Pujo tidak mempedulikannya lagi, melainkan cepat-cepat menghampiri istrinya. Sekarang Kartikosari sudah siuman, akan tetapi wanita ini merasa betapa isi dadanya panas seperti terbakar, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya sakit-sakit. Maka ia telah duduk bersila, tidak berani membagi perhatian ke luar, melainkan mengeraskannya ke dalam agar dapat mengumpulkan hawa murni dan menghalau hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya.
Melihat keadaan isterinya, Pujo kaget bukan main. Begitu memegang pergelangan tangan isterinya dan memandang wajahnya dalam keadaan remang-remang itu, maklumlah ia apa yang terjadi. Isterinya terserang pukulan berbisa dan perlu segera ditolong. Keadaan isteri terkasih inilah yang membuat Pujo terlengah.
Ia lalu duduk bersila di depan Kartikosari, menempelkan telapak kedua tangannya kepada telapak tangan isterinya, kemudian ia mengumpulkan daya cipta dan mengerahkan ajinya sehingga hawa sakti dari dalam tubuhnya mengalir seperti air bah melalui telapak tangan mereka, masuk ke dalam tubuh isterinya dan merupakan tenaga maha kuat membantu isterinya menghalau pergi hawa beracun.
Pujo memang terlalu baik hati. Kalau saja dia tadi tidak menaruh kasihan kepada Raden Wisangjiwo sehingga dalam pukulannya dia mengerahkan seluruh tenaganya, tentu lawan itu telah tewas. Kalau saja ia tidak terlalu percaya bahwa lawannya itu tentu malu untuk melakukan penyerangan gelap, tentu dia tidak akan selengah itu, atau kalau saja ia tidak terlalu khawatir akan keadaan isterinya yang tercinta, tentu ia akan berlaku hati-hati.
Tetapi setiap kejadian di dunia ini memang sudah teratur terlebih dahulu oleh kekuasaan yang melebihi segala kekuasaan di dunia. Ada saja sebabnya sehingga terjadilah hal yang semestinya terjadi.
Pujo yang sedang tekun mengerahkan tenaga dalam itu, sama sekali tidak tahu bahwa Raden Wisangjiwo berindap-indap menghampirinya dari belakang, menggenggam Kerang Merah lalu menggerakkan tangan kanan menghantam punggungnya!
"Dessss...!"
Hebat pukulan ini. Biarpun Raden Wisangjiwo sudah terluka, namun ilmu pukulan Tirto Rudiro ini memang hebat. Seketika tubuh Pujo terguling dan menggigil kedinginan, juga Kartikosari terserang pula, namun tidak sehebat suaminya. Wanita ini terguling dan pingsan kembali. Pujo berusaha bangun, akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terlempar ke sudut gua.
"Huah-ha-ha-hah! Pujo, kau mau bisa apakah sekarang? Aku tidak akan membunuhmu, biarlah kau saksikan betapa isterimu menjadi milikku malam ini. Huah-ha-ha-hah!"
Seperti seorang mabok atau gila, Raden Wisangjiwo menghampiri tubuh Kartikosari yang menggeletak miring dalam keadaan tak sadar. Memang putera adipati itu mabok, mabok oleh nafsunya sendiri. Dan memang ia gila, karena orang yang mabok oleh nafsunya sendiri, yang diperhamba nafsu, tiada ubahnya seorang gila yang hilang akan kesadarannya sebagai manusia. Bahagialah dia yang dapat menguasai nafsunya, sebaliknya celakalah mereka yang menjadi hamba dari pada nafsunya sendiri!
Biarpun keadaan sudah remang-remang, namun masih tampak jelas tubuh berbentuk indah tergolek di depannya. Dengan kasar Raden Wisangjiwo menggunakan kakinya menggerakkan tubuh Kartikosari sehingga terlentang. Sebagian rambutnya yang panjang terurai itu menutupi muka dan leher yang putih menguning. Dalam pertandingan tadi kainnya mengendur ikatannya sehingga agak melorot dan membayangkan keindahan dadanya. Raden Wisangjiwo menelan ludah, lalu tertawa dan kedua tangannya menjangkau.
Tiba-tiba ia tersentak kaget dan melangkah mundur, keningnya berkerut. Ketika tangannya menjangkau hendak menjamah, terasa olehnya Kerang Merah tergenggam ditangan kanannya tadi ia menggunakan Kerang Merah untuk memukul Pujo dengan Aji Tirto Rudiro. Kerang Merah inilah yang mengingatkan dia. Bibi gurunya berpesan agar ia memperdalam ilmu sakti Tirto Rudiro, akan tetapi ia harus berpantang, tidak boleh mendekati wanita selama dua puluh satu hari! Dan baru sehari saja kini ia akan melanggar pantangan.
Jantungnya berdebar dan seluruh tubuhnya terasa dingin. Untung ia teringat. Ilmunya harus diperdalam, apalagi setelah ada permusuhan ini. Resi Bhargowo tak boleh dibuat main-main. Ia menoleh dan melihat betapa Pujo masih menggeletak tak bergerak. Siapa tahu Pujo tewas karena pukulannya tadi. Tentu Resi Bhargowo takkan tinggal diam. Ia bergidik mengingat hal ini. Baru muridnya saja, Pujo sudah sedemikian saktinya, apa lagi gurunya!
Rasa takut menggerogoti hati Raden Wisangjiwo, membuat nafsu berahinya lenyap dan sirna seketika. Ia menghampiri Pujo yang tak bergerak-gerak, lalu meludah dan tertawa bergelak sambil melompat keluar dari dalam gua. Ia harus cepat-cepat pergi mendapatkan gurunya, Ni Durgogini untuk menceritakan kejadian ini agar gurunya dapat membelanya apabila Resi Bhargowo mencarinya dan membalas.
Suara ketawanya masih terdengar bergema, makin lama makin lemah, ketika Raden Wisangjiwo berlompat-lompatan naik meninggalkan pantai selatan yang menyeramkan ini, naik melalui jalan yang sukar itu menuju ke atas tebing. Pujo membuka matanya. Gua mulai gelap. Ia cepat bangkit duduk karena teringat kepada isterinya. Ketika ia memandang, hampir ia pingsan kembali. Isterinya sedang meronta-ronta, menggunakan tangan kaki menolak seorang laki-laki yang hendak memeluknya, memperdengarkan sedu sedan dan isak tangis.
"Raden Wisangjiwo, lepaskan dia...!"
Pujo melompat bangun dan meringis karena rasa nyeri menusuk jantungnya, dan tubuhnya tiba-tiba menggigil kedinginan. Orang itu kaget dan melepaskan Kartikosari. Wanita ini sebetulnya adalah seorang wanita sakti yang tidak akan mudah begitu saja dipermainkan orang. Akan tetapi ia masih setengah lumpuh oleh daya pukulan Tirto Rudiro sehingga tenaga saktinya untuk sementara lenyap dan ia mengadakan perlawanan dengan tenaga seorang wanita biasa.
Sambil memaksakan diri Pujo sudah bangkit dan terhuyung-huyung menerjang orang yang disangkanya Raden Wisangjiwo itu, namun dengan gerakan sigap sekali orang itu mengelak ke samping sambil mengayun kaki. Tanpa dapat dicegah lagi Pujo kena tertendang dadanya dan tubuhnya terlempar kembali ke sudut gua. Tendangan orang itu antep sekali dan rasanya dadanya seperti akan melesak, napasnya sesak. Pujo hendak bergerak bangun, akan tetapi sia-sia. Tenaganya habis dan seluruh tubuhnya sakit-sakit, matanya berkunang-kunang, kepalanya pening dan ia hampir pingsan.
Hanya jerit isterinya yang menyeretnya ke alam kesadaran, yang membuat ia terpaksa membuka matanya menembus cuaca remang-remang, la melihat betapa isterinya meronta-ronta, kemudian terdengar kain terobek disusul lengking isterinya yang seakan-akan mencabut jantungnya. Pujo mengerahkan tenaga melompat bangun, akan tetapi hal ini membuat ia menyemburkan darah hidup dan roboh kembali, pingsan. Suara terakhir yang didengarnya hanyalah lengking mengerikan di tengah-tengah suara ketawa iblis!
Siapakah sesungguhnya manusia iblis yang disangka Raden Wisangjiwo oleh Pujo dan Kartikosari itu? Bagaimana ia bisa tiba secara kebetulan pada saat Pujo dan isterinya terluka dan tak berdaya?. Dia juga seorang pemuda yang tampan, seorang pemuda perkasa yang biasanya dianggap sebagai seorang pendekar gemblengan. Sesungguhnya dia bukanlah orang asing, bahkan ada hubungan seperguruan yang dekat dengan Pujo dan Kartikosari, karena dia inilah Jokowanengpati, seorang di antara murid-murid terpandai dari Empu Bharodo di Mataram!
Empu Bharodo adalah seorang pendeta yang amat terkenal di Mataram, bahkan dihormati oleh Raja Airlangga sendiri yang menganggapnya sebagai seorang pertapa sakti mandraguna yang sukar dicari tandingnya. Sebagai murid seorang pertapa sakti seperti Empu Bharodo, sudah tentu saja Jokowanengpati amatlah tangguh. Adapun Empu Bharodo adalah terhitung kakak seperguruan atau kakak angkat dari Resi Bhargowo, maka sesungguhnya di antara Jokowanengpati dan suami isteri di Guha Siluman itu masih terdapat pertalian atau hubungan seperguruan atau sealiran. Agaknya hubungan dengan Empu Bharodo yang membantu Mataram inilah yang membuat Resi Bhargowo melarang anak dan muridnya membantu perjuangan menentang Mataram setahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu, pernah Empu Bharodo mengusulkan perjodohan dengan keponakannya, Kartikosari dengan Jokowanengpati, akan tetapi usul itu ditolak oleh Resi Bhargowo yang sudah waspada akan isi hati anaknya yang jatuh cinta kepada murid tunggalnya sendiri, Pujo. Penolakan ini bagi Empu Bharodo bukan apa-apa dan sudah sewajarnya, namun tidak demikianlah bagi Jokowanengpati.
Diam-diam ia sudah tergila-gila kepada Kartikosari yang denok ayu, sehingga membuat ia gandrung-gandrung rindu dendam mabok kepayang. Agaknya sudah menjadi kehendak Dewata bahwa inilah yang menjadi lantaran runtuhnya pertahanan batin Jokowanengpati, ataukah memang pada dasarnya pemuda ini tidak memiliki batin yang kuat. Kalau tadinya ia merupakan seorang ksatria utama pembela kebenaran dan keadilan, seorang murid yang disayang gurunya karena selalu mengutamakan kebajikan.
Setelah kegagalan perjodohan itu, Jokowanengpati melampiaskan nafsu dan kekecewaannya kepada dara-dara di luar kota raja! Ia menculik, mempermainkan dan memperkosa gadis-gadis, bahkan isteri orang yang muda dan cantik, asal yang menggerakkan seleranya tentu akan ia culik, mengandalkan kepandaiannya! Makin la turuti, makin menggelora iblis menguasai dirinya, makin menghebat nafsunya sehingga akhirnya ia dicari oleh Empu Bharodo untuk disuruh mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang keji.
Namun Jokowanengpati melarikan diri, merantau ke barat dan terkenallah ia sebagai seorang tampan, sakti dan cabul. Betapa pun juga, Jokowanengpati tidak melupakan bahwa ia harus selalu menggembleng diri dan memupuk kepandaiannya, karena kalau tidak, tentu ia kelak akan celaka, apalagi kalau sampai bertemu dengan gurunya.
Inilah sebabnya maka Jokowanengpati pergi ke Gua Siluman untuk bertapa, karena daerah pantai Laut Selatan ini memang terkenal sebagai daerah yang baik sekali untuk bertapa dan mencari pusaka bagi para ahli tapa dan pendekar. Sudah dua hari dua malam Jokowanengpati bertapa di sebelah dalam Gua Siluman, di sudut sebelah dalam yang amat gelap, bertapa sambil duduk bersila di atas batu karang yang menonjol setinggi satu meter berbentuk runcing. Ia telah mewarisi Ilmu Bayu Sakti dari gurunya, maka ia sanggup bertapa di atas batu karang yang meruncing itu selama dua hari dua malam.
Pada senja itu ketika Pujo dan Kartikosari memasuki gua, Jokowanengpati sesungguhnya sudah berada di sebelah dalam gua! Ia kaget sekali, mula-mula mengira bahwa kedatangan dua orang yang dikenalnya itu merupakan utusan gurunya untuk menangkapnya. Betapa lega hatinya mendengar percakapan suami isteri itu yang sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya dan ia terbelalak dengan jantung berdebar-debar melihat suami isteri itu menanggalkan seluruh pakaian.
Karena suami isteri itu berada di mulut gua dan dia berada di sebelah dalam gua yang amat gelap, tentu saja semua perbuatan mereka itu dapat ia lihat dengan jelas sekali. Maka ia dapat menyaksikan semua gerak-gerik Kartikosari yang dahulu membuat ia mabok kepayang. Kini melihat wanita yang pernah dicintainya secara diam-diam itu menanggalkan pakaian dan duduk bersila bertelanjang bulat, Jokowanengpati hampir tak kuat menahan gelora hatinya. Jantungnya meloncat-loncat serasa hendak copot, matanya melotot dan berkali-kali ia menelan ludah.
Namun ia cukup mengerti bahwa suami isteri itu adalah murid-murid paman gurunya, Resi Bhargowo yang sakti mandraguna. Tidak berani dia berlaku lancang menurutkan nafsu hatinya. Maka ia pun hanya dapat menubruk, mendekap dan membelai-belai Kartikosari dalam benaknya yang kotor saja.
Kemudian muncullah Raden Wisangjiwo yang menyebabkan terlupanya Pujo dan isterinya karena kecurangannya. Jika ia mau, tentu saja Jokowanengpati dapat membantu mereka. Akan tetapi Jokowanengpati sekarang bukanlah murid Empu Bharodo yang dulu. Melihat perbuatan Wisangjiwo itu, ia malah menyeringai kegirangan. Ia hanya bersiap memberi hajaran kepada Raden Wisangjiwo kalau pemuda bangsawan ini mengganggu Kartikosari.
Namun akhirnya Raden Wisangjiwo yang juga sudah terluka, mengurungkan niatnya mengganggu dan pergi meninggalkan gua, meninggalkan Pujo dan Kartikosari yang sudah terluka hebat dan setengah pingsan.
Manusia adalah makhluk yang paling lemah di antara segala makhluk sehingga mudah terombang-ambing di antara kebaikan dan kejahatan. Sekali hati ini dikuasai nafsu, apa saja akan dilakukannya demi pemuasan nafsu hati. Hati nurani tertutup tabir dari asap hitam yang timbul dari nafsu, segala pertimbangannya patah dan satu-satunya hasrat hanya pelaksanaan dan pemuasan nafsu yang telah menguasai dirinya.
Demikian pula halnya dengan Jokowanengpati. Sejak kemarin ia memang telah tenggelam dalam nafsu berahi, namun karena tiada kesempatan, ia masih menahan diri karena pertimbangan keselamatannya. Kini, begitu melihat kesempatan terbuka, gejolak nafsunya tak dapat ia tahan lagi. Tak mungkin ia dapat menyia-nyiakan kesempatan yang demikian baiknya. Di dalam gua sudah gelap, mereka takkan dapat mengenalnya lagi dan dia pun muda serta tampan seperti Raden Wisangjiwo. Demikianlah, tanpa membuka mulut mengeluarkan suara, Jokowanengpati menjadi iblis menerkam Kartikosari.
Pujo bermimpi. Serasa ia hanyut, diseret dan dipermainkan ombak laut yang bergelora, diangkat tinggi, dibanting dan diangkat kembali. Betapa pun ia berusaha untuk berenang ke pantai, ombak selalu menyeretnya kembali ke tengah. Dinginnya bukan main ketika ia dipermainkan ombak, serasa ditusuk-tusuk tulang sungsum, membeku jantungnya dan kaku-kaku seluruh tubuhnya. Hampir tak tertahankan lagi rasa sakit-sakit, hampir ia menangis dan menjerit-jerit kesakitan kalau saja ia tidak teringat bahwa hal demikian bukanlah laku seorang gagah. Lebih baik mati saja. Ia sudah menyerahkan diri, tidak mau lagi melawan ombak mendahsyat, menyerahkan diri dan pasrah kepada kehendak Dewata, menanti datangnya Sang Batara Kala mencaplok tubuhnya dan Sang Batara Yamadipati menjemput nyawanya.
Tiba-tiba ia mendengar suara memanggil, "Kakangmas Pujo..." Seruan memanggil yang terdengar jauh sekali, akan tetapi berulang-ulang dan makin lama makin jelas.
Suara Kartikosari! Suara isterinya yang tercinta! Suara yang seakan-akan mengembalikan semangatnya, mendatangkan tenaga mujijat ke dalam tubuhnya yang sudah lemah dan kaku. Ia mengerahkan tenaganya dan mulai melawan ombak lagi, berenang ke pantai. Suara itu makin jelas, bahkan kini bercampur dengan isak tangis.
"Duhai kangmas Pujo... dosa apakah yang kita perbuat... sehingga kita mengalami semua ini...?" Suara isterinya terputus-putus oleh sedu sedan.
Isterinya! Kartikosari di dekatnya! Lenyaplah semua ombak, dan kesadaran kembali memasuki benaknya. Di dalam guha, diserang Raden Wisangjiwo, bertempur, terluka dan... dan... isterinya meronta-ronta dalam pelukan Raden Wisangjiwo... terdengar kain terobek dan lengking isterinya mengerikan! Pujo mengerutkan kening, tak berani membuka matanya. Terlampau buruk mimpi itu. Mimpi? Punggungnya masih terasa sakit dan dingin, bekas pukulan berbisa lawan. Dadanya juga masih terasa sakit, bekas tendangan kaki lawan. Mimpi? Bukan mimpi! Kenyataan! Dan Kartikosari?
"...kakangmas... mengapa kau diam saja...? Apakah kau sudah mati, kangmas...? Kalau kau mati, aku pun ikut...,aduhhh, memang lebih baik kita mati..."
Tangis Kartikosari makin menjadi, terisak-isak dan tersedu-sedu, air matanya menjatuhi muka Pujo, rambutnya yang terurai menyapu-nyapu dada dan leher. Pujo membuka mata. Air mata isterinya amat panas menyentuh pipi dan dahinya. Silau matanya karena ternyata sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam gua.
"Kakangmas Pujo..." Ia bangun duduk. Mereka berpandangan. Pujo menjelajahi tubuh isterinya dengan pandang matanya. Rambut yang hitam panjang terurai itu kusut, amat hitam membuat wajah berbentuk mendaun sirih itu makin pucat tampaknya, wajah cantik pucat yang basah oleh air mata yang masih bertetesan turun tiada hentinya, hidung yang berkembang-kempis oleh tangis, bibir yang bergerak-gerak, merah sekali karena di ujungnya berdarah. Pandang matanya menurun. Dada yang bergerak menggelombang, agak terengah-engah oleh tangis pula, dada membusung yang hampir tak tertutup kain. Kain robek! Kain itu telah robek lebar sekali dan kini dibalutkan sedapatnya untuk menutupi tubuh. Teringatlah Pujo. Terbayang semua olehnya. Kain robek menutup tubuh yang tidak bersih lagi!
"Kakangmas Pujo...!" Kartikosari menjerit cemas. "Kau... kau kenapa...? Jangan pandang aku seperti itu, kangmas..., jangan...!"
Kartikosari menjerit dan menangis sambil merangkul suaminya. Akan tetapi Pujo menangkis dan mendorong tubuh isterinya. Kartikosari terjengkang, lalu merayap bangun dan memandang suaminya dengan sepasang mata terbelalak, dihias air mata yang menetes-netes turun. Ia menjangkau kembali, hendak menyentuh pundak suaminya.
"Jangan kau sentuh aku!" Tiba-tiba Pujo membentak, suaranya parau setengah terisak, wajahnya pucat dan matanya terbelalak setengah melotot.
"Kangmas..."
"...kau..., kau sudah... ternoda olehnya...?" Ucapan ini setengah menuduh setengah bertanya, mengandung harap-harap cemas.
Kartikosari menatap wajah suaminya beberapa saat, matanya penuh mengandung sesal, ujung hidung yang mancung itu bergerak-gerak, bibirnya berkomat-kamit tanpa dapat mengeluarkan kata-kata, air matanya bercucuran seperti air hujan. Tiba-tiba ia menjerit dan menutup muka dengan kedua tangannya, menangis terisak-isak, pundaknya bergerak-gerak, tangis yang amat memilukan hati, akan tetapi bagi Pujo merupakan tanda bahwa dugaannya tepat, bahwa harapannya hancur. Ia mengepal tinju dan memukuli lantai gua tanpa disadarinya sehingga kedua tangannya sampai lecet-lecet dan berdarah. Tanpa pengerahan tenaga sakti, tangannya adalah tangan manusia biasa.
"... kangmas Pujo... ahhh, kangmas... aku... aku tak berdaya... aku... aku terluka... kehilangan tenaga dan dia... dia kuat sekali..." Akhirnya Kartikosari dapat berkata, menurunkan kedua tangannya. Mukanya makin pucat dan tubuhnya menggigil ketika ia mendekat hendak merangkul suaminya.
"Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang kotor dan hina!" Pujo membentak. "Jangan seret aku ke dalam lumpur kehinaan!"
Bentakan dan makian ini seakan-akan merupakan tamparan pada muka Kartikosari, membuatnya tersentak kaget dan mundur. Matanya terbelalak seperti mata kelinci ketakutan bertemu harimau.
"Kangmas... Kenapa kau sesalkan aku...? Kenapa kau mencaci-maki aku...? Kau tahu, aku tak berdaya, aku terpaksa... ahhh... kangmas... mengapa kau memandangku seperti itu? Kau tahu, malapetaka itu bukan salahku... aku tidak berdaya..."
"Kenapa kau tidak bunuh diri? Huh, agaknya kau mengalami kesenangan dengan dia, ya? Perempuan hina...!"
"Kangmas... ohhh... kangmas Pujo... tega benar kau mencaciku seperti itu... aduh, kangmas..." Sukar sekali Kartikosari bicara karena isak tangisnya merampas semua kata, membuat napasnya sesak dan ia roboh pingsan!
Pujo tetap duduk bersila, wajahnya yang pucat itu mengeras, keningnya berkerut, matanya berapi-api, dadanya turun naik. Matanya menatap tubuh isterinya yang tergolek di depan kakinya, tubuh yang hampir telanjang. Keindahan bentuk tubuh Isterinya yang tersinar matahari pagi itu kini tidak lagi mendatangkan rasa berahi dan bangga, malah merupakan tusukan yang membuat hatinya terasa perih sekali. Tubuh yang sudah dijamah orang lain! Kotor, penuh aib dan noda! Ia membuang muka ketika tubuh itu bergerak-gerak kembali.
Kartikosari siuman sambil terisak, kemudian merangkak bangun dan muka yang pucat itu menengadah, mencari-cari pandang mata suaminya, mencari-cari sinar mata penuh kasih yang biasa memancar dari mata suaminya.
"Kakangmas Pujo , aku bersembah sujud di depan kakimu, kangmas..., harap kangmas sadar kembali. Benar aku telah ternoda orang, akan tetapi... kau maklum bahwa hal itu terjadi di luar kemauanku. Aku tidak berdaya..."
"Cukup! Kau tadi bilang lebih baik mati. Itu benar sekali. Kenapa tidak lekas-lekas mati, mau tunggu apa lagi?"
"Kakangmas Pujo! Benarkah yang bicara ini kakangmas Pujo, suamiku yang amat mencintaiku, yang bijaksana dan luas pandangan? Kangmas..."
"Cukup. Lebih baik kau mampus!" Pujo membentak.
Kartikosari bangkit berdiri. Air matanya berhenti mengucur, namun pandang matanya seperti lampu kehabisan minyak. "Kangmas Pujo, memang aku lebih senang mati, akan tetapi bersamamu. Percayalah, andai kata kau tewas, aku pasti akan menyusulmu. Kakangmas Pujo suamiku, sekali lagi aku peringatkan bahwa apa pun yang terjadi, aku tetap isterimu yang setia dan mencintamu. Sadarlah bahwa apa yang terjadi adalah di luar kemauanku..., ingatlah akan cinta kasihmu, kakangmas. Seperti samudera, seperti kuku hitam, seperti ujung rambut? Kangmas, ingatlah..."
Bergerak-gerak bibir Pujo dan hampir saja air matanya runtuh. Hatinya terharu sekali, lebih-lebih mendengar kini isterinya terisak-isak sedih. Ia hendak bicara, akan tetapi kerongkongannya tersumbat. Akhirnya ia membentak, "Cukup!, Aku tidak mau dekat lagi denganmu! Kau kotor, ternoda, penghinaan yang takkan dapat tercuci bersih biar dengan maut sekali pun. Aku... aku benci kepadamu!"
"Aduh, kakangmas..." Tubuh Kartikosari lemas dan roboh lagi terguling, berlutut di depan kaki Pujo. "Kau ampunkan aku, kakangmas... jangan putuskan cinta kasih kita..."
"Hemm, perempuan rendah, kau masih berpura-pura lagi? Lebih baik kau lekas pergi menyusul Raden Wisangjiwo dan ikut padanya, kan lebih senang jadi selirnya, atau jadi pelayannya, dia tampan dan kaya raya, putera bangsawan pula. Pada lahirnya saja kau pura-pura menyesal, sebenarnya dalam batin kau amat senang kepadanya. Huh, hina dina!"
Seakan-akan ditusuk keris berkarat rasa hati Kartikosari. Betapa pun besar cinta kasihnya kepada Pujo, namun ia adalah puteri tunggal Resi Bhargowo. Tiba-tiba ia meloncat bangun dan berdiri,sikapnya agung, matanya memancarkan sinar berapi. Dengan tenang ia membereskan pakaiannya, membalut ketat dan erat-erat, lalu ia berkata, suaranya berbeda sekali dengan tadi, kini tenang, berwibawa, dan penuh rasa penasaran.
"Kangmas Pujo! Kau melampaui batas, Agaknya iblis yang menguasai hati jahanam Wisangjiwo, tertinggal di sini dan kini menguasai hatimu dalam bentuk lain. Kau cemburu dan iri hati. Kau tidak mau melihat kenyataan dan sekarang aku berani menyatakan bahwa kau sebenarnya pengecut. Kau diperhamba nafsu sendiri sehingga buta melihat kenyataan. Kau seorang yang terlalu sayang, terlalu memanjakan diri sendiri sehingga tidak melihat keadaan lain orang. Kau buta sehingga tidak melihat betapa malapetaka ini membuat aku jauh lebih menderita lahir batin dari pada engkau! Demikian pengecut engkau, demikian mementingkan diri sendiri sehingga kau bukannya menaruh kasihan kepada isterimu, malah kau mencaci-makinya dengan fitnah-fitnah keji. Bukannya kau mencari daya membalas dendam kepada orang yang telah menghina kita, sebaliknya kau malah secara keji menyiksa hatiku. Ini semua membuktikan bahwa cintamu adalah cinta jasmani belaka, cinta yang berdasarkan nafsu berahi semata. Karena cintamu dangkal dan hanya tubuhku yang kau cinta, maka kau kecewa melihat tubuhku dinodai orang lain, padahal kau maklum seyakinnya bahwa batinku sama sekali tidak ternoda, bahwa cintaku sama sekali tidak pernah goyah. Kangmas Pujo, kau picik dan buta. Kau menghina dan menyakiti hatiku. Karena aku cinta kepadamu, maka rasanya hatiku lebih sakit lagi, lebih sakit dari pada perbuatan si jahanam Wisangjiwo kepadaku. Alangkah inginku membunuhmu di saat ini, lalu membunuh diri sendiri. Akan tetapi aku harus hidup, aku harus membalas semua penghinaan ini. Dan aku... aku tetap mencintaimu sampai akhir hidupku. Kangmas Pujo..., suamiku..., kekasihku..., selamat tinggal...!"
Kartikosari terisak-isak, lalu berjalan keluar dari gua. Akan tetapi setibanya di sudut gua, di mana semalam ia rebah, ia melihat sesuatu. Sejenak ia tertegun, lalu dipungutnya sepotong jari kelingking, digenggamnya erat-erat, kemudian ia melompat keluar sambil menangis terisak-isak.
Pujo masih bersila tak bergerak seperti patung. Semua ucapan Kartikosari menghunjam di jantungnya. Tepat dan cocok, demikian bisik kesadaran batinnya. Namun nafsu hati mencibirkan bibirnya. Mengenang dan membayangkan betapa tubuh isteri yang menjadi miliknya seumur hidup itu dijamah orang, dipermainkan dan dibelai, otak dan hatinya panas sekali dan ia sanggup membenci segala apa di dunia ini, termasuk dirinya sendiri. Dendam kepada Raden Wisangjiwo! Ya, benar! Itulah tujuan hidupnya kini. Membalas dendam yang hebat ini, sehebat Badai Laut Selatan. Masih terdengar olehnya isak tangis Kartikosari yang meninggalkan gua dan terdengar suara isterinya, "Dendam sedalam Laut Selatan! Tunggu saja kau, jahanam, tunggu kau datangnya pembalasanku. Akan kupicis (kerat-kerat) mukamu, akan kuhisap darahmu, kukeluarkan dan ganyang jantungmu, kukeluarkan isi perutmu dan kujadikan umpan burung gagak dan ikan hiu. Tunggu saja kau... hi-hi-hi-hik!"
Pujo terlompat kaget dan bulu tengkuknya meremang.
"Kartikosari... mengapa... mengapa engkau?"
Demikian bisik hatinya. Belum pernah ia mendengar isterinya tertawa seperti itu. Sayang, sayang rasa cemburu telah meracuni hati nuraninya. Kalau saja ia menyusul isterinya dan merangkulnya, menghiburnya, mungkin belum terlambat. Akan tetapi sayang, Pujo melompat keluar dari Gua Siluman bukan untuk mengejar isterinya, melainkan untuk lari ke jurusan yang berlawanan, isterinya ke kiri dia ke kanan, lalu melompat-lompat menahan rasa nyeri akibat luka-lukanya meninggalkan Gua Siluman.
Ajaib... Pagi hari yang tadi cerah itu tiba-tiba menjadi gelap. Badai yang sudah diramalkan oleh sibuknya burung-burung walet meninggalkan gua-gua semalam, tiba-tiba muncul. Angin bertiup, air bergelombang, makin lama makin menghebat, cuaca di permukaan laut menjadi gelap, suara angin bersiutan disambut suara gelegar ombak menghantam batu-batu karang. Makin lama makin tinggi, makin lama makin besar. Mula-mula ujung ombak yang memukul batu karang di bawah Gua Siluman hanya muncrat ke atas, percikan air membasahi mulut gua. Akan tetapi makin lama badai mengamuk makin hebat, ombak makin tinggi sehingga ombak raksasa melontarkan air masuk ke dalam gua. Air menyerbu masuk dan keluar lagi mengalir seperti air bah.
Semua yang berada di dalam gua dihanyutkan keluar, seakan-akan Laut Selatan hendak mencuci Gua Siluman dari pada noda-noda semalam. Sayang! Bekas-bekas noda dapat dicuci, akan tetapi goresan luka di hati tak mungkin dapat disembuhkan. Peristiwa semalam di dalam Gua Siluman disusul badai Laut Selatan yang amat hebat, yang menumbangkan banyak pohon, menggetarkan gunung-gunung, menggugurkan banyak batu-batu karang besar menutup gua-gua lama membentuk gua-gua baru.
Agaknya badai Laut Selatan ini telah memberi peringatan bahwa peristiwa malam jahanan itu akan menimbulkan hal-hal hebat seperti badai mengamuk!. Badai di Laut Selatan ditimpali hujan ribut di atas bukit pantai, yaitu bukit atau Pegunungan Seribu. Kilat menyambar-nyambar, seakan-akan para dewata marah-marah kepada seorang pemuda yang menyelinap di antara pohon-pohon kemloko yang buahnya jatuh berhamburan.
Pemuda ini menyumpah-nyumpah karena pakaiannya basah kuyup dan lebih sering menyumpah ketika tangan kirinya terasa perih oleh air hujan. Ia berteduh di bawah sebatang pohon randu alas, menghapus mukanya yang penuh air dan peluh, lalu memandang tangan kirinya. Jari tangan kirinya tinggal empat buah. Ketika ia hendak meninggalkan gua menjelang fajar, ketika tangan kirinya membelai muka yang halus cantik, wanita yang tadinya lemas tak berdaya itu pada saat terakhir seakan-akan dapat menghimpun tenaga, menjadi liar dan jari tangannya yang membelai bibir dengan cubitan, telah digigit. Kelingkingnya putus oleh gigitan itu!
"Iblis betina...!"
Ia menyumpah-nyumpah sambil melanjutkan perjalanan, berlari-lari menuruni lereng, mulutnya sebentar tersenyum sebentar menyeringai ketakutan. Ia tersenyum kalau teringat akan wanita bekas kekasihnya itu, akan tetapi Jokowanengpati, pemuda ini menyeringai khawatir kalau ia mengingat betapa ia menghadapi bahaya kalau Kartikosari atau Pujo mengenalnya. Akan tetapi semalam itu amat gelap di gua, dan tak pernah ia mengeluarkan kata-kata, tak mungkin Pujo atau Kartikosari sekali pun, dapat mengenalnya.
Sementara itu di sepanjang pantai sebelah timur Gua Siluman, yang penuh batu-batu karang, Kartikosari berlari-lari sambil menangis menjerit-jerit, kadang-kadang tertawa bergelak-gelak. Wanita ini berlari dengan pakaian tidak karuan, rambut riap-riapan sampai ke pinggang. Angin badai mengamuk ia tidak peduli. Berkali-kali ombak besar datang sampai di batu karang di mana ia berloncatan, seakan-akan ia ditelan ombak berikut batu karang. Namun setelah ombak kembali ke tengah, ia masih saja kelihatan berloncatan dengan pakaian, tubuh, dan rambut basah kuyup.
"Kakangmas Pujo... aduh, kangmas... kau tega benar kepadaku...! Awas kau Wisangjiwo, kuhancur lumatkan kepalamu, hi-hi-hi-hik, ha-hah!"
Badai masih mengamuk hebat ketika Kartikosari tiba jauh di timur sampai di daerah yang disebut Karang Racuk. Ia berhenti di sana karena pantai telah terputus oleh sebuah teluk, yaitu Teluk Baron. Namun hanya sebentar saja Kartikosari termenung, kemudian dengan nekat ia meloncat ke bawah, ke air laut yang bergolak naik diamuk badai. Air mengganas, badai membuat laut bergelombang sebesar anak bukit, demikian besar dan dahsyatnya Laut Selatan sehingga tubuh Kartikosari yang mencebur itu kelihatannya hanya seperti sebuah titik hitam yang segera lenyap ditelan ombak.....!