Namun, beberapa menit kemudian, tubuh Kartikosari terdampar di pantai teluk, di atas pasir yang halus. Ombak yang terakhir mempermainkannya demikian besarnya sehingga tubuhnya dilontarkan jauh ke pantai pasir dan ia tertinggal di situ, tak tercapai oleh ombak lain yang datang bergulung-gulung. Lidah ombak yang menjulur ke pantai pasir paling jauh hanya mencapai kedua kakinya yang tak tertutup kain lagi, putih kekuningan seperti perut ikan hiu. Wanita itu tak bergerak-gerak. Ia pingsan di pantai Teluk Baron yang sunyi senyap.
Dari dalam hutan dekat pantai terdengar auman harimau, disusul bunyi rombongan kera yang bercicitan takut. Beberapa ekor burung gagak terbang berputar-putar di atas tubuh yang rebah tak bergerak, makin lama makin rendah lalu hinggap di atas batu karang yang menonjol keluar dari pasir, hinggap di situ tak bergerak seperti patung dan mata melirik ke arah tubuh manusia yang tak bergerak gerak itu. Burung-burung gagak ini maklum bahwa manusia yang rebah tak berkutik itu belum mati, mungkin akan mati dan mereka hanya mau mendekati bangkai. Mereka sabar menunggu.
Akan tetapi tak lama kemudian rombongan burung gagak itu terbang ke atas sambil mengeluarkan bunyi nyaring, "Gaaaaok... gaaaok... gaaaokk!" dan terbang makin jauh.
Suara burung-burung ini mengandung kecewa, karena manusia yang tadinya disangka akan mati ternyata dapat bergerak dan bangkit, lalu berlutut di atas pasir sambil menangis tersedu-sedu. Hancur hati Kartikosari ketika ia siuman kembali dan mendapatkan dirinya berada di pantai, di atas pasir halus.
"Duhai Dewata yang agung... mengapa hamba masih hidup? Masih kurangkah hukuman penderitaan yang ditimpakan kepada diri hamba? Aduh, Dewa... dosa apakah gerangan yang hamba lakukan dalam kehidupan yang lalu? Bapa... bapa resi... tak mungkin aku dapat kembali ke Sungapan, aku malu berjumpa dengan bapa... aduh bapa resi, bagaimanakah anakmu ini, bapa...!"
Kartikosari menangis, mengeluh, menyembah-nyembah dan bersambat kepada para dewata, kepada ayahnya Resi Bhargowo, kepada ibunya yang telah tiada. Namun, hanya deru dan ombak membadai yang menjawabnya, deru ombak yang berpengaruh, yang menelan semua tangis dan keluhnya, yang membungkam auman harimau dan suara margasatwa di dalam hutan, yang membuat binatang yang betapa buaspun lari ketakutan menjauhi pantai.
Lambat-laun tampak perubahan pada sikap Kartikosari. Ia meloncat tinggi dan dengan sikap orang menghadapi lawan, dengan muka beringas, mata berapi-api, ia memasang kuda-kuda mengepalkan tinju menghadapi Laut Selatan yang menggelora, kemudian ia memekik, suaranya tinggi nyaring hendak mengatasi gemuruh sang badai, "Badai Laut Selatan! Saksikanlah sumpahku! Mulai saat ini aku bukanlah puteri Resi Bhargowo lagi, melainkan puterimu! Mulai saat ini aku pun bukan isteri Pujo lagi, melainkan isterimu! Ya, aku puteri Laut Selatan, aku isteri Badai Laut Selatan. Ha-ha-ha, aku akan mengamuk seperti badai!"
Ia berteriak-teriak, menyambut datangnya ombak, bermain-main dengan ombak seakan-akan menyambut suaminya yang tercinta, lalu bergulingan ke atas pantai pasir bersama ombak, tertawa-tawa seperti sedang bersendau-gurau dengan suami yang tercinta! Badai Laut Selatan mengamuk hebat. Tidak hanya daerah Gua Siluman dan Teluk Baron yang diamuk, juga pasisir Karang Tumaritis dan daerah Sungapan dilanda badai pula.
Malam terjadinya peristiwa jahanam di dalam Gua Siluman itu mengakibatkan getaran hebat dalam batin Resi Bhargowo. Kakek ini tengah bersamadhi setengah pulas pada malam hari itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan sadar, lalu membetulkan letak kedua kakinya yang bersila, tangan kanan meraba dada kiri, tangan kiri meraba dahi, keningnya bergerak-gerak.
"Jagad Dewa Batara... terlaksanalah segala kehendak Hyang Widi! Getar begini hebat mengguncang batin, ujian apa gerangan yang akan kuhadapi"
Sebagai jawaban pertanyaan sang resi terdengarlah deru angin kencang, disusui derap kaki mendekat pintu pondok pemujaan, lalu terdengar suara cantrik Wisudo, "Sang resi...! Sang resi...!" Pintu pondok terbuka dan muncullah cantrik Wisudo dengan muka pucat dan gugup.
"Cantrik, kau nyalakan lebih dulu pelita di sudut itu, agar terang," suara Resi Bhargowo terdengar lirih dan halus, penuh ketenangan.
Cantrik Wisudo meraba-raba dalam gelap, bertemu dian dan berusaha menggores batu api membuat api. Namun sia-sia, karena tangannya gemetar dan gugup sekali.
"Tenang... tenang..., tenang...,Wisudo. Tiada kesukaran yang tak dapat diatasi dengan modal ketenangan."
Mendengar kata-kata ini, lenyaplah kegugupan cantrik Wisudo dan akhirnya ia berhasil menyalakan pelita dan bilik sederhana itu menjadi terang.
"Urusan apakah yang memaksa engkau malam-malam begini datang kepadaku, cantrik?"
"Maafkan saya, sang resi. Akan tetapi... bahaya datang mengancam... badai akan mengamuk...!"
Resi Bhargowo mengangguk-angguk, "Kau sudah melihat tanda-tandanya?"
"Sudah, sang resi. Juga teman-teman datang melapor. Burung-burung walet berbondong keluar dari dalam gua-gua, bercicit bingung di atas gua menguatirkan sarang yang mereka tinggali. Monyet-monyet menjauhi tebing di pinggir pantai, burung-burung gagak berdatangan ke pantai dari gunung, sebaliknya burung-burung elang laut mengungsi ke gunung. Langit sebelah selatan hitam oleh awan mendung, permukaan laut amat tenang seolah-olah tidak bergerak. Agaknya akan luar biasa besarnya badai yang datang mengamuk, sang resi."
"Kalau begitu, kau cantrik Wisudo bersama dua orang temanmu pergilah ke barat, beri peringatan kepada para nelayan dan penduduk pantai agar meninggalkan pantai dan bantu mereka. Juga cantrik Wistoro bersama dua orang teman lain membantu penduduk di sebelah timur. Berangkatlah kalian sekarang juga."
"Tapi... tapi sang resi.. kalau semua cantrik pergi, bagaimana dengan pondok Bayuwismo di Sungapan ini? Tidak ada yang membantu sang resi..."!
"Heh, cantrik Wisudo! Lupakah engkau bahwa menolong orang lain adalah hal pertama, menolong diri sendiri hal terakhir?"
"Ohhh... baik sang resi, perkenankan saya dan teman-teman berangkat sekarang juga."
"Berangkatlah, aku segera menyusul."!
Sepergi cantrik Wisudo dan teman-temannya mentaati perintah Resi Bhargowo, kakek ini masih duduk termenung. Berulang kali menarik napas panjang menenangkan jantungnya yang berdebar-debar. Getaran yang mengguncangkan batinnya makin menghebat dan akhirnya ia keluar dari pondok dengan tongkat di tangan. Ia menengadah memandang ke angkasa, melihat laksaan bintang menghias angkasa di atas pantai, lautpun tenang-tenang saja, akan tetapi angin bertiup keras dan angkasa di selatan gelap pekat. Dari pengalamannya berpuluh tahun tinggal di pantai, Resi Bhargowo dapat menduga bahwa badai akan tiba di pagi hari, dan saat itu sudah jauh lewat tengah malam, jadi tidak lama lagi badai akan mengamuk. Kembali ia menghela napas karena guncangan batinnya makin menghebat.
"Terserah kehendak Hyang Widi..." bisiknya, kemudian tubuhnya melesat dan lenyap ditelan gelap malam.
Pada keesokan harinya, bersama dengan munculnya sang surya (matahari), datanglah badai yang telah dinanti-nanti dengan hati gelisah itu. Badai yang amat hebat, mengamuk di sepanjang pantai Laut Selatan. Resi Bhargowo tidak tinggal diam. Bersama enam orang cantriknya, kakek ini menolong para nelayan dan penduduk pantai, menaiki perahu ke tempat aman, mengungsikan anak-anak, wanita dan ternak ke atas bukit karang yang kiranya takkan terjangkau lidah ombak badai, mengangkuti barang-barang kebutuhan ke tempat aman dan terpaksa meninggalkan pondok-pondok dan gubuk-gubuk bersunyi sendiri di tepi pantai menghadapi sebuah badai yang mengganas.
Dengan mata terbelalak para penduduk pantai itu melihat dari atas, di tempat persembunyian mereka, betapa gubuk-gubuk dan pondok-pondok mereka beterbangan dilanda badai, sebagian pula dicabut ombak dan dihempaskan ke batu-batu karang sampai hancur berkeping-keping! Lewat tengah hari setelah badai mereda, enam orang cantrik sibuk mengkumpulkan barang-barang yang masih dapat dipakai, sisa-sisa dari pondok Bayuwismo yang hanyut dan hancur oleh badai. Namun Resi Bhargowo tidak tampak bersama mereka. Pada saat itu, Resi Bhargowo telah berdiri di mulut Gua Siluman, berdiri seperti patung, bersandar pada tongkatnya dan sepasang matanya memandang ke dalam gua tanpa berkedip.
Tiada bekas dari sepasang orang muda itu, tidak ada tanda-tanda bahwa puterinya, Kartikosari dan mantunya, Pujo pernah bertapa di tempat ini. Padahal ia maklum betul bahwa anak dan mantunya itu pasti mematuhi nasehatnya, bertapa di dalam gua ini. Apakah mereka hanyut oleh ombak dalam badai? Ataukah mereka berhasil menyelamatkan diri? Akan tetapi, menurut perhitungannya, ketika badai mulai, anak dan menantunya itu pasti sedang berada dalam keadaan bersamadhi sehingga amat boleh jadi tidak mendengar keributan badai. Kalau demikian halnya, tidak ada jalan lagi untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba tubuh kakek itu menggigil, matanya memandang ke sudut gua, terbelalak, keningnya berkerut-kerut.
"Ya Jagad Dewa Batara. ampunilah kiranya hamba Mu ini dan berilah kekuatan untuk menerima segala akibat karma dengan tenang dan sadar..." Ia memuji sambil meramkan mata.
Tenanglah hatinya ketika ia membuka mata kembali memandang ke sudut. Kemudian perlahan-lahan ia menghampiri sudut gua membungkuk dan mengambil sebuah benda kecil yang menancap pada lantai karang. Sebuah benda kecil mengkilap, yang ia kenal sebagai tusuk sanggul rambut puterinya, terbuat dari pada emas, berbentuk bunga seruni, hiasan rambut buatannya sendiri! Ia menggenggam tusuk sanggul itu, menggenggam erat-erat, menahan rasa nyeri dari hati yang seperti disayat-sayat.
Suara berkelepekan membuat ia membuka kembali matanya yang tadi dipejamkan, menoleh ke sebelah dalam gua. Di bagian karang yang rendah masih tertinggal air laut dan di situlah tampak seekor ikan berkelepekan karena kekurangan air. Agaknya ikan itu terbawa oleh ombak ketika badai mengamuk dilontarkan ke dalam guha bersama ombak dan ketika ombak kembali ke laut, ikan sebesar paha itu tertinggal di situ. Sejenak Resi Bhargowo hanya memandang, ia masih terlalu tenggelam dalam kekhawatiran dan duka memikirkan keadaan puteri dan mantunya, akan tetapi sejenak kemudian kakek itu melangkah ke arah ikan, dipegangnya ikan itu dengan tangan lalu ia melangkah keluar gua.
"Ikan, kubantu engkau pulang ke asalmu. Sekiranya anak mantuku tersesat ke daerahmu, harap kau suka membantu mereka pulang ke darat!"
Kakek itu menggerakkan tangan dan melesatlah ikan itu ke udara, kemudian jatuh ke dalam laut, menyelam dan tidak muncul lagi. Resi Bhargowo menghela napas, sekali lagi memeriksa ke dalam gua yang telah bersih dicuci oleh ombak kemudian pergi meninggalkan gua, pulang ke Sungapan. Setelah bersama enam orang cantriknya membangun kembali pondok Bayuwismo yang runtuh oleh badai, Sang Resi Bhargowo menyuruh para cantriknya untuk pergi mencari anak dan menantunya. Namun usaha itu sia-sia belaka. Para cantrik pulang dengan tangan hampa. Mereka tidak dapat menemukan Kartikosari atau Pujo, bahkan tidak mendengar berita tentang mereka, tidak pula mendengar mayat-mayat mereka terdampar di pinggir laut.
Semenjak itu terjadi perubahan pada diri Resi Bhargowo. Rambut dan jenggotnya tiba-tiba menjadi putih seluruhnya, seputih perak. Setahun kemudian Resi Bhargowo meninggalkan Bayuwismo di Sungapan, meninggalkannya dalam rawatan enam orang cantrik, kemudian mengembara dengan menggunakan julukan baru, yaitu Bhagawan Rukmoseto (Rambut Putih)…..
********************
"Tarrr...! Wessss..., tar-tarrrr...!"
Sinar menyilaukan mata menyambar dan…
"Krakkkk... bruuuukkk...!" pohon sebesar manusia yang tinggi itu tumbang!
Raden Wisangjiwo meramkan matanya penuh kengerian. Ia maklum bahwa sekali cambuk Sarpokenoko di tangan gurunya itu menyentuhnya, tubuhnya akan hangus dan nyawanya takkan tertolong lagi.
"Berlutut engkau!"
Suaranya nyaring namun merdu. Ia amatlah cantiknya dengan rambut yang digelung lebar terhias bunga-bunga segar mawar melati, ujung gelung rambut itu terurai di leher kanan terhias untaian bunga melati. Sedangkan di atas kepala terhias hiasan rambut dari emas bermata intan berbentuk ular kembar memadu kasih. Wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu dihalus putihkan oleh bedak cendana sedangkan rambutnya hitam halus oleh minyak sari bunga. Tubuhnya agak gemuk padat dan dadanya membusung, tertutup kemben sutera berkembang merah dengan dasar ungu, pinggangnya dipaksa agar ramping oleh balutan ikat pinggang berwarna kuning.
Kainnya amat indah buatan tanah Hindu, dan gelang emas menghias kedua pergelangan tangan dan kakinya. Sebuah keris kecil terselip di ikat pinggangnya dan sebuah cambuk yang mengerikan, cambuk berwarna kuning mengkilap yang seakan-akan hidup dan mendatangkan hawa maut yang serem, berada di tangannya. Inilah dia Ni Durgogini, seorang manusia yang terkenal sebagai manusia iblis yang sakti, yang tidak diketahui berapa usia sebenarnya namun agaknya belum ada tigapuluh tahun, cantik dan buas, liar dan ganas, guru Raden Wisangjiwo, ya guru ya kekasih!
Dengan kedua kaki gemetar Raden Wisangjiwo berlutut dan menyembah di depan kaki gurunya. Wanita di depannya ini kadang-kadang jinak dan merupakan seorang kekasih yang bernafsu jalang, memejamkan mata dan mengeluarkan suara seperti seekor kucing manja dalam belaiannya. Akan tetapi kalau sudah datang kemarahannya seperti sekarang ini, ia menjadi ganas dan amat berbahaya, karena membunuh siapa saja merupakan hal lumrah! Karena maklum akan watak gurunya inilah maka Raden Wisangjiwo kini berlutut dengan tubuh gemetar.
"Ampun, Dewi..."
Memang menyimpang dari pada aturan biasa. Raden Wisangjiwo menyebut gurunya "dewi", hal ini untuk memenuhi perintah gurunya yang aneh itu. Agaknya karena sang murid juga menjadi kekasih, maka Ni Durgogini tidak sudi disebut guru dan minta disebut dewi!
"Hemmm, kau tahu akan dosamu?"
"Ampun, sungguh mati saya tidak tahu mengapa datang-datang mendapat amarah Sang Dewi..." Setengah menyanjung Raden Wisangjiwo kemudian berkata. "Kedatangan saya menghadap Dewi adalah untuk mohon pertolongan karena saya sudah bertanding dan melukai murid-murid Resi Bhargowo maka tanpa pertolongan Dewi, nyawa saya dalam bahaya... "
"Tarrr...!"
Raden Wisangjiwo terkejut sekali ketika ujung cambuk meledak di atas kepalanya. Dia diam-diam merasa heran mengapa gurunya semarah ini dan agaknya tidak main-main.
"Nyawamu berada dalam tanganku, bagaimana bias terancam orang lain? Wisangjiwo, dari mana kau selama tiga hari ini?"
Suaranya tetap merdu dan halus, akan tetapi mengandung nada yang tajam mengiris jantung. Mampus aku, pikir Raden Wisangjiwo. Agaknya gurunya maklum akan perbuatannya selama tiga hari bersama Ni Nogogini!
"Saya... saya bertapa di pantai selatan mencari anugerah dewata, bertemu dengan puteri dan mantu Resi Bhargowo dan bertempur. Berkat ilmu pemberian Dewi yang sakti, saya mendapat kemenangan dan..."
"Sebelum itu! Dengan siapa kau di pantai? Dan dari mana kau mendapatkan ajian (ilmu) Tirto Rudiro dengan Kerang Merahnya? Jawab!"
Pucat seketika wajah Raden Wisangjiwo mendengar ini. Yakin sudah kini bahwa gurunya telah tahu kesemuanya dan membohong tidak ada artinya lagi, maka dengan penuh hormat ia menyembah dan menjawab, "Saya tidak akan membohong, Dewi. Mana saya berani menyembunyikan sesuatu dari Sang Dewi yang bijaksana dan waspada? Sesungguhnya, di pantai selatan saya berjumpa dengan yang terhormat bibi guru Ni Nogogini dan beliau berkenan menurunkan Ilmu Tirto Rudiro kepada murid keponakannya."
"Huh! Bibi guru yang terhormat, ya? Siapa tidak mengenal nimas Nogogini? Hayo jawab, mengapa dia menurunkan Tirto Rudiro kepadamu? Jawab!"
"Dewi yang mulia, guru hamba yang sakti, mengapa Dewi bertanya demikian? Bukankah Ni Nogogini adalah bibi guru saya? Apa salahnya seorang bibi guru menurunkan ilmunya kepada seorang murid keponakannya?"
"Cihhh!" Durgogini meludah melalui lidah dan giginya yang putih dengan Sikap menghina. "Tak mungkin dia mengajar ilmu kepadamu tanpa upah! Hayo katakan apa upahnya? Tentu dia mengajak engkau bermain gila, bukan?"
"Tidak...! Tidak, Dewi! Masa beliau mau merendahkan diri untuk bermain-main dengan murid keponakannya..."
"Ahhh! Jadi kalau seorang bibi guru atau seorang guru bermain-main dengan muridnya kauanggap rendah, ya?"
"Eh... ohhh, bukan begitu maksud saya... eh, sama sekali tidak, Dewi Andai kata bibi guru mengajak saya bermain-main, saya pun tidak akan sudi. Dia... eh, dia sudah tua, dan gandanya (baunya)... amis!"
"Hi-hi-hi-hikk! Tentu saja amis karena selalu bermain-main dengan ikan-ikan di laut. Menjijikkan! Wisangjiwo, kau benar-benar tidak berzina dengannya?"
"Tidak, Dewi, sungguh mati..."
"Berani bersumpah?"
"Berani...!"
Ni Durgogini menggerakkan cambuk Sarpokenoko yang melecut-lecut di udara dan terdengar ledakan-ledakan seperti petir menyambar.
"Bangunlah...!"
Lapang sudah dada Raden Wisangjiwo, akan tetapi ia masih cemas menyaksikan cambuk itu melecut-lecut. Ia bangkit berdiri dan memasang senyum semanis-manisnya agar wajahnya yang tampan itu kelihatan makin bagus.
"Syukur dan terima kasih bahwa Dewi tidak marah lagi. Lemah lunglai seluruh tubuh saya kalau Dewi marah-marah..."
"Keluarkan kerang emasmu dan kau serang aku dengan Tirto Rudiro!"
Kembali Raden Wisangjiwo terkejut. "Eh... ini... ini... saya tidak berani... "
"Kau berani rnenbantah? Hemm, kalau tidak lekas-lekas kau lakukan perintahku, pecah kepalamu oleh Sarpo kenoko!"
"Saya... mana berani membantah? Hanya saja... ah, mengapa Dewi agaknya tidak mau mengampuni saya? Kalau memang Dewi kehendaki, akan saya buang saja kerang emas ini..."
"Uhhh, bocah tolol. Aku hanya hendak melihat bagaimana hebatnya Tirto Rudiro dari nini Nogogini, dan sekalian memperlihatkan kepadamu, membuka matamu bahwa percuma saja kau mempelajari ilmu orang lain sedangkan gurumu sendiri merupakan gudang ilmu, hanya engkau yang kurang berbakat dan malas. Hayo serang!"
Mendengar ucapan ini, lega hati Raden Wisangjiwo. Ia mengambil kerang emas, menggenggam di tangan kanannya, lalu maju menyerang gurunya dengan pukulan Tirto Rudiro sambil berkata, "Maafkan saya!"
"Wuuuutttt... dessss...!"
Pukulan ampuh meluncur disambut telapak tangan halus lunak. Akibatnya, tubuh Raden Wisangjiwo terlempar ke belakang, terjengkang dan bergulingan. Pemuda ini merangkak bangun, matanya berkunang, kepalanya pening sehingga ia harus menggoyang-goyang kepalanya sejenak, baru peningnya hilang.
"Hemmm, kau memandang rendah gurumu, ya? Mengapa tidak mempergunakan semua tenagamu? Hayo serang lagi, dengan tenaga penuh."
"Saya tidak berani, mana saya akan kuat menerima tangan Ampak-ampak Dewi yang ampuhnya menggila tanpa tanding?" kata Raden Wisangjiwo.
Pemuda ini maklum bahwa ilmu pukulan telapak tangan gurunya yang bernama Aji Ampak-ampak amatlah berbahaya, salah-salah ia akan mampus konyol. Aji Ampak-ampak berhawa dingin, seperti ampak-ampak, yaitu halimun tebal yang dingin sekali, membekukan segala yang basah, sehingga sekali digunakan untuk memukul lawan, lawan itu akan mati seketika dengan darah membeku. Ilmu ini adalah ilmu keturunan dari perguruan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, merupakan ilmu rahasia yang jarang dikeluarkan kalau tidak perlu sekali.
"Heh-heh, kau kira aku tadi mempergunakan Ampak-ampak? Tolol, kalau aku pergunakan ajian itu, kau sudah mampus sekarang. Jangan takut, hayo pukul lagi dua kali, sekali akan kubuktikan bahwa tanpa menangkis aku akan sanggup memecahkan Tirto Rudiro dan membuat kau tak berdaya, kedua kalinya akan kuterima pukulanmu Tirto Rudiro, dengan tubuhku!"
Hati Raden Wisangjiwo tertarik. Memang gurunya amat sakti dan ia hanya baru mewarisi sedikit bagian saja. Dengan kesempatan ini ia mengharapkan petunjuk dan penambahan ilmu. "Baiklah, Dewi. Harap suka menaruh kasihan kepada saya."
Setelah berkata demikian, ia mengerahkan seluruh tenaga, menggenggam Kerang Merah seeratnya lalu ia menerjang maju mengirim pukulan dengan jurus Tirto Rudiro. Jurus ini ia pelajari hanya dalam waktu tiga hari karena memang hanya terdiri dari sembilan gerakan yang berubah-ubah, karena keampuhannya bukan terletak kepada gerak ketangkasan, melainkan kepada tenaga mukzijat dan perbawanya yang ampuh sehingga sukar dielakkan atau ditangkis oleh lawan yang kurang kuat tenaga dalamnya. Kepalan tangan kanannya menyambar dahsyat ke arah leher gurunya, mengeluarkan angin pukulan bersiutan.
"Wuuuuuttt...!" Ni Durgogini miringkan tubuhnya, cambuk Sarpokenoko berkelebat tanpa suara dan dari samping mengancam pergelangan tangan kanan dengan ujungnya.
Raden Wisangjiwo terkejut, cepat menarik tangan kanannya menyusul dengan jurus pukulan gertakan dengan tangan kiri mengarah lambung, akan tetapi sesungguhnya yang menyerang adalah kepalan kanannya yang melanjutkan penyerangan gerakan kedua, kini menghantam muka. Ketika dielakkan gurunya, dengan gerakan siku memutar, pukulan itu menerjang lagi dari atas menghantam dada.
"Ciuuuuuttt...!"
Cambuk Sarpokenoko menyambar dan tahu-tahu melibat pangkal lengan, terus melibat ke kawah sampai kemata kaki dan sekali membetot, tubuh Wisangjiwo terlempar lagi untuk kedua kalinya, jatuh terbanting dan bergulingan.
Kini ia merangkak bangun sambil mengeluh, duduk dengan kedua mata menjuling karena pandang matanya berkunang-kunang, bumi serasa berputaran dan kepalanya berdenyut-denyut seperti dijadikan tambur, dipukuli dari sebelah dalam. Ia menggoyang-goyang kepalanya akan tetapi matanya tetap juling, baru setelah ia menumbuk dahinya, kedua biji matanya menjadi betul kembali letaknya, namun telinganya mendengar suara terngiang-ngiang di sela suara ketawa gurunya bercekikikan.
"Waduhhhh..., ampun, Dewi..." keluhnya.
"Hayo bangun! Pengecut, kau tak patut menjadi murid Ni Durgogini kalau tidak cepat bangkit kembali. Hayo serang lagi dan kali ini aku tidak akan menangkis, tidak akan mengelak, tidak akan menggunakan cambuk Sarpokenoko!
Mendengar tantangan ini. Raden Wisangjiwo bangkit, kepalanya masih terayun-ayun ke kanan kiri, akan tetapi kepeningannya lenyap karena ia tadi memang hanya terbanting biasa saja dan mengalami babak-bundas (lecet-lecet) dan matang biru, la melihat gurunya berdiri dengan dada dibusungkan, kedua tangan bertolak pinggang, cantik dan menantang. Menerima pukulan Tirto Rudiro dengan tubuh tanpa menangkis atau mengelak? Mana mungkin? Raden Wisangjiwo ragu-ragu. Bagaimana kalau gurunya terluka atau mati oleh pukulannya ini?
"Hayo pukul...! Pukul sekuat tenaga dengan Tirto Rudiro. Awas, kalau kau memukul tidak sepenuh tenaga, aku akan membunuhmu karena menganggap kau memandang rendah kepandaian gurumu. Hayo pukul!"
Raden Wisangjiwo melangkah maju, mengerahkan tenaga, namun ia merasa bimbang ragu. Bagaimana ia tega memukul wanita yang begini cantik dengan sepenuh tenaga? Dia ini gurunya, akan tetapi juga kekasihnya. Wanita inilah yang menggemblengnya menjadi seorang jagoan, jago berkelahi dan jago dalam asmara. Ia tahu bahwa gurunya ini amat cinta kepadanya, buktinya ia telah menerima pelajaran Ilmu Asmoro Kingkin, Ilmu Cambuk Sarpokenoko, ilmu pukulan tangan kosong yang hebat-hebat. Akan tetapi, kalau ia tidak memukul sekuat tenaga, tentu gurunya itu akan membunuhnya.
Hal itu mungkin saja karena memang gurunya berwatak aneh sekali. Setelah mengumpulkan tenaganya, Raden Wisangjiwo berseru keras dan memukul dengan Aji Tirto Rudiro. Akan tetapi ia tidak mau memukul tempat berbahaya, padahal kalau ia memukul lambung atau pusar, apalagi ia mau memukul dada tempat paling lemah dari wanita, tentu akan lebih hebat akibatnya. Ia memang menggunakan seluruh tenaganya, akan tetapi ia memilih tempat yang tidak begitu berbahaya, yaitu di pundak, pangkal lengan kiri gurunya.
"Syuuuuutttt... wesssssss...!"
Alangkah kaget hati Raden Wisangjiwo ketika kepalan tangannya melesak ke dalam kulit daging bahu gurunya, seakan-akan tersedot dan tak dapat ditarik kembalil Dan dari kepalan tangannya itu terdengar bunyi "ssssssssss" seperti api bertemu air, perlahan kepalan tangannya terasa panas terbakar.
"Aduh... aduhh..., ampun Dewi... ampun...!" Ia menjerit-jerit kesakitan.
"Hi-hi-hi-hik! Apa sih hebatnya Tirto Rudiro?" Ni Durgogini memekik keras dan untuk ketiga kalinya tubuh Raden Wisangjiwo terlempar, kini amat keras dan ia roboh menabrak pohon, lalu rebah dengan leher miring dan mata mendelik, lidahnya terjulur keluar, tak dapat berkutik setengah pingsan!
Sambil tertawa cekikikan Ni Durgogini melompat ke depan mendekati Raden Wisangjiwo, dengan jari tangan kirinya ia mengurut pundak dan leher. Pemuda itu mengeluh dan sadar kembali.
"Hemm, Lasmini, kau makin liar dan masih suka mempermainkan orang!"
Ni Durgogini kaget seperti disambar petir mendengar suara ini dan tubuhnya cepat bergerak membalik, cambuk Sarpokenoko digenggam erat. Juga Raden Wisangjiwo sudah bangkit berdiri, memandang laki-laki yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah berdiri di situ. Laki-laki ini berusia empat puluhan tahun lebih, tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan berwibawa. Kepalanya yang berambut nyambel wijen (banyak uban) itu tertutup kain kepala yang ujungnya berdiri meruncing di sebelah belakang. Biarpun ia bertelanjang kaki, namun pakaiannya dan sikapnya membayangkan keagungan seorang bangsawan. Yang amat menarik adalah pancaran pandang matanya yang penuh tenaga batin, tenang lembut dan dalam seperti permukaan air telaga yang dalam.
Raden Wisangjiwo tidak mengenal orang ini, akan tetapi Ni Durgogini kelihatan makin kaget ketika ia melihat siapa orangnya yang mengeluarkan ucapan tadi. Sesaat wajahnya yang cantik itu menjadi pucat, matanya terbelalak memandang laki-laki itu tanpa berkedip dan mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara.
"Lasmini, kau kaget melihatku?" laki-laki itu menegur sambil tersenyum, kumisnya yang tipis bergerak menambah ketampanan wajahnya.
"Kau... rakanda... Narotama...! Mau... mau apakah kau datang ke Girilimut (Bukit Halimun) ini...?"
Narotama tersenyum lebar. "Tidak ada urusan denganmu, nimas, sama sekali tidak ada, hanya kebetulan saja. Bahkan aku sama sekali tidak mengira bahwa Ni Durgogini yang tersohor adalah engkau! Kalau begitu, Ni Nogogini adalah si Mandari. Ah, siapa sangka...! Kebetulan saja aku datang ke sini, terus terang hendak mencari Ni Durgogini karena ada sesuatu hendak kutanyakan, tidak tahunya Ni Durgogini adalah engkau dan aku melihat engkau mempermainkan orang muda ini. Apa dosanya?"
Agaknya lega hati Ni Durgogini mendengar ucapan itu. Ia tersenyum manja dan genit, lalu berkata, "Siapa main-main dengan dia? Dia sedang kuberi latihan ilmu, dia ini muridku. Raden Wisangjiwo putera Adipati Joyowiseso."
Narotama mengangguk-angguk. "Hemm, putera adipati di Selopenangkep? Putera adipati seyogyanya menjadi perajurit, dan untuk menjadi seorang ksatria utama bukan di sini tempat perguruannya. Lasmini, apa sih kebisaan mu, maka engkau berani menjadi guru putera seorang adipati?"
Raden Wisangjiwo mendongkol sekali mendengar ini dan ia terheran-heran melihat gurunya yang biasanya galak itu kini seakan-akan mati kutunya berhadapan dengan orang asing ini. Ia tahu dengan pasti bahwa kalau orang lain yang mengucapkan kalimat itu, tentu sekali bergerak gurunya akan membunuh orang itu yang dianggap menghina. Akan tetapi aneh bin ajaib, terhadap orang ini gurunya hanya tersenyum-senyum malu dan tidak dapat menjawab.
Rasa terheran-heran ini membuat Raden Wisangjiwo menjadi penasaran, maka ia melangkah maju ke depan orang itu dan menghardik, "Paman! Siapa pun adanya engkau ini, tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata memandang rendah guruku. Mungkin kau sahabat baik guruku maka guruku bersabar mendengar penghinaan mu, akan tetapi aku sebagai muridnya tidak dapat membiarkan kekurangajaranmu. Kau hendak melihat pelajaran apa yang diberikan guruku kepadaku? Nah, apakah kau mau bukti dengan mengadu kerasnya tulang tebalnya kulit melawanku? Kalau tidak berani, kau harus menarik kembali ucapanmu yang menghina tadi!"
"Wah, boleh juga muridmu, nimas!"
"Apa kau kira aku suka mengambil murid orang yang tiada gunanya?"
"Namamu Raden Wisangjiwo, orang muda? Keberanianmu cukup, semangat dan kesetiaanmu lumayan, sayang kau terlalu menghambur tenaga dan hawa murni yang seharusnya dihimpun. Boleh... boleh... mari kita main-main sebentar. Dan kau boleh menggunakan cambukmu itu. Mari!"
Sedetik wajah Raden Wisangjiwo menjadi merah sekali. Ucapan ini menusuk jantungnya karena memang tepat sekali. Ia pun maklum bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu dan membuang tenaga serta hawa murni yang seharusnya dia himpun dengan perbuatannya yang tak dapat ia cegah, yaitu menjadi barang permainan gurunya sendiri, bahkan akhir-akhir ini bibi gurunya pun mempermainkannya.....