S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
“Gila!” teriak Linggadadi, “kenapa paman tiba-tiba menjadi cengeng?”
Daranambang berpaling. Tapi iapun tersenyum sambil menjawab, “Seperti yang dikatakan oleh kakakmu. Bau darah membuat kau kehilangan pengamatan diri Kedua anak muda ini telah menolong kita. Senang atau tidak senang, kita harus mengakui.”
“Persetan” potong Linggadadi.
“Sudahlah” ulang Linggapati, “pergilah. Jangan menunggu persoalan berkembang semakin buruk.”
“Kalian akan membunuh kami?”
“Ya” jawab Linggadadi tegas.
Salah seorang dari kedua anak muda itu menjawab acuh tidak acuh , “Jika kalian memang ingin membunuh kami, maka keinginan yang serupa rasa-rasanya tumbuh pula di hati kami.”
Linggadadi menjadi sangat marah, sehingga diluar sadar nya ia telah meloncat maju mendekati kedua anak-anak muda itu. Namun bersamaan dengan itu pula Daranambang pun telah melangkah mendekatinya sambil berkata, “Anak-anak muda kadang-kadang memang tidak dapat mengekang diri. Tetapi itu bukan berarti bahwa setiap kemauan harus dilakukan tanpa pertimbangan.”
Linggadadi menggeram. Wajahnya menjadi merah membara. Dengan lantang ia berkata, “Dan paman membiarkan kedua anak-anak ingusan itu menghina kami?”
“Sama sekali bukan anak ingusan” jawab Daranambang., “Ingat, mereka sudah dapat mempertahankan dirinya melawan orang-orang berilmu hitam itu.”
“Tetapi tidak untuk menghina kami.”
“Tentu maksudnya sama sekali bukan untuk menghina. Mereka hanya ingin mendapat kesempatan untuk menjajagi ilmunya. Tetapi tidak dengan kita, karena persoalannya akan menjadi jauh berbeda.”
Linggadadi memandang kedua anak-anak muda itu bagaikan akan diterkamnya. Sementara itu Linggapati berkata, “Sudahlah. Tidak ada gunanya kau berkeras kepala. Aku sependapat dengan paman. Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Kita akan melanjutkan perjalanan.”
“Kita akan mengorbankan harga diri kita” berkata Linggadadi, “mula-mula kita biarkan lawan-lawan kita direbutnya. Keduanya merasa dirinya sanggup menolong kami. Kemudian dalam sikap yang sulit dimengerti, kita justru meninggalkan kedua anak yang sombong itu.”
Kedua anak-anak muda itu sama sekali tidak menyahut. Keduanya justru menjadi heran, melihat perbedaan sikap di antara mereka bertiga.
Linggapati lah yang kemudian berkata, “Kita tidak perlu menghiraukan apapun lagi. Kita akan pergi. Kita sudah kehilangan kesempatan karena kelima orang berilmu hitam itu terbunuh. Itu adalah kebodohan kita, karena kita masih di cengkam oleh nafsu dan ketamakan. Perhitungan kita menjadi kabur dan tidak menentu.”
Linggapati tidak menunggu tanggapan dari siapapun juga. Ia pun segera melangkah meninggalkan kedua anak-anak muda itu dan kelima sosok mayat yang berserakan. Satu di antaranya terbaring dengan ujud yang sangat mengerikan.
Daranambang pun segera mengikutinya pula. Baru yang terakhir sambil menggeram Linggadadi pun melangkah pergi.
Kedua anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dipandanginya saja ketiga orang yang berjalan semakin jauh, melewati regol pasar yang sepi dan hilang dibalik dinding regol itu.
Ketika ketiga orang itu sudah tidak nampak lagi, barulah kedua anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka masih berdiri tegak. Namun kemudian mereka mulai memalingkan kepala mereka.
Dengan dada yang berdebaran mereka melihat pasar yang sepi. Barang-barang yang berserakan, dan makanan yang tumpah ruah.
Baru kemudian mereka melihat beberapa orang di kejauhan berkerumun dengan wajah yang tegang dan pucat.
Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun tersenyum.
Salah seorang dari mereka berkata, “Marilah kita dekati mereka.”
Yang lain menganggukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian melangkah mendekati orang-orang yang berkerumun di kejauhan. Nampaknya keduanya sama sekali tidak menjadi cemas dan takut bahwa ketiga orang yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu benar-benar akan berbuat jahat kepada mereka.
Orang-orang yang berkerumun di kejauhan itu pun seolah-olah telah terbangun pula dari mimpi yang buruk. Ternyata orang-orang yang sedang berkelahi itu sama sekali tidak menghiraukan mereka. Orang-orang yang berkelahi itu pergi begitu saja tanpa berbuat sesuatu atas mereka dan barang-barang mereka.
Satu dua orang telah memberanikan diri mendesak tiga orang pengawal yang seakan-akan membeku itu untuk melangkah maju.
“Marilah, sebelum penjahat kecil memanfaatkan keadaan ini.” berkata salah seorang pedagang.
Pengawal itu ragu-ragu. Dipandanginya saja kedua anak-anak muda yang berjalan semakin dekat.
“Berbicaralah dengan keduanya.” berkata pedagang yang lain, “agaknya keduanya tidak menakutkan, dan agaknya mereka mempunyai watak yang berbeda dengan yang tiga orang itu, apalagi yang telah terbunuh itu.”
Ketiga pengawal itupun maju selangkah meskipun dengan ragu-ragu.
“Marilah” desis yang lain.
Akhirnya, ketiga pengawal itu memberanikan diri untuk mendekati kedua anak-anak muda itu. Salah seorang dari ketiga pengawal itupun kemudian bertanya dengan ragu-ragu, “Apakah yang sebenarnya telah terjadi anak muda?.”
Kedua anak muda itu ter-mangu-mangu sejenak. Dipandanginya ketiga orang bersenjata itu dengan saksama. Lalu salah seorang dari keduanya bertanya, “Apakah kau termasuk salah satu pihak dari orang-orang yang berkelahi itu?.”
“Tidak. Tidak. Aku adalah pengawal kota kecil ini.”
Anak-anak muda itu meng-angguk-angguk. Namun salah seorang di antaranya bertanya, “Kenapa kalian tidak berbuat apa-apa ketika perkelahian itu sedang berlangsung.”
Para pengawal itu saling berpandangan sejenak. Baru kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Apa yang dapat kami lakukan?, Pertempuran itu bagaikan perkelahian antara guntur dan guruh di langit. O. mengerikan sekali.”
“Apakah kalian mengenal salah seorang dari mereka?, Yang terbunuh maupun yang membunuh?” bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.
Berbareng ketiga orang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak.”
Kedua anak-anak muda itu menarik nafas dalam-calam. Lalu katanya, “Uruslah mayat-mayat itu. Selenggarakan sebaik-baiknya menurut adat yang berlaku meskipun mereka adalah orang-orang yang berilmu hitam.”
“Berilmu hitam?. Apakah artinya?.”
“Mereka yang mencari ilmu pada kekuatan yang gelap, yang melawan dengan segala kemampuan yang ada pada kekuatan yang terpancar dari Yang Maha Agung lewat hambanya yang dipilihnya.”
“Apakah yang lain, yang telah membunuh kelima orang itu juga berilmu hitam?.”
“Mereka tidak mencari ilmu, pada guru yang sama. Tetapi aku tidak tahu, apakah mereka juga mendambakan kekuatan pada unsur-unsur yang hitam seperti itu. Namun, meskipun seseorang mendapatkan ilmunya dengan wajar, dengan latihan-latihan yang tekun, dan mencari petunjuk pada Yang Maha Agung untuk menemukan kemampuan melepaskan tenaga yang tersamar di dalam dirinya sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan gelap dan kelam, namun setelah mereka berhasil, kemudian mempergunakan ilmunya untuk merusak tata peradaban yang apalagi perikemanusiaan, maka iapun termasuk orang-orang yang berhati hitam.”
“Bagaimana dengan ketiga orang itu?” bertanya salah seorang pengawal.
Kedua anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mereka menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik sikapnya, maka salah seorang dari mereka, bukannya orang yang pantas dikagumi, ia membunuh lawannya dengan cara yang terkutuk. Dengan cara yang dilakukan oleh orang-orang berilmu hitam itu, sehingga iapun sebenarnya dapat disebut orang berhati hitam.” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi aku tidak tahu dengan pasti, bagaimanakah warna hati dua orang yang lain, yang nampaknya memang agak berbeda sifat dan watak dari yang seorang itu.”
Para pengawal itupun termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari anak muda itu berkata, “Sudahlah. Uruslah mayat-mayat itu sebagaimana seharusnya. Amatilah orang-orang yang kau rasa asing didalam kota kecilmu ini. Jika mungkin ketiga orang itu.”
“Apakah kalian akan tetap berada di sini?.”
“Setidak-tidaknya malam nanti aku masih di sini.”
“Dimanakah kalian bermalam?.
“Aku akan datang ke gardumu. Pusat pengawalan kota ini Aku akan berada di sana.”
Para pengawal itu termangu-mangu.
“Jangan takut. Uruslah mayat itu. Jika kawan-kawannya mengetahuinya dan timbul salah sangka, katakanlah kepadaku. Mungkin aku akan dapat memberikan penjelasan, bahwa bukan kalian yang telah membunuhnya.”
“Tetapi kau berdua di mana.”
“Aku berada di sini. He, bukankah kau lihat, aku berada di sini?.”
Pengawal-pengawal itu menjadi bingung. Tetapi mereka tidak bertanya lebih lanjut.
Seorang dari merekapun segera memanggil kawan-kawannya untuk bersama-sama menyingkirkan mayat-mayat itu dan menyelenggarakan sebagaimana seharusnya.
Baru kemudian, setelah mayat-mayat itu dibawa pergi oleh para pengawal, maka mereka yang meninggalkan barang-barangnya di pasar itu pun. mulai berani mendekat. Meskipun ragu-ragu mereka pun segera mengemasi barang-barang yang tersisa. Mereka menduga, bahwa bencana yang lain masih akan meyusul jika kawan-kawan orang yang terbunuh itu akan datang untuk membalas dendam, sementara ketiga orang yang membunuh mereka telah pergi.
Namun dalam pada itu, kedua anak-anak muda itu menimbulkan berbagai dugaan pada orang-orang yang berada dipasar itu. Keduanya adalah anak-anak muda yang berani. Yang memiliki kemampuan yang tinggi dan tingkah lakunya tidak sekasar ketiga orang yang telah membunuh lawannya, apalagi dengan kelima orang yang terbunuh itu.
“Mereka tidak kalah tangkasnya dengan ketiga orang yang telah pergi itu.” berkata seseorang.
“Darimana kau tahu?. Apakah kau mampu menilai perkelahian yang sama sekali tidak dapat ditebak ujung pangkalnya itu.?”
“Tidak. Tetapi keduanya sama sekali tidak takut menghadapi ketiga orang yang telah berhasil membunuh lima lawannya setelah pertempuran melawan orang-orang yang disebutnya berilmu hitam itu berakhir.”
“Ya. Dua orang itu tidak takut melawan tiga orang. Tentu mereka bukan sembarang anak muda. Mengagumkan sekali. Alangkah bangganya orang tuanya.”
Dalam pada itu, seseorang dengan tergesa-gesa bahkan berlari-lari kecil menuju kepasar yang sibuk oleh orang-orang yang sedang mengumpulkan barang-barangnya itu. Ia sama sekali tidak menghiraukan ketika ia berpapasan dengan tiga orang yang tangannya basah oleh darah.
Dengan dada yang berdebaran orang itu langsung menuju kepasar yang kisruh, la masih melihat beberapa orang dengan tergesa gesa membawa barang-barang yang dapat dikumpulkan meninggalkan pasar itu.
“Apa yang sudah terjadi?.” orang itu bertanya, “apakah benar terjadi perkelahian antara beberapa orang didalam kelompok melawan kelompok yang lain?.”
“Ya. Ada pertentangan segi tiga. Lima orang terbunuh.”
Orang itu menjadi semakin gelisah. Dan tanpa bertanya lagi iapun langsung memasuki gerbang pasar itu.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat dua orang anak muda yang kemudian berdiri di depan sebuah warung yang mulai menutup pintunya dan mengemasi dagangannya.
“Aku tidak mau mengalami akibat yang lebih buruk lagi jika sekelompok orang lain berkelahi pula di pasar ini” berkata penunggu warung itu.
“Aku kira tidak akan terjadi Lagi.” desis salah seorang dari kedua anak-anak muda itu.
“Siapa tahu. Mereka mendendam kepadamu.” Anak-anak muda itu tertawa.
“Jika terpaksa anak-anak muda saling berkelahi, tetapi jangan di pasar.”
Kedua anak muda itu tidak menyahut.
Sementara itu, orang yang tergesa-gesa memasuki pasar itupun segera mendapatkan kedua anak muda itu yang menyambutnya dengan senyuman yang hambar.
“Kalian tidak apa-apa?.” bertanya orang itu.
“Tidak ayah.” jawab yang seorang dari keduanya.
“Apa yang telah terjadi?.”
Mereka kemudian dengan lancar menceriterakan apa yang telah terjadi dipasar itu. Orang-orang berilmu hitam yang tiba-tiba saja muncul dipasar iru, dan tiga orang yang agaknya sudah mengenal serba sedikit tentang orang-orang berilmu hitam.
“Salah seorang dari mereka menyebut dirinya Mahisa Bungalan ayah.”
“Mahisa Bungalan?, Bukankah kau tahu dengan pasti, apakah ia benar Mahisa Bungalan atau bukan?.”
“Tentu bukan. Aku kira orang itulah yang bernama Linggadadi yang pernah berkelahi dengan kakang Mahisa Bungalan di Kota Raja., “
Orang itu menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Untunglah bahwa kalian tidak terlibat dalam perkelahian melawan ketiga orang itu.”
“Jika mereka menyerang, apa boleh buat.”
“Ya. Tetapi mereka bukan lawan yang dapat dianggap ringan.”
“Memang tidak ayah. Aku tahu. Tetapi kami berdua agaknya akan mampu bertahan sampai ayah datang.”
Orang itu memandang kedua anaknya dengan wajah yang tegang. Namun kemudian ia berkata, “Kau tentu tidak akan dapat memastikannya. Untunglah bahwa tidak terjadi sesuatu atas kalian.” la berhenti sejenak, lalu, “tetapi apakah kalian mengatakan kepada orang yang mengaku bernama Manisa Bungalan itu, bahwa kau berdua adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, adik Mahisa Bungalan dan anak Mahendra”
Hampir berbareng kedua anak muda itu menjawab , “Tentu tidak ayah.”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Untunglah kalian tidak menyebut namaku Lain kali sebaiknya kalian harus lebih berhati-hati. Apalagi jika kalian pergi berdua tanpa ayah.”
“Bukankah ayah berjanji akan segera menyusul kami ke pasar setelah urusan ayah selesai?.”
Mahendra mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku menjadi tergesa-gesa ketika aku mendengar kabar bahwa telah terjadi perkelahian di dalam pasar. Antara lima orang, tiga orang dan dua orang anak-anak muda yang telah terlibat. Dan aku sudah menduga, bahwa kalian berdua tentu terlibat di dalamnya.”
“Kami tidak akan dapat tinggal diam ayah.”
“Tetapi sekali lagi aku peringatkan. Hati-hatilah. Dalam persoalan yang tidak jelas, sebaiknya kalian menunggu lebih dahulu.”
“Tetapi kami memang sudah memperhitungkan sebelumnya ayah, bahwa akhir dari peristiwa itu adalah demikian.”
Mahendra menarik nafas. Kemudian katanya, “Marilah. Kita pergi. Mungkin kabar ini akan terdengar oleh orang-orang berilmu hitam. Mereka akan beramai-ramai datang kemari. Kita tidak tahu pasti, dimanakah sarang mereka. Apakah jauh atau dekat. Atau malahan ada di sebelah pasar ini. Tiga orang yang membunuh mereka telah pergi. Kita akan dapat menjadi sasaran kemarahan mereka.”
Kedua anak Mahendra itu mengangguk-angguk.
“Baiklah ayah. Tetapi jika mereka datang, dan mereka tidak menemukan siapapun disini, apakah bukan orang-orang yang tidak tahu menahu inilah yang akan menjadi sasaran?.”
Kita akan mengatakan kepada mereka, bahwa pembunuh orang-orang berilmu hitam itu bernama Linggadadi. Dengan demikian maka orang-orang berilmu hitam itu tentu akan mencari orang yang bernama Linggadadi.”
Kedua anak muda itu tidak menyahut lagi. Karena itulah maka mereka pun kemudian melangkah meninggalkan pasar itu. Diluar regol, Mehendra masih sempat mengatakan kepada beberapa orang, bahwa salah seorang dari pembunuh orang berilmu hitam itu bernama Linggadadi.
“Ya, Linggadadi yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam” desis Mahendra.
Orang-orang di luar regol pasar itu sama sekali belum pernah mendengar nama Linggadadi. Tetapi nama itupun segera menjalar dari mulut kemulut. Tanpa mengerti ujung pangkalnya mereka mengatakan kepada orang-orang lain yang dijumpainya, bahwa telah terjadi perkelahian dan pembunuhan di pasar.
“Yang membunuh lima orang adalah sekelompok orang yang dipimpin oleh Linggadadi, pembunuh, eh maksudku yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam.” berkata seseorang kepada kawannya.
“Apakah ilmu itu mempunyai warna?, Selain yang hitam, apakah ada yang merah, hijau dan yang lain?.” bertanya seorang kawannya.
Yang mendapat pertanyaan itu hanya mengerutkan dahinya saja tanpa dapat menjawab sama sekali.
Tetapi seorang yang sudah tua yang dikenal sebagai seorang bekas prajurit menyahut, “Anak-anak muda yang bodoh. Yang disebut ilmu hitam adalah ilmu yang dibayangi oleh kekuatan yang buruk. Kekuatan roh-roh jahat dan hantu-hantu. Sedangkan ilmu putih adalah ilmu yang datang dari kuasa Yang Maha Agung.”
Yang mendengarkan penjelasan itu mengangguk-angguk. Dan bahkan salah seorang dari mereka bertanya, “Jadi yang terbunuh itu adalah mereka yang mendapat kekuatan dari roh-roh jahat?.”
“Ya.“
“Jadi bagaimanakah akibatnya jika roh-roh jahat itu mengamuk?.”
“Roh-roh jahat, betapapun besar kekuatan dan Kuasanya, namun tidak akan dapat melawan kekuatan dan kuasa Yang Maha Agung.”
Yang mendengar keterangan itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan demikian, maka dalam waktu yang singkat, berita kematian orang-orang berilmu hitam itu pun segera tersebar diantara penghuni kota kecil itu. Bahkan sampai ke padesan-padesan di sekitar nya. Setiap hari berita itu menjalar semakin jauh. Bahkan lebih cepat dari perjalanan seorang perantau yang menyusuri jalan-jalan di bulak-bulak panjang.
Tetapi di samping berita yang disebarkan oleh Mahendra itu, ternyata tersebar pula berita yang lain. Ternyata satu dua orang mendengar, Linggadadi menyebut dirinya Mahisa Bungalan, sehingga di samping Linggadadi, maka tersebar pula berita, bahwa yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu adalah Mahisa Bungalan yang bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.
Dengan demikian maka berita yang kemudian sampai ke tempat yang jauh adalah, bahwa Linggadadi bersama Mahisa Bungalan telah melawan orang-orang berilmu hitam dan membunuh lima orang dari antara mereka.
Dalam pada itu. ternyata Mahendra dan kedua anak-anaknya pun tidak terlalu lama berada di kota kecil itu. Pada hari itu juga, Mahendra menyelesaikan semua persoalan-persoalan yang menyangkut perjalanan dagangnya.
“Kota ini tidak aman lagi” berkata Mahendra kepada orang-orang yang berurusan dengannya, “aku akan segera kembali”
“Kapan lagi kau datang?.” Bertanya salah seorang dari langganannya.
“Aku tidak dapat mengatakannya. Sebenarnya sekarang ini akupun tidak ingin kemari. Tetapi anak-anakku lah yang telah memaksaku. Mereka aku bawa ke Kota Raja. Tetapi mereka tidak puas sebelum mereka melihat kota-kota lain betapapun kecilnya. Di sini mereka telah melihat peristiwa yang mengerikan.”
“Tetapi persoalan itu tentu tidak akan berkepanjangan.” berkata orang itu, “kami mengharap kedatanganmu dengan batu jamrut. Ada orang kaya raya memerlukannya. Sedang orang yang lain lagi memesan batu akik Mata Kucing, tetapi berwarna ungu seperti akik Kumbang Laras.”
“Ah, mana ada akik serupa itu.”
“Ia pernah melihatnya. Karena itu, jika kau menemukannya, ia ingin membeli berapa saja harganya, atau ditukar dengan emas dalam bobot yang kau minta.”
“Baik, baik” jawab Mahendra,, “tetapi aku masih harus bertanya-tanya tentang keselamatan nyawaku disini.”
“Bukankah kau tidak berurusan dengan orang-orang berilmu hitam itu atau dengan pembunuh-pembunuhnya.”
Mahendra menarik nafas. Kawnnya itu memang belum mengerti bahwa orang yang disebut bernama Mahisa Bungalan itu adalah anaknya, yang mau tidak mau tentu akan menyangkut dirinya.
Tetapi di dalam urusan dengan kawan-kawannya tentang barang-barang dagangan serupa itu, Mahendra tidak prenah menyatakan dirinya sebagai seorang yang memiliki ilmu yang dapat dijadikannya kebanggaan. Bagi kawan-kawannya ia tidak lebih dari seorang pedagang barang-barang yang khusus, wesi aji, batu-batu berharga dan permata. Meskipun kadang-kadang Mahendra juga membawa barang-barang lain yang dipesan oleh kawan-kawannya di kota-kota kecil itu.
Demikianlah, maka Mahendra pun kemudian membawa kedua anak-anaknya meninggalkan kota kecil itu. Seperti yang dikatakannya, sebenarnya ia sama sekali tidak akan datang kekota terpencil itu. Tetapi anak-anaknya mendesaknya untuk melihat bagian-bagian lain dari Singasari. Sehingga akhirnya mereka justru melihat peristiwa yang sama sekali tidak diduganya.
“Jika Mahisa Bungalan yang menjumpai peristiwa ini akibatnya tentu lain” desis Mahendra diperjalanan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang ayahnya sejenak. Desis ayahnya itu sangat menarik perhatian mereka, sehingga Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Kenapa jika kakang Mahisa Bungalan yang menjumpai peristiwa ini?.”
“Kakakmu tentu tidak hanya akan berhadapan dengan orang-orang berilmu hitam. Di Kota Raja ia sudah bertempur melawan orang berilmu hitam dan sekaligus terlibat dalam persoalan dengan Linggadadi. Dengan demikian, maka peristiwa, itu tentu akan terulang, jika ia bertemu dengan kedua pihak. itu sekaligus di sini.”
“Jika benar orang itu Linggadadi ayah, agaknya ia memang orang yang kasar, yang aku kira tidak banyak bedanya dengan orang-orang berilmu hitam. Tetapi seorang yang lain, yang agaknya mempunyai pengaruh yang kuat atas Linggadadi mempunyai sifat-sifat yang agak berbeda.”
“Tetapi pada dasarnya, mereka bukan orang-orang berilmu hitam.” jawab ayahnya.
Kedua anaknya meng-angguk-angguk. Mereka masih berpacu meninggalkan kota kecil yang baru saja diguncang oleh peristiwa yang mengerikan itu.
“Aku akan singgah di Kota Raja sebentar” berkata Mahendra. Mudah-mudahan kita dapat mencapainya hari ini. Besok pagi-pagi kita meneruskan perjalanan pulang.” berkata ayahnya.
“Kenapa singgah di Kota Raja?” bertanya Mahisa Pukat, “lebih baik kita melalui jalan lain. Jalan yang.belum pernah aku lihat”
“Ah kau ini Aku mempunyai keperluan di Kota Raja. Bukankah kau mendengar’, bahwa ada seseorang yang memerlukan jamrut yang baik dan akik Mata Kucing tetapi berwarna ungu seperti akik Kumbang Laras.”
“Ah ayah selalu memikirkan dagangan ayah saja. Sekali-sekali kita melupakannya dan bertamasya melalui jalan-jalan yang belum pernah kita lihat. Tidak ada salahnya jika kita bertemu dengan orang-orang berilmu hitam yang agaknya memang tersebar di-mana-mana.”
Mahendra. mengerutkan keningnya?. Tetapi iapun kemudian tersenyum, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bukankah dengan demikian ayah dapat melengkapi kebutuhan kita sekeluarga. Kadang-kadang ayah harus pergi berhari-hari. Bahkan sampai sebulan atau dua bulan jika tugas memanggil. Terutama dari istana Singasari, Jika pada kesempatan seperti ini ayah tidak menabung barang sedikit, maka pada suatu saat, keluarga kita akan kehabisan kebutuhan hidup sehari-hari.”
“Kita mempunyai sawah ayah.”
“Tetapi kita tidak sekedar makan hasil sawah. Kita perlu barang-barang kebutuhan yang lain. Pakaian dan kadang-kadang juga perhiasan sedikit-sedikit. Bagi isi rumah kita dan bagi kita masing-masing.”
“Tetapi paman Witantra sempat melakukan pengembaraan yang jauh lebih panjang dari ayah.”
“Ada bedanya anak-anak. Pamanmu Witantra diam di sebuah padepokan. Ia tidak mempunyai kebutuhan yang banyak seperti kita. Keluarganya adalah keluarga kecil. Jika ada beberapa orang dipadepokannya, maka mereka adalah orang-orang yg bekerja di sawah dan ladang, yang seolah-olah telah mencari makan bagi mereka sendiri. Tetapi kau tahu, tidak ada orang lain kecuali paman dan bibimu. Sedangkan mereka sama sekali tidak mempunyai kebutuhan seperti kalian dan kakakmu Mahisa Bungalan. Mereka tidak pernah memerlukan kain lurik hijau lumut Kamus dan timang bermata berlian. Keris dengan pendok emas bersalut intan. Mereka juga tidak memerlukan kuda yang berbulu dawuk. Tetapi kemudian setelah jemu, harus diganti dengan yang berbulu merah tembaga.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tidak anak-anak. Mereka hidup dengan yang mereka punyai sehari-hari. Kuda mereka adalah kuda yang tegar dan kuat, apapun warna bulunya.”
“Tetapi kuda putih itu?.”
“Tentu karena ada gunanya, kenapa dahulu pamanmu memerlukan kuda berbulu putih. Tidak hanya seekor. Tetapi beberapa ekor.”
“Untuk membuat ceritera tentang Satria Putih.” desis Mahisa Murti.
“Ya.”
“Ayah” tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong, “apakah salahnya jika sekarang lahir lagi Satria Putih untuk menghadapi orang-orang berilmu hitam. Bukan untuk membayangi pemerintahan yang ada sekarang, karena agaknya tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Campaka dapat memerintah dengan bijaksana, meskipun mereka masih cukup muda.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya , “Aku belum dapat mengatakannya, apakah hal itu pantas dilakukan atau tidak, Tetapi sudah tentu bahwa untuk melahirkan Satria Putih, masih harus dipikirkan masak-masak, untung dan ruginya.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Ayah selalu memperhitungkan untung dan rugi dalam segala hal.”
Wajah Mahendra menegang, Tetapi iapun kemudian tertawa. Katanya, “Kau aneh Pukat. Bukankah setiap langkah harus diperhitungkan sebaiknya?, Bukan hanya dalam masalah jual beli saja kita memperhitungkan untung dan rugi. Tetapi di segala persoalan meskipun yang disebut untung dan rugi itu bukan selalu berwujud uang dan untuk kepentingan diri, tetapi untuk kepentingan tindakan itu sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi.
“Tetapi baiklah aku akan membicarakannya dengan ke dua pamanmu yang kini sedang mengadakan perjalanan dengan Mahisa Bungalan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Dari tatapan mata mereka berbesit kekecewaan. Bahkan kemudian Mahisa Murti bertanya , “Jika demikian, maka kapan kira-kira ayah dapat bertemu dengan paman Mahisa Agni dan paman Witantra?.”
“Aku belum dapat mengatakan Murti. Tetapi tentu secepatnya setelah mereka kembali.”
“Tetapi kapan mereka akan kembali?.” Desis Mahisa Pukat.
Mahendra menarik nafas. Katanya kemudian, “Kita tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa menghadapi masalah yang gawat ini, karena persoalannya akan menyangkut ketenteraman seluruh Singasari. Sudah tentu akan memerlukan tanggung jawab yang berat. Nama Kesatria Putih sampai saat ini masih tetap dihargai. Jika kita gagal memerankannya, maka nama yang baik itu akan segera surut. Dan akhirnya nama Kesatria Putih itu akan lenyap dari hati rakyat Singasari. Bahkan akan meninggalkan bekas yang buram dalam ingatan mereka.”
Kedua anak Mahendra itu mengangguk-angguk. Agaknya mereka dapat mengerti penjelasan ayahnya itu, sehingga mereka tidak menyinggung lagi persoalan Satria Putih.
Sementara itu kuda mereka masih tetap berpacu. Sekali-kali mereka harus berhenti memberi kesempatan kuda mereka untuk minum dan makan. Demikian juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan untuk beristirahat dan sekedar makan di tengah perjalanan.
Ketika mereka memasuki sebuah warung di pinggir jalan, maka mereka sudah mendengar, orang-orang di dalam warung itu mempercakapkan peristiwa yang telah terjadi di kota kecil yang mereka tinggalkan. Namun ketiga orang itu sama sekali tidak menyahut. Mereka hanya sekedar mendengarkannya tanpa menanggapinya. Ketika sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir tidak dapat menahan diri lagi, karena ceritera tentang kematian orang-orang berilmu hitam itu benar-benar sudah menyimpang jauh dari kenyataan yang diketahuinya, ayahnya selalu menggamitnya.
“Tetapi yang dikatakan itu sama sekali tidak benar ayah.” bisik Mahisa Murti.
Mahendra hanya mengedipkan matanya saja.
Kedua anak muda itu menarik nafas. Adalah tidak benar sama sekali, bahwa orang-orang itu menyebut seolah-olah Mahisa Bungalan bersama Linggadadi dan seorang yang tidak dikenal bersama-sama bertempur melawan orang-orang berilmu hitam. Ceritera itu sama sekali tidak menyebut peristiwa yang telah terjadi, sehingga mereka yang mendengarnya mendapat gambaran yang salah sama sekali. Mereka menyangka bahwa Mahisa Bungalan dan Linggadadi adalah dua orang yang bersama-sama melakukan petualangan untuk membasmi orang-orang berilmu hitam.
“Itu sudah lumrah.” berbisik Mahendra, “tidak ada kabar yang beredar dari mulut kemulut itu dapat tepat meng gambarkan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Pada umumnya kabar yang demikian tentu menyimpang jauh dari kebenarannya.”
“Tetapi hal itu dapat menimbulkan prasangka yang buruk bagi kakang Mahisa Bungalan, seolah-olah ia adalah kawan dari Linggadadi. Jika benar orang yang membunuh orang berilmu hitam itu Linggadadi, maka tidak sepantasnya kakang Mahisa Bungalan dihubung-hubungkan dengan orang itu, meskipun hanya namanya.”
“Kenapa?.”
“Cara orang itu membunuh lawannya adalah memuakkan sekali. Bahkan kawannya yang sebenarnya telah mengumpatinya.”
Mahendra meng-angguk-angguk. Tetapi katanya, “Biarlah pada suatu saat mereka mendengar berita yang lain tentang Mahisa Bungalan. Tetapi bukan oleh kita sekarang.”
Kedua anak-anaknya tidak menjawab lagi. Mereka kemudian sibuk dengan mangkuk masing-masing. Minuman hangat dan nasi panas, setelah mereka menempuh perjalanan yang jauh dan masih akan meneruskan perjalanan itu untuk sehari penuh.
Namun kadang-kadang mereka masih harus menahan hati jika ceritera yang mereka dengar benar-benar membuat dada mereka bagai meledak.
“Mudah2an orang-orang berilmu hitam itu tidak sampai kemari” desis salah seorang dari mereka yang ada di warung itu.
“Seandainya mereka datang juga kemari, kita berdoa agar Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang kedua-duanya bergelar pembunuh orang berilmu hitam itu datang juga kemari.”
“Tentu mereka selalu membayangi orang-orang berilmu hitam.”
“Tetapi mereka hanya bertiga. Sedang orang berilmu hitam itu berjumlah banyak sekali. Sudah barang tentu bahwa pada suatu saat, orang berilmu hitam itu dapat mencari kesempatan untuk memanjakan kebuasannya.”
“Ssssst.” desis seorang yang duduk di sudut, “jangan menyebut-nyebut mereka lagi. Apalagi dengan sebutan-sebutan yang buruk. Jika ada kaki tangan mereka yang mendengar, maka kita semua akan celaka.”
“O” nampaknya beberapa orang menyesali keterlanjurannya. Bahkan beberapa orang di antara mereka memandangi Mahisa Murti kakak beradik dan ayahnya yang sedang menikmati makan dan minuman masing-masing.
Tetapi Mahisa Pukat tidak mampu lagi menahan gejolak di dadanya. Tiba-tiba saja ia mengambil sebuah pisang raja. Sambil mengupas ia bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, “Aku kupas kulitmu seperti aku mengupas kulit orang-orang gila.”
Kata-kata itu ternyata telah menghentak setiap jantung. Bahkan Mahendra terkejut pula karenanya sedangkan Mahisa Murti menahan tertawanya.
Beberapa orang yang ada di warung itupun kemudian tidak berani lagi menatap ketiga orang yang sedang berada pula di antara mereka. Namun demikian, kadang-kadang keinginan yang tidak tertahan telah mendesak mereka untuk seolah-olah mengintip wajah-wajah yang tidak mereka kenal itu. Dengan sudut mata mereka mencoba melihat, apakah yang mereka dengar itu benar-benar telah terlontar dari mulut salah seorang dari ketiga orang asing itu.
Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri tertawa, sementara wajah Mahendra menjadi tegang.
Meskipun Mahendra tahu, bahwa Mahisa Pukat dengan sengaja ingin menakut-nakuti orang-orang yang ada didalam warung itu, namun permainannya agaknya cukup berbahaya. Bukan karena kemungkinan bahwa seseorang akan memusuhi mereka, tetapi dengan demikian ia telah membuat sekian banyak orang dicengkam oleh ketakutan yang dapat berakibat buruk bagi mereka.
Seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Pukat, maka orang-orang di dalam warung itu menjadi ketakutan karenanya. Mereka juga sudah mendengar bahwa orang-orang berilmu hitam sering mempergunakan istilah-istilah yang menakutkan seperti yang diucapkan oleh Mahisa Pukat itu. Mengelupas kulit seperti mengelupas kulit pisang.
“Jangan menakut-nakuti mereka Pukat.” desis Mahendra. Mahisa Pukat masih tersenyum.
“Kau tahu, bahwa dengan demikian kau telah menyebarkan ketakutan di antara mereka?, Mungkin kau tidak menyangka bahwa yang kau lakukan itu akan menimbulkan akibat yang parah. Mungkin orang-orang itu menjadi ketakutan, dan di antara mereka tidak merasa tenteram lagi tinggal di rumahnya. Dengan demikian maka mereka akan menyingkir dari rumahnya untuk mencari ketenteraman.”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia mencoba membayangkan kata-kata ayahnya. Wajahnya yang mula-mula nampak gembira karena permainannya yang berhasil, berubah perlahan-lahan dengan kerut-merut di kening.
“Mereka akan menjadi ketakutan. Seperti kata ayah, keluarga mereka akan ketakutan pula, sehingga mereka terpaksa mengungsi.” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya, “dan sudah barang tentu keadaan itu akibatnya sangat buruk bagi mereka.”
Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya. Dan ia tidak melihat cara yang baik untuk menariknya kembali.
“Apakah aku harus mengaku bernama Mahisa Bungalan atau Linggadadi?.” ia bertanya kepada ayahnya sambit berbisik.
“Sudahlah. Tetapi jangan kau ulang lagi. Jika untuk beberapa hari tidak terjadi sesuatu di sini, maka mereka akan mulai melupakannya.”
“Tetapi jika terjadi sesuatu, mereka akan mengingat kembali bahwa aku pernah mengatakan kata-kata itu di hadapan mereka di sini.”
Mahendra menggelengkan kepalanya, katanya, “Sudahlah. Tetapi hati-hati lah untuk lain kali.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah kakaknya, ia melihat kesan yang sama seperti di dalam hatinya sendiri.
Sejenak kemudian, maka ketiganya pun minta diri. Setelah mereka menghitung jumlah harga makan dan minum yang telah mereka habiskan, maka Mahendra pun mengambil uang dari kampil kecilnya.
“Sudahlah Ki Sanak” berkata penjual di warung itu, “yang Ki Sanak makan dan minum tidak seberapa harganya, Ki Sanak tidak usah membayarnya.”
“Kenapa?.” Mahendra menjadi heran. Namun ia pun kemudian segera mengetahui, bahwa penjual itu tentu menjadi ketakutan pula seperti beberapa orang yang lain tentang dirinya dan kedua anak-anaknya.
“Mahisa Pukat lelah membuat mereka ketakutan.” katanya di dalam hati. Namun yang dikatakannya kepada penjual itu adalah, “Ki Sanak. Harga barang-barang daganganmu seluruhnya tidak begitu banyak. Jika aku tidak membayar, maka kau akan rugi karenanya.”
“Tidak, tidak Ki Sanak. Sebagian yang aku jual adalah hasil sawah dan kebunku sendiri.” jawab orang itu.
Tetapi Mahendra menggelengkan kepalanya, “Pergunakan untuk membeli bahan-bahan mentah atau katakanlah untuk membelikan mainan buat anak-anakmu.”
Penjual itu masih akan menjawab, tetapi Mahendra telah meletakkan uangnya sambil berdiri diikuti oleh kedua anaknya.
“Kami minta diri.” berkata Mahendra, “perjalanan kami masih jauh.”
Penjual di warung itu menjadi termangu-mangu. Rasa-rasanya tidak sesuai jika ketiga orang itu termasuk di antara mereka yang berilmu hitam. Wajah mereka, tingkah laku dan sifat mereka sama sekali tidak mencerminkan keliaran dan kekasaran orang-orang berilmu hitam.
Ketika Mahendra dan kedua anaknya meninggalkan warung itu dan berpacu menjauh meskipun tidak begitu cepat, maka penjual itu menarik nafas sambil berkata, “Sungguh aku tidak mengerti, apakah sebenarnya yang telah aku hadapi sekarang ini.”
Orang-orang yang lainpun menjadi bimbang pula karenanya. Tetapi sebagian dari mereka masih tetap merasa ketakutan.
Dengan ragu-ragu penjual di warung itu mengambil uang yang ditinggalkan oleh Mahendra. Ia menjadi semakin heran ketika ia menghitungnya. Ternyata jumlah uang itu lebih banyak dari yang seharusnya.
“Aku menjadi semakin tidak mengerti.” gumam penjual makanan dan minuman itu.
Beberapa orang yang ada didalam warung itu pun menjadi heran pula. Seorang yang berkumis lebat bergumam, “Mereka tentu bukan orang-orang berilmu hitam yang sering mengelupas kulit korbannya. Hanya kebetulan saja salah seorang dari mereka mengucapkan kata-kata yang mirip dengan kebiasaan orang berilmu hitam.”
Penjual itu mengangguk-angguk.
“Mungkin. Memang mungkin sekali.” gumamnya.
Dalam pada itu, maka Mahendra dan kedua orang anak-anaknya itu masih saja menjadi pusat pembicaraan. Namun pada umumnya mereka berkesimpulan, bahwa ketiganya adalah orang yang baik yang secara kebetulan saja mengucapkan kata-kata yang mendirikan bulu roma, justru di luar sadarnya.
Namun mereka tidak tahu, bahwa Mahisa Pukat sengaja mengucapkannya untuk melepaskan gejolak di dalam dadanya ketika ia mendengar orang-orang di warung itu sekali-kali menyebut peristiwa yang pernah terjadi di pasar dalam kota kecil itu, tetapi sudah jauh menyimpang dari kenyataan yang terjadi sebenarnya.
Sementara itu, ketika debar jantung orang yang berada di warung itu mulai mereda, sekali lagi mereka dikejutkan oleh kehadiran tiga orang berkuda yang tidak mereka kenal, Salah seorang dari merekapun kemudian turun dan memasuki warung itu.
“Ki Sanak.” berkata orang itu , “aku ingin bertanya sesuatu. Siapakah penjual di warung ini?.”
Pertanyaan itu benar-benar mendebarkan. Tetapi semua orang yang ada di dalam warung itu serentak memandang kepada pemiliknya.
Pemilik warung itu tidak dapat ingkar lagi. Dengan ragu-ragu ia menjawab , “Aku, aku Ki Sanak.”
Orang yang baru masuk kedalam warung itu mengangguk-angguk.
“Jadi kau pemilik warung ini?.”
“Ya Ki Sanak.”
“Apakah kau melihat pada hari ini tiga orang berkuda melalui jalan ini?.”
Penjual itu menjadi ragu-ragu. Ia sadar bahwa yang dimaksudkan tentu tiga orang yang tadi singgah di warungnya. Namun ia masih bertanya, “Tiga orang yang bagaimana Ki Sanak. Baru saja lewat seiring orang-orang berkuda.”
“Ke arah ini?.” orang itu bertanya sambil menunjuk kearah ia berkuda.
“O. tidak Ki Sanak. Mereka pergi kearah kota. Ki Sanak tentu berjumpa dengan mereka di perjalanan.”
“O bukan mereka. Yang aku cari adalah tiga orang yang pada hari ini telah meninggalkan kota kecil itu.”
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ada prasangka yang kurang baik, justru kepada ketiga orang yang baru saja datang. Menilik sikap dan tatapan mata mereka, maka ketiga orang ini agak berbeda dengan ketiga orang yang baru meninggalkan warungnya
“Ketiga orang yang terdahulu nampaknya orang baik-baik. Apalagi dua orang yang masih muda itu agaknya anak-anak muda yang berhati bersih dan jujur. Pandangan matanya yang cerah dan tidak berprasangka.” berkata penjual itu di dalam hatinya.
“He, kenapa kau menjadi bingung” tiba-tiba saja orang itu membentak
Pemilik warung itu terkejut. Dengan serta merta ia mea jawab., “Tidak Ki Sanak. Aku tidak melihatnya. Aku memang sedang mencoba mengingat-ingat apakah ada tiga orang yang lewat. Tetapi agaknya tidak ada. Mungkin ia mengambil jalan lain, atau kebetulan saja aku tidak melihat mereka.”
Beberapa orang yang ada di dalam warung itu menjadi berdebar-debar. Tetapi di dalam hati mereka sependapat dengan jawaban pemilik warung itu, sehingga ketika orang asing itu memandang mereka seorang demi seorang, tidak ada di antara mereka yang memberikan keterangan yang berbeda, atau dengan sengaja mengatakan sesuatu tentang Mahendra dan ke dua anak-anaknya.
Bahkan ketika orang itu bertanya kepada mereka, apakah ada di antara mereka yang melihat, maka orang-orang yang ada di dalam warung itu menggelengkan kepalanya.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Kemudian ia pergi mendapatkan kawan-kawannya yang masih tetap berada di punggung kuda.....
“Mereka tidak melihat.” katanya.
Kedua orang yang lain termangu-mangu. Namun yang seorang berkata, “Tetapi aku tidak salah lagi. Beberapa orang tahu, bahwa Mahendra dan dua anaknya ada dikota itu, dan pada hari ini telah meninggalkannya. Kedua anak muda yang ada dipasar itu tentu kedua anak Mahendra.”
“Kita belum pernah mengenal dengan baik orang yang bernama Mahendra itu meskipun kita sudah mengenal namanya sebagai salah seorang Senapati yang tidak terikat pada kedudukan keprajuritan. Ia datang kekota itu untuk memperdagangkan barang-barang berharga. Emas, intan dan sebagainya. Dengan demikian apakah kita akan berhasil menyusulnya?. Jika kita sudah menemukannya, apakah kita dapat berbuat sesuatu atasnya.”
“Kita bertiga.”
Untuk beberapa saat tidak ada yang menjawab. Kedua orang lainnya menjadi termangu-mangu. Namun kemudian yang tertua diantara mereka berkata, “Kita tidak yakin bahwa kita akan berhasil menguasai mereka. Karena itu, kita lebih baik membuat rencana lain yang lebih baik daripada sekedar menuruti gejolak perasaan.”
“Tetapi paman” berkata salah seorang yang lain , “jika benar kedua anak-anak muda yang berada di dalam pasar itu adalah kedua anak Mahendra, maka mereka tentu menertertawakan aku.”
“Kenapa?.” bertanya yang lain lagi.
“Aku mengaku bernama Mahisa Bungalan. Bukankah dengan demikian mereka tahu pasti bahwa aku berbohong.”
Yang tertua di antara merekapun kemudian berkata, “Ya, Mereka mengetahui bahwa kau berbohong.”
“Darimana paman mengetahuinya.”
“Ketika ia bertanya kepadaku, apakah benar kau bernama Mahisa Bungalan, dan aku membenarkannya, maka sambil tersenyum anak-anak itu mengatakan bahwa aku berbohong.”
“Setan alas.” desis yang paling muda dari ketiga orang itu, “mereka sepantasnya kita bunuh. Dengan demikian mereka tentu tahu pasti, bahwa akulah Linggadadi.”
“Kenapa kau menjadi cemas” bertanya kakaknya, “biar sajalah mereka menetahui bahwa kau adalah Linggadadi, aku bernama Linggapati. Apa yang dapat mereka lakukan?. Mereka tentu juga menyadari, bahwa mereka bertiga tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kita.”
“Mereka tidak mempedulikan kita.” berkata yang paling tua.
Sejenak mereka bertiga termangu-mangu. Kemudian yang paling tua itupun berkata., “Terserah kepada Angger Linggapati. Aku akan menjalankan segala perintah.”
Linggapati berpikir sejenak. Lalu, “Aku kira tidak ada gunanya lagi menyusul Mahendra. Kita akan menemui kesu litan untuk menemukan jejaknya, karena ia tidak melalui jalan ini. Mungkin ia sudah jauh atau mungkin ia pergi ke arah yang sama sekali tidak kita duga-duga. Apalagi kita memang tidak yakin akan dapat berbuat sesuatu atas mereka bertiga, karena ternyata kedua anak-anak muda itu sudah memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan.”
“Jadi?.”
“Kita merubah arah. Kita pergi seperti rencana semula.”
“Menemukan sarang orang-orang berilmu hitam?.”
“Setidak-tidaknya mengetahui arahnya. Aku ingin membuat hubungan. Tetapi jika hubungan itu gagal, aku ingin menghancurkannya, agar mereka tidak mengganggu kepentingan kita kelak.”
“Kita akan menyerang mereka?.”
“Mungkin kita akan menyerang padepokan orang-orang berilmu hitam. Tetapi mungkin kita dapat mempergunakan tangan orang-orang Singasari.”
Kedua orang yang lain mengangguk-angguk.
“Nah, sekarang, marilah kita pergi.” berkata Linggapati kemudian.
Ketiganya pun kemudian meninggalkan warung itu tanpa minta diri. Beberapa orang yang berada di dalam warung itupun termangu-mangu. Mereka melihat ketiga orang itu jauh berbeda sifat dan tingkah lakunya dengan tiga orang yang terdahulu.
“Mereka menyebut-nyebut beberapa nama” berkata salah seorang yang duduk didalam warung itu, “tetapi tidak begitu jelas kedengarannya.”
“Mereka menyebut nama Mahisa Bungalan.”
“Tetapi juga Linggadadi, bahkan Linggapati.”
“Membingungkan sekali.” sahut penjual di warung itu, “tetapi agaknya mereka itulah pembunuh orang-orang berilmu hitam. Nampaknya mereka sendiri juga orang-orang kasar dan mungkin juga kejam seperti orang berilmu hitam.”
“Atau mungkin orang-orang berilmu hitam itu sendiri yang ingin menuntut kematian kawan-kawannya?.”
“Tentu tidak. Salah seorang dari mereka menyebut juga orang-orang berilmu hitam. Malahan mereka akan menghancurkan orang-orang berilmu hitam itu.”
Seorang yang berkulit kuning dan bermata lebar berkata sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Kepalaku justru menjadi pening, setelah jantungku rasa-rasanya akan rontok. Sudahlah, kaki. Berapa aku harus membayar?, Aku akan pulang sebelum jalan di depan warung ini benar-benar menjadi jalur kelompok-kelompok yang bertengkar itu saling bertemu.”
Tetapi sebelum pemilik warung itu menjawab, mereka telah dikejutkan lagi oleh derap kaki-kaki kuda. Seorang yang menjengukkan kepalanya, melihat tiga ekor kuda berpacu meskipun tidak begitu cepat. Tetapi kali ini dari arah lain.
“Tiga orang berkuda lagi” desisnya.
“O, dari arah yang berlawanan. Apakah mereka tidak berpapasan dengan ketiga orang itu?.”
“Mungkin jalan yang dilalui berbeda dengan arah dari ketiga orang itu. Diujung padukuhan itu ada simpang tiga. sedang di sisi yang lain terdapat simpang empat.”
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi hati mereka menjadi berdebar-debar ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat.
“Siapa lagi yang akan datang kali ini?.” desis pemilik warung itu.
“Orang-orang berilmu hitam itu sendiri.”
“O” wajah-wajah di dalam warung itu menjadi pucat. Tetapi mereka justru bagaikan membeku, sehingga mereka tidak dapat berbuat apapun lagi.
Ketiga ekor kuda yang berderap itupun menjadi semakin dekat. Dengan demikian maka orang-orang di dalam warung itu seakan-akan telah berkerut semakin kecil. Bahkan nafas mereka rasa-rasanya menjadi sesak dan warung itu bagaikan bertambah sempit sehingga dindingnya bagaikan menghimpit tubuh mereka.
Mereka sama sekali tidak berani bergerak ketika tiga ekor kuda itu menjadi semakin dekat pula. Mereka berdoa mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak berhenti dimuka warung itu. Apa lagi penunggangnya turun dan masuk ke dalamnya.
Tetapi darah mereka serasa membeku ketika mereka mendengar bahwa ketiga ekor kuda itu ternyata kemudian berhenti tepat dimuka pintu warung itu.
Ketika terdengar derak pintu warung yang didorong dari luar, seolah pintu ubun-ubun merekapun sudah terbuka, sehingga sebentar lagi, nyawa merekapun akan meloncat keluar.
Seorang anak muda yang bertubuh kekar memasuki warung itu. Sejenak ia berdiri di muka pintu sambil memperhatikan setiap orang yang ada didalamnya.
“Siapakah pemilik warung ini?.” terdengar suaranya yang dalam dan berat.
Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajah mereka. Meskipun demikian, mereka telah mencoba memandang pemilik warung dengan sudut matanya.
“Siapa?.” anak muda itu mengulang.
Pemilik warung itu tidak dapat ingkar. Meskipun ia duduk di antara para pembelinya, namun ia terpaksa mengangkat wajahnya sejenak sambil menjawab, “Aku, aku Ki Sanak.”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau tidak berada di tempatmu, sehingga aku kira pemiliknya sedang pergi.” Ia berhenti sejenak lalu katanya, “apakah masih ada tempat bagi kami bertiga?.”
Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun katanya dengan suara gemetar , “Ya, ya. Silahkan Ki Sanak. Masih ada tempat bagi kalian bertiga.”
Anak muda itu justru melangkah keluar untuk memberitahukan kepada kedua kawannya, bahwa masih ada tempat bagi mereka.
Setelah menambatkan kuda mereka, maka ketiga orang itu pun kemudian memasuki warung yang dicengkam oleh suasana yang aneh itu.
Ketiga orang itu semula tidak begitu menghiraukan orang-orang lain yang juga berada didalam warung itu. Namun lambat laun mereka melihat juga suasana yang beku, Bahkan penjual di warung itupun nampaknya tidak begitu ramah dan canggung.
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun, segera melihat suasana yang buram telah mencengkam seisi warung itu.
“Ki Sanak.” berkata yang muda, “kami memerlukan minuman panas.”
“O.” pemilik itu tergagap. Dengan gemetar iapun kemudian menyiapkan tiga mangkuk minuman panas.
Ketika pemilik warung itu menghidangkan mangkuknya, oleh tangannya yang gemetar, maka minuman yang ada di dalamnya pun telah terpercik dan membasahi pakaian salah seorang dari ketiga orang itu. Justru yang paling muda di antara mereka.
Dengan gerak naluriah oleh percikan air panas, maka anak muda itu pun meloncat berdiri. Namun agaknya geraknya itu justru mengejutkan pemilik warung itu, sehingga mangkuk yang ada di tangannya justru telah tertumpah.
Yang kemudian meloncat bukan saja anak muda itu. Tetapi ketiga orang itu semuanya telah bergeser menghindari air yang bukan saja panas, tetapi juga akan membasahi pakaian mereka.
Pemilik warung ilu menjadi semakin gemetar. Sejenak ia dicengkam oleh kebingungan. Bahkan rasa-rasanya tubuhnya menjadi beku dan mulutnya seperti tersumbat.
Anak muda yang terpercik air panas itupun kemudian berkata, “Hati-hatilah Ki Sanak. Percikan airmu dapat membuat pakaian basah dan mungkin dikerumuni semut, karena air panasmu berbau gula kelapa?, Bukankah kau menghidangkan air sere dengan gula kelapa?.”
“Eh, ya, ya Ki Sanak” jawab pemilik warung itu tergagap, “tetapi, tetapi aku sama sekali tidak sengaja.”
“Aku sudah tahu bahwa kau tidak sengaja” jawab anak muda itu, “karena itu, hati-hatilah. Untunglah, kami sempat menghindar sehingga air sere itu tidak menyiram pakaian kami bertiga.”
Pemilik warung itu menjadi semakin gemetar. Dengan wajah yang tegang ia memandang ketiga orang yang kemudian duduk kembali di tempatnya.
“Nah, kami memesan lagi minuman. Kami memang haus. Tetapi kamilah yang haus itu. Bukan pakaian kami.”
Pemilik warung itu masih gemetar. Tetapi ia telah menyiapkan tiga mangkuk minuman lagi bagi ketiga tamunya. Betapapun ia mencoba menenangkan hatinya dan berhati-hati. tetapi ketiga orang itu melihat, bahwa penjual itu sedang diganggu oleh perasaan takut dan gelisah.
Tetapi mereka belum bertanya sesuatu. Mereka masih ingin melepaskan haus mereka dahulu dengan semangkuk minuman hangat.
Pemilik warung itu menarik napas lega ketika mangkuknya tidak tertumpah lagi. Dengan berbagai macam pertanyaan yang menggelegak dihatinya tentang ketiga orang tamunya yang baru itu, ia duduk di samping perapian seperti orang yang kedinginan.
Baru setelah ketiga orang tamunya itu menghirup separo isi mangkuknya, maka salah seorang dari mereka bertuiya, “Aku melihat suasana yang lain di dalam warung ini. Apakah benar begitu?.”
Pemilik warung itu termangu-mangu, sedang orang-orang yang ada di dalam warung itu bagaikan membeku.
“Apakah kalian berada dalam ketakutan?” bertanya orang yang lain dari ketiga orang itu. Tidak ada yang menjawab.
Karena itu maka yang paling muda di antara metekapun kemudian berkata, “Baiklah. Agaknya kalian memang menyimpan rahasia. Namun bagaimanapun juga, kami dapat melihat bahwa ada yang kalian sembunyikan. Meskipun demikian kami tidak akan dapat memaksa kalian untuk membuka rahasia itu.”
Pemilik warung itu termangu-mangu. Ketiga orang ini mempunyai pertanda yang lain lagi dari ketiga orang yang baru saja pergi. Agaknya ketiga orang ini bukanlah kawan-kawan dari mereka yang baru saja singgah mencari tiga orang yang lewat terdahulu.
Suasana di dalam warung itu menjadi sepi. Orang yang sudah lebih dahulu ada di dalam warung itu, rasa-rasanya bagaikan membeku. Mereka tidak dapat meninggalkan ruangan itu lebih dahulu oleh perasaan tidak menentu yang telah mencengkam mereka.
Tetapi sejenak kemudian, salah seorang dari ketiga orang yang datang kewarung itu berkata, “Baiklah Ki Sanak. Jika kehadiran kami telah mengganggu kalian, kami minta maaf Kami akan segera melanjutkan perjalanan.”
Kata-kata itu benar-benar telah menimbulkan tanggapan baru bagi ketiganya. Sudah tentu dengan demikian mereka tidak berniat buruk. Bahkan pemilik warung itupun kemudian menduga, bahwa ketiganya benar-benar orang yang sedang lewat dan kehausan, sehingga tidak mempunyai hubungan apapun juga dengan peristiwa yang telah terjadi dikota kecil itu.
Karena itu, maka pemilik warung itu telah memberanikan diri untuk bertanya, “Ki Sanak. Maaf bahwa sikap kami telah membuat Ki Sanak ragu-ragu menghadapi kami. Sebenarnyalah bahwa kami pun menjadi ragu-ragu terhadap setiap orang yang lewat karena peristiwa yang baru saja kami alami.”
“Apakah yang telah terjadi?.” bertanya yang paling muda di antara mereka bertiga.
“Dikota kecil di sebelah ini telah terjadi malapetaka.”
Ketiga orang itu ternyata telah tertarik kepada keterangan itu, sehingga dengan serta merta hampir berbareng mereka bertanya, “Apakah yang telah terjadi ?”
Pemilik warung itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian iapun berkata, “Kota kecil itu telah diamuk oleh ketakutan setelah terjadi peristiwa yang mengerikan di dalam pasar.”
“Ya, apa yang telah terjadi itu” yang paling muda di antara mereka tidak sabar lagi menunggu.
“Mahisa Bungalan dan Linggadadi, pembunuh orang-orang berilmu hitam telah membunuh orang-orang berilmu hitam di dalam pasar.”
“He.” anak muda itu tersentak sehingga di luar sadarnya ia telah meloncat berdiri.
Ternyata sikap itu telah membuat pemilik warung dan beberapa orang yang lain menjadi ketakutan kembali. Namun kawannya yang lebih tua telah menggamitnya dan menyuruhnya duduk kembali.
“Dengarlah baik-baik” desis orang itu kepada yang paling muda.
Orang yang paling muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah. Aku akan mendengarkan.”
Tetapi pemilik warung itu telah dicengkam oleh ketakutan sehingga untuk beberapa saat ia masih tetap berdiam diri.
“Nah, teruskan Ki Sanak. Kau tadi mengataakn bahwa Mahisa Bungalan dan Linggadadi telah bersama-sama membunuh orang-orang berilmu hitam. Keterangan itu memang mengejutkan sekali, Apalagi kau menyebut orang-orang berilmu hitam yang menakutkan itu sehingga kemanakanku ini terkejut karenanya. Tetapi seterusnya kami memang ingin mendengar agar kami tidak terperosok kedalam peristiwa yang mengerikan itu pula.”
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menceriterakan bahwa di pasar telah terjadi perkelahian yang membingungkan antara beberapa kelompok yang semula tidak diketahui siapakah mereka. Namun akhirnya tersebar berita bahwa yang terlibat didalamnya adalah Mahisa Bungalan bersama Linggadadi melawan orang-orang berilmu hitam. Tetapi selain mereka masih ada lagi dua orang anak-anak yang masih terlampau muda., “Selanjutnya kami tidak mengetahui dengan pasti. Yang kami ketahui adalah bahwa pada hari ini, telah singgah di warung kami, beberapa orang berkuda yang keluar dari kota kecil itu.”
“Orang berilmu hitam itu ?”
“Kami tidak tahu pasti. Tetapi agaknya bukan mereka, meskipun sikapnya juga mendebarkan jantung.”
“Seperti kami bertiga ?” bertanya yang paling muda.
“Tidak. Jauh berbeda.”
Ketiga orang itu menjadi semakin tertarik kepada ceritera pemilik warung itu. Karena itu maka salah seorang dari mereka mendesaknya, “Ceriterakan Ki Sanak. Mungkin ceriteramu sangat menarik.”
Pemilik warung itu termangu-mangu.
Orang yang paling muda dari ketiga orang itu tiba-tiba saja melemparkan beberapa keping uang sambil berkata, “Ambillah. Mungkin uang itu masih tersisa dari pembayaran makanan dan minuman kami bertiga.”
Pemilik warung itu terkejut. Ia memandang uang yang berserakan di antara barang-barang jualannya.
“Ki Sanak. Kami bukan orang-orang yang akan berbuat apapun juga. Jika kami sangat ingin mendengar ceriteramu, semata-mata agar kami tidak terperosok kedalam keterlibatan yang sangat kami cemaskan.”
Pemilik warung itu menatap wajah anak muda diantara ketiga orang itu. Lalu katanya, “Kepada tiga orang yang kedua singgah di warung ini aku tidak berterus terang tentang penglihatan kami atas orang-orang berkuda yang lewat dijalan ini.”
“Ada berapa kelompok orang-orang berkuda ?” bertanya anak muda itu.
“Tiga dengan kalian. Masing-masing tiga-tiga.”
“O, coba ceriterakan.”
Pemilik warung itupun kemudian dengan ragu-ragu mulai berceritera tentang tiga orang berkuda yang pertama dan yang kedua.
“Sedang yang ketiga adalah Ki Sanak bertiga sekarang ini.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun ternyata mereka tidak memberikan tanggapan apapun juga. Yang dikatakan oleh salah seorang dari ketiga orang itu adalah, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mencoba menghindari mereka Di kota kecil itu pun kami akan langsung menemui beberapa orang kenalan kami, agar tidak terjadi salah paham dan mungkin beberapa pertanyaan dari penghuninya. Adalah kebetulan pula bahwa kali ini kami pergi bertiga”
“Bagaimana jika kalian bertemu dengan orang-orang berilmu hitam, atau orang-orang yang semacam itu. termasuk tiga orang berkuda yang kedua singgah di warung kami ?”
“Kami akan menghindarkan diri jauh-jauh. Atau mungkin kami akan mati membeku jika kami tidak berhasil lari dari mereka.”
Pemilik warung dan orang-orang yang mendengar jawaban itu menjadi ragu-ragu. Nampaknya mereka sangat merendahkan diri. Meskipun mereka menyebut dirinya akan mati membeku, namun nampaknya mereka sama sekali tidak menjadi ketakutan dan cemas. Wajah mereka masih tetap cerah dan sikap mereka sama sekali tidak berubah.
Sejenak kemudian maka ketiga orang itupun minta diri. Yang paling muda di antara mereka berkata, “Jika uang itu tersisa, biarlah di sini. Ambillah. Aku mengucapkan terima kasih atas segala keteranganmu. Mudah-mudahan kami tidak terperosok kedalam kekalutan yang dapat mencelakai kami.”
Pemilik warung itu hanya termangu-mangu saja kebingungan. Sekali-kali ia memandang uang yang berserakan itu dengan sudut matanya.
Sesaat kemudian ketiga orang itu telah meloncat kepunggung kuda masing-masing dan meneruskan perjalanannya justru menuju kekota kecil yang diceriterakan oleh pemilik warung itu.
“Kau sudah berceritera tentang orang-orang berilmu hitam” berkata salah seorang yang berada diwarung itu.
“Nampaknya mereka orang baik” berkata pemilik warung itu sambil memunguti beberapa keping uang yang di tinggalkan oleh orang yang paling muda dari ketiga orang ber kuda itu.
“Ya. Nampaknya mereka orang baik” berkata yang lain, “apalagi dengan uang itu.”
“Ada beberapa persamaan sikap antara ketiga orang yang terakhir dengan ketiga orang yang pertama“ berkata pemilik warung itu.
“Ya Meskipun yang pertama sekali-kali menyebut tentang kulit yang terkelupas-“
“Dan sikap ketiga orang yang terakhir yang nampak garang ketika mereka hampir tersentuh air panas yang tertumpah.”
“Kau tidak berhati-hati. Untunglah mereka orang baik. Justru kau mendapat uang begitu banyak. Jika orang-orang itu termasuk pemarah dan orang-orang kasar seperti tiga orang yang kedua singgah di warung ini, mungkin kulitmu benar-beanr akan dikelupas.”
Bulu-bulu tengkuk pemilik warung itu mememang. Namun kemudian ia berkata kepada orang-orang yang berada diwarungnya, “Kalianpun akan mendapat bagian dari uang itu. Hari ini kalian hanya akan membayar separo dari yang seharusnya, Aku tentu tidak akan mengalami kerugian karena uang ini.”
“He” orang-orang yang ada di dalam warung itu membelalakkan matanya, “terima kasih” jawab yang gemuk, “untunglah aku belum meninggalkan warung ini dan belum membayar pula.”
Demikianlah maka orang-orang yang masih ada didalam warung itu hanyalah dipungut separo dari yang seharusnya mereka bayar. Dengan bibir yang tersenyum ramah, mereka mulai menghitung makanan yang telah mereka makan dan minuman yang telah mereka minum.
“Tutup sajalah warungmu hari ini” berkata salah seorang dari mereka, “sebelum tiga orang yang lain lagi akan lewat. Dan mereka adalah orang-orang berilmu hitam.”
Pemilik warung itu termangu-mangu. Tetapi ia menjadi ngeri juga bahwa orang-orang berilmu hitam akan benar-benar lewat dan apa lagi singgah diwarungnya. Mereka tentu akan berlaku kasar seperti yang mereka lakukan dipasar. Hampir setiap orang dapat menceriterakan pengalaman seorang anak muda yang hampir mati dicincang oleh orang-orang berilmu hitam itu tanpa berbuat kesalahan apuapun, karena orang-orang berilmu hitam itu sekedar ingin menakut-nakuti lawannya.
“Baiklah” berkata pemilik warung itu, “warung ini lebih baik aku tutup saja. Aku akan membawa sisa makanan pulang ke rumah. Anak-anakku tentu akan senang sekali. Biasanya mereka tidak pernah dapat ikut makan barang-barang daganganku, selain sepotong-sepotong yang aku berikan kepada mereka. Kali ini mereka akan mendapat agak banyak, karena aku pun telah mendapat uang buat menyiapkan dagangan besok pagi.”
Dengan demikian ketika orang-orang yang berada di warung itu pergi, maka pemilik warung itu pun kemudian menutup pintu dan mengemasi barang dagangannya yang tersisa. Setelah memadamkan api di perapian dan membersihkan amben besarnya, maka ia pun segera meninggalkan warungnya sambil membawa barang-barangnya di dalam bakul.
Dalam pada itu, ketika orang berkuda yang baru saja meninggalkan warung itupun telah berpacu langsung menuju kekota kecil yang baru saja dicengkam oleh kengerian dan ketakutan karena orang-orang berilmu hitam yang terbunuh di pasar. Mereka mempunyai perhitungan, bahwa pada suatu saat orang-orang berilmu hitam yang lain akan berkeliaran di kota itu dan membuat kerusuhan-kerusuhan yang mengerikan sekali. Mereka tentu ingin membalas dendam atas kematian kawan-kawannya. Jika mereka tidak menemukan Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang mereka sangka telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu, mereka tentu akan melepaskan dendamnya kepada siapapun juga yang mereka jumpai.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan pintu ger bang kota kecil itu, maka orang yang paling muda di antara mereka bertiga itupun bertanya, “Apakah yang akan kita lakukan kemudian paman?”
Kedua orang yang lain berpikir sejenak. Salah seorang dari mereka pun kemudian berkata, “Tentu mengherankan bahwa mereka menyangka bahwa Mahisa Bungalan dan Linggadadi telah bersama-sama melakukan pembunuhan atas orang-orang berilmu hitam itu.”
“Agaknya berita yang tersebar di sekitar kota ini benar-benar membingungkan. Setiap orang akan mendapat gambaran yang salah tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
“Tetapi yang pasti” sahut yang lain, “beberapa orang telah terbunuh di dalam pasar.”
“Kita akan mendapat berita yang lain dikota kecil itu. Mudah-mudahan dapat memperjelas apa yang sebenarnya sudah terjadi.”
“Atau justru membuat kita semakin bingung.”
Ketiganya mengangguk-angguk. Namun yang paling muda berkata, “kita akan melihat paman.”
Kuda-kuda itu pun berpacu semakin cepat. Sementara itu gerbang kota kecil itu pun kemudian sudah nampak dari kejauhan sehingga mereka mulai memperlambat derap kudanya.
“Paman” berkata yang paling muda di antara mereka, “aku mempunyai dugaan aneh kepada tiga orang yang terdahulu singgah di warung itu.”
“Dugaan apa?” bertanya yang lain.,
“Aku mengira bahwa mereka adalah ayah Mahendra dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”
“Darimana kau menduga demikian ?”
“Sifat-sifat mereka yang dikatakan oleh pemilik warung itu. Tentu Mahisa Pukat yang telah menakut-nakuti orang-orang di warung itu dengan menyebutnyebut pisang yang terkelupas atau semacam itu.”
Kedua orang yang lain tersenyum. Salah seorang berkata, “Memang mungkin sekali. Tetapi kenapa mereka tiba-tiba berada di kota kecil itu?”
“Ayah adalah seorang penjual barang-barang perhiasan dan wesi aji. Mungkin beberapa sahabat ayah di kota kecil itu memesan berbagai bentuk keris atau mungkin barang-barang perhiasan emas dan intan. Bahkan ayah juga sering membawa batu-batu akik dan permata-permata yang lain.”
Yang lain Mengangguk-angguk.
“Paman” berkata yang muda, “Nama Mahisa Bungalan telah benar-benar dipertentangkan dengan orang-orang berilmu hitam.”
“Karena itu kau harus berhati-hati. Dan sebaiknya kau tidak mempergunakan nama itu disembarang tempat. Bukan berarti kau bersembunyi atau ingkar akan tanggung jawab. Tetapi sekedar untuk menghindari benturan-benturan yang tidak berarti agar usaha kita untuk menemukan orang-orang berilmu hitam itu dapat berhasil.”
“Dan apakah paman berdua juga akan mempergunakan nama lain ? Bukan lagi paman Witantra dan Mahisa Agni ?”
Keduanya mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian Witantralah yang menjawab, “Agaknya demikian Mahisa Bungalan. Dengan tanpa dibebani nama-nama itu. kita akan dapat berbuat lebih banyak.”
“Baiklah paman” berkata Mahisa Bungalan, “tetapi dengan demikian, kemanakah kita akan langsung menuju ? Aku mengerti beberapa orang kawan ayah di kota itu. Tetapi dengan demikian aku tidak dapat menyembunyikan namaku dan juga sudah tentu bahwa aku adalah anak Mahendra akan segera diketahui orang.”
Mahisa Agni dan Witantra tidak segera dapat menjawab. Sejenak mereka mencoba merenungi, yang manakah yang sebaiknya mereka lakukan
Dengan ragu-ragu Witantra kemudian berkata, “Mahisa Bungalan. Bagaimanakah jika kita singgah kerumah salah seorang kawan ayahmu dan berterus terang, bahwa kita mempergukan nama lain dikota kecil itu justru untuk mengetahui perkembangan kota itu sepeninggalan ayahmu dan mungkin benar bahwa Linggadadi juga pernah datang kekota itu.”
Mahisa Bungalan ragu-ragu. Katanya, “Jika orang itu dapat diyakinkan, demi keamanannya sendiri, maka aku kira ia tidak akan berkeberatan.”
“Itulah yang meragukan”
“Tetapi mungkin dapat kita coba paman. Aku mengenal seorang kawan ayah yang cukup kaya dikota kecil itu.”
Mahisa Agni dan Witantra Mengangguk-angguk. Agaknya mereka sependapat dengan Mahisa Bungalan untuk mencoba menghubungi kawan Mahendra yang telah dikenal oleh Mahisa Bungalan itu.
Kedatangan mereka di kota kecil itu telah menarik perhatian beberapa orang. Demikian mereka memasuki pintu gerbang kota, beberapa orang telah mulai berbisik-bisik tentang mereka bertiga.
“Tiga orang pimpinan dari orang-orang berilmu hitam yang ingin membalas kematian kawan-kawannya” desis seseorang.
“Nampaknya bukan dari mereka. Tetapi entahlah, siapa tahu”
“Wajahnya nampaknya penuh dengan rahasia”
“Tetapi pengaruh wibawanya lain sekali dengan orang orang berilmu hitam yang terbunuh di pasar itu, yang justru mula-mula berusaha menakut-nakuti lawannya. Namun yang akhirnya justru lawannya telah melakukan kekejaman yang luar biasa.”
“Yang tidak ada bedanya dengan orang-orang berilmu hitam itu sendiri.”
Tidak seorang pun yang mengetahui siapakah mereka bertiga dan kenapa mereka datang ketempat mereka, yang baru-baru saja telah dikacaukan oleh peristiwa yang mengerikan itu.
Tetapi tiba-tiba saja seseorang yang berdiri termangu-mangu di pinggir jalan meloncat maju sambil melambaikan tangannya .”He, kau.”
Mahisa Bungalan terkejut. Orang itu adalah kawan ayahnya. Satu-satunya kawan ayahnya yang mengenalnya, bahwa Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra. Sedang sahabat-sahabat dan langganan ayahnya yang lain tidak ada yang mengenalnya sebagai anak Mahendra. Jika ada orang lain yang dikenalnya, maka orang itu justru tidak mengetahuinya bahwa ialah Mahisa Bungalan anak Mahendra yang mereka kenal sebagai pedagang permata. Bahkan beberapa orang meskipun pernah mendengar nama Mahendra, namun mereka sama sekali tidak menghubungkan nama itu dengan Mahendra, yang mempunyai seorang anak laki yang bernama Mahisa Bungalan bergelar pembunuh orang berilmu hitam.
Mahisa Bungalan segera meloncat turun dari kudanya ke tika orang itu mulai menyapanya, “Kemana kau he ?”
“Ssst” desis Mahisa Bungalan, “jangan sebut namaku”
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu sambil tersenyum ia berbisik, “Aku mengerti. Bukankah kau telah membunuh orang berilmu hitam di pasar itu ?”
“Bukan aku”
“He. Berita itu telah tersebar. Mahisa Bungalan dan Linggadadi.”
“Berita itu tidak benar. Aku baru datang hari ini. Bahkan aku sebenarnya ingin singgah kerumah paman. Aku datang bersama kedua pamanku.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian timbullah keinginannya untuk mengetahui ceritera Mahisa Bungalan tentang dirinya. Karena itu maka iapun berkata, “Baiklah. Singgahlah kerumahku. Aku akan segera pulang.”
“Apakah paman akan mempergunakan kudaku ?”
“Tidak. Aku akan cepat-cepat berjalan pulang. Kau dapat berkuda melalui pasar yang masih sepi. Sedang aku akan melintas jalan sempit itu.”
Mahisa Bungalan pun kemudian meneruskan perjalanannya melalui jalan-jalan di kota kecil itu. Beberapa orang masih saja mengawasinya. Apalagi ketika mereka bertiga melewati pasar yang sepi. Orang-orang yang ada di sekitar tempat itu memandang mereka dengan cemas.
“Ki Anjas menyangka bahwa akulah yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu.”
“Bagaimana ia dapat menyangka demikian?” bertanya Mahisa Agni.
“Ia tidak melihat sendiri. Tentu ia hanya mendengar orang-orang itu saling berceritera. Dan ia menduga bahwa yang di ceriterakan itu adalah aku. Jika ia telah berceritera serba sedikit tentang aku, mungkin aku tidak dapat bersembunyi lagi dikota kecil ini.”
Tetapi orang-orang yang melihat siapakah yang telah berkelahi di pasar itu justru akan yakin bahwa bukan kaulah orangnya yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu.” sahut Witantra
“Kita akan melihat. manakah yang menguntungkan paman. Tetapi seandainya aku tidak dapat bersembunyi lagi apa boleh buat. Bukankah begitu paman ?”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Aku tahu Bungalan, bahwa sebenarnya itulah yang kau inginkan. Dan akupun mengerti bahwa kau masih dengan mudah dibakar oleh gejolak darah mudamu.”
Mahisa Bungalan termenung sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Entahlah paman” Tetapi aku sudah berusaha untuk menahan diri, agar aku tidak terjerumus kedalam pilihan yang salah. Apalagi menghadapi orang berilmu hitam.”
Witantra dan Mahisa Agni Mengangguk-angguk. Namun masih nampak senyum di bibir mereka.
Demikianlah mereka pun berkuda di sepanjang jalan kota kecil yang tidak begitu ramai itu.
Namun dengan demikian, ternyata kehadiran mereka bertiga telah menumbuhkan persoalan yang bermacam-macam di dalam lingkungan hidup orang-orang yang sedang dicengkam oleh kecemasan itu. Rasa-rasanya bau darah di pasar itu masih belum lenyap. Dan kini mereka telah dikejutkan lagi oleh derap kaki-kaki kuda yang menyusuri kota mereka yang sebelumnya terasa tenang dan sepi.
Beberapa lama kemudian, maka Mahisa Bungalan pun menunjuk pada sebuah regol halaman rumah yang luas. Kata nya, “Itulah rumahnya.”
“Apakah kau sudah mengenalnya dengan baik ?”
“Belum begitu akrab. Tetapi ia adalah salah seorang langganan ayah yang dekat. Aku kira ia adalah Satu-satunya orang yang mengenal aku disini.”
“Baiklah. Tetapi kita harus tetap berhati-hati.”
Demikianlah mereka pun kemudian memasuki regol rumah Ki Anjas itu dengan ragu-ragu. Satu-satu mereka meloncat turun dari kuda mereka dan menuntunnya memasuki regol halaman yang luas itu.
Dengan tergesa-tergesa Ki Anjas pun menyambut mereka dihalaman. Kemudian mempersilahkan mereka naik kependapa setelah membersihkan kaki mereka di jambangan di ujung tangga.
Sejenak mereka saling memperkenalkan diri dan bertanya tentang keselamatan masing-masing- Baru kemudian Ki Anjas mulai bertanya kepada Mahisa Bungalan tentang peristiwa yang pernah terjadi di pasar itu.
“Aku sama sekali tidak mengerti Ki Anjas” jawab Mahisa Bungalan.
Berita yang tersebar di daerah ini mengatakan, bahwa salah seorang pembunuh itu menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan. Tetapi seseorang berbisik dipintu regol pasar, bahwa yang telah membunuh itu di antaranya bernama Linggadadi.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya” Tentu ada orang yang mengaku namaku. Mungkin dengan sengaja untuk menumbuhkan benturan antara aku dan orang-orang berilmu hitam itu.”
“Mahisa Bungalan” berkata Ki Anjas, “aku sebenarnya sudah mengetahui bahwa ayahmu, yang sering membawa wesi aji dan batu akik itu bukan orang kebanyakan. Namanya justru pernah disebut-sebut dalam hubungannya dengan para Senapati prajurit di Singasari.”
Mahisa Agni dan Witantra menjadi berdebar-debar. Tetapi karena mereka telah memperkenalkan diri mereka tidak dengan nama mereka yang sebenarnya, maka mereka pun tidak berusaha mengalihkan pembicaraan.”
“Apakah Ki Anjas yakin, bahwa Mahendra yang sering di sebut-sebut bersama para Senapati itu adalah Mahendra ayahku ?”
“Ya.” kemudian Ki Anjas bergeser mendekat, seolah-olah ia ragu-ragu mengatakannya, “kau sangka aku tidak mempunvai dugaan yang pasti, bahwa dua orang adikmu yang pada saat ayahmu datang kekota ini ikut serta, adalah anak-anak muda yang luar biasa? Tidak seorang pun yang tahu, bahwa keduanya adalah anak Mahendra. Juga tidak banyak orang yang memperhatikan bahwa Mahendra sendiri lelah datang ke pasar itu. He, kau jangan menipu aku. Seorang dari mereka tentu Mahisa Bungalan.”
“Kesimpulan yang salah,” sahut Mahisa Bungalan, “Mahendra yang menjadi perwira cadangan di Singasari itu tentu bukan Mahendra ayahku yang kerjanya sehari-hari hanyalah berdagang batu akik.”
Ki Anjas tertawa. Katanya, “Jangan membohongi orang tua seperti aku. Hanya orang yang percaya kepada diri sendiri sajalah yang berani membawa perhiasan dan batu-batu berharga sepeti kecil penuh.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi jika Ki Anjas sempat membawa seseorang yang melihat dengan mata kepala sendiri peristiwa di pasar itu tentu akan mengatakan bahwa ia tidak melihat aku di antara mereka.”
Ki Anjas mengerutkan keningnya.
“Kau berkata sebenarnya?”
“Aku tidak berbohong” jawab Mahisa Bungalan.
Ki Anjas memperhatikan kedua orang yang datang bersama Mahisa Bungalan itu satu persatu. Tetapi ia sama sekali tidak mengenal mereka sebagai Mahisa Agni dan Witantra, karena keduanya memperkenalkan dirinya dengan nama yang lain itu.
“Ah sudahlah” berkata Ki Anjas, “aku tidak mau di bingungkan oleh peristiwa yang sudah lewat. Nah, sekarang apakah keperluanmu datang kemari ?”
Mahisa Bungalan menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Justru karena tersebar nama Mahisa Bungalan dan Linggadadi, pembunuh orang-orang berilmu hitam. Karena itu paman, aku mohon paman menyebutku dengan nama lain.”
“Kenapa?”
“Supaya usahaku menemukan kebenaran tentang peristiwa itu tidak terganggu oleh prasangka yang tidak dikehendaki.”
Ki Anjas termangu-mangu sejenak. Bahkan kemudian dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra yang telah mempergunakan nama lain itu berganti-ganti, seolah-olah ia ingin mendapatkan penjelasan lebih banyak tentang keterangan Mahisa Bungalan.
Tetapi agaknya Mahisa Agni dan Witantra justru menundukkan kepalanya tanpa memberikan isyarat apapun juga.
“Mahisa Bungalan” berkata Ki Anjas, “jika pada suatu saat, orang-orang berilmu hitam itu datang lagi ke kota ini untuk mengusut sebab-sebab kematian kawan-kawannya, sedangkan pada suatu saat mereka mengenal bahwa kau adalah Mahisa Bungalan, maka apakah kau telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan itu dengan kedua kawanmu ini ?”
“Karena itu, aku tidak ingin disebut namaku paman.”
“Jika terpaksa. Aku mengatakannya jika secara kebetulan atau dengan cara apapun juga, mereka mengenalmu, apakah kedua orang kawanmu ini dapat kau bawa untuk menghadapi segala kemungkinan? Menilik sikap dan tubuhnya, mereka cukup meyakinkan. Tetapi sebenarnya mereka sudah terlalu tua untuk menghadapi orang-orang berilmu hitam itu.”
Mahisa Agni menarik nafas, sedang Witantra bergeser setapak,
“Apakah paman dapat mengatakan serba sedikit tentang orang berilmu hitam itu?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku tidak melihat mereka. Tetapi menurut orang-orang yang menyaksikan, perkelahian itu ternyata sangat dahsyatnya. Sungguh di luar kemampuan mereka untuk menilai.” Namun Ki Anjas tiba-tiba saja terdiam. Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra sambil berdesis, “He, apakah salah seorang kawanmu ini bernama Linggadadi?”
“Bukan paman. Bukankah mereka sudah memperkenalkan dirinya. Yang seorang ini benar-benar bernama Lumban dan yang lain paman Werdi. Bukankah nama mereka bukan Linggadadi.”
“Ya” sahut Ki Anjas, “menurut orang-orang yang menyaksikan, yang seorang sudah tua, tetapi yang dua orang masih muda.”
“Dan sekali lagi aku ingin memastikan bahwa dugaan itu sama sekali tidak mendasar. Sebaiknya paman memanggil seseorang yang menyaksikan perkelahian itu dan biarlah orang itu mengatakan bahwa ketiga orang itu sama sekali bukan kami bertiga atau salah satu di antara kami.”
Ki Anjas mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mulai percaya kepadamu. Dan sekarang, apakah yang akan kau lakukan?”
“Paman,“ berkata Mahisa Bungalan, “apakah aku boleh bermalam di rumah paman untuk beberapa hari ?”
Ki Anjas menjadi ragu-ragu. Jika kemudian ternyata orang-orang berilmu hitam itu mengetahui, bahwa Mahisa Bungalan tinggal bersamanya, maka rumahnya akan dapat menjadi sasaran kemarahan orang-orang berilmu hitam itu. Tetapi menurut perhitungannya, jika benar-benar Mahisa Bungalan menyamarkan namanya, maka tentu tidak akan ada orang yang mengetahui bahwa yang tinggal bersamanya itu adalah benar-benar Mahisa Bungalan. Apa lagi sementara Mahisa Bungalan berada di rumahnya, maka tentu rumahnya akan menjadi aman dan tidak akan terganggu meskipun oleh orang-orang berilmu hitam. Karena yang tinggal di rumahnya itu adalah Mahisa Bungalan, yang mendapat gelar, dikehendaki atau tidak, pembunuh orang-orang berilmu hitam.
Mahisa Bungalan menunggu jawaban Ki Anjas dengan ragu-ragu. Jika Ki Anjas berkeberatan, maka ia tidak mempunyai gambaran kemana lagi ia akan mencari tempat untuk bermalam. Apalagi beberapa hari.
“Jika terpaksa, kami akan bermalam dipasar itu” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya, “tetapi dengan demikian kami akan dapat diusir oleh para peronda di malam hari.”
Baru sejenak kemudian Ki Anjas Mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah Mahisa Bungalan. Aku mempunyai pertimbangan yang bertentangan. Kadang-Kadang aku menjadi cemas, bahwa jika samaran namamu itu pada suatu saat terbuka, maka rumahku akan dapat dijadikan debu oleh orang-orang berilmu hitam, termasuk keluargaku. Tetapi jika samaranmu rapat, maka aku tidak akan mengalami apapun juga.”
“Aku akan berusaha untuk merahasiakan diriku sebaik-baiknya paman.”
“Kau tahu, taruhannya amat mahal bagiku.”
“Aku tahu. Dan karena itulah aku pun mohon, agar paman tidak keliru menyebut namaku.”
“Nah, dengan nama siapakah aku harus memanggilmu ?”
“Terserah kepada paman. Nama yang manakah yang paling baik buatku.”
Ki Anjas termangu-mangu sejenak, lalu, “Namamu Singkir. Jangan lupa.”
“Baik paman. Namaku sekarang adalah Singkir. Nama yang baik sekali bagiku.”
“Kau adalah kemanakanku. Dan kedua kawanmu ini adalah sahabatku. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kecurigaan apapun di antara para tetangga dan terlebih-lebih jika tanpa kita ketahui, hadir orang-orang berilmu hitam itu.”
“Baik paman. Aku akan selalu ingat.”
“Nah, jika demikian marilah, aku akan menunjukkan dimana kau harus tidur. Ingat keluargaku sendiri harus tidak boleh mengetahui namamu yang sebenarnya. Apalagi para pembantu Jika salah seorang saja dari mereka mendengar namamu maka mereka akan dengan bangga mengatakan kepada semua orang yang dikenalnya, bahwa Mahisa Bungalan, pembunuh orang berilmu hitam itu berada di sini.”
Demikianlah, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan mendapat tempatnya di dalam gandok. Mereka mendapat kesempatan untuk bermalam di rumah itu beberapa hari. Tetapi dengan pesan, agar tidak seorang pun yang mengetahui siapakah mereka itu, justru yang dikehendaki oleh Mahisa Bungalan sendiri.....
Di hari berikutnya, maka Mahisa Bungalan bersama Mahisa Agni dan Witantra telah mencoba berjalan-jalan menyusuri jalan- jalan kota kecil yang tidak begitu ramai itu. Mereka melihat tata kehidupan yang sebenarnya tenang dan tidak banyak di bayangi oleh persoalan-persoalan yang rumit. Kota kecil itu tidak ubahnya merupakan pusat kegiatan pedagang dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya, sehingga tumbuh menjadi lebih ramai dari sebuah padukuhan biasa. Apalagi karena penduduknya pandai memanfaatkan keadaan itu, mereka telah membuat tempat tinggal mereka menjadi sebuah kota, lengkap dengan dinding batu yang meskipun tidak terlalu tinggi. Gerbang di beberapa penjuru dan sebuah pasar yang semakin lama menjadi semakin ramai. Pasar yang ternyata bukan saja merupakan pusat penjualan hasil sawah dan hasil kerja tangan mereka, tetapi juga merupakan arena pertukaran beberapa macam kebutuhan hidup yang semakin lama menjadi semakin banyak ragamnya.
Tetapi ternyata pasar itu kemudian telah dinodai dengan darah.
Karena itu, ketika Mahisa Bungalan bersama kedua pamannya sampai ke gerbang pasar itu, mereka melihat pasar itu masih agak sepi. Masih belum banyak orang yang berani datang ke pasar karena peristiwa yang baru saja terjadi.
Dengan ragu- ragu Mahisa Bungalan masuk ke dalamnya. Dilihatnya berbagai macam kegiatan yang masih nampak canggung. Tetapi agaknya para penjual kebutuhan sehari-sehari terutama untuk hidup, sudah mulai menjadi ramai kembali.
Di sudut pasar, beberapa orang pandai besi telah menyalakan perapiannya. Mereka sudah mulai menempa meskipun dengan agak ragu- ragu. Sedangkan beberapa orang yang sedang berbelanja pun nampaknya masih terlalu tergesa-gesa.
“Hanya ada sebuah warung yang mulai menjajakan makanan dan minuman” desis Mahisa Bungalan.
“Kau lapar ?” bertanya Witantra.
“Tidak. Tetapi apakah kita dapat mendengar beberapa ceritera dari penjual diwarung itu ?”
“Ceritera yang tersebar tidak akan terlalu banyak bedanya dengan yang akan diceriterakannya. Tetapi karena orang itu agaknya melihat sendiri apa yang terjadi, mungkin ada juga baiknya kita berbicara sekedarnya dengan mereka.”
“Marilah paman. Barangkali ada juga baiknya kita singgah sebentar.”
“Tetapi ingat, namamu adalah Singkir” berkata Witantra, “dan agaknya kita harus mempertimbangkan pendapat Ki Anjas jika ia melihatnya kita berada di warung itu.”
“Kenapa paman ?”
“Seolah-olah apa yang dihidangkannya kepada kita masih belum cukup, sehingga kita masih harus singgah ke dalam warung untuk memesan makanan dan minuman.”
“Kita memang harus menjelaskan kepadanya, bahwa jika kita singgah ke dalam warung itu, bukannya karena yang dihidangkannya kita anggap kurang cukup, tetapi karena ada kepentingan-kepentingan yang lain.”
Demikianlah maka mereka bertiga pun memasuki satu-satuya warung yang telah menjajakan jualannya.
Namun agaknya kehadiran mereka bertiga benar-benar telah menarik perhatian. Bagaimanapun juga, mereka melihat kelainan pada Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra.
Setelah mendapatkan masing-masing semangkuk minuman panas, maka Mahisa Bungalan pun mencoba untuk memancing keterangan dari penjaual di warung itu tentang peristiwa yang telah terjadi di dalam pasar itu.
“Apakah Ki Sanak bertiga bukan penduduk kota kecil ini?” bertanya penjual itu.
“Bukan,” jawab Mahisa Bungalan, “aku adalah kemanakan Ki Anjas. Baru kemarin aku datang. Kota ini menjadi bertambah sepi, sedangkan pada beberapa saat yang lalu, aku melihat gejala perkembangan yang cepat.”
“Apakah Ki Anjas tidak mengatakan apa-apa kepadamu?”
“Tentu. Paman menceriterakan serba sedikit tentang peristiwa yang terjadi di pasar ini. Tetapi karena saat itu paman tidak berada di pasar ini, maka ia hanya berdasar kepada ceritera-ceritera yang didengarnya.”
“Tentu Ki Anjas sudah menceriterakan semuanya. Yang diketahui, tentu yang aku ketahui dan sebaliknya.”
Mahisa Bungalan Mengangguk-angguk. Lalu, “Kau melihat dua orang anak muda yang menurut Ki Anjas, terlibat juga dalam perkelahian itu?”
“Ya. Aku melihatnya. Tetapi aku tidak dapat mengatakan apa-apa tentang keduanya karena mula-mula keduanya tidak menunjukkan sesuatu yang lain dari orang-orang yang ada di pasar ini. Baru kemudian setelah terjadi pertengkaran itu, nampaknya ia bukan orang kebanyakan.”
“Kau tahu nama dari orang-orang yang berkelahi itu?”
“Mahisa Bungalan dan yang lain disebut Linggadadi. Hanya itu selain lawan mereka, orang-orang berilmu hitam.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia kini yakin, bahwa nama Mahisa Bungalan telah dipertentangkan langsung dengan orang-orang berilmu hitam. Tetapi demikian juga Linggadadi.
Beberapa saat mereka masih duduk di warung itu menghabiskan minuman panas dan beberapa potong makan. Kemudian setelah membayar harga minuman dan makanannya, maka mereka bertiga pun meninggalkan warung itu.
Hampir sehari penuh mereka berjalan-jalan. Bahkan tidak hanya di dalam kota, bahkan mereka telah keluar pintu gerbang kota kecil itu dan menyusuri bulak-bulak persawahan yang sebagian adalah milik orang-orang yang tinggal di dalam kota itu juga, namun masih menggantungkan penghidupan mereka dari hasil sawahnya, sedangkan sebagian yang lain adalah mereka yang sengaja menyediakan tenaganya untuk membuat alat-alat pertanian dan alat-alat rumah tangga yang lain.
Tetapi dalam pengamatan mereka bertiga, tidak ada tanda-tanda sama sekali, bahwa akan timbul lagi keributan dikota kecil itu Namun demikian, keadaan yang tiba-tiba memang dapat saja terjadi.
“Mungkin saat ini segerombolan orang-orang berilmu hitam itu sedang menuju kekota ini” desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
“Itu mungkin sekali” jawab Witantra, “dendam yang memang sudah membara di dada mereka, akan segera berkobar di dalam sarang mereka. Dan memang mungkin sekali akan datang orang-orang yang mengindap dendam itu di dalam dirinya.”
“Apakah kita akan berada di tempat ini beherapa hari seperti yang kita rencanakan paman?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Ada juga baiknya” jawab Mahisa Agni, “dengan demikian kita akan meyakinkan diri, bahwa orang-orang berilmu hitam itu benar-benar tidak mendendam kepada kota ini, tetapi kepada Mahisa Bungalan dan Linggadadi.”
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kita akan berada di tempat ini untuk beberapa hari.”
Dalam pada itu, di perguruan ilmu hitam, Empu Baladatu yang sedang berkumpul dengan murid-muridnya, Rasa-rasanya tidak dapat menahan dirinya lagi. Kemarahan yang hampir tidak dapat dikendalikan telah meledak di dadanya.
Kematian yang berturut-turut menjerat anak-anak muridnya, membuatnya seperti orang gila.
“Mereka adalah anak-anak yang paling dungu dari perguruan ini. Kenapa mereka tidak dapat mempertahankan diri dan bahkan semuanya dapat ditumpas oleh Mahisa Bungalan anak Mahendra dan Linggadadi yang masih belum kita kenal dengan pasti itu ?”
Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang berani mengangkat wajahnya.
“Kita sudah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan seorang korban. Purnama sudah naik malam ini. Bahkan kita telah kehilangan lagi beberapa orang dari lingkungan kita.”
Murid-muridnya masih tetap menundukkan kepalanya.
“He, apakah kalian tuli?” tiba-tiba saja Empu Baladatu berteriak sehingga murid-muridnya terkejut karenanya.
Namun dengan demikian mereka telah mengangkat wajah masing-masing meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Dengan ragu-ragu mereka memandang wajah Empu Baladatu yang merah membara.
“Siapakah dari antara kalian yang segera mendapat giliran berikutnya?” teriak Empu Baladatu.
Meskipun murid-muridnya tidak lagi menunduk, namun mereka masih tetap berdiam diri dengan hati yang berdebaran.
Akhirnya, bahkan Empu Baladatu yang dicengkam oleh kemarahan itu, terduduk di atas sebuah batu hitam yang dipahat dalam ujud seekor kura-kura yang memang diperuntukkan baginya. Namun demikian, setiap kali ia masih memukuli dadanya sendiri yang Rasa-rasanya menjadi pepat.
“Kita menghadapi orang-orang yang tangguh.” Geramnya, “yang paling gila adalah saudara-saudaramu yang lari dan kemudian mendirikan sanggar pamujan di daerah bayangan hantu. Ia adalah pangkal dari bencana yang akan menimpa kita. Jika saja mereka belum mati dibunuh oleh Mahisa Bungalan, maka akulah yang akan mencincang mereka seperti yang terjadi di pasar itu. Justru seorang dari kitalah yang sudah terbunuh dengan kulit yang tersayat-sayat.”
Murid-muridnya masih tetap berdiam diri.
“Permulaan yang gila itu, telah memaksa Mahisa Bungalan, Linggadadi dan bahkan kemudian para Panglima dan Senapati dari Singasari bertindak.” desah Empu Baladatu dengan penuh penyesalan, “diantara mereka tentu terdapat Mahendra, ayah Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan beberapa orang yang lain.”
Tidak seorang pun yang berani menyambung. Tetapi tiba-tiba saja Empu Baladatu itu mengangkat wajahnya. Seolah-olah sesuatu lebih membersit di dalam hatinya. Dengan nada yang tinggi ia kemudian berteriak, “Apa boleh buat. Aku tidak mau berjalan sendiri. Aku masih mempunyai seorang saudara tua.”
Murid-muridnya mengerutkan keningnya. Mereka tahu bahwa Empu Baladatu memang mempunyai seorang saudara tua. Meskipun tidak seperguruan, namun agaknya saudara tua Empu Baladatu itu akan tidak sampai hati membiarkan adiknya menjadi hancur.
“Tetapi ia bukan orang-orang yang menghisap ilmu serupa dengan Empu Baladatu” persoalan itu tumbuh juga di dalam hati murid-muridnya.
Sampai saat terakhir, kedua perguruan itu Rasa-rasanya tidak pernah berhubungan meskipun tidak bermusuhan. Empu Baladatu agaknya merasa harga dirinya tersinggung apabila ia harus merendahkan diri meskipun terhadap kakaknya. Namun dalam keadaan yang sulit, ia tidak mempunyai pilihan lain.
Untuk beberapa saat lamanya, ruangan pertemuan itu menjadi sepi. Empu Baladatu agaknya masih membuat pertimbangan-pertimbangan didalam hatinya. Tetapi agaknya ia memang tidak mempunyai jalan lain untuk mengatasi kesulitan yang semakin mendesak karena ia sudah mulai membayangkan prajurit-prajurit Singasari dengan diam-diam lewat petugas-petugas sandinya berusaha menemukan sarangnya dan kemudian dengan pasukan segelar sepapan datang mengepung dan menghancur lumatkan padepokannya.
“Bahkan mungkin orang yang menyebut dirinya Mahisa Bungalan dan Linggadadi adalah prajurit-prajurit sandi” tiba-tiba sa ja ia menggeram.
Murid-muridnya yang mendengarpun menjadi berdebar-debar. Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Dan merekapun mulai membayangkan pula, hukuman yang dapat mereka alami, jika prajurit-prajurit Singasari kemudian menemukan bukt-bukti segala perbuatan mereka.
“Untunglah, Empu Baladatu menyadari keadaannya dan ia bersedia menemui kakaknya” berkata murid-muridnya di dalam hati. Demikianlah Empu Baladatu kemudian memutuskan untuk menemui kakaknya, menyampaikan kesulitan yang sedang dihadapinya.
“Kalian jangan berbuat apa-apa” berkata Empu Baladatu, “selama aku pergi, kalian tidak boleh melakukan kegiatan sama sekali di luar padepokan. Bahkan kalian harus berusaha menghilangkan segala jejak yang dapat menumbuhkan kecurigaan atas kita semuanya. Jika terpaksa kalian harus bertempur melawan siapapun juga, kalian harus merusaha menyembunyikan ciri-ciri perguruan kita sejauhnya sampai saatnya nanti tiba, kita akan bangkit dan menguasai seluruh Singasari. Agaknya kita sekarang telah melakukan kesalahan. Sebelum kica cukup kuat, kita sudah melakukan perbuatan yang dapat mengundang malapetaka.”
Murid-muridnya hanya mengangguk-angguk saja.
“Tinggallah sebanyak mungkin di antara kalian di luar padepokan Satu dua orang sajalah yang menunggui padepokan ini untuk melakukan kerja sehari-hari, sehingga tidak memancing perhatian siapapun juga yang kebetulan berada di sekitar sarang kita.”
Empu Baladatu kemudian menunjuk tiga orang terpilih untuk tetap berada dipadepokan. Yang lain, diperintahkannya tinggal di luar padepokan, meskipun hanya di sekitarya. Di pategalan yang sebelumnya tidak didiami oleh seorang pun, karena pategalan itu merupakan tanah garapan dari murid-murid Empu Baladatu sendiri. Tetapi pategalan itu sudah banyak di tumbuhi pepohonan buah-buahan.
Demikianlah, maka pada dini hari berikutnya, Empu Baladatu dan dua orang pengawal terbaiknya telah meninggalkan padepokannya menuju ke padepokan kakaknya, yang justru terletak tidak jauh dari Kota Raja.
Sepeninggal Empu Baladatu, dengan patuh murid-muridnya melakukan perintahnya. Bukan semata-mata karena kesetiaan mereka terhadap gurunya, tetapi juga karena mereka merasa cemas, bahwa pembalasan akan benar-benar datang disaat gurunya tidak ada. Mereka memang merasa ngeri juga mendengar nama-nama Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Belum lagi jika Mahendra dan para Senapati Singasari ikut campur.
Ternyata selama ini mereka telah salah menilai diri mereka sendiri. Mereka sebelumnya merasa, bahwa ilmu mereka akan dapat menggetarkan seluruh Singasari. Tidak ada kekuatan yang akan dapat membendung mereka jika mereka mulai bergerak, meskipun jumlah mereka tidak terlampau banyak dibanding dengan jumlah prajurit Singasari, khususnya hanya yang berada di Kota Raja.
Tetapi ternyata bahwa dihadapan mereka tiba-tiba saja telah berdiri Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang masing-masing digelari pembunuh- pembunuh orang berilmu hitam.
Itulah sebabnya maka mereka kemudian dengan patuh membuat gubug-gubug di pategalan, di antara pohon- pohon buah. Yang ada di padepokan berusaha untuk membersihkan semua bekas-bekas korban yang akan dapat menjadikan kedudukan mereka lebih sulit lagi apabila petugas-petugas sandi menemukan sarang mereka.
Sementara itu, Empu Baladatu dengan kedua pengawalnya telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Mereka masih juga sempat melihat-lihat di sepanjang perjalanan, apakah tanggapan orang-orang lain terhadap yang mereka namakan orang-orang berilmu hitam. Karena itulah, maka ketiga orang itu tidak langsung sampai ke padepokan yang mereka tuju, tetapi dengan sengaja mereka bermalam beberapa malam di perjalanan. Bahkan yang pertama-tama mereka singgahi adalah kota kecil yang telah menelan lima orang korban dari antara murid-muridnya.
Tetapi dalam pada itu, Empu Baladatu telah berusaha menyamarkan dirinya. Ia sama sekali tidak mengesankan, bahwa ia adalah pimpinan dan guru dari orang-orang berilmu hitam itu.
Bahkan Empu Baladatu telah menjadikan dirinya seorang tua yang ramah dan nampak sakit-sakitan. Dalam perjalanan yang jauh, orang tua yang lemah dan sakit-sakitan itu harus banyak ber istirahat di sepanjang jalan yang dilaluinya, meskipun ia berkuda.
Kehadiran ketiga orang baru dikota kecil itupun telah mendapat perhatian dari para penghuninya pula. Tetapi ketika mereka melihat bahwa seorang di antara mereka adalah orang tua yang sakit-sakitan. maka mereka pun kemudian tidak menaruh perhatian sama sekali.
Juga para pemimpin dikota kecil itu sama sekali tidak menaruh curiga ketika ketiga orang itu mohon untuk bermalam didalam banjar.
Apalagi Empu Baladatu dan kedua pengawalnya yang terpercaya seolah-olah tidak dengan sengaja ingin bermalam. Hanya karena ketuaannya dan penyakitnya sajalah ia terpaksa berhenti dan bermalam.
“Kau dapat beristirahat menurut kebutuhanmu,” berkata pemimpin pengawal kota kecil itu, “tetapi jika kau sudah merasa baik, kau dipersilahkan meninggalkan banjar itu.”
“Terima kasih tuan. Tuan sangat baik terhadap kami” jawab Empu Baladatu.
Dengan demikian, maka Empu Baladatu sempat untuk tinggal di banjar kota kecil itu. Ia sempat melihat pertemuan para pemimpin kota itu di banjar, dan bahkan ia sempat pula melihat latihan-latihan pertunjukan dan upacara di banjar itu.
“Kota ini telah membunuh lima orang di antara kalian” tiba-tiba saja Empu Baladatu menggeram ketika ia melihat anak anak muda berada di banjar itu. Kedua pengawalnya tidak menjawab.
“Tentu di antara anak-anak muda itu ada yang mempunyai darah yang paling manis untuk kita jadikan korban di bulan purnama” Empu Baladatu masih saja bergumam. Namun kemudian, “Tetapi sayang, bahwa kita sekarang sedang tidak memerlukan mereka.”
Kedua pengawalnya masih tetap berdiam diri. Tetapi di dalam hati merekapun berdesis, “Kita dengan mudah dapat menangkap mereka. Kenapa kelima orang yang datang kekota ini bersama Paguh ia mengalami nasib yang paling pahit?”
Sesuai dengan keadaan dirinya yang sakit-sakitan, Empu Baladatu tidak pernah meninggalkan banjar. Tetapi kedua pengawalnyalah yang melihat-lihat isi dari kota kecil itu. Bahkan ia pun berusaha untuk mendengar sebutan Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Tetapi seperti ceritera yang tersebar di antara penghuni kota itu, Mahisa Bungalan dan Linggadadi telah lenyap dari kota tanpa diketahui oleh siapapun seperti pada saat mereka datang.
“Gila,” Empu Baladatu menggeram ketika ia mendengar laporan dari kedua pengawalnya, “sungguh gila. Agaknya kita menemukan kesulitan untuk mencari kedua orang itu.”
“Tetapi mencari rumah Mahendra tidak begitu sulit” berkata pengawalnya.
“Mahisa Bungalan tentu tidak ada di rumahnya. Sedangkan bila ia ada dirumah, apakah itu berarti bahwa kita akan membunuh diri karena di rumah itu kita akan bertemu dengan Mahendra? Mungkin aku dapat mengimbangi kemampuan Mahendra. Tetapi bagaimana dengan kau berdua? Kalian berdua harus bertempur melawan Mahisa Bungalan yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam itu. Apalagi jika Linggadadi ada di rumah itu pula.”
Kedua pengawalnya hanya Mengangguk-angguk saja. Memang terbayang kengerian yang dapat terjadi atas mereka. Agaknya yang disebut bernama Mahisa Bungalan dan Linggadadi itu demikian membenci orang-orang berilmu hitam, bahkan nampaknya disertai dengan dendam yang menyala di dalam hati, ternyata dengan bekas pembunuhan yang pernah terjadi atas salah seorang dari mereka yang berilmu hitam itu- Kematian yang di alami adalah demikian mengerikan, seperti orang-orang berilmu hitam itu sendirilah yang melakukannya.
Sementara itu, selagi di banjar kota kecil itu tinggal seorang tua yang sakit-sakitan dikawani oleh dua orang kemanakannya, Mahisa Bungalan memang masih berada dikota kecil itu pula. Tetapi ia sama sekali tidak menaruh perhatian pula atas orang-orang yang berada dibanjar itu, karena orang- orang itu pun sama sekali tidak berbuat apa-apa, selain benar-benar beristirahat, karena salah seorang dari mereka menderita sakit di perjalanan.
Namun sebaliknya, orang-orang berilmu hitam itupun tidak menaruh perhatian terhadap orang-orang yang berada di rumah Ki Anjas, karena menurut mereka, orang-orang itu pun tidak berbuat apa-apa. Mereka sama sekali tidak melakukan kegiatan apapun juga yang memberikan kesan perlawanan terhadap orang-orang berilmu hitam. Apalagi nama-nama mereka adalah nama-nama yang sama sekali tidak dikenal pula. Seorang anak muda di antara mereka yang berada di rumah Ki Anjas itu bernama Singkir. Nama yang memang tidak menarik perhatian-
Sekali ketika berlangsung upacara dibanjar, setelah musim panen yang berlangsung pada saat orang berimu hitam itu masih berada dibanjar, dan Mahisa Bungalan serta kedua pamannya masih pula berada dirumah Ki Anjas, diantara mereka yang melihat upacara itu, terdapat kedua belah pihak. Tetapi baik Mahisa Bungalan maupun Empu Baladatu sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan yang demikian, sehingga justru tidak terjadi sentuhan apapun juga diantara mereka.
Namun demikian, diam-diam beberapa orang di kota kecil itu mulai membuat ceritera tersendiri. Seorang yang bertubuh bulat berbisik kepada kawan-kawannya., “He. apakah kau tidak memperhatikan keadaan terakhir di kota kita yang semakin panas ini ?”
“Kita melihat seolah-olah angka tiga memegang peranan.”
“Angka tiga ?”
“Ya. Jika sekali-kali kau singgah di warung di bulak panjang diluar kota itu, kau akan mendengar ceritera tentang tiga orang berkuda.”
“Apa anehnya dengan tiga orang berkuda ?” bertanya yang lain.
Kawannya tidak segera menjawab. Diedarkannya tatapan matanya, seolah-olah ingin meyakinkan, bahwa kata-katanya tidak akan didengar oleh orang-orang yang tidak dikenalnya.
“Jika hanya ada tiga orang berkuda, maka hal itu tidak akan menarik perhatian.”
“Lalu ?” kawannya bertanya.
“Ada tiga kali tiga orang berkuda.”
“He, kata-mu membuat aku bingung.”
“Dengar baik-baik. Tiga kali tiga orang berkuda.” ia berhenti sejenak, lalu, “dengarlah. Ada tiga orang berkuda. Kemudian tiga orang yang lain. Setelah ketiga orang yang kedua itu pergi, datang tiga orang lagi.”
Kawannya Mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti sekarang. Agaknya kau masih akan mengatakan, bahwa ada tiga orang berkuda pula di banjar. Dan tiga orang yang lain bermalam di rumah Ki Anjas, yang dikatakannya kemanakannya dan bernama Singkir itu.”
“Nah, kau mulai merasakan, betapa gawatnya jumlah tiga itu. Kau ingat, orang-orang yang membunuh orang-orang berilmu hitam itu jumlahnya juga tiga. Sedang dua orang anak-anak muda itu ternyata bertiga pula setelah seorang lagi datang kepada mereka.”
“Tetapi kau tidak tahu, bahwa tiga kali tiga orang yang lewat di muka warung itu adalah di antara tiga orang yang sudah kau sebutkan. Mungkin tiga orang yang membunuh orang-orang berilmu hitam itulah yang lewat di muka warung, sehingga kau menghitungnya dua kali. Demikian juga tiga-tiga orang yang lain.”
“Meskipun seandainya demikian, tentu ada beberapa kelompok pula.”
Yang lain Mengangguk-angguk.
“Sekarang” berkata orang yang pertama, “masih ada dua kelompok yang berada di kota kecil ini.”
“Ya. Yang dibanjar dan yang tinggal di rumah Ki Anjas.”
“Tetapi agaknya mereka saling tidak mengenal dan tidak menaruh perhatian. Ternyata pada saat upacara di banjar, kedua kelompok itu ada disana. Mereka menonton upacara tanpa berbuat apa-apa, “
“Mudah-mudahan.”
Dan seperti yang mereka duga, kedua belah pihak memang tidak berbuat apa-apa. Empu Baladatu yang merasa sudah cukup lama berada di banjar itupun kemudian minta diri. Di kota kecil itu ia tidak mendapatkan keterangan apapun juga selain yang pernah didengarnya tentang Mahisa Bungalan dan Linggadadi.
Meskipun ia mendengar juga tentang tiga orang yang berada di rumah Ki Anjas, tetapi Empu Baladatu tidak menghiraukannya, karena ketiga orang itu bukannya tiga orang yang telah membunuh murid-muridnya. Dari beberapa orang ia mendengar ceritera, bahwa ketiga orang yang telah membunuh lima orang berilmu hitam itu sudah pergi, dan tidak kembali lagi-Demikian juga dua orang anak-anak muda yang ikut terlibat didalamnya.
“Tiga orang yang berada di rumah .Ki Anjas itu adalah kemanakannya yang tidak tahu menahu tentang orang-orang berilmu hitam.”
“Terkutuklah orang-orang berilmu hitam itu, “ sahut Empu Baladatu, “dan terpujilah Mahisa Bungalan dan Linggadadi, yang bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam. Jika sekiranya aku dapat bertemu dengan mereka, maka akupun akan menyatakan kcgembiraanku, bahwa mereka telah membantu membersihkan kericuhan karena polah orang-orang berilmu hitam itu.”
“Sayang, mereka telah pergi.”
Empu Baladatu pun kemudian meninggalkan kota kecil itu. Seperti orang yang mengerti unggah-ungguh, ia mengucapkan terima kasih kepada para pemimpin yang telah memberikan ijin kepadanya untuk singgah beberapa hari di banjar karena kesehatannya yang terganggu.
“Apakah kau sudah sehat Kiai ?” bertanya pemimpin pengawal kota.
“Sudah tuan. Dan aku ingin segera melanjutkan perjalanan, agar kami tidak selalu membuat gaduh di banjar.”
“Banjar itu terbuka bagi yang memerlukan.” jawab pemimpin pengawal itu.
Namun Empu Baladaiupun kemudian meninggalkan banjar dan meneruskan perjalanan. Ia masih nampak letih ketika kudanya mulai berlari meninggalkan gerbang kota.
Tetapi demikian ia sampai di bulak, maka ia pun mengumpat tanpa hentinya.
“Jika saja aku bertemu langsung dengan Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Aku ingin mencincangnya sampai lumat. Bukan saja menyobek kulitnya silang menyilang. Tetapi aku ingin menumbuknya sampai lumat.”
Kedua pengawalnya sama sekali tidak menjawab. Mereka mengerti, bahwa jantung Empu Baladatu benar-benar telah dibakar oleh kemarahan. Apalagi setelah dengan langsung ia mendengar ceritera tentang kematian murid-muridnya di pasar itu. Tentang dua anak muda yang ikut campur, bahkan membantu salah seorang dari tiga orang yang telah membunuh murid-muridnya.
“Jika aku menemukan mereka, anak-anak muda itu, maka mereka adalah korban yang paling baik bagi perguruan kita.” geram Empu Baladatu.
Namun ia tidak dapat ingkar, bahwa ternyata di luar perguruannya, masih banyak orang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang mampu membendung keganasan ilmu hitam yang rereka banggakan itu.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra yang berada di rumah Ki Anjas itu pun tidak menemukan keterangan yang lebih lengkap tentang orang-orang berilmu hitam. Meskipun sebenarnya kota kecil itu sudah cukup dekat dengan sarang mereka, tetapi tidak seorang pun yang dapat memberikan petunjuk tentang sarang itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun sependapat dengan kedua pamannya, bahwa mereka tidak perlu lebih lama lagi berada di kota kecil itu.
“Tiga orang yang berada di banjar itu semula telah menarik perhatianku” berkata Witantra, “tetapi agaknya mereka tidak berbuat apa-apa yang dapat menunjukkan, meskipun hanya sepeletik kecil, tanda-tanda siapakah mereka itu. Mereka hanya berada di banjar dan sekali-kali dua orang di antara mereka berada di pasar untuk membeli makan mereka sehari-hari, selain yang mereka terima atas uluran tangan para pejabat kota kecil ini.”
“Apakah yang seorang itu benar-benar sakit paman ?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Tentu kita tidak dapat mengetahui dengan pasti. Jika kita mendapat kesempatan untuk mendekat dan berbicara beberapa patah kata, maka kita akan dapat meraba-raba, apakah benar ia sakit-sakitan”
“Tetapi mereka telah pergi tanpa berbuat apa-apa. Seandainya mereka orang-orang berilmu hitam, mereka ternyata hanya sekedar lewat dan mencari keterangan tentang kematian kawan kawannya.”
“Agaknya lebih baik jika mereka mendengar kematian itu lebih jelas. Dengan demikian, mereka harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru jika mereka akan melakukan kejahatan di manapun juga, karena di luar mereka ternyata masih terdapat orang-orang yang akan mampu menghancurkan mereka.”
“Nah, jika demikian, apakah kita akan melanjutkan perjalanan?”
“Kita akan berjalan terus” jawab Witantra, “kita akan mengelilingi daerah Utara. Barangkali kita akan menemukan tanda-tanda yang dapat menunjukkan letak sarang mereka.”
“Kota ini tentu letaknya tidak terlampau jauh. Di sini diketemukan lima orang berilmu hitam.”
“Ya. Di Kota Raja terbunuh dua orang berilmu hitam. Didaerah bayangan hantu ada tiga orang. Dan kini, dikota kecil ini lima orang. Jalur itu menunjukkan jumlah yang semakin banyak, sehingga kesimpulannya memang daerah ini menjadi semakin dekat.”
“Tetapi tidak dapat dijadikan pegangan. Biarlah kita meneruskan pengembaraan ini. Perjalanan mengelilingi padukuhan yang jauh masih terasa menyenangkan.”
“Apakah paman Mahisa Agni dapat mempertimbangkan arah yang barangkali lebih tepat daripada sekedar perjalanan melingkar?”
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, “Aku tidak mempunyai dugaan sama sekali, dimanakah sarang orang-orang berilmu hitam itu. Karena itu, maka perjalanan kita adalah sekedar perjalanan tamasya melihat-lihat sawah yang hijau dan pegunungan yang biru kemerah-merahan di waktu pagi.”
Witantra tersenyum. Katanya, “Baiklah. Perjalanan yang demikian Kadang-Kadang memang perlu bagi orang-orang tua untuk melengkapi bekal sebelum sampai di batas hidupnya.”
Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan pun tertawa. Demikianlah mereka memutuskan untuk meninggalkan kota kecil yang mulai menjadi tenang. Pasar yang sepi telah menjadi semakin ramai, dan orang-orang mulai melupakan apa yang pernah terjadi.
“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesarnya Ki Anjas, “ berkata Mahisa Bungalan, “kami telah cukup lama berada di sini. Kami telah cukup lama membuat Ki Anjas bertambah sibuk.”
Ki Anjas tersenyum. Katanya, “Tidak banyak bantuan yang dapat aku berikan Singkir, eh, aku akan tetap menyebut namamu demikian, agar aku tidak salah lidah jika aku berceritera kepada orang lain.”
Mahisa Bungalan tersenyum pula. Jawabnya, “Agaknya memang lebih baik demikian Ki Anjas. Sebab kesalahan yang mungkin terjadi, akan dapat berakibat panjang sekali.”
“Tetapi permintaanku Singkir, di saat-saat yang lain, kau sebaiknya menengok kami di sini. Jika ternyata kehadiranmu di rumah ini tercium oleh orang-orang berilmu hitam, barangkali di lain waktu, kau hanya akan tinggal menemukan rumah ini tanpa aku.”
“Ah, tentu tidak Ki Anjas. Tidak ada orang yang mengenal aku sebagai Mahisa Bungalan dan apalagi anak Mahendra di sini.”
Ki Anjas mengangguk-angguk Katanya, “Mudah-mudahan.” Demikianlah maka Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra mohon diri kepada Ki Anjas. Dimuka regol halaman Mahisa Bungalan berbisik, “Aku berjanji untuk tidak mengatakan kepada siapapun bahwa aku, Mahisa Bungalan pernah tinggal di rumah ini. Demikian juga hendaknya Ki Anjas.”
“Ya, ya Aku masih ingin panjang umur.”
“Dan tentu sebaiknya jangan mengatakan sesuatu tentang kedua kawanku ini.”
“He ?”
Mahisa Agni akan mencegah, tetapi sudah terlambat. Mahisa Bungalan sudah terlanjur berbisik, “Sebenarnyalah mereka adalah paman Mahisa Agni dan paman Witantra. Bukankah Ki Anjas telah mendengar namanya ?”
“He”
Ki Anjas seolah-olah telah membeku di tempatnya. Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti, seolah-olah ia tidak percaya bahwa ia telah berdiri berhadapan dengan kedua orang yang sebelumnya hanya dikenal namanya saja. Tetapi baginya keduanya adalah raksasa-raksasa yang perkasa di atas jenjang kekuasaan Singasari.
Sambil tersenyum Mahisa Bungalan berkata, “Jangan terkejut Ki Anjas. Keduanya tidak akan menakut-nakuti siapapun juga.”
“Aku sama sekali tidak menjadi ketakutan” suara Ki Anjas masih dipengaruhi oleh getar perasaannya , “tetapi aku tidak menyangka bahwa aku akan dapat bertemu dengan kedua Senapati Agung ini.”
“Ah, sudahlah Ki Anjas” berkata Mahisa Agni, “sebenarnya Mahisa Bungalan tidak perlu menyebut nama kami.”
“O, itu membuat aku berbahagia sekali” desis Ki Anjas.
“Tetapi sekali lagi Ki Anjas, “ berkata Mahisa Bungalan, “sebaiknya Ki Anjas menyimpan rahasia iai rapat-rapat. Dan Ki Anjas jangan sampai salah ucap, sehingga justru akan menyulitkan keadaan Ki Anjas sendiri”
“Baiklah. Aku mengerti. Tetapi karena itu justru aku ingin kau dan kedua Senapati Agung ini untuk datang lagi ke pondokku. Barangkali aku dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari yang pernah aku lakukan, sebelum aku mengetahuinya.”
“Sudah cukup Ki Anjas, “ sahut Witantra, “kami me ngucapkan terima kasih. Tetapi baiklah lain kali kami akan berusaha untuk singgah lagi di rumah Ki Anjas.”
“Aku menunggu, “ jawab Ki Anjas. Ketiganya pun kemudian sekali lagi minta diri sambil menuntun kuda mereka beberapa langkah, sebelum mereka kemudian meloncat naik dan berpacu meninggalkan kota kecil yang pernah digoncangkan oleh peristiwa yang mengerikan. Namun yang justru menimbulkan teka-teki di hati ketiga orang itu.
Di kota kecil itu masih tetap tersebar pendapat bahwa yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu adalah Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang kedua-duanya bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.
Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra tidak mempunyai tujuan yang pasti. Mereka bermaksud untuk melingkar ke Utara dan kemudian kembali ke Kota Raja. Pengembaraan yang mereka lakukan telah cukup lama dan jauh. Tetapi mereka tidak berhasil menemukan sarang orang-orang berilmu hitam itu. selain bekas-bekasnya saja di sepanjang jalan.
“Semakin jauh perjalanan ini, aku menjadi semakin senang” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan dapat melihat tempat-tempat yang sebelumnya belum pernah aku kunjungi.”
Mahisa Agni hanya mengangguk-angguk saja. Sekilas terkenang masa-masa mudanya, masa pengembaraan yang pernah dialaminya. Masa gejolak di dadanya hampir tidak dapat dibendung lagi karena persoalan-persoalan yang sangat menyangkut sentuhan yang paling dalam di sudut hatinya.
“Paman” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berdesis , “apakah dalam perjalanan kembali paman tidak ingin singgah di Panawijen ?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau ingin melihat Panawijen sekarang ?”
“Ya paman. Dan aku pun ingin melihat taman yang pernah dibuat oleh orang-orang Tumapel termasuk Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa itu. Taman yang telah dibuat atas perintah Akuwu Tunggul Ametung untuk permaisurinya Ken Dedes, tetapi yang kemudian justru menjadi permaisuri Sri Rajasa itu sendiri.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sekilas tebrayang sesuatu yang menegangkan urat syarafnya di wajahnya. Namun bayangan itupun segera disaput oleh senyumnya yang nampak bermain di bibirnya.
Namun betapa pahit senyum itu.
Mahisa Bungalan sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang pernah terjadi dan bermain di hati Mahisa Agni pada masa mudanya. Pada masa kecilnya di saat-saat ia hidup di padepokan Empu Purwa bersama dengan Ken Dedes itu sendiri.
Tetapi bukan saja Mahisa Agni yang kemudian dibayangi oleh kenangan yang pahit dimasa lampaunya. Witantra pun agaknva tersentuh pula oleh kenangan yang serupa, selagi ia menjadi seorang Panglima yang disegani, tetapi yang dikalahkan dan dihinakan diarena oleh Mahisa Agni.
“Tetapi ia saat itu tidak mengetahui bahwa ia sekedar merupakan alat” desis Witantra di dalam hatinya, “namun yang kemudian telah disesalinya.”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya ketika di luar sadarnya ia memandang wajah kedua pamannya itu. Ia memang melihat sesuatu. Dan meskipun hanya sekilas dan tidak tapis, ia pernah mendengar dari ayahnya ceritera tentang kejayaan Tumapel meskipun Tumapel hanyalah sebuah lingkungan yang jauh lebih kecil dari Singasari dan diperintah oleh seorang Akuwu.
“Mahisa Bungalan” berkata Mahisa Agni kemudian, “apakah kau memang ingin melihat bekas-bekas kebesaran Akuwu Tunggul Ametung yang sekarang barangkali sudah tinggal kerangkanya saja ?”
“Ya paman” jawab Mahisa Bungalan, “mungkin aku akan menemukan pengalaman baru setelah aku melihat-lihat bekas kebesaran itu. Tetapi yang penting, aku ingin melihat Panawijen yang menurut pendengaranku telah dipindah dari tempatnya semula.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sejenak ia tidak menjawab Rasa-rasanya ada, sesuatu yang bergejolak didalam dadanya. Bahkan kemudian terbayang, betapa Empu Purwa, gurunya dalam olah kanuragan dan olah kajiwan, didera oleh kekecewaan hati karena anak gadisnya yang bernama Ken Dedes telah hilang dirampas oleh para prajurit dari Tumapel, yang dipimpin langsung oleh Akuwu Tunggul Ametung.
“Permulaan dari perjalanan hidup yang buram” desisnya didalam hati. Karena sepanjang pengamatannya atas jalan hidup Ken Dedes yang pahit sampai saat terakhirnya.
Bahkan kemudian terbayang juga seorang emban tua yang menjadi pemomong Ken Dedes sejak masa kanak-kanaknya. Emban yang demikian baik dan setia. Yang ternyata adalah ibunya. Ibu Mahisa Agni itu sendiri.
Mahisa Bungalan melihat wajah Mahisa Agni seolah-olah di bayangi oleh selapis kabut yang buram. Namun iapun menyadari bahwa kenangan masa lampau Kadang-Kadang dapat menumbuhkan kesan yang aneh. Mungkin kesan duka, tetapi mungkin pula kesan suka.
“Kita akan singgah sebentar Mahisa Bungalan” desis Mahisa Agni.
“Terima kasih paman” jawab Mahisa Bungalan.
“Tetapi kita masih akan bermalam dua malam lagi di perjalanan sebelum kita sampai ke Panawijen.”
“Masih begitu jauh ?”
“Kita tidak tergesa-tergesa bukan ?”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sekilas ditatapnya wajah Witantra. Di wajah itu, iapun melihat pula bayangan yang suram seperti di wajah Mahisa Agni.
Beberapa saat kemudian Mahisa Bungalan tidak berkata apapun juga. Ia mencoba mengerti, kenangan apakah yang telah bermain di dalam hati kedua pamannya itu.
Mahisa, Agni dan Witantra pun Rasa-rasanya lebih senang bermain dengan kenangannya daripada banyak berbicara. Sehingga karena itulah maka mereka tidak banyak lagi berbincang di sepanjang jalan. Hanya Kadang-Kadang saja mereka bercakap-cakap tentang jalur jalan yang mereka hadapi. Padukuhan yang sepi dan bulak panjang yang berpagar hutan perdu diujung yang jauh.
Namun merekapun bukan saja melintasi bulak-bulak panjang, padukuhan yang sepi dan kota-kota kecil yang sedang berkembang, tetapi mereka juga melintasi hutan yang rindang dan pinggir hutan yang lebat dan pepat.
“Apakah kita tidak salah jalan ?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Kita akan menemukan arah setelah kita lewati hutan ini” jawab Mahisa Agni.
“Paman belum pernah melalui jalan ini ?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya-
“Dan paman Witantra ?”
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Juga belum. Baru kali ini aku melihat jalan ini.”
“Apakah kita akan dapat menemukan arah yang benar?”
Witantra tersenyum. Katanya, “Kau juga seorang perantau. Apakah kira-kira kita akan sampat ke Panawijen?”
Mahisa Bungalan tertawa pendek. Sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Ya paman.”
Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, maka mereka pun masih harus bermalam dua malam di perjalanan. Yang semalam mereka bermalam di pinggir sebuah hutan yang lebat. Sedang pada malam yang kedua mereka memasuki sebuah padukuhan kecil.
“Nah, apa katamu Mahisa Bungalan” berkata Witantra.
“Tentang perjalanan kita paman ?”
“Ya.”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Aku mengerti paman. Kita akan segera dapat menemukan arah. Kita sudah melihat puncak Gunung Kawi.”
“Kemudian ?”
“Panawijen terletak di lereng sebelah Timur Gunung Kawi.”
Witantra dan Mahisa Agni tersenyum.
“Bukankah kita akan sampai juga meskipun kita belum pernah melalui jalan ini ?” bertanya Witantra.
“Ya paman. Kita bermalam di padukuhan kecil itu. Besok kita akan meneruskan perjalanan. Tidak sampai petang, kita tentu sudah sampai ke Panawijen.”
Menjelang matahari turun di senja hari, mereka memasuki sebuah padukuhan kecil yang sepi. Meskipun nampaknya padukuhan itu mempunyai banyak kesibukan sehari-hari, ternyata dengan lingkungan sawah yang luas disekeliling padukuhan itu, kandang yang nampak dibeberapa halaman. Namun hampir setiap pintu rumah nampak tertutup meskipun hari masih terang.
“Apakah memang kebiasaan mereka demikian?” bertanya Mahisa Bungalan seolah-olah tertuju kepada, diri sendiri.
Tetapi ternyata Mahisa Agni dan Witantra pun menjadi heran pula melihat jalan yang lengang itu.
“Ada sesuatu yang kurang wajar” desis Mahisa Agni.
“Apakah kita akan bertanya kepada seseorang ?”
“Kita tidak bertemu dengan seorangpun.”
“Kita akan mengetuk pintunya.:
Mahisa Agni dan Witantra ragu-ragu sejenak. Bahkan kemudian Mahisa Agni berkata, “Mungkin justru kitalah yang telah menakut-nakuti mereka.”
“Jika demikian, tentu ada sesuatu yang pernah terjadi di padukuhan ini” sahut Witantra.
Mahisa Agni Mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita akan turun dan berjalan sepanjang jalan ini.”
Ketiganya kemudian turun dari kuda mereka- Perlahan-lahan mereka berjalan sambil menuntun kuda masing-masing. Dengan saksama mereka memperhatikan halaman yang lengang dan rumah yang tertutup.
“Memang aneh sekali,” desis Witantra, “apakah penghuni padukuhan ini tidak mau berhubungan dengan orang yang mereka anggap asing?”
Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menjawab, “Agaknya bukan karena mereka tidak mau berhubungan dengan orang-orang yang belum mereka kenal. Jalan ini adalah jalan yang termasuk penting di daerah ini, ternyata dari keadaannya. Bahkan jalan ini tentu pernah atau bahkan sering dilalui oleh pedati.”
“Jika demikian, tentu ada sebab yang membuat mereka ketakutan” sahut Mahisa Bungalan.
Namun dalam pada itu, selagi mereka berjalan dengan penuh pertanyaan didalam hati. tiba-tiba saja mereka melihat seorang anak kecil yang berlari-lari sambil menangis. Agaknya ia sama sekali tidak menghiraukan keadaan. Ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua mereka. Tetapi oleh kemarahan yang tidak tertahankan, ia menangis menjerit-jerit dan lari kejalan.
“Berhenti, berhenti disitu” teriak ibunya yang mengejarnya.
Tetapi anak kecil itu tidak menghiraukannya Bahkan ia berlari lebih cepat. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, ketika di luar sadarnya ia berpapasan dengan Mahisa Bungalan. Sejenak anak itu termangu-mangu. Namun dengan demikian tangisnya pun bagaikan tertelan kembali di kerongkongan. Sejenak kemudian ibunya yang mengejarnya pun terhenti beberapa langkah di belakang anaknya yang termangu-mangu. Mahisa Bungalan mendekati anak itu sambil tersenyum. Bahkan kemudian ia berjongkok dihadapannya sambil berkata, “Kenapa kau menangis anak manis ?”
Anak itu surut selangkah.
“O, aku mempunyai sebuah permainan yang baik.” berkata Mahisa Bungalan, “dengarlah. Jangan menangis.”
Anak itu mundur lagi selangkah, sementara ibunya menjadi bingung.
“Aku tidak apa-apa, “ desis Mahisa Bungalan, “he, kau pernah naik kuda?”
Anak itu mulai tertarik kepada kuda Mahisa Bungalan.
“Kau adalah anak yang berani. Marilah, naiklah.” Anak itu masih ragu-ragu, tetapi ibunyalah yang berteriak
“Kemarilah ngger. Kemari. Nanti ayahmu mencarimu jika ia pulang dari sawah.”