaan para penghuni dusun itu yang bicara penuh hormat kepadanya, yang menganggapnya seorang puteri bangsawan yang sesat jalan atau diculik perampok, bahkan ada beberapa orang yang berbisik mengira ia bukan manusia, melainkan seorang peri (setan perempuan) atau penghuni Laut Selatan! Ia tidak mau menjawab, akan tetapi bukan tidak berterima kasih.
Dengan taat ia minum jamu-jamu pahit yang disediakan seorang nenek kurus, makan daging kelapa hijau atau bubur jagung yang disuguhkan orang, dan menerima pelayanan dan rawatan mereka selama dua pekan dengan senyum bersyukur.
Dan pada keesokan harinya setelah lewat dua pekan, penghuni dusun itu dengan heran dan kaget hanya mendapatkan sepasang gelang emas di atas balai-balai, sedangkan wanita cantik tapi agaknya gagu karena tak pernah bicara itu lenyap tak meninggalkan jejak, lenyap bersama bayinya yang cantik dan mungil bertubuh montok. Tentu saja kini mereka makin percaya kepada dia yang pernah membisikkan bahwa wanita ayu itu tentulah seorang peri atau seorang puteri dari istana Ratu Roro Kidul di dasar Laut Selatan! Kalau manusia biasa, tak mungkin dapat pergi bersama bayinya tanpa ada yang tahu sama sekali, tidak meninggalkan jejak!
Kartikosari tentu saja dapat pergi tanpa diketahui dengan mudah, mengandalkan ilmunya. Ia kembali ke Karangracuk dan berdiri di atas batu karang memaki-maki anak dalam pondongannya, kemudian matanya menjadi beringas ketika ia memandang ke arah gelombang Laut Selatan yang makin menggelora.
"Anak hina-dina! Kau tak patut hidup!" jeritnya dengan suara terpecah dalam tangis, lalu ia... melemparkan anak itu jauh-jauh ke tengah laut yang bergelombang! Tanpa melihat lagi ia membalikkan tubuh, meloncat turun dari atas batu karang lalu berlarian sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan, kemudian menjatuhkan diri bergulingan di atas pasir sambil menangis. Jantungnya terasa ditusuk-tusuk dan timbul rasa ngeri dihatinya untuk menoleh ke arah laut yang telah menelan bocah yang dilahirkannya dua pekan yang lalu.
Suara ombak yang menderu itu masuk memenuhi telinganya, dan kini berubah menjadi suara tangis anak bayinya! Tangis yang amat nyaring sehingga ia tak kuasa menahan lagi, lalu menutupkan kedua tangannya kepada telinga. Namun, betapa keras ia menutupi telinganya, suara tangis itu masih terdengar terus, bahkan makin lama makin nyaring.
"Diam...! Jahanam! Diamlah...!" Ia menjerit-jerit bergulingan di pantai seperti disiksa, akhirnya suara jeritannya menjadi keluh dan rintih mengerang-erang perlahan. "... diamlah... diamlah, nak... diamlah..." dan ia menangis tersedu-sedu.
Setelah mereda gelora hatinya, ia memberanikan diri menoleh ke arah laut. Laut masih mengganas, ombaknya besar-besar seakan-akan menjadi marah kepadanya. Ombak laut seperti terbakar, merah tersinar matahari yang hampir tenggelam di langit barat. Ombak merah menggelora, bergulung-gulung panjang seperti naga raksasa mengamuk.
Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat berdiri. Matanya dilebar-lebarkan memandang kepada sebuah benda yang tergolek di tepi pantai, diatas pasir. Ikankah? Ikan mati? Agaknya ikan mati, terdampar oleh ombak ke pantai. Putih berkilat seperti perut ikan, tak bergerak-gerak. Kartikosari bergidik, meremang bulu tengkuknya. Bentuk ikan itu! Aneh sekali! Hitam-hitam di ujungnya. Ekor? Terlalu besar. Dan mulutnya! Mengapa terpecah menjadi dua? Mulut? Mirip kaki. Kaki bayinya! Benda itu bergerak-gerak, lalu terpecah suara tangis yang melengking. Meremang seluruh tubuh Kartikosari, bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tangis bayi! Tangis anaknya!
"Anakku...!" Kartikosari menjerit dan berlari cepat sekali seperti terbang ke arah benda putih itu. Ditubruknya bayi yang menangis terkekal-kekal itu, sambil berlutut di atas pasir ia mendekap bayi telanjang bulat itu ke dadanya, ditangisinya sambil terengah-engah, diciuminya, didekap lagi ke dada dan air matanya membanjir, mencuci pasir yang lekat-lekat pada tubuh bayi.
"Aduh, anakku... anakku...! Kau kembali...? Kau... kau anak Pujo...? Anakku...! Ampuni ibumu, nak... ampun...!"
Ia tidak pedulikan lidah ombak menjilat-jilat kaki dan lututnya, seperti lidah anjing jinak menjilat-jilat kaki majikannya, mohon perhatian dan belas kasihan. Direnggutnya kain penutup dadanya sehingga tampak kedua buah dadanya yang montok dan penuh air susu, yang seakan-akan hendak pecah karena kulit yang tipis halus itu tak dapat menampung air susu yang terlalu penuh, dimasukkannya ujung buah dada yang merah itu ke mulut bayinya yang menangis keras.
Seketika terhentilah tangis bayi. Tanpa diajari oleh siapa pun, manusia kecil itu lantas menghisap air susu dari dada ibunya, menghisap keras-keras dan terpancarlah air kehidupan itu menerjang tenggorokan yang kecil. Bayi itu tersedak dan terbatuk-batuk. Kartikosari melepas buah dadanya dari mulut bayinya, mulutnya berkata halus, "Pissss...! Pissss...!" Sambil menebak-nebak dada sendiri perlahan.
Setelah anaknya tidak terbatuk-batuk lagi, kembali ia tertawa gembira dan air matanya menitik turun ketika ia berkata, "Cah ayu... perlahan-lahan saja menyusu, nak... ibumu tidak marah lagi... oh, tidak akan marah lagi..."
Dengan air mata mengalir di kedua pipinya, Kartikosari membelai-belai kepala anaknya dengan pipi, merasai betapa halus rambut anaknya tergeser di pipi. Ombak agak besar kini mencapai lutut dan pinggangnya. Kartikosari cepat berdiri agar anaknya tidak terkena air. Ia menoleh ke arah laut dan berkata, "Terima kasih, ayahku Laut Selatan! Terima kasih! Kau telah mengembalikan cucumu kepadaku! Baik, akan kurawat dia, akan kujadikan dia seorang gadis yang patut menjadi cucu Laut Selatan!" Kartikosari lalu berlari-lari mendukung anaknya yang masih menyusu lahap itu menuju ke dalam gua yang menjadi tempat tinggalnya.
Semenjak saat itu, hidupnya mempunyai arah dan tujuan. Tidak hanya untuk membalas dendam kepada Wisangjiwo, akan tetapi juga untuk merawat dan mendidik puterinya. Endang Patibroto! Ya, demikianlah ia memberi nama kepada puterinya. Endang Patibroto. Patibroto berarti setia kepada suami. Ya, memang ia selalu setia kepada suaminya, bahkan terjadinya peristiwa hina di malam jahanam dalam Gua Siluman sehingga menimbulkan akibat seperti yang dideritanya sekarang, semata-mata karena kesetiaannya kepada suaminya.
Tak peduli anak siapa bayi itu, ia tetap setia kepada suaminya, setia lahir batin. Biarlah dunia mengutuknya, biarlah suaminya mengumpat caci dan tidak mempercaya akan kesetiaannya, namun Laut dan Badai tahu! Dia sendiri tahu! Puterinya tahu! Karena itu, puterinya harus bernama Endang Patibroto sebagai bukti dan penguat kesetiaannya. Mulailah Kartikosari memperhatikan kesehatannya, demi puterinya, demi Endang Patibroto.
Mulai ia membawa sisa perhiasan emasnya ke dusun dan minta kepada penghuni dusun yang keheranan itu untuk membawa perhiasannya ke kota, menjual dan menukarkan dengan pakaian dan kebutuhan lain. Mulailah ia kini setiap hari mencari sarang burung di tempat-tempat yang sukar, lalu menyuruh penghuni dusun menjualnya ke kota. Di kota banyak terdapat pedagang yang suka berdagang ke kota-kota besar dan kabarnya sarang burung itu dijualnya kepada Bangsa Cina dengan harga tinggi.
Ia merawat puterinya penuh kasih sayang, penuh perhatian. Di samping ini ia tekun pula bertapa, tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang diperdalamnya, bahkan ia mulai merangkai ilmu-ilmu pukulan sambil meneliti gerakan burung-burung walet dan burung camar (elang laut), merangkai ilmu merayap sambil meneliti gerakan bermacam kepiting dan ilmu meloncat berdasarkan gerakan monyet yang banyak berkeliaran di pantai. Ia menghimpun tenaga, memperdalam ilmu, bukan hanya untuk kelak membalas dendam kepada musuh besarnya, melainkan juga untuk diturunkan kelak kepada Endang Patibroto!
Mulailah ia melihat matahari bersinar, mulailah sinar gembira bernyala dalam dadanya, karena hidupnya kini ada artinya. Ia berpesan dan disertai ancaman kepada penghuni dusun yang pernah menolongnya agar mereka itu tidak menceritakan keadaan dirinya kepada orang lain. Karena penduduk dusun kini yakin, bahwa puteri cantik ini benar-benar bukan manusia, kalau datang dan perginya bukan berjalan melainkan terbang, tentu saja mereka ketakutan dan mentaati pesan ini. Kartikosari sengaja memperlihatkan kepandaiannya dan bergerak secepat terbang untuk memaksa mereka takut dan percaya kepadanya…..
********************
Kita tinggalkan dulu Kartikosari yang hidup bersunyi dengan puterinya, dan mari kita menjenguk sejenak keadaan Roro Luhito, wanita lain yang juga mengalami nasib buruk akibat perbuatan terkutuk Jokowanengpati. Hanya saja, dibandingkan Kartikosari, Roro Luhito tidaklah menanggung kesengsaraan batin yang terlalu parah. Hal ini adalah karena di lubuk hatinya, gadis puteri Adipati Joyowiseso ini menaruh cinta kepada Pujo!
Oleh karena rasa cinta inilah maka peristiwa di malam hari dalam kamarnya itu tidaklah amat disesalkannya, sungguhpun tentu saja ia tidak menghendaki demikian. Namun hal itu telah terjadi, dan kini gadis yang lincah ini melarikan diri dari orang tuanya. Mengapa? Untuk mencari Pujo! Ia telah menjadi milik Pujo, dan ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pujo. Rela pula andai kata ia hanya menjadi isteri ke dua. Akan tetapi, ke manakah ia harus mencari Pujo?
Inilah yang menyusahkan hatinya. Memang semestinya ia tidak secara membabi buta pergi sendiri mencari Pujo, akan tetapi ia telah mendengar bahwa ia hendak dijodohkan dengan Jokowanengpati dan ia sama sekali tidak menghendaki hal ini terjadi! Andai kata tidak terjadi peristiwa dengan Pujo, agaknya ia tidaklah akan berkukuh benar. Namun, setelah tubuhnya menjadi milik Pujo, bagaimana ia bisa menjadi isteri orang lain? Apalagi isteri Jokowanengpati yang mengetahui akan terjadinya peristiwa itu? Tidak! Ia tentu kelak hanya akan menjadi bahan hinaan dan cemoohan Jokowanengpati belaka. Ia harus mencari Pujo, sekarang juga.
Tadinya Roro Luhito hendak mencari ke daerah pantai. Akan tetapi gadis ini membatalkan niatnya ketika ia berpikir bahwa setelah melakukan perbuatan di Kadipaten Selopenangkep, agaknya tak mungkin Pujo akan kembali ke pesisir. Tentu Pujo juga maklum bahwa adipati akan mengerahkan pasukannya mencarinya di daerah pantai di sekitar Sungapan atau di Guha Siluman. Masa Pujo begitu bodoh akan menanti datangnya serbuan di sana? Pasti orang muda itu sudah berlari ke jurusan lain!
Karena pendapat inilah maka Roro Luhito bukannya lari ke selatan melainkan sebaliknya, ia lari ke utara! Selain menduga bahwa Pujo tidak berada di selatan, juga gadis ini ingin menghindari pengejaran ayahnya. Roro Luhito biarpun seorang wanita, namun ia pernah mempelajari olah keprajuritan. Tubuhnya yang ramping padat itu kuat sekali, gerak-geriknya tangkas cekatan. Oleh karena inilah maka perjalanan naik turun gunung itu tidak amat menyukarkan benar padanya.
Beberapa hari kemudian ia telah menyeberangi Gunung Merbabu yang besar dan pada hari Selasa Kliwon menjelang senja, ia telah berada di lereng Gunung Telomoyo yang terletak di sebelah utara Gunung Merbabu. Di dalam hatinya Roro Luhito mulai mengeluh. Sudah banyak bukit kecil ia lalui, bahkan kini gunung yang amat besar berada di belakangnya, menghadapi puncak gunung lain yang kelihatan menyeramkan. Akan tetapi belum kelihatan sedikitpun jejak Pujo!
Sering sudah ia bertanya-tanya orang di jalan, setiap dusun ia singgahi, namun tak seorangpun tahu akan Pujo. Dan pada senja hari ini ia kemalaman di dalam hutan di lereng sebuah sebuah gunung yang puncaknya kelihatan serem menakutkan. Ia harus terpaksa bermalam di dalam hutan yang sunyi dan besar, sedangkan malam nanti gelap tiada bulan.
"Sebelum gelap benar, aku harus mencari tempat mengaso yang enak," pikirnya dan mulailah ia mencari-cari.
Hutan itu luas, penuh pohon-pohon besar yang sudah ribuan tahun umurnya. Dari dalam hutan itu terdengar suara bermacam binatang buas. Mendengar aum harimau, Roro Luhito bergidik. Ia sebenarnya tidak takut berhadapan dengan harimau buas, dan ia berani melawannya dengan keris di tangan. Pernah ketika di Kadipaten Selopenangkep diadakan keramaian mengurung harimau, ia tidak ketinggalan ikut pula menghadapi kebuasan harimau.
Akan tetapi di dalam hutan sebesar ini, apalagi di waktu malam gelap kalau ia sedang tertidur lalu muncul banyak harimau! Siapa orangnya tidak gentar? Ia menoleh ke atas. Lebih baik aku mengaso di dalam pohon besar, pikirnya. Sebuas-buasnya harimau, tidak mungkin dapat mencapaiku di atas pohon. Akan tetapi pada saat itu, daun-daun besar bergoyang-goyang, terdengar suara cecowetan dan muncullah banyak lutung (monyet hitam) yang besar-besar!
Roro Luhito bergidik. Lutung-lutung itu tidaklah sebuas harimau, akan tetapi kalau orang sedang berada di pohon lalu dikeroyok lutung, alangkah ngerinya. Hendak melawanpun bagaimana caranya kalau sedang berada di pohon? Roro Luhito segera mengambil batu-batu kecil dan menyambiti lutung-lutung itu, maksud hatinya hendak mengusir binatang-binatang itu agar pohon besar itu kosong. Sambil menyambit ia membentak, "Lutung-lutung busuk, pergi dari pohon! Pohon ini tempatku untuk malam ini, kalian tidak boleh mendekat!"
Belasan ekor lutung itu melarikan diri berloncatan sambil mengeluarkan bunyi ramai cecowetan seakan-akan mengumpat caci kepada gadis nakal yang mengganggu mereka. Roro Luhito tertawa geli, kemudian dengan cepat ia mengenjot tubuhnya ke atas, menyambar cabang pohon terendah, lalu mengayun tubuhnya ke atas dan mulailah ia memanjat pohon besar itu. Dipilihnya cabang yang berdempetan, membabati daun-daun dengan kerisnya, kemudian ia membuat tempat duduk yang cukup enak. Lumayan, pikirnya sambil duduk di atas anyaman ranting di atas cabang.
Namun, setelah matahari terbenam dan ia tenggelam pula dalam lautan hitam yang gelap, datanglah gangguan-gangguan yang membuat Roro Luhito semalam suntuk tak dapat tidur dan mengalami kecemasan. Hanya sinar bintang-bintang di angkasa yang menerangi kegelapan. Sinar remang-remang namun cukup bagi Roro Luhito untuk melihat betapa tiga ekor harimau yang besar-besar berkeliaran di bawah pohon. Tiga ekor macan loreng itu berhenti di bawah pohon, mendengus-dengus lalu mengaum seakan-akan kegirangan mencium bau manusia akan tetapi kecewa karena bau itu datangnya dari atas pohon.
Dari atas pohon, Roro Luhito melihat tiga pasang mata macan seperti lampu menyala bergerak-gerak, kuning kehijauan warnanya. Kemudian ia melihat binatang-binatang buas itu berdiri dengan kedua kaki depan menggaruk-garuk batang pohon, agaknya hendak merobohkan pohon agar calon mangsa yang baunya membuat mereka mengilar itu ikut pula jatuh ke bawah.
Beberapa jam lamanya tiga ekor harimau itu mendekam di bawah pohon, seakan-akan hendak menanti turunnya orang yang berada di atasnya. Kemudian mereka pergi dengan langkah malas dan legalah hati Roro Luhito. Akan tetapi, kekhawatirannya membuat gadis itu tak dapat tidur, takut kalau-kalau ia akan terjatuh dari atas pohon, atau kalau-kalau dalam keadaan pulas ia diserang binatang buas.
Terutama sekali banyak lutung di sekitar pohon itu mendatangkan gaduh, membuat bising. Beberapa kali ia membentak-bentak mengusir binatang itu, menyuruh mereka diam. Namun sia-sia. Sebentar mereka diam ketakutan, di lain saat mereka sudah cecowetan lagi. Ketika sinar matahari mulai mengusir embun pagi, saking lelahnya Roro Luhito tertidur. Entah berapa lama ia pulas, ia sendiri tidak tahu.
Akan tetapi mendadak ia kaget sekali dan tersentak bangun. Lima ekor lutung jantan besar telah berada di sekelilingnya dan memperlihatkan taring. Rofo Luhito terpekik dan meraba kerisnya. Kerisnya tidak ada lagi. Di tempat agak jauh ia melihat seekor lutung betina memegang-megang kerisnya! Celaka, kerisnya telah dicuri lutung-lutung ini di waktu ia pulas. Sambil berpegang kepada dahan pohon, Roro Luhito mengayun kakinya.
"Bukkk...!"
Lutung jantan yang berada paling dekat dengannya terpental dan memekik kesakitan, namun tidak sampai terjatuh ke bawah karena tangannya sudah berhasil menyambar ranting pohon. Lima ekor lutung itu kini meringis-ringis, menggeram-geram dengan sikap mengancam. Melihat gelagat amat tidak baik dan berbahaya bagi dirinya yang sudah tidak memegang senjata, Roro Luhito bertindak cepat. Ia meloncat ke bawah menangkap dahan pohon, lalu meloncat lagi, akhirnya ia tiba di atas tanah.
Gerakannya cepat dan tangkas sekali, dan andai kata ia tidak sedang dalam bahaya, belum tentu ia berani menuruni pohon secara itu. Akan tetapi, begitu ia tiba di atas tanah, lima ekor lutung jantan itu telah berada di sekelilingnya dan mulailah binatang-binatang itu memekik-mekik dan menyerangnya. Menyerang secara liar, ganas dan membabi-buta!
Roro Luhito meloncat mundur, tidak mau sampai terpegang oleh binatang-binatang liar itu, maka kaki tangannya lalu bergerak, memukul dan menendang. Namun, betapa pun tangkasnya, Roro Luhito tidak dapat menandingi ketangkasan lima ekor lutung jantan yang besar. Pukulan dan tendangannya semua meleset, tidak mengenai sasaran sedangkan lima ekor lutung itu kini serentak melompat dan menyerbu. Ada yang hinggap di pundak dan menjambaki rambutnya, ada yang memegangi kaki, ada yang menarik dan merobek pakaian.
Roro Luhito hampir pingsan karena geli dan jijik, apalagi ketika jari-jari tangan yang panjang berbulu itu mengcengkerami tubuhnya di tengkuk, di dada, di pinggang, mulailah Roro Luhito, puteri adipati yang biasanya merasa gagah perkasa itu, berteriak-teriak minta tolong. Rambutnya awut-awutan, pakaiannya robek-robek dan darah mulai mengucur dari luka-luka gigitan lutung-lutung jantan!
"Toloooonggggg... tolongggg...! Ah... ini... tolonggg...!" teriaknya geli, jijik dan takut.
Mendadak terdengar suara gerengan hebat, disusul berkelebatnya bayangan putih menyambar-nyambar dan dalam sekejap mata saja lima ekor lutung itu sudah tidak mengeroyok Roro Luhito lagi, akan tetapi sudah menggeletak di atas tanah dan mati dengan leher berdarah! Roro Luhito berdiri tertegun, terbelalak matanya memandang kepada seekor monyet putih sebesar anak-anak belasan tahun, monyet berbulu putih bermata merah taringnya tampak merah oleh darah lima ekor lutung yang tadi disambar dan digigit lehernya.
Melihat monyet putih itu datang mendekat, Roro Luhito sudah lemas dan menjerit lirih dan pingsan. Tubuhnya tentu akan terbanting ke tanah kalau monyet putih itu tidak cepat menyambarnya, memanggulnya dan membawanya lari berloncatan dari pohon ke pohon. Hebat tenaga monyet putih ini. Memanggul tubuh Roro Luhito yang lebih besar dari padanya, ia kelihatan enak saja dan masih dapat berloncatan dengan tangkas dan ringan, kadang-kadang turun ke tanah dan berlari-lari mendekati puncak Gunung Telomoyo.
Di tengah jalan Roro Luhito siuman dari pingsannya. Akan tetapi begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa ia dibawa berlari-lari meloncat-loncat dari batu ke batu di atas jurang yang curam sekali, tubuhnya dipanggul di atas pundak kera berbulu putih, ia mengeluh perlahan dan pingsan lagi! Matahari sudah naik tinggi ketika monyet putih itu tiba di puncak bukit yang tertutup halimun.
Di tempat sunyi sejuk itu terdapat sebuah pondok sederhana. Ke dalam pondok inilah monyet putih masuk, terus menuju ke ruang dalam. Ruangan ini cukup luas, kosong tidak ada perabot rumahnya. Di sudut kiri terdapat Sebuah arca sebesar satu setengah manusia, arca Sang Kapiworo Hanoman, tokoh besar berujud monyet berbulu putih yang menjadi senopati jaman Ramayana.
Di depan arca Hanoman itu duduklah seorang kakek di atas batu yang bentuknya bundar dan halus. Kakek ini mukanya buruk bentuknya, seperti muka monyet. Hanya bedanya mukanya tidak berbulu seperti muka monyet. Rambutnya sudah putih semua, pakaian yang membungkus tubuhnya yang kurus juga serba putih. Kakek ini adalah seorang pertapa, berjuluk Resi Telomoyo, seorang yang menjadi pemuja Sang Hanoman!
Dia seorang pertapa yang sakti mandraguna, akan tetapi mungkin sekali karena ia pemuja monyet sakti Hanoman, gerak-geriknya juga mirip monyet! Biarpun sedang bersamadhi, suara "nguk-nguk" si monyet putih menyadarkan Resi Telomoyo. Ia membuka matanya, alisnya yang putih bergerak-gerak dan begitu pandang matanya bertemu dengan tubuh Roro Luhito yang menggeletak terlentang di atas lantai, ia berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik dan kini ia duduk berjongkok di atas batu yang tadi ia duduki!
"Heh, Wanoroseto (kera putih)! Apa yang kauperbuat ini?" Kakek itu marah sekali, tubuhnya meloncat-loncat di atas batu, kadang-kadang ia mere-mere (meringkik-ringkik) seperti monyet marah bibirnya bergerak-gerak memperlihatkan gigi yang ompong!
Si monyet putih menjadi ketakutan, lalu mengeluarkan suara ngak-nguk-ngak-nguk dan membuat gerakan seperti menari-nari meniru gerakan lutung-lutung yang mengeroyok Roro Luhito dan menceritakan dengan suara nguk-nguk disertai gerak-gerik lucu. Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya dengan gerakan monyet.
"Ah, lutung-lutung hitam kurang ajar! Akan tetapi kau lebih kurang ajar lagi, Wanoroseto, berani membawa tubuh seorang wanita muda yang begini ayu ke dalam pondokku. Hayo bawa dia keluar! Tak bisa aku menemuinya di dalam pondok!"
Wanoroseto si monyet putih itu sudah hafal akan perintah Resi Telomoyo, cepat ia membungkuk dan mengangkat tubuh Roro Luhito dibawa keluar pondok, lalu meletakkannya di atas tanah, di bawah sebatang pohon jeruk. Kakek itupun mengikuti dari belakang, memandang tubuh Roro Luhito seperti orang takut-takut, kemudian sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melompat ke atas pohon, berjongkok di atas cabang pohon terendah. Si kera putih juga memanjat pohon dan duduk pula di belakang sang pertapa. Tanpa bergerak dan tanpa mengeluarkan suara kakek dan kera ini menanti, pandang mata mereka menatap tubuh gadis yang rebah miring di atas tanah.
Tak lama kemudian Roro Luhito sadar dari pingsannya. Ia membuka matanya dan mengeluh perlahan karena tubuhnya terasa sakit-sakit dan perih bekas gigitan lutung-lutung hitam. Dengan tubuh lemah ia bangun duduk, memandang ke sekeliling dengan terheran-heran. Tak jauh dari situ ia melihat sebuah pondok kayu sederhana. Kemudian ia teringat. Ia dibawa lari seekor kera putih besar. Matanya menjadi terbelalak ketakutan dan kembali ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dan siap melawan bahaya.
"Nguk, nguk, kerrr...!"
Roro Luhito terkejut, cepat ia berdongak memandang ke atas pohon. Hampir ia menjerit kaget ketika melihat kera putih yang tadi memanggulnya ternyata berada di atas cabang pohon, tepat di atasnya dan seorang kakek aneh, lebih mirip seekor kera putih besar memakai pakaian seperti pendeta, tengah sibuk menaruh telunjuk di depan mulut menyuruh diam si kera putih. Ketika kakek itu menoleh ke arahnya, baru Roro Luhito tidak ragu lagi bahwa kakek yang methangkrong (jongkok di dahan) itu adalah seorang manusia, tentu seorang pertapa, pikirnya.
Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sambil berkata, "Eyang wiku (pertapa) yang budiman, mohon eyang sudi menolong saya!" Teringat akan penderitaannya, Roro Luhito menangis.
Melihat Roro Luhito menangis sedih, monyet putih itu tiba-tiba ikut menangis, sedangkan kakek itu melompat turun dengan gerakan ringan sekali. Dua kali tangannya mendekati pundak Roro Luhito, akan tetapi ditariknya kembali seakan-akan takut tangannya terbakar atau menjadi kotor.....