S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan sendiri menyadari, betapa berbahayanya lawannya yang berilmu hitam itu. Selain kekasaran dan keliarannya, maka pada saat-saat tertentu Empu Baladatu dapat menunjukkan sikap yang aneh dan tidak masuk akal.
Sejalan dengan ilmu hitamnya, dan segala macam usaha yang pernah dilakukan untuk mempertebal ilmunya, di antaranya mengorbankan sesama, maka Empu Baladatu yang licik itu tak segan-segan menggunakan segala macam cara untuk mengelabui lawannya. Ilmunya yang kasar dan liar itu kadang kala dapat menjerumuskan penglihatan lawannya, sehingga seakan-akan Mahisa Bungalan mengalami suatu tekanan jasmaniah yang, tidak terhingga.
Tetapi Mahisa Bungalan memiliki ketahanan jiwani yang tinggi. Dalam keadaan yang sulit, dalam keterlibatannya dalam pusaran ilmu hitam, Mahisa Bungalan selalu berpegangan pada sikap seorang kesatria yang bertandasan pada perjuangan yang jujur dan benar, melawan kejahatan dan segala sifat yang bertentangan dengan tuntutan kemanusiaan.
Karena itulah, maka ia pun seakan-akan mempunyai pandangan yang jernih terhadap kekaburan yang sengaja dibaurkan oleh Empu Baladatu berdasarkan pada ilmunya di saat-saat yang paling gawat.
Mula-mula Mahisa Bungalan tekejut ketika tiba-tiba saja di medan pertempuran itu telah meloncat seekor harimau loreng yang garang. Dengan taring yang tajam dan runcing, harimau itu siap menerkam dan merobek kulitnya.
Namun secara jiwani Mahisa Bungalan sempat mengurai penglihatannya yang tidak wajar itu. Seandainya benar-benar ada seekor harimau yang, garang, ia tentu tidak demikian tiba-tiba ada di hadapannya dan langsung siap menerkamnya dalam kekalutan itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun menyadari, bahwa ia telah berhadapan dengan ilmu hitam yang kasar, sehingga dari kebeningan budinya, akhirnya ia dapat melihat ujud yang sebenarnya dari seekor harimau itu.
Ternyata bahwa yang dilihatnya tetap Empu Baladatu dalam ujudnya yang garang, dalam penumpahan ilmu hitamnya.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan tetap dapat bertempur dengan mapan. Bahkan ketika di hadapannya tiba-tiba saja hadir seekor naga raksasa dengan lidahnya yang terjulur panas api, ia tidak gentar. Penglihatannya dapat mencairkan ujud itu kembali kepada bentuknya yang wajar.
Mahisa Agni yang mengikuti pertempuran itu kadang-kadang terperanjat melihat sikap Mahisa Bungalan, karena pada jarak dan keadaan yang tidak langsung berbenturan ilmu, Mahisa Agni tidak terpengaruh oleh bentuk-bentuk yang tertuang dari ilmu hitam Empu Baladatu.
Yang nampak pada Mahisa Agni hanyalah sikap dan benturan ilmu yang kadang-kadang aneh pada kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun ketajaman rabaan batinnya, Mahisa Agni seakan-akan mengetahui dari sikap masing-masing, bahwa ilmu hitam Empu Baladatu telah dipergunakannya tidak dalam keadaan sewajarnya.
Dengan demikian, maka Empu Baladatu pun merasa, bahwa lawannya yang masih muda itu benar-benar memiliki kemampuan bukan saja secara wadag, tetapi juga secara batin, sehingga baginya, Mahisa Bungalan benar-benar merupakan dinding yang; sulit ditembus.
Dalam pada itu, selagi Singasari sibuk melawan pasukan Empu Baladaru yang kuat, baik di Kota Raja, maupun di daerah yang terpencar sehingga prajurit-prajurit Singasari pun terpecah pula, di Mahibit Linggapati sedang mempersiapkan diri.
Agaknya Linggapati bergerak lebih berhati-hati dari Empu Baladatu yang kasar. Ia dapat mengendalikan diri sehingga setiap langkahnya telah diperhitungkan dengan cermat. Kematian adiknya merupakan pelajaran yang sangat berharga baginya, bahwa ketergesa-gesaan tidak akan membawa manfaat apapun juga.
Itulah sebabnya, dengan sabar Linggapati menunggu. Ia telah menyebarkan petugas-petugas sandinya untuk melihat keadaan di Singasari. Baik di sekitar Kota Raja, maupun di daerah-daerah yang sedang bergolak.
Linggapati kadang-kadang diguncang oleh kecemasan, bahwa prajurit Singasari dengan cepat berhasil menguasai daerah yang jauh dari Kota Raja. Namun ia pun masih mempunyai pengharapan, bahwa ia pun mampu menggerakkan beberapa daerah yang jauh untuk menyerap prajurit-prajurit Singasari, sehingga kekuatan di Kota Raja menjadi sangat kecil.
Kepada petugas sandinya ia sudah memerintahkan untuk mengawasi pertempuran yang terjadi antara pasukan Empu Baladatu melawan prajurit-prajurit Singasari. Jika petempuran itu berakhir, maka keadaan keduanya tentu akan sangat parah, siapapun yang memenangkan petempuran itu.
Namun semuanya itu sudah diperhitungkan oleh pimpinan pemerintahan di Singasari. Pertempuran yang terjadi di luar dinding Kota Raja itupun memberikan gambaran yang dianggap kabur bagi Linggapati.
Sebenarnyalah bahwa Singasari telah membuat perhitungan yang cukup cermat menghadapi keadaan yang dapat datang dengan tiba-tiba. Pasukan Empu Sanggadaru yang masih belum dibebani dengan tugas-tugas berat, merupakan suatu alas pertimbangan yang sangat menguntungkan, jika terjadi sesuatu dengan orang-orang Mahibit itu.
Sementara itu pasukan Singasari di daerah-daerah terpencil telah berhasil menguasai keadaan. Mereka telah melakukan perintah pimpinan prajurit Singasari dengan cermat. Mereka tidak boleh menyebarkan dendam di antara lawan, meskipun mereka sebagian besar pernah menyadap ilmu hitam. Namun bagaimanapun juga, mereka adalah masih dilandasi oleh sifat-sifat manusiawi. Jika perasaan mereka tersentuh, maka mereka akan langsung memberikan tanggap. Baik atau buruk.
Sikap prajurit Singasari ternyata sangat mempengaruhi perasaan mereka. Tidak seorang pun di antara orang-orang berilmu hitam yang menjadi korban karena dendam. Jika mereka terbunuh di peperangan, itu memang sudah sewajarnya.
Tetapi bahwa sesudah perang selesai, maka para prajurit itu bersikap baik dan seakan-akan telah memaafkan segala kesalahan mereka, maka merekapun mulai menilai sikap mereka masing-masing.
Keadaan itulah yang tidak diperhitungkan oleh Linggapati. Bahwa prajurit Singasari kemudian menghimpun anak-anak muda yang sesat, meskipun tidak seluruhnya, sama sekali tidak diduganya.
Kelengahan itu ternyata telah memberikan gambaran yang salah pada Linggapati. Juga karena Linggapati tidak mengetahui sikap dan kedudukan Empu Sanggadaru yang kurang di kenalnya sejak kegagalannya. Linggapati menduga, bahwa ada perhitungan tersendiri antara Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu yang akan diselesaikan oleh kedua kakak beradik yang berbeda arah hidupnya itu.
Dengan demikian, maka ketika prajurit Singasari mempersiapkan diri dan kemudian bertempur melawan pasukan Empu Baladatu yang kuat, maka persiapan berikutnya sebenarnya telah berjalan dengan diam-diam. Setiap Senapati telah mengenal tugas masing-masing dan melakukannya seperti yang tersirat dalam perintah.
Ternyata bahwa pertempuran itu berlangsung berkepanjangan. Ketika matahari kemudian turun di ujung Barat, maka kedua pasukan yang bertempur itu telah menjadi sangat telah.
Dengan demikian, maka seakan-akan seperti yang memang seharusnya dilakukan, ketika matahari kemudian turun dan tenggelam di balik cakrawala, maka pertempuran itupun temenjadi surut.
Tidak ada pertanda dan isyarat. Tetapi seakan-akan sudah seharusnya demikian. Kedua pihak yang lelah itu, tanpa dilerai, masing-masing telah bergerak semakin lamban, dan akhirnya pertempuran itu terhenti.
Pasukan Empu Baladatu telah menarik diri beberapa puluh langkah dan memasuki padukuhan di belakang medan. Sementara dengan cepat, ia memerintahkan penghubung-penghubungnya untuk memanggil setiap pimpinan kelompok untuk membicarakan keadaan medan yang sangat sulit.
Mahisa Bungalan yang sebenarnya tidak ingin melepaskan lawannya telah dicegah oleh Mahisa Agni. Bahkan Mahisa Agni telah mengirimkan beberapa orang penghubung bagian pertempuran yang lain, untuk memberi kesempatan kepada mereka beristirahat.
“Jangan memaksa diri.” berkata Mahisa Agni, “Di malam hari sudah sewajarnya kita berhenti dan beristirahat. Betapapun jiwa kita bergejolak, tetapi jasmaniah kita sangat terbatas kekuatannya.”
Mahisa Bungalan tidak memaksa. Ia pun kemudian melepaskan lawannya dan seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Agni, maka pasukannyapun telah beristirahat.
Tetapi tidak semua orang sempat beristirahat. Ada beberapa orang yang justru masih tetap sibuk menyalakan api dan mulai menanak nasi dan mempersiapkan makan bagi para prajurit.
Seperti juga prajurit Singasari, maka para pengikut Empu Baladatu pun melakukan hal yang serupa. Mereka segera memasuki setiap rumah. Mereka mengambil persediaan apa yang dapat mereka pergunakan sebagai bahan makanan. Jika mereka menemukan kambing, ayam atau binatang peliharaan apa pun juga, maka daginya akan menjadi lauk bagi para pengikut Empu Baladatu.
Beberapa padukuhan menjadi sibuk. Namun prajurit Singasari telah menempatkan diri pada kelompok-kelompok kecil seperti saat mereka belum mulai terjun ke arena pertempuran.
Dengan demikian, maka kedudukan Empu Baladatu seolah-olah telah dilingkari dan terkepung oleh prajurit Singasari. Sementara itu dua orang penghubung telah menyampaikan pesan kedudukan dari kedua belah pihak kepada Empu Sanggadaru.
“Mereka telah memperkuat kedudukan mereka di padukuhan-padukuhan yang berdekatan.” sahut penghubung itu.
“Mungkin sekali pada ujung malam ini tidak ada tanda atau kesan bahwa mereka akan meninggalkan arena. Tetapi itu belum menjamin bahwa mereka akan bertahan sampai matahari terbit esok pagi.”
Penghubung itu termangu-mangu. Namun Empu Sanggadaru berkata, “Sampaikan pesan ini kepada Senopati Besar Mahisa Agni. Seluruh pasukan harus tetap bersiaga.”
Kedua penghubung itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tetapi nampak perapian di padukuhan yang mereka pergunakan.”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Ia akan memberikan kesan sebaliknya dari apa yang akan dilakukannya.”
Penghubung itu mengerti. Karena itu maka ia pun kemudian kembali dan menyampaikan pesan Empu Sanggadaru kepada Mahisa Agni.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat mempercayai tanda-tanda yang nampak pada gelar Empu Baladatu, karena mungkin yang dilakukan sangat berbeda dengan tanda-tanda dan kesan yang nampak.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni telah meneruskan pesan Empu Sanggadaru kepada para Senapati dan pemimpin kelompok agar mereka tetap bersiaga untuk bertindak sesuatu jika perlu.
Dalam pada itu. Empu Baladatu telah berkumpul dengan para pemimpin kelompok di induk dan di sayap pasukannya. Mereka memberikan laporan dan gambaran tentang segala yang terjadi di lingkungan masing-masing.
Empu Baladatu melihat suasana yang suram pada pasukannya. Ternyata perhitungannya telah salah. Para pengamat dan petugas sandi, ternyata tidak memberikan gambaran yang sebenarnya dari keadaan prajurit Singasari. Empu Baladatu pun telah mendapat laporan bahwa sekelompok kecil pengikut yang mendahului memasuki gerbang, tetapi mereka tidak pernah keluar kembali.
Betapa kemarahan meluap di hati Empu Baladatu. namun ia tetap sadar, tidak ada gunanya lagi ia mencari siapakah yang bersalah. Pertentangan dan apalagi pertengkaran di antara mereka justru hanya akan memperlemah kedudukan mereka di hadapan prajurit Singasari.
Dalam pada itu, Empu Baladatu sempat melihat dalam keseluruhan berdasarkan atas laporan para pemimpin di induk dan sayap pasukannya, bahwa harapan untuk dapat menembus pertahanan prajurit Singasari akan sangat tipis.
“Mereka seolah-olah telah tumbuh dari dalam tanah “ berkata seorang petugas sandi, “Sebelumnya kami tidak pernah melihat dan membahayakan, bahwa prajurit Singasari masih cukup banyak sehingga mereka berhasil bertahan dan bahkan memberikan tekanan yang cukup berat kepada kita.”
“Itu adalah suatu kelicikan.” geram Empu Baladatu, “Jika bukan para petugas sandi yang terlalu bodoh, maka prajurit Singasari terlalu cerdik dengan menyamar sebagai orang kebanyakan yang hidup di padukuhan-padukuhan. Sebagaian dari penghuni yang sebenarnya justru telah mereka ungsikan dan mereka masukkan dalam barak-barak di dalam Kota Raja Sementara padukuhan yang mereka tinggalkan, telah menjadi daerah pertahanan yang tersamar dan kuat.”
Para pengikutnya pun merasa bahwa kesalahan para pengamatan dan petugas sandilah yang sebenarnya telah membuat seluruh pasukannya yang besar dan kuat itu mengalami kesulitan.
Tetapi seperti Empu Baladatu, mereka masih berusaha untuk menghindari pertentangan di antara mereka sendiri.
“Sekarang, kita harus mengambil sikap. Seperti keadaan lawan yang tidak kita duga sebelumnya, maka kitapun dapat mengambil sikap yang tidak kita gambaran sebelumnya pula.”
Para pemimpin di dalam pasukan Empu Baladatu mulai menebak, apakah yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu. Namun yang hampir sama terbayang di dalam angan-angan masing masing, adalah kesulitan yang tidak teratasi bila besok mereka harus terjun kembali ke arena petempuran yang dahsyat.
“Kita harus mencari jalan.” desis Empu Baladatu.
“Maksud Empu?” bertanya beberapa orang.
Empu Baladatu termangu-mangu. Ia nampak ragu-ragu. Sementara para pengikutnya mulai menebak-menebak.
“Katakanlah dengan jujur.” berkata Empu Baladatu, “Apakah masih ada keberanian di antara kita?”
Beberapa orang di antara mereka menjadi heran. Apakah sebenarnya yang dimaksudkannya. Semula mereka menyangka bahwa jalan keluar dari kesulitan itu adalah menghindar dari pertempuran dan menarik diri selagi malam masih gelap. Tetapi agaknya Empu Baladatu bermaksud lain.
“Katakanlah.” Empu Baladatu mengulangi, “Apakah kalian benar-benar telah meletakkan cita-cita yang luhur itu di atas hidup kalian sendiri?”
“Ya.” tiba-tiba seorang yang bertubuh raksasa menjawab, “Kami telah berniat untuk berjuang merubah tata pemerintahan Singasari. Karena itu. apapun yang akan terjadi akan kita lakukan.”
“Bagus.” berkata Empu Baladatu, “Kita sudah berada di dalam lingkaran maut. Seharusnya hari ini kita sudah berada di dalam istana Singasari dan menguasai tahta. Tetapi yang terjadi agak berbeda. Sementara kita harus sadar bahwa kita telah terkepung.”
“Jadi apa maksud Empu yang sebenarnya?” bertanya seorang yang bertubuh kecil meskipun agak tinggi.
“Kita harus mempercepat penyelesaian agar kita tidak terlalu lama tersiksa. Jika kita berhasil, biarlah cepat berhasil, jika kita gagal, biarlah kita cepat mengetahui bahwa kita akan binasa.”
Terasa sesuatu bergejolak di hati pengikut-pengikutnya. Mereka pun sadar, bahwa jalan untuk menghindari pertempuran berikutnyapun tentu sudah tertutup.
“Kita harus berbuat sesuatu yang tidak mereka perhitungkan, seperti juga kita telah terjebak ke dalam lingkaran maut seperti ini.”
Sementara itu, para pemimpin prajurit Singasari dan pasukan Empu Sanggadaru pun tidak melepaskan pengawasannya atas daerah di sekitarnya. Mereka mempunyai dugaan yang kuat, bahwa Empu Baladatu akan mempergunakan malam itu untuk melarikan diri bersama pasukannya.
“Jika mereka melarikan diri, maka kita akan menghancurkannya.” berkata para Senapati.
Karena itulah maka beberapa orang di antara prajurit Singasari telah menyiapkan obor minyak dan biji jarak. Jika mereka terpaksa bertempur di malam hari, maka mereka mempunyai alat penerangan yang akan dapat membantu pengamatan di medan.
Sementara itu, beberapa orang petugas khusus telah dengan cepat bekerja menyiapkan makan bagi para prajurit. Hampir di setiap padukuhan terdapat perapian.
Seperti juga di padukuhan-padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan Empu Baladatu. Beberapa orang dari merekapun telah menyiapkan makan. Beberapa ekor kambing, bahkan lembu telah dipotong. Mereka harus makan sebelum mereka melakukan apa saja di malam itu.
Empu Baladatu masih membuat perhitungan dengan para pembantunya. Mereka harus mempergunakan malam itu sebaik-baiknya.
“Tetapi kita tidak akan lari.” tiba-tiba saja Empu Baladatu berteriak.
Beberapa orang pemimpin kelompok memandangnya dengan ragu-ragu. Namun kemudian teriak mereka hampir berbareng, “Ya kita tidak akan lari.”
“Baik.” berkata Empu Baladalu dengan lantang, “Kita akan merayap ke pintu gerbang. Kita akan memasuki pintu gerbang itu di malam hari dan menghancurkan semua isi. Kita bakar istana Singasari dan kita bunuh semua orang yang, kita jumpai. Tentu saja yang pertama-tama harus mati adalah Ranggawuni, Mahisa Cempaka dan Mahisa Agni.”
Wajah-wajah yang sedang mengadakan pembicaraan itu menjadi tegang. Kata Empu Baladatu ternyata telah membakar hati mereka. Karena itu, dada merekapun telah bergejolak, seolah-olah mereka tidak sabar lagi menunda rencana itu.
Tetapi Empu Baladatu masih dapat memperhitungkan keadaan dengan baik. Katanya, “Biarlah kita beristirahat barang sejenak. Kita menunggu makan bagi kita masak. Baru setelah tenaga kita pulih kembali, kita akan menyergap gerbang itu, sementara lawan menjadi lengah, karena mereka tentu mengira. bahwa kita menunggu dini hari. Tetapi kita akan bergerak justru sebelum tengah malam.”
Para pemimpin kelompok itupun segera kembali ke pasukan masing-masing. Mereka membiarkan oranganya beristirahat, kecuali yang bertugas mengawasi keadaan berganti-gantian.
Ketika makanan mulai masak, maka mereka seolah-olah telah berebutan untuk mendapatkan bagian masing-masing, karena mereka benaar-benar sudah diganggu oleh perasaan lapar.
Tetapi ternyata bahwa makanan yang tersedia cukup banyak bagi mereka. Kawan-kawan mereka yang menyediakan makanan sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan yang lebih panjang. Mereka menganggap bahwa dalam sehari besok, pertempuran tentu akan berakhir. Jika pertempuran tertunda lagi karena malam turun, maka mereka akan mulai kesulitan untuk mendapatkan bahan makanan di padukuhan-padukuhan itu.
Tetapi di sawah di sekitar padukuhan itu, terdapat beberapa kolak tanaman jagung yang sudah berbuah di beberapa bagian dari kebun-kebun di padukuhan terdapat pula tanaman sebangsa ubi dan ketela, sehingga jika terpaksa, semuanya itu merupakan bahan makanan yang mencukupi kebutuhan.
Namun sebenarnyalah bahwa Empu Baladatu sendiri tidak akan memikirkan hari esok dan apalagi malam esok. Ia sedang, disibukkan oleh rencananya untuk memasuki pintu gerbang dengan diam-diam.
Rencana Empu Baladatu memang tidak terduga sama sekali. Para pengawas memperhitungkan arah yang akan dilalui Empu Baladatu jika pasukannya di bawanya melarikan diri, sehingga karena itu kesiagaan tertinggi pada pasukan Singasari justru pada arah yang lain dari arah pintu gerbang Kota Raja.
Setelah semua orang-orangnya selesai makan dan beristirahat sejenak, maka Empu Baladatu telah memanggil para pemimpin kelompoknya sekali lagi. Mereka diperintahkannya untuk mengikuti induk pasukan dalam urutan yang panjang untuk menyusup sela sela padukuhan yang dipergunakan oleh prajurit Singasari dan menghindari pengawasan.
“Kita akan benar-benar merangkak di sepanjang pematang yang panjang.” berkata Empu Baladatu, “Sementara kita akan muncul dekat dengan pintu gerbang itu.”
Para pemimpin kelompok mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa perjuangan akan menjadi semakin berat. Meskipun menurut perhitungan mereka, pasukan Singasari semuanya telah dikerahkan untuk menahan arus serangan pasukan Empu Baladatu, tetapi di Kota raja itu tentu masih ada beberapa bagian dari prajurit-prajurit Singasari itu.
“Mereka akan bertahan.” berkata Empu Baladatu, “Sementara pasukan yang ada diluar akan ditarik. Karena itu, maka sebagian kecil dari kita akan mengganggu mereka dengan serangan di bagian lain dari arah kita yang sebenarnya.”
Para pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya, tugas bagi kelompok yang, diumpankan itu tentu sengat berat. Tetapi Empu Baladatu melanjutkan, “Bagi mereka aku berikan ijin untuk meninggalkan arena jika tekanan memang tidak dapat dibendung lagi, sementara kami sudah memasuki pintu gerbang. Mereka harus segera menyusul jika kesempatan telah terbuka. Melalui pintu gerbang atau memanjat dinding menurut kemampuan mereka.”
Demikianlah, maka rencana Empu Baladatu itu menjadi matang. Mereka segera membagi tugas. Tidak ada isyarat yang akan diberikan dari induk pasukan. Semua harus berjalan menurut waktu yang hanya dapat saling diperkirkan.
Demikian kalian sampai dipasukan masing-masing. maka rencana ini akan segera dimulai. “Aku akan segera berangkat bersama pasukan yang ada di sini. Sementara yang lain akan menyusul lewat padukuhan ini pula. Aku akan meninggalkan beberapa orang penghubung jika saatnya aku berangkat, pasukan-pasukan yang lain belum ada di padukuhan ini. Tetapi ingat. Berhati-hatilah, sampai saatnya kita akan menghancurkan pintu gerbang.”
Maka kemudian para pemimpin kelompok itu kembali ke padukuhan masing-masing, maka Empu Baladatu pun mulai mengatur pasukannya. Mereka akan menyusur pematang, di jarak yang tidak terjangkau penglihatan prajurit-prajurit Singasari. Jika perlu mereka akan merangkak dalam arti yang sebenarnya.
“Marilah.” berkata Empu Baladatu, “Kita akan mendahului. Yang lain tentu akan segera tiba. Mereka akan segera mengikuti jalan yang kita tempuh.”
Seperti yang diperhitungkan Empu Baladatu, maka pada saat itu, beberapa kelompok pasukannya yang terpisah, telah merayap mendekati padukuhannya untuk ikut serta menyerang pintu gerbang sementara beberapa kelompok yang lain, akan menempuh jalan seolah-olah pasukan itu akan melarikan diri.
Semuanya berjalan seperti yang direncanakan. Tidak ada perintah dan isyarat yang diberikan, agar tidak memberikan isyarat pula kepada para prajurit Singasari.
Namun dalam pada itu, terjadi pula pergeseran pada prajurit Singasari. Ternyata pada malam itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak berada di padukuhan para prajurit. Atas desakan Mahisa Agni, keduanya telah memasuki pintu gerbang Kota Raja bersama pengawalnya.
“Jika besok tuanku ingin turun kembali ke medan, biarlah hamba mengikuti lagi. Tetapi malam ini tuanku berdua tidak perlu berada di padukan itu. Biarlah para prajurit berjaga-jaga dan mengawasi setiap gerakan Empu Baladatu, karena kemungkinan terbesar mereka akan menarik pasukannya dan menghilang. Dalam keadaan yang demikian, tuanku berdua tidak perlu ikut serta dalam pertempuran meskipun tuanku berdua adalah prajurit Singasari.” berkata Mahisa Agni.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sebenarnya segan untuk meninggalkan medan. Mereka merasa dirinya satu dengan prajurit Singasari yang lain. Namun mereka pun harus menyadari kedudukan mereka sebagai pimpinan tertinggi dan pengikut seluruh Singasari, sehingga akhirnya mereka pun dapat menerima permintaan Mahisa Agni, agar mereka berdua kembali memasuki Kota Raja.
Ketika Empu Baladatu merayap mendekati pintu gerbang di dinding Kota Raja, maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah berdua di dalam istana. Para pengawal telah menyebar di halaman istana dan bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, para prajurit yang berada di dalam lingkaran dinding Kota Raja telah menjadi semakin berhati-hati pada saat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah berada di dalam istana. Dalam kemelut yang gawat itu, para prajurit menjadi semakin tekun pada tugasnya. Meskipun para prajurit itu tidak menyangka bahwa akan darang pasukan Empu Baladatu menyerang, namun kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya memang dapat terjadi.
Itulah sebabnya, maka para prajurit yang ada di dalam batas dinding kota Raja selalu bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Di segala sudut dan jalan-jalan simpang, nampak para prajurit yang meronda.
Namun demikian, jumlah prajurit yang ada di dalam batas dinding Kota Raja memang tidak terlalu banyak, sehingga perhitungan Empu Baladatu untuk menghancurkan prajurit-prajurit di dalam dinding Kola Raja itu merupakan rencana yang sangat berbahaya bagi Singasari.
Dalam pada itu, Empu Baladatu sudah merayap semakin dekat dengan pintu gerbang. Dengan pasukannya, ia benar-benar telah merangkak di antara batang-batang padi dan jagung. Jika pematang itu harus menyilang jalan, maka Empu Baladatu telah berusaha untuk menghapuskan kemungkinan dapat dilihat oleh para pengawas dan para peronda.
“Jangan terpancang pada pintu.” ia berbisik kepada pengawalnya, “Jika perlu kita akan meloncati dinding. Jika sebagian dari kita sudah berada di dalam, maka pintu itu akan dapat kita buka. Dengan demikian maka kita akan dapat segera memasukinya.”
Para pengawalnya pun mengangguk. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan.
Sejenak kemudian, maka Empu Baladatu dan para pengikutnya telah berada di hadapan pintu gerbang, meskipun masih belum terlalu dekat tetapi rencana mereka nampaknya akan berjalan dengan lancar.
Agaknya para prajurit Singasari menganggap bahwa Empu Baladatu benar-benar akan menunggu sampai besok, atau akan melarikan diri karena pengawasan yang paling ketat adalah justru pada arah yang memungkinkannya menghilang di malam itu.
Sementara itu. beberapa kelompok pasukan Empu Baladatu yang harus memancing perhatian para prajurit pun telah bergerak pula. Mereka berjalan melalui jalan memanjang di tengah-tengah bulak tanpa berusaha untuk menghindari pengamatan. Justru mereka berharap, bahwa para peronda akan dapat melihat mereka dan memusatkan perhatian mereka kepada kelompok itu.
Untuk beberapa saat kelompok itu berjalan tanpa terjadi sesuatu, sebelum mereka mendekati sebuah padukuhan kecil.
Tetapi para pengawas dari Singasari segera dapat melihat kelompok itu, karena arah itulah yang paling banyak mendapat pengawasan.
Para pengawas itu tidak bertindak dengan tergesa-gesa. Mereka sempat mengamati, berapa besar pasukan yang akan lewat, sehingga laporannya tidak menumbuhkan salah hitung dan menimbulkan tindakan yang merugikan.
Baru setelah mereka dapat mengira-ngirakan jumlah itu, dua orang pengawas segera melaporkan diri kepada induk pasukan, sementara yang lain tetap di tempatnya untuk mengawasi perkembangan keadaan.
Laporan itu menimbulkan teka teki pada pimpinan pasukan Singasari. Jika Empu Baladatu ingin menarik diri, maka tentu tidak hanya beberapa kelompok pasukannya saja. Prajurit Singasari setelah bertempur sehari penuh dapat memperhitungkan jumlah kekuatan lawan.
“Dimanakah pasukan Empu Baladatu yang lain?” pertanyaan itu timbul di antara para Senapati.
“Baiklah.” berkata Panglima pasukan Singasari, “Kita akan bertindak atas beberapa kelompok itu sesuai dengan imbangan kekuatan.”
“Kirimkan pasukan di sayap kanan.” berkata Mahisa Bungalan.
“Paman Lembu Ampal dengan pasukannya sudah cukup untuk menahan beberapa kelompok pasukan Empu Baladatu dan menggiringnya kembali ketempatnya. Jika keadaan berkembang, dan jumlah mereka bertambah, maka pasukan yang lain dari padukuhan yang lain akan ikut bertindak.” sahut Panglima pasukan Singasari.
“Jika itu suatu kebutuhan, maka perintahmu ditunggu.” berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Panglima itupun kemudian mengirimkan perintah kepada pasukan yang dipimpin oleh Lembu Ampal. Panglima yang merasa dirinya masih berada di bawah pedukuhan Lembu Ampal itu masih harus mempergunakan cara yang khusus untuk menyampaikan perintahnya.
“Tetapi kau adalah Panglima.” desak Manisa Bungalan.
Namun demikian Panglima yang masih lebih muda, baik umurnya, maupun pengalamannya itu telah menyampaikaa laporan kepada Lembu Ampal dan menyampaikan permintaan untuk dipertimbangkan, bahwa pasukannya dipersilahkan untuk menahan gerakan mundur itu.
Lembu Ampal adalah seorang prajurit. Meskipun ia merasa mempunyai kelebihan, tetapi perintah itupun sudah benar menurut urutan kepemimpinan. Justru kehadirannya, di dalam kelompoknya adalah karena keadaan yang gawat sehingga segala kekuatan yang ada di Singasari perlu dikerahkan.
Karena itulah, maka Lembu Ampal pun segera memerintakkan pasukannya untuk bersiap.
“Kita akan menyerang gerakan mundur dari sebagian pasukan Empu Baladatu.” berkata Lembu Ampal kepada pasukannya, “Kita tidak tahu, apakah yang sudah terjadi, sehingga hanya sebagian saja dari pasukannya yang bergerak. Mungkin mereka sekedar mencari jalan untuk pasukan induknya, atau mereka memang memecah pasukan mereka dalan kesatuana kecil sehingga akan memudahkan usaha mereka meloloskan diri, atau perhitungan- perhitungan yang lain. Namun ternyata yang kita hadapi adalah suatu kenyataan bahwa pasukan yang bergerak itu hanyalah sebagian saja.”
Prajurit-prajurit dalam pasukan Lembu Ampal itu mengangguk angguk. Mereka mengerti bahwa keadaan masih belum jelas, sehingga mungkin akan timbul persoalan-persoalan baru dalam pertempuran yang bakal pecah.
Demikianlah maka pasukan Singasari itu mulai bergerak. Mereka memotong jalan yang akan dilewati oleh pasukan Empu Baladatu. Tugas mereka adalah mencegah usaha melarikan diri dan memaksa mereka kembali ke dalam kepungan pasukan Singasari di luar pintu gerbang Kota Raja.
Ketika tiba-tiba saja muncul pasukan di hadapannya, maka pasukan Empu Baladatu merasa bahwa tugas mereka berhasil. Mereka telah menarik perhatian prajurit Singasari sehingga sebagian dari pasukannya telah memotong jalan yang akan mereka lalui.
Namun ketika kemudian pertempuran pecah, pemimpin pasukan Empu Baladatu menjadi gelisah. Ia sadar, bahwa pasukan Singasari yang ada di hadapan mereka, bukannya sebagian besar dari segenap kekuatannya. Tetapi hanyalah sebagian kecil sesuai dengan kekuatan pasukannya yang akan memancing perhatian itu.
“Gila.” geram pemimpin pasukan kecil Empu Baladatu itu, “Ternyata prajurit Singasari cukup cermat. Tetapi mudah-mudahan yang lain masih tetap di tempat masing-masing.”
Dalam pada itu. Panglima prajurit Singasari telah memperhitungkan keadaan dengan para Senapati dan Mahisa Bungalan. Bahwa sebagian dari pasukan Empu Baladatu telah menarik diri adalah suatu peristiwa yang aneh.
“Seharusnya, seluruh pasukan itu akan bergerak meskipun lewat jalan yang berbeda. Tetapi sampai saat ini, kami tidak mendapat laporan lain dari para pengawas.” berkata Panglima pasukan Singasari itu.
Mahisa Bungalan meng-angguk-angguk. Tetapi ia pun merasakan suatu keanehan. Nalurinya sebagai seorang prajurit telah memberinya peringatan, bahwa ada gerakan lawan yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
“Kita lihat perkemahan mereka.” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berdesis.
Beberapa orang perwira yang ada di dalam pasukannya tiba-tiba saja menyadari, bahwa kemungkinan yang sama sekali tidak diperhitungkan itu memang dapat terjadi.
Karena itu, maka beberapa orang di antara merekapun menyahut, “Ya. Kita akan melihat perkemahan mereka.”
“Aku akan pergi. Aku hanya memerlukan seorang kawan.” gumam Mahisa Bungalan.
Senapati, yang memimpin pasukan Singasari di induk pasukan itupun kemudian menyahut, “Aku akan pergi bersamamu.”
“Kau Panglima yang harus berada di antara prajurit-prajurit mu.” sahut Mahisa Bungalan.
Tetapi Senapati itu menjawab, “Ini adalah keputusan Panglima.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan pergi keperkemahan induk pasukan Empu Baladatu.”
Setelah menyerahkan pimpinan seluruh medan kepada perwira bawahannya, maka Senapati itupun meninggalkan padukuhan pergi ke perkemahan pasukan lawan yang berada di padukuhan yang tidak terlalu jauh. Dengan hati-hati keduanya mendekati dinding padukuhan dengan terbungkuk-bungkuk di sela-sela gerumbul-gerumbul yang tumbuh di pinggir jalan.
“Masih nampak obor-obor yang terpasang.” berkata Senapati itu di telinga Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan mengangguk. Jawabnya berdesis, “Kita akan memasuki padukuhan itu. Mungkin kita akan mendapatkan beberapa keterangan penting.”
Senapati itu tidak menjawab. Keduanya berjalan semakin dekat dengan sangat berhati-hati.
Keduanya menjadi berdebar-debar ketika mereka mulai merasakan kesenyapan yang mencengkam. Meskipun obor masih menyala, namun mereka tidak melihat, sesosok tubuhpun yang ada di depan pintu gerbang.
“Apakah mereka semuanya berada di dalam dinding padukuhan?” bertanya Mahisa Bungalan lirih.
“Kita akan meloncat masuk.”
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian keduanya sepakat untuk memasuki padukuhan itu.
Demikian mereka meloncat memasuki dinding padukuhan, maka debar jantung mereka serasa menjadi semakin cepat berdetak. Mereka segera menyadari, bahwa padukuhan itu memang sudah kosong.
Meskipun mereka tidak meninggalkan kewaspadaan, namun mereka seakan-akan dengan tergesa-gesa mendekati rumah-rumah yang ada di padukuhan itu.
Ternyata sama sekali tidak seorangpun yang tinggal. Kecuali penduduknya yang telah mengungsi sebelumnya, maka padukuhan itu memang dianggap sebagai daerah yang akan menjadi ajang pertempuran.
Dari penelitian Mahisa Bungalan dan Senapati itu, mereka dapat melihat, bekas-bekas lumbung dan kandang yang rusak. Agaknya orang-orang Empu Baladatu telah membongkar semua sisa milik penghuni padukuhan itu yang tertinggal, termasuk ternak dan binatang-binatang peliharaan yang lebih kecil, seperti ayam, itik dan angsa, disamping bahan makanan.
“Mereka telah pergi. Ternyata sekelompok pasukan yang dilaporkan itu sengaja memancing perhatian.”
“Tetapi pengawasan sangat ketat, sehingga sulit bagi pasukan yang besar itu meninggalkan padukuhan ini tanpa diketahui.”
“Dimanakah pengawas-pengawas itu berada.” bertanya Mahisa Bungalan.
Senapati itu heran. Mahisa Bungalan sudah mengetahui dimana para pengawas itu tersebar. Namun ia pun menjawab, “Di sepanjang garis arah pasukan ini jika mereka mengundurkan diri.”
“Nah, bagaimana jika arahnya justru berlawanan.”
“Maksudmu?”
“Tidak melarikan diri. Tetapi justru ke arah yang berlawanan.”
“Maksudmu?” Senapati itu terbelalak.
“Mereka menyerang Kota Raja di malam ini.” Tiba-tiba saja terasa keringat dingin mengalir di punggung Senapati itu. Dengan serta metta ia berkata, “Kita akan melihat, apakah benar dugaanmu.”
Senapati itu tidak menunggu lagi. Ia pun kemudian berlari-lari menuju ke pintu gerbang.
“Jika benar dugaanmu, mereka tentu tidak akan berjalan melalui jalan. Tetapi mereka akan memotong arah, lewat pematang dan berlindung di balik tanaman-tanaman.”
Betapa darah mereka terasa tersirap ketika mereka berhasil menemukan arah gerak pasukan Empu Baladatu. Mereka memang melihat, batang-batang jagung yang berserakan. Agaknya pasukan Empu Baladatu lelah menyusub lewat beberapa pematang yang sejalan menuju ke gerbang Kota Raja.
Tubuh kedua orang itu bagaikan gemetar. Dengan suara yang tersendat-sendat Senapati itu berkata, “Pasukan di dalam pintu gerbang Kota Raja itu sangat lemah. Jika benar mereka menyerang, maka keadaan tentu akan sangat gawat.”
“Kita dapat meyakininya. Mereka telah menyerang Kota Raja.”
Sesaat keduanya memandang arah Kota Raja yang tidak terlalu jauh. Namun kemudian Mahisa Bungalan berkata lantang, “Kita akan menyusul dengan seluruh pasukan.”
“Bagus.” sahut Senapati itu hampir berteriak.
Keduanya kemudian berlari-lari kembali ke induk pasukan. Mereka harus bergerak cepat, jika masih ada kesempatan.
Kedatangan keduanya disongsong oleh para perwira dengan hati yang berdebar-debar. Sebelum mereka bertanya, Senapati itu sudah meneriakkan perintah, “Semua orang disiapkan. Kita akan menyusul pasukan Empu Baladatu yang menyerang Kota Raja.”
“He?” para perwira terkejut.
“Tidak ada waktu untuk memberikan penjelasan sekarang. Semuanya harus bersiap dalam waktu dekat. Seluruh pasukan induk akan berangkat.”
Para perwira tidak bertanya lagi. Mereka segera pergi ke kelompok masing-masing. Sepeti yang diperintahkan, maka kelompok-kelompok itupun segera dipersiapkan.
Ketika sebuah isyarat berbunyi, maka prajurit Singasari itupun segera berangkat menuju ke pintu gerbang Kota Raja, sementara beberapa penghubung harus menyampaikan perintah Senapati itu kepada pasukan-pasukan yang berada di padukuhan lain.
Sebagian dari mereka harus mengawasi keadaan di seluruh arena dan mengambil sikap dalam keadaan yang mendesak, sementara sebagian harus menyusul memasuki pintu gerbang Kota Raja.
“Jika pintu tertutup oleh pasukan, maka mereka di perintahkan mencari jalan lain.” perintah Senapati itu.
Pemberitahuan yang serupa telah dikirim pula kepada Empu Sanggadaru agar ia mengetahui keadaan dalam keseluruhan.
Induk pasukan yang dipimpin langsung oleh Panglima pasukan Singasari beserta Mahisa Bungalan itu pun dengan tergesa-gesa menuju ke pintu gerbang. Mereka mulai membayangkan kesulitan yang dialami oleh para prajurit yang tidak begitu banyak, yang ada di dalam dinding yang melingkari Kota Raja.
Sebenarnya bahwa pada saat itu pasukan Empu Baladatu sudah memecahkan pintu gerbang. Dengan penuh dendam mereka bertekad untuk menghancurkan apa saja yang mereka jumpai, termasuk pintu gerbang itu sendiri.
Prajurit yang bertugas di Kota Raja tekejut ketika penjaga pintu gerbang memberikan tanda bahaya yang mendatang. Disusul oleh gema kentongan yang menjalar dari satu gardu ke gardu yang lain.
Namun suara kentongan itu tidak cukup keras untuk mencapai arena pertempuran yang terjadi di luar pintu gerbang Kota Raja.
“Kirim seorang penghubung kepada pasukan yang berada diluar Kota Raja.” teriak seorang perwira yang bertugas di dalam pintu gerbang.
“Jalan telah tertutup.” teriak prajurit yang berada di atas pintu gerbang.
“Cari jalan lain. Lewat pintu butulan.”
“Dinding ini sudah dikepung. Pintu-pintu butulan telah di jaga di luar.”
“Loncati dinding.”
Para prajurit termangu-mangu. Mereka tidak akan dapat meloncati begitu saja. Para prajurit yang berada di atas pintu gerbang melihat, bahwa jika seseorang meloncat dari dalam, akan langsung terjun pada ujung tombak pasukan Empu Baladatu.
Dalam pada itu, Empu Baladatu memang memberikan perintah, bahwa tidak seorangpun boleh lolos. Orang-orang di dalam Kota Raja tidak boleh mendapat kesempatan untuk memberikan isyarat berupa apapun kepada induk pasukannya yang berada di luar Kota Raja.
“Bunuh setiap orang yang keluar. Suara kentongan dan panah sendaren tidak akan mencapai mereka. Juga panah api yang akan mereka lontarkan, tidak akan terlihat oleh pasukan Singasari. Itulah kebodohan mereka, karena mereka menganggap bahwa kita tidak akan melakukan hal seperti ini.”
Karena itu, maka kemungkinan untuk mengirimkan seorang penghubung telah tertutup sama sekali. Yang dapat dilakukan oleh para prajurit itupun kemudian adalah berjuang mati-matian untuk menahan, agar para pengikut Empu Baladatu itu tidak dapat memasuki gerbang dan dinding Kota Raja lewat manapun juga.
Prajurit yang jumlahnya sangat terbatas segera memencar. Tetapi sebagian dari mereka berada di depan pintu gerbang. Jika pintu gerbang itu pecah, maka akan terjadi pertempuran yang sangat mengerikan di dalam pintu gerbang itu, sementara beberapa orang yang lain telah memanjat dinding dan menahan lawan dengan panah yang bagaikan hujan meluncur dengan derasnya.
Dengan perisai, para pengikut Empu Baladatu telah melindungi kawan-kawannya yang berusaha memecahkan pintu gerbang. Mereka mengangkat sebatang kayu yang panjang. Dengan serta merta beberapa puluh orang yang mengangkat kayu itupun berlari-lari menghantam pintu gerbang itu dengan pangkal batang kayunya.
Tetapi semakin dekat dengan pintu gerbang, kekuatan mereka menjadi semakin berkurang. Anak panah yang bagaikan hujan itu telah mengurangi seorang demi seorang yang harus tercecer jatuh karena anak panah yang menembus dadanya.
Namun beberapa kali batang kayu itu berhasil menggetarkan pintu gerbang, sehingga selarak yang besar itupun menjadi retak.
“Sebentar lagi pintu akan pecah.” teriak Empu Baladatu.
Teriakan Empu Baladatu telah mendorong, anak buahnya untuk bekerja lebih keras. Jika seseorang jatuh karena anak panah para prajurit, maka yang lainpun segera menggantikannya mendorong kayu yang, panjang untuk nvenghantam-pintu gerbang itu.
Hati para prajurit Singasari menjadi semakin berdebar-debar sejalan dengan retak yang semakin besar pada selarak pintu gerbang itu. Beberapa orang telah menempatkan diri di hadapan pintu itu dengan anak panah siap di busurnya. Sementara yang lain telah mengangkat tombaknya, siap untuk dilemparkannya.
Dalam pada itu, seisi Kota Raja bagaikan tengah dipanggang di atas api. Setiap orang menjadi gelisah. Tetapi sementara itu, setiap laki-laki telah siap dengan senjata di tangan. Bukan saja mereka yang berpakaian prajurit Singasari, tetapi anak-anak muda, dan bahkan anak-anak yang masih sangat mudapun telah menggenggam pedang. Bagi mereka tidak mempunyai pilihan lain daripada turun kemedan perang, karena menurut perhitungan mereka, jika orang-orang yang mengepung, dinding Kota Raja itu berhasil masuk dan menguasainya, maka setiap laki-laki juga akan terbunuh karena keganasan mereka.
Beberapa orang prajurit sibuk mengatur anak-anak muda itu agar mereka bukan sekedar menjadi umpan peperangan. Tetapi anak-anak muda itu akan dibaurkan di antara para prajurit, sehingga mereka akan dapat menempatkan diri dalam perlawanan di antara orang-orang yang, memiliki kemampuan bertempur. Dengan demikian, mereka tidak hanya sekedar bagaikan daun ilalang yang ditebas dengan pedang yang tajam.....
Ternyata bukan anak-anak muda sajalah yang telah turun ke jalan-jalan. Orang-orang tuapun telah bersenjata pula. Apalagi mereka yang pernah menjadi seorang prajurit. Meskipun umur mereka telah bertambah tua, tetapi dalam keadaan yang gawat mereka masih siap untuk bertempur.
Orang-orang di Kota Raja itupun menjadi gelisah. Perempuan dan anak-anak menutup diri di dalam rumah mereka. Sementara setiap laki-laki memperhitungkan, bahwa medan peperangan akan tersebar di seluruh Kota Raja tanpa memilih tempat.
Tetapi setiap orangpun sadar, bahwa pusar dari arah lawan, tentu istana Singasari. Empu Baladatu tentu akan mencapai istana itu dan menghancurkannya.
Mahisa Agni dengan sepasukan kecil pengawal berdiri di tangga pendapa istana Singasari. Hatinya menjadi berdebar-debar melihat kegelisahan para prajurit dan penduduk kota Raja. Ada sepercik penyesalan, bahwa seakan-akan ia telah mendesak agar Ranggawuni dan Mahisa Cemaka memasuki Kota Raja. Jika keduanya berada di medan, maka keadaannya tentu akan berbeda.
Tetapi yang telah terjadi adalah berbeda. Kedua orang pemegang, pimpinan tertinggi itu kini berada di dalam istana yang telah dikepung oleh bahaya.
Namun Mahisa Agni tidak menunjukkan kegelisahan yang mencengkam jantungnya. Di hadapan para pengawal ia nampak tetap tenang dan meyakinkan.
Dalam pada itu, Witantra dan Mahendrapun telah mendengar apa yang telah terjadi. Mereka tidak sabar lagi berjalan lambat bersama pasukannya menuju ke dinding kota. Karena itu, mereka tanpa berjanji dari tempatnya masing-masing telah berlari mendahului.
Tanpa berjanji pula keduanya di tempat yang terpisah, memperhatikan orang-orang yang mengepung dinding. Bahkan tanpa berjanji pula, keduanya telah melakukan tindakan yang berbahaya hampir bersamaan waktunya.
Dengan serta merta keduanya berlari seperti angin langsung menuju kedinding Kota Raja.
Ketika ujung-ujung senjata yang dilontarkan mematuknya, keduanya telah hilang, seolah-olah terbang meloncati dinding kota Raja itu.
Beberapa orang saling berpandangan. Salah seorang berdesis, “Apakah benar aku melihat sesuatu?”
“Ya.” sahut kawannya, “Seseorang telah meloncati dinding.”
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Mereka hampir tidak percaya atas penglihatannya diremangnya malam. Namun beberapa orang telah melihatnya, dan bahkan ada di antara mereka yang yang telah melemparkan senjatanya.
Ternyata Witantra dan Mahendra langsung menuju ke istana. Mereka mencemaskan keadaan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Mahisa Agni terkejut melihat kehadiran mereka yang berturut-turut hanya berselisihan waktu sekejap. Mahisa Agni menyangka bahwa keduanya telah datang bersama-sama menembus kepungan orang-orang Empu Baladatu.
“Kami tidak berjanji.” desis Witantra, “Tetapi agaknya kami mempunyai naluri yang sejalan.”
“Terima kasih. Meskipun kalian hanya berdua, tetapi dengan demikian, pertahanan di istana ini akan bertambah kuat.”
“Mahisa Bungalan telah mengetahui bahwa Empu Baladatu menyerang istana. Mereka bersama pasukannya telah mendekati pintu gerbang. Semua pasukan telah ditarik, kecuali beberapa kelompok yang harus menghadapi sebagian kecil pasukan lawan yang memancing perhatian, seolah-olah hendak melarikan diri.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Keterangan itu membuat hatinya agak sejuk. Namun ia masih juga gelisah, jika Mahisa Bungalan dan pasukannya datang terlambat.
Ternyata bahwa bukan hanya Witantra dan Mahendra Sajalah yang telah dihinggapi oleh pertimbangan yang sama. Beberapa orang Senapati yang mengetahui keadaan Kota Raja, tidak dapat menahan hati. Mereka sadar, jika Empu Baladatu sempat masuk dan menembus jantung kota, maka Kota Raja benar-benar akan menjadi karang, abang. Setiap rumah akan menjadi abu, dan setiap orang akan menjadi mayat. Termasuk istana Singasari dan penghuninya.
Karena itulah, maka beberapa orang Senapati yang memiliki kelebihan telah berlari-lari mendekati dinding kota mendahului pasukannya. Seperti Witantra dan Mahendra, mereka telah berusaha untuk meloncati dinding meskipun mereka mengetahui, bahwa Kota Raja itu telah terkepung. Namun mereka dapat menemukan tempat-tempat yang paling lemah dari kepungan itu, dan berhasil menembusnya dengan berlari kencang-kencang kemudian meloncati dinding Kota Raja yang tinggi.
Para prajurit Singasari yang berada di dalam dinding Kota segera dapat mengenal mereka dari pakaian dan ucapan-ucapan sandi yang telah mereka sepakati, sehingga dengan demikian, maka para Senapati itu telah memberikan sedikit ketenangan kepada para prajurit, yang ada di dalam.
Kehadiran mereka seorang demi seorang, membuat pertahanan di istana menjadi semakin teguh. Meskipun mereka sadar, bahwa lawan akan datang bagaikan banjir bandang.
Para pengikut Empu Baladatu yang menyadari kemungkin dari orang-orang yang meloncat masuk, telah memperketat kepungan mereka, sehingga orang-orang yang datang kemudian menjadi sulit untuk dapat menembus penjagaan di sekitar dinding Kota Raja itu.
Sementara itu para prajurit menjadi semakin banyak memanjat dinding, di sekitar pintu gerbang. Mereka meloncari orang-orang yang berusaha memecah pintu dengan senjata tajam. Bukan saja anak panah, tetapi tombak-tombakpun meluncur seperti hujan yang dicurahkan dari langit.
Dengan perisai-perisai yang memayungi mereka, maka para pengikut Empu Baladatu itu berusaha untuk bekerja lebih cepat, sehingga korban tidak menjadi semakin banyak.
Akhirnya palang pintu yang besar itu benar-benar retak dan bahkan kemudian orang-orang yang ada di dalam tidak berhasil menahannya, sehingga palang pintu itu patah.
Sejenak kemudian, pintu gerbang itupun bagaikan berderak. Perlahan-lahan pintu itu terbuka oleh desakan yang tidak tertahankan lagi.
Dengan satu isyarat, maka orang-orang Singasari pun justru berlari meninggalkan pintu gerbang itu, sementara sekelompok prajurit telah siap dengan anak panah yang sudah melekat di busurnya.
Demikian pintu itu terbuka, maka busurpun segera menggeliat, dan anak panah pun meluncur dengan derasnya.
Para pengikut Empu Baladatu yang mendesak pintu gerbang itu bagaikan air yang memecahkan bendungan. Namun demikian mereka mulai merambat masuk, maka anak panah yang terlepas dari busur telah mengupas lapisan pertama dari orang-orang yang menyerang itu.
Ketika mereka berjatuhan tertembus anak panah di dadanya, maka lapisan berikutnya telah meloncati mayat-mayat yang berguling dan terinjak-injak kaki. Namun, selapis orang-orang berpanah telah menggeser lapisan yang pertama, dan untuk kedua kalinya anak panah telah terlepas dari busurnya.
Namun arus kekuatan Empu Baladatu benar-benar bagaikan banjir bandang. Usaha untuk menahan dengan lontaran anak penah dan rombak hanya berhasil menghambat kemajuan mereka dan mengurangi jumlah, karena merekapun kemudian segera memencar di sekitar pintu gerbang, dan menguasai tempat-tempat yang paling penting.
Dibagian lain, sekelompok pasukan Empu Baladatu telah berusaha memasuki Kota Raja dengan memanjat dinding. Namun mereka mengalami kesulitan, karena prajurit Singasari pun bertahan di atas dinding pula pada bagian-bagian tertentu.
Dengan pecahnya pintu gerbang, maka pasukan Empu Baladatu mengalir memasuki Kota Raja. Demikian mereka menyebar maka pertempuran yang meratapun telah dimulai. Arus pasukan Empu Baladatu bagaikan arus air bah yang menyusup lewat jalan-jalan raya menuju ke pusat kota.
Tetapi di sepanjang jalan, mereka telah menemukan perlawanan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Anak-anak muda dan prajurit-prajurit yang menyebar telah menyerang mereka dari segala arah.
Namun jumlah pengikut Empu Baladatu terlalu banyak. Arus pasukannya benar-benar tidak terbendung lagi. Sebagian dari mereka langsung, menuju ke istana, yang lain memencar menghancurkan yang di jumpainya di sepanjang serangan mereka.
Kota Raja Singasari bagaikan terbenam ke dalam neraka. Dentang senjata dan pekik kesakitan memenuhi jalan-jalan raya dan halaman-halaman yang menjadi ajang pertempuran. Dengan buas dan liar, pasukan Empu Baladatu memuaskan nafsu hitam mereka dengan pembunuhan-pembunuhan.
Laporan tentang pecahnya pintu gerbang segera sampai ketelinga Mahisa Agni. Ia memang sudah menduga, bahwa prajurit Singasari yang ada tidak dapat bertahan. Namun demikian, para prajurit bertekat untuk mempertahankan istana itu sampai kemungkinan yang penghabisan.
Apalagi ketika Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah berada di tangga istana, tidak mengenakan pakaian kebesaran seorang Maharaja, tetapi dalam pakaian seorang panglima perang.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan wajah yang buram ia mendekati Ranggawuni sambil berdesis, “Salah hamba tuanku. Jika tuanku tetap berada di pasukan itu, maka keadaannya tentu akan lebih baik.”
Ranggawuni tersenyum. Katanya, “Bukan salah Paman Aku bangga melihat apa yang sudah dilakukan oleh prajurit-prajurit Singasari. Seandainya aku tidak dapat keluar dari Kota Raja, maka aku sudah puas.”
Mahisa Agni membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Tuanku adalah seorang yang berjiwa besar.”
Ranggawuni menepuk bahu Mahisa Agni sambil berkata, “Jangan bersikap berlebih-lebihan paman. Aku adalah anak-anak yang berada di balik sayap paman Mahisa Agni selama ini bersama Adinda Mahisa Cempaka.”
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kita semuanya akan tetap berada di atas bumi, Singasari. Hidup atau mati.”
Ranggawuni tertawa. Ketika ia berpaling kepada Mahisa Cempaka, maka anak muda itupun tertawa pula.
Dalam para itu pertempuran menjadi semakin dahsyat. Prajurit. Singasari benar-benar telah terdesak ke pusat Kota Raja. Jalan-jalan menjadi merah oleh darah dan pintu-pintupun bagaikan digores dengan lukisan-lukisan maut.
Sementara itu, prajurit Singasari bagaikan dikejar hantu menuju kepintu gerbang. Mereka tidak menyadari keadaan, merasa sangat cemas, bahwa Kota Raja benar-benar akan menjadi karang abang. Mayat akan berserakan seperti tebasan ilalang di padang yang kering.
Beberapa orang yang tidak sabar berlari-lari sekuat tenaga mencari jalan memintas, keluar dari pasukannya. Karena hampir semua orang yang mengepung kota sudah masuk ke dalam dinding Kota, maka orang-orang yang berdatangan itu dapat langsung meloncat ke atas dinding.
Beberapa orang di antara mereka sempat meloncat turun. Dengan tergesa-gesa mereka mencari jalan menuju ke halaman istana yang telah dipagari dengan prajurit Singasari.
Ternyata prajurit Singasari yang berada di halaman istana itu selalu bertambah-tambah. Meskipun mereka terlepas dari ikatan kelompok mereka, namun mereka akan berguna untuk ikut serta mempertahankan istana Singasari.
Banjir bandang itu akhirnya mengalir sampai ke jalan induk yang langsung menuju ke pintu gerbang, istana. Empu Baladatu sendiri yang, memimpin pasukannya telah menelusur jalan itu. Mereka bagaikan menjadi gila karena putus asa. Yang mereka lakukan adalah sekedar menghancurkan. Menghancur kan apa saja, termasuk istana dengan isinya.
Sementara itu, pasukan induk Singasaripun telah mendekati pintu gerbang. Para pemimpinnya seakan-akan sudah tidak sabar lagi. Namun mereka masih tetap berusaha mempertahankan kelompok-kelompok meskipun beberapa di antaranya sudah tidak utuh lagi.
Ketika mereka mendekati pintu gerbang, maka setiap Senapati bagaikan tersentak jantungnya. Mereka sadar, bahwa pintu gerbang itu telah pecah, dan pasukan lawan seluruhnya telah hanyut ke dalam Kota Raja.
“Kita akan memasuki Kota Raja. Kita akan memecah pasukan kita.” berkata Senapati tertinggi.
Sejenak kemudian beberapa orang Senapati masih sempat membagi tugas. Mereka akan memasuki Kota Raja, dan berpencar melalui jalan yang berbeda-beda. Sementara itu. Senapati yang memimpin pasukan induk itu akan langsung membawa pasukannya ke istana bersama Mahisa Bungalan.
Sejenak kemudian maka prajurit Singasari itupun telah berjejalan masuk. Mereka sama sekali tidak menemukan hambatan apapun, karena tidak seorangpun lagi yang berada di sekitar pintu gerbang yang telah pecah itu.
Setiap prajurit menjadi berdebar-debar melihat korban yang berjatuhan. Meskipun sebagian besar adalah para pengikut Empu Baladatu pada lapisan pertama yang terkelupas karena serangan anak panah yang bagaikan hujan.
Namun kemudian pasukan Empu Baladatu itu berhasil mendesak prajurit .Singasari masuk kedalam Kota Raja.
Sejenak kemudian, terdengar sorak para prajurit Singasari bagaikan memecahkn langit. Mereka sengaja menarik perhatian, agar setiap orang yang mendengarnya mengerti, bahwa prajurit Singasari telah datang untuk membendung arus yang gila dari para pengikut Empu Baladatu.
Di simpang-simpang jalan yang saling melintang, maka tiba-tiba saja kedua pasukan itu bertemu. Di simpang-simpang empat, di simpang tiga dan ditikungan.
Dengan demikian, maka pertempuran benar-benar telah memenuhi seluruh Kota Raja.
Namun, kehadiran prajurit Singasari benar-benar telah merubah suasana. Prajurit-prajurit yang bertahan di dalam Kota Raja, yang sudah hampir menjadi berputus itu, tiba-tiba telah mendapatkan gairah baru. Seolah-olah kekuatan mereka yang semakin susut itupun telah pulih kembali.
Tidak ada batas lagi antara para prajurit Singasari dan para pengikut Empu Baladatu. Hanya karena pengenalan mereka masing-masing dan ciri-ciri yang nampak pada para prajurit dan orang-orang Singasari sajalah, mereka dapat membedakan, siapakah lawan di antara mereka.
Yang masih nampak batas yang melingkar adalah halaman istana. Pintu gerbang telah ditutup dan selarak yang besar telah dipasang. Namun masih saja ada beberapa orang yang berloncatan masuk dan menggabungkan diri dengan pasukan pengawal istana yang menjadi semakin banyak memutari halaman istana.
Kehadiran pasukan Singasari itu terlalu cepat menurut perhitungan Empu Baladatu, sehingga ketika ia menerima laporan, maka ia pun mengumpat tidak ada habisnya.
Tetapi jalan menuju ke istana sudah terlalu dekat, sehingga ia pun berteriak, “Kita pecahkan pintu istana. Kita akan masuk dan pertama-tama yang kita lakukan adalah membakar istana itu sehingga menjadi abu. Baru kemudian kita memikirkan, apa yang akan kita lakukan.”
Berlari-larian pasukan Empu Baladatu menempuh jalan lurus yang langsung menuju ke pintu gerbang. Seperti yang sudah mereka lakukan, maka para pengikut, Empu Baladatu itu sudah siap memecahkan pintu gerbang yang diselarak dari dalam itu.
Peristiwa yang telah lerjadi di muka gerbang Kota Raja itu pun terulang. Beberapa orang prajurit Singasari segera memanjat dinding dan menghujani lawannya dengan anak panah.
Tetapi seperti arus banjir, maka pasukan lawan tidak terbendung, lagi. Selarak itupun retak pula seperti pintu gerbang Kota Raja.
Mahisa Agni berdiri di tangga pendapa istana. Hatinya menjadi berdebar-debar. Ia melihat beberapa orang Senapati bertebaran di halaman. Witantra berdiri di sebelah kiri tangga pendapa, sementara Mahendra di sebelah kanan. Sedangkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang bepakaian seorang Senapati perang, berdiri di belakang Mahisa Agni, siap dengan senjata masing-masing. Sementara para prajurit berjejalan siap di belakang pintu gerbang.
Juga seperti di belakang gerbang Kota Raja yang pecah, di lapis pertama adalah mereka yang bersenjatakan anak panah yang sudah siap di busurnya, sehingga demikian pintu itu pecah dan lawan menghambur masuk, anak panah itu akan meluncur dan melumpuhkan orang-orang dilapis pertama.
Tetapi korban sudah mulai berjatuhan sejak para pengikut itu masih berada di luar pintu gerbang. Beberapa orang jatuh terkapar karena anak panah para prajurit di atas dinding. Tetapi satu dua orang prajuritpun terlempar jatuh oleh tombak lawannya yang dilontarkannya kepada mereka,
Ketika hentakkan pada pintu gerbang itu berulang, maka setiap kali retak selarak pintu itupun menjadi semakin besar, sehingga akhirnya, pintu itu tidak dapat ditahan lagi.
Sejenak kemudian maka pintu itupun berderak. Ketika selaraknya patah, maka dengan serta merta pintu itupun terdorong oleh kekuatan yang berjejalan.
Tetapi orang yang berjejalan itupun kemudian tertahan ketika kawan-kawan mereka di lapis pertama berjatuhan oleh anak panah yang bagaikan ditaburkan. Disusul dengan taburan yang kedua sementara yang lain telah menyiapkan anak panah di busurnya.
Tetapi para pengikut Empu Baladatu telah menyadari kemungkinan itu, sehingga merekapun telah siap untuk mengatasinya. Beberapa bagian dari pasukan merekapun segera menebar di sepanjang dinding untuk mengambil jarak medan yang lebih panjang.
Namun para prajuritpun telah siap menunggunya, sehingga sejenak kemudian, maka pertempuran di halaman istana yang luas itupun telah menyala dengan dahsyatnya.
Mahisa Agni masih berdiri ditangga pendapa. Beberapa orang Senapati pun masih berdiri tegak di tempatnya. Mereka memandang para prajurit yang sudah mulai terlihat dalam pertempuran yang sengit.
Terasa dada Mahisa Agni pun telah retak seperti pintu gerbang istana itu. Banyak persoalan yang pernah dialaminya. Baik yang menyangkut masalah pribadinya, maupun yang menyangkut masalah pemerintahan. Sejak ia mengenal Akuwu Tunggul Ametung, tidak langsung ia sudah terlibat dalam banyak persoalan pemerintah, apalagi setelah Ken Dedes berada di istana.
Namun kini, sekelompok orang-orang berilmu hitam yang telah berhasil mempengaruhi beberapa pihak justru merupakan persoalan yang paling parah baginya disaat-saat umurnya menjelang masa-masa tuanya.
Dalam kerisauan itu, hampir diluar sadarnya, Mahisa Agni benar-benar telah mempersiapkan diri dalam puncak kemampuannya. Sudah cukup lama ia tidak mempergunakan kekuatan ilmu puncaknya. Namun dalam keadaan yang sangat gawat itu. maka sebuah getaran yang merambat di seluruh tubuhnya, telah mengantarkan kekuatan Aji Gundala Sasra keseluruh tubuhnya dan seakan-akan telah menjalar pula di senjatanya.
Karena itulah, maka seolah-olah tubuh Mahisa Agni itu dilapisi oleh kekuatan yang tidak kasat mata tetapi mempunyai daya kemampuan yang tidak ada taranya.
Namun agaknya, bukan saja Mahisa Agni. Hampir setiap orang yang menghadapi persoalan yang paling gawat, yang akan langsung menyangkut persoalan maut, akan berusaha untuk mempergunakan segenap kemampuannya untuk mengelakkannya. Witantra, Mahendra, para Senapati yang lainpun agaknya telah siap pula pada puncak ilmu masing-masing. Ilmu yang jarang sekali diperguakan dalam kehidupan wajar sehari-hari.
Dengan demikian, maka setiap sentuhan senjata, akan merupakan bahaya yang tidak terelakkan oleh lawan-lawan mereka. Sentuhan-sentuhan kecil akan dapat memecahkan perisai mereka, dan apalagi jika sentuhan itu telah mengenai tubuh mereka.
Dalam pada itu, lawanpun bagaikan air yang mulai mengalir kesegenap arah. Betapapun juga para prajurit menahan mereka, namun arus itu agaknya memang terlalu kuat, sehingga para prajurit itupun telah terdesak mundur.
Sekilas Mahisa Agni berpaling ke arah kedua anak muda yang memegang pemerintahan di Singasari. Keduanya nampak dengan sungguh-sungguh memperhatikan para prajurit yang mulai terdesak. Sekali-sekali Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menggeletakkan giginya.
Namun ternyata keduanya tidak dapat tinggal diam melihat kesulitan prajurit-prajuritnya.
Karena itulah, maka merekapun kemudian mendekati Mahisa Agni sambil berkata, “Apa kita masih akan menunggu.”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Kemudian katanya, “Tidak. Hendaklah tuanku tetap di sini. Hamba dan para Senapati akan turun ke medan.”
“Paman.” suara Ranggawuni bersungguh-sungguh, “Paman adalah pemomongku sejak aku kanak-kanak. Tetapi sikap paman kini keliru. Aku bukan anak-anak lagi yang harus menepi jika ada kuda lewat di jalan raya.”
“Tuanku.” jawab Mahisa Agni, “Persoalannya bukannya apakah tuanku masih kanak-anak atau sudah dewasa. Tetapi tuanku adalah tumpuan segenap rakyat Singasari, sehingga karena itu, tuanku seharusnya agak menahan diri sedikit. Hamba sadar, betapa darah seorang Senapati muda seperti tuanku akan mengelegak. Jika sekiranya tuanku bukan seorang Maharaja dan Ratu Angabhaya, maka hamba tidak akan mencoba mencegahnya.”
“Kami berdua sekarang adalah prajurit.” potong Ma hisa Cempaka.
“Tetapi tuanku tidak dapat menanggalkan tanggung jawab tuanku dalam keadaan yang paling gawat, hanya karena arus perasaan. Tuanku harus memimpin seluruh Singasari dalam arti sebuah negara. Bukan medan peperangan di halaman istana ini betapapun luasnya.”
Wajah kedua anak muda itu menjadi tegang. Tetapi mereka merasa tersinggung apabila mereka disangka meninggalkan tanggung jawab karena dorongan perasaan.
“Karena itu tuanku.” Mahisa Agni melanjutkan, “Hamba berharap tuanku ada disini. Terserahlah apa yang. akan tuanku lakukan pada saat terakhir jika orang-orang berilmu hitam itu sudah mulai menjamah lantai istana.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menahan gejolak hatinya yang bergelora.
“Hamba mohon diri. Mungkin hamba akan menjadi seorang pembunuh yang tidak berperi kemanusiaan di medan yang garang ini. Tetapi hamba tidak mempunyai pilihan lain Agaknya demikian pula dengan Witantra dan Mahendra.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak menjawab. Mereka sudah mengenal Mahisa Agni sebaik-baiknya, sehingga dalam sikapnya itu, keduanya tidak lagi membantah. Masih ada perasaan segan terhadap orang tua itu, karena Mahisa Agni adalah tetap mereka anggap sebagai guru dan orang tua.
Sejenak kemudian, Mahisa Agni yang sudah dilandasi oleh kekuatan Aji Gundala Sasra itupun mulai melangkah. Perlahan-lahan ia melintasi halaman tanpa berpaling.
Namun dengan demikian, sikapnya adalah perintah bagi semua Senapati yang ada di halaman. Senapati yang sebagian tidak lagi bersama pasukannya, karena didesak oleh kerisauan hati oleh keadaan yang sama sekali di luar perhitungan mereka.
Witantra dan Mahendra melihat Mahisa Agni mulai bergerak, sehingga keduanyapun melangkah pula medekati medan yang semakin gawat.
Sebenarnyalah masih ada keragu-raguan di dalam hati Mahisa Agni. Ia sadar, bahwa jika ia turun kemedan, maka ia benar-benar akan menjadi seorang pembunuh yang paling kejam. Tetapi jika ia menghindar, maka istana itu benar-benar akan menjadi neraka yang, paling jahanam.
Mahisa Agni merasa berdiri di tempat yang paling sulit. Tidak ada pilihan yang melepaskannya dari kemungkinan yang paling buruk.
Namun akhirnya Mahisa Agni menghentakkan tangannya seakan-akan ia telah menemukan pilihan yang tiba-tiba saja mencuat dari dasar hati. Lebih baik baginya membinasakan yang jahat betapapun berat membebani perasaannya daripada mengorbankan yang baik ditelan oleh yang jahat.
Dengan demikian, maka ketetapan hatinya telah mendesaknya untuk bergerak lebih cepat. Sehingga tiba-tiba saja Mahisa Agni telah meloncat berlari ke arena yang semakin parah bagi prajurit Singasari yang jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah orang-orang berilmu hitam dan pengikut Empu Baladatu yang lain.
Kehadiran Mahisa Agni dimedan disambut dengan sorai yang membahana. Rasa-rasanya langit akan runtuh ketika Witantra, Mahendra dan para Senapati telah dengan langsung mengangkat senjata mereka.
Seperti yang diduga semula, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra beserta para Senapati benar-benar merupakan pembunuh-pembunuh yang paling dahsyat. Dengan landasan ilmu mereka yang sulit dicari bandingnya, mereka telah mengamuk bagaikan seekor banteng teluka.
Namun dalam pada itu, lawan mereka benar-benar seperti air yang memecahkan bendungan. Sepuluh terbunuh, yang seratus telah mendesak maju.
Karena itu, betapapun kemampuan yang tidak ada taranyapun masih tetap berada di dalam keterbatasan manusia. Desakan para pengikut Empu Baladatu ternyata masih lebih cepat dari pembunuh-pembunuh yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan para Senapati yang lain, sehinggga pasukan Singasari masih tetap terdesak surut.
Dari jarak yang tidak terlalu dekat, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menyaksikan pertempuran itu. Wajah mereka menjadi tegang ketika mereka melihat arus yang seolah-olah tidak terbendung. Meskipun kemudian arus itu menjadi lambat. tetapi pasti para pengikut Empu Baladatu mendekati istana Singasari.
Betapa malam itu bagaikan malam andrawina bagi maut. Di arena Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan para Senapa ti tidak lagi menahan diri. Kematian tidak lagi dapat dibatasi jumlahnya oleh rasa kemanusiaan.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian mempersiapkan diri. Ia masih dikelilingi oleh beberapa pengawal terpilih. Tetapi jumlahnya terlalu sedikit untuk ikut menentukan keseimbngan, sehingga jika para pengikut Empu Baladatu itu mencapai tangga pendapa istana, maka berarti istana Singasari akan musnah bersama seluruh isinya.
Namun dalam pada itu, dalam ketegangan yang memuncak karena arus lawan yang tidak terbendung, tiba-tiba saja terdengar sorai bagaikan memecahkan dinding halaman.
Ternyata prajurit Singasari yang telah memasuki Kota Raja, sebagian telah mencapai istana meskipun jumlahnya masih belum terlalu banyak.
Sorai itu telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur. Orang-orang yang menyerang merasa kemungkinan yang sudah di genggam itu akan dapat terlepas, sehingga kemarahan yang tiada taranya telah membakar jantung.
Ternyata Empu Baladatu sendiri yang terdapat di antara pasukannya berusaha untuk dapat, tampil di lapisan terdepan. Kematian yang disebarkan oleh tangan dan senjata para Senapati Singasari membuatnya sangat, marah. Namun sorak para prajurit itu membuatnya menjadi semakin marah lagi.
Dengan lantang maka ia pun kemudian berteriak, “Kita maju terus. Kita bakar istana seisinya.”
Namun sementara itu, pasukannya yang berada di belakang, yang masih belum dapat memasuki pintu gerbang karena mereka masih berdesakan, sementara ujung pasukannya masih tertahan oleh prajurit Singasari, harus memalingkan arah pertempuran. Dari arah belakang, prajurit Singasari yang bersorak-sorak itu telah datang menyerang.
Bukan saja sekedar menyerang ekor pasukan Empu Baladatu, tetapi oleh ketidak sabaran, maka sebagian dari mereka telah memanjat dinding dan memasuki halaman dari sebelah menyebelah.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang berdiri di pendapa istananya menarik nafas dalam-dalam. Di halaman istana itu kemudian telah mengalir meloncati dinding, prajurit-prajurit Singasari yang segera terjun karena pertempuran yang semakin sengit itu. Mereka tidak lagi mengikat diri dalam kelompok-kelompok masing-masing, sehingga pertempuran itu benar-benar merupakan perang brubuh. Setiap orang berada di antara kawan dan lawan. Batas medan semakin lama menjadi semakin kabur.
Namun prajurit-prajurit Singasari yang kemudian memenuhi halaman itu kemudian membuat selapis pertahanan yang tidak akan tertembus oleh pasukan Empu Baladatu, sementara para Senapati masih saja bertempur menyebar maut.
Tetapi kehadiran prajurit-prajurit Singasari itu agaknya benar-benar telah merubah keseimbangan pertempuran di halaman itu. Para prajurit yang menyerang pasukan Empu Baladatu di luar pintu gerbang istana telah memancing mereka menyebar di luar halaman sementara yang berada di dalam halamanpun telah tertahan oleh pertahanan yang berlapis-lapis dari prajurit-prajurit Singasari yang telah memasuki halaman itu.
Empu Baladatu yang semula menyangka bahwa ia akan dapat mencapai istana dan membakarnya menjadi abu menjadi sangat cemas menghadapi perkembangan keadaan. Prajurit Singasari baginya terlalu cepat hadir, sehingga rencananya telah rusak karenanya.
Meskipun demikian, dengan suara yang menggelegar ia masih meneriakkan aba-aba untuk membakar istana yang tinggal beberapa puluh langkah saja.
“Kalian dapat memaksa diri menjangkau istana itu.” teriak Empu Baladatu.
Namun pasukannya benar-benar sudah tertahan. Mereka tidak dapat lagi memaksakan diri untuk menggeser medan, karena prajurit Singasari justru mulai mendesak mereka surut kembali ke pintu gerbang, sementara prajurit Singasari yang berada di luar telah menekan pasukan yang tersisa di depan pintu gerbang dengan kekuatan yang semakin lama semakin besar.
Dalama pada itu, selagi pertempuran bagaikan membakar Kota Raja. Mahisa Bungalan tidak sabar lagi menunggu perkembangan keadaan di luar pintu gerbang. Ia pun kemudian meloncat memasuki halaman dan berada di antara para pra jurit yang berlapis-lapis.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak mau sekedar menunggu. Ia pun kemudian menyusuri arena dan mencoba menyusup masuk mendekati Empu Baladatu yang mulai mengamuk.
Ketika ia melihat Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra beserta para Senapati yang lain mengamuk seperti orang yang sedang wuru, maka ia pun segera menempatkan dirinya sehingga pada geseran berikutnya, ia menjadi semakin dekat dengan Empu Baladatu.
“Anak setan itu sudah berada di sana.” geram Empu Baladatu. Namun ia sadar, bahwa, ia memang harus berdiri berhadapan dengan anak muda yang seakan-akan sedang menyongsongnya itu.
Mahisa Bungalan tidak dapat ditahan lagi oleh siapapun juga. Dengan marah ia meyibak kawan, dan menyingkirkan lawan dengan senjatanya untuk dapat mencapai Empu Baladatu di antara mereka.
“Anak iblis. Kapan kau mendengar bahwa pasukanku telah berhasil memasuki Kota Raja?” teriak Empu Baladatu.
“Kelicikanmu telah tercium oleh seluruh medan.” sahut Mahisa Bungalan, “Dan aku berusaha menyongsongmu. Ternyata aku hampir terlambat.”
“Persetan dengan ingauanmu. Kau kira prajurit Singasari tidak licik dengan menyembunyikan diri di padukuhan-padukuhan sehingga megaburkan penilaianku atas kekuatan kalian. Padukuhan-padukuhan yang dihuni oleh para petani itu telah kalian kosongkan dan kalian isi dengan prajurit-prajurit yang tersamar, itu, bukankah itu juga licik? Manakah yang lebih licik dari sikap kami yang jantan memasuki Kota Raja dari pintu gerbang.”
Mahisa Bungalan yang marah menjadi semakin marah. Dengan mengacukan senjata ia menjawab, “Tetapi kau harus menebus kebodohanmu ini dengan taruhan yang sangat mahal. Seluruh pasukanmu akan musna, dan kau sendiri tidak akan dapat ke luar dari halaman istana ini.”
“Kau memang banyak bicara. Sadarilah, bahwa mumpung kau masih hidup, aku ingin membuktikan, bahwa aku benar-benar akan menyobek mulutmu dengan senjata.”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia sudah berhadapan dengan Empu Baladatu, sehingga senjata merekapun mulai berputaran.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Mahisa Bungalan yang dilandasi oleh kemarahan itu segera telah meningkatkan pertempuran itu sampai tataran ilmunya yang tertinggi.
Meskipun demikian, ia melakukan dengan penuh kesadaran. Ia tidak segera kehilangan akal, betapapun kemarahan bagaikan mencekik lehernya sehingga dadanya menjadi sesak. Tetapi ia tetap mempunyai perhitungan dan pertimbangan yang bening menghadapi lawannya yang kuat, tangguh namun kadang-kadang licik.
Pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Empu Baladatu itupun segera meningkat semakin seru, sejalan dengan keadaan medan seluruhnya. Semakin lama prajurit Singasari pun julahnya menjadi semakin bertambah. Yang memasuki halaman istana dengan memanjat dindingpun menjadi semakin banyak pula, sehingga akhirnya pasukan Empu Baladatu benar-benar telah membentur bendungan yang kokoh dan tidak tergoyahkan.
Pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Empu Baladatu itupun segera meningkat semakin seru, sejalan dengan keadaan medan seluruhnya. Semakin lama prajurit Singasari jumlahnya menjadi semakin bertambah.
Namun dengan demikian, maka halaman istana Singasari yang luas itu. menjadi tempat perbantaian yang mengerikan. Mayat berserakan membujur lintang.
Jika dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang menghormati mayat dimanapun mereka menjumpainya, maka di medan perang mayat yang bertebaran telah terinjak-injak kaki.
Bahkan mereka tidak sempat menolong kawan dan apalagi lawan yang terluka, yang masih mempunyai harapan untuk hidup meskipun sudah tidak berdaya. Dan suasana kacau di pertempuran itu agaknya telah mempercepat kematian yang sebenarnya masih mungkin dihindarkan.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menyasikan pertempuran itu dengan hati yang pedih. Ia melihat dua pihak yang saling berbunuhan. Dan kedua belah pihak adalah rakyat Singasari sendiri.
“Pengkhianatan itu telah menuntut tebusan yang mahal sekali.” desis Mahisa Cempaka.
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ini adalah satu pengalaman yang paling pahit dalam hidup kita. Bagaimanapun juga, kita tidak dapat melontarkan kesalahan seluruhnya kepada Empu Baladatu. Jika pemerintahan berjalan tanpa cacat, maka pengaruhnya tidak akan dapat meluas dengan cepat. Karena itu, kita harus melihat kepada kekurangan itu.”
Mahisa Cempaka mengangguk. Ia pun menyadari, bahwa pengaruh buruk itu tidak akan dapat berkembang pesat, jika rakyat Singasari tidak dikecewakan oleh beberapa kepincangan yang tidak disadari oleh para pemimpin pemerintahan.
Namun sementara di halaman istana yang luas itu terjadi pertempuran sengit, dua orang telah berpacu dengan kencangnya meninggalkan daerah yang sedang di bakar oleh peperangan. Dengan dada yang berdebar-debar keduanya berusaha untuk segera menghadap Linggapati di Mahibit.
Perjalanan yang cukup panjang itu harus segera mereka lewati. Mahibit tidak boleh terlambat. Justru pada saat yang paling parah bagi prajurit Singasari. Pertempuran di Kota Raja itu telah menelan banyak sekali korban. Bukan saja dipihak Empu Baladatu. tetapi juga dipihak prajurit Singasari sendiri.
“Jika pertempuran itu berakhir, siapapun yang, menang, maka keadaanya tentu sudah parah sekali. Kedatangan pasukan Mahibit dengan darah yang masih segar, akan mendapatkan kemenangan dengan mudah atas siapapun yang berada di Kota Raja.” berkata salah seorang dari kedua orang yang sedang berpacu itu.
Kawannya tertawa Katannya, “Adalah menyenangkan sekali hadir di Singasari bersama pasukan dalam keadaan seperti sekarang ini. Pada saat sisa-sisa prajurit yang masih hidup sedang mengumpulkan mayat yang tindih menindih tidak terhitung jumlahnya, kita datang untuk membuat mayat itu semakin menggunung.”
Kawanyapun tertawa pula. Seolah-olah mereka akan mendapat kesempatan melihat suatu pertunjukkan yang sangat menarik. Bahkan mereka akan ikut terlibat dalam pembunuhan yang akan memberi banyak kepuasan.
“Tentu tidak akan ada perlawanan yang berarti.” desis salah seorang.
Yang lain mengangguk-angguk. Ia pun membayangkan pula, betapa mudahnya merebut Kota Raja.
“Kita lidak boleh terlambat. Kita harus menyiapkan pasukan dalam waktu singkat. Pertempuran itu akan selesai selambat-lambatnya sehari lagi. Kemudian di hari berikutnya, siapa pun yang menang akan berusaha menyingkirkan mayat-mayat yang berserakkan. Baru di hari berikutnya mereka akan beristirahat. Nah, saat itu adalah saat yang paling baik untuk membantai orang-orang yang tersisa.”
Dengan harapan dan kegembiraan atas kemenangan yang akan dengan mudah dicapainya maka keduanya berpacu terus tanpa mengenal lelah, sehingga perjalanan merekapun rasa-rasanya menjadi semakin pendek.
Dalam pada itu, pertempuran yang menyala di halaman istana menjadi semakin dahsyat. Namun sejenak kemudian, akhir dari pertempuran itu sudah mulai membayang.
Mahisa Agni yang melihat kehadiran Mahisa Bungalan, dan bahkan sudah berhasil menghentikan Empu Baladatu merasa bahwa tugasnya menjadi semakin ringan.
Ketika teringat olehnya, keadaan Singasari dalam keseluruhan, maka perlahan-lahan ia berusaha menghindar dari pertempuran. Agaknya keadaan tidak lagi terlalu gawat. Prajurit Singasari yang telah menyelesaikan lawan-lawannya di luar halaman, sempat, meloncat masuk, karena mereka tidak mendapat tempat lagi di arena di luar pintu gerbang halaman istana itu.
Dengan tubuh yang basah oleh keringat, Mahisa Agni melangkah mendekati Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang masih berdiri bagaikan membeku di tempatnya.
“Tuanku.” sapa Mahisa Agni.
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam.
“Kematian telah mencengkam korbannya tanpa dapat dihitung lagi.”
Ranggawuni mengangguk.
“Hamba juga telah terlibat ke dalamnya, karena hamba tidak dapat membiarkan kematian itu justru menerkam para prajurit Singasari.”
Sekali lagi Ranggawuni mengangguk.
“Tetapi ini belum akhir dari segalanya tuanku.” berkata Mahisa Agni kemudian.
“Apa maksudmu paman? Apalagi yang kira-kira akan terjadi atas Singasari?”
Mahisa Agnilah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara rendah ia berkata, “Kita masih selalu diintip oleh Linggapati di Mahibit.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi tegang.
“Bukankah sejak semula kita sudah memperhitungkannya tuanku.” berkata Mahisa Agni.
“Sekarang, kekuatan kita benar-benar telah lumpuh.” desis Mahisa Cempaka, “Jika pada saat seperti ini mereka datang, maka kita tidak akan mampu berbuat banyak.”
“Tidak seburuk itu tuanku.” jawab Mahisa Agni, “Diluar masih ada pasukan Empu Sanggadaru. “Jika keadaan memaksa, pada saat inipun pasukan itu akan datang. Kesalahan kita kali ini adalah, bahwa kita tidak siap menghadapi keadaan, sehingga, pasukan Empu Baladatu dapat menerobos masuk.”
“Dan korban jatuh tanpa batas.”
“Kita semuanya berprihatin.” jawab Mahisa Agni, “Namun justru karena itu, maka hamba mohon, agar beberapa penghubung dapat diperintahkan untuk memanggil prajurit-prajurit yang tersisa di daerah-daerah terpencil. Kekalahan Empu Baladatu yang sudah membayang, akan menghentikan semua perlawanan di daerah-daerah terpencil jika masih ada pengikut-pengikutnya.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka saling berpandangan sejenak.
“Tuanku.” berkata Mahisa Agni, “Menurut perhitungan hamba, pasukan Empu Baladatu tentu akan segera dapat dikuasai. Ia sudah mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghancurkan Kota Raja. Tetapi ia gagal. Prajurit Singasari berhasil menguasai keadaan meskipun agak terlambat.”
“Apakah menurut perhitunganmu daerah-daerah terpencil itu sudah tidak akan berbahaya lagi?”
“Untuk waktu yang singkat tidak tuanku. Namun seterusnya masih harus ada penilaian lagi. Namun sementara ini, hamba mohon, agar mereka dapat menyegarkan kekuatan kita jika Linggapati benar-benar akan memanfaatkan keadaan ini. Adalah kurang wajar, jika kita sepenuhnya menggantungkan diri kepada pasukan Empu Sanggadaru meskipun ia adalah orang yang dapat dipercaya.” berkata Mahisa Agni.
“Baiklah.” berkata Ranggawuni, “Jika pertempuran ini selesai, dan prajurit Singasari benar-benar dapat menguasai keadaan, kita, akan menyiapkan diri. Pasukan yang masih ada akan dikumpulkan untuk mendapat keterangan tentang tugas baru yang mungkin akan segera menyusul.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Namun yang nampak di halaman itu telah membenarkan perhitungannya. Pasukan Empu Baladatu telah jauh susut. Perlawanan mereka tidak lagi banyak berarti, sehingga pertempuran itu agaknya tidak akan berlangsung lama lagi.
Ternyata bahwa perhitungan Mahisa Agni tidak jauh menyimpang. Meskipun pasukan Empu Baladatu masih berusaha melawan, tetapi kekuatan mereka tidak banyak berarti lagi. Di luar halaman istana, maupun di luar halaman. Bahkan yang bertebaran di jalan-jalan Kota Rajapun telah dapat dikuasai seluruhnya oleh para prajurit Singasari. Juga pasukan kecil yang berusaha memancing perhatian prajurit Singasari di luar Kota Raja, telah seluruhnya dapat diatasi oleh Lembu Ampal.
Karena itu. maka pertempuranpun kemudian tinggal berkobar di sekitar pintu gerbang. Mahisa Bungalan masih berhadapan dengan Empu Baladatu tanpa menghiraukan orang lain, sehingga keduanya seakan-akan sedang terlibat dalam perang tanding.
Pada saat-saat yang gawat bagi pasukannya itulah, Empu Baladatu telah mendapatkan lawan yang tidak dapat diabaikannya. Bahkan kemudian terasa olehnya, bahwa anak muda itu memiliki tenaga yang kuat dan tidak segera susut betapapun ia mengerahkan kekuatannya.
Dengan demikian, maka Empu Baladatu tidak dapat mengingkari lagi, bahwa umurnyapun ikut serta menentukan akhir pertempuran itu. Betapapun ia memiliki ilmu yang semakin meningkat, tetapi berhadapan dengan kemampuan yang seimbang maka ia merasa bahwa umurnya tidak lagi dapat diajak bicara.
Di saat-saat Mahisa Bungalan masih segar, meskipun keringat mengalir di seluruh tubuhnya, Empu Baladatu merasa bahwa kekuatannya mulai susut.
Ketika warna cerah membayang semakin jelas di langit, terasa, bahwa tenaga benar-benar telah terperas habis, la mulai dapat memandang wajah lawannya dengan jelas. Wajah anak muda yang keras seperti batu padas yang basah karena keringat.
Namun dengan demikian, maka jelas pulalah nampak oleh Empu Baladatu mayat yang terbujur lintang berserakan di halaman.
Matahari yang mulai memanjat langit masih menyaksikan, betapa Mahisa Bungalan dan Empu Baladatu bertempur dengan sengitnya, sementara para prajurit sudah hampir menguasai lawan mereka sepenuhnya.....
Tetapi ketika beberapa orang prajurit mengepung Empu Baladatu, maka Mahisa Bungalan berkata lantang, “Aku sedang perang tanding.”
Tidak seorangpun yang berani membantunya. Setiap bantuan, tentu dianggap sebagai suatu penghinaan bagi Mahisa Bungalan yang sedang bertempur melawan Empu Baladatu dipanasnya cahaya matahari pagi.
Namun ternyata bahwa tenaga Empu Baladatu benar-benar telah terperas habis, sehingga ia merasa semakin sulit untuk mengimbangi serangan-serangan Mahisa Bungalan yang datang membadai.
Tetapi bagaimanapun juga Empu Baladatu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Itulah sebabnya, maka ia masih juga menunjukkan, bahwa ia mampu bergerak cepat, dan mempunyai tenaga serangan yang mematikan.
Mahisa Bungalan yang, masih lebih muda, mempergunakan keadaan itu sebaik-baiknya. Nafasnya yang masih teratur dan tenaganya yang masih lebih segar dari lawannya, betapapun ia sudah memerasnya, memberikan lebih banyak kemungkinan dari Empu Baladatu.
Selagi pertempuran seorang melawan seorang itu masih berlangsung dengan sengitnya, para prajurit Singasari benar-benar telah menguasai keadaan. Para pengikut Empu Baladatu benar-benar telah dapat dikalahkan. Selain yang terbunuh, maka sebagian dari mereka telah melepaskan senjata mereka dan menyerah.
“Anak buahmu telah habis Empu.” terdengar suara dari luar medan.
“Jangan ganggu orang tua itu.” Mahisa Bungalan lah yang menyahut.
Tetapi jawaban itu telah menghina Empu Baladatu. Maka ia pun berteriak, “Apa peduliku dengan orang-orang licik dan pengecut itu.”
Tetapi ternyata yang muncul di pinggir arena adalah Mahisa Agni. Dengan wajah yang berkerut-kerut ia mendekati kedua orang yang sedang bertempur itu. Bahkan seolah-olah tidak menghiraukan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang pilih tanding, Mahisa. Agni berdiri dengan tenangnya.
Sekali lagi ia berkata, “Apakah tidak sepantasnya pertempuran ini diakhiri? Anak buah Empu Baladatu sudah tidak ada seorangpun lagi.”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi setelah ia mengetahui bahwa yang mengucapkan kata-kata itu adalah Mahisa Agni, ia tidak berani menyahut. Apalagi membentak.
Empu Baladatu memandang Mahisa Agni sejenak. Dengan geram ia berkata, “Kau akan ikut bertempur bersamanya? Cepat, aku bunuh kalian berdua bersama-sama.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kadang-kadang orang tua. masih saja merindukan masa lampaunya. Masa kejayaannya. Tetapi masa itu sudah lewat Empu. Umurmu tidak lebih muda dari Mahisa Bungalan, sehingga karena itu. maka kesempatanmu pun tidak sama dengan lawanmu yang masih muda itu.”
“Persetan.” Empu Baladatu berteriak sambil menghentakkan senjatanya.
Tetapi serangannya itu bukannya serangan yang. dapat memberikan tekanan pada kata-katanya. Empu Baladatu benar-benar telah mengerahkan segenap tenaganya.
Namun demikan, Empu Baladatu benar-benar seorang yang keras hati. Tidak terpikir sama sekali olehnya untuk menyerah. Betapapun keadaannyan, maka ia sudah bertekad untuk bertempur.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan pun masih harus melayaninya. Ternyata bahwa pertempuran di dalam halaman dan di luar halaman istana sudah seluruhnya berakhir. Hanya tinggal Empu Baladatu seorang diri yang masih mempertahankan harga dirinya.
“Kau tidak punya kawan lagi Empu.” Mahisa Agni ma sih berusaha untuk mendapat perhatian.
Tetapi Empu Baladatu benar-benar tidak mau mendengarkan. Ia bertempur semakin bernafsu. Kadang-kadang liar dan kasar, meskipun tenaganya benar-benar semakin susut.
Empu Baladatu ternyata tidak mau sedikitpun menghiraukan kenyataan tentang dirinya dan pasukannya. Ia bahkan mempergunakan setiap kesempatan dengan licik, justru pada saat-saat Mahisa Bungalan memberikan kesempatan itu kepadanya untuk mendengarkan keterangan Mahisa Agni.
Akhirnya Mahisa Bungalan yang muda itu tidak lagi melihat, sepercik niat baik pada diri Empu Baiadatu. Orang itu benar-benar telah membeku hatinya. Meskipun di halaman itu mayat seolah-olah telah bertimbun, namun Empu Baladatu tidak mempunyai niat untuk menghentikan peperangan. Bahkan ia mengumpat tidak habis-habisnya melihat orang-orangnya yang sama sekali sudah tidak berdaya.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan itu menjadi muak melihat lawannya. Ia sudah cukup lama bertempur. Tidak ada tanda-tanda bahwa Empu Baladatu akan menghentikan pertempuran.
Karena itulah, maka ia merasa wajib untuk berusaha menghentikan pertempuran itu. Apapun akibatnya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lawannya.
Sedangkan satu-satunya cara adalah melumpuhkan lawannya.
Karena itulah maka Mahisa Bungalanpun kemudian menyerang lawannya semakin dahsyat. Kemudaannya ternyata sangat menguntungkan menghadapi Empu Baladatu. Ketahanan tubuhnya dan gelegak darah mudanya di dada. kemudian telah menentukan akhir dari pertempuran itu.
Empu Baladatu yang semakin susut tenaganya, akhirnya menjadi lengah. Ia tidak mampu lagi berusaha untuk melingkari lawannya, justru karena nafasnya menjadi semakin memburu. Apalagi Mahisa Bungalan dengan sengaja telah bertempur dengan loncatan-loncatan panjang, untuk memancing agar lawannya benar-benar memeras tenaganya yang tersisa.
Empu Baladatu masih sempat mengumpat. Tetapi senjata Mahisa Bungalan ternyata mulai menyentuh tubuhnya, sehingga darahnya mulai mengalir di antara keringatnya yang membasahi tubuh.
“Gila.” teriak Empu Baladatu.
Mahisa Bungalan tidak menyahut. Ia sadar, bahwa Empu Baladatu masih mengerahkan puncak ilmunya di saat-saat nafasnya sudah hampir terputus, sehingga orang itu tetap sangat berbahaya baginya.
Namun darah yang mulai meleleh dari luka itu, membuat tenaganya semakin susut. la tidak dapat melawan keharusan pada wadagnya, bahwa luka-lukanya dapat mengganggunya justru pada saat yang gawat.
Tetapi semakin ia mengerahkan kemampuannya, maka rasa-rasanya darah menjadi semakin banyak mengalir dari lukanya.
“Empu.” berkata Mahisa Agni, “Masih ada kesempatan untuk menghentikan pertempuran.”
Tetapi Empu Baladatu sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan buasnya ia menyerang Mahisa Bungalan. Serangannya yang sudah tidak mapan lagi justru telah membuat Mahisa Bungalan menjadi ngeri. Wajah orang tua berilmu hitam itu bagaikan wajah hantu yang mengerikan.
Kengerian itulah yang membuat Mahisa Bungalan pun menjadi semakin kasar. Rasa-rasanya ia bagaikan dikejar-kejar oleh wajah hantu yang bangkit dari dasar bumi.
Karena itulah, tidak ada cara lain untuk menghindarkan diri dari pertempuran itu selain menghentikan perlawanan Empu Baladalu itu sama sekali. Meskipun itu akan berarti membunuhnya, jika senjatanya mematuk terlalu keras dari sekedar melumpuhkan.
Dengan demikian maka serangan Mahisa Bungalan tidak lagi tertahan-tahan. Bagaikan banjir bandang ia menyerang dengan senjatanya, Semakin lama semakin sengit, justru saat-saat Empu Baladatu menjadi semakin lemah.
Ketika darah Empu Baladatu bagaikan memerahi tubuhnya bercampur keringat, maka tikaman Mahisa Bungalan tidak dapat dielakkannya lagi. Sebuah luka telah menganga di dadanya.
Terdengar Empu Baladatu mengeluh. Terhuyung-huyung ia terdorong surut. Namun wajahnya masih saja seperti wajah hantu yang memandang Mahisa Bungalan dengan sorot mata yang mengerikan.
Mahisa Bungalan benar-benar menjadi bingung menghadapi tatapan mata itu. Karena itulah, seolah-olah diluar sadarnya, ia meloncat sekali lagi. Ia harus memusnakan wajah yang memandangnya dengan sangat mengerikan itu.
Itulah sebabnya, maka tusukan berikutnya telah menghempaskan Empu Baladatu. Orang itu terjatuh di tanah dengan semburan darah dari luka-lukanya.
Ketika Mahisa Bungalan siap untuk menghunjamkan senjata sekali lagi justru oleh kengerian yang mencekam jantung, Mahisa Agni sempat mencegahnya. Selangkah ia maju sambil memanggilnya, “Mahisa Bungalan. Hentikan kekacauan nalarmu. Kau adalah seorang kesatria yang menghadapi lawan sudah tidak berdaya.”
Mahisa Bungalan bagaikan tersadar dari mimpi yang sangat buruk. Ia menghentikan langkahnya. Ketika terpandang olehnya wajah Mahisa Agni yang lembut tetapi bagaikan tajamnya sembilu menusuk hati, anak muda itu melangkah surut sambil menundukkan kepalanya.
Sesaat Mahisa Agni memandang anak muda itu. Namun kemudian Perlahan-lahan ia mendekati Empu Baladatu, disusul oleh Witantra dan Mahendra.
Empu Baladatu yang terbaring di tanah masih sempat memandang orang-orang yang mengerumuninya dengan sorot dendam yang menyala di dalam hati. Tetapi ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Bahkan menarik nafaspun rasa-rasanya dadanya sudah terlalu lemah.
Masih terdengar orang itu mengumpat. Namun kemudian wajahnya bagaikan menjadi beku ketika matanya perlahan-lahan telah terpejam.
Empu Baladatu yang garang itu akhirnya terbunuh di medan oleh Mahisa Bungalan. Anak muda yang tumbuh dengan cepatnya di antara mereka memiliki ilmu yang tinggi di dalam oleh kanuragan.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kematian Empu Baladatu merupakan pertanda akhir dari pertempuran yang terjadi di halaman istana dan di seluruh Kota Raja. Ia mati di antara korban-korban lain yang berjatuhan dari kedua belah pihak.
Ketika Mahisa Agni kemudian memandang berkeliling, nampak wajah-wajah yang tegang dari para prajurit Singsari dan wajah-wajah murung dari para pengikut Empu Baladatu yang terpaksa menyerah karena mereka tidak berpengharapan lagi untuk berbuat apapun juga.
“Semuanya telah terselesaikan.” berkata Mahisa Agni, “Kini kita semuanya menghadapi tugas baru. Kita harus menyelenggarakan para korban.”
Para prajurit Singasari menarik nafas dalam-dalam. Mereka adalah termasuk orang-orang yang lolos dari kematian. Namun terasa dada merekapun bergetar ketika terpandang oleh mereka mayat yang berserakan di halaman dan bahkan di jalan-jalan Kota Raja.
“Mumpung kalian masih basah oleh keringat.” berkata Mahisa Agni, “Lakukanlah. Kemudian kalian akan dapat beristirahat dengan tenang.”
Betapapun lelahnya, tetapi para prajurit memang merasa sebaiknya semua pekerjaan diselesaikan sama sekali. Sehingga kemudian mereka akan dapat beristirahat tanpa kegelisahan oleh tugas-tugas yang masih merasa menjadi beban mereka.
Dengan demikian, maka merekapun segera mengumpulkan mayat yang berserakan. Para pengikut Empu Baladatu yang telah menyerahpun harus melakukannya pula di bawah pengawasan para prajurit.
Sementara itu, seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, Singasari telah mengirimkan penghubung ke tempat-tempat yang tidak terlalu jauh, untuk menarik para prajurit yang sedang bertugas di daerah-daerah terpencil. Mereka harus segera berada di Kota Raja menghadapi perkembangan keadaan.
Namun di antara para penghubung, dua orang harus menjumpai Empu Sanggadaru yang berada di padukuhan yang tidak jauh dari gerbang Kota Raja. Keduanya membawa kabar, bahwa Empu Baladatu, adik Empu Sanggadaru telah terbunuh dalam perang tanding melawan Mahisa Bungalan.
Berita itu diterima oleh Empu Sanggadaru dengan hati yang pedih. Bagaimanapun juga, Baladatu adalah adiknya.
“Aku akan segera datang.” berkata Empu Sanggadaru. Dengan beberapa orang pengawalnya, Empu Sanggadaru pun kemudian memasuki pintu gerbang Kota Raja.
Ketika terpandang olehnya korban yang sedang, dikumpulkan, maka terasa betapa jantungnya bergejolak. Diluar sadarnya ia mengusap dadanya dengan telapak tangannya sambil berdesis, “Manusia memang merupakan bahaya yang paling garang bagi sesamanya.”
Namun Empu Sanggadaru dapat mengerti, bahwa bagi Singasari memang tidak ada pilihan lain, jika Singasari masih ingin tetap berdiri.
Dengan wajah yang suram Empu Sanggadaru memandang mayat adiknya yang. terbujur di antara jajaran mayat pengikutnya. Tetapi orang tua itu harus mengikhlaskannya.
“Ia sudah memetik buah dari tanamannya sendiri.” gumam Empu Sanggadaru, “Betapapun juga aku mencoba mencegahnya, namun sia-sia. Dan akhir yang demikianlah agaknya memang sudah menjadi pola hidupnya.”
Mahisa Agni yang berdiri di sampingnva memandangnya sejenak. Namun kemudian katanya, “Marilah Empu. Naiklah kepaseban. Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan mengadakan sidang untuk menanggapi keadaan yang berkembang dengan cepatnya.”
“Apakah aku diperkenankan hadir?” bertanya Empu Sanggadaru.
“Kita akan berbicara tentang persoalan yang sangat luas.” jawab Mahisa Agni.
Empu Sanggadaru masih ragu-ragu. Tetapi Mahisa Agni mendesaknya agar ia ikut hadir dalam pembicaraan tentang masa depan Singasari.
“Baiklah.” berkata Empu Sanggadaru, “Mungkin ada sesuatu yang penting aku dengar.”
Demikianlah, maka Empu Sanggadaru telah hadir dalam pembicaraan di pasehan mengenai nasib Singasari.
“Aku sudah mengirimkan penghubung untuk menarik para prajurit yang tersebar di daerah-daerah terpencil.” berkata Ranggawuni.
“Mudah-mudahan mereka akan dapat segera datang.” Desis Mahisa Agni.
“Mudah-mudahan. Kita masih menghadapi persoalana yang gawat.” sahut Ranggawuni. Kemudian, “Kita berterima kasih kepada Empu Sanggadaru yang sudah siap membantu kita jika sesuatu terjadi.”
“Itu adalah kewajiban kami.” sahut Sanggadaru.
Dengan tandas Ranggawuni menjelaskan apa yang sudah terjadi sampai saat kematian Empu Baladatu. Namun ia pun memberitahukan kemungkinan yang dapat terjadi atas Singasari karena sikap orang-orang Mahibit.
“Kemenangan yang baru saja kita capai jaganlah membuat kita lengah. Setiap saat bahaya yang lain akan datang menerkam Kota Raja. Justru pada saat kita sedang parah.” berkata Ranggawuni, “Karena itulah, maka aku berharap agar dalam kelelahan ini, kita akan tetap sadar bahwa kita masih harus tetap berjaga-jaga.”
Empu Sanggadaru yang segar- itupun berkata, “Tuanku. Dalam pertempuran yang baru lalu ternyata kami tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta. Karena itu, maka kami akan melakukan setiap perintah tuanku menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.”
“Terima kasih Empu. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan dapat membebankan segalanya kepada Empu Sanggadaru.”
“Kami akan berbuat sejauh dapat kami lakukan.”
Ranggawuni meng-angguk-angguk. Ia percaya bahwa Empu Sanggadaru bukan sekedar mencari pujian. Tetapi dengan tulus ia telah mengerahkan kekuatan yang ada padanya untuk membantu kesulitan yang dialami oleh Singasari. Orang-orang yang pernah menyebut dirinya gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang, kini merupakan kekuatan yang besar yang dapat digerakkan untuk kepentingan yang berlawanan dengan kegiatan kedua gerombolan itu pada masa lampau.
Dalam pada itu, selagi para pemimpin di paseban membicarakan masalah-masalah pokok yang akan dihadapi oleh Singasari, maka di halaman dan di Kota Raja, para prajurit dan para tawanan sedang sibuk mengumpulkan mayat yang berserakkan.
Namun sementara itu, di Mahibit, Linggapati sedang mendengar laporan penghubungnya yang baru datang dari Singasari. Dengan yakin penghubung itu mengatakan, bahwa Singasari kini telah lumpuh. Siapapun yang menang, dalam pertempuran yang telah terjadi, mereka tidak akan mampu bertahan jika badai berikutnya datang menghantam Kota Raja.
“Kita akan bersiap-siap.” berkata Linggapati.
“Bukan sekedar bersiap-siap.” sahut penghubung itu, “Tetapi kita akan segera berangkat.”
“Tentu tidak sekarang.” jawab Linggapati, “Tetapi kita harus mengumpulkan semua kekuatan untuk menghantam Kota Raja.”
“Kota Raja sudah terlalu lemah.”
Linggapati termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jika demikian kita tidak perlu mengadakan gerakan di daerah-daerah terpencil. Kita akan langsung memasuki Kota Raja dan menghancurkannya.”
“Ya. Kita akan banyak kehilangan waktu untuk menunggu kekalutan yang terjadi di mana-mana. Sebelum para prajurit siap menghimpun diri, kita akan datang untuk menghancurkannya.”
“Baiklah. Tetapi itu memerlukan satu dua hari. Kekuatan kita tidak berkumpul di bawah satu atap. Bahkan tidak berada di satu padepokan. Tetapi kita akan memanggil mereka. Menyusun dalam satu barisan dan kemudian membawa mereka ke Kota Raja.”
“Jangan terlalu lama.”
“Kita memerlukan satu hari untuk memanggil mereka. Hari berikutnya kita berkumpul. Kemudian di hari berikutnya lagi kita sudah berada di perjalanan. jika benar katamu, luka Kota Raja Singasari itu cukup parah, maka dalam tiga hari luka itu belum akan sembuh benar, siapapun yang menang. Apakah itu Ranggawuni dengan pasukannya atau Empu Baladatu.”
Penghubung itu tidak dapat mengatasinya. Ia sadar, bahwa memang diperlukan waktu untuk mengumpulkan seluruh kekuatan yang ada, menyusun dalam satu barisan yang kuat untuk memasuki Kota Raja Singasari siapapun yang, menguasainya.
Ketika di hari berikutnya, oranga Mahibit bersiap-siap, maka persiapan itu tidak luput dari pengamatan petugas-petugas sandi yang memang sudah dipasang oleh Mahisa Agni. Itulah sebabnya, maka laporan itu pun segera sampai ke istana.
Dengan, dada yang berdebar-debar Mahisa Agni mendengarkan laporan itu.
“Mereka telah berkumpul di Mahibit.” berkata petugas sandi itu.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia dapat membayangkan bahwa kekuatan Mahibit tentu lebih besar dari kekuatan Empu Baladatu. setidak-tidaknya seimbang. Sementara prajurit Singasari yang. kelelahan masih belum sempat beristirahat, sedangkan jumlah merekapun jauh susut.
“Tetapi kita harus berbuat sesuatu.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Karena itu, maka katanya kepada penghubung itu, “Baiklah. Aku akan memperbincangkannya.”
“Nampaknya mereka ingin bergerak cepat.” berkata petugas sandi itu.
“Aku mengerti. Dan aku akan mengimbangi kecepatan mereka bergerak.”
Mahisa Agni pun kemudian membawa persoalan itu dalam sidang yang segera diselenggarakan, termasuk Empu Sanggadaru.
“Pasukanku sudah siap.” berkata Empu Sanggadaru, “Jika dalam pertempuran yang baru saja terjadi, kami telah diasingkan, maka kami akan menebusnya dalam kegawatan yang bakal datang di Kota Raja.”
“Terima kasih Empu. Sementara kami masih menunggu kehadiran para prajurit yang dalam kelompok-kelompok kecil akan memasuki Kota Raja.”
“Jika keadaan memaksa, aku akan bertahan sampai mereka datang.” berkata Empu Sanggadaru.
“Baiklah Empu. Tetapi sesuai dengan perkembangan keadaan dan keadaan pasukan, maka kita akan bertahan di dalam dinding Kota Raja. Kita akan memperbaiki selarak pintu dan menjaganya dengan segenap kekuatan. Jika mereka memasuki Kota Raja, kita siap menyongsong. Namun menurut pertimbangan kekuatan kita sebaiknya berada di dalam dinding. Untuk melampaui dinding mereka tentu akan memberikan korban yang tidak sedikit, sebelum pertempuran campuh terjadi di dalam Kota Raja.” sahut Mahisa Agni.
“Tetapi Kota Raja akan menjadi semakin parah. Rumah-rumah akan menjadi bara dan jalan-jalan akan menjadi saluran arus darah yang tertumpah dari para korban. Pertempuran yang baru lalu telah merusakkan sebagian dari Kota Raja. Yang rusak itu belum sempat diperbaiki, akan datang bencana baru yang akan menambah kerusakan itu.” jawab Empu Sanggadaru.
“Tetapi kita memang harus memilih. Kita akan mengurangi korban sampai sekecil-kecilnya atau kita lebih senang menyelamatkan Kota Raja dari kerusakan. Jika yang baru saja kita lakukan adalah bertahan di luar dinding, maka menurut perhitungan kita, kita tidak akan mengalami banyak kesulitan untuk bertahan dan menyelamatkan Kota Raja. Tetapi karena kelengahan kita, maka Empu Baladatu telah berhasil memasuki Kota Raja dan menghancurkannya.” berkata Mahisa Agni.
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan membawa pasukanku ke dalam Kota Raja dan bertahan di belakang dinding.”
“Kami akan memperbanyak senjata jarak jauh. Kami akan menyiapkan busur dan anak panah.” berkata Mahisa Agni kemudian.
Empu Sanggadaru tidak dapat berpendirian lain. Para Senapatipun sependapat, bahwa dalam keadaan yang lelah, prajurit Singasari lebih baik bertahan di belakang dinding Kota Raja meskipun pasukan Empu Sanggadaru masih segar.
Karena itu, maka Empu Sanggadaru segera ditarik masuk ke dalam kota, sementara beberapa orang telah memperbaiki selarak. Bahkan tidak hanya satu. Tetapi pintu gerbang itu telah diselarak rangkap.
Sementara beberapa orang lain telah mempersiapkan busur sebanyak-banyaknya beserta anak panahnya. Mereka harus menyediakan bagi para prajurit dan pasukan Empu Sanggadaru yang akan menghujani lawan dengan anak panah.
Sebagian dari mereka telah membuat busur dengan bambu. Meskipun kurang baik, tetapi cukup untuk melontarkan anak panah dan melukai dada.
Sementara para prajurit dan pasukan Empu Sanggadaru bersiap-siap setelah mereka melakukan tugas yang membuat mereka pening, yaitu mengubur mayat-mayat yang berserakan, maka para penghubung telah menyampaikan perintah bagi para prajurit yang tersebar untuk kembali ke Kota Raja secepatnya.
“Tidak ada waktu untuk pertimbangan- pertimbangan.” berkata para pemimpin kelompok kepada pasukan mereka.
Maka mereka pun segera minta diri kepada anak-anak muda yang selama itu telah mereka persiapkan. Bahkan dengan pesan, bahwa jika perlu mereka tentu akan dipanggil pula ke Kota Raja.
Sekelompok demi sekelompok dari daerah yang terpencar, prajurit-prajurit Singasari telah mendekati Kota Kaja. Para penghubung telah memberikan pesan, bahwa mereka harus segera berada di dalam Kota Raja, karena bahaya nampaknya tidak akan tertunda-tunda lagi.
Kedatangan mereka disambut dengan penuh harapan, bahwa Kota Raja akan dapat diselamatkan dari serangan Linggapati yang cerdik.
Namun mereka digelisahkan oleh kedatangan seorang petugas sandi yang lain, yang memberitahukan, bahwa jumlah pasukan Mahibit ternyata sangat besar. Jauh lebih besar dari pasukan Empu Baladatu.
Para pemimpin prajurit di Singasari menjadi berdebar-debar mendengar laporan itu. Namun Mahisa Agni masih mencoba menenangkan mereka. Meskipun pasukan Empu Sanggadaru belum sebesar seperempat pasukan Empu Baladatu, tetapi masih ada harapan bahwa prajurit Singasari akan bertambah semakin banyak, sehingga pada saat orang-orang Mahibit itu memasuki Kota Raja, pasukan Singasari telah siap menghancurkan lawan.
“Tetapi lawan itu jauh lebih besar.” setiap kali terdengar para Senapati bergumam.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni berpaling kepada para Senapati. Ada sesuatu yang terbesit di dalam hatinya. Namun nampaknya ia masih ragu-ragu mengatakannya.
Ranggawuni agaknya melihat gejolak hati Mahisa Agni, sehingga ia pun kemudian bertanya, “Paman, apakah ada sesuatu yang terpikir oleh paman menghadapi keadaan yang gawat ini?”
Mahisa Agni menarik nafas. Kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Hamba mempunyai suatu pendapat yang barangkali masih memerlukan pertimbangan.”
“Katakan paman, apapun yang sedang paman pikirkan Jika para Senapati berpendapat pikiran itu baik, kita tentu akan melaksanakan. Jika tidak, kami akan memberikan penilaian atas pendapat paman.”
Mahisa Agni rnengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Tuanku. jika sekiranya hamba diperkenankan, hamba ingin menyusun pasukan yang terdiri dari para tawanan yang baru saja kita kalahkan dari pasukan Empu Baladatu. Hamba akan memberikan penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya kita hadapi. Kita akan menjajakan pengampunan, jika mereka dengan sungguh-sungguh membantu kita.”
Raggawuni mengerutkan keningnya. Seorang Senapati muda dengan serta merta bertanya, “Bagaimanakah jika mereka ternyata berpihak kepada Linggapati?”
“Kita harus memberikan penjelasan bahwa linggapati tidak akan dapat dipercaya. Jika benar-benar Linggapati tidak bermaksud mengkhianati Empu Baladatu. maka ia tidak akan menunggu sampai pasukannya hancur. Tentu mereka akan dapat menilai sikap itu.”
“Apakah kita yakin bahwa mereka lebih percaya kepada kita daripada kepada Linggapati?” bertanya Senapati yang lain.
“Aku memang menganggap demikian. Kita tidak membunuhnya meskipun kita dapat mengalahkan mereka. Kita menawan mereka dengan sikap yang wajar.”
Ranggawuni yang mendengarkan pembicaraan itu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Tetapi apakah paman yakin?”
“Hamba yakin terhadap sikap mereka. Yang hamba ragukan apakah pendapat ini akan dapat disetujui.”
Ranggawuni mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Cempaka bertanya, “Apkah paman pernah berbicara dengan satu dua orang di antara mereka?”
“Hamba tuanku. Dan hamba mendapat kesimpulan, bahwa sebagian dari mereka sama sekali tidak mengerti dan tidak menyadari apakah yang sebenarnya telah mereka lakukan.”
Mahisa Cempaka memandang Ranggawuni sesaat. Kemudian katanya, “Jika paman yakin, bahwa paman dapat memberikan penjelasan, aku kira pendapat paman dapat dicoba dengan memilih di antara mereka, orang-orang yang nampaknya tidak terlalu liar.”
“Aku sependapat.” sahut Ranggawuni, “Cobalah paman bersama beberapa orang mengamati sekali lagi. Apakah kita akan dapat, mempercayai mereka.”
Mahisa Agni mengangguk sambil menjawab, “Hamba akan menjajagi lebih dalam lagi tuanku. Mudah-mudahan hamba mendapatkan kenyataan seperti yang hamba duga.”
Setelah pembicaraan itu selesai maka Mahisa Agni pun segera menemui orang-orang yang berada dalam tahanan bersama Witantra, Mahendra, Lembu Ampal dan Mahisa Bungalan. Dengan berbagai cara mereka berusaha untuk menjajagi pendapat para tawanan itu.
Dengan hati-hati Mahisa Agni berbicara di hadapan mereka tentang keadaan yang sedang dihadapi oleh Singasari. Sikap Linggapati terhadap Empu Baladatu dan kemudian janji pengampunan terhadap mereka yang bersedia dan kemudian membuktikan, bahwa mereka telah menyesali sikapnya.
“Mungkin ada di antara kalian yang terbunuh sebelum menikmati pembebasan yang kami janjikan. Tetapi mayat kalian akan dikubur bersama para pahlawan dari Singasari. Tidak disisihkan sebagai pengkhianat yang telah memberontak terhadap negara.”
Para tawanan itu mendengarkan keterangan Mahisa Agni dengan saksama. Keterangan yang cukup panjang dan meyakinkan.
“Akhirnya, terserah kepada kalian. Pintu ruangan ini akan dibuka. Demikian pula pintu ruangan-ruangan lain. Siapa yang bersedia menerima tawaran pembebasan dan kesempatan untuk menebus kesalahan yang pernah kalian lakukan, aku persilahkan keluar dan berkumpul di halaman depan. Sedangkan yang tidak bersedia, kami tidak akan memaksanya. Mereka dipersilahkan tetap berada di dalam ruangan ini.”
Mahisa Agni tidak menunggu jawaban. Ia pun segera meninggalkan ruangan itu dan memasuki ruangan berikutnya sehingga ia telah berbicara dibeberapa ruangan bergantian dengan Witantra, Mahendra, dan Lembu Ampal.
Setiap ruangan yang dimasuki oleh pemimpin-pemimpin Singasari itu, telah menjadi gelisah. Beberapa orang diburu keragu-raguan. Mereka dibayangi oleh kecurigaan, bahwa mereka akan ditipu oleh prajurit Singasari. Namun timbul juga kepercayaan mereka melihat kesungguhan sikap para pemimpin Singasari yarg telah datang kesetiap ruangan itu.
“Kesempatan seperti ini jarang sekali didapat oleh tawanan yang manapun juga.” desis salah seorang dari mereka.
“Setelah perang melawan Mahibit selesai, kita akan di bantai. Siapapun yang menang.” sahut yang lain.
“Aku percaya kepada Mahisa Agni. Ia bukan termasuk orang yang licik. Aku kira ia benar-benar akan menepati janjinya. Aku lebih percaya kepada Mahisa Agni daripada orang-orang Mahibit. Termasuk Linggapati.” berkata seorang yang telah agak lanjut usia tetapi badannya masih nampak kuat dan gagah.
Sejenak mereka saling berbincang. Namun akhirnya di setiap ruangan telah tumbuh kepercayaan, bahwa Mahisa Agni dan kawan-kawannya tidak termasuk orang yang licik dan pendusta. Mereka adalah kesatria yang dapat dipercaya kata-katanya.
Karena itulah, maka meskipun ragu-ragu, beberapa orang telah menjenguk ke luar pintu yang tetap terbuka. Beberapa, saat masih nampak keragu-raguan yang mencengkam. Namun ketika seorang dari mereka melangkah ke luar, maka yang lainpun segera menyusul seorang demi seorang. Tetapi akhirnya ruangan-ruangan itu telah menjadi kosong.
Kehadiran mereka di halaman depan telah disambut oleh para prajurit Singasari seperti keluarga sendiri. Mereka kemudian disusun dalam satu barisan. Namun kemudian kelompok-kelompok kecil mereka telah dilebur dengan pasukan Singasari.
“Mereka tetap curiga terhadap kita.” seseorang di antara mereka berbisik.
“Itu wajar sekali.” jawab yang lain.
“Dengan begini, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Pasukan kita telah dipecah dalam kelompok-kelompok dan dibaurkan dengan prajurit Singasari di tempat yang terpisah-pisah.”
“Justru kita harus membuktikan bahwa kita tidak sekedar berbohong dengan licik. Kita harus membuktikan bahwa kita benar-benar ingin menebus kesalahan yang pernah kita buat. Jika kita tetap hidup, maka kita akan dapat menikmati kebebasan seperti kebanyakan orang. Sedangkan kemungkinan kita untuk mati, tidak lebih buruk dari prajurit-prajurit Singasari sendiri.”
Demikianlah maka bekas pengikut Empu Baladatu itu hampir seluruhnya yang tertawan hidup telah menyatakan diri ikut serta dalam perjuangan melawan orang-orang Mahibit. Mereka telah mempertaruhkan jiwa mereka untuk mendapatkan kebebasan seperti kebanyakan orang-orang Singasari yang lain. Rasa-rasanya mereka telah dicengkam oleh kerinduan untuk hidup tanpa dikejar-kejar oleh kewajiban-kewajiban yang kemudian mereka sadari, seolah-olah telah mengikat mereka pada jantung dan hati. Hidup sebagai orang-orang yang menghirup ilmu hitam dengan segaIa macam tata cara yang mengerikan, maupun hidup sebagai tawanan di dalam batas dinding-dinding yang kuat.
Kesempatan yang terbuka itu memang harus dipertaruhkan dengan segenap hidup mereka. Dan orang-orang bekas pengikut Empu Baladatu itu telah memilih untuk menebus kebebasan itu dengan jiwa mereka.
Demikianlah, maka pasukan Singasari telah bertambah kuat. Di antara mereka terdapat pasukan Empu Sanggadaru dan bekas para pengikut Empu Baladatu. Sementara itu prajurit Singasari yang terpencar sekelompok demi sekelompok telah memasuki pintu gerbang Kota Raja.
Sementara itu, Linggapati telah siap dengan seluruh pasukannya. Laporan terakhir yang sampai kepadanya, mengatakan bahwa prajurit Singasari telah berhasil menghancurkan pasukan Empu Baladatu. Tetapi prajurit Singasari harus menebus kemenangan itu dengan korban yang tidak terhitung jumlahnya, karena Empu Baladatu berhasil memasuki halaman istana setelah mereka menghancurkan Kota Raja.
“Bukan main.” desis Linggapati, “Empu Baladatu benar-benar membuktikan bahwa ia memiliki kekuatan cukup untuk menghancurkan Singasari meskipun ia sendiri akhirnya juga menjadi hancur.”
“Kita harus segera menguasai keadaan.” berkata seorang kepercayaannya.
“Ya. Kita akan berangkat dengan kekuatan kita sepenuhnya. Kita tidak mau gagal oleh kesombongan, bahwa Singasari tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.”
“Kita akan memasuki Kota Raja dan akan berbaris di sepanjang jalan Kota menuju ke halaman istana. Mungkin Kota Raja telah hancur dan rata dengan tanah. Mungkin istana Singasari pun telah rusak. Tetapi lambang kekuasaan itu akan jatuh ketangan kita. Kita akan membangunkannya kembali dengan kemegahan yang melampaui Kota Raja Singasari yang lama.”
Dengan penuh harapan, Linggapati membawa pasukannya menuju ke Kota Raja. Di sepajang jalan, setiap orang di dalam pasukannya, telah memperbincangkan kemungkinan yang akan mereka hadapi.
“Kita akan menemukan sebuah Kota yang sudah hancur. Kita tidak akan dapat merampas harta benda maupun membawa puteri yang telah kita taklukkan. Semuanya sudah dihanguskan oleh Empu Baladatu meskipun akhirnya Empu Baladatu sendiri menjadi hangus.”
Ternyata bahwa Linggapati tidak dapat menghapuskan perasaan bangganya terhadap pasukannya yang kuat. Kesalahan yang pertama dibuatnya, adalah bahwa ia menganggap prajurit Singasari benar-benar telah lumpuh.
Itulah sebabnya, maka Linggapati yang sampai saat terakhir berhasil merahasiakan seluruh kekuatannya, maka kini ia sama sekali tidak menyamarkan pasukannya. Pasukan itu berjalan dengan tenang di sepanjang jalan menuju ke Kota Raja.
Penghuni padepokan yang dilalui oleh pasukan itu menjadi gempar. Mereka melihat sepasukan pengawal lengkap dengan senjata di tangan.
“Apakah yang akan mereka lakukan?” pertanyaan itu timbul pada setiap orang.
Tetapi tidak seorang pun yang dapat memberikan jawaban. Sebagian dari mereka memang berprasangka buruk terhadap pasukan itu. Namun yang lain sama sekali tidak dapat menyebutkan sama sekali.
Namun dalam pada itu. Singasari telah siap menyambut pasukan yang baru datang. Bahkan hampir setiap saat, para pengawas datang melaporkan apa yang mereka lihat pada pasukan Linggapati yang semakin mendekati Kota Raja.
“Pasukan ini lebih kuat dan lebih gila dari pasukan Empu Baladatu.” seorang pengawas melaporkan.
“Apa yang kau lihat?”
“Mereka berjalan dengan tenang di sepanjang jalan raya. Bahkan sekali-sekali mereka bersorak-sorak seolah-olah mereka telah mendapatkan kemenangan di suatu medan. Mereka mengacukan senjata mereka dan membentak orang-orang padukuhan yang karena ketidak tahuan mereka, berusaha untuk melihat, iring-iringan apakah yang sedang lewat itu.”
Para Senapati di Singasari termangu-mangu mendengar laporan itu. Mereka telah membayangkan, bahwa pertempuran yang bakal datang, tidak akan kalah dahsyatnya dengan pertempuran yang baru diselesaikan oleh prajurit-prajurit Singasari.
Dengan hati yang berdebar-debar para prajurit Singasari telah mempersiapkan perlawanan dari atas dinding Kota Raja Di belakang dinding, pasukan yang besar telah bersiaga pula. Di antara mereka terdapat bekas para pengikut Empu Baladatu yang telah menemukan keyakinan baru di dalam hidupnya.
Sementara di lapisan yang terakhir. anak-anak muda Singasari telah memegang senjata pula. Bukan saja anak-anak muda dari dalam Kota Raja. Tetapi anak-anak muda dari sekitar Kota Raja yang keluarganya mengungsi masuk ke dalam dinding, telah ikut bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Bahkan bukan saja anak-anak muda. Tetapi di setiap halaman, setiap orang laki-laki telah bersiap-siap pula untuk melakukan perlawanan dengan cara masing-masing.
Sementara itu, segerombolan anak-anak muda yang nakal seakan-akan telah mendapat kesempatan untuk menyalurkan kenakalannya tanpa dihalau orang. Mereka telah mempersiapkan perlawanan yang khusus, sesuai dengan kenakalan mereka.
Beberapa orang anak muda telah membuat semprotan dari bumbung yang, berlubang-lubang pada ruasnya, sementara dari lubang batangnya di susupkan galah yang dibalui dengan sobekan-sobekan kain.
Sementara itu anak-anak muda yang lain telah menumbuk batang dan akar pohon rawe yang sangat gatal, sedang yang lain lagi telah memetik buah cabe sebanyak-banyak di sawah dan ditumbuk pula.
Cairan batang rawe dan cabe itulah yang mereka persiapkan di atas dinding Kota Raja, di atas pintu gerbang. Mereka tidak bersiap dengan busur dan anak panah, tetapi mereka siap dengan bumbung-bumbung semprotan di tangan.
Prajurit-prajurit Singasari tidak mencegah mereka. Bahkan mereka telah siap melindungi anak-anak nakal itu dengan busur dan anak panah. Jika orang-orang Mahibit berusaha memecah pintu dengan cara yang dipergunakan oleh para pengikut Empu Baladatu, dan mereka dilindungi dengan perisai, maka semprotan air rawe dan cabe yang gatal dan panas itu akan dapat, membantu menghambat usaha mereka, karena titik-titik air yang terlontar dari semprotan itu akan didorong oleh angin, menyusup sela-sela perisai yang betapapun rapatnya.
Rasa-rasanya terlalu lama bagi anak-anak muda itu untuk menunggu. Mereka sudah tidak sabar lagi ketika malam mulai turun. Namun merekapun sadar, bahwa di malam hari, pasukan Mahibit tentu tidak akan menyerang. Kecuali dalam keadaan yang khusus seperti yang dilakukan oleh Empu Baladatu.
Namun di tengah malam, dua pengawas dengan tergesa-gesa melaporkan, bahwa pasukan lawan yang sedang beristirahal agak jauh di luar Kota Raja, telah mulai bergerak.
Anak-anak muda yang telah mempersiapkan senjata mereka yang aneh itupun segera mengenakan kantong-kantong yang terbuat dari kulit yang tipis dan lemas untuk melindungi tangan mereka dari cairan yang gatal dan panas itu Di atas dinding mereka telah bersiap dengan semprotan-semprotan bumbung mereka.
Tetapi agaknya Linggapati hanya mendekat saja pada pintu gerbang. Mereka ternyata berhenti dan beristirahat di padukuhan terdekat.
Ternyata pasukan Mahibit itu benar-benar menggetarkan jantung. Selain jumlah mereka yang besar, nampaknya mereka mempunyai ikatan dan kemampuan yang lebih besar dari pasukan Empu Baladatu.
“Mereka akan datang besok pagi-pagi benar-benar.” desis seorang anak muda.
Prajurit Singasari menjadi berdebar-debar. Tetapi di antara mereka masih ada yang sempat membenamkan diri di bawah selimut sambil bersandar dinding gardu.
“Mereka tidak akan menyerang malam ini.” desisnya sambil menguap.
Kawannya mengangguk. Ia pun mencoba untuk memejamkan matanya pula. Tetapi kegelisahannya telah membuatnya sama sekali tidak dapat tidur lagi.
Para Senapati Singasari memang, masih memberi kesempatan kepada para prajuritnya untuk beristirahat. Mereka akan terlibat dalam perang yang dahsyat, yang mungkin akan memerlukan waktu yang lama.
Tetapi sebagian dari para prajurit itu memang tidak dapat beristirahat dengan tenang. Sebagian dari mereka justru berjalan mondar mandir dengan senjata dalam pelukan.
Dalam pada itu, masih ada satu dua kelompok pajurit Singasari yang mendekati gerbang. Tetapi mereka tidak berani langsung, menuju ke dinding kota. Dengan hati-hati mereka mengirimkan satu dua orang penghubung melalui jalan-jalan sepi dan terpencil dari jalur jalan padukuhan. Bahkan kadang-kadang merayap di pematang di sela-sela tanaman yang mulai rimbun.
Di muka pintu gerbang mereka mengacukan tangan mereka sebagai isyarat, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Singasari.
“Dimana kelompok kalian?”
“Berhenti di seberang jalan silang.”
“Bodoh. Orang-orang Mahibit berada di padukuhan di sebelah simpang empat dan di padukuhan kecil antara simpang empat dan bukit kecil itu.”
“Kami tidak tahu.”
“Kau lewat jalan itu?”
“Tidak. Kami memang sudah berprasangka berdasarkan naluri keprajuritan kami. Kami menyusur pematang yang menyilang bulak panjang itu. Kemudian menyusuri parit.”
“Bagus. Bawa kelompokmu mendekat. Tetapi hindari sejauh mungkin orang-orang Mahibit itu. Kau sudah berada di dekat padukuhan tempat mereka beristirahat menunggu fajar, cepatlah. Tetapi melingkarlah, agar kau tidak dicincang di perempatan itu.”
Petugas itu dengan tergesa-gesa kembali ke dalam kelompoknya. Tetapi mereka benar-benar mengambil jalan melingkar. Dengan cemas mereka melaporkan bahwa mereka justru berada di belakang pasukan Mahibit.
“Untunglah kita berhenti di sini dan mencari hubungan dengan Kota Raja. Jika kita berjalan terus, maka kita akan masuk kekandang harimau di padukuhan itu.” berkata pemimpin kelompok kecil itu.
Dengan tergesa-gesa kelompok kecil itupun kemudian berjalan melingkari menuju ke pintu gerbang.
Ketika terdengar pintu itu berderak, maka merekapun seolah-olah berloncatan masuk didorong oleh kecemasan bahwa lawan-lawan mereka berada di punggung mereka.
Tetapi ternyata bahwa diantara kelompok-kelompok kecil itu ada juga yang terjebak memasuki padukuhan tempat orang-orang Mahibit beristirahat. Sehingga dengan demikian, maka nasib mereka benar-benar merupakan nasib yang sangat buruk.
Satu dua orang yang berhasil melarikan diri, sempat mencapai pintu gerbang dan melaporkan apa yang terjadi pada kelompok kecil mereka itu.
Tetapi prajurit-prajurit Singasari tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak dapat merusak semua persiapan yang telah mereka lakukan untuk melawan orang-orang Mahibit dari balik dinding Kota Raja.
“Mereka adalah korban-korban yang pertama.” desis seorang Senapati yang memandang ke dalam kegelapan malam dengan kelopak mata yang panas, “Sementara kami tidak dapat berbuat apa-apa.”
Beberapa orang yang berdiri di dinding Kota Raja menggeretakkan giginya. Korban masih akan berjatuhan. Tetapi bahwa sekelompok kecil telah terjebak di luar sadarnya, masuk ke dalam lingkungan pasukan lawan, adalah peristiwa yang sannat mendebarkan.
“Besok kita akan membalas.” geram seorang prajurit muda, “Jika mereka memasuki pintu gerbang ini kita akan mencincang mereka.”
Sementara yang lain mengatakan, “Kita perlu menebarkan petugas-petugas sandi, agar peristiwa itu tidak terulang. Kita akan menunggu agak jauh di belakang pasukan Mahibit, karena menurut perhitungan, masih akan ada kelompok-kelompok kecil yang datang.”
Pendapat itu akhirnya sampai ketelinga para Senapati, sehingga merekapun kemudian benar-benar menunjuk beberapa orang untuk tugas yang berbahaya itu. Tetapi ternyata bahwa setiap orang yang menerima tugas itu, telah melakukannya dengan penuh tanggung jawab, karena mereka merasa bahwa dengan demikian mereka akan dapat menyelamatkan kawan-kawan mereka yang tidak mengetahui, apa yang telah terjardi sebenarnya.
Dan ternyata bahwa beberapa orang petugas benar-benar telah menjumpai kelompok-kelompok kecil yang ingin dengan tergesa-gesa sampai ke kota raja, sehingga mereka tetap berjalan di malam hari.
“Kalian jangan memasuki tempat-tempat yang berbahaya itu.” setiap petugas yang, menjumpai kelompok-kelompok kacil itu memperingatkan dan memberikan petunjuka yang diperlukan.....