S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Prajurit kawan Kebo Ijo itu tertawa. Ketika debu yang dihambur-hamburkan oleh kuda-kuda itu telah hilang bersama hilangnya Witantra di belakang tikungan, berkatalah prajurit itu, “Witantra adalah seorang prajurit yang tidak saja tegas dalam setiap tindakan, namun ia adalah kakak seperguruan Mahendra. Kau lihat, bahwa tangan-tangannya yang besar itu pasti akan mampu memutar lehermu sampai patah.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kini sampailah gilirannya untuk menjadi kecewa. Dikaguminya kejantanan kakak seperguruan Mahendra itu dahulu, ketika Kebo Ijo berbuat curang. Namun tiba-tiba kini demikian saja ia mempereayai segala cerita-cerita kosong itu. Meskipun demikian, belum juga timbul maksudnya untuk berbuat sesuatu. Dibiarkannya prajurit yang tinggi besar itu mendorongnya terus. Tetapi ketika ia melihat prajurit yang membawa cemeti masih berjalan di belakangnya, maka Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Masih juga dilihatnya di antara orang-orang yang terlalu bernafsu untuk kemenangan sendiri itu, orang-orang yang dapat berpikir tenang.
Perjalanan mereka semakin lama semakin desak pula dengan rumah Witantra. Kebo Ijo semakin lama menjadi semakin gembira. Ia menyangka, bahwa kakak seperguruannya akan menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan Kakang Witantra marah pula kepada Wiraprana. Apabila demikian, maka Wiraprana itu pasti akan ditantangnya, berkelahi. Seorang lawan seorang, Seperti juga kebiasaan Kakang Witantra menghadapi lawan-lawannya.
Tetapi Kebo Ijo itu heran melihat Mahendra berjalan sambil menunduk. Berbeda dengan Kebo Ijo, maka Mahendra itu menjadi gelisah. Katanya di dalam hati, “Bagaimanakah nanti akibatnya, kalau kakak seperguruannya itu menyuruh untuk menyelesaikan perkelahian di hadapannya? Mudah-mudahan para prajurit itu menuntut Mahisa Agni dalam persoalan yang lain. Penghinaan, misalnya. Atau membuat gaduh di dalam kota. Atau apapun yang harus ditindak oleh para petugas.”
Akhirnya sampai juga mereka di halaman rumah Witantra itu. Beberapa prajurit segera menahan orang-orang lain untuk tidak masuk ke dalam halaman yang luas itu. Hanya beberapa orang yang dapat dianggap sebagai saksi sajalah yang mereka perbolehkan masuk di samping Mahisa Agni dan Mahendra Sendiri.
Witantra sedang duduk di atas sebuah amben kayu di dalam rumahnya. Ketika ia melihat beberapa orang masuk ke pekarangan segera ia berdiri dan menyambut mereka di pintu.
Kepada prajurit yang membawa Wiraprana ia berkata, “Bawa anak muda itu masuk bersama Mahendra dan Kebo Ijo.”
Sesaat kemudian mereka telah duduk di amben kayu itu pula. Dengan tajamnya ia memandangi wajah Mahisa Agni. Namun ketika matanya beradu dengan mata Mahisa Agni yang seakan-akan menyala Witantra itu mengalihkan pandangannya ke arah Mahendra, sambil berkata, “Kenapa kalian berkelahi?”
Kembali yang mendahului menjawab adalah Kebo Ijo, “Sudah aku katakan sebabnya Kakang.”
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada Mahisa Agni, “Aku sangat menyesal bahwa hal ini terjadi. Kenapa kau berbuat demikian?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya.
Peristiwa ini benar-benar tak menyenangkannya. Ia ingin segalanya segera selesai, kemudian cepat-cepat pulang ke Panawijen. Tetapi Mahisa Agni itu pun tidak perlu terlalu tergesa-gesa, karena yang ditakutkannya, Kuda Sempana masih dilihatnya di dalam kota.
Meskipun demikian, maka sudah pasti Mahisa Agni tidak mau menjadi korban dari perbuatan-perbuatan yang memuakkan itu. maka dengan tenangnya ia menjawab, “Witantra, apakah kau dapat mempereayai kata-kata Kebo Ijo?”
“Aku menjadi saksi,” tiba-tiba teriak salah seorang anak muda kawan Kebo Ijo.
“Aku juga,” teriak yang lain.
Dan yang terakhir prajurit kawan Kebo Ijo itu pun berkata, “Aku juga menjadi saksi.”
Witantra mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Dan tiba-tiba ia memandang kepada prajurit Yang bereemeti, “Apakah yang akan kau katakan?”
Prajurit yang bereemeti itu sebenarnya akan mengatakan sesuatu, namun belum mendapat kesempatan. Ketika Witantra itu bertanya kepadanya segera ia membungkuk hormat sambil menjawab, “Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku tidak dapat menjadi saksi, sebab aku datang setelah perkelahian itu berlangsung.”
Kembali Witantra mengerutkan keningnya, kemudian kepada prajurit kawan Kebo Ijo ia bertanya, “Apakah kau melihat sebab perkelahian itu?”
“Ya tentu,” sahut prajurit itu, “aku datang lebih dahulu sebelum aku mengajak beberapa orang kawan untuk menangkap anak Panawijen itu.”
Witantra mengangguk-anggukkan. kepalanya, Meskipun demikian ia masih bertanya kepada Mahisa Agni, “Apakah benar kata mereka?”
Mahisa Agni menggeleng, “Tidak!”
“Bohong!” bentak prajurit kawan Kebo Ijo.
“Aku yang bertanya kepadanya,” potong Witantra. Prajurit itu pun terdiam.
Kini Witantra melihat sikap-sikap yang kurang wajar dari adik seperguruannya. Ia melihat sikap Kebo Ijo yang agak berlebih-lebihan. Ia melihat pemuda-pemuda itu pun bersikap kurang wajar pula karena itu justru ia menjadi curiga. Dengan tajamnya dipandangnya wajah Mahendra. Dan ketika terasa tatapan mata kakak seperguruannya itu, maka Mahendra pun segera menundukkan wajahnya.
Kemudian sekali lagi Witantra itu bertanya kepada Mahisa Agni, “’Wiraprana, apakah yang sebenarnya terjadi?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kali ini ia benar-benar ingin melihat, sampai di mana kejujuran yang dimiliki oleh adik-adik seperguruan Witantra itu. Karena itu, sebelum ia menjawab pertanyaan itu, maka katanya, “Witantra. Cobalah kau bertanya kepada Mahendra. Biarlah ia berkata di bawah saksi Yang Maha Agung.
Tiba-tiba terasa dada Mahendra itu berdesir. Terasa keringat dinginnya mengalir membasahi tubuhnya. Dan sebenarnyalah Witantra itu berpaling kepadanya. Sejenak Witantra itu melihat perubahan wajah adik seperguruannya itu. Karena itu maka ia menjadi semakin curiga. Karena itu, maka Witantra ingin mendapat kepastian dari persoalan- persoalan yang dihadapinya. Kepada Mahendra ia bertanya, “Mahendra, demi Yang Maha Agung katakanlah sebenarnya apa yang telah terjadi. Apakah Wiraprana benar-benar telah menghinamu?”
“Benar Kakang,” jawab kebo Ijo.
Tetapi ia terkejut ketika Witantra membentaknya, “Diam kau Kebo Ijo!”
Mahendra kini benar-benar dihadapkan pada suatu keadaan yang sulit. Terjadilah perjuangan di dalam dadanya. Sekali-kali ia melihat Kebo Ijo dan beberapa anak muda yang lain dengan sudut matanya. Hampir saja ia menganggukkan kepalanya. Tetapi ketika terpandang olehnya pancaran mata kakak seperguruannya, maka mulutnya seakan-akan tergetar hendak mengatakan sesuatu.
“Mahendra, jawablah pertanyaanku!” desak kakak seperguruannya.
Ruang itu menjadi semakin tegang. Kebo Ijo, anak-anak muda yang lain, prajurit kawan Kebo Ijo dan beberapa prajurit yang lain, di antara yang membawa cambuk itu.
Tiba-tiba semua yang memandang wajah Mahendra itu menjadi terkejut bukan main. Kebo Ijo, anak-anak muda yang lain, para prajurit dan bahkan Witantra dan Mahisa Agni sendiri. Mereka melihat, perlahan-lahan Mahendra menggelengkan kepalanya.
“Apa?” bertanya Witantra hampir berteriak, “jadi Wiraprana itu sebenarnya tidak menghinamu dan menghina anak-anak Tumapel?”
Sekali lagi Mahendra menggeleng.
“Lalu apakah yang telah terjadi?”
“Aku ingin membalas dendam,” berkata Mahendra perlahan-lahan sekali
Witantra itu pun menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia terkejut ketika ia mendengar suara Kebo Ijo dalam nada yang tinggi, “Tidak Kakang. Kakang Mahendra terlalu baik hati. Sebenarnya anak Panawijen itu telah menghina kami. Karena…”
Kata-kata Kebo Ijo itu terputus. Betapa ia terkejut dan semua orang pun terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar Kebo Ijo itu mengaduh. Anak muda itu tergeser beberapa jengkal sehingga hampir saja ia terguling. Dengan serta-merta tangannya meraba pipinya yang tampak kemerah-merahan. Ternyata Witantra itu telah menamparnya. Dengan tajam kakak seperguruannya itu membentaknya, “Jagalah mulutmu Kebo Ijo!”
Kebo Ijo itu menjadi gemetar. Alangkah malunya. Karena itu maka ia pun menjadi marah bukan buatan. Tetapi ia tidak berani berbuat apapun kepada kakaknya.
“Jadi kalian semua telah mencoba berbohong?” bentak Witantra dengan marahnya, “Apakah sebabnya kalian berbuat demikian. Kenapa?”
Kebo Ijo mengaduh, dia tergeser beberapa jengkal sehingga hampir saja ia tergulingi. Ternyata Witantra telah menamparnya.
Ruangan itu kembali menjadi sunyi. Hanya nafas Kebo Ijo sajalah yang terdengar terengah-engah. Sedang matanya menjadi merah pula karena marahnya.
Witantra yang kemudian menjadi sangat, marah pula berkata kepada prajurit kawan Kebo Ijo, “Jadi kau pun ikut pula dalam kebohongan ini?”
Prajurit kawan Kebo Ijo itu benar-benar menjadi bingung. Ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu, ia hanya berdiri saja seperti patung.
Karena prajurit itu tidak segera menjawab, maka sekali lagi Witantra membentaknya, “He. Kau juga ikut berbohong?”
“Tidak. Tidak,” jawabnya tergagap, “aku tidak sengaja.”
“Apa yang tidak sengaja,” desak Witantra.
Kembali prajurit itu menjadi bingung. Dengan tanpa berpikir panjang ia menjawab, “Aku tidak bermaksud berbohong: Tetapi aku menyangka bahwa hal itu benar-benar terjadi.”
“Jadi kau tidak melihat sendiri?”
“Tidak,” prajurit itu menggeleng, “aku mendengar dari Kebo Ijo.”
Kebo Ijo menjadi semakin bergetar mendengar pengaduan itu. Tetapi ia tidak dapat, berbuat apa-apa. Tetapi Witantra itu masih membentak bawahannya, “Kau menjadi pereaya tanpa penyelidikan lebih lanjut?”
Prajurit itu menjadi semakin bingung. Akhirnya ia menjawab, “Ya. Aku begitu saja pereaya, sebab Kebo Ijo adalah kawanku sendiri.”
“Itulah sebabnya, maka anak-anak muda itu benar-benar menjadi liar.”
Meskipun Wiraprana sebenarnya tidak mengatakan, namun hati kecil kalian telah berkata sendiri, ‘Kalian benar-benar menjadi liar, karena kawan-kawan kalian, di antaranya prajurit, selalu membesarkan hati kalian. Dengan demikian kalian merasa aman untuk berbuat apa saja sekehendak kalian’.
Ruangan itu menjadi sepi kembali. Dan kembali Mahisa Agni mengagumi kakak seperguruan Mahendra itu. Ia benar-benar seorang prajurit yang berpegang teguh pada sumpahnya sebagai prajurit. Meskipun Mahendra, Kebo Ijo adalah adik seperguruannya, namun ia berkata salah apabila salah dan ia akan berkata benar apabila benar. Dengan demikian maka kebenaran benar-benar akan dapat ditegakkan.
Kini ia melihat adiknya itu berbuat curang. Bahkan telah meninggalkan sifat-sifat ke kesatriaan, karena itu alangkah marahnya. Apalagi seorang anak buahnya telah ikut serta berbuat kesalahan itu.
Dengan wajah yang menyala-nyala ia memandang Kebo Ijo. Anak itu benar-benar anak yang bengal. Sekali-sekali ditatapnya juga wajah Mahendra. Anak muda ini, biasanya tidak suka berbohong dari mengorbankan nama baiknya Tetapi kali ini ia hampir tergelincir dalam perbuatan yang memalukan itu. Untunglah bahwa kesalahan itu segera disadarinya. Namun meskipun demikian. Mahendra telah berbuat kesalahan. Karena itu dengan marahnya Witantra menggeram, “Perkelahian akan dilanjutkan.”
Namun terdengar kemudian Mahendra yang telah menyadari keadaannya menyahut dengan jujur, “Tidak. Aku sudah dikalahkannya.”
Witantra menarik nafas. Tetapi mata Kebo Ijo menyala karenanya.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian.
Dalam keheningan suasana itu, terdengarlah Mahisa Agni berkata, “Witantra, aku akan mengucapkan terima kasih kepadamu dan kepada adikmu, Mahendra. Sebenarnya tak ada niatku untuk membuat hal-hal yang kecil ini menjadi persoalan. Karena itu, marilah persoalan ini kita anggap selesai. Sebab aku masih ada mempunyai beberapa keperluan yang lain.”
Witantra tidak segera menjawab. Kini seperti juga Mahisa Agni mengaguminya, maka Witantra itu pun kembali mengagumi kebesaran jiwa Mahisa Agni yang disangkanya bernama Wiraprana itu. Meskipun beberapa orang telah berusaha menghinanya, namun ia sama sekali tidak mendendam.
Sesaat kemudian, maka barulah Witantra itu berkata, “Tinggalkan kami di sini bersama Wiraprana. Pergilah semuanya!”
Mahendra yang masih menundukkan kepalanya, itu pun segera bergerak dan meninggalkan tempat itu. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dirinya. Sesal, malu, kecewa dan segala macam bereampur baur di dalam dadanya..
Kebo Ijo, anak-anak muda yang lain, para prajurit itu pun segera pergi pula meninggalkan mereka. Dengan tergesa-gesa Kebo Ijo menyusul Mahendra sambil berkata, “Kakang, kenapa Kakang menarik tuduhan itu?”
Mahendra berpaling sesaat. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan langkahnya semakin dipereepat.
Kebo Ijo yang berjalan di sampingnya memandangnya dengan penuh penyesalan. Anak-anak muda yang beriringan di belakangnya pun menyesal pula atas sikap Mahendra itu Namun mereka tidak berkata apa-apa.
Di rumah Witantra, kini tinggallah Mahisa Agni seorang diri bersama Witantra duduk berhadapan di atas amben kayu. Setelah mereka diam sejenak, maka berkatalah Witantra , “Wiraprana, biarlah aku minta maaf kepadamu atas nama anak-anak muda yang bengal itu.”
“Sudah aku katakan Witantra, persoalan ini aku anggap selesai. Dan secepatnya aku akan mohon diri untuk satu keperluan yang lain.”
“Terima kasih. Aku hormati pendirianmu itu. Tetapi apakah keperluan itu sedemikian tergesa-gesa?”
“Tidak, tetapi aku ingin segera pulang ke Panawijen, setelah aku agak lama meninggalkannya?”
“Apakah kau baru datang dari suatu perjalanan?”
“Ya,” sahut Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya sebuah bungkusan terikat erat di lambung Mahisa Agni. Namun ia tidak sempat lagi membawa tongkat setelah ia berkelahi melawan Mahendra. Untunglah bahwa bungkusannya itu tidak terlepas dari ikatannya. Sehingga tanpa disengaja Witantra itu bertanya, “Apakah isi bungkusanmu itu?”
“Ah, hanya dua lembar pakaian,” sahut Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk pula. Namun tiba-tiba ia berkata, “He, apakah kau akan pulang ke Panawijen?”
Mahisa Agni mengangguk. “Ya,” sahutnya.
“Baru saja aku bertemu dengan Kuda Sempana. Ia pun agaknya sedang menuju ke kampung halamannya. Ketika aku bertanya kepadanya, ia hanya menjawab, ‘Aku pergi untuk satu dua hari’.
Kata-kata terdengar seperti guntur yang meledak di telinga Mahisa Agni. Kuda Sempana pulang ke kampung halaman Panawijen, selagi ia tidak di rumah.
Witantra melihat perubahan wajah Mahisa Agni. Karena itu ia menjadi heran.
Sejenak kemudian bertanyalah Mahisa Agni dengan suara yang bergetar, “Kapankah Kuda Sempana itu pulang ke Panawijen?”
“Belum lama,” jawab Witantra.
“Belum lama aku melihatnya.”
“Mungkin. Aku melihat Kuda Sempana memacu kudanya. Dan demikianlah jawabnya ketika aku bertanya kepadanya.”
“Gila!” geram Mahisa Agni di dalam hatinya. Segera ia tahu apa yang dilakukan oleh Kuda Sempana itu. Ketika Kuda Sempana itu melihat Mahisa Agni berada di Tumapel, maka segera ia mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Dalam pada itu keheranan Witantra semakin menjadi, maka kemudian ia pun bertanya, “Kenapa kau menjadi gelisah?”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Semula ia menjadi agak ragu-ragu. Namun kemudian terpaksa ia berkata, “Maksud Kuda Sempana pulang ke kampung halaman sangat mencurigakan.”
“Kenapa?”
Kembali Mahisa Agni terdiam. Namun tiba-tiba Witantra itu pun menjadi gelisah. Dengan serta-merta ia berkata, “He, apakah gadis Panawijen itu bernama Ken Dedes?”
Terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa Agni. Namun ia menganggukkan kepalanya.
“Ya. Itulah nama gadis itu. Bunga di kaki Gunung Kawi, yang telah membuat Mahendra hampir-hampir gila. Yang telah membuat Mahendra mendendam kepadamu. Namun sebenarnya aku pernah mendengar Kuda Sempang mempereakapkan gadis itu pula.”
“Mungkin kau benar,” sahut Mahisa Agni.
“Kalau demikian, apakah kau sangka bahwa Kuda Sempana akan mempergunakan kesempatan selama kau berada di Tumapel?”
“Mungkin,” sahut Mahisa Agni dengan suara parau, “kalau demikian biarlah aku segera kembali.”
“Aku tidak dapat mencegahmu, Wiraprana. Mudah-mudahan kau tidak terlambat.”
Mahisa Agni menggeram sekali lagi, kemudian dengan tergesa-gesa ia minta diri. Dengan penuh pengertian Witantra itu melepaskan Mahisa Agni sampai ke regol halamannya.
Mahisa Agni itu pun kemudian berjalan hampir berlari-lari. Dari kejauhan Witantra memandangnya dengan iba.
“Anak yang baik,” gumamnya., “Kasihan. Tanpa dikehendakinya, ia mempunyai banyak lawan. Agaknya Kuda Sempana yang tadi melihat anak itu, segera mempergunakan kesempatan.”
Dan Mahisa Agni itu pun semakin lama menjadi semakin jauh. Akhirnya anak muda itu seakan-akan hilang ditelan oleh kelokan jalan.
Mahisa Agni sendiri menjadi sangat gelisah karenanya. Ia menjadi pasti, bahwa bencana akan menimpa Ken Dedes dan Wiraprana. Kuda Sempana pasti akan mempergunakan segenap kemampuan yang ada padanya untuk menebus kekalahannya. Bahkan kalau mungkin membunuh sekali.
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu benar-benar seperti orang yang kehilangan kesadaran. Ia sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekelilingnya. Ia sama sekali tidak memedulikan bahwa beberapa orang yang dijumpainya memandanginya dengan penuh pertanyaan. Kenapa anak muda itu berlari-lari?
Tetapi jarak Panawijen dan Tumapel bukan jarak yang pendek. Jarak itu akan ditempuh lebih dari sehari penuh. Meskipun Mahisa Agni kemudian berlari, namun ia tak akan dapat mencapai jarak itu secepat-cepatnya. Selisih waktu yang dialaminya dari Kuda Sempana, agaknya akan dapat memberi kesempatan bagi Kuda Sempana melakukan niatnya. Apalagi setelah didengarnya bahwa Kuda Sempana kini telah memiliki puncak ilmu dari perguruannya seperti juga Bahu Reksa Kali Elo. Karena itu, maka kembali Kuda Sempana itu akan berkata, ‘Rawe-rawe rantas, malang-malang putung’.
Mahisa Agni menjadi semakin gelisah. Apalagi kalau diingatnya bahwa Kuda Sempana pasti tidak hanya berlari-lari seperti dirinya, tetapi anak muda yang gagah itu pasti berkuda.
Mahisa Agni itu pun menggeram berkali-kali. Namun ia benar-benar masih harus berlari. Langkahnya semakin lama semakin panjang. Namun terik matahari yang membakar tubuhnya menjadi semakin panas. Bekas-bekasnya yang putih menghambur di sepanjang jalan yang dilalui oleh Mahisa Agni. Menyusup disela-sela dedaunan dan jatuh di atas batu-batu padas yang bertebaran di sepanjang jalan.
Mahisa Agni itu terasa akan terbang. Langkahnya terasa sedemikian lambatnya. Kalau sekali-kali ia memandang ke depan maka segera jantungnya berdebar-debar. Di hadapannya masih terbentang sawah yang sangat luas. Tetapi apabila sawah ini sudah dilampaui, ia sama sekali belum mendekati Panawijen. Sebuah hutan terbentang jauh di muka. Seleret pepohonan yang semakin lama seolah-olah menjadi semakin besar. Hutan itu pun bukanlah layar yang terakhir yang menakbiri Panawijen. Di seberang hutan itu, terentang sebuah sungai. Kembali ia akan melampaui daerah persawahan. Sawah hutan, sawah, hutan berkali-kali. Kemudian ia dapat lewat di tengah-tengah padang rumput Karautan, atau lewat jalan lain. Namun selisih jarak daripadanya tidak begitu banyak. Baru setelah itu ia akan sampai ke Panawijen. Namun secepat-cepatnya, apabila ia tidak perlu berhenti sama sekali, besok pagi ia baru akan sampai. Tetapi apakah tenaganya akan mampu untuk berlari terus dalam jarak yang sekian jauh.
Tetapi Mahisa Agni tidak boleh berhenti. Ia berlari terus.
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun terkejut mendengar derap kuda di belakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya debu mengepul. Putih dan semakin lama semakin tinggi terbang ke udara.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. “Siapa?” desisnya. Tetapi ia terkejut ketika ia melihat penunggangnya adalah Mahendra.
Karena itu maka Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya. Ia masih belum dapat melupakan, apa yang baru saja dilakukan oleh Mahendra itu. Mahisa Agni berdebar-debar karena kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Mahendra, tetapi juga berdebar-debar karena dengan demikian, kedatangannya di Panawijen akan menjadi semakin lambat.
Kuda yang berlari kencang itu semakin kencang juga. Semakin lama semakin dekat. Dan sejalan dengan hati Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar juga.
“Kalau anak muda itu berhasrat menghambat perjalananku,” desah Mahisa Agni dalam hatinya, “maka aku tidak akan dapat memaafkannya lagi.”
Tetapi kuda itu sudah sedemikian dekatnya, sehingga Mahisa Agni pun berhenti pula karenanya. Dengan penuh kewaspadaan anak muda dari Panawijen itu berdiri tegak seperti tonggak yang kokoh kuat terhunjam jauh ke dalam tanah.
Ketika Mahendra melihat Mahisa Agni itu berhenti, maka segera ia menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu berhenti beberapa langkah di hadapan Mahisa Agni. Demikian kuda itu berhenti, demikian Mahendra itu segera meloncat turun.
Mahisa Agni itu pun segera menggeser diri selangkah surut, siap menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Tetapi ia terkejut ketika ia melihat Mahendra itu menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku datang untuk minta maaf kepadamu, Wiraprana.”
Mahisa Agni menarik nafas panjang. Panjang sekali. Ia menjadi kecewa terhadap peresaannya sendiri. Ternyata ia terlalu berprasangka. Karena itu, maka segera ia menjawab, “Ah Mahendra. Hampir aku salah sangka. Ternyata aku pun harus minta maaf kepadamu. Dan karena itulah maka biarlah persoalan di antara kita, kita anggap selesai.”
“Terima kasih,” sahut Mahendra. Yang kemudian diteruskannya, “Tetapi kedatanganku menyusulmu ada juga kepentingan yang lain dari kepentinganku sendiri.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Apakah kepentingan yang lain itu?”
“Kakang Witantra baru saja datang kepadaku. Disuruhnya aku menyusulmu untuk mengantarkan kuda ini kepadamu.”
“Kuda?” sahut Mahisa Agni dengan serta-merta.
“Ya,” Mahendra mengangguk, “kata Kakang Witantra kau memerlukannya untuk menyusul Kuda Sempana.”
“Kuda? Kuda?” hampir tak pereaya Mahisa Agni bergumam.
Tetapi Mahendra itu menegaskan, “Ya Wiraprana, inilah kuda Kakang Witantra. Bawalah!”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Mahisa Agni. Begitu besar terima kasihnya sehingga untuk sesaat ia tidak dapat mengucapkannya. Ketika Mahendra memberikan kendali kuda itu kepadanya, barulah Mahisa Agni berkata, “Terima kasih. Terima kasih Mahendra. Dan terima kasihku kepada Witantra. Aku tak akan melupakan kebaikan budi kalian.”
“Aku hanya seorang pesuruh Wiraprana. Akan aku sampaikan terima kasihmu itu kepada Kakang Witantra.”
“Tidak saja Witantra. Tetapi kau pun berjasa pula kepadaku.”
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Selamat jalan Wiraprana. Bukankah kau tergesa-gesa. Sebenarnya aku pun tak akan dapat melihat Kuda Sempana mencapai maksudnya. Bukankah anak muda itu pun akan merampas hak yang sudah kau miliki?”
Dada Mahisa Agni berdesir. Alangkah manisnya kata-kata itu, namun alangkah pahitnya pula. Mahendra tidak dapat melihat Kuda Sempana merampas Ken Dedes yang pasti didengarnya dari Witantra, namun Ken Dedes itu sama sekali bukan hak yang telah dimilikinya. Tetapi apa yang dilakukan itu adalah atas nama Wiraprana. Dan Wiraprana kelak pasti hanya akan mengucapkan terima kasihnya saja kepadanya.
Tetapi sebenarnya Mahisa Agni tidak mempunyai pamrih. Seandainya Wiraprana kelak tidak mengucapkan terima kasih pun, ia tidak akan menyesal. Dengan kesetiaannya ia berusaha membuat Ken Dedes bahagia. Kesetiaan yang tidak diketahui sama sekali oleh orang lain. Namun kesetiaan itu benar-benar telah membakar dadanya.
Kini Mahisa Agni menerima kuda itu. Kuda yang tegar, berwarna sawo. Tidak kalah tegarnya dengan kuda yang dipergunakan oleh Kuda Sempana tadi.
Setelah sekali lagi Mahisa Agni mengucapkan terima kasih, maka ia segera meloncat ke punggung kuda itu. Meskipun demikian ia masih bertanya, “Sekarang, kau tidak lagi berkendaraan Mahendra?”
Mahendra tertawa pendek. “Jarak yang harus kutempuh terlalu pendek dibandingkan dengan perjalananmu. Biarlah aku pulang dengan berjalan kaki. Hampir setiap hari aku sampai di sini pula.”
“Selamat tinggal Mahendra, mudah-mudahan aku tidak terlalu terlambat.”
Mahendra mengangguk. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku akan lebih berbahagia kalau kau berhasil, Wiraprana.”
“Terima kasih, terima kasih.”
Mahisa Agni itu pun segera memacu kudanya seperti angin. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Panawijen. Namun ia pun ingin cepat-cepat melupakan setiap kata-kata Mahendra. Karena itu, maka kudanya yang telah berlari kencang itu, masih saja terasa, alangkah lambatnya. Seakan-akan suara Mahendra masih mengiang di telinganya, ‘Aku akan lebih berbahagia kalau kau berhasil, Wiraprana’.
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Kuda itu dipacu semakin cepat. Namun hatinya telah berlari lebih cepat daripada kaki-kaki kuda itu.
Kuda Mahisa Agni itu meluncur seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kepulan debu yang putih bergulung-gulung di belakang kaki kudanya. Pepohonan yang tegak di pinggir-pinggir jalan, seakan-akan berlari cepat ke belakang, Sedang hutan-hutan yang terbujur di hadapannya, seperti berlari menyongsongnya. Semakin lama semakin besar. Dan semakin lama, semakin jelas setiap batang-batang yang tumbuh di sepanjang tepinya.
Tetapi gelora di dalam dada Mahisa Agni sendiri itu pun menjadi semakin keras. Bermacam-macam persoalan hilir mudik di dalam dadanya. Sekali-kali jauh di dasar hatinya terdengar pula suara, ‘Mahisa Agni Kenapa kau menjadi sedemikian cemasnya? Bulankah Ken Dedes telah mempunyai seorang pelindung yang harus melindunginya. Kalau Wiraprana tak sanggup bertanggung jawab terhadapnya maka lebih baik ia melepaskan ikatan yang telah dijalinnya. Ia menginginkan hak itu, namun ia tak mampu memikul kewajibannya’.
Namun kemudian terdengar suara yang lain, ‘Itu bukan salahnya. Dunia di sekitarnya yang masih sebuas hutan rimba. Kalau setiap orang menyadari hak dan kewajiban masing-masing, maka tak akan ada persoalan lagi. Meskipun Wiraprana tak mampu untuk berkelahi, namun dalam peradaban yang baik tak perlu ia harus berkelahi. Karena Wiraprana bukan tidak mengerti akan kewajibannya, tetapi ia sebenarnya tidak mampu menghadapi kebuasan lingkungannya, maka apa salahnya aku menyelamatkannya’.
Terdengar Mahisa Agni itu menggeram di atas punggung kudanya. Dan kuda itu masih berlari secepat angin. Sekali-kali Mahisa Agni mengusap wajahnya yang dipenuhi oleh debu yang melekat karena peluhnya yang membasahi kulitnya. Sekali-sekali dirabanya bungkusannya yang melingkari lambungnya, berbelitan dengan ikat pinggangnya. Dan terasa di dalamnya, keris peninggalan ayahnya. Kalau Kuda Sempana menjadi gila, maka ia pun kini bersenjata.
Matahari yang mengapung di langit bergeser setapak demi setapak. Kini matahari itu telah melampaui puncak langit, dan telah mulai dengan perjalanannya untuk bersembunyi di balik pegunungan. Namun sinarnya masih juga terasa membakar kulit. Debu yang putih yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda Mahisa Agni, tampak bergulung-gulung. Kemudian buyar ditiup angin dari selatan. Jauh di langit kadang-kadang tampak burung-burung cangak beterbangan di atas tanah yang basah. Namun Mahisa Agni tidak sempat untuk memperhatikannya. Kudanya yang berpacu itu serasa seakan-akan betapa malasnya. Sekali disentuhnya perut kuda itu dengan kakinya, sehingga kuda itu meloncat semakin cepat.
Sesaat kemudian Mahisa Agni telah masuk melintas jalan-jalan di tengah-tengah hutan. Perjalarannya kini tidak dapat secepat semula. Sekali-sekali beberapa potong dahan-dahan kayu yang patah, serta sulur beringin tua, mengganggu perjalanannya. Sedang jalan menjadi bertambah sempit. Tetapi kuda itu masih berlari terus, tanpa menghiraukan apapun yang mungkin akan memperlambat.
Demikianlah Mahisa Agni berpacu melawan waktu. Sebab Kuda Sempana telah jauh mendahuluinya. Ia harus sampai di Panawijen sebelum Kuda Sempana telah melarikan Ken Dedes. Mudah-mudahan gurunya telah kembali. Tetapi agaknya Empu Purwa masih di perjalanan, bahkan menurut keterangannya, gurunya itu masih akan singgah di rumah sahabat-sahabatnya setelah ia merasa menurunkan ilmunya yang tertinggi kepada muridnya. Seolah-olah pekerjaan Empu Purwa itu telah selesai, dan kini ia tinggal menikmati masa istirahatnya.
Agaknya Empu yang sudah lanjut usia itu telah mempereayakan segala sesuatunya kepada Mahisa Agni, satu-satunya muridnya yang lahir batinnya benar-benar mengagumkan baginya.
Karena itu Mahisa Agni menjadi semakin gelisah. Sesudah hutan ini masih terentang jalan yang sangat panjang. Namun berterima kasihlah ia kepada Witantra dan Mahendra yang telah menolongnya mempereepat perjalanannya dengan kecepatan yang berlipat ganda. Kalau ia harus berjalan, maka sudah hampir dapat dipastikan bahwa ia akan jauh terlambat. Dan ia tinggal akan menemukan bekas- bekas dari bencana itu. Meskipun demikian, kegelisahan masih saja menyala-nyala di dalam dadanya. Meskipun ia kini telah dapat mempereepat perjalanannya, namun ia masih mencemaskan, bahwa Kuda Sempana benar-benar tidak mampu mengekang dirinya, sehingga sejak langkahnya yang pertama, ia telah bermata gelap.
Sebenarnyalah pada saat itu, Kuda Sempana pun sedang berpacu menuju ke Panawijen.
Ketika anak muda itu bertemu dengan Mahisa Agni di Tumapel, maka tiba-tiba timbul niatnya untuk menumpahkan kemarahannya dan dendamnya. Sebab kini ia merasa, bahwa ia telah memiliki bekal yang jauh lebih banyak daripada saat ia dikalahkan oleh Mahisa Agni. Tetapi keadaan Tumapel agaknya tidak menguntungkannya. Mungkin beberapa orang melihat, bahwa Mahisa Agni tidak bersalah pada waktu itu sehiugga akibatnya akan tidak menguntungkan baginya. Karena itu, maka ia mengambil jalan yang lain untuk menumpahkan dendamnya. Segera ia memacu kudanya menemui pimpinannya untuk mohon diri dua tiga hari. Ia dapat saja memberikan segala macam alasan untuk pulang ke kampung halaman. Kalau kelak Ken Dedes telah dapat dirampasnya,dan dilarikannya, maka apa yang akan terjadi akan dihadapinya dengan dada tengadah. Wiraprana, Mahisa Agni dan siapa lagi. Tetapi gadis itu harus sudah di tangannya dan disembunyikannya dahulu.
Karena itu, maka ia pun kemudian berpacu kembali ke Panawijen. Ia harus langsung pergi ke rumah Empu Purwa. Minta gadis itu untuk dibawanya. Kalau tidak boleh, maka ia akan mempergunakan kekerasan. Ia tidak takut seandainya seluruh cantrik dari padepokan itu akan mengeroyoknya. Bahkan orang-orang seluruh padukuhan. Dengan ayunan tangannya ia mampu membunuh siapa saja yang mendekatinya.
Kuda Sempana itu kemudian tersenyum sendiri. Ia tidak menyangka bahwa ia harus mengambil seorang gadis dengan cara yang aneh itu. Tetapi betapapun bahaya yang akan dihadapinya, namun ia tidak akan surut. Ia pernah mendengar juga bahwa Mahendra pun pernah menginginkan Ken Dedes itu pula. Maka seandainya Mahendra itu pun datang kepadanya, maka ia pun tidak akan gentar. Bahkan seandainya Witantra sekali pun. Meskipun Kuda Sempana itu agak seimbang juga menilai kekuatan Witantra. Sebab ia tahu benar, apa saja yang pernah dilakukan oleh Witantra itu sebagai seorang prajurit.
Tetapi Kuda Sempana itu menggeram, “Persetan semuanya! Akulah Kuda Sempana!”
Dengan demikian maka Kuda Sempana kemudian berusaha menindas semua persoalan yang tumbuh di dalam hatinya.
Tekadnya telah bulat, melarikan Ken Dedes dengan segala akibatnya.
Kini Kuda Sempana itu tertawa seorang diri. Tertawa untuk melepaskan kegelisahan-kegelisahan yang merayapi hatinya. Ia benar-benar tidak mau tahu apapun yang mungkin terjadi karena perbuatannya itu. Anak muda itu telah berusaha untuk membutakan matanya dan menulikan telinganya. Persetan semuanya! Persetan!
Maka kudanya kini menjadi semakin laju. Terasa angin yang kencang menghembus wajahnya. Namun wajah itu pun ditengadahkannya. Bahkan ia bergumam, “Siapakah yang berani menghalangi Kuda Sempana?”
Meskipun demikian, Kuda Sempana itu berdebar-debar pula ketika ia meninggalkan daerah-daerah hutan yang terakhir. Ia tidak menempuh jalan yang biasa dilalui oleh Mahisa Agni, padang rumput Karautan. Namun Kuda Sempana melingkar sedikit, lewat padukuhan Talrampak. Meskipun seperti Mahisa Agni anak muda itu sama sekali tidak takut kepada apapun, juga yang dahulu sering disebut hantu padang rumput, namun Kuda Sempana tidak mau perjalanannya dihambat. Meskipun ia mendengar juga, bahwa hantu padang rumput itu kini telah tidak ada lagi, namun lebih baik baginya melewati jalan yang paling aman, daripada ia terlambat.
Demikianlah Kuda Sempana akhirnya telah melampaui perjalanannya yang tergesa-gesa. Dengan gagahnya ia memacu kudanya, masuk .ke padukuhan tempat kelahirannya. Panawijen.
Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah melihatnya dengan heran. Bukankah anak itu seakan-akan telah disingkirkan untuk waktu yang tertentu. Maka tiba-tiba kini ia datang kembali dengan tergesa-gesa. Apakah waktu yang ditentukan itu telah habis?
Orang itu pun kemudian ber-bisik-bisik satu sama lain. Sehingga kemudian seorang arak muda berkata, “He, apakah Kuda Sempana telah sampai waktunya pulang?”
Seorang yang berdahi lebar menjawab, “Aku sangka belum.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, “He. Bukankah Mahisa Agni belum kembali?”
“Kenapa?”
“Bukankah dahulu Mahisa Agnilah yang berhasil mencegahnya mengambil langsung Ken Dedes dari pinggir belumbang?”
Orang berdahi lebar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kuda yang ditunggangi oleh Kuda Sempana sudah tidak tampak lagi di mata mereka.
“Marilah kita lihat. Apakah anak muda yang gagah itu masih saja melakukan perbuatan-perbuatan yang tereela itu.”
Kedua orang itu pun kemudian bergegas-gegas meninggalkan sawah mereka. Beberapa orang yang lain pun segera mengikutinya.
Sampai di sudut padukuhan mereka, mereka bertanya kepada seorang anak kecil, “Kau lihat searang penunggang kuda?”
Anak itu mengangguk, “Ya.”
“Ke mana?”
“Masuk kemari. Dan berbelok ke kiri.
“Ke kiri?”
“Ya. Kenapa?” anak kecil itu menjadi keheranan.
“Tidak apa-apa nak. Tetapi jangan ber-main-main di tengah jalan. Kau lihat kuda yang berlari kencang ini tadi bukan?”
Anak itu mengangguk.
Kedua orang itu pun berjalan pula menuruti jalan yang ditempuh oleh Kuda Sempana dengan berdebar-debar.
“Jalan ini menuju ke rumah Empu Purwa.”
“Ya,” jawab yang lain.
“Apakah anak itu masih gila seperti dahulu?”
“Mungkin.
Beberapa orang yang mendengar suara kaki kuda berderap itu pun memerlukan untuk melihatnya. Ketika mereka melihat kedua orang yang kuat itu, maka mereka kemudian saling berbicara.
“Aku ikut,” berkata beberapa anak muda.
“Apakah Wiraprana di rumah?” bertanya salah seorang di antaranya.
“Mudah-mudahan. Sejak Mahisa Agni pergi, kemudian Empu Purwa pergi pula, Wirapranalah yang diserahi untuk mengawasi padepokan itu. Mudah-mudahan ia berada di sana.”
“Tetapi Wiraprana tak dapat mencegahnya seperti dahulu.”
“Wiraprana tidak sendiri. Di padepokan itu ada beberapa orang cantrik.”
“Mari kita lihat. Kita tidak akan membiarkan kawan-kawan kita dicederainya.”
“Anak-anak muda Panawijen bukanlah anak-anak muda yang senang bertengkar. Kehidupan yang damai selama ini, sama sekali tidak menggerakkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan kekerasan. Karena itu, maka tidak banyak di antara mereka, yang telah mempelajari cara-cara tata bela diri. Meskipun demikian, mereka memiliki kesetia kawanan yang tinggi. Kebiasaan mereka bekerja bersama-sama. Membuat parit-parit, bendungan dan sambatan membangun rumah, adalah pencerminan dari cara hidup mereka yang rukun.
Dengan tergesa-gesa beberapa anak muda itu berjalan mengikuti telapak kaki kuda yang dipakai oleh Kuda Sempana. Semakin lama mereka menjadi semakin berdebar-debar. Kuda itu benar-benar menuju ke padepokan Empu Purwa.
Sebenarnya Kuda Sempana langsung menuju ke rumah Empu Purwa. Ia takut kalau Mahisa Agni segera pulang, dan menggagalkan maksudnya pula. Karena itu, maka akan dipergunakannya waktu sebaik-baiknya. Langsung mengambil gadis itu, dan dibawanya ke Tumapel. Disembunyikannya gadis itu di rumah sahabatnya, dan akan dihadapinya setiap bencana yang akan mengancamnya. Sampai nanti saatnya Ken Dedes melahirkan. Setelah itu, semuanya akan beres. Tak seorang pun yang akan dapat menuntutnya. Meskipun di Tumapel tinggal pula Mahendra, namun ia tidak takut melawan anak itu, meskipun ia belum pasti apakah ia akan dapat mengalahkannya
Meskipun tekadnya telah bulat, namun semakin dekat Kuda Sempana dengan rumah Empu Purwa, hatinya menjadi semakin berdebar-debar juga.
Kedatangan Kuda Sempana di padepokan itu benar-benar mengejutkan. Deru kaki kudanya seakan-akan membelah kedamaian halaman yang sunyi itu. Beberapa orang cantrik yang sedang bekerja di halaman, segera meletakkan alat-alat mereka. Dengan bergegas mereka menengok ke pintu gerbang. Siapakah yang datang berkuda itu?
Ketika mereka melihat seorang anak muda yang tampan, maka mula-mula mereka menjadi kecewa. Yang mereka harapkan sejak berhari-hari adalah Mahisa Agni, atau Empu Purwa sendiri. Namun yang datang bukanlah salah seorang dari mereka.
Tetapi ketika mereka sadar, siapakah anak muda yang masih saja duduk di punggung kuda itu mereka terperanjat.
“Kuda Sempana,” terdengar beberapa orang di antara mereka berdesis.
Kuda Sempana telah menghentikan kudanya. Namun ia masih duduk di atas punggung kuda itu. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Dilihatnya beberapa orang cantrik dan emban satu demi satu muncul dari balik pepohonan dan dinding-dinding rumah. Dan dilihatnya pula mereka menjadi terkejut karenanya.
Hati Kuda Sempana itu berdesir ketika tiba-tiba muncul dari balik pintu pringgitan, seorang anak muda yang tegap tampan. Wiraprana.
Alangkah terkejutnya Wiraprana itu. Beberapa saat ia tegak saja seperti patung. Ditatapnya Kuda Sempana yang masih duduk di atas punggung kuda seperti menatap wajah hantu.
Ketika pada saat itu seorang gadis yang berlari-lari dari belakang muncul pula di ambang pintu, maka dengan serta-merta Wiraprana mendorongnya sambil bergumam, “Masuklah. Setan itu datang lagi.”
Ken Dedes masih belum sempat melihat siapakah yang datang berkuda itu. Namun ia sadar, bahwa sesuatu yang tidak wajar pasti terjadi. Karena itu maka ia pun bertanya perlahan-lahan, “Siapa?”
“Kuda Sempana,” desis Wiraprana.
“He?” Ken Dedes itu pun terkejut bukan buatan. Terasa tiba-tiba kakinya gemetar dan darahnya seakan-akan membeku. Dengan suara yang parau ia mencoba menjelaskan, “Kuda Sempana katamu?”
Wiraprana mengangguk. Desisnya, “Masuklah.”
Ken Dedes tidak membantah. Segera ia beringsut masuk kembali ke dalam rumah, bahkan langsung bersembunyi ke dalam biliknya.
“Emban,” desahnya.
Seorang emban tua datang menghampirinya. Ketika dilihatnya momongannya menggigil maka dengan heran ia bertanya, “Siapakah yang datang itu?”
Ken Dedes terbungkam. Ia tidak berani menyebut nama Kuda Sempana. Bibirnya seakan-akan tabu menyebut nama itu. Namun tiba-tiba air matanya mengambang di antara pelupuknya. Patah-patah ia bergumam, “Kenapa ayah tidak segera pulang? Atau Kakang Mahisa Agni?”
Emban tua itu menjadi bingung. Sekali lagi ia bertanya, “Siapakah yang datang itu?”
“Anak itulah yang telah menghina namaku di belumbang di tepian sungai beberapa bulan yang lalu.”
“Angger Kuda Sempana?”
“Jangan Bibi, jangan kau sebut nama itu. Aku dapat menjadi pingsan karenanya.”
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Ia mendengar pula, apa yang pernah terjadi di pinggir sungai itu. Karena itu maka ia pun ikut berdebar-debar pula karenanya. Meskipun demikian emban tua itu masih mencoba menghiburnya, “Jangan cemaskan anak muda itu. Bukankah Angger Wiraprana sedang berada di rumah ini?”
Ken Dedes menggelengkan kepalanya. Namun ia tidak berkata apa-apa. Hanya di dalam hatinya terdengar kata-katanya, “Wiraprana tidak dapat melawannya.”
Karena itu maka Ken Dedes menjadi semakin cemas. Sekali-sekali matanya beredar di antara dinding-dinding rumahnya, seolah-olah ia sedang mencari tempat untuk menyembunyikan dirinya. Namun halaman rumahnya dikelilingi oleh sebuah pagar batu yang rapat. Sehingga jalan satu-satunya yang dapat dilaluinya, hanya regol depan. Dan ia tidak berani menampakkan dirinya ke halaman.
Sementara itu di halaman rumah Empu Purwa yang luas itu Kuda Sempana masih duduk saja di atas punggung kudanya. Di pintu rumah itu, Wiraprana berdiri tegak dengan tegangnya. Sesaat mereka hanya saling memandang dengan tajamnya, seakan-akan dari kedua pasang mata itu memancar dendam yang menyala-nyala.
Ketika kemudian Kuda Sempana meloncat turun dari kudanya, maka Wiraprana pun melangkah melampaui tlundak pintu. Perlahan-lahan ia berjalan melewati pendapa dan dengan getar yang semakin cepat di dalam dadanya, ia melangkah turun tangga dan berdiri tegak di halaman pula.
Kini jarak mereka hanya tinggal beberapa depa. Kuda Sempana masih sempat memandang berkeliling. Dan di sekitar halaman itu dilihatnya beberapa orang cantrik dan emban berdiri pula dengan tegangnya.
Kini Kuda Sempana kembali menatap wajah Wiraprana. Dan tiba-tiba terdengar suaranya bergetar, “Apa kerjamu di rumah ini Wiraprana?”
Wiraprana menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Karena itu maka ia menjawab tegas, “Aku berada di rumah bakal mertuaku.”
“Gila!” teriak Kuda Sempana, “Jangan kau ulangi!”
Wiraprana menjadi berdebar-debar karenanya. Namun ia mengulangi kata-katanya, “Aku berada di rumah mertuaku.”
Kuda Sempana menggeram. Ia tidak berani berbuat tergesa-gesa. Ia belum yakin benar, apakah selama ini Wiraprana sama sekali tidak berusaha untuk mempelajari ilmu yang mungkin dapat menolong dirinya.
Meskipun demikian, anak muda itu benar-benar telah membakar dadarnya. Sehingga karena itu ia berkata lantang, “Wiraprana, jangan menyombongkan dirimu. Seandainya kau kini berkawan dengan dewa-dewa di langit sekali pun, namun kau bagiku tidak lebih dari seorang anak yang manja. Karena itu, Wiraprana, jangan mencoba menghalangi aku kali ini. Aku sangat tergesa-gesa.”
“Kau belum mengatakan, apa maksud kedatanganmu?” sahut Wiraprana.
Kuda Sempana menarik alisnya. Ditatapnya wajah Wiraprana dengan tajamnya. Sesaat kemudian terdengar ia menjawab, “Jangan memperbodoh diri Wiraprana. Aku datang untuk menjemput bakal istriku.”
Terasa dada Wiraprana itu berdesir. Ia sudah menduga apa yang akan dilakukan oleh Kuda Sempana itu. Namun ketika ia mendengar sendiri jawaban itu, maka mau tidak mau ia menjadi berdebar-debar. Betapapun ia mencoba menenangkan diri sendiri, namun sebenarnyalah ia mengetahui dengan pasti, bahwa ia tidak akan mampu mencegahnya seandainya Kuda Sempana kemudian melakukan kekerasan. Kuda Sempana kali ini sudah pasti tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah dilakukannya di tepian sungai beberapa bulan yang lalu. Karena itu maka tanpa disengajanya, Wiraprana melemparkan pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya beberapa orang cantrik memandangnya dengan tegang, namun ada di antara mereka yang berdiri saja dengan wajah yang kosong.....
Wiraprana terkejut ketika Kuda Sempana membentak, “Carilah di antara mereka, siapakah yang akan berani menghalangi Kuda Sempana.”
Wiraprana menggigit bibirnya. Kuda Sempana benar-benar menyadari keunggulannya. Dan tiba-tiba Wiraprana itu menyesal, kenapa Mahisa Agni pergi sudah sekian lamanya masih juga belum kembali? Apakah ada sesuatu yang terjadi di sepanjang perjalanannya? Bahkan Wiraprana itu kemudian seakan-akan menyalahkan Mahisa Agni. Seakan-akan Mahisa Agni itulah yang mempunyai keharusan untuk menjaga adik angkatnya. Dan kepergiannya yang terlalu lama itu merupakan suatu kelengahan. Kini ternyata Kuda Sempana itu benar datang. Apalagi ketika kemudian terdengar Kuda Sempana itu berkata, “Jangan mengharap Mahisa Agni akan membantu, Wiraprana. Anak itu masih berada di Tumapel.”
Wiraprana menggeram. “Apa pula kerja Mahisa Agni itu di Tumapel?” desah Wiraprana di dalam hatinya, “ternyata Mahisa Agni lebih mementingkan kesenangannya sendiri daripada melindungi adik angkatnya itu.”
Meskipun demikian, Wiraprana tidak akan dapat tinggal berdiam diri. Di sekitarnya berdiri beberapa orang cantrik. Apapun yang akan terjadi, maka Ken Dedes itu harus dipertahankan mati-matian. Ia akan berjuang mati-matian, dan para cantrik itu pasti akan membantunya. Karena itu maka Wiraprana itu pun menjawab, “ Kuda Sempana. Rumah ini adalah rumah Empu Purwa yang dikuasakan kepadaku selama Empu Purwa dan Mahisa Agni tidak ada di rumahnya. Hampir setiap hari aku datang kemari. Karena itu, jangan mencoba melampaui hak yang ada padaku itu. Dengan baik aku akan mencoba mempersilakanmu pergi meninggalkan halaman ini.”
Kuda Sempana itu tertawa untuk melepaskan kejengkelannya. Kenapa Wiraprana itu tidak lebih baik bersembunyi saja, atau melarikan diri? Maka katanya, “Wiraprana, apakah kau sekarang mampu memecah langit, sehingga kau berani berdiri tegak di hadapan Kuda Sempana?”
Betapapun juga, namun Wiraprana tersinggung mendengar kata-kata itu. Maka dengan marahnya ia menjawab, “Kuda Sempana, jangan terlalu sombong! Jangan kau sangka bahwa kau akan mampu menundukkan seluruh isi jagat. Jika setiap usahamu yang kasar itu kau teruskan, maka aku pasti akan berusaha untuk mencegahnya.”
Sekali lagi Kuda Sempana tertawa terbahak-bahak untuk melepaskan perasaan yang menghimpit dadanya. Kemudian katanya lantang, “Sudah aku katakan, waktuku amat sempit. Minggir, atau aku paksa kau pergi? Bahkan lebih baik bagimu untuk memanggil Ken Dedes dan antarkan gadis itu kepadaku.”
“Gila!” geram Wiraprana dengan marahnya. Tetapi bagaimanapun juga ia menyadari keadaannya. Karena itu, ia masih saja berdiri tegak di tempatnya.
“Jangan bergeser dari tempatmu, Wiraprana. Aku akan masuk dan membawa Ken Dedes pulang. Sampaikan kepada Empu Purwa bahwa dengan menyesal aku tidak dapat datang dalam keadaan yang lebih baik dari sekarang, apabila ia tidak ada di rumah saat ini.”
Wiraprana belum beranjak dari tempatnya. Namun ia berkata, “Empu Purwa tidak ada di padepokan. Segala kekuasaan ada di tanganku.”
“Kalau begitu, berikan gadis itu sekarang!”
“Tidak.!
“Jangan keras kepala! Aku bisa memaksamu.”
“Tak ada gunanya.”
“Aku bisa menyingkirkanmu. Tegasnya aku bisa membunuhmu.”
Sekali lagi Wiraprana menebarkan pandangannya berkeliling. Para cantrik yang setia kepada Empu Purwa itu sudah tentu tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Karena itu, tanpa berjanji mereka melangkah beberapa langkah maju.
“Kau lihat?” geram Wiraprana.
“Huh. Barisan kelinci yang malang. Mereka akan menyesal atas kesombongan mereka. Juga kau akan menyesal. Sekali lagi aku minta, bahwa Ken Dedes kemari, atau aku akan mengambilnya.
“Pergi!” bentak Wiraprana dengan marahnya, “Pergi, atau kami memaksa pergi?”
Kuda Sempana tidak menghiraukannya. Dengan tenangnya ia melangkah maju. Selangkah ia menghindari Wiraprana untuk terus langsung naik ke pendapa. Namun perbuatannya itu benar-benar telah membakar hati Wiraprana. Ia merasa seakan-akan dianggap sebagai tidak ada. Karena itu, alangkah sakit hatinya. Betapapun ia menyadari keadaannya, namun ia berbesar hati ketika melihat beberapa orang cantrik pun segera melangkah maju untuk mencegah perbuatan yang gila itu. Karena itu Wiraprana pun melangkah satu langkah ke samping, langsung menghadang langkah Kuda Sempana sambil berteriak, “Jangan gila!”
Kuda Sempana sama sekali tidak memperhatikannya. Ia melangkah terus sehingga dengan demikian, Wiraprana itu dilanggarnya. Dengan pundaknya ia mendesak dada Wiraprana yang gagah itu, namun sebenarnya Kuda Sempana kini sudah menjadi semakin garang, sehingga Wiraprana itu terdorong beberapa langkah surut.
Wiraprana terkejut bukan buatan mengalami dorongan tenaga Kuda Sempana yang luar biasa itu. Untunglah bahwa ia tidak terbanting jatuh. Meskipun demikian, Wiraprana terpaksa mengerahkan tenaganya untuk menjaga keseimbangannya.
Tetapi, meskipun ia telah merasakan dorongan tenaga Kuda Sempana yang tampaknya masih seenaknya saja itu, serta dengan demikian dapat mengira-irakan kekuatannya, namun menjadi kewajibannya untuk mencoba mencegah perbuatan gila itu, apapun akibatnya. Karena itu maka Wiraprana menjadi mata gelap karenanya. Ia sudah tidak lagi sempat memperhitungkan apakah kira-kira yang akan terjadi atasnya.
Maka, dengan serta-merta Wiraprana itu menangkap lengan Kuda Sempana, menariknya dan kemudian dengan sekuat tenaganya, Wiraprana itu mengayunkan tinjunya tepat mengarah ke wajah Kuda Sempana.
Namun, Kuda Sempana kini telati memiliki ketangkasan jauh lebih maju dari beberapa bulan yang lampau. Karena itu, ketika ia melihat tangan Wiraprana terayun dengan derasnya ke wajahnya, maka segera ia menarik kepalanya itu beberapa jengkal ke belakang sambil memiringkan pundaknya. Namun gerakan yang sederhana itu telah melepaskannya dari serangan Wiraprana.
Wiraprana yang mengayunkan tangannya dengan sekuat tenaganya, serta ternyata tangannya tak menyentuh sesuatu itu, seakan-akan terseret oleh kekuatannya sendiri. Beberapa langkah ia terdorong ke samping. Namun tak disangka-sangkanya, bahwa pada saat itu, Kuda Sempana memukulnya pada punggungnya.
Wiraprana yang sedang kehilangan keseimbangannya, benar-benar tak mampu lagi menolong dirinya. Dengan tanpa dapat berbuat sesuatu ia terbanting di tanah. Bulat-bulat ia terjerembab. Sedang wajahnya yang merah membara karena kemarahannya itu menyentuh tanah.
Para cantrik yang melihat peristiwa itu terkejut bukan main. Namun pukulan Kuda Sempana itu seolah-olah menjadi isyarat bagi para cantrik itu untuk bangun dari tidur mereka. Setelah mereka menyaksikan semuanya yang terjadi dengan mulut ternganga, maka tiba-tiba mereka merasa bahwa mereka pun berkewajiban untuk mencegah perbuatan Kuda Sempana yang gila itu. Maka dengan serta-merta mereka pun berloncatan maju dan hampir bersama pula mereka menyerang Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana telah memperhitungkan peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi. Demikian ia melihat para cantrik itu menyerangnya, maka segera ia meloncat menyongsong mereka. Dengan satu gerakan yang sederhana, maka seorang cantrik telah terpelanting jatuh menimpa tangga pendapa. Terdengar cantrik itu mengaduh. Namun sesaat kemudian dengan ter-tatih-tatih ia berusaha untuk bangun kembali.
Pada saat itu ia melihat Wiraprana pun telah bangun pula. Tampaklah wajahnya yang merah padam. Jantungnya serasa telah menyala mendidihkan darahnya.. Terdengar giginya gemeretak dan tangannya menjadi gemetar. Karena itu dengan sepenuh tenaga, segera ia melepaskan kembali sebuah serangan mengarah ke dada Kuda Sempana.
Kuda Sempana yang melayani serangan-serangan para cantrik, melihat serangan Wiraprana yang dilontarkan dengan sepenuh tenaga itu. Namun Kuda Sempana itu menarik alisnya sambil tertawa pendek.
“Apakah selama ini kau masih saja tertidur Wiraprana? Serangan-seranganmu datang seperti serangan seekor babi hutan. Keras, namun sama sekali tak berarti. Dengan satu gerakan yang sederhana, seranganmu telah dapat dihindari.”
Tetapi Wiraprana telah melontarkan diri. Karena itu ia tidak dapat menarik serangannya. Dan sebenarnyalah dengan menarik satu kakinya ke samping, memutar tubuhnya setengah lingkaran, serangan Wiraprana itu telah dapat dihindari. Sekali lagi Kuda Sempana mengayunkan tangannya ke arah punggung Wiraprana, dan sekali lagi Wiraprana yang malang itu terdorong dengan kerasnya, dan jatuh terjerembab.
Kembali terdengar suara tertawa Kuda Sempana. Kini suaranya menjadi semakin keras. Serangan para cantrik yang datang bertubi-tubi itu, dengan mudahnya dapat dihindarinya satu demi satu. Bahkan beberapa orang cantrik telah terlempar jatuh. Meskipun kemudian mereka berusaha untuk berdiri tetapi mereka telah menjadi semakin jera. Kini mereka menyerang dengan ragu-ragu. Meskipun demikian, satu kesadaran telah mengikat mereka dalam perkelahian itu. Mencegah perbuatan Kuda Sempana.
Wiraprana yang terjerembab itu pun kemudian bangun kembali. Kemarahannya menjadi semakin menggelegak di dalam dadanya. Matanya seakan-akan menjadi menyala, dan mulutnya terkatup rapat. Dengan cermat ia memandang Kuda Sempana seperti hendak ditelannya. Dan kemarahannya menjadi semakin membakar ketika ia melihat Kuda Sempana itu dengan tenangnya berkelahi melawan beberapa orang cantrik sambil tertawa. Katanya, “Aku masih mencoba berbuat dengan sebaik-baiknya. Tetapi waktuku tidak banyak. Karena itu sebaiknya kalian menghentikan perlawanan kalian. Ambillah Ken Dedes dan serahkan kepadaku. Sebab perlawanan kalian ini pun tak akan berarti.”
“Tulip mulutmu!” bentak Wiraprana.
“Jangan membuat aku semakin marah,” sahut Kuda Sempana.
Tetapi Wiraprana tidak memedulikannya lagi. Kembali ia mencoba menyerang Kuda Sempana. Serangan Wiraprana itu telah membangkitkan keberanian para cantrik itu kembali. Karena itu, maka bersama-sama mereka menyerang Kuda Sempana itu pula
Kuda Sempana kini sudah tidak sabar lagi. Ia pun takut, kalau Mahisa Agni akan segera datang, meskipun menurut perhitungannya masih agak jauh. Karena itu, maka segera ia ingin mengakhiri pertempuran.
Ketika serangan Wiraprana datang kembali, maka Kuda Sempana sama sekali tidak berusaha untuk menghindarinya. Dengan sebagian besar tenaganya, ia melawan serangan pula, sehingga segera terjadi benturan di antara mereka. Tetapi sebenarnyalah bahwa benturan itu sama sekali tidak seimbang. Wiraprana segera terlempar beberapa langkah dan kemudian kembali ia jatuh terbanting di tanah.
Yang terdengar adalah suara Kuda Sempana tertawa dan berkata, “Sudahlah Wiraprana. Tak akan ada gunanya melakukan perlawanan. Sekali lagi aku peringatkan, jangan membuat aku menjadi semakin marah.”
Tetapi belum lagi Kuda Sempana selesai, Wiraprana yang terguling itu telah berusaha berdiri. Sementara itu para cantrik telah berebutan menyerangnya..
Kuda Sempana kini telah benar-benar menjadi marah. Karena itu, maka segera ia membalas setiap serangan para cantrik. Sehingga dengan demikian, maka para cantrik yang hanya pandai mengatur padepokan dan meladeni upacara-upacara keagamaan itu menjadi kalang kabut. Satu demi satu, bahkan kadang-kadang dua tiga sekaligus, yang datang menyerang bersama-sama, berbareng terlempar jauh.
Namun sementara itu Wiraprana telah berdiri. Dengan marahnya ia menggeram, dan dengan membabi buta ia menyerang lawannya sejadi-jadinya. Namun Kuda Sempana itu pun menjadi marah pula Ketika Wiraprana datang menyerangnya, maka selangkah ia meloncat ke samping sehingga serangan Wiraprana itu tak menyentuhnya. Tetapi dalam pada itu, maka serangan Kuda Sempana itu pun segera mengalir seperti bendungan pecah. Sekali tangan Kuda Sempana memukul lambung Wiraprana sehingga anak muda yang tegap tinggi itu terdorong ke samping, namun sebelum Wiraprana berhasil memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba Kuda Sempana yang marah itu meloncat maju. Sebuah pukulan yang keras mengenai dagu Wiraprana. Ketika wajahnya itu mengangkat, maka sekali lagi tangan Kuda Sempana terayun deras sekali. Kali ini ke perut lawannya.
Terdengar sebuah keluhan tertahan. Dan ketika Kuda Sempana melangkah selangkah mundur, maka tubuh Wiraprana itu pun kemudian jatuh terkulai di tanah.
Kuda Sempana menarik nafas panjang. Dengan mata yang merah menyala ia memandang wajah-wajah yang berdiri di sekitarnya. Para cantrik yang melihat peristiwa itu menjadi ngeri karenanya
“Siapa lagi?” desis Kuda Sempana.
Tak seorang pun yang berani beranjak dari tempatnya.
“Kalau tak ada yang mau mencoba lagi, jangan halangi aku mengambil Ken Dedes. Di mana ia sekarang?”
Para cantrik itu pun menjadi gelisah. Namun tak seorang pun menjawab. Mereka terpaku seperti tonggak. Berdiri saja dengan mata tak berkedip.
“Hem,” geram Wiraprana, “kalau tak ada di antara kalian yang mau menunjukkan, biarlah aku cari sendiri.”
—–
Ketika wajah Wiraprana terangkat, maka sekali lagi tangan Kuda Sempana terayun keras sekali. Kali ini ke perut lawannya.
—–
Tetapi para cantrik itu tak dapat membiarkan Kuda Sempana mengambil Ken Dedes. Karena itu tanpa mereka sengaja, mereka berteriak, “Jangan!”
Mata Kuda Sempana menjadi semakin menyala. Ditatapnya wajah para cantrik itu sambil berteriak, “Siapa yang akan menghalangi?”
Kembali para cantrik itu terdiam. Dan kembali Kuda Sempana melangkah maju. Namun langkahnya itu terhenti ketika para cantrik pun bergerak maju.
“Apakah yang akan kalian lakukan?” bentak Kuda Sempana.
Para cantrik itu terdiam.
Kuda Sempana yang melihat tingkah laku para cantrik itu menjadi sangat marah. Dengan serta-merta ia meloncat menyerbu. Setiap kali tangan dan kakinya bergerak, setiap kali seorang cantrik terpelanting jatuh sambil mengeluh pendek. Tubuh-tubuh yang terbanting itu merasa, seakan-akan segenap tulang belulangnya menjadi remuk. Dan karena itulah maka mereka tidak lagi sempat untuk berdiri, ketika mereka melihat Kuda Sempana meloncat dan berlari memasuki pringgitan lewat pendapa rumah Empu Purwa itu.
Yang terdengar adalah suara Wiraprana terbata-bata, “Jangan, jangan. Namun tubuhnya terasa sangat lemahnya. Tulang-tulang iganya seperti lepas terpecah-pecah. Sekali ia mencoba bergerak, namun perasaan nyeri menyengat seluruh tubuhnya.
Karena itu, maka kini tak seorang pun yang dapat menahan Kuda Sempana. Ia berlari saja masuk ke dalam rumah.
Namun rumah itu sedemikian sunyinya.
Sekali-kali ia mencoba menengok bilik-bilik yang ada di dalam rumah itu. Sentong tengah, sentong kiri dan kanan, namun tak dijumpai seorang pun. Dengan gelisah ia meloncat dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Namun ruangan-ruangan itu telah kosong.
Kini dengan geramnya Kuda Sempana meloncat ke gandok sebelah kiri. Namun gandok ini pun ditemuinya kosong. Dan karenanya Kuda Sempana segera berlari ke gandok sebelah kanan. Diloncatinya setiap pintu, dan dijenguknya setiap ruangan.
“Gila!” desahnya. Dan Kuda Sempanalah yang sebenarnya hampir gila. Sekali lagi ia berlari- lari di dalam rumah itu. Seluruh ruangan telah dimasukinya dan hampir seluruh sudut-sudutnya telah dilihatnya. Namun Ken Dedes tidak ditemukannya.
Ketika sekali ia meloncati pintu belakang, dan dilihatnya seorang perempuan yang bersembunyi di balik sebuah tumpukan batu, dengan serta-merta Kuda Sempana meloncat menghampiri. Namun ternyata perempuan itu adalah seorang yang sedang ketakutan.
“Gila!” umpatnya sekali lagi.
“Di mana Ken Dedes?” bentaknya.
Endang yang ketakutan itu menjadi semakin takut. Tiba-tiba ia terduduk lemas karena kakinya yang gemetar.
“Di mana Ken Dedes?” Kuda Sempana berteriak.
Endang itu menggeleng lemah. Dan tubuhnya menggigil ketika tangan Kuda Sempana memegang bahunya kuat-kuat sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
“Di mana Ken Dedes? Cepat!”
“Aku tidak tahu,” jawab endang itu tergagap.
“Bohong. Ayo, tunjukkan di mana Ken Dedes.
Endang itu menjadi semakin takut. Meskipun bibirnya bergerak-gerak namun tak sepatah kata pun yang dapat diucapkan, sehingga Kuda Sempana menjadi semakin marah. Tetapi ketika sekali lagi ia mengguncang tubuh endang yang ketakutan itu, maka ia mengumpat, “Setan!” Dibiarkannya endang yang ketakutan itu terbaring pingsan.
Kini Kuda Sempana tidak mencari Ken Dedes di dalam rumah. Cepat ia berlari ke dapur. Di sekitar dapur itu dilihatnya beberapa bilik tempat para endang. Karena itu, maka dengan marahnya satu demi satu bilik itu dimasukinya.
Ketika Kuda Sempana sampai di bilik yang paling ujung, bilik seorang emban tua, maka dengan serta-merta ditariknya pintu bilik yang masih tertutup itu. Demikian pintu itu terbuka, maka alangkah terkejutnya. Kuda Sempana itu tegak di muka pintu dengan wajah yang tegang. Sedang di dalam bilik itu terdengar sebuah jerit pendek.
“Hem,” geram Kuda Sempana, “akhirnya kau kutemukan juga.”
Ken Dedes yang berada di dalam bilik itu bersama pemomongnya yang telah mencoba menyembunyikannya menjadi terkejut pula. Dengan gemetar ia memandang Kuda Sempana yang menakutkan itu. Dengan demikian, maka Ken Dedes dapat membayangkan bahwa Wiraprana dan para cantrik tidak berhasil mencegah orang yang hampir menjadi gila ini.
Dengan demikian, maka ketakutan yang amat sangat menjalar di dada Ken Dedes. Apa yang pernah terjadi, ternyata kini berulang kembali.
“Ken Dedes,” berkata kuda Sempana dengan suara parau, “maafkan aku, kalau aku memilih cara ini untuk mengambilmu. Kalau kau tidak keras hati, maka pasti aku akan menempuh jalan lain. Tetapi jalan lain itu kini telah tertutup sama sekali. Karena itu, maka jalan satu-satunya adalah cara ini.”
Ken Dedes memandang Kuda Sempana dengan muaknya. Betapapun ia menjadi takut, namun ia tidak dapat membiarkan dirinya dijamah oleh iblis itu. Karena itu maka katanya, “Kuda Sempana, itu sama sekali bukan cara seorang jantan.”
Kuda Sempana terkejut, katanya, “Aku telah berhadapan dengan Wiraprana. Laki-laki yang akan menjadi suamimu itu. Aku telah bertempur melawannya. Bukan aku yang tidak bersikap jantan, namun Wirapranalah yang berlaku demikian. Sebab ia tidak bertempur seorang melawan seorang. Ia telah bertempur bersama-sama para cantrik melawan aku. Apakah dengan demikian aku kurang bersikap jantan?”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Wiraprana telah dikalahkan. Tetapi bagaimanakah nasibnya? Apakah anak muda itu telah terbunuh?
Berbagai perasaan bergolak di dalam dada Ken Dedes. Takut, cemas dan pertanyaan- pertanyaan yang timbul tentang nasib Wiraprana. Namun dengan demikian, tiba-tiba gadis itu mengangkat wajahnya. Ketika ia tidak melihat lagi jalan untuk melepaskan diri, maka dengan lantangnya ia berkata, “Kuda Sempana. Jangan mencoba menyentuh kulitku!”
Wajah Kuda Sempana yang merah padam itu kini menjadi semakin menyala. Dengan geramnya ia berkata, “Ken Dedes, aku telah mengalahkan setiap laki-laki yang ada di padepokan ini. Apakah yang akan dapat kau lakukan?”
Ken Dedes itu kini justru tidak menjadi gemetar lagi. Dengan dada tengadah ia berkata, “Kuda Sempana, kau mungkin dapat mengalahkan sedap orang yang menghalang-halangi maksudmu. Namun kau tak akan dapat mengalahkan aku sendiri. Sebab bagiku, lebih baik aku mati daripada menjadi istri pelarian.”
“Jangan gila!” sahut Kuda Sempana, “kau tak akan mati. Mungkin kau belum merasakan keindahan rumah tangga kita kelak. Tetapi jangan kau coba membunuh dirimu sendiri.”
“Apa pedulimu? Dan ternyata kau tidak akan mengalahkan maut itu.”
Kuda Sempana itu terdiam sesaat. Dilihatnya di belakang Ken Dedes berdiri seorang emban tua dengan mata yang memandangnya dengan penuh kebencian. Namun Kuda Sempana sama sekali tidak memperhatikannya. Baru ketika emban itu berkata, “Kuda Sempana, adakah Angger telah berpikir masak-masak tentang apa yang Angger lakukan?”
“Diam!” bentak Kuda Sempana, “Apa kau sangka, kau cukup bernilai untuk memberi aku nasihat?”
“Aku tidak memberi nasihat, Ngger. Tetapi sebagai seorang tua aku heran melihat tingkah Angger. Bukankah Angger seorang yang cukup jantan?”
“Sudah aku katakan. Aku telah bertempur melawan lebih dari tujuh orang laki-laki di halaman!”
“Tetapi apakah Angger tidak mendengar, bahwa di padepokan ini akan dilangsungkan sayembara tanding?”
“Gila! Apakah kau mengigau?”
“Tidak. Sesudah Nini dipertunangkan dengan Angger Wiraprana, masih saja banyak sekali lamaran-lamaran yang datang. Karena itu, maka segera akan diadakan sayembara tanding.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “Bohong! Jangan banyak bicara!”
Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata, “Jangan mencoba melawan!”
Tetapi Kuda Sempana menjadi sangat terkejut. Demikian ia melangkah maju maka tiba-tiba dilihatnya sebuah patrem di tangan emban itu. Dan dengan tidak disangka-sangka maka emban itu berkata, “Jangan jamah momonganku!”
“Gila! Apa yang akan kau lakukan?”
Emban tua itu tidak menjawab. Tetapi sekali lagi Kuda Sempana tidak menyangka, bahwa emban tua itu menarik kainnya, dan disangkutkannya pada ikat pinggangnya. Kemudian hilanglah wajah yang suram. Kini wajah emban itu menjadi tegang. Dengan patrern di tangan ia melangkah maju. Katanya, “Angger Kuda Sempana. Kau telah mengalahkan setiap laki-laki di padepokan ini. Namun kau belum mengalahkan aku.”
Ken Dedes sendiri menjadi terkejut bukan buatan. Tidak disangkanya bahwa embannya itu sedemikian setianya kepadanya. Sehingga karena itu, maka ia tertegun diam seperti patung.
Kuda Sempana terpaku diam di tempatnya. Namun ketika ia menyadari keadaannya, maka ia terdengar tertawa terbahak-bahak seperti akan meruntuhkan rumah itu.
Kuda Sempana itu menjadi marah bereampur geli. Seakan-akan ia sedang menyaksikan sebuah pertunjukkan lawak yang lucu, namun memuakkannya. Karena itu, maka untuk melepaskan kejengkelannya, kemarahannya dan segala macam perasaan yang bereampur baur di dalam dadanya, Kuda Sempana itu tertawa seperti orang kerasukan setan.
Ken Dedes yang masih terpaku karena keheranannya melihat sikap embannya itu, kemudian menjadi tersadar pula akan keadaannya. Di mukanya berdiri hantu yang sedang tertawa, seakan-akan mendapat mangsa yang menyenangkan. Sedang apa yang dilakukan oleh embannya itu sama sekali tak akan dapat menolongnya.
Tetapi ketika Kuda Sempana sedang melepaskan benturan- benturan perasaan yang menghimpit dadanya, terdengar emban itu berbisik lirih, “Nini. Biarlah aku mencoba mengikat anak muda ini meskipun hanya sesaat. Dan cobalah mempergunakan waktu itu untuk melarikan diri ke luar halaman.”
Ken Dedes mendengar bisikan itu. Tetapi sejenak ia ragu-ragu. Apakah usaha itu berhasil? Namun segala usaha akan. Ditempuhnya. Ia akan mencoba melakukan nasihat embannya itu. Tetapi apakah yang akan terjadi dengan emban tua itu?”
Dalam pada itu Kuda Sempana telah hampir berhenti tertawa. Matanya yang menyala itu memandang emban tua itu dengan penuh nafsu, seakan-akan emban tua itu akan diremasnya sampai lumat.
“He, perempuan tua! Jangan membuat aku bertambah marah. Dengan ujung jariku aku akan dapat membunuhmu. Dan kalau aku menjadi bertambah-tambah marah, rumah ini akan aku bakar dan kalian yang telah menentang kehendakku akan aku benamkan ke dalam api.”
“Itu akan menjadi lebih baik,” jawab emban itu, “kematian kami akan menjadi sempurna.”
“Gila! Kau benar-benar gila!” teriak Kuda Sempana. Namun kemudian ia mencoba untuk mengabaikan perempuan itu. Katanya kepada Ken Dedes, “Ken Dedes ikut aku!”
Ken Dedes itu menjadi gemetar kembali. Namun terdengar ia menjawab lantang, “Tidak!”
“Kalau tidak, aku akan memaksamu. Menangkapmu dan membawamu lari dengan kudaku.”
Ken Dedes itu terbungkam. Alangkah ngerinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Kuda Sempana itu berdiri di ambang pintu bilik itu satu-satunya.
Kuda Sempana itu pun kemudian tidak bersabar lagi. Sekali ia meloncat untuk menangkap Ken Dedes. Namun kembali anak muda pelayan dalam Akuwu Tumapel itu terkejut bukan buatan. Demikian ia meloncat maju, maka perempuan tua itu meloncat pula dengan lincahnya menghalanginya. Sambil berdiri di muka Ken Dedes, emban itu berkata, “Sudah aku katakan. Selama aku masih berdiri di sini, jangan jamah momonganku.”
Mata Kuda Sempana seperti akan meloncat keluar melihat sikap emban tua itu. Bukan sekedar sikap seorang tua yang bunuh diri. Tetapi kakinya miring, serta lututnya yang merendah sedikit, adalah sikap yang meyakinkan. Karena itulah maka Kuda Sempana itu tertegun sejenak. Ditatapnya perempuan tua itu dengan tajamnya. Dan kemudian terdengar ia menggeram, “Jangan menghalangi aku! Sisa-sisa umurmu itu akan terempas habis bersama kesombonganmu.”
Perempuan itu tidak menjawab. Namun patremnya terangkat setinggi dada mengarah kepada lawannya.
Kuda Sempana menjadi semakin marah karenanya. Dan perempuan itu masih juga menghalanginya.
Namun dalam pada itu, Kuda Sempana itu tidak mengetahuinya, bahkan Ken Dedes pun tidak, bahwa perempuan yang berdiri di hadapannya itu adalah ibu Mahisa Agni. Perempuan itu adalah bekas istri seorang laki-laki yang mendambakan dirinya pada kekuatan-kekuatan kanuragan dan kesaktian. Meskipun perempuan itu belum pernah berguru kepada siapa pun juga, namun untuk menyenangkan hati suaminya, ia telah mencoba untuk mengikuti setiap kesenangan dan kebiasaannya. Bahkan sebelum itu pun ia adalah seorang gadis yang sedang dilanda oleh angan-angan tentang seorang laki-laki yang sakti, yang merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Berjuang untuk menemukan buat bekal hari depannya. Karena itulah maka hidupnya pun selalu diliputi oleh angan-angan yang demikian. Sedikit demi sedikit ia mampu juga untuk menirukan suaminya, dan bahkan mencoba untuk berbuat serupa. Meskipun setiap kali suaminya menertawakannya, namun ia berbuat terus. Mula-mula hanyalah sebuah permainan dalam senda gurau pengantin baru. Namun semakin lama, gerak-gerak itu dipahami pula.
Tetapi bukan itulah yang telah menempa perempuan itu. Sejak ia membuang diri, menjauhi pergaulan manusia karena dosa-dosa yang mengejarnya, maka kemampuan-kemampuan yang tersimpan di dalam tubuhnya itu sedikit demi sedikit terungkapkan. Sekali-kali ia mencoba juga menolong perempuan-perempuan yang ketakutan dikejar-kejar oleh beberapa perampok kecil di perjalanan. Sekali-kali ia mampu juga untuk melindungi dirinya dari segenap bahaya. Waktu itu ia adalah seorang janda muda yang kadang-kadang masih dapat menyalakan hati laki-laki. Dalam masa pembuangan diri itulah, maka perempuan itu menemukan berbagai hal yang mematangkan lahir dan batinnya.
Kini, setelah sekian lamanya, kemampuan-kemampuan yang aneh bagi kebiasaan perempuan itu disimpannya, tiba-tiba seperti bendungan yang pecah, maka terngangalah kesempatan untuk menyalurkannya. Meskipun perempuan itu, sadar, sesadarnya, bahwa Kuda Sempana itu bukan lawannya. Bahwa kekuatannya jasmaniahnya, telah susut. Bukan saja karena umurnya, namun karena ia sama sekali tidak pernah mempergunakannya lagi sejak ia tinggal di padepokan Empu Purwa.
Tetapi kini sebenarnya ia sama sekali memang tidak akan mengalahkan Kuda Sempana, Ia hanya ingin memberi waktu kepada Ken Dedes untuk melarikan dirinya keluar halaman dan bersembunyi di mana saja. Meskipun kemudian dirinya sendiri menjadi korban karenanya, namun ia benar-benar ingin menyelamatkan gadis yang menjadi momongannya itu.
Kuda Sempana yang marah itu, kini sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Karena itu segera ia berteriak, “Minggir! Atau mampus kau perempuan sekarat!”
Tetapi Kuda Sempana itu menjadi kecewa. Ternyata perempuan itu mampu meloncat menghindari serangannya. Bahkan kemudian tangannya yang kecil berkeriput itu terjulur lurus ke lambungnya. Cepat Kuda Sempana mengelakkan ujung patrem yang hampir saja menyengatnya sambil berdesis, “Setan! Kau benar-benar ingin kuremukkan kepalamu.”
Namun perempuan tua itu tidak memedulikannya. Sekali lagi ia bergeser maju sambil memutar patremnya. Dan sekali lagi Kuda Sempana terpaksa bergeser mundur. Timbullah berbagai pertanyaan di dalam dadanya, siapakah gerangan perempuan aneh ini? Setelah sekali dua kali ia melihat geraknya, maka Kuda Sempana dapat meraba-raba bahwa sebenarnya perempuan itu telah mengenal gula ilmu tata bela diri. Karena itu, maka dengan mengumpat-umpat tak habis-habis ia terpaksa melayani.
Tetapi dengan demikian, Kuda Sempana lupa, bahwa satu-satunya pintu bilik itu telah terbuka bagi Ken Dedes. Ketika perkelahian itu berkisar dari tempatnya, maka pada suatu saat Kuda Sempana berdiri bertentangan dengan pintu itu. Kesempatan itulah yang ditunggu-tunggu oleh perempuan tua itu. Seperti orang yang kehilangan kesadaran perempuan itu menyerang sejadi-jadinya. Ternyata tangannya yang kecil itu mampu juga mempermainkan patrem dengan baiknya.
Dalam pada itu, maka ketika Kuda Sempana menjadi agak lupa atas pintu itu, berkatalah perempuan itu, “Nini, tinggalkan ruangan ini!”
“Gila!” teriak Kuda Sempana, “Jangan kau coba!”
Ken Dedes yang terpaku melihat perkelahian itu, seakan-akan tersadar dari tidurnya. Pintu itu kini tidak lagi dihantui oleh bayangan Kuda Sempana. Karena itu, maka dengan serta-merta ia berlari menghambur keluar;
“Ken Dedes!” teriak Kuda Sempana. Namun Ken Dedes berlari terus.
Karena itulah maka perhatian Kuda Sempana menjadi terpecah. Sebagian perhatiannya terikat kepada perkelahian itu, sedang sebagian lagi mengikuti langkah Ken Dedes. Namun Kuda Sempana adalah seorang anak muda yang perkasa. Karena itu segera ia mampu menemukan keseimbangan pikirannya kembali. Perempuan yang menghalanginya itu harus disingkirkan, baru ia akan berlari mengejar Ken Dedes.
Ternyata perempuan itu memang bukan lawan Kuda Sempana. Ia hanya sekedar dapat memancing perhatian Kuda Sempana. Karena itu, ketika Kuda Sempana itu menjadi marah, maka dengan sekali loncat ia berhasil mendesak perempuan itu ke sudut. Kemudian dengan garangnya ia menyerangnya dengan kakinya. Tetapi perempuan tua itu masih juga membela dirinya untuk memberi kesempatan kepada Ken Dedes meninggalkan halaman itu. Karena itu, maka ketika kaki Kuda Sempana terjulur ke arahnya, maka segera ia menarik patremnya menyongsong setangan kaki itu.
Tetapi Kuda Sempana tidak membiarkan kakinya terluka. Cepat ia menarik serangannya, dan dengan cepatnya ia berputar di atas satu kakinya, sedang kaki yang lain segera menyambar tangan perempuan tua yang memegang patrem itu. Namun Kuda Sempana mengumpat. Tangan yang telah kurus itu ternyata masih juga cekatan, sehingga kaki Kuda Sempana tak menyentuhnya.
Demikianlah Kuda Sempana menjadi semakin marah karenanya. Tetapi di samping itu, ia menjadi gelisah pula atas gadis yang melarikan diri. Tetapi kegelisahannya itu telah mendorongnya untuk lebih mempercepat penyelesaian atas perempuan tua itu.
Ken Dedes, yang telah berhasil keluar dari bilik itu, segera berlari ke halaman depan. Maksudnya akan berlari keluar halaman dan bersembunyi di rumah di sekitarnya. Tetapi ketika ia turun dari pendapa, Ken Dedes itu terkejut bukan main. Dilihatnya beberapa orang cantrik terbaring di tanah, dan beberapa orang yang lain mencoba merangkak bangkit. Tetapi Ken Dedes itu lebih terkejut lagi ketika dilihatnya di antara mereka Wiraprana pun yang dengan susah payah berusaha untuk bangkit.,
“Kakang!” teriak Ken Dedes
Wiraprana menggigit bibirnya. Dengan suram ia memandang gadis itu. Desahnya, “Di manakah Kuda Sempana?”
“Di belakang,” sahut Ken Dedes yang dengan serta-merta bersimpuh di sampingnya.
“Kau dapat lepas dari tangannya?”
“Ya. Bibi emban sedang berkelahi melawannya?”
“Emban yang mana?” bertanya Wiraprana heran.
“Emban tua. Pemomongku.”
Wiraprana tidak mengerti akan keterangan itu. Emban tua, pemomong Ken Dedes. Aneh. Tetapi ia tidak sempat untuk bertanya terlalu banyak. Wiraprana itu pun kemudian berpikir tentang nasib Ken Dedes. Karena itu katanya, “Lalu apakah yang akan kau lakukan sekarang.”
“Bersembunyi selagi masih ada kesempatan.”
“Baik. Bersembunyilah di rumah tetangga. Apakah Kuda Sempana akan memasukinya satu demi satu?”
“Ya.”
“Nah. Pergilah.”
Tetapi Ken Dedes tidak segera berdiri, sehingga Wiraprana itu menegurnya, “Pergilah selagi ada kemungkinan.
“Lalu bagaimanakah dengan kau, Kakang?”
“Biarkan aku. Aku tidak apa-apa.”
“Tetapi bagaimanakah nanti kalau Kuda Sempana itu kembali kemari?”
“Biarkan aku. Pergilah. Pergilah secepatnya sebelum Kuda Sempana datang.”
Ken Dedes pun berdiri. Namun ia masih ragu-ragu karenanya. Ia tidak sampai hati meninggalkan Wiraprana yang wajahnya merah biru sedang darah mengalir dari hidungnya.
Wajah yang demikian itu pulalah yang pernah dilihatnya beberapa waktu yang lalu di bendungan. Dan ternyata kini berulang kembali.
“Ken Dedes pergilah cepat. Cepat!”
Ken Dedes itu pun segera melangkah, namun ia sudah terlambat. Dari balik pintu pringgitan muncullah Kuda Sempana berlari-lari.
Ternyata dengan cepat Kuda Sempana telah berhasil mendorong emban tua itu jatuh terbanting. Betapa berat tangan Kuda Sempana itu, sehingga emban yang sudah tua itu tidak mampu untuk segera bangkit kembali. Dengan nafas terengah-engah perempuan itu mencoba untuk bangun, namun tubuhnya terasa seperti tidak bertulang lagi. Meskipun demikian, selagi Kuda Sempana masih tampak di matanya, segera ia melemparkan patremnya, ke arah anak muda itu. Tetapi sama sekali tidak berarti. Sebab dengan cepatnya Kuda Sempana berhasil menghindarinya.
Oleh kemarahan Kuda Sempana yang telah memuncak sampai ke ubun-ubunnya, maka anak muda itu bermaksud membunuh saja emban yang telah mencoba mengganggunya, tetapi segera ia teringat kepada Ken Dedes. Dengan demikian ia menggeram, “He perempuan celaka. Biarlah kau hidup sampai aku berhasil menangkap Ken Dedes.”
Kuda Sempana itu segera meloncat berlari, dan sampai di halaman ia menarik nafas lega. Ia masih melihat Ken Dedes di situ.
Ken Dedes yang melihat kedatangan Kuda Sempana itu kembali menjadi gemetar. Kin tak ada lagi yang dapat diharapkan untuk melindungi dirinya. Karena itu, maka dalam kebingungan ia melangkah terus. Berlari meninggalkan halaman rumahnya. Tetapi Kuda Sempana pun berlari pula mengejarnya. Wiraprana yang masih belum dapat bergerak memandangnya dengan penuh kecemasan. Sehingga karenanya tanpa sesadarnya ia berteriak, “Kuda Sempana. Kau benar-benar telah kepanjingan setan. Kemarilah kalau kau jantan.”
“Mampuslah kau Wiraprana,” sahut Kuda Sempana, “ambil berlari mengejar Ken Dedes.”
Demikian Ken Dedes meloncat keluar dari pintu halamannya, dilihatnya beberapa anak muda berdiri di luar. Dengan serta-merta ia berteriak, “Tolong! Tolonglah aku.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan. Kuda Sempana bukan orang yang dapat mereka lawan. Mereka tidak lebih dari beberapa orang cantrik yang telah terbaring di halaman Empu Purwa itu. Namun meskipun demikian anak-anak muda itu masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Sudah barang tentu mereka tak akan dapat membiarkan seorang gadis dari lingkungannya mengalami nasib yang memedihkan.
Sesaat kemudian muncullah Kuda Sempana dari pintu gerbang itu pula. Ketika ia melihat beberapa anak muda berdiri di hadapannya, maka langkahnya tertegun. Dengan kemarahan yang menyala-nyala ia berteriak, “Apakah yang akan kalian lakukan?”
Tak seorang pun dari anak-anak muda itu yang menjawab. Mereka telah melihat apa yang terjadi di halaman. Tetapi mereka pun tak sampai hati melepaskan Ken Dedes dibawanya. Karena itu mereka masih saja berdiri tegak hampir berhimpitan. Sedang Ken Dedes yang gemetar berdiri di belakang mereka.
Kuda Sempana yang marah itu menjadi semakin marah. Ketika selangkah ia maju, maka anak-anak muda Panawijen itu pun berdesakan mundur. Mereka tidak berani langsung menentang kekerasan yang memancar dari mata Kuda Sempana Itu.
Alangkah kecewanya Ken Dedes melihat kawan-kawannya yang ketakutan itu. Karena itu, maka ia tidak akan dapat menggantungkan dirinya kepada mereka. Sebab ternyata pula, ketika Kuda Sempana maju selangkah lagi, maka mereka pun telah berebut untuk menghindar.
Kuda Sempana yang marah itu pun kemudian berteriak, “Pergi! Pergi. Biarkan aku berbuat menurut kehendakku.”
Anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu. Sekali lagi mereka saling berpandangan. Meskipun demikian, terpancarlah dari wajah-wajah mereka, bahwa mereka sama sekali tidak ikhlas melihat peristiwa itu. Tetapi mereka kurang keberanian untuk mencegahnya. Sebab mereka tahu, siapakah Kuda Sempana itu.
Kuda Sempana itu pun kemudian tidak bersabar lagi. Sekali lagi ia berteriak, “Pergi! Pergi, atau siapakah yang akan mati dahulu di antara kalian? Beberapa orang telah mencoba mencegah kemauanku. Sekarang kalian memperlambat pula. Karena itu, maka kemarahan yang bertumpuk undung di dalam dadaku, akan aku tumpahkan kepada kalian. Siapa yang tidak menuruti kemauanku meninggalkan tempat ini maka merelalah yang akan mati lebih dahulu.”
Anak-anak muda itu menjadi semakin cemas. Kuda Sempana benar-benar akan membunuh mereka yang mencoba menghalangi kemauannya. Tetapi apakah Kuda Sempana itu akan dibiarkannya untuk membawa Ken Dedes pergi.
Ken Dedes yang menggigil di belakang mereka itu menjadi semakin takut. Anak-anak muda Panawijen ternyata kurang memiliki keberanian. Karena itu ia berbisik dengan suara gemetar, “Tolonglah aku, Tolonglah.”
Sesaat ketika anak-anak muda itu mendengar suara Ken Dedes, mereka menjadi iba, dan seolah-olah mereka pun segera akan melindunginya. Namun apabila terpandang oleh mereka itu mata Kuda Sempana, maka kembali hati mereka keriput.
Kuda Sempana yang marah itu pun kemudian berkata, “Aku akan melangkah langsung mengambil gadis itu. Mingggir,atau siapa yang masih berdiri di hadapanku akan aku binasakan.”
Kuda Sempana tidak menunggu apapun lagi. Selanglah ia maju, dan anak-anak muda itu pun mundur pula. Ketika Kuda Sempana maju lagi, mereka pun mundur lagi selangkah. Dan ketika langkah Kuda Sen paria menjadi semakin cepat, maka tiba-tiba mereka itu pun menyibak.
“Tolong, tolonglah aku!” jerit Ken Dedes. Namun anak-anak muda itu telah menyibak, seakan-akan sengaja memberi jalan kepada Kuda Sempana untuk langsung dapat menangkap Ken Dedes.
Ken Dedes menjadi bertambah ketakutan. Terbayanglah peristiwa yang mengerikan akan menimpanya. Karena itu tanpa malu-malu ia mengguncang-guncang tubuh seorang anak muda yang berdiri di dekatnya, “Cegahlah, cegahlah. Aku tidak mau! Aku tidak mau!”
Hati anak muda itu pun terguncang pula. Alangkah ibanya kepada gadis itu. Tetapi ia tidak mau mati. Karena itu ia menjadi ragu-ragu.
Dalam pada itu Kuda Sempana melangkah terus. Setiap langkah yang diayunkan, terasa seakan-akan sebuah tusukan sembilu di dada Ken Dedes. Sekali lagi ia mencoba menjerit sambil mengguncang-guncang tubuh anak muda yang berdiri di hadapannya, “Aku tidak mau! Aku tidak mau!”
Tetapi pemuda itu tidak berani menatap nyala yang memancar dari mata Kuda Sempana. Karena itu, maka ia pun kemudian bergeser mundur.
Pada saat yang demikian, pada saat Ken Dedes menjadi berputus asa, serta pada saat anak-anak muda Panawijen kehilangan akal, maka mereka dikejutkan oleh suara derap kuda yang menggema di padukuhan itu. Suaranya gemeretak seperti suara guruh yang sahut menyahut berputaran.
Kuda Sempana terkejut mendengar derap kuda itu. Sesaat langkahnya tertegun. Diangkatnya wajahnya dan dicobanya untuk mengetahui, dari manakah arah suara itu.
Terasa sesuatu bergetar di dada anak muda itu. Sekilas tebersit gambaran anak muda yang bernama Mahisa Agni. “Tidak mungkin,” katanya di dalam hati, “anak itu berjalan kaki. Kalau ia tergesa-gesa pulang, secepatnya tengah malam nanti ia akan sampai.” Kemudian katanya pula di dalam hatinya itu, “Seandainya anak muda itu datang, maka aku sekarang tidak akan gentar lagi untuk menghadapnya.”
Meskipun demikian Kuda Sempana itu menjadi gelisah pula. Ketika tampak di matanya anak-anak muda Panawijen itu pun menjadi terkejut dan memerhatikan suara derap kuda itu, maka terdengar ia berteriak, “Minggir, cepat!”
Namun sebelum Kuda Sempana meloncat menangkap Ken Dedes, maka terasa sesuatu berdesir di dalam hatinya. Dari tikungan dilihatnya seekor kuda meluncur secepat anak panah yang lepas dari busurnya. Debu putih mengepul berhamburan di belakang kaki-kaki kuda itu. Dan ketika Kuda Sempana melihat penunggangnya, jantung serasa berhenti berdenyut.
“Mahisa,” Agni desisnya.
Anak muda itu adalah Mahisa Agni. Hatinya tersirap ketika ia melihat beberapa orang berkerumun di muka gerbang halaman rumah gurunya. Kudanya yang berlari kencang itu dicambuknya sehingga seakan-akan kuda itu terbang.
Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Segera ia sampai di antara anak-anak muda yang berkerumun itu. Dengan sekuat tenaga ditariknya kekang kudanya, sehingga kuda itu meringkik sambil tegak di atas kedua kaki belakangnya. Demikian kuda itu menjejakkan kaki depannya, demikian Mahisa Agni meloncat turun.
Yang mula-mula terdengar adalah suara Ken Dedes menjerit, “Kakang. Kakang Mahisa Agni!”
Sebelum Kuda Sempana sempat menangkapnya, gadis itu meloncat berlari ke arah Mahisa Agni. Gadis yang ketakutan dan hampir berputus asa itu, dengan serta-merta memeluk tubuh Mahisa Agni sambil memuntahkan segenap himpitan perasaan di dalam dadanya. Ken Dedes itu menangis seperti kanak-kanak.
Ketika tersentuh olehnya tubuh Mahisa Agni, yang dianggapnya sebagai kakak kandungnya itu, maka terasa seakan-akan ia telah menemukan perlindungan. Sebagai anak ayam yang bersembunyi dibalik sayap induk ketika seekor elang mengintainya, demikianlah apa yang dilakukan oleh Ken Dedes itu.
Kuda Sempana menyaksikan perbuatan itu dengan gigi yang gemeretak. Matanya yang menyala karena kemarahan yang membakar dadanya. seakan-akan hendak meloncat dari pelupuknya. Sehingga kemudian terdengar ia menggeram parau, “Ken Dedes. Ikutlah aku!”
Ken Dedes tidak mendengar kata-kata itu. Ia baru tenggelam ke dalam tangisnya yang menyesakkan dadanya. Namun Mahisa Agnilah yang mendengar kata-kata itu. Karena itu didorongnya Ken Dedes perlahan-lahan ke samping sambil berkata, “Minggirlah, Ken Dedes, biarlah anak muda itu aku layani.”
Ken Dedes mendengar kata-kata Mahisa Agni itu sebagai suatu peringatan, bahwa di belakangnya bahaya masih selalu mengintainya. Karena itu, maka segera dilepaskannya tangannya, dan bergeser menepi.
Kini Mahisa Agni itu berdiri dengan kokohnya menghadap ke arah Kuda Sempana yang telah bersiap pula. Dari wajah2-wajah mereka, terbayang kemarahan yang telah memuncak.
Sesaat mereka hanya berdiri raja saling berpandangan. Meskipun tak sepatah kata pun yang terloncat dari bibir mereka, namun dari mata mereka telah memancar perasaan dendam, benci dan segala macam.
Suasana pun segera meningkat menjadi semakin tegang. Seakan-akan tanah tempat mereka berpijak itu telah menyala.....
Dalam keheningan yang membara itu terdengar suara Mahisa Agni berat, “Apa yang telah kau lakukan di sini Kuda Sempana?”
Kuda Sempana memandang Ken Dedes sesaat, kemudian jawabnya, “Tak usah kau bertanya., kau sudah dapat menebaknya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Katanya, “Hem. Masih juga kau ulangi niatmu yang gila itu?”
“Sebelum aku berhasil, maka aku tak akan berhenti berusaha. Hanya orang-orang kerdil sajalah yang melupakan cita-citanya.”
“Kuda Sempana. Untuk yang terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Urungkan niatmu. Kau akan dapat mencari gadis yang tak kalah cantiknya di Tumapel.”
“Gila. Kau jangan mengigau Mahisa Agni. Kau sangka nilai seorang gadis sama dengan nilai seekor ayam aduan? Yang dapat dipilih di pasar-pasar atau di kalangan adu jago? Agni aku mau menilai gadis yang aku kehendaki seperti aku menilai jiwaku sendiri.”
“Aku menghormati penilaian itu,” sahut Mahisa Agni, “tetapi kau tidak berpijak atas nilai timbal balik. Kau menilai dirimu dan nyawamu sendiri. Tetapi pernahkah kau bertanya kepadanya, kepada Ken Dedes, bagaimana ia menilai dirimu?”
Kuda Sempana diam sesaat. Kemarahannya kini menjadi semakin memuncak. Dan karena itulah maka matanya menjadi makin merah membara.
Dihentak Kuda Sempana itu pun terbayang kembali peristiwa beberapa waktu yang lampau di pinggir kali. Mahisa Agni itu pula yang telah menggagalkan usahanya. Dan kini anak muda itu telah berdiri di hadapannya pula dalam persoalan yang sama.
Tetapi beberapa waktu yang lampau Kuda Sempana bukan Kuda Sempana yang sekarang. Kini ia telah menempa dirinya menjadi seorang yang jarang dicari bandingnya. Kini di dalam dirinya telah tersimpan kekuatan- kekuatan yang beberapa waktu yang lampau diungkapkannya.
Karena itu, menyadari keadaan diri, maka tiba-tiba Kuda Sempana itu tertawa. Suaranya terdengar aneh, di antara kemarahan yang menggelegak sampai ke kepalanya dan penghinaan terhadap setiap orang yang tidak menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Kuda Sempana. Dan disela-sela suara tertawanya itu terdengar ia berkata, “He, Mahisa Agni, Apaknya kau berbangga atas kemenanganmu beberapa saat yang lampau di pinggir belumbang di bendungan. Huh. Kau sangka bahwa aku sedemikian bodohnya untuk kembali lagi ke Panawijen masih dalam tataranku yang dahulu? Sebenarnya aku tidak ingin menunjukkan bahwa Kuda Sempana mampu memaksakan kehendaknya atas siapa saja. Tetapi ternyata kau tidak menyadari keadaanmu. Karena itu, maka aku masih akan mencoba untuk mencegah peristiwa-peristiwa yang semakin buruk terjadi di sini.”
“Peristiwa itu tidak akan terjadi kalau kau dapat mengerti perasaan orang lain, Kuda Sempana. Kalau dapat mengerti perasaan anak-anak muda Panawijen, dan kalau kau dapat mengerti perasaan Ken Dedes sendiri,” sahut Mahisa Agni.
“Hem,” Kuda Sempana menggeram, “apakah kau benar-benar tidak mau melihat kenyataan tentang dirimu dan diriku?”
“Aku belum melihat kenyataan itu.”
“Baiklah,” berkata Kuda Sempana dengan suara parau. Kemudian matanya yang merah itu menjadi semakin membara, “Apakah aku harus membunuhmu?”
“Aku adalah kakak Ken Dedes. Kalau kau akan mengambilnya dengan bertaruh nyawa, maka aku pun akan mempertahankannya dengan taruhan yang sama.”
“Bagus!” teriak Kuda Sempana. Selangkah ia maju dan tiba-tiba anak muda itu bersiap untuk menyerang.
Beberapa anak muda yang melihat sikap itu segera berdesakan mundur. Mereka tidak mau tersentuh oleh kekuatan-kekuatan yang tidak dapat mereka duga sebelumnya. Karena itu maka lebih baik mereka menyingkir sejauh-jauhnya.
Kuda Sempana menjadi bangga melihat anak-anak muda sebayanya, kawan-kawannya bermain semasa mereka masih kanak-kanak sampai menginjak dewasa itu menjadi sedemikian takutnya melihat sikapnya yang garang. Tetapi ia menjadi sangat marah ketika ia melihat Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya. Berdiri tegak seakan 2 tidak lagi dapat digoyahkan oleh kekuatan apapun.
Mahisa Agni pun telah bersiap sepenuhnya. apapun yang akan terjadi. Dengan penuh kewaspadaan anak muda itu siap mempertahankan kehormatan keluarga gurunya.
“Tetapi apakah karena itu?” tiba-tiba tersembul pertanyaan di dalam hati Mahisa Agni itu sendiri, “hanya karena mempertahankan kehormatan keluarga gurunya?”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Dengan tanpa disadarinya ia menggelengkan kepalanya untuk mengusir kebimbangan yang merayap di hatinya. Justru pada saat ia telah siap untuk mempertaruhkan nyawanya.
Perasaan yang pernah menghunjam melukai jantungnya itu masih saja sering mengganggunya. Dan kali ini pun perasaan itu mengusiknya pula. Bukankah Ken Dedes itu bukan saudaramu? Bukan pula gadis yang dapat mengerti perasaanmu? Kalau kemudian terjadi bencana atas dirinya, kenapa kau mempertaruhkan nyawamu untuknya?
Mahisa Agni itu pun kemudian mengatupkan giginya rapat-rapat. Dicobanya untuk menindas semua perasaan yang simpang siur di kepalanya. Dan ketika sekali lagi terpandang olehnya Kuda Sempana yang telah siap melontarkan serangan itu, maka Mahisa Agni pun segera bergeser setapak.
Kuda Sempana melihat keragu-raguan yang membayang di wajah Mahisa Agni. Karena itu ia berkata, ” Agni, apakah kau mempunyai pertimbangan lain?”
Pertanyaan itu justru semakin membakar hati anak muda itu. Justru semakin membulatkan tekadnya untuk mempertahankan Ken Dedes itu.
“Persetan! Apapun sebabnya,” teriaknya di dalam hatinya untuk menindas segala perasaan yang mencoba untuk mengabulkan tekadnya.
Karena itulah maka terdengar Mahisa Agni itu menjawab, “Ya. Aku menjadi ragu-ragu. Apakah aku sebaiknya membunuhmu atau tidak.”
Kuda Sempana yang marah itu menggeram, “Jangan terlalu sombong!”
Mahisa tidak menjawab. Tetapi ia siap menunggu serangan sudah hampir terlontar.
Sebenarnya Kuda Sempana pun tidak menunggu Mahisa Agni menjawab. Secepat kilat anak muda itu melontarkan sebuah serangan ke arah dada Mahisa Agni. Namun Mahisa Agni pun telah siap pula menanti serangan itu, sehingga dengan cepatnya pula ia sempat menghindarinya.
Kuda Sempana menyadari bahwa serangannya yang pertama itu pasti tidak akan dapat mengenai lawannya, karena itu, secepatnya pula ia menyerang berganda. Tetapi Agni pun tidak kalah tangkasnya, sehingga serangan- serangan itu tak mengenai sasarannya.
Namun untuk seterunya Mahisa Agni tidak saja membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan-serangan Kuda Sempana. Sekali ia berputar dan untuk seterusnya maka dengan garangnya ia pun melancarkan serangan pula.
Demikianlah maka kini mereka berdua terlibat dalam suatu perkelahian yang seru. Masing-masing telah dibakar oleh kemarahan, dan masing-masing telah bertekad untuk mempertaruhkan nyawa mereka. Karena itu, maka serangan-serangan mereka pun meluncur tanpa pengendalian.
Kuda Sempana yang merasa dirinya telah mendapatkan bekal yang cukup, bertempur dengan penuh kebanggaan diri. Setiap kali ia menyangka bahwa lawannya akan segera jatuh terjerembab dan dengan demikian ia akan segera berhasil membawa Ken Dedes pergi. Tetapi setiap kali pula ia menjadi kecewa, sebab lawannya mampu untuk menghindari setiap serangan-serangan mautnya. Bahkan semakin lama, Kuda Sempana itu menyadari, bahwa lawannya kali ini, meskipun kekuatannya sendiri telah jauh melampaui masa-masa yang lewat, namun yang dihadapinya itu pun bukan Mahisa Agni yang dahulu.
Beberapa kali Kuda Sempana mengumpat di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Mahisa Agni itu pun memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuannya.
Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin cepat, sehingga, kemudian mereka seakan-akan menjadi luluh dalam sebuah putaran yang membingungkan. Yang dilihat oleh anak-anak muda Panawijen itu adalah sebuah pusaran yang kalut. Hanya beberapa kali mereka melihat bentuk-bentuk Mahisa Agni dan Kuda Sempana, namun sesaat kemudian mereka telah meloncat dan melontar berputaran, sehingga yang tampak hanyalah semacam gumpalan debu yang hitam putih bercampur baur.
Kuda Sempana itu ternyata benar-benar memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Tangannya yang tangkas dan cepat bergerak menyambar-nyambar seperti sayap sepasang garuda yang berlaga di udara. Namun lawannya adalah seekor burung rajawali yang tangkas. Itulah sebabnya, maka keduanya kemudian menjadi seolah-olah dua ekor burung raksasa yang sedang bertempur, berebut sakti untuk merajai kerajaan langit yang terbentang dari kaki langit ke kaki langit di seputar bumi.
Tetapi semakin seru mereka bertempur, maka semakin nyata bahwa Kuda Sempana menjadi sangat heran. Mahisa Agni itu seakan-akan bahkan menjadi semakin segar, dan tenaganya bertambah-tambah. Kuda Sempana mengharap ia akan segera dapat mengakhiri perkelahian itu. Namun harapannya itu ternyata tak akan dapat dihayatinya. Kuda Sempana sama sekali tidak tahu, bahwa Mahisa Agni itu pun baru saja kembali dari sebuah perjalanan yang berat. Perjalanan yang memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menempa dirinya. Menyadap kesempurnaan ilmu yang dimiliki oleh gurunya. Meskipun kesempurnaan yang dimilikinya adalah kesempurnaan yang tidak sempurna. Sebab tidak ada sesuatu yang sempurna di permukaan bumi ini. Yang tampak maupun yang tidak tampak. Yang sempurna hanyalah Yang Maha Sempurna.
Mahisa Agni menyadari sepenuhnya hal ini, sebagaimana gurunya mengatakan kepadanya. Karena itu, maka Mahisa Agni selalu menyadari pula, bahwa tidak ada ilmu yang tak dapat dilampaui. Yang paling sakti akan dikalahkan pula oleh yang lain, dan yang lain itu pun akhirnya akan jatuh pula. Sedang mereka yang terlalu cepat menepuk dada, maka ialah yang paling cepat akan jatuh ke dalam jurang yang paling dalam. Dan mereka yang tidak menyadarinya, maka alangkah pahit hidupnya.
Itulah sebabnya Mahisa Agni tidak menyombongkan dirinya. Ia bertempur dengan hati-hati. Setiap kali ia berusaha untuk mengetahui letak kekuatan lawannya dan baru dalam saat-saat yang pasti ia menyerangnya. Ia tidak berani menduga, apakah ilmunya jauh lebih baik dari ilmu lawannya, sebab tidak mustahil bahwa lawannya memiliki Kunci untuk menghancurkan ilmunya. Tetapi Mahisa Agni bertempur dengan tabah. Ia tidak takut apapun yang terjadi, namun ia tidak mengharap untuk dikalahkan oleh lawannya. Karena itu, maka ia tidak kehilangan kewaspadaan.
Sehingga dengan demikian, maka Kuda Sempana yang dikendalikan oleh nafsunya yang meluap-luap, dihambari oleh kepercayaan kepada diri yang berlebih-lebihan, maka ia pun cepat menjadi cemas. Ketika ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya, maka ia menjadi gelisah.
Justru karena kegelisahannya itu, maka tandangnya pun menjadi semakin kehilangan pengamatan. Sekali-sekali Kuda Sempana telah membuat kesalahan-kesalahan kecil, sehingga Mahisa Agni yang cermat itu segera dapat mempergunakan kesempatan itu. Kelemahan-kelemahan yang betapapun kecilnya, akan dapat dipergunakan oleh lawannya dalam perkelahian yang demikian. Dan kesalahan-kesalahan kecil itu pulalah yang sering membawa mereka ke dalam suatu bencana yang besar.
Beberapa kali terasa oleh Kuda Sempana tangan lawannya telah berhasil menerobos pertahanannya. Meskipun sentuhan-sentuhan itu belum merupakan bahaya yang sebenarnya, namun bahwa beberapa kali lawannya berhasil menembus ilmunya adalah merupakan suatu pertanda yang kurang menyenangkan.
Tetapi lambat laun Kuda Sempana itu menyadari pula keadaannya. Akhirnya ia merasa, bahwa Mahisa Agni benar-benar mampu melawannya, bukan karena ia lengah. Bukan karena Kuda Sempana itu belum menumpahkan segenap ilmunya. Namun Mahisa Agni benar-benar telah memiliki ilmu tata bela diri yang setidak-tidaknya menyamainya.
Sekali terdengar Kuda Sempana itu menggeram. Dahulu ia menjadi sangat marahnya, dan dipergunakannya sebilah keris untuk mencoba membunuh Mahisa Agni. Tetapi kali ini Kuda Sempana sama sekali tidak ingin mempergunakan sebilah keris. Ia meyakinkan bahwa tangannya akan mampu meremukkan tulang belulang lawannya, melampaui sebuah tusukan keris. Karena itulah, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada menumpahkan kemarahannya dalam ilmunya yang paling utama.
Karena itu, maka Kuda Sempana itu pun meloncat mundur. Direntangkannya kedua tangannya, kemudian dengan cepat ia melenting ke udara, untuk sesaat kemudian bersiap dalam sikap yang teguh kuat seperti gunung yang siap untuk meledak.
Mahisa Agni terkejut melihat sikap itu. Sesaat segera ia teringat kepada cerita Pasik tentang Kuda Sempana. Karena itu maka segera ia pun bersiap. Dari bibirnya itu terdengar ia berdesis, “Kala Bama.”
Kuda Sempana terkejut mendengar desis itu. Mahisa Agni dapat menyebut dengan tepat nama ilmu yang akan dipergunakannya.
Tetapi Kuda Sempana tidak sempat mengetahui dari mana Mahisa Agni mendengar nama Kala Bama itu. Dan Kuda Sempana pun tidak sempat memikirkan hal itu.
Mahisa Agni telah pernah membenturkan diri dengan Aji Kala Bama itu. Karena itu, ketika ia melihat sikap Kuda Sempana yang siap melontarkan kesaktiannya, maka Mahisa Agni pun segera membentengi dirinya. Tidak saja ia mempertahankan namun karena kemarahan yang telah memuncak pula, maka Mahisa Agni itu pun bersiap untuk membentur aji lawannya dengan ajinya sendiri, Gundala Sasra.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu segera memusatkan segenap kekuatan lahir batin. Disilangkannya tangannya di muka dadanya, dan pada lututnya ia merendahkan dirinya sedikit. Terasa getaran di dadanya cepat mengalir ke segenap tubuhnya dan ke telapak tangannya. Getaran-getaran yang sudah dikenalnya. Dan kini getaran-getaran itu terasa semakin mudah dikuasainya. Sehingga waktu yang diperlukannya untuk mempersiapkan diri menjadi semakin pendek pula.
Sesaat kemudian, ketika Kuda Sempana siap mengayunkan aji pamungkasnya, maka Mahisa Agni pun telah bersiap sepenuhnya pula untuk melawannya. Karena itu, demikian ia melihat Kuda Sempana meloncat mengayunkan tangannya, maka Mahisa Agni pun segera melontar pula menyongsong serangan Kuda Sempana.
Untuk kedua kalinya, terjadilah benturan yang dahsyat antara Aji Kala Bama dan Aji Gundala Sasra. Benturan antara dua kekuatan yang tiada taranya. Dan seperti yang pernah terjadi, maka kali ini pun keduanya mengalami dorongan yang terasa seperti ledakan Gunung Merapi.
Mahisa Agni terlontar beberapa langkah surut, sekali ia terguling dan dengan mata yang berkunang-kunang ia mencoba mengawasi keadaan lawannya.
Kuda Sempana pun terlempar pula. Dengan kerasnya ia terbanting wajahnya yang merah menyala, tiba-tiba menjadi putih pucat. Sesaat ia memejamkan matanya untuk memusatkan segenap sisa-sisa kekuatan yang ada padanya, untuk menjaga dirinya, supaya tidak kehilangan kesadaran.
Demikianlah anak-anak muda Panawijen melihat sesuatu yang belum dilihatnya selama hidup mereka. Mereka tidak tahu lagi, bagaimana mereka harus menilai pertempuran itu. Beberapa di antara mereka berloncatan mundur pada saat terjadi benturan antara dua kekuatan raksasa itu. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa sesadarnya telah menekan dada sendiri. Seakan-akan dadanyalah yang telah terbentur oleh kekuatan aji yang dahsyat itu. Beberapa orang menjadi ngeri. Dengan telapak-telapak tangan mereka menutupi wajah masing-masing.
Namun sesaat kemudian mereka menarik nafas ketika mereka melihat Mahisa Agni telah bangkit dan berdiri bertelekan kedua lututnya. Tetapi sesaat yang pendek, Mahisa Agni itu pun telah tegak kembali. Terasa pula kini padanya,bahwa ada kelebihan kekuatan dari Aji Gundala Sasra dibandingkan dengan Kala Bima, sehingga karena itulah maka keadaan Mahisa Agni masih lebih baik dari keadaan Kuda Sempana.
Meskipun demikian Kuda Sempana yang keras hati itu perlahan-lahan dapat juga menguasai dirinya kembali. Ketika ia membuka matanya dan dilihatnya Mahisa Agni masih tegak berdiri dengan garangnya terdengar anak itu menggeram.
Dengan susah payah Kuda Sempana itu pun memaksa dirinya untuk berdiri. Betapa sakit isi dadanya, namun dengan mengatupkan giginya rapat-rapat ia mencoba menahan perasaan itu.
Dengan nafas terengah-engah Kuda Sempana kemudian mampu juga untuk bangkit dan mencoba berdiri. Betapa lemahnya tubuh yang kesakitan itu, namun akhirnya Kuda Sempana itu pun berbasil tegak pula di atas kedua kakinya yang gemetar. Dengan mata yang menyala ia memandang Mahisa Agni tanpa berkedip, sedang Mahisa Agni pun memandangnya dengan nyala kemarahan di hatinya. Karena itu, maka ketika nafasnya telah teratur kembali, terdengar suaranya bernada rendah, “Kuda Sempana Kesempatan terakhir bagi kita masing-masing. Kau atau aku yang binasa.”
Kuda Sempana menggeram. Kalau Mahisa Agni menyerangnya pada saat ia masih dalam keadaan itu, maka sudah pasti ia tidak akan mampu untuk melawannya. Karena itu, maka ia mencoba untuk mendapatkan waktu sejenak, mengatur jalan pernafasan dan mengurangi perasaan sakit yang menyengat-nyengat segenap tubuhnya.
Ketika Mahisa Agni itu bergeser setapak, maka Kuda Sempana itu berkata, “Hem, Agni. Dari mana kau tahu, bahwa aku sedang menyiapkan aji Kala Bama?”
Mahisa Agni memandang Kuda Sempana dengan seksama. Kemudian jawabnya, “Apakah pedulimu, dari mana aku tahu nama itu?”
Kuda Sempana menggigit bibirnya. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara gemetar di samping mereka, “Sudahlah Anakmas. Jangan bertengkar lagi.”
Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang yang berdiri dengan ragu-ragu di antara anak-anak muda Panawijen. Seorang yang bertubuh tinggi kekar, namun wajahnya membayangkan kecemasan yang membakar dirinya. Orang itu adalah Ki Buyut Panawijen.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan berat terdengar suaranya, “Ki Buyut. Kuda Sempana telah berbuat untuk kedua kalinya. Apakah kita masih akan memberi kesempatan kepadanya untuk berbuat untuk ketiga kalinya?”
Buyut Panawijen itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian kembali terbayang di wajahnya kecemasannya atas nasib padukuhannya. Ia tahu benar siapa Kuda Sempana itu. Ia melihat anak muda itu bertempur melawan Mahisa Agni. Dan ia melihat benturan ilmu yang dahsyat itu. Karena itu, maka Buyut Panawijen itu telah membuat perhitungan tersendiri. Kalau Kuda Sempana itu binasa di padukuhannya, maka apakah kawannya akan tetap berdiam diri, dan apakah guru serta saudara-saudara seperguruannya juga akan tetap berdiam diri. Seandainya mereka itu mencoba menuntut balas, maka apakah Mahisa Agni dapat melindungi padukuhan itu dari bencana.
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat melihat kemungkinan itu. Kuda Sempana adalah seorang yang keras kepala. Karena itu maka katanya, “Ki Buyut. Beberapa saat yang lampau,anak muda itu telah mendapat kesempatan pula. Ki Buyut pada waktu itu telah memberinya peringatan, sedang Empu Purwa pun saat itu memaafkannya. Tetapi kini ternyata ia datang kembali selagi rumah ini kosong, Empu Purwa tidak ada dan aku pun tidak ada. Untunglah aku segera kembali sebelum terlambat sekali.”
Buyut Panawijen mengerutkan keningnya. Ia dapat mengerti sepenuhnya pendapat Mahisa Agni itu. Tetapi sekali lagi ia dicemaskan oleh peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa ini.
Mahisa Agni yang melihat keragu-raguan itu membayang di wajah Ki Buyut Panawijen, berkata, “Ki Buyut. Persoalan ini bukan persoalan penduduk Panawijen dengan Kuda Sempana. Tetapi jadikanlah persoalan ini persoalan antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni. Kalau Akuwu Tumapel merasa perlu untuk mengusut dan menghukum orang yang telah mencederai Kuda Sempana, biarlah Mahisa Agni menjalani hukuman itu.”
Dada Kuda Sempana berdesir mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Apakah yang akan dilakukan Mahisa Agni atasnya? Namun dibiarkannya Mahisa Agni dan Ki Buyut itu berbicara. Ia mencoba mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ditenangkannya hatinya diperasnya segenap kemampuan yang ada dalam dirinya untuk memulihkan kekuatannya. Dan ternyata kekuatan Kuda Sempana itu lambat laun menjadi bertambah baik, meskipun nyeri-nyeri masih terasa menyengat-nyengat bagian dalam dadanya, serta pedih-pedih di kulitnya.
Dalam pada itu Ki Buyut Panawijen berkata pula, “Apakah yang akan Angger lakukan atas Angger Kuda Sempana?”
“Aku akan menangkapnya, membawanya kepada Sang Akuwu. Apakah Sang Akuwu tidak akan mengambil sesuatu tindakan atas orangnya yang bersalah?” sahut Mahisa Agni.
Sekali lagi Kuda Sempana berdesir. Kalau benar Mahisa Agni berhasil menangkapnya dan membawanya kepada Akuwu Tunggul Ametung, maka akibatnya sama sekali tak akan dapat diduga. Mungkin ia akan mendapat pengampunan dan hanya akan mendapat peringatan. Namun apabila hati Akuwu itu sedang gelap, maka tidak mustahil seketika itu juga, perutnya akan disobek dengan pusakanya. Akuwu itu mempunyai sifat-sifat yang aneh. Yang tak dapat disangka-sangka dan diperhitungkan. Sehingga karena itulah maka ada di antara naraprada yang terlalu setia kepadanya, namun ada juga yang menyimpan dendam di dalam hatinya.
Mendengar jawaban Mahisa Agni itu. Buyut Panawijen mengerutkan keningnya. Kalau demikian, maka apakah ia tidak akan terbawa pula. Setidak-tidaknya akan menjadi saksi? Buyut Panawijen adalah seorang yang hampir sepanjang hidupnya, hidup dalam suasana yang tenteram damai. Hampir sepanjang jabatannya ia tidak pernah menjumpai persoalan-persoalan yang mengharuskannya berhadapan dengan Akuwu Tumapel.
Pada saat Buyut Panawijen itu berbimbang hati maka tiba-tiba ia terkejut melihat Wiraprana dengan wajah yang merah biru tertatih-tatih keluar dari halaman Empu Purwa. Demikian Wiraprana itu melihat Mahisa Agni, maka dengan serta-merta ia berkata, “Hem. Syukurlah kau sudah datang Agni.”
Mahisa Agni berdesir melihat wajah yang biru lebam itu. Agaknya Wiraprana pun telah berjuang mati-matian. Namun keadaannya tidak memungkinkan untuk mencegah perbuatan Kuda Sempana itu.
Dalam pada itu terdengarlah Ki Buyut Panawijen bertanya kepada anaknya itu, “Wiraprana, apakah yang telah terjadi?”
“Seperti yang Ayah lihat. Untuk kedua kalinya aku hampir mati dibunuh oleh Kuda Sempana. Apabila ada kesempatan, Kuda Sempana pasti akan membunuhku dalam pertikaian yang ketiga.”
Mendengar kata-kata anaknya itu, maka mau tidak mau dada Buyut Panawijen itu terguncang pula, Agaknya apa yang dikatakan anaknya itu benar-benar dapat terjadi. Kuda Sempana benar-benar tidak mau melepaskan maksudnya untuk mendapatkan Ken Dedes yang sudah dipertunangkan dengan anaknya itu. Karena itu, maka kini Buyut Panawijen itu terpaksa mengambil beberapa bebahu baru untuk memperhitungkan setiap kemungkinan.
Dengan wajah yang tegang, maka sekali lagi ia memandangi Kuda Sempana, Mahisa Agni dan anaknya berganti-ganti. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian kembali ia menjadi bingung.
Kuda Sempana yang berdiri tegak seperti patung itu, Kini telah mendapat waktu untuk sedikit mendapatkan kekuatannya kembali
Namun disadarinya, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan Mahisa Agni. Ternyata Mahisa Agni pun telah mendapatkan kekuatan-kekuatan baru, sehingga ia mampu melawan Aji Kala Bama, dan bahkan dapat melampauinya. Karena itu, maka sesaat ia menjadi bimbang pula. Apakah ia masih harus melawannya? Dengan demikian, maka hampir pasti bahwa Mahisa Agni akan berhasil menangkapnya.
Ketika Kuda Sempana itu masih sibuk mempertimbangkan setiap kemungkinan, terdengarlah Mahisa Agni menggeram, “Ki Buyut yang bijaksana. Serahkan semua persoalan kepadaku, dan serahkan semua pertanggungan jawab kepadaku. Kuda Sempana harus mendapat hukuman yang wajar. Tidak di Panawijen, tetapi di Tumapel. Sehingga meyakinkan kita, bahwa untuk seterusnya ia tidak akan membuat kegaduhan kembali.”
Buyut Panawijen itu masih bimbang sesaat, namun kemudian tampaklah ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi belum sepatah kata pun yang terloncat dari mulutnya. Semua orang yang berdiri di sekitarnya menjadi tegang. Semua memandang kepada orang tua itu Dalam ketegangan itu terdengar suara Wiraprana, “Apakah Ayah masih ingin melihat perkelahian dan keributan di Panawijen ini? Atau Ayah ingin melihat setan itu kelak membunuh aku?”
Ki Buyut Panawijen itu mengangkat wajahnya. Seakan-akan ada yang dicarinya di antara awan yang mengalir dihanyutkan oleh pegunungan yang lembut. Orang tua itu menarik nafas ketika dilihatnya segerombolan burung terbang melintas di atas kepalanya
Burung itu kemudian seperti lenyap ditelan kebiruan langit di atas cakrawala.
Hati orang tua itu berdesir. Dari arah yang lain Buyut Panawijen melihat seekor alap-alap terbang ke arah burung yang bergerombol itu. Kalau burung alap-alap itu kemudian menyambar salah seekor burung yang bergerombol itu, maka tak ada seekor pun yang akan berani mencoba mencegah dan melawannya. Bersama-sama pun tidak, karena Burung alap-alap itu jauh lebih kuat dari burung-burung itu.
Orang-orang yang berdiri mengitari Mahisa Agni masih tegak seperti patung ,Agak jauh dari mereka berdiri dengan tegangnya Kuda Sempana yang terpelanting karena benturan aji masing-masing. Sedang Ki Buyut Panawijen masih saja ragu-ragu mengambil keputusan.
Dalam kekakuan suasananya itu, sekali-kali Kuda Sempana mengerling ke segenap sudut. Ia sedang berpikir untuk mencoba mencari jalan yang akan dapat menyelamatkannya. Kalau ia bertempur sekali lagi, maka ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat melawan Mahisa Agni. Apalagi kalau beberapa orang membantu Mahisa Agni untuk menangkapnya.
Sementara itu Mahisa Agni sedang menunggu dengan gelisahnya, apa yang akan dikatakan oleh Ki Buyut Panawijen. Bagaimanapun juga, Mahisa Agni harus tetap menghormati keputusannya sebagai seorang tetua dari padukuhan itu, sedang anaknya, yang wajahnya biru lebam itu, hampir-hampir tidak sabar menunggunya.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba terjadilah sesuatu yang sama sekali tidak mereka sangka. Kuda Sempana itu tiba-tiba meloncat dengan sisa-sisa tenaga yang ada padanya, berlari kencang meninggalkan orang yang sedang kebingungan itu. Sesaat tak seorang pun yang bergerak diri tempatnya. Mereka terkejut melihat sikap Kuda Sempana. Yang mula-mula menyadari keadaan itu adalah Mahisa Agni. Tanpa menghiraukan apapun lagi, Mahisa Agni itu segera berlari mengejarnya.
Tetapi dada anak muda murid Empu Purwa itu segera berdesir tajam. Kuda Sempana yang memiliki kelebihan beberapa kejap serta jarak beberapa langkah itu ternyata berlari menuju ke kuda Mahisa Agni yang sedang sibuk makan dedaunan di pagar-pagar dan rerumputan liar di tepi-tepi jalan.
“Kuda Sempana!” teriak Mahisa Agni, “Manakah kejantananmu itu?”
Kuda Sempana tidak memedulikannya. Ia berlari sekuat tenaga yang masih ada padanya. Dan sebelum Mahisa Agni berhasil menangkapnya, anak muda itu telah meloncat ke atas punggung kuda.
“Kuda Sempana!” teriak Mahisa Agni sekali lagi.
Tetapi Kuda Sempana tidak menghiraukannya lagi. Cepat-cepat ditariknya kendali kudanya, dan dengan sebuah sentuhan pada perutnya, maka larilah kuda itu menghambur seperti angin.
Meskipun demikian Kuda Sempana itu masih sempat berteriak nyaring, “Mahisa Agni. Sekali akan datang waktunya, aku membalas semua sakit hatiku kepadamu, kepada penduduk Panawijen, kepada semuanya.”
“Licik!” teriak Mahisa Agni. Dengan serta ia meraih sebutir batu dan dilemparkannya kepada Kuda Senapan. Namun kuda yang dinaiki oleh anak muda itu sudah semakin jauh. Meskipun demikian batu itu masih juga mengenai tengkuk Kuda Sempana.
“Setan!| desis Kuda Sempana. Terasa tengkuknya menjadi sakit. Tetapi ia sudah semakin jauh dan Mahisa Agni itu tidak akan dapat menyusulnya lagi.
Mahisa Agni kini berdiri tegak seperti sebuah tonggak yang membeku. Wajahnya membara karena kemarahannya, sekali-sekali terdengar ia menggeram. Dipandanginya debu yang mengepul tinggi yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berlari seperti dikejar hantu.
Nafas Mahisa Agni itu pun terasa berkejaran lewat lubang hidungnya. Terdengar giginya gemeretak di antara suaranya yang menggeram seperti harimau yang sedang marah.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba ia mendengar Wiraprana berteriak, “Agni! Di halaman rumah ini ada seekor kuda. Kuda yang tadi dipakai oleh Kuda Sempana.”
Mahisa Agni terkejut Segera ia berpaling sambil bertanya, “Adakah seekor kuda di halaman?”
“Ya,” sahut Wiraprana.
Namun Mahisa Agni kemudian menjadi kecewa kembali. Ia telah kehilangan beberapa waktu. Kuda yang tadi dinaikinya adalah kuda yang luar biasa. Dengan seekor kuda yang lain. apakah ia akan mampu mengejar Kuda Sempana? Kalau Kuda Sempana itu sampai di Tumapel lebih dahulu, maka ia tidak akan dapat mencarinya. Apalagi kalau Kuda Sempana itu bersembunyi di dalam istana. Karena itu dengan penuh kekecewaan yang mencengkam dadanya akhirnya ia berkata, “Tidak ada gunanya. Kuda itu sudah terlalu jauh.”
“Kuda itu baik dan tegar. Kuda yang biasa dipakai oleh Kuda Sempana,” jawab Wiraprana
Sekali lagi sekilas harapan Mahisa Agni untuk menyusul anak muda itu. Kuda itu adalah kuda yang tegar seperti yang dilihatnya di Tumapel. Karena itu, maka Mahisa Agni itu meloncat tanpa berkata sepatah kata pun langsung masuk ke halaman. Dan. dilihatnya kuda itu masih berdiri di sana.
Dengan tangkasnya Mahisa Agni itu segera meloncat ke atas punggungnya, dan dengan tergesa-gesa ditariknya kekang kuda itu. Sesaat kemudian kuda itu pun segera meloncat pula berlari. Sambil memacu kudanya Mahisa Agni berteriak, “Hati-hatilah di rumah. Aku akan mengejar Kuda Sempana sampai ke manapun. Aku tak akan kembali sebelum aku menyelesaikan pekerjaan ini.”
Tak seorang pun sempat menjawab. Kuda yang dinaikinya itu pun ternyata kuda yang sangat baik. Karena itu, maka kuda itu berlari lepas seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
Mereka yang menyaksikan perlombaan berkuda itu menahan napas mereka. Mereka melihat peristiwa demi peristiwa seperti di dalam mimpi, sehingga untuk beberapa saat mereka terpesona dan diam mematung di tempat masing-masing.
Mahisa Agni yang telah dibakar oleh kemarahannya itu memacu kudanya secepat angin. Tetapi disadarinya pula bahwa kuda yang dipakai oleh Kuda Sempana itu pun kuda yang baik pula, sebaik kuda yang dipakainya. Karena itu, maka kemungkinan untuk dapat menyusulnya adalah kecil sekali. Tetapi meskipun Mahisa Agni tidak akan dapat menyusulnya, namun ia akan pergi ke Tumapel, mencari kesempatan untuk bertemu dengan anak muda itu. Mahisa Agni sudah tidak memperhitungkan lagi, apa yang dapat terjadi atas dirinya seandainya Kuda Sempana mengerahkan beberapa orang kawan untuk melawannya. Namun ia yakin, bahwa ia berada di pihak yang benar. Karena itu, maka Akuwu Tumapel pasti akan menghukum Kuda Sempana kalau ia mempunyai kesempatan untuk menyampaikannya, atau Akuwu itu dapat mendengar dari siapa pun.
“Kalau aku tidak dapat menemui Kuda Sempana atau menghadap Akuwu, maka aku akan mencoba minta pertolongan Witantra,” katanya di dalam hati, “anak muda itu pun seorang yang agak dekat pula dengan Akuwu.”
Mendapat cara yang dianggapnya baik itu, Mahisa Agni semakin mantap. Kudanya berpacu melewati jalan-jalan berdebu. Dilihatnya kemudian di hadapannya terbentang padang rumput Karautan.
“Apakah Kuda Sempana juga melewati padang itu?” pertanyaan itu timbul di dalam hatinya, “Kalau ia memilih jalan lain, lewat Talrampak misalnya, maka ada kemungkinan bagiku untuk menyusulnya sebelum ia sampai ke Tumapel.”
Tetapi Mahisa Agni menjadi kecewa. Ia melihat telapak kuda yang baru menghunjam dalam-dalam di muka kaki kudanya menjelujur ke arah yang ditempuhnya pula,
“Hem,” geramnya, “anak itu lewat padang ini pula.”
Karena itu Mahisa Agni menjadi kecewa. Harapannya untuk menyusul Kuda Sempana menjadi semakin tipis. Tetapi ia tidak berputus asa. Kini ia tidak menempuh jalan setapak yang dilewati Kuda Sempana. Dipotongnya arah menerobos padang rumput itu dan dilewatinya gerumbul-gerumbul kecil yang bertebaran di sana-sini.
“Mudah-mudahan aku berhasil,” gumamnya.
Kuda yang dipakai Mahisa Agni itu sebenarnya adalah kuda yang sangat baik. Betapa lincahnya kuda itu menghindari rintangan-rintangan yang berada di hadapannya. Dengan tangkas kuda itu meloncati gerumbul-gerumbul kecil dan lubang-lubang yang digali oleh air hujan.
Ketika kemudian Mahisa Agni telah melampaui padang itu, serta diikutinya pula jalan yang meninggalkan padang rumput itu, dilihatnya jauh di hadapannya debu yang naik ke udara.
“Itulah!” gumamnya, “Mudah-mudahan aku tidak kehilangan Kuda Sempana kali ini.”
Meskipun kudanya itu telah berlari sekencang angin, namun Mahisa Agni merasa seakan-akan kuda itu merangkak saja dengan malasnya. Berkali-kali dilecutinya kuda itu dengan ujung kekangnya. namun masih saja terasa bahwa kuda itu berlari terlalu lamban.
Beberapa orang yang bekerja di sawah-sawah mereka, memandangnya dengan penuh pertanyaan di dalam hati. Apakah sedang ada perlombaan berpacu kuda?
Para petani itu saling berpandangan satu sama lain. Tetapi tak seorang pun yang tahu, apakah yang sedang dilakukan oleh anak-anak muda yang memacu kudanya seperti takut dikejar hantu.
“Anak-anak muda memang kadang-kadang aneh,” gumam salah seorang dari mereka, “mereka memacu kudanya seperti dikejar setan. Apakah mereka tidak takut seandainya kudanya itu tergelincir dan terguling?”
Tetapi sesaat kemudian kembali mereka melakukan pekerjaan mereka Dua anak muda yang berpacu berturut-turut itu tentu akan menjadi bahan pembicaraan mereka nanti di gardu-gardu atau di banjar-banjar desa.
Mahisa Agni sama sekali tidak menghiraukan apa yang telah dilewatinya. Matanya tertancap pada debu yang keputih-putihan yang seakan-akan merayap dengan cepatnya di jalan-jalan berdebu di hadapannya Tetapi Mahisa Agni itu menjadi kecewa karena jarak di antara mereka tidak menjadi semakin pendek.
Kuda Sempana yang berpacu di muka itu pun telah memperhitungkan kemungkinan, bahwa Mahisa Agni akan mempergunakan kudanya untuk mengejarnya. Karena itu sejak loncatan pertama kudanya telah dipacunya secepat mungkin. Dan Kuda Sempana itu menjadi. berbesar hati, karena ternyata kuda yang dipakainya itu pun merupakan kuda yang tidak kalah kuatnya dari kudanya sendiri.
Ketika Kuda Sempana itu kemudian menengadahkan wajahnya maka ia pun tersenyum. Setelah ia berpacu beberapa lama, maka di langit seakan-akan terbentang cahaya yang suram dan di bumi mulailah gelap merayap dari kaki-kaki bukit, merambat ke puncaknya. Namun sesaat Kuda Sempana masih melihat debu mengepul jauh di belakangnya. Dan disadarinya bahwa Mahisa Agni sedang mengejarnya. Tetapi apabila malam tiba, maka kesempatannya untuk melepaskan diri menjadi semakin besar.
Mahisa Agni menjadi sengat kecewa ketika malam datang meskipun perlahan-lahan. Warna keputih-putihan yang mengepul di hadapannya menjadi semakin lama semakin kabur. Dan akhirnya Mahisa Agni kehilangan kesempatan untuk dapat melihat debu yang dilemparkan oleh kuda yang dipakai oleh Kuda Sempana itu.
“Hem,” Mahisa Agni menggeram. Tetapi kemudian ia bergumam, “Kalau aku tidak dapat menemukannya malam ini, biarlah aku menunggu sampai besok atau lusa. Kalau aku menunggunya di alun-alun maka suatu waktu aku pasti akan melihatnya keluar atau memasuki istana Akuwu.”
Karena itu Mahisa Agni tidak berhenti berpacu. Ia mengharap seandainya ada sesuatu yang menghambat perjalanan Kuda Sempana maka ia akan mendapat kesempatan itu.
Tetapi Kuda Sempana berjalan tanpa hambatan. Kudanya berlari dengan kencangnya menuju ke kota kebanggaannya, di mana ia mendapat kesempatan yang baik di dalam hidupnya. Tumapel. Dan Tumapel itu semakin lama semakin dekat.
Itulah sebabnya, maka kembali Kuda Sempana tersenyum. Ketika ia berpaling, dilihatnya di belakangnya warna hitam yang kelam.
Karena itulah maka hati Kuda Sempana menjadi semakin besar. Maka kini dapatlah dipastikan, bahwa kali ini ia akan dapat menghindarkan diri dari Mahisa Agni.
“Kali ini aku masih kalah Agni,” katanya di dalam hati, “tetapi aku akan datang kembali membawa kemenangan. Ternyata aku tidak akan berhasil memetik bunga itu. Karena itu, maka biarlah angin yang lebih kencang menggugurkannya.”
Sementara itu, Mahisa Agni benar-benar kehilangan jejak buruannya. Ketika malam menjadi semakin kelam, ia tidak tahu lagi, ke mana Kuda Sempana melarikan diri. Apalagi ketika Kuda Sempana telah mematuki kota. Berpuluh-puluh jalan simpang yang dapat ditempuhnya. Dan berpuluh-puluh pintu yang dapat dimasukinya.
Karena itu, maka ketika kuda Mahisa Agni memasuki gerbang kota Tumapel, maka segera ia memperlambat jalan kudanya. Ia takut kalau derap kaki kuda itu akan mengejutkan setiap orang yang tinggal sebelah menyebelah jalan yang dilewatinya. Meskipun demikian, hati Mahisa Agni menjadi sangat kecewa. Serta ia menjadi bingung, ke mana ia harus pergi.
Yang mula-mula tersirat di dalam hatinya adalah rumah Witantra. Orang itu belum banyak dikenalnya, namun dalam waktu yang pendek ia mendapat kesan, bahwa anak muda itu adalah anak muda yang jujur meskipun agaknya terlalu keras memegang ketetapan. Ketetapan yang berlaku dalam tata pergaulannya sebagai seorang prajurit, ketetapan yang berlaku di dalam tata pergaulannya sehari-hari di luar lingkungan keprajuritan dan bahkan ketetapan-ketetapan yang dibuatnya di dalam hatinya sendiri.
Tetapi tak ada orang lain yang dapat disinggahinya di Tumapel. Di kota itu belum banyak orang-orang yang dikenalnya dengan baik. Ada satu dua orang sahabat-sahabat gurunya, tetapi sahabat-sahabat gurunya itu pun belum begitu mengenalnya. Karena itu, maka tak ada yang dapat ditempuhnya selain pergi ke rumah Witantra itu. Kecuali ia akan mendapat tempat untuk bermalam apabila anak muda itu tidak berkeberatan, maka banyak hal-hal yang dapat ditanyakannya kepadanya tentang Kuda Sempana dan tentang Akuwu Tumapel.
Maka dengan agak ragu-ragu akhirnya Mahisa Agni pergi juga ke rumah Witantra.
Meskipun malam belum terlalu dalam, namun rumah itu sudah tampak sepi. Karena itu maka Mahisa Agni menjadi semakin ragu-ragu. Di muka regol halaman dihentikannya kudanya, dan perlahan-lahan kuda itu dituntunnya masuk ke halaman.
Tetapi Mahisa Agni melihat nyala pelita yang terang di pringgitan rumah itu. Karena itu ia menjadi gembira. Agaknya penghuni rumah itu ada di rumahnya.
Dengan, hati-hati Mahisa Agni mengetuk pintu depan, dan terdengarlah sebuah sapa dari dalam, “Siapa?”
“Aku, Wiraprana,” sahut Agni.
“He?” terdengar seseorang terkejut mendengar jawaban Agni. Sesaat kemudian terdengar pula langkah seseorang membuka pintu.
Ketika pintu itu terbuka, Mahisa Agni melihat Witantra berdiri di muka pintu sambil menatapnya.
“Kau,” desis Witantra terkejut.
“Ya,” sahut Mahisa Agni, “aku datang kembali.”
“Mari, masuklah,” Witantra itu mempersilakan.
Mahisa Agni itu pun kemudian masuk ke dalam pringgitan. Dengan membungkukkan badannya ia memberi hormat kepada dua orang perempuan yang kemudian berdiri dan
membalas anggukan kepala itu.
“Silakan,” berkata perempuan yang tua, “kami akan ke belakang.”
Mahisa Agni itu pun kemudian duduk bersama Witantra. Ternyata kedua perempuan itu adalah ibu dan istrinya.
Dengan penuh keheranan Witantra itu pun kemudian bertanya, “Kenapa kau cepat kembali? Apakah kau terlambat datang?”
Mahisa Agni menggeleng. “Tidak. Aku datang kembali untuk menyampaikan terima kasihku kepadamu. Karena pertolonganmu, mala aku masih sempat menggagalkan maksud Kuda Sempana itu.”
“Syukurlah,” gumam Witantra, “sebenarnya kuda itu tidak terlalu tergesa-gesa. Aku masih memiliki yang lain.”
“Terima kasih,” sahut Agni. Namun kemudian diceritakan apa yang telah terjadi, dan dikatakannya pula, bahwa kuda yang dibawanya adalah kuda milik Kuda Sempana.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. “Bukan main,” gumamnya, “anak itu benar-benar keras kepala.”
“Witantra,” berkata Mahisa Agni kemudian, “aku ingin mendapatkan nasihatmu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan atas anak muda itu. Apakah aku harus menyampaikannya kepada Akuwu Tunggul Ametung atau aku harus menemuinya sendiri?”
Witantra menggelengkan kepalanya. “Sulit,” desisnya, “Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang aneh. Aku adalah pengawalnya yang hampir setiap hari bergaul. Namun aku masih belum juga mengenal sifat-sifatnya dengan baik. Akuwu itu adalah seorang yang ramah dan baik hati, namun ia adalah seorang yang kejam dan kasar.”
Witantra itu berhenti sesaat, dan Mahisa Agni pun menundukkan kepalanya. Direnungkannya setiap kemungkinan yang dapat ditempuhnya. Tetapi ia tidak menemukan cara apapun yang dianggapnya baik. Tanpa sesadarnya tiba-tiba terloncat dari mulutnya, “Tetapi aku harus mencegahnya untuk mengulangi perbuatannya.”
“Ya,” sahut Witantra, “kau benar.”
“Tetapi bagaimana?”
Witantra itu pun kemudian berdisain diri pula. Karena itu, maka pringgitan itu menjadi sepi. Lampu minyak yang menyala tersangkut di dinding di atas gelodok melemparkan sinar kemerah-merahan. Lidahnya yang seolah-olah melonjak-lonjak telah mencetak bayangan yang hitam dan bergerak-gerak.
Witantra itu kemudian mengangkat wajahnya sambil berkata, “Besok Akuwu akan berburu. Aku telah mendapat perintah untuk mengikutinya.”
“Berburu?” bertanya Mahisa Agni, “ke mana?”
Witantra itu tidak segera menjawab. Ia memang tidak tahu ke mana Akuwu akan berburu. Sehingga sejenak kemudian katanya, “Akuwu Tunggul Ametung tidak pernah merencanakan, ke mana akan berburu. Apabila rombongan telah bersiap, barulah Akuwu bertanya kepada para pengiringnya, ke mana sebaiknya mereka pergi. Namun kadang-kadang Akuwu sendiri menentukan arah perjalanan rombongan itu. Karena itulah maka sampai sekarang aku belum tahu ke mana besok aku akan pergi.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia belum tahu apakah hubungannya dengan keperluannya mencegah perbuatan Kuda Sempana seterusnya. Baru kemudian setelah Witantra itu berkata, ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Wiraprana,” berkata Witantra, “kau besok bisa tinggal di sini selama aku pergi. Biasanya Kuda Sempana ikut pula mengantarkan Akuwu, sehingga dengan demikian, aku akan dapat selalu mengawasinya. Dengan demikian maka kita mempunyai waktu sehari untuk memikirkan persoalanmu itu. Apabila besok Kuda Sempana tidak ikut, biarlah aku memberitahukan kepadamu, dan segeralah pulang ke Panawijen.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mengucapkan terima kasih kepada Witantra itu. Kemudian katanya, “Aku selalu mengganggumu dengan pekerjaan-pekerjaan yang menjemukan.”
Witantra menggeleng, jawabnya, “Kita saling memerlukan dalam setiap kesempatan. Aku tahu, bahwa Kuda Sempana telah melakukan kesalahan. Karena itu aku harus membantu mencegah kesalahan-kesalahan berikutnya, meskipun aku tidak dapat berbuat secara langsung. Sebab dengan demikian akan dapat menimbulkan keretakan dalam lingkungan istana. Setidak-tidaknya antara aku dan Kuda Sempana yang kedua-duanya hamba-hamba istana."