Panasnya Bunga Mekar Jilid 28

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
“Sehingga karena itu, kami di Kabanaran benar-benar mengalami kesulitan.”

“O. Apakah tidak ada jalan lain untuk mengatasinya?” bertanya Akuwu di Watu Mas.

“Sulit sekali. Apalagi sekarang.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Bagaimana dengan sekarang?” bertanya Akuwu di Watu Mas itu pula.

“Di daerah hutan perbatasan terdapat segerombolan perampok yang telah menambah kesulitan kehidupan penduduk di daerah Kabanaran.” jawab Akuwu Suwelatama.

Akuwu di Watu Mas mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Itu adalah beban yang wajar. Kita yang sudah sanggup menjadi pemimpin atas satu kesatuan tempat, maka kita harus berani mempertanggungjawabkan.” Akuwu di Watu Mas itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sudahlah. Marilah kita berbicara tentang keluarga. Mungkin kita dapat mengenang silsilah kita. Mungkin kakangmas mempunyai keperluan keluarga yang lain yang akan kakangmas bicarakan di sini?”

Akuwu Suwelatama tersenyum. Katanya, “Anak-anakmu sudah memanjat masa remaja.”

“Ya, kakangmas.” jawab Akuwu di Watu Mas.

“Sayang. Di Kabanaran banyak anak-anak remaja menjadi korban keganasan para perampok. Bukan karena mereka dirampok. Tetapi entah karena pengaruh apa sebagian dari mereka berada di dalam lingkungan para perampok.”

“Ah,” potong Akuwu di Watu Mas, “kenapa kakangmas selalu berbicara tentang perampok saja?”

“Maaf. Tetapi persoalan itu sangat menarik bagiku. Justru karena para perampok itu telah mempersatukan persoalan di antara kita.” berkata Akuwu Suwelatama.

“Sudahlah,” jawab Akuwu di Watu Mas, “jangan berbicara tentang hal-hal yang dapat mendirikan bulu-bulu tengkuk. Sekali lagi aku mohon, kakangmas berbicara tentang masalah lain saja.”

“Mungkin kita akan dapat melakukannya, adimas. Kita dapat berbicara tentang sesuatu yang menyenangkan. Tetapi tentu tidak bagi anak-anak yang sedang menjelang remaja. Kekisruhan-kekisruhan yang dapat timbul karena tingkah laku para perampok tentu akan sangat berpengaruh terhadap anak-anak remaja seperti putera-putera adimas ini.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Ah, kakangmas berbicara tentang sesuatu yang menggetarkan jantung. Aku mohon kakangmas jangan berbicara tentang perampok.” berkata Akuwu di Watu Mas.

“O,” desis Akuwu Suwelatama, “aku mohon maaf. Tetapi justru karena aku melihat sorot mata putera-putera adimas yang bening dan tidak mengenal dosa,” jawab Akuwu Suwelatama, “sementara itu dosa telah terjadi di mana-mana. Dosa dalam segala bentuknya. Apakah hal itu tidak terasa pada adimas?”

Akuwu di Watu Mas menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah dengan sengaja menerima Akuwu Suwelatama di antara keluarganya. Meskipun terasa agak janggal juga, karena Akuwu Suwelatama datang dengan pengawalnya yang ternyata ikut bersama Akuwu diterima di antara keluarga Akuwu di Watu Mas.

Tetapi agaknya Akuwu Suwelatama yang menyadari cara penerimaan itu tidak mengurungkan niatnya untuk berbicara tentang daerah perbatasan.

Bahkan katanya kemudian, “Adimas. Adalah kebetulan sekali bahwa adimas telah menerima kami dengan sangat akrab karena kami telah adimas anggap sebagai keluarga sendiri. Dengan demikian aku dapat berbicara dengan adimas sebagai seorang saudara tua. Aku ingin memperingatkan, bahwa putera-putera adimas ada dalam bahaya.”

Wajah Akuwu di Watu Mas menjadi merah. Apalagi ketika ia melihat kecemasan membayang di wajah isterinya. Di wajah permaisuri Akuwu di Watu Mas.

“Kakangmas,” tiba-tiba suara Akuwu di Watu Mas itu bergetar, “aku tidak bermaksud berbicara tentang hal-hal yang terjadi di Kabanaran. Karena hal seperti itu tidak terdapat dan tidak akan terjadi di Watu Mas. Marilah kita berbicara tentang persoalan-persoalan lain.”

“Adimas,” berkata Akuwu Suwelatama, “aku datang justru akan merasa, bahwa kita adalah keluarga yang masih dekat bukan saja sesuai dengan jalur keturunan, tetapi letak Pakuwon kita yang berbatasan. Karena itu aku ikut merasa bertanggung jawab terhadap kemanakan-kemanakanku di sini. Meskipun umurku mungkin lebih muda dari adimas, tetapi darah yang mengalir di dalam tubuhku ternyata lebih tua dari adimas. Karena itulah maka aku khusus datang untuk memberitahukan bahwa perampok di hutan perbatasan itu menjadi semakin garang. Pada masa terakhir, sasaran mereka lebih banyak terarah kepada Pakuwon Watu Mas dari pada Pakuwon Kabanaran.”

“Tidak,” potong Akuwu di Watu Mas, “kakangmas jangan menakuti keluargaku. Apalagi anak-anakku.”

“Bukan menakut-nakuti, adimas,” jawab Akuwu Suwelatama, “tetapi untuk waktu yang tidak lama lagi, mereka akan ikut bertanggung jawab atas pemerintahan di Pakuwon Watu Mas ini.”

“Sudahlah, kakangmas.” Akuwu di Watu Mas menjadi marah. Namun di hadapan isteri dan anak-anaknya ia masih berusaha untuk menahan diri. Namun kemudian katanya kepada permaisurinya, “Nampaknya kakangmas Akuwu Suwelatama kurang dapat mengendalikan diri. Karena itu, biarlah aku menerimanya sendiri, agar kau semuanya tidak terpengaruh oleh sikapnya yang sangat berhati-hati. Kecemasannya tentang keadaan yang tidak sesuai sama sekali dengan kenyataan yang telah terjadi, membuat Pakuwon Kabanaran diliputi oleh ketakutan.”

Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya kepada permaisuri Akuwu di Watu Mas, “Aku mohon maaf. Orang tua selalu sangat berhati-hati menghadapi keadaan.”

“Tetapi kakangmas lebih muda dari kami.” desis permaisuri itu.

“Kecemasan tidak mengenal kemudaan.” sahut Akuwu di Watu Mas.

Akuwu Suwelatama tidak menjawab lagi. Sejenak kemudian maka permaisuri dan anak-anak Akuwu di Watu Mas itu pun telah meninggalkan pertemuan itu.

“Maaf, adimas,” berkata Akuwu Suwelatama, “aku memang ingin berhadapan dengan adimas.”

Tetapi Akuwu di Watu Mas menjawab, “Tidak ada yang dapat kita bicarakan. Aku sebenarnya ingin mempergunakan cara yang lebih halus untuk menghindarkan pembicaraan ini. Tetapi kakangmas justru bersikap kasar terhadap isteri dan anak-anakku.”

“Aku hanya mengingat kepentingan rakyatku di sekitar hutan perbatasan.” sahut Akuwu Suwelatama, “Semua pembicaraan aku tujukan untuk kepentingan mereka. Tentu adimas mengetahuinya.”

“Aku sudah menerima laporan dari perbatasan,” jawab Akuwu di Watu Mas, “tidak ada apa-apa di sana. Karena itu, jangan memaksa aku untuk berbicara tentang pembatasan. Segala sesuatu yang menyangkut perbatasan telah diatur dalam paugeran-paugeran. Jika kakangmas tidak melanggar paugeran itu, maka tidak akan timbul persoalan.”

“Tetapi dalam hubungan dengan para perampok itu timbul masalah lain adimas,” sahut Akuwu Suwelatama, “para perampok itu berada di daerah Watu Mas.”

“Jangan membuat persoalan.” berkata Akuwu di Watu Mas itu, “Sudahlah. Aku akan menjamu kakangmas dan para pengawal kakangmas itu.”

“Aku memerlukan ketegasan sikapmu, adimas. Aku telah melakukan satu tugas yang sangat berat di Kedung Sertu. Ternyata bahwa di dalam sarang para perampok itu terdapat harta benda yang tidak ternilai harganya. Karena itu, jika adimas bersedia bersikap tegas terhadap para perampok itu, mungkin harta benda yang telah banyak dari yang aku ketemukan di Kedung Sertu itu akan dapat memberikan manfaat bagi Pakuwon ini.”

“Kakangmas memang sering aneh-aneh saja.” jawab Akuwu di Watu Mas. Lalu, “Sudahlah. Aku tidak ingin berbicara. Aku akan dengan senang hati menerima kakangmas sebagai keluarga. Lebih dari itu tidak.”

“Jangan bersikap demikian, adimas,” berkata Akuwu Suwelatama, “seharusnya kita mencari jalan, apa yang dapat kita lakukan untuk kepentingan kita bersama. Jika adimas menutup pintu bagi pembicaraan, maka persoalan kita akan semakin meningkat, bukannya mendapat jalan pemecahan.”

“Tidak ada persoalan yang pantas dibicarakan. Bukankah sudah aku katakan?” jawab Akuwu di Watu Mas.

Akuwu Suwelatama menjadi semakin gelisah menghadapi Akuwu Watu Mas yang keras hati itu. Bahkan seolah-olah telah menutup sama sekali pintu pembicaraan.

Karena itu, maka Akuwu Suwelatama itu pun berkata, “jika demikian, adimas, aku kira tidak ada jalur yang lebih baik untuk memecahkan persoalan ini selain lewat kekuasaan di Kediri, selebihnya Singasari.” Akuwu Suwelatama berhenti sejenak, lalu, “Aku memang tidak mempunyai jalan lain. Jika aku langsung memasuki tlatah Watu Mas untuk menangkap para perampok, maka aku telah melakukan kesalahan. Tetapi jika tidak, maka Watu Mas menjadi pancatan untuk melakukan kejahatan di tlatah Kabanaran.”

“Jangan membuat fitnah seperti itu,” potong Akuwu di Watu Mas, “tetapi adalah licik sekali jika kakangmas pergi ke Kediri dan apalagi ke Singasari. Seperti anak-anak yang tumbak cucukan. Seolah-olah kita tidak dapat menyelesaikan persoalan kita sendiri.”

“Tetapi cara itu adalah cara yang paling aman bagi rakyat kita.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Tidak ada gunanya, kakangmas. Kakangmas tidak akan dapat menunjukkan kepada orang-orang Kediri bahwa aku sudah melanggar paugeran. Mungkin orang-orang Singasari yang sekarang berada di Pakuwon Kabanaran itukah yang akan menjadi saksi pelanggaran yang sudah aku lakukan?”

Akuwu Suwelatama memandang Mahisa Bungalan yang berada bersama para pengawalnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu kepadanya.

“Kakangmas,” berkata Akuwu di Watu Mas, “aku berpegang teguh kepada sumpah jabatanku sebagai Akuwu di dalam kekuasaan Kediri dan kemudian Singasari. Aku tidak akan melanggar kekuasaan wilayah Pakuwon ku dan apalagi menginjak Pakuwon tetanggaku. Termasuk Pakuwon Kabanaran.”

“Kau berpegang pada paugeran resmi.” jawab Akuwu Suwelatama, “Tetapi apakah bukan satu pelanggaran jika kau membiarkan tanahmu menjadi landasan para perampok yang berbuat jahat di Pakuwonku?”

“Semuanya itu omong kosong,” berkata Akuwu di Watu Mas, “kakangmas akan mencari alasan untuk memiliki seluruh hutan di perbatasan itu, karena hutan itu ternyata menyimpan kayu cendana, kayu beledok dan kayu-kayu yang menghasilkan getah yang mahal lainnya.”

“Adimas,” potong Akuwu Suwelatama, “aku justru tidak mengerti, bahwa di hutan itu terdapat jenis-jenis kayu yang berharga.”

“Sudahlah,” berkata Akuwu di Watu Mas, “tidak ada waktu bagiku untuk berbincang tentang sesuatu yang tidak ada artinya. Karena itu, jika kakangmas masih ingin berada di rumahku, silahkan mengatakan apa saja tetapi tidak menyangkut jabatan kita masing-masing.”

Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kedatanganku menyangkut persoalan yang lebih penting dari berbincang tentang makanan dan minuman. Ketahuilah adimas, di antara orang-orang yang aku sebut sebagai pengawalku, memang terdapat seorang yang kau anggap sebagai orang Singasari itu.”

Akuwu di Watu Mas mengerutkan keningnya, sementara Akuwu Suwelatama berkata, “Yang masih muda di antara mereka itu adalah Mahisa Bungalan.”

“O,” Akuwu di Watu Mas mengangguk-angguk, “aku tidak berkeberatan ia berada di sini. Justru ia menyaksikan sendiri, apa yang kakangmas lakukan ini.”

“Kedatanganku memang agak terlambat, adimas,” berkata Akuwu Suwelatama kemudian, “semula aku memilih untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di Kedung Sertu. Karena aku menganggap bahwa persoalan di hutan perbatasan itu akan lebih mudah diselesaikan dengan pertolongan adimas. Namun ternyata aku salah. Apalagi setelah hadir di Pakuwon ini Pangeran Indrasunu.”

“Pangeran Indrasunu.” ulang Akuwu di Watu Mas, “Apa salahnya ia berada di sini? Bukankah ia masih keluarga kita? Aku menerimanya seperti aku menerima kakangmas. Tidak lebih dan tidak kurang.”

“Kau tahu persoalan yang timbul antara aku dan Pangeran Indrasunu?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Aku pernah mendengarnya. Tetapi itu bukan persoalanku. Aku tidak akan mencampurinya.” jawab Akuwu di Watu Mas.

“Aku justru berpendapat, bahwa kehadirannya di sini telah memperkeras sikapmu, adimas,” berkata Akuwu Suwelatama, “karena itu, sebaiknya kita berbicara dengan terbuka. Aku memang memerlukan pertolonganmu. Cukup dengan janjimu.”

Akuwu di Watu Mas tertawa. Katanya, “Aku bukan anak-anak yang dapat kau bujuk kakangmas. Ijinku berarti aku menyerahkan hutan itu seluruhnya ke tangan kakangmas.”

“Tuduhan itu terlalu keji. Aku sama sekali tidak ingin melakukannya,” jawab Akuwu Suwelatama, “justru untuk meyakinkan, aku datang kemari. Mungkin memang perlu dibuat satu perjanjian yang pasti.”

Tetapi Akuwu di Watu Mas menggeleng. Katanya, “Tidak ada yang perlu dibicarakan.”

Wajah Akuwu Suwelatama menjadi tegang. Sekilas dipandanginya Mahisa Bungalan yang menjadi berdebar-debar. Kemudian Akuwu itu pun berkata, “Nampaknya usaha Pangeran Indrasunu berhasil. Baiklah. Aku sudah berusaha untuk memecahkan persoalan ini. Jika pembicaraan ini gagal bukan salahku. Tetapi mungkin justru itulah yang kau kehendaki atas bujukan Pangeran Indrasunu.”

“Jangan mimpi,” potong Akuwu di Watu Mas, “aku mempunyai sikap tersendiri. Aku bukan bayangan Pangeran Indrasunu meskipun aku baik terhadapnya.”

Jantung Mahisa Bungalan menjadi semakin berdegup. Ia mempunyai persoalan tersendiri dengan Pangeran Indrasunu, sehingga karena itu, maka persoalan yang hampir padam itu telah menyala kembali di hatinya.

Tetapi ia tidak ingin ikut serta dalam pembicaraan itu justru karena ia merasa, mungkin sekali ia tidak akan dapat menahan hati lagi.

Dalam pada itu, maka Pangeran Suwelatama berkata, “Adimas. Nampaknya Adimas sudah berkeras pada tekad adimas. Baiklah. Aku mempunyai saksi seorang prajurit Singasari. Jika kemudian pembicaraan ini meningkat ke tataran yang lebih tinggi, maka aku dapat mengatakan, bahwa aku telah berusaha.”

“Apapun yang hendak kakangmas lakukan, aku persilahkan.” jawab Akuwu di Watu Mas. “Yang penting aku tidak melakukan pelanggaran. Dengan demikian aku tidak akan dapat dituduh mendahului persoalan yang mungkin timbul antara Kabanaran dan Watu Mas.”

“Kau memang cerdik,” jawab Akuwu Suwelatama, “tetapi baiklah. Usahaku untuk berbicara nampaknya telah gagal. Tetapi berbicara bukan cara satu-satunya. Sudah aku katakan, mungkin aku dapat meningkatkan persoalan ini ke tataran yang lebih tinggi. Tetapi mungkin aku akan mencari jalan sendiri.”

Tetapi Akuwu di Watu Mas itu tertawa. Katanya, “Kakangmas memang pandai mengancam. Tetapi jangan menyangka bahwa ancaman kakangmas itu akan dapat menggetarkan sehelai bulu rambutku.”

Jantung Akuwu Suwelatama rasa-rasanya hampir meledak. Tetapi ia masih tetap menghormati tatanan yang berlaku. Karena itu, maka ia masih tetap tersenyum. Bahkan katanya, “Sejak semula aku kagum atas ketabahan hati adimas menghadapi segala macam persoalan. Tetapi aku juga mengagumi betapa adimas sama sekali tidak bergetar hatinya melihat penderitaan hidup rakyat di sekitar hutan perbatasan.”

“Kakangmas memang aneh,” berkata Akuwu di Watu Mas, “yang mengalami kesulitan adalah orang-orang di Kabanaran. Bukan orang-orang di Watu Mas. Justru karena kakangmas tidak segera dapat mengatasi keadaan di Kabanaran, kakangmas ingin mencari sumber kesalahan Watu Mas.”

Rasa-rasanya jantung Akuwu Suwelatama tidak dapat bertahan lagi. Justru karena itu, maka agar tidak terjadi sesuatu yang tidak dikehendakinya Akuwu Suwelatama itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Tidak ada lagi yang dibicarakan. Sebenarnya kedatanganku ini juga ingin bertemu dengan adimas Indrasunu. Tetapi nampaknya adimas sudah berusaha untuk mencegah pertemuan yang demikian.”

“Kenapa aku harus mencegahnya?” bertanya Akuwu di Watu Mas, “Seandainya sekarang Pangeran Indrasunu ada di sini, maka aku akan mempersilahkannya menemui kakangmas. Tetapi Pangeran Indrasunu tidak ada di Pakuwon Watu Mas sekarang ini.”

Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia tertawa sambil berkata, “Jadi, Pangeran Indrasunu sekarang tidak ada di Pakuwon ini?”

“Tidak.” jawab Akuwu di Watu Mas.

“Di mana?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Aku tidak tahu,” jawab Akuwu di Watu Mas, “aku bukan pemomong Pangeran Indrasunu.”

Pangeran Suwelatama tertawa semakin keras. Katanya kemudian, “Jika demikian, akulah yang mengetahuinya.”

Akuwu di Watu Mas mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa yang kakangmas ketahui?”

“Adimas Pangeran Indrasunu,” sahut Akuwu Suwelatama, “ia tentu berada di hutan perbatasan.”

Wajah Akuwu di Watu Mas merah. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Kakangmas terlalu tergesa-gesa. Dari mana kakangmas mengetahuinya bahwa Pangeran Indrasunu berada di hutan perbatasan?”

“Berdasarkan perhitungan,” jawab Akuwu Suwelatama, “adimas Indrasunu telah berusaha menghancurkan Pakuwon Kabanaran sebelumnya. Bahkan dengan cara yang sangat kasar. Aku masih dapat menahan diri untuk mencoba mengatasinya tanpa menarik persoalannya ke lingkungan yang lebih luas. Tetapi menurut pendengaranku, adimas Pangeran Indrasunu sama sekali tidak mau mengerti. Ia tidak menyadari kekeliruannya, justru ia berusaha untuk mengungkit dendam di dalam hatinya dengan cara yang sangat kasar. Lebih kasar dari cara yang telah dipergunakan sebelumnya. Tentu ia telah menggabungkan diri dengan para perampok di hutan perbatasan itu.”

“Kau jangan menuduh demikian kasar,” jawab Akuwu di Watu Mas, “jika Pangeran Indrasunu mendengar tuduhan itu, maka ia tidak akan dapat menahan hati lagi.”

“Tolong, adimas,” justru Akuwu Suwelatama menjawab, “sampaikan kepada adimas Pangeran Indrasunu bahwa aku menganggapnya demikian. Kenapa aku harus takut jika ia menjadi marah? Ia sudah berbuat yang paling buruk terhadap Pakuwon Kabanaran. Buruk dan dengan cara yang rendah dan licik. Nah, itulah wajah adimas Pangeran Indrasunu.”

“Bohong,” bantah Akuwu di Watu Mas, “aku mengenal Pangeran Indrasunu dengan baik. Aku juga mendengar bahwa ia pernah menduduki Pakuwon Kabanaran, justru karena pemerintahan yang goyah di Pakuwon itu. Jika tidak, tentu tidak mungkin Pangeran Indrasunu berhasil.”

“Nah, itu memang satu contoh, bagaimana Pangeran itu memanjakan ketamakannya.” jawab Akuwu Suwelatama, “Tetapi baiklah aku tidak berbicara tentang adimas Indrasunu. Tolong sampaikan saja kepadanya, demikianlah anggapanku atasnya. Dan menurut perhitunganku, adimas Pangeran Indrasunu sekarang berada di perbatasan dan berusaha untuk membantu para perampok mengacaukan Pakuwon Kabanaran untuk melepaskan dendamnya.”

Wajah Akuwu di Watu Mas menjadi merah padam. Tetapi ia pun masih berusaha menahan diri. Meskipun demikian, katanya kemudian, “Kakangmas Akuwu adalah tamuku. Aku mohon kakangmas dapat menjaga diri sebagai seorang tamu yang terhormat.”

Akuwu Suwelatama tertawa pendek. Katanya, “Baiklah. Daripada aku menjadi semakin buruk di mata adimas, maka aku akan mohon diri. Kedatanganku ke Pakuwon ini adalah sia-sia. Tetapi aku sudah mendapat gambaran, siapakah yang sebenarnya aku hadapi di perbatasan.”

“Siapa?” bertanya Akuwu di Watu Mas.

“Tidak ada dua atau tiga. Adimas Indrasunu yang memperalat para perampok untuk membalas sakit hatinya,” jawab Akuwu Suwelatama, “sakit hati yang bermula pada kegagalannya untuk mengganggu seorang gadis. Namun persoalan yang kecil itu telah mekar menjadi satu sikap yang sama sekali tidak terpuji. Bahkan menodai nama baik semua bangsawan keturunan Kediri.”

Akuwu di Watu Mas menggeram. Dengan suara bergetar ia berkata, “Sebelum kakangmas melakukan kesalahan untuk kesekian kalinya, sebaiknya kakangmas menyadarinya.”

“Aku akan mohon diri adimas. Sebenarnya aku masih ingin tinggal di Pakuwon ini lebih lama lagi. Tetapi agaknya kedatanganku kali ini agak kurang menguntungkan.” berkata Akuwu Suwelatama.

“Apapun menurut penilaian kakangmas. Tetapi aku sudah berusaha menerima kedatangan kakangmas sebaik-baiknya.” jawab Akuwu di Watu Mas.

Akuwu Suwelatama pun kemudian minta diri. Mahisa Bungalan yang hampir saja tidak dapat menahan diri bersama para pengawal pun telah meninggalkan rumah Akuwu di Watu Mas.

“Tantangan yang keras sekali.” desis Mahisa Bungalan di perjalanan kembali.

Akuwu Suwelatama mengangguk sambil berdesis, “Nampaknya mereka benar-benar ingin menunjukkan bahwa mereka dalam kedudukan yang kuat. Mereka mencoba untuk memancing persoalan namun tanpa dapat disebut bersalah.”

“Ya. kita harus mengambil cara yang paling baik untuk menanggapi sikap itu.” berkata Mahisa Bungalan.

Dengan jantung yang berdegupan iring-iringan kecil itu pun berpacu meninggalkan Pakuwon Watu Mas kembali ke Kabanaran.

Di sepanjang jalan, tidak banyak lagi yang mereka perbincangkan. Namun mereka masing-masing agaknya telah tenggelam ke dalam angan-angan mereka tentang persoalan yang melilit hubungan antara Kabanaran dan Watu Mas.

Demikian Akuwu sampai ke Pakuwon Kabanaran, maka ia pun segera mengadakan pembicaraan khusus. Persoalan Kabanaran dan Watu Mas nampaknya sulit untuk dapat diselesaikan dengan pembicaraan.

Meskipun demikian, Akuwu Suwelatama masih belum ingin melibatkan Kediri secara langsung, ia masih berusaha untuk dapat memecahkan persoalannya itu sendiri.

“Kita tidak dapat memancing mereka dengan cara yang sama seperti yang kita lakukan di daerah rawa-rawa Kedung Sertu.” berkata Akuwu Suwelatama.

“Kita mempergunakan cara lain,” berkata Mahisa Bungalan, “sementara itu justru kekuatan di daerah itu ditambah. Tersebar di tempat yang lebih luas. Kita harus berusaha menghancurkan setiap kejahatan yang timbul di daerah itu.”

“Ternyata bahwa kejemuan lebih cepat mencekam para pengawal daripada para perampok. Jika para pengawal itu tinggal di padukuhan itu tanpa berbuat sesuatu untuk waktu yang terlalu lama, maka akan kehilangan kedirian mereka sebagai pengawal.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Itulah sebabnya, maka para pengawal yang bertugas di daerah itu harus selalu berganti,” berkata Mahisa Bungalan, “dengan demikian mereka tidak sempat dicengkam oleh kejemuan. Kecuali itu, maka tenaga mereka akan tetap segar untuk tugas-tugas yang berat itu. Bukankah selama ini pasukan itu jarang sekali diganti?”

Akuwu Suwelatama mengangguk. Jawabnya, “Pasukan itu pernah diganti pula. Tetapi tidak terlalu sering.”

“Jangan lebih dari tiga bulan. Bukankah menggantikan pasukan di daerah hutan perbatasan itu tidak terlalu sulit dan jaraknya pun tidak terlalu lama?” berkata Mahisa Bungalan.

“Apakah tidak terlalu cepat? Sebelum mereka mengenal medan, maka mereka harus sudah ditarik dan digantikan oleh yang baru yang juga belum mengenal medan sama sekali.”

“Tidak seluruhnya,” berkata Mahisa Bungalan, “setiap pergantian, beberapa orang pemimpin akan tinggal untuk memberikan penjelasan dan pengenalan bagi mereka yang baru datang. Baru kemudian ia dapat meninggalkan tempat itu, setelah yang baru itu memahami medan yang mereka hadapi.”

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Meskipun ia sadar, cara demikian akan memerlukan waktu lama. Seolah-olah mereka hanya berlomba siapakah yang lebih tahan menyerap waktu, tanpa berbuat sesuatu. Namun untuk sementara mereka memang tidak mempunyai cara yang lain.

Namun dalam pada itu, di luar pertemuan dengan para pemimpin di Pakuwon Kabanaran, Mahisa Bungalan berkata, “Akuwu, bagaimana pendapat Akuwu jika kita akan mempergunakan cara yang sama?”

“Apa maksudmu?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Kita mengirimkan orang-orang untuk merampok daerah di seberang hutan perbatasan.” jawab Mahisa Bungalan.

“Aku tidak mengerti maksudmu.” jawab Akuwu Suwe latama.

“Perampok-perampok itu harus memberikan kesan, bahwa karena mereka tidak lagi sempat merampok di daerah Kabanaran, maka mereka telah melakukannya di daerah Watu Mas.” jawab Mahisa Bungalan.

Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Ia dengan serta-merta menganggap pikiran itu adalah pikiran yang aneh. Namun setelah merenunginya sejenak, maka katanya, “Mungkin juga hal itu dilakukan. Tetapi bagaimana jika salah seorang dari antara kita tertangkap?”

“Namun disusun satu pasukan khusus yang akan melakukan tugas itu. Mereka terdiri dari orang-orang yang kuat dan tabah hati. Berkemampuan tinggi dan setia kepada janji.” berkata Mahisa Bungalan.

“Aku mengerti maksud itu,” berkata Akuwu Suwelatama, “mungkin lebih baik jika aku sendiri yang memimpinnya.”

“Jangan,” potong Mahisa Bungalan, “jika ada satu dua orang yang karena sesuatu hal mengetahui, maka nama Akuwu akan menjadi korban, seolah-olah Akuwu telah menjadi seorang perampok atau dengan kata lain, Akuwu sudah menyerang dan berada di dalam Pakuwon Watu Mas.”

“Jadi bagaimana?” bertanya Akuwu.

“Aku bersedia ikut bersama mereka,” berkata Mahisa Bungalan, “tidak banyak orang yang mengenal aku, bahkan mungkin Akuwu di Watu Mas yang hanya melihat aku Sekilas itu pun tidak akan mengenalku pula. Seandainya Pangeran Indrasunu berada di hutan perbatasan itu pula, aku akan dapat menghindari pengenalannya dengan pakaian dan barangkali sedikit penyamaran di wajah.”

Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau terlalu baik. Tetapi dengan demikian kau tentu akan berada di daerah ini terlalu lama. Kedua pamanmu sudah berpesan, agar kau tidak terlalu lama berada di Pakuwon Kabanaran.”

“Pada dasarnya aku adalah seorang pengembara,” jawab Mahisa Bungalan, “aku memang sudah menyatakan kesediaanku menjadi seorang prajurit. Tetapi darah pengembaraanku masih saja mendidih di dalam dada ini.”

Akuwu Suwelatama tidak dapat mencegah. Sebenarnyalah ia memang memerlukannya.

Dalam pada itu, maka Akuwu pun segera menyusun satu pasukan pengawal khusus. Pembentukan yang tidak banyak diketahui orang. Pasukan itu terdiri dari pengawal-pengawal pilihan. Pemimpin-pemimpinnya pun orang-orang terbaik yang ada di Pakuwon Kabanaran.

“Aku serahkan orang-orang ini kepadamu.” berkata Akuwu Kabanaran.

Mahisa Bungalan yang menerima pasukan itu pun kemudian membawa mereka ke hutan perbatasan. Tetapi pada jarak yang cukup dari hutan perbatasan yang diawasi oleh pasukan dari Pakuwon Kabanaran. Hanya para Senapati tertinggi sajalah yang mendapat pesan, bahwa Kabanaran akan melakukan tindakan yang mirip dengan kejadian yang sebenarnya dalam keadaan terbalik. Segerombolan perampok yang bersarang di Kabanaran, tetapi melakukan perampokan di daerah Watu Mas. Namun para perampok itu terdiri dari para pengawal di Pakuwon Kabanaran, justru para pengawal terpilih.

Di hutan perbatasan itu, Mahisa Bungalan telah memanfaatkan waktu yang pendek menjelang tugas-tugas yang akan mereka lakukan, dengan menempa para pengawal itu lahir dan batin. Mereka berlatih dengan berat, sementara setiap sore mereka harus mendengarkan penjelasan-penjelasan tentang pengabdian yang akan mereka lakukan.

“Tugas ini sangat berat. Kesempatan untuk hidup dalam tugas ini sangat kecil. Siapa yang merasa segan untuk melakukannya, dapat mengajukan keberatan. Tidak akan ada hukuman apapun. Mereka hanya akan ditugaskan menjaga barak yang kita buat di sini. Bagiku, keseganan, apalagi ketakutan justru akan mengganggu tugas kawan-kawan yang lain.” bertanya Mahisa Bungalan kepada mereka.

Tetapi tidak seorang pun yang merasa berkeberatan untuk melakukan tugas itu. Bahkan setiap orang berharap untuk dapat melakukannya terlebih dahulu.

Namun Mahisa Bungalan telah memilih orang-orang terbaik dari orang-orang pilihan itu. Baik kemampuannya, maupun kekerasan jiwa serta hasrat pengabdiannya.

Orang-orang itulah yang pertama-tama akan dibawanya memasuki tlatah Watu Mas untuk melakukan perampokan.

Sebelum segalanya dimulai, maka Mahisa Bungalan telah menugaskan beberapa orang pengawal dalam tugas sandi untuk mengamati sasaran. Sehingga apabila mereka benar-benar telah memasuki tlatah Watu Mas, mereka tidak akan terjebak.

“Mungkin kita akan berhadapan dengan para pengawal dari Pakuwon Watu Mas,” berkata Mahisa Bungalan, “karena itu, kita harus bersiap sepenuhnya. Kita tidak boleh berpegang pada paugeran jiwa prajurit yang pantang menyerah. Tetapi bagi seorang perampok, senjata terakhir untuk menyelamatkan diri adalah lari. Karena itu, jangan segan meninggalkan arena karena kalian berjiwa prajurit. Untuk permainan kita ini, kalian justru harus lari tunggang langgang. Tetapi kita tetap berpegang pada kesatuan dan kesetiakawanan. Kita harus saling melindungi. Dalam kesan tunggang-langgang itu kita sebenarnya berada dalam aturan tertentu.”

Para pengawal itu pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Bungalan.

Karena itulah, setelah mereka menempa diri di daerah hutan perbatasan untuk beberapa pekan, dan mereka pun sudah mulai membiasakan diri dengan medan yang akan mereka hadapi, maka rencana mereka itu pun siap untuk dilaksanakan.

“Kita harus menyiapkan bukan saja tubuh kita, tetapi juga jiwa kita.” berkata Mahisa Bungalan ketika mereka akan berangkat.

Demikianlah, sebagian dari para pengawal itu pun telah mulai dengan tugas mereka yang aneh. Mereka akan menjadi perampok. Tetapi perampok yang khusus.

Pada saat-saat terakhir itu, Mahisa Bungalan masih sempat memberikan beberapa gambaran tentang sifat-sifat khusus dari para perampok. Mereka harus memahami, meniru dan melakukannya. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan masih berpesan, “Tetapi karena merampok bukan tujuan kita, maka kita harus tetap memegang teguh dasar-dasar kemanusiaan kita. Jangan membunuh tanpa alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan. Jangan merampok harta benda yang dapat melumpuhkan kehidupan seseorang, apalagi menumbuhkan keputusasaan dan kehilangan masa depan mereka.”

Para pengawal itu mengangguk. Namun salah seorang dari mereka berdesis, “Yang kita lakukan tentu lebih sulit dari perampok kebanyakan.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Yang lain pun tersenyum pula. Tetapi mereka harus melakukan permainan itu. Bahkan seandainya salah seorang dari mereka mengalami nasib yang sangat buruk, sehingga mereka tertangkap, maka mereka harus mempunyai jiwa yang kuat. Mereka harus menjawab segala pertanyaan sebagaimana sudah mereka sepakati. Bahkan seandainya tubuh mereka diperas sampai darah mereka menjadi kering, mereka tidak akan mengatakan yang lain.

Setelah jiwa dan wadag mereka ditempa sebaik-baiknya, maka mulailah pasukan khusus itu melakukan tugas mereka. Yang pertama mereka lakukan adalah menyeberangi hutan perbatasan, memasuki tlatah Pakuwon Watu Mas.

Pada permainan mereka yang pertama, mereka tidak melakukan perampokan. Tetapi mereka berhasil mengejutkan beberapa orang peronda yang terkantuk-kantuk di dalam gardu mereka.

Ketika kemudian terdengar titir, maka para perampok itu pun berlari-larian. Namun mereka sempat memberikan kesan, bahwa jumlah para perampok itu cukup banyak.

“Perampok.” desis seseorang, “kenapa tiba-tiba saja ada sekelompok perampok memasuki padukuhan ini?”

Orang-orang padukuhan di daerah Watu Mas itu telah keluar semua dari rumah mereka. Karena perampokan itu tidak pernah terjadi di daerah mereka, maka mereka pun kurang menyadari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh para perampok itu. Namun ternyata bahwa para perampok itu telah lari tunggang langgang.

Para bebahu padukuhan pun kemudian berkumpul di mulut lorong induk padukuhan mereka. Adalah aneh sekali bagi mereka, jika padukuhan mereka telah didatangi sekelompok perampok.

“Hari ini mereka lari,” berkata para bebahu, “tetapi pada kesempatan yang lain, mungkin keadaannya akan berbeda.”

“Tetapi mungkin sekali justru mereka tidak akan berani kembali lagi,” jawab salah seorang penghuni padukuhan itu, “mereka telah melihat bagaimana kita selalu siap menghadapi segala kemungkinan, apalagi setelah peristiwa yang pertama ini. Kita selalu bersiaga.”

Para bebahu padukuhan itu mengangguk-angguk. Mereka yakin bahwa para penghuninya akan selalu bersiaga. Justru setelah mereka menyadari, bahwa para perampok mulai menyentuh padukuhan itu.

Meskipun demikian para bebahu padukuhan itu masih saja berbincang. Menurut pendengaran mereka, daerah di seberang perbatasanlah yang banyak sekali di datangi oleh para perampok. Tetapi tidak di daerah Pakuwon Watu Mas.

Di pasar-pasar mereka selalu mendengar berita tentang perampokan. Tetapi pada saat-saat terakhir, para pengawal dari Pakuwon Kabanaran telah berada di perbatasan.

Meskipun demikian, para perampok itu kadang-kadang masih saja berhasil melakukan kegiatannya di daerah Pakuwon Kabanaran.

Namun sementara itu, di samping usaha untuk mengacaukan pertimbangan Akuwu di Watu Mas, sebenarnyalah bahwa kekuatan para pengawal di Pakuwon Kabanaran telah ditambah dan semakin menyebar ke beberapa padukuhan. Mereka tidak berkumpul di dalam satu barak. Tetapi mereka mulai memencar dan tinggal di rumah penduduk padukuhan-padukuhan itu.

Orang-orang yang merasa memiliki sedikit harta dan benda merasa tenang dan bahkan sangat berterima kasih apabila dua atau tiga orang pengawal bersedia tinggal bersama mereka.

Dengan menggantungkan kentongan di ruang dalam rumah mereka, maka mereka akan dapat dengan mudah memberi isyarat kepada para pengawal yang tersebar apabila salah satu dari para penghuni itu mengalami perampokan.

Apalagi ketika Akuwu Suwelatama benar-benar telah mengambil kebijaksanaan, bahwa para pengawal itu bertugas di sesuatu tempat untuk waktu yang tidak terlalu lama. Dengan demikian maka para pengawal itu selalu kelihatan segar, karena mereka tidak sampai dicengkam oleh kejemuan. Meskipun setiap kali mereka harus memperkenalkan diri dengan rakyat di padukuhan-padukuhan yang mereka awasi, apabila terjadi pergantian pasukan.

Ternyata cara itu lebih menguntungkan bagi Pakuwon Kabanaran. Dengan demikian, maka mereka dapat berada di tempat yang lebih luas. Hampir di setiap padukuhan terdapat lima enam orang pengawal atau bahkan lebih. Sementara itu jarak padukuhan yang satu dengan yang lain tidak terlalu jauh, sehingga apabila terdengar isyarat, maka para pengawal di padukuhan sebelah menyebelah akan segara dapat membantu. Sementara itu, para pengawal pun telah mengajari anak-anak muda untuk siap mengamankan padukuhan mereka masing-masing. Setiap malam gardu-gardu menjadi penuh dengan anak-anak muda, sementara satu dua orang pengawal bergiliran berada bersama mereka.

Dalam pada itu, di lain pihak, Mahisa Bungalan telah membuat rencana-rencana khusus yang akan dapat mengganggu ketenangan di Pakuwon Watu Mas.

Dengan demikian, maka Kabanaran telah mengetrapkan cara yang sebagian mirip dengan cara yang ditrapkan di daerah Kedung Serta, namun tanpa memancing para perampok itu, karena mereka menganggap tidak akan banyak gunanya, karena mereka agaknya telah mendengar tentang apa yang dilakukan oleh para pengawal di Kedung Sertu. Namun demikian, penyebaran pasukan ke padukuhan-padukuhan dan cara mereka melibatkan anak-anak muda sebagaimana pernah terjadi di Kedung Sertu, telah menyulitkan para perampok itu.

Sementara itu, justru telah terjadi perampokan-perampokan di daerah Watu Mas sendiri. Ternyata perampok yang dapat diketahui oleh peronda yang terkantuk-kantuk di gardu, dan sempat memukul kentongan itu tidak menjadi jera. Meskipun mereka tidak kembali ke padukuhan itu, namun beberapa hari kemudian, di padukuhan lain telah benar-benar terjadi perampokan.

Para perampok meskipun tidak menyakiti pemilik rumah, tetapi mereka telah mengikat semua penghuni rumah itu pada tiang rumahnya. Mereka telah mengambil sebagian besar dari kekayaan orang yang tidak berdaya itu.

Namun agaknya para perampok itu tergesa-gesa sekali, sehingga sebagian dari hasil rampokan mereka telah berceceran di pendapa dan sebagian justru di halaman.

Ketika para bebahu datang ke rumah itu, tetangga-tetangga telah berdatangan dan berusaha menolong mereka. Yang lain telah mengumpulkan harta benda yang berceceran itu dan menyerahkan kembali kepada pemiliknya.

“Untunglah,” berkata pemilik itu, “seandainya barang-barang itu tidak berceceran, maka aku benar-benar menjadi miskin.”

“Kau memang masih beruntung,” berkata bebahu padukuhan itu, “tetapi hal seperti ini tidak boleh terulang kembali.”

“Memang mengerikan,” desis pemilik rumah yang dirampok itu, “mereka adalah orang-orang yang kasar. Buas dan liar.”

“Apa saja yang mereka lakukan kecuali mengikat kalian?” bertanya bebahu

“Mereka mengancam leherku dengan golok.” jawab orang yang dirampok itu.

“Hanya mengancam?” bertanya orang lain.

“Ya. Dan mereka pun mengatakan bahwa yang dilakukan itu karena mereka tidak lagi dapat berbuat lain. Daerah Kabanaran telah tertutup, sehingga mereka terpaksa merampok di daerah Watu Mas sendiri.” jawab orang yang dirampok itu.

“Benar begitu?” bertanya bebahu padukuhan itu.

“Ya. Semua orang di rumah ini mendengarnya.” jawab orang itu.

Bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika benar demikian, maka kita harus bersiaga. Di hutan perbatasan itu memang terdapat sarang sekelompok perampok. Tetapi para perampok itu tidak pernah melakukan kejahatan di daerah Watu Mas. Mereka selalu menyeberang ke perbatasan. Sementara itu menurut pendengaranku, para pengawal dari Kabanaran tidak dibenarkan untuk memasuki daerah Watu Mas untuk mengejar para perampok yang melakukan kejahatan di daerah mereka.”

“Lalu kenapa yang terjadi sekarang justru mereka merampok di Pakuwon Watu Mas sendiri?” bertanya seseorang.

“Seperti yang dikatakan,” bebahu itu, “nampaknya orang-orang Kabanaran benar-benar telah bertindak. Dibantu oleh para pengawal, mereka telah berusaha menutup perbatasan, sehingga para perampok itu tidak sempat melakukan kejahatan di Kabanaran.”

“Kita temui pemimpin pengawal yang bertugas di perbatasan.” berkata salah seorang dari mereka.

Demikianlah, bebahu padukuhan itu telah berusaha menemui pemimpin pengawal di perbatasan. Mereka melaporkan bahwa sekelompok yang tidak dapat menyeberangi perbatasan, justru telah merampok di daerah Watu Mas sendiri.

“Omong kosong!” geram pemimpin pengawal di perbatasan itu.

“Silahkan datang ke padukuhan kami.” jawab bebahu itu.

Pemimpin pengawal Pakuwon Watu Mas itu termangu-mangu. Tetapi nampaknya bebahu itu tidak berbohong.

Karena itu maka katanya, “Baiklah. Aku akan melihat keadaan padukuhanmu.”

Seperti yang dikatakannya, maka bersama beberapa orang pengawal pemimpin pengawal itu telah melihat sendiri, apa yang telah terjadi. Dengan saksama ia bertanya kepada orang yang telah dirampok rumahnya. Seluruh keluarganya dikumpulkan, dan satu persatu mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan.

“Gila,” geram pemimpin pengawal itu, “apakah benar mereka tidak mempunyai jalan lagi ke Kabanaran?”

“Jalan masih mungkin disusupi,” jawab pengawal yang lain, lalu, “tetapi nampaknya pengawal di perbatasan Kabanaran itu benar-benar telah diperkuat. Pekerjaan mereka di Kedung Sertu telah selesai, meskipun dengan sangat mengerikan. Kita pun menjadi tenang. Dengan demikian mereka dapat memusatkan perhatian mereka ke hutan perbatasan ini, sehingga dengan demikian kesempatan para perampok untuk memasuki Pakuwon Kabanaran menjadi semakin sempit.”

“Tetapi adalah gila bahwa mereka telah melakukannya di Pakuwon Watu Mas ini sendiri.” pemimpin pengawal itu menyahut jantang.

Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi perampokan itu sudah terjadi. Untunglah bahwa perampokan itu terjadi dengan tergesa-gesa sehingga sebagian dari harta benda yang dirampok itu dapat diketemukan kembali berceceran di pendapa dan di halaman, sehingga pemiliknya tidak menjadi benar-benar miskin.

Namun peristiwa perampokan itu sendiri telah menjadi persoalan yang menarik perhatian di kalangan para pengawal di Watu Mas. Pemimpin pengawal di Watu Mas yang mempunyai hubungan dengan para perampok, telah berusaha untuk menghubungi para pemimpin perampok itu.

“Kalian telah melanggar perjanjian.” berkata pemimpin pengawal di perbatasan.

“Kenapa?” bertanya pemimpin perampok, “jika aku berhasil, aku selalu memberikan imbalan itu kepada kalian. Tetapi beberapa hari kami tidak berhasil, karena pasukan pengawal di Pakuwon Kabanaran yang ditempatkan di perbatasan, telah mengambil cara yang sulit untuk diatasi. Mereka telah menutup perbatasan dengan rapat. Namun seandainya kami berhasil menyusup, maka kami akan berhadapan dengan pengawalan yang kuat.”

“Aku mengerti. Tetapi dalam keadaan yang demikian, kalian jangan membabi buta.” sahut pemimpin pengawal itu.

“Apa yang kau maksudkan?” bertanya pemimpin perampok itu pula.

“Kau melakukan perampokan di daerah Watu Mas sendiri.” geram pemimpin pengawal itu.

“Siapa yang mengatakannya? Kau jangan membuat persoalan ini menjadi semakin rumit bagi kami. Beberapa saat lamanya kami tidak mendapatkan hasil yang berarti, sekarang kau menuduh kami melakukan sesuatu yang tidak pernah kami lakukan.” jawab pemimpin perampok itu.

“Ikut aku. Kita akan melihat sendiri apa yang telah terjadi.” berkata pemimpin pengawal itu.

Karena pemimpin perampok itu sama, sekali tidak merasa melakukannya, maka ia pun kemudian mengikuti pemimpin pengawal itu menuju ke padukuhan yang telah mengalami perampokan. Padukuhan yang tidak terlalu dekat dengan sarang para perampok itu.

“Kau boleh memenggal leherku jika aku melakukannya.” jawab pemimpin perampok itu.

“Bukan kamu sendiri. Tetapi orang-orangmu.” desis pemimpin pengawal itu.

“Aku tidak pernah memerintahkan, atau mengijinkan,” sahutnya, “tetapi entahlah, jika ada orang-orang yang melakukan di luar pengetahuanku.”

Dalam pada itu, maka pemimpin perampok itu pun kemudian melihat, apa yang telah terjadi. Meskipun ia tidak berterus terang, bahwa ia adalah seorang pemimpin perampok kepada orang yang mengalami nasib buruk itu, namun wajahnya benar-benar menyeramkan, sehingga ia justru telah membuat perbandingan. Para perampok yang datang di rumahnya dengan sikap kasar dan keras itu, namun pandangan matanya tidak menakutkan seperti orang yang datang bersama pemimpin pengawal itu.

Untuk beberapa saat pemimpin perampok itu bertanya-tanya kepada pemilik rumah yang mengalami perampokan itu. Namun ia justru telah membentak-bentaknya. Dengan kasar ia bertanya, “Kau tidak berpura-pura he?”

“Tidak. Kami benar-benar mengalami.” jawab orang itu.

“Jika kau berbohong, maka lehermu akan menjadi taruhan.” geram pemimpin perampok itu.

“Buat apa kami berbohong?” jawab pemilik rumah itu, “kami mengalami bencana itu. Beberapa orang tetangga kami melihat barang-barang kami yang tercecer.”

“Kau dapat saja membohongi tetangga-tetanggamu. Barang-barangmu yang kau jual, atau kalah main judi, atau sebab-sebab yang lain, kau katakan telah hilang kepada tetangga-tetanggamu. Dengan cara yang licik, tetangga-tetanggamu telah kau kelabui seolah-olah kau telah mengalami perampokan. Beberapa barang-barang yang masih ada sengaja kau hamburkan di halaman untuk menghilangkan jejak.” berkata pemimpin perampok itu dengan mata menyala.

Pemilik rumah itu termangu-mangu. Sama sekali tidak terkilas di dalam kepalanya, bahwa hal serupa itu dapat terjadi dan dapat dilakukan oleh seseorang. Karena itu, maka ia pun justru telah terdiam.

“Sudahlah,” berkata pemimpin pengawal sambil menyingkir, “kau harus mempercayainya. Siapa pun yang melakukan, tetapi ia sudah mengalami.”

Pemimpin perampok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mengusutnya. Tetapi perjanjian di antara kita masih tetap berlaku. Aku pun berjanji, bahwa aku sendiri, dan semua tindakan sepengetahuanku akan kami lakukan di Pakuwon Kabanaran. Tidak di Pakuwon Watu Mas.”

“Bagaimana jika ada sekelompok perampok yang lain?” bertanya pemimpin pengawal itu.

“Itu adalah kewajibanmu,” jawab pemimpin perampok, “kaulah yang harus melindungi rakyatmu dengan pasukan pengawalmu. Tetapi percayalah, meskipun aku seorang perampok, tetapi aku tidak akan mengotori halaman rumah sendiri dengan darah sanak-kadang.”

“Jika yang melakukan itu kelompok yang lain, apakah kau bersedia membantu kami?” bertanya pemimpin pengawal itu.

“Kau aneh. Kau dapat mengerahkan pasukan pengawal di Watu Mas. Kau tidak perlu bantuanku. Untuk hidup pun saat ini terasa sulit. Bahkan kami sudah mengambil barang-barang tabungan kami.” jawab pemimpin perampok itu.

“Kita akan pergi dari tempat ini. Kita akan berbicara lebih panjang.” gumam pemimpin pengawal itu.

Sambil meninggalkan rumah itu, maka keduanya masih saja berunding. Sehingga akhirnya perampok itu berkata, “Aku akan tetap mengusutnya di lingkunganku. Tetapi jika hal itu dilakukan oleh kelompok yang lain, terserahlah kepadamu. Tetapi aku kira kau tidak akan mengalami kesulitan.”

Pemimpin pengawal itu akhirnya mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kau jangan mempersulit kedudukanku.

“Bukankah Pangeran Indrasunu bersedia membantumu? Bahkan dengan pasukannya meskipun tidak begitu besar?” bertanya pemimpin perampok itu.

“Aku memang mengharapkannya. Ia telah berbicara pula dengan Akuwu. Dengan demikian sikap Pakuwon Watu Mas menghadapi Pakuwon Kabanaran agak menguntungkan kita. Terutama kau, karena Akuwu di Watu Mas sama sekali tidak bersedia berbicara dengan Akuwu Kabanaran tentang daerah perbatasan ini.”

“Agaknya usaha Pangeran Indrasunu telah berhasil. Ia mendendam Akuwu Suwelatama.” desis pemimpin perampok itu.

Demikianlah, maka pemimpin pengawal itu sudah berketetapan bahwa yang melakukan itu tentu segerombolan perampok yang lain dari para perampok di perbatasan. Karena itu, maka ia pun akan dapat mengambil sikap tertentu. Ia akan dapat mengambil sikap yang keras.

Sementara itu, Mahisa Bungalan yang berada di sarangnya tengah membicarakan kerja mereka yang pertama. Ketika dua orang di antara mereka memasuki daerah Watu Mas dengan laku sandi, maka merekapun segera dapat mendengar bahwa peristiwa itu telah menimbulkan persoalan di antara para pengawal. Bahkan telah tersebar kabar di antara penduduk, seolah-olah para perampok di perbatasan tidak lagi sempat melakukan kejahatannya di daerah Kabanaran, sehingga mereka melakukannya di daerah Watu Mas.

Ketika hal itu dilaporkannya kepada Mahisa Bungalan, maka ia pun merasa bahwa usahanya sebagian kecil telah berhasil. Meskipun demikian, Mahisa Bungalan pun telah memperhitungkan, justru karena para pengawal di perbatasan itu telah mengadakan hubungan dengan para perampok, maka para pemimpin pengawal di perbatasan itu pun akan menghubungi para pemimpin perampok untuk membuktikan kebenaran berita itu.

“Tentu akan timbul persoalan,” berkata Mahisa Bungalan, “tetapi kita akan menyusulinya lagi dengan tindakan berikutnya.”

Sebenarnyalah, maka Mahisa Bungalan pun sudah membawa sebagian dari pasukannya menyeberangi perbatasan. Dua petugas sandinya sudah berhasil menemukan sasaran. Seorang saudagar kaya yang dianggap oleh orang-orang di sekitarnya sebagai seorang kaya yang sangat kikir.....

“Kita harus berhati-hati. Orang-orang yang demikian biasanya mempunyai kekuatan di belakangnya untuk menakut-nakuti orang.” berkata Mahisa Bungalan.

“Tetapi apakah kekuatan yang ada padanya perlu dicemaskan?” bertanya seorang pengawal yang menyamar sebagai perampok itu.

“Bagaimanapun juga, kita tidak boleh menjadi lengah,” jawab Mahisa Bungalan, “apalagi mungkin sekali mereka telah berhubungan dengan para pengawal di Watu Mas.”

“Memang mungkin,” jawab pengawal itu, “apalagi setelah mereka mengetahui perampokan yang pertama itu.”

“Kita sudah melakukan dengan baik,” berkata Mahisa Bungalan, “kita tidak membawa barang-barang berharga itu seluruhnya. Justru hanya sebagian kecil, karena yang lain kita tinggalkan di pendapa dan halaman. Tetapi mudah-mudahan barang-barang itu kembali kepada pemiliknya.”

“Menurut pendengaran kami memang demikian.” jawab orang yang dengan laku sandi mendengarkan akibat dari perampokan itu.

Demikianlah pada saat yang ditentukan, Mahisa Bungalan telah mendekati sebuah padukuhan dengan anak buahnya. Di padukuhan itulah saudagar kikir yang akan menjadi sasarannya itu tinggal.

Setelah memperhatikan keadaan sejenak sambil menunggu tengah malam, Mahisa Bungalan dan orang-orangnya itu sempat beristirahat di pategalan yang sepi. Dua orang telah dikirim mendahului perjalanan mereka untuk melihat, apakah di padukuhan itu ada tanda-tanda yang membahayakan.

Ternyata bahwa jalan yang akan mereka lalui cukup lapang. Memang ada beberapa orang peronda di dalam gardu di ujung padukuhan, tetapi mereka akan dapat mencari jalan lain untuk memasuki padukuhan itu.

“Jika mungkin, kita akan menghindari para peronda yang berada di gardu itu.” berkata Mahisa Bungalan, “Dengan demikian kita tidak perlu bertempur. Sebab dengan pertempuran itu, bagaimanapun kita berhati-hati, mungkin sekali senjata kita akan menggores lawan. Bahkan mungkin senjata mereka akan melukai kita. Jika darah telah menitik maka sulitlah bagi kita untuk menahan diri, meskipun aku tetap berpesan, kita bukan perampok yang sebenarnya.”

Orang-orang yang mengikutnya itu pun mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Bungalan berkata, “Kita tidak akan membawa harta bendanya untuk kepentingan kita. Tetapi kita pun tidak akan meninggalkan harta benda itu di halaman. Kita akan meninggalkan sebagian besar dari kekayaannya bertebaran di jalan padukuhan, di bulak-bulak dan di pategalan. Setidak-tidaknya ia harus menyadari, bahwa harta benda yang tertimbun itu akan dapat lenyap dalam sekejap. Alangkah baiknya jika yang bertebaran itu kemudian atau sebagian jatuh ke tangan orang-orang yang memerlukannya.”

“Mereka akan takut memilikinya.” desis seseorang.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia pun sependapat bahwa orang-orang kebanyakan di sekitar saudagar kaya yang kikir itu tentu akan takut memilikinya. Namun demikian, maka ia berkata, “Kita akan menebarkan kekayaannya yang disimpannya di tempat yang tidak pernah tersentuh tangan. Mungkin dalam waktu dekat tidak ada orang yang berani menilainya meskipun mereka menemukannya. Tetapi mungkin setelah beberapa lama, barang-barang yang dapat diketemukan itu akan bermanfaat bagi orang-orang miskin di sekitarnya.”

Namun tiba-tiba salah seorang pemimpin pengawal yang menjadikan diri mereka perampok itu berkata, “Bagaimana kalau kita bawa saja sebagian dari harta benda orang kikir itu? Tidak untuk kita miliki, tetapi pada suatu saat akan kita kembalikan kepada orang-orang di sekitarnya dalam ujud yang lain, yang tidak akan mungkin dituntut oleh orang kaya yang kikir itu.”

Mahisa Bungalan berpikir sejenak. Namun kesempatannya tidak terlalu panjang. Mereka sudah menjadi semakin dekat dengan sasaran.

Karena itu maka Mahisa Bungalan kemudian mengambil keputusan, “Ya. Aku sependapat.”

Keputusan itulah yang kemudian menjalar kepada para perampok yang aneh itu. Mereka pun mendapat wewenang untuk membawa barang-barang dari orang kaya yang kikir itu.

Sebagaimana dikehendaki, maka para pengawal yang menjadikan diri mereka perampok itu berusaha untuk tidak melalui pintu gerbang padukuhan. Dengan hati-hati mereka memilih jalan yang sepi meskipun mereka harus meloncati dinding padukuhan.

Para pengawal itu tidak banyak mengalami kesulitan. Kemampuan mereka yang tinggi, melampaui kemampuan perampok yang sebenarnya telah mempermudah usaha mereka mendekati rumah orang kaya itu tanpa diketahui oleh para peronda.

Ketika mereka mendekati regol halaman rumah saudagar kaya itu, mereka melihat bahwa regol itu tertutup. Dengan hati-hati para pengawal itu pun mendekati dinding halaman dari arah samping, sehingga sebagian dari mereka justru berada di halaman sebelah halaman saudagar kaya itu.

“Lihatlah,” desis Mahisa Bungalan kepada seorang pengawal, “apakah ada seseorang yang menjaga regol itu.”

Pengawal itu segera beringsut. Tetapi ia harus sangat berhati-hati. Menurut perhitungan, maka di rumah itu tentu terdapat penjaga yang dapat melindungi kekayaan saudagar yang kikir itu.

Sebenarnyalah, pengawal yang mengamati regol itu mendengar suara dan orang yang sedang bercakap-cakap. Tiba-tiba saja pengawal itu ingin mendengarkan, apa saja yang mereka percakapkan.

Dari balik pintu ia mendengar seseorang berkata, “Saudagar itu tidak menyetujui meskipun aku sudah mengemukakan alasan-alasan yang seharusnya dapat ia mengerti. Anakku sakit dan keluarga isteriku memerlukan uang untuk membeli benih palawija.”

“Ia memang kikir sekali,” sahut yang lain, “aku sebenarnya sudah jemu bekerja di sini. Tetapi aku tidak akan mendapatkan pekerjaan lain jika aku keluar dari tempat ini. Sementara sawahku yang tandus itu tidak memberikan makan yang cukup bagi keluargaku.”

“Tetapi rasa-rasanya kurang seimbang jika kita perbandingkan antara tugas kita yang bertaruh nyawa itu dengan upah yang kita terima.” berkata yang seorang.

“Apa boleh buat, untuk sementara aku harus bertahan. Mudah-mudahan selama bertahan di sini, kita tidak cepat mati. Para perampok yang tidak sempat merampok ke Pakuwon Kabanaran telah merampok di daerah Watu Mas.” jawab yang lain.

Tiba-tiba saja timbul keinginan pengawal itu untuk melakukan sesuatu yang mungkin akan dapat menghindarkan perkelahian. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berdesis di luar pintu regol, “Kau benar, Ki Sanak. Kami telah datang kemari.”

Kedua penjaga itu serentak meloncat. Dengan geram salah seorang dari keduanya bertanya, “Siapa kau?”

“Sudah kau sebut-sebut dalam pembicaraanmu. Aku tidak datang sendiri. Tetapi sekelompok. Bukalah pintu. Aku akan berbicara dengan baik.” berkata pengawal di luar pintu itu.

“Tidak,” geram penjaga di dalam pintu, “kami bertugas di sini. Kami akan menghalau siapa saja yang berani mengganggu rumah ini.”

“Jangan terlalu garang, Ki Sanak,” berkata pengawal itu, “aku mendengar apa yang kau bicarakan. Kalian mengeluh, bahwa apa yang kalian dapat dari saudagar itu tidak seimbang dengan jerih payah yang kau berikan. Bukankah begitu ? Jika kalian memaksa diri melawan kami, maka akibat yang paling pahit akan kalian alami. Mungkin kalian adalah orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Tetapi lawanmu akan terlalu banyak, karena kami datang dalam jumlah yang besar. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah saudagar yang kikir ini tidak akan membantumu.”

“Kami tidak hanya berdua,” jawab penjaga regol itu, “tetapi kami berempat. Dua orang di antara kami tidur di pendapa. Mereka akan segera bangun dan ikut serta menangkap kalian.”

“Apa artinya ampat orang bagi kelompok kami?” jawab pengawal itu, “Berpikirlah. Jika kalian memang berniat untuk mempertaruhkan nyawa kalian untuk upah yang tidak seimbang itu, kami pun tidak berkeberatan, meskipun sebenarnya kami merasa sayang akan keadaanmu sekeluarga. Anak isterimu dan mungkin orang tuamu.”

Penjaga regol itu menjadi heran. Mereka tidak dapat membayangkan bahwa seorang perampok dapat berbicara tentang keluarga, anak dan isteri. Namun demikian, salah seorang dari mereka menjawab, “Kau menakut-nakuti kami? Jangan menyangka bahwa kau dapat berbuat demikian terhadap kami.”

“Tidak, Ki Sanak. Aku tidak menakut-nakuti,” jawab pengawal itu, “tetapi aku mendengar apa yang kalian percakapkan itu. Kalian merasa, bahwa apa yang kalian lakukan tidak sesuai dengan upah yang kalian terima. Karena itu, jangan korbankan dirimu untuk sesuatu yang tidak akan berarti apa-apa bagi hidupmu.”

“Tetapi jika aku kehilangan pekerjaan ini, hidupku akan menjadi semakin sulit.” jawab salah seorang dari mereka.

“Lebih baik kehilangan pekerjaan itu daripada kehilangan nyawamu.” jawab pengawal itu, “Sudahlah. Buka pintunya dan beri kesempatan aku menjelaskan.”

Kedua orang itu menjadi ragu-ragu. Sementara itu pengawal itu berkata, “Atau, kau perlu bukti bahwa kami dapat berbuat seperti yang aku katakan?”

Tiba-tiba saja salah seorang menjawab, “Ya. Buktikan bahwa kau dapat melakukannya.”

Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Kami akan memasuki halaman ini. Tetapi kami tidak berniat untuk bertempur jika kalian tidak mendahului.”

Tidak ada jawaban. Sementara itu pengawal itu pun berkata, “Tunggulah sebentar. Aku akan memberitahukan kepada kawan-kawanku.”

Pengawal itu tidak menunggu jawaban. Sejenak ia merayap meninggalkan regol kembali kepada Mahisa Bungalan. Dengan singkat ia menceriterakan keadaan penjaga regol itu dan percakapannya dengan mereka.

“Baiklah. Kita akan memasuki halaman. Tetapi jangan berbuat sesuatu lebih dahulu.” berkata Mahisa Bungalan.

Pesan itu pun telah merambat dari seorang ke orang lain sehingga seluruh kelompok itu mengerti maksudnya.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan memberikan isyarat bunyi sebagai perintah kepada para pengawal untuk dengan serentak meloncati dinding dan memasuki halaman.

Kehadiran mereka benar-benar mengejutkan dua orang penjaga regol yang masih berada di tempatnya. Keduanya menyangka, bahwa sekelompok perampok akan merusak pintu regol. Karena itu, dengan senjata telanjang keduanya menunggui pintu itu, sementara kedua kawannya telah terbangun pula, meskipun mereka masih berada di pendapa.

Sebelum keempat orang penjaga itu berbuat sesuatu, pengawal yang menyebut diri mereka perampok itu telah memenuhi halaman. Sementara pengawal yang telah berbicara dengan dua orang pengawal itu maju mendekati keduanya yang termangu-mangu.

“Nah, bukankah aku berkata sebenarnya.” desis pengawal itu.

Kedua orang penjaga itu tertegun. Mereka melihat sekelompok orang yang disangkanya benar-benar perampok telah berada di depan hidungnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh salah seorang di antara mereka, bahwa jumlah mereka terlalu banyak.

“Apakah kalian berempat akan melawan?” bertanya pengawal itu.

Keempat orang yang terpisah itu ragu-ragu. Mereka yakin bahwa para perampok itu dapat berbuat sangat kasar terhadap mereka. Bahkan membunuhnya.

“Upah yang kalian terima sama sekali tidak seimbang dengan taruhan yang kalian berikan,” berkata pengawal itu, “kau sendiri menyadari. Karena itu, menyerah sajalah. Kami tidak akan mengganggu kalian, kecuali jika kalian melakukan sesuatu yang dapat mengganggu kerja kami.”

Keempat orang itu masih membeku.

“Cepat, menyerahlah,” ulang pengawal itu, “jangan menunggu kami kehabisan kesabaran. Letakkan senjata kalian sebelum jantung kalian terbelah.”

Keempat penjaga itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Yang ada di halaman itu adalah perampok-perampok yang garang dan mempunyai pengalaman yang luas tentang benturan kekerasan.

Karena itu, maka ketika seorang di antara mereka meletakkan senjatanya, maka yang lain pun segera melakukannya pula.

“Ternyata kalian cukup bijaksana,” berkata pengawal itu, “kalian tidak mau mengorbankan diri untuk upah yang tidak memadai. Silahkan kalian duduk di sudut pendapa. Biarlah dua orang kawan kami mengawasi kalian, sementara kami akan melakukan tugas kami.”

Keempat orang itu pun kemudian duduk di pendapa. Namun salah seorang dari mereka bedesis, “Ikat kami. Agar tidak mendapat tuduhan yang dapat menjerat leher kami. Seolah-olah kami telah memberikan jalan kepada sekelompok perampok untuk merampok di rumah ini.”

Pengawal itu memandang Mahisa Bungalan sejenak. Ketika kemudian Mahisa Bungalan mengangguk, maka keempat orang itu pun kemudian diikat dengan ikat kepala mereka masing-masing.

Dalam pada itu, keributan yang terjadi di pendapa itu ternyata telah membangunkan saudagar kaya yang kikir itu. Sesaat ia mencoba mendengarkan, apa yang telah terjadi di luar. Dengan hati-hati ia mendekati pintu pringgitan. Namun ia tidak berani membuka dan mengintip keluar.

Tetapi suara-suara yang didengarnya telah meyakinkannya, bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.

Tetapi saudagar kaya yang kikir itu sama sekali tidak mendengar perkelahian terjadi. Karena itu, ia menjadi ragu-ragu. Yang didengarnya hanyalah percakapan yang tidak jelas.

Namun ia terkejut bahwa tiba-tiba pintu pringgitan di hadapannya itu diketuk keras-keras. Hampir saja ia terlonjak dan berteriak. Namun ia berhasil menguasai diri. Karena itu, ia hanya bergeser saja surut beberapa langkah.

“Buka pintu!” terdengar suara garang di luar. Saudagar itu menjadi sangat berdebar-debar. Agaknya telah datang sekelompok perampok yang telah berhasil menguasai para penjaganya.

“Buka pintu!” sekali lagi terdengar suara itu.

Saudagar kaya itu termangu-mangu. Namun di luar terdengar suara, “Rumahmu sudah dikepung. Jangan mencoba lari lewat pintu-pintu butulan. Tidak ada gunanya. Bahkan mungkin hanya akan mencelakakan saja. Keempat orang upahanmu telah kami tangkap dan kami ikat, karena mereka tidak akan mampu melawan kami dalam jumlah yang lima kali lipat.”

Saudagar itu menjadi gemetar. Nampaknya memang tidak ada harapan lagi. Yang datang lima kali lipat dari jumlah orang-orangnya.

Meskipun demikian ia mencoba menjawab, “Kalian berbohong.”

“Jangan bodoh. Kami dapat membakar rumahmu dengan segala isinya.” bentak pengawal di luar pintu. “Cepat, buka pintu! Kami bukan tamu yang mengenal sopan santun dan unggah-ungguh. Tetapi kami adalah orang-orang kasar yang tidak punya kesabaran.”

Saudagar di dalam rumahnya itu menjadi semakin gelisah. Agaknya orang-orang yang di luar itu benar-benar bukan orang yang mengenal ungguh-ungguh. Ternyata bahwa sejenak kemudian mereka telah mengetuk pintu semakin keras.

“Apakah kau menunggu rumahmu menjadi abu?” bentak orang yang mengetuk pintu itu.

Saudagar itu menjadi gemetar. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Kepercayaannya agaknya sudah tidak berdaya lagi, karena yang datang terlalu banyak.

Karena itu, maka dengan tangan gemetar itu pun telah membuka pintu pringgitan. Demikian pintu itu terbuka, maka dua orang yang berdiri di depan pintu telah mengacungkan pedangnya ke dadanya.

“Kau akan melawan?” bertanya salah seorang. Sebenarnyalah yang datang memang terlalu banyak. Apalagi menurut orang yang mengetuk pintunya, rumah itu sudah dikepung.

Karena itu, maka ia pun tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali. Apalagi ketika kemudian ia melihat keempat orang penjaga rumahnya sudah terikat.

“Jangan membuat gaduh,” berkata salah seorang pengawal, “kumpulkan semua keluargamu, isteri dan anak-anakmu, pelayan-pelayanmu dan siapa saja yang berada di rumah ini.”

Saudagar itu tidak dapat membantah lagi. Semua keluarganya pun dikumpulkannya. Mereka terpaksa duduk diam dijaga oleh tiga orang berwajah garang dan berpakaian serba hitam. Seorang di antara anak saudagar kaya itu, menangis tidak henti-hentinya. Betapapun para perampok itu membentaknya, namun anak itu masih tetap menangis saja.

“Biarkan saja.” desis Mahisa Bungalan yang juga berpakaian seperti kawan-kawannya.

Seorang pengawal pun kemudian bertanya kepada saudagar kaya itu, “Tunjukkan, di mana harta bendamu kau simpan!”

Saudagar itu menjadi gemetar. Tetapi ia menjawab, “Aku tidak mempunyai harta benda berlebih-lebihan, selain yang nampak di ruangan-ruangan ini.”

“Jangan bohong!” orang yang bertanya itu membentak.

Saudagar itu terkejut. Sementara anaknya menangis semakin keras. Tetapi orang-orang kasar itu tidak menghiraukannya. Bahkan salah seorang berkata, “Nah, kau tahu. Menangis terlalu lama tidak baik bagi anak-anak. Mungkin ia akan menjadi sesak nafas. Mungkin menjadi lemas. Mungkin masih akan dapat timbul akibat-akibat yang lain.”

Saudagar itu termangu-mangu. Sementara orang kasar itu berkata lagi, “Tetapi lebih parah lagi jika kamilah yang kehilangan kesabaran. Akibat yang timbul akan lebih parah dari sekedar sesak nafas, lemas atau akibat-akibat yang lain dari tangisnya.”

“Jangan. Jangan ganggu anakku.” tangis isteri saudagar itu.

“Terserah kepada kalian,” berkata orang kasar itu, “apakah kalian lebih sayang akan harta bendamu, atau kalian lebih sayang kepada anakmu.”

“Kedua-duanya.” desis saudagar itu.

“Aku hanya memberimu kesempatan memiliki salah satu.” geram orang kasar itu.

“Jangan ganggu anakku.” tangis isteri saudagar itu semakin memelas.

“Berkatalah kepada suamimu.” berkata perampok yang garang itu.

Isteri saudagar itu memandang suaminya sejenak. Lalu katanya, “Berikan. Berikan semuanya yang diminta. Tetapi jangan anakku.”

Saudagar itu termangu-mangu. Ia adalah orang yang sangat kikir. Orang yang seluruh hidupnya diabdikannya kepada harta benda yang dikumpulkannya dengan sangat tekun.

Karena itu, maka ia harus berpikir berulang kali untuk mengambil keputusan.

Tetapi isterinyalah yang menangis, “Berikan. Berikan. Aku memerlukan anak ini lebih dari segala-galanya.”

Saudagar yang kikir itu menjadi sangat bingung. Ia sayang kepada anak-anaknya. Tetapi ia pun sayang sekali kepada harta bendanya.

“Cepat ambil keputusan!” bentak perampok itu.

Saudagar itu menjadi semakin bingung. Hampir menangis ia berkata, “Jangan sudutkan aku ke dalam kesulitan semacam ini.”

“Baiklah,” berkata perampok itu, “jika demikian, aku akan membakar rumah ini bersama segala isinya. Kau, isteri dan anak-anakmu.”

“Jangan anak-anakku,” tangis isterinya, “bakar aku dan isi rumah ini. Harta benda terkutuk itu. Tetapi selamatkan anak-anakku.”

Saudagar itu bahkan menangis lebih keras lagi, “Aku menjadi bingung sekali.”

Tetapi tangisnya terputus ketika ujung belati menyentuh lehernya, “Aku dapat memutuskan lehermu dan menghentikan tangismu yang gila ini. Bukankah kau seorang laki-laki? Bukankah kau seorang yang sangat kikir? Yang sampai hati melihat saudara sepupumu kelaparan dan telanjang? Kenapa kau begitu cengeng dan menangis seperi kanak – kanak?”

Dada saudagar itu menjadi sesak. Namun akhirnya ia berkata, “Jangan bunuh aku.”

“Nah, jika demikian, di mana kau menyimpan harta bendamu, yang kau kumpulkan dengan cara yang sangat licik. Kau hisap tetangga-tetanggamu dengan segala macam cara. Kau timbuni dirimu dengan keuntungan yang melimpah ruah. Kau biarkan orang lain menjadi miskin karena pokalmu.” berkata perampok yang kasar itu, “Sekarang, tunjukkan. Di mana harta bendamu.”

Orang itu tidak dapat menolak lagi. Dengan sendat ia berkata, “Aku menyimpannya di bawah pembaringan.”

Perampok itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian mendorong saudagar itu sambil membentak, “Tunjukkan aku, di mana pembaringanmu.”

Saudagar yang ketakutan itu pun kemudian pergi ke sentong kiri. Cahaya lampu yang redup membuat ruangan itu tidak cukup terang. Tetapi seorang perampok yang lain telah membawa lampu yang lebih besar memasuki ruangan itu.

“Di kolong pembaringan ini?” bertanya perampok.

“Di bawah kolong.” desis saudagar itu.

“Cepat, ambil!” bentak perampok yang kasar itu.

Saudagar itu pun kemudian membuka pembaringannya. Di ambilnya galar ambennya satu demi satu. Baru kemudian nampak di sudut kolong pembaringannya terdapat sehelai kepang bambu terbentang di atas lantai batu.

Sejenak saudagar itu ragu-ragu. Tetapi perampok yang kasar itu telah mendorongnya dengan ujung pisau belati.

Demikianlah, maka akhirnya saudagar itu terpaksa mengangkat dua buah peti dibantu oleh dua orang perampok yang selalu mengancamnya. Dengan wajah pucat dan tangan gemetar saudagar itu meletakkan kedua peti itu di depan pintu sentongnya.

“Terima kasih,” berkata para perampok itu, “aku akan melihat, apakah isi petimu ini.”

Kedua peti kayu itu pun kemudian telah dibuka. Isinya memang menggetarkan. Saudagar itu benar-benar seorang kaya raya, meskipun pada sisi luar dari kehidupannya sehari-hari tidak terlalu nampak.

“Ki sanak,” berkata perampok yang kasar itu, “ternyata aku memang memerlukan barang-barang ini. Tetapi kami bukannya orang yang tidak berjantung. Kami akan membawa satu saja dari kedua petimu ini.”

“Jangan.” tangis saudagar kaya itu.

“O, jika demikian aku akan membawa kedua-duanya.” berkata perampok itu kemudian.

“Jangan, jangan.” saudagar itu menangis lagi.

“Karena itu, katakan. Yang manakah yang harus aku bawa. Satu, atau dua atau seisi rumahmu ini?” perampok itu mulai membentak, sementara pisau belatinya mulai menyentuh tubuh saudagar itu lagi. Katanya pula, “Jika kau tidak mau melepaskan kedua-duanya, maka nyawamulah yang akan terlepas. Akhirnya aku akan memiliki kedua petimu itu pula.”

Saudagar itu benar-benar tidak berdaya. Para perampok itu pun telah memilih satu dari kedua petinya dan siap untuk membawanya, sementara saudagar itu hampir menjadi pingsan karenanya.

Beberapa orang kawan perampok itu pun kemudian menggotong peti yang telah dipilih berisi barang-barang yang sangat berharga, meskipun peti yang ditinggalkan itu pun berisi barang-barang berharga pula.

“Terima kasih, Ki Sanak,” berkata perampok itu, “kami akan segera meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan anakmu segera berhenti menangis. Dan kau sendiri juga berhenti menangis. Kau tidak perlu kecewa karena barang-barangmu ini kami bawa, karena tidak ada gunanya.”

Saudagar itu tidak mampu untuk menjawab. Jantungnya bagaikan berhenti berdetak ketika para perampok itu kemudian meninggalkan rumahnya dengan mengusung satu di antara kedua petinya.

Ketika para perampok itu sudah berada di halaman, maka salah seorang dari mereka masih berpesan, “Dengar, Ki Sanak. Jangan membuat gaduh, agar kami tidak kembali untuk mengambil petimu yang satu lagi.”

Saudagar itu tidak menjawab. Ia hanya dapat memandangi saja para perampok itu hilang di balik pintu regol.

Namun dalam pada itu, demikian para perampok itu pergi, tiba-tiba saja saudagar itu telah melompat ke arah keempat orang penjaga rumahnya sambil berteriak, “Bunyikan kentongan. Cepat!”

Keempat orang penjaga rumah saudagar itu saling berpandangan. Tetapi mereka masih belum bergerak sama sekali.

“Cepat. Bunyikan kentongan!” berkata saudagar itu hampir berteriak.

“Kami terikat.” sahut salah seorang dari para penjaga rumahnya.

Saudagar itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia melepas ikatan orang-orangnya yang membelenggu tangan mereka.

“Cepat!” saudagar itu sudah berteriak.

“Apakah ada artinya?” bertanya salah seorang penjaganya.

“Biar orang-orang seluruh padukuhan ini terbangun.” jawab saudagar itu.

“Tetapi perampok itu sudah jauh.” jawab orangnya yang lain.

“Tidak peduli. Cepat lakukan.” bentak saudagar itu.

Salah seorang dari para penjaga itu pun kemudian dengan segan pergi ke regol. Sejenak kemudian terdengar suara kentongan di regol halaman saudagar kaya itu memecah sepinya malam.

Ternyata suara kentongan itu telah mengejutkan orang-orang yang mendengarnya. Satu dua orang yang tidak mengerti apa yang terjadi telah menyambung dengan bunyi kentongan pula.

Sejenak kemudian padukuhan itu telah dipenuhi suara titir. Beberapa orang telah berlari-larian keluar rumahnya. Namun ketika mereka mendengar, bahwa rumah saudagar kaya yang kikir itulah yang dirampok, maka seorang demi seorang telah masuk kembali ke dalam rumahnya. Suara kentongan pun semakin lama menjadi semakin jarang, sehingga akhirnya hanya beberapa kentongan sajalah yang masih berbunyi.

“Biar sajalah,” desis seseorang, “saudagar kaya itu sekali-sekali memang memerlukan pelajaran.”

“Orang itu sangat kikir,” sahut yang lain, “aku tidak mau mempertaruhkan diri untuk melawan para perampok bagi saudagar kikir itu.”

“Tetapi jika kita tidak berbuat apa-apa, maka para perampok itu akan mengulangi lagi perbuatannya di padukuhan ini, seolah-olah kami semuanya adalah pengecut.” berkata seseorang.

“Jika pada saat lain terjadi pada orang lain, kita akan bertindak.” sahut seorang anak muda.

Ternyata tidak seorang pun yang menaruh perhatian terhadap peristiwa yang baru saja terjadi. Karena itu, justru suara kentongan pun menjadi lenyap, kecuali suara kentongan di regol saudagar kaya itu sendiri.

Tetapi, justru di padukuhan saudagar kaya itu suara kentongan berhenti, di padukuhan-padukuhan lain, suara itu sudah menjalar, padukuhan terdekat yang mendengar suara kentongan itu, telah menyambutnya dan mengembangkannya. Demikian sahut-menyahut sehingga di beberapa padukuhan suara kentongan itu masih bergema.

Dalam pada itu, sekelompok pengawal Pakuwon Kabanaran yang telah mendapat tempaan khusus itu sama sekali tidak menghiraukan suara kentongan itu. Seandainya laki-laki dari beberapa padukuhan akan mengejarnya, maka mereka tidak akan menjadi gentar.

Namun demikian Mahisa Bungalan memperingatkan, “Ingat. Jika kalian harus berhadapan dengan sekelompok orang Pakuwon Watu Mas, kalian tidak boleh bertindak semena-mena. Kalian memang mempunyai kelebihan dari mereka, tetapi tidak sepantasnya kalian kehilangan pengamatan diri dan berbuat benar-benar seperti segerombolan perampok.”

Para pengawal itu mengangguk-angguk.

Namun selagi orang-orang dari padukuhan tetangga mencari keterangan, maka para pengawal yang merampok itu pun menjadi semakin jauh.

Dalam pada itu, saudagar kaya yang kikir itu menjadi heran, bahwa tidak ada seorang pun yang datang kepadanya untuk membantu. Para penjaga regolnya pun melihat bahwa orang-orang padukuhan itu tidak menghiraukannya sama sekali. Bahkan mereka pun telah kembali masuk ke dalam rumah masing-masing.

“Kenapa mereka berbuat begitu gila?” teriak saudagar kaya yang kikir itu.

“Aku tidak tahu.” jawab penjaganya.

“Mereka sama sekali tidak mengenal terima kasih,” geram saudagar kikir itu, “tanpa aku, mereka akan mati kelaparan di musim paceklik. Aku adalah orang yang memberi pinjaman kepada mereka sehingga anak-anak mereka tidak mati kelaparan. Namun dalam keadaan begini mereka sama sekali tidak bersedia membantu aku.”

Para penjaga rumah saudagar itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi mereka mengerti, bahwa sebenarnyalah saudagar itu adalah orang yang sangat kikir. Jika saudagar itu bersedia memberikan pinjaman, maka pada saatnya, tetangga-tetangganya harus mengembalikan berlipat ganda. Tanpa kemungkinan itu, maka saudagar itu akan sampai hati menolak permintaan pinjam seseorang untuk membeli obat bagi keluarganya yang sakit keras.

Namun dalam pada itu, peristiwa itu adalah satu peringatan yang sangat keras bagi saudagar yang kaya tetapi sangat kikir itu. Ia sudah kehilangan sebagian dari simpanannya. Sementara tetangga-tetangganya sama sekali tidak menghiraukannya ketika rumahnya dirampok oleh segerombolan orang.

Bagaimanapun juga ia harus menilai keadaannya. Meskipun sulit baginya untuk merubah perangainya itu.

Sementara itu, maka Mahisa Bungalan dan para pengawal dari Pakuwon Kabanaran yang telah menjadi sekelompok perampok itu telah menuju ke perbatasan. Sejenak kemudian mereka pun telah memasuki hutan kecil yang memisahkan Pakuwon Kabanaran dan Pakuwon Watu Mas, sambil membawa satu peti harta benda saudagar yang sangat kikir itu.

Perampokan itu pun segera tersebar ke padukuhan-padukuhan di perbatasan. Para Pengawal di Pakuwon Watu Mas yang mendengar hal itu pun segera berdatangan. Seperti perampokan yang pernah terjadi, maka peristiwa itu pun telah membuat pemimpin pengawal menjadi marah.

Tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian para pengawal. Pada peristiwa yang pertama, sebagian dari harta benda yang dirampok telah bertebaran di pendapa dan halaman rumah, sehingga pemiliknya masih sempat mengumpulkannya. Sementara itu pada peristiwa yang kedua, para perampok itu hanya membawa satu dari dua peti yang seolah-olah sudah tersedia.

“Menarik sekali,” berkata pemimpin perampok, “aku kira hal ini jarang sekali terjadi. Para perampok itu tidak akan berbelas kasihan meninggalkan satu peti dari dua peti yang sudah diketemukannya. Mereka juga tidak akan menyebar perhiasan di halaman seperti yang pernah terjadi.”

Para pengawal hanya dapat mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi.

Ketika sekali lagi pemimpin pengawal itu menemui para perampok yang bersarang di hutan-hutan di tlatah Watu Mas, maka mereka pun mendapat jawaban serupa sebagaimana pernah dikatakan oleh pemimpin perampok itu.

“Tidak mungkin terjadi,” berkata pemimpin perampok itu, “orang-orangku bukan orang-orang gila. Meskipun mereka orang-orang kasar, tetapi mereka memegang teguh janji. Kami tidak akan melakukannya di daerah Watu Mas sendiri.”

“Jika demikian, aku minta kalian membantu kami,” berkata pengawal itu, “mau tidak mau. Jika kalian tidak bersedia, maka kami akan tetap menuduh kalian terlibat ke dalam perampokan yang aneh itu.”

Pemimpin perampok itu tidak dapat membantah. Ia sadar, untuk mengatasi kejahatan, maka para pengawal terbiasa mempergunakan orang-orang dari lingkungan yang sama. Karena itu maka katanya, “Kami akan membantu. Tetapi kalian harus mempercayai kami. Tanda-tanda dari perampokan itu pun jauh berbeda dari yang kami lakukan. Kami tidak akan pernah menyisakan barang-barang yang telah kami dapatkan di rumah itu, atau sebutir permata pun yang jatuh dari tangan kami.”

“Kalian tidak perlu bertindak sebagaimana kami lakukan. Tetapi bantu kami mengawasi daerah ini. Beri laporan kepada kami apa yang kalian ketahui kemudian. Kamilah yang akan bertindak atas para perampok itu.” berkata pemimpin pengawal itu.

“Tetapi jangan curigai kami dalam hal ini.” berkata pemimpin perampok itu.

Demikianlah, untuk menghilangkan segala kecurigaan, maka para perampok itu terpaksa bekerja keras untuk ikut serta memecahkan teka-teki tentang perampokan itu.

Sementara itu, kegelisahan mulai merayapi hati rakyat Watu Mas. Mereka mulai dibayangi oleh ketakutan di malam hari. Lebih-lebih orang-orang yang memiliki sedikit kekayaan di perbatasan.

Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu di Watu Mas memiliki perhitungan yang cermat. Meskipun ia belum menyatakan dengan terbuka, tetapi ia sudah berbuat dengan beberapa orang pemimpin di Pakuwon itu.

“Orang-orang Pakuwon Kabanaran telah mendendam kita,” berkata Akuwu itu, “tidak mustahil bahwa mereka telah melakukan sesuatu untuk membalas dendam.”

“Mungkin sekali,” sahut seorang Senopati, “karena itu, maka pengawalan di daerah yang rawan itu harus diperkuat.”

“Bagaimana sikap Pangeran Indrasunu?” bertanya seorang Senopati yang lain.

“Masih belum jelas. Tetapi ia sudah bersedia melibatkan diri dengan pengikut-pengikutnya yang terdiri dari beberapa padepokan yang besar. Apabila terjadi perselisihan terbuka, maka ia mempunyai kekuatan untuk ikut serta menghancurkan Kabanaran. Pangeran Indrasunu pernah menduduki kota Pakuwon untuk beberapa lamanya. Tetapi karena ia memang tidak ingin merebut kekerasan, selain sekedar memberikan peringatan saja kepada Akuwu Suwelatama.” jawab Akuwu di Watu Mas. Namun kemudian, “Tetapi kita tidak tergantung kepada Pangeran Indrasunu. Kita mempunyai sikap dan kekuatan. Menghadapi Kabanaran, Watu Mas sama sekali tidak gentar. Bahkan kita akan mempunyai alasan untuk menentukan sikap atas perbatasan di kemudian hari jika perang terjadi. Kami yakin akan dapat mengalahkan Kabanaran. Sementara itu kita pun akan dapat mempertahankan kebenaran sikap kita, seandainya kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan para penguasa di Kediri, bahkan Singasari sekalipun.”

Para Senopati mengangguk-angguk. Watu Mas memang cukup kuat. Sementara para pemimpin di perbatasan menganggap bahwa para pengawal di Kabanaran sudah gelisah dan kehabisan akal menghadapi sekelompok perampok. Apalagi jika mereka benar-benar berhadapan dengan Watu Mas.

Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatama yang menyetujui sikap Mahisa Bungalan untuk mengadakan balasan atas sikap Akuwu di Watu Mas tentang perbatasan, telah memperhitungkan pula segala kemungkinan yang terjadi. Karena itu, maka dengan sungguh-sungguh para pengawal di Kabanaran telah meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan Akuwu Suwelatama telah memanggil anak-anak-muda yang bersedia untuk ikut serta menjadi pengawal Pakuwon. Mereka yang menyatakan dirinya bersedia, telah dimasukkan ke dalam sebuah barak untuk ditempa menjadi seorang pengawal yang tangguh.

Sementara itu, Mahisa Bungalan telah membuat kebijaksanaan tantang rencananya. Harta benda yang didapatnya dari perampokan itu, sebagaimana pernah dibicarakan, akan ditukarnya dalam ujud yang lain. Kemudian harta benda itu akan dikembalikannya kepada orang-orang di sekitar saudagar yang kikir itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun tidak menolak pendapat, bahwa sebagian dari harta benda yang akan dijual itu akan dipergunakan untuk membeayai tugas-tugas mereka di perbatasan, jika Akuwu Suwelatama menyetujui.

Ketika seorang penghubung menghadap, ternyata Akuwu tidak berkeberatan. Namun Akuwu berpesan, bahwa hal itu tidak akan menenggelamkan tugas pokok mereka.

Beberapa orang dalam tugas sandi telah memasuki daerah Watu Mas untuk menjual perhiasan-perhiasan itu. Meskipun mereka harus berhati-hati, namun para petugas sandi itu dapat melakukan tugas mereka dengan baik. Mereka berhasil menghubungi saudagar-saudagar emas dan permata yang dengan gelap mengusahakan keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka tidak segan-segan merupakan bentuk perhitungan-perhitungan yang dibelinya di luar pengamatan para pengawal, karena mereka pun tahu, bahwa barang-barang itu adalah barang-barang yang didapat dari tindakan terlarang.

Dengan ujud yang berbeda, maka mereka dapat menjual barang-barang berharga itu dengan bebas.

Hasil perjuangan itulah yang kemudian dipergunakan oleh tara pengawal dari Kabanaran untuk menolong orang-orang yang terlalu miskin yang hidup di sekitar saudagar kaya yang telah terlalu miskin yang hidup di sekitar saudagar kaya yang telah dirampok. Meskipun tidak dengan semata-mata. Namun ada juga yang dengan terus-terang memberikan uang kepada orang kesrakat karena mereka telah terlibat hutang terlalu besar.

Betapapun juga hal itu dilakukan dengan diam-diam, namun akhir tercium juga oleh bebahu padukuhan. Karena itu, maka mereka pun telah mendatangi beberapa orang yang telah mendapat uang dari orang-orang yang tidak dikenal itu.

“Siapa mereka?” bertanya bebahu padukuhan itu. Orang-orang itu hanya menggeleng saja. Seorang ibu tua berkata, “Mereka datang dengan tiba-tiba. Mereka mengetahui kesulitan hidup yang aku derita dengan dua orang anak-anakku. Tanpa aku minta, mereka memberikan sejumlah uang agar aku menebus hasil sawahku yang sudah aku gadaikan untuk menyambung hidup.”

Sementara orang-orang lain berkata, “Orang-orang itu berpesan untuk mengikhlaskan saja hasil sawah satu panenan yang sudah tergadai. Mereka memberi uang untuk bekal hidupku menjelang panen berikutnya, tetapi dengan pesan, agar aku tidak menggadaikannya lagi.”

“Aneh,” berkata bebahu padukuhan itu, “siapakah sebenarnya mereka? Teka-teki tentang perampokan itu belum terpecahkan. Kemudian timbul teka-teki yang lain lagi.”

Tetapi tidak seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian, para bebahu itu sama sekali tidak mengganggu orang-orang yang telah mendapat uang oleh pihak yang tidak mereka ketahui. Nampaknya ada hubungannya dengan sikap belas kasihan, karena pemerasan yang telah dilakukan oleh saudagar yang kaya dan kikir itu.

Setelah perampokan terjadi, maka ia justru menjadi semakin garang. Ia berusaha untuk mendapat ganti harta bendanya yang telah dibawa oleh para perampok.

Namun bahwa ada pihak tertentu yang telah membagikan uang kepada orang-orang miskin, maka usaha saudagar kaya itu tidak sepenuhnya berhasil. Orang-orang yang sudah mendapat uang dari orang yang tidak dikenal itu, ternyata tidak memerlukan lagi pinjaman yang menjerat dari saudagar kaya itu.

Sikap saudagar kaya itu telah menimbulkan akibat pula pada penjaga rumahnya. Karena tidak tahan lagi melihat sikap saudagar itu, maka mereka pun berniat untuk meninggalkan pekerjaannya. Apalagi ketika datang orang yang tidak dikenalnya dan memberi sekedar uang untuk modal berusaha kecil-kecilan.

“Kau dapat membuka kedai,” berkata orang yang tidak dikenal itu, “atau barangkali usaha lain yang lebih baik dari mempertaruhkan nyawa.”

Namun peristiwa-peristiwa itu sama sekali tidak memberikan kesadaran kepada saudagar kaya yang kikir itu. Bahkan ketika isterinya yang tidak betah lagi meninggalkannya dengan anak-anaknya, maka ia pun tidak berubah pendirian. Dibiarkannya isteri dan anak-anaknya pergi tanpa bekal sama sekali.

Tetapi aneh, bahwa seseorang yang tidak dikenal telah datang ke rumah isteri dan anak-anak saudagar kaya yang kembali ke orang tuanya itu. Orang itu telah memberikan uang dalam jumlah yang cukup besar untuk beaya hidup isteri dan anak-anak saudagar kaya itu.

Namun akhirnya, saudagar kaya itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan jiwanya. Dalam kekalutan itu, sekali lagi datang kepadanya beberapa orang perampok. Mereka telah mengambil sebagian besar dari harta bendanya yang tersisa. Lebih dari separo isi peti yang satu lagi telah dibawa oleh perampok itu.

Saudagar itu menangis meraung-raung seperti kanak-kanak. Beberapa orang tetangga telah datang ke rumahnya. Betapapun juga mereka tidak sampai hati melihat tingkah laku saudagar itu. Orang yang kikir itu menangis sampai tengah hari berikutnya.

Dengan pedih isterinya akhirnya kembali kepadanya, justru karena saudagar itu terganggu jiwanya. Namun karena kesabaran dan kesetiaan isterinya, akhirnya saudagar itu berangsur sembuh. Bahkan kemudian seolah-olah ia telah memandang wajahnya di depan wajah air yang tenang bening. Dilihatnya cacat dan celanya, sehingga akhirnya ia telah berubah sama sekali.

Yang terjadi itu adalah satu dari berbagai peristiwa yang menggelisahkan di perbatasan Pakuwon Watu Mas. Pada saat-saat itu, ternyata telah terjadi pula peristiwa-peristiwa yang lain. Perampokan masih saja terjadi, sementara ada orang-orang yang mendapatkan belas kasihan dari orang-orang yang tidak dikenal.

Namun betapapun cermatnya usaha orang-orang Kabanaran dalam pekerjaannya, namun pada suatu saat, kelompok itu dapat dilihat oleh seorang dari gerombolan perampok yang tinggal di hutan perbatasan.

Orang yang mengetahui bahwa para pengawal di Watu Mas telah mencurigai kawan-kawannya dan bahkan telah minta agar mereka membantu mengamati perampok-perampok yang berkeliaran di daerah Pakuwon Watu Mas itu pun segera melaporkan kepada pemimpinnya.

“Gila,” berkata pemimpin perampok itu, “para pengawal Watu Mas yang malas itu lebih senang tidur mendekur di baraknya, sementara perampokan terjadi semakin sering. Mereka lebih senang menuduh kita melakukannya dan memaksa kita untuk membuktikan bahwa kita tidak bersalah daripada bekerja keras untuk menangkap para perampok itu.”

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya orang yang melihat sekelompok perampok di Pakuwon Watu Mas itu.

“Kita akan menangkap mereka. Meskipun seandainya hanya seorang saja yang dapat kita tangkap, namun segalanya akan menjadi terang. Yang seorang itu tentu akan dapat diperas untuk berbicara tentang dirinya dan kelompoknya.” berkata pemimpin perampok itu. Lalu, “Sekaligus kita akan dapat menunjukkan ke depan hidung para pengawal apa yang telah terjadi sebenarnya. Dengan demikian mereka tidak akan selalu mencurigai kita lagi.”

Pemimpin perampok itu pun kemudian menyiapkan orang-orangnya yang terbaik. Dengan jumlah yang memadai, bahkan lebih banyak dari kelompok yang telah dilihat oleh seorang di antara mereka, maka para perampok itu berusaha untuk dapat membersihkan namanya di tlatah Pakuwon Watu Mas. Jika kemudian kedua gerombolan itu bertemu, mereka tidak sedang memperebutkan daerah jelajah mereka, tetapi mereka akan mempertahankan sikap mereka masing-masing. Sekelompok yang sedang melakukan perampokan dan sekelompok yang lain berusaha membersihkan nama mereka dari segala tuduhan.

Meskipun seorang di antara perampok itu tidak melihat arah yang pasti dari sekelompok perampok yang kebetulan dijumpainya, namun mereka sudah dapat memperhitungkan. Di arah perjalanan sekelompok perampok itu terdapat seorang pedagang batu permata yang kaya raya. Tentu sekelompok perampok itu akan pergi ke pedagang batu permata itu.

Perhitungan itu memang tidak salah. Sebenarnyalah Mahisa Bungalan dan kawan-kawannya telah pergi ke rumah seorang saudagar permata yang kaya raya, tetapi juga memiliki sifat yang kurang terpuji. Orang itu sombong dan merasa dirinya orang yang paling baik di seluruh Pakuwon Watu Mas.

“Kita akan mengambil kekayaannya,” berkata Mahisa Bungalan, “bukan barang-barang dagangannya.”

“Bagaimana kita dapat membedakan?” bertanya seorang pengawal.

“Memang sulit,” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi menilik caranya menyimpan, kita akan dapat melihat, apakah barang barang itu termasuk barang yang diperdagangkan, atau barang-barang yang sudah dimilikinya sendiri.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka tidak terlalu memperhatikannya. Seandainya keliru pun tidak akan terlalu salah bagi mereka.

Demikianlah, sekelompok penjahat yang kasar itu telah mendekati regol saudagar kaya itu. Seperti di rumah orang-orang kaya yang lain, maka tentu ada para penjaga regol dan bahkan penjaga seluruh isi rumahnya.

Ternyata para penjaga di rumah pedagang permata itu tidak dapat ditakut-takuti. Mereka sama sekali tidak mau menyerah. Di muka regol mereka siap menunggu dengan senjata telanjang.

“Lima orang,” desis seorang pengawal yang menjenguk sambil memanjat dinding di sebelah regol itu, “hampir saja kepalaku disentuh ujung tombak.”

“Mereka keras hati.” desis yang lain.

“Baiklah,” berkata Mahisa Bungalan, “sebagian dari kita tetap di muka regol. Sementara yang lain akan memasuki halaman rumah itu lewat dinding samping. Kita akan bersama-sama melompat dan memasuki halaman. Mudah-mudahan para penjaga itu dapat melihat satu kenyataan.”

Dengan isyarat, maka para pengawal yang menjadi perampok itu menebar. Kemudian ketika terdengar aba-aba maka serentak mereka pun berloncatan naik ke atas dinding, sementara orang-orang yang berada di regol masih tetap ditempatnya.

“Kalian melihat, bahwa kalian sudah dikepung oleh jumlah yang jauh lebih besar dari jumlah kalian?” bertanya yang berdiri di luar regol.

“Persetan,” geram salah seorang penjaga itu, “kami akan membunuh kalian semua. Kami, murid-murid perguruan Sangkak tidak akan menyerah melawan perampok-perampok kecil seperti kalian.”

Jawaban itu membuat para pengawal di depan regol itu marah. Tetapi Mahisa Bungalan berdesis, “Jangan cepat marah. Biarlah kita mencoba menakut-nakutinya agar mereka tidak terlalu garang.”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya salah seorang pengawal.

“Aku akan memecah pintu kayu itu.” jawab Mahisa Bungalan.

Para pengawal yang menyatakan diri mereka sebagai perampok itu termangu-mangu. Namun mereka percaya bahwa Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang mempunyai kelebihan. Karena itu maka mereka pun kemudian menyibak.

Dalam pada itu, beberapa orang pengawal yang telah memasuki halaman itu telah mendekati penjaga regol yang berjumlah lima orang, yang kemudian telah berkumpul di belakang regol yang masih tertutup itu.

“Jangan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak.” berkata orang tertua di antara para penjaga regol itu.

“Bagaimanapun juga jumlah kami yang banyak akan ikut menentukan. Seandainya lima orang di antara kami terbunuh, dan kalian berlima mati seluruhnya, maka sisa di antara kami cukup banyak untuk mengangkut semua harta benda pedagang kaya ini.”

“Kalian sudah gila,” geram penjaga itu, “kami setiap orang akan dapat membunuh sepuluh orang di antara kalian. Sementara itu jangan kau sangka bahwa pedagang kaya itu akan mampu membunuh sepuluh orang pula di antara kalian.”

“Kalian memang berani,” terdengar suara di balik pintu, “tetapi bukalah pintu regolmu. Jika benar kalian ingin bertempur melawan kami semuanya.”

“Persetan!” geram penjaga itu.

“Jika kalian tidak mau membuka, maka kami yang masih berada di luar akan memecahkan pintu ini meskipun kami dapat memasuki halaman dengan memanjat seperti kanak-kanak kami.”

“Jangan mengigau,” teriak penjaga itu, “hanya iblis yang dapat mencegah pintu regol itu.”

Para pengawal yang sudah memasuki halaman itu pun tertegun. Namun sebagian dari mereka pun tahu maksud kawan-kawannya yang berada di luar. Mereka ingin menggerakkan para penjaga itu, agar mereka tidak perlu bertempur berkepanjangan, apalagi jika terjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam bermain-main dengan senjata.

Sebenarnyalah, Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Baiklah para penjaga yang setia. Kami akan mencoba memecah pintu. Namun dengan demikian kalian harus membuat perhitungan yang cermat. Jika kami berhasil memecah pintumu, itu berarti bahwa kami dapat berbuat jauh lebih banyak lagi. Apalagi hanya menghadapi lima orang, bahkan seandainya pedagang kaya itu pun akan ikut bertempur pula.”

“Tutup mulutmu!” bentak menjaga regol itu.

Mahisa Bungalan menghela nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian telah bersiap. Dengan ilmunya ia mengerahkan segenap kekuatannya.....

Demikianlah, maka dengan memusatkan tenaga pada sisi telapak tangannya, maka Mahisa Bungalan pun kemudian meloncat ke arah pintu regol yang tertutup dan diselarak dari dalam. Dengan kedua galum tangannya maka Mahisa Bungalan pun menghantam regol yang tertutup itu.

Terdengar suara berderak memekakkan telinga. Bukan saja pintu kayu yang tebal itu yang berderak pecah. Tetapi selaraknya pun telah berpatahan.

Semua orang yang menyaksikan dengan mendengar suara itu pun terkejut. Ketika daun pintu itu kemudian rontok, maka kelima orang penjaga regol itu berdiri dengan mulut ternganga. Bahkan para pengawal yang mengaku diri mereka sebagai perampok itu pun menjadi keheran-heranan melihat kekuatan Mahisa Bungalan.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun yang berdiri di depan pintu itu pun kemudian melangkah masuk, melangkahi daun pintu yang sudah rontok di tanah.

“Aku sama sekali bukan iblis dan aku pun tidak mempergunakan kekuatan iblis.” berkata Mahisa Bungalan. Lalu, “Nah, Sekarang pertimbangkan. Apakah kalian akan melawan?”

Orang-orang itu berdiri dengan tubuh gemetar. Tidak lagi terlintas di kepalanya, keberanian untuk melawan orang yang dapat memecahkan pintu regol hanya dengan tangannya itu.

“Apakah kalian menyerah?” bertanya Mahisa Bungalan.

Kelima orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka pun tidak dapat berbuat lain ketika para pengawal itu pun maju mendekatinya.

“Lepaskan senjata kalian!” berkata Mahisa Bungalan.

Orang-orang itu pun kemudian melepaskan senjata mereka. Dalam pada itu, saudagar permata yang juga mendengar derak pintu pecah itu pun tidak mempunyai harapan lagi untuk berbuat sesuatu, ketika dari balik pintu rumahnya ia mendengar percakapan antara para perampok dengan penjaga rumahnya di pendapa. Karena kelima penjaga itu pun telah diikat kaki dan tangannya dan kemudian mereka pun dipersilahkan duduk di sudut pendapa.

“Jangan berbuat sesuatu yang akan dapat mencelakai diri kalian sendiri.” berkata seorang pengawal.

Dalam pada itu, maka seorang pengawal yang lain pun telah mengetuk pintu rumah saudagar itu. Di ruang dalam, saudagar permata itu tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka ia pun telah membuka pintunya dengan wajah yang pucat.

Lima orang pengawal kemudian memasuki rumahnya. Yang lain masih tetap tinggal di pendapa. Sementara dua orang mengawasi masing-masing di sebelah kanan, kiri dan belakang rumah. Sedangkan dua orang lainnya berada di regol.

Dalam pada itu, ketika para pengawal yang memasuki rumah itu sedang berbicara dengan saudagar permata untuk mendapatkan barang-barangnya yang berharga, maka segerombolan orang telah mendekati halaman rumah itu. Mereka adalah para perampok yang sebenarnya, yang tinggal di hutan perbatasan. Mereka berniat untuk menangkap perampok yang telah menggetarkan daerah Pakuwon Watu Mas itu.

Pemimpin perampok itu beranggapan, jika ia berhasil menangkap meskipun hanya seorang saja di antara mereka yang telah merampok di daerah Watu Mas itu, maka ia akan bebas dari segala tuduhan. Ia akan mendapat kepercayaannya kembali sehingga gerombolannya justru akan mendapat dukungan dari para pengawal di perbatasan. Para pengawal itu tentu akan tetap melindungi mereka jika para pengawal dari Pakuwon Kabanaran berusaha mengejar mereka, apalagi menusuk masuk ke dalam sarang mereka yang terletak di tlatah Watu Mas.

Karena itu, untuk menjual jasa, para perampok itu sama sekali tidak menghubungi para pengawal. Yang akan mereka lakukan adalah menghadapkan tawanan yang dapat mereka tangkap kepada para pengawal.

Demikianlah, maka mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan rumah saudagar permata yang sedang dalam kebingungan. Saudagar itu tidak dapat berbuat lain, kecuali menyerahkan apa yang diminta oleh para perampok itu.

“Bawa kemari semua harta bendamu,” berkata pengawal yang menyatakan dirinya sebagai perampok itu, “jika ternyata kemudian bahwa kau masih menyimpan harta benda lain kecuali yang kau bawa kemari, maka rumah dan isinya akan aku bakar habis. Tetapi jika kau berterus terang, dan membawa semua harta kekayaanmu, maka aku akan membawa sebagian saja dari seluruh harta bendamu.”

Saudagar itu pun telah mengeluarkan semua simpanannya. Ketika ia meletakkan peti di amben bambu di samping peti yang terdahulu, hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Ini barang dagangan. Jika barang-barang ini juga hilang dari tanganku, dari mana lagi aku akan dapat mencari gantinya?”

Mahisa Bungalan yang juga memasuki rumah itu pun mengerutkan keningnya. Sambil membuka peti itu ia berkata, “Apakah barang daganganmu ini bukan milikmu sendiri?”

“Hanya sebagian kecil saja,” jawab saudagar itu, “tetapi sebagian besar dari barang-barang itu, adalah milik orang lain. Permata itu adalah barang titipan yang harus aku jual dan kemudian menyerahkan uangnya kepada pemiliknya.”

Mahisa Bungalan memperbandingkan dua buah peti yang ada di hadapannya. Keduanya berisi emas dan permata. Tetapi memang dapat diduga bahwa yang sebuah adalah milik saudagar kaya itu sendiri. Sementara yang lain seperti yang dikatakannya beremas dan permata titipan.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun berkata, “Aku hanya akan mengambil barang-barangmu. Aku tidak akan mengambil barang-barang titipan itu.”

Saudagar itu benar-benar tidak menyangka. Sikap yang demikian bukan sikap kebanyakan perampok. Biasanya mereka akan membawa apa saja yang ada. Milik sendiri atau bukan, tidak menjadi persoalan bagi mereka.

“Tetapi sikap perampok ini agak berbeda.” berkata saudagar itu di dalam hatinya.

Meskipun saudagar itu belum pernah dirampok sebelumnya, tetapi ia pernah mendengar apa yang sering terjadi dalam perampokan-perampokan. Bahkan kadang-kadang para perampok itu tidak percaya meskipun semua harta benda sudah diserahkan oleh pemiliknya.

Dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan dan para pengawal itu membenahi barang-barang yang akan dibawanya, tiba-tiba dua orang yang berada di regol memberi isyarat, bahwa sekelompok orang tengah mendekati regol halaman.

“Siapa mereka?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Belum tahu dengan pasti.” desis seorang pengawal yang kemudian berlari menghambur keluar untuk mendapat kepastian siapakah yang datang.

Dalam pada itu, kedua pengawal yang menjaga regol sudah terdesak masuk ke halaman. Mereka berdiri tegak di depan pendapa rumah saudagar kaya itu, sementara beberapa orang yang berada di pendapa telah turun pula.

“Nah,” berkata pemimpin perampok yang sebenarnya, “ternyata kita dapat bertemu kali ini.”

Mahisa Bungalan yang kemudian keluar juga dari ruang dalam dan menyerahkan peti yang sudah siap untuk dibawa itu kepada seorang pengawal, melihat bahwa yang datang itu bukan pasukan pengawal dari Pakuwon Watu Mas.

“Siapakah kalian?” bertanya Mahisa Bungalan dari pendapa.

“Apa gunanya kau mengerti tentang diri kami?” jawab pemimpin. perampok itu, “Menyerahlah. Kami akan memperlakukan kalian dengan baik.”

“Tunggu, Ki Sanak,” berkata Mahisa Bungalan pula, “apakah hak kalian untuk mengancam kami? Apakah kalian para pengawal dari Pakuwon Watu Mas? Menilik pakaian kalian, maka kalian tentu bukan pengawal Pakuwon ini.”

“Kami memang bukan para pengawal,” berkata pemimpin perampok itu, “tetapi hak kami sama dengan para pengawal.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Apa pedulimu? Menyerahlah agar kami tidak perlu mempergunakan kekerasan.” ancam pemimpin perampok itu.

“Kami adalah perampok-perampok yang sudah berpengalaman,” jawab Mahisa Bungalan, “seharusnya kamu tahu, bahwa perampok-perampok besar seperti kami ini, tidak akan pernah menyerah. Apalagi kami yakin, bahwa kalian tidak akan dapat berbuat banyak menghadapi kami.”

“Persetan,” pemimpin perampok itu menggeram, “kau terlalu sombong. Kau kira hanya kalian sajalah perampok-perampok yang berpengalaman di dunia ini?”

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “tidak ada segerombolan perampokan yang dapat menyamai kemampuan kami.”

Pimpinan perampok itu menjadi panas. Ia merasa seolah-olah dihina oleh perampok yang belum dikenalnya.

Karena itu, hampir di luar sadarnya ia berkata, “Omong kosong. Kalian tidak akan dapat mengimbangi kemampuan kami.”

Mahisa Bungalan tertawa. Ia berusaha untuk melontarkan nada yang tinggi menyakitkan hati. Katanya, “Jika ada sekelompok orang yang mengaku berpengalaman melampaui atau menyamai kami, maka ia adalah orang-orang yang tidak tahu diri.”

“Cukup!” teriak pemimpin perampok itu, “Kami adalah penguasa di hutan-hutan yang lebat. Kami adalah raja dari para perampok dan penyamun. Kami adalah segala-galanya dari dunia yang hitam kelam. Karena itu jangan mencoba menyaingi kegiatan dan usaha kami. Jangan mencoba menjelajahi daerah jelajah kami.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian?”

“Persetan dengan pertanyaanmu.” geram pemimpin perampok itu.

“Kaliankah yang dijuluki serigala hitam di hutan perbatasan? Kaliankah yang sering memasuki Pakuwon Kabanaran?” bertanya Mahisa Bungalan. Kemudian katanya, “Jika demikian, maka kami tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Kami telah memiliki daerah yang tidak akan kau jamah. Jika kalian memelihara sawah di Pakuwon Kabanaran, aku telah memilih yang lain.”

“Orang-orang dungu yang tidak tahu diri,” jawab pemimpin perampok itu, “kau sangka bahwa kami dapat membiarkan kalian merampok di daerah Watu Mas?”

“Kami tidak pernah mengganggu kalian yang merampok di Kabanaran.” jawab Mahisa Bungalan.

“Kalian tidak berhak mengganggu kami,” teriak pemimpin perampok itu, “sekarang kita sudah bertemu. Tidak ada persoalan apapun di antara kita. Kalian harus menyerah, atau kami akan menyapu kalian sampai orang yang terakhir.”

Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Nampak ia menjadi ragu-ragu. Sementara itu, pemimpin perampok itu menganggap bahwa perampok yang mendatangi rumah saudagar itu menjadi ketakutan.

Namun ia terkejut ketika Mahisa Bungalan kemudian menjawab, “Baiklah. Kita sudah bertemu di sini. Jika kami menyerah dan melepaskan hasil rampokan kami, maka kalianlah yang akan memilikinya. Selebihnya maka kalian akan memperlakukan kami sewenang-wenang. Karena itu, kami tidak akan menyerah. Kami akan mencoba kemampuan kalian. Siapakah di antara kita yang memiliki pengalaman lebih luas dalam dunia yang hitam kelam ini. Kalian atau kami.”

“Bodoh dan gila,” geram pemimpin perampok itu, “kami mempunyai kemampuan lebih tinggi dari kalian. Jumlah kami lebih banyak dari kalian. Pengalaman kami lebih banyak dari kalian. Apa yang dapat kalian banggakan untuk menghadapi kami?”

“Tekad kami membara di dada kami,” jawab Mahisa Bungalan, “bersiaplah. Kita akan bertempur mati-matian.”

Pemimpin perampok itu menjadi marah sekali. Ia pun kemudian berteriak, “Hancurkan tikus-tikus bodoh itu. Tangkap hidup-hidup satu atau dua orang. Mereka akan berbicara tentang diri mereka di hadapan para pengawal di Watu Mas.”

“Kalian bekerja bersama para pengawal?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Apa pedulimu?” jawab pemimpin perampok itu. Dalam pada itu, para perampok yang sudah memasuki halaman itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka menebar dari ujung sampai ke ujung halaman. Sementara itu, para pengawal yang berada di halaman samping pun telah menarik diri ke sisi pendapa, sementara kawan-kawannya pun telah bersiap menghadapi segala macam kemungkinan.

Mahisa Bungalan yang kemudian memimpin para pengawal itu melangkah mendekati para perampok. Ia tertegun ketika pemimpin perampok itu menyongsongnya sambil berkata, “Kau pemimpin pasukan kelinci itu?”

“Ya. Tetapi malam ini akan terjadi, serigala hitam di hutan perbatasan akan hancur digilas oleh kelinci-kelinci putih.” jawab Mahisa Bungalan.

Kemarahan pemimpin perampok itu tidak dapat ditahan lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang, langsung dengan senjatanya yang mengerikan. Sebuah tongkat besi baja berkepala bulatan yang bergerigi tajam.

Ayunan senjatanya itu berdesing mengerikan. Namun yang diserangnya adalah Mahisa Bungalan, sehingga dengan sigapnya anak muda itu meloncat menghindar. Serangan itu adalah aba-aba yang telah menggerakkan para perampok. Dengan serentak mereka menyerang sambil berteriak-teriak nyaring.

Namun sebenarnyalah yang mereka hadapi adalah para pengawal dari Kabanaran. Pengawal yang telah mendapat tempaan khusus untuk tugas mereka yang aneh. Mereka telah diperkenalkan dengan cara bertempur yang paling keras dan kasar. Mereka pun telah mendapat petunjuk, bagaimana mereka harus bersikap dalam tugas mereka.

Karena itu, demikian para perampok itu berteriak, maka para pengawal itu pun mengimbanginya. Namun beberapa orang di antara mereka masih juga bergumam, “Satu tugas yang gila. Aku masih belum sampai hati mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor seperti itu.”

Meskipun demikian, mereka memang harus bertempur dengan cara yang keras dan kasar menghadapi para perampok yang sebenarnya.

Demikianlah, sejenak kemudian telah terjadi pertemuan yang sengit. Masing-masing telah bertempur dengan keras dan kasar antara kegilaan para perampok yang sebenarnya, dengan cara para pengawal yang terlatih baik.

Dalam pertempuran yang seru, maka nampak perbedaan pada dasar penguasaan ilmu mereka. Bagaimanapun juga, para pengawal tidak terbiasa untuk bertempur sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat. Kadang-kadang para pengawal memang bersorak pada saat-saat tertentu. Tetapi tidak sebagaimana dilakukan oleh para perampok itu.

Meskipun demikian, masih ada juga di antara para pengawal yang sempat berlaku kasar. Hanya pada saat-saat ia terdesak maka ia harus kembali kepada dasar ilmu yang dipelajarinya dan dimatangkannya di dalam lingkungan para pengawal.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa para pengawal memiliki kematangan olah senjata yang lebih mapan dari para perampok, betapapun juga para perampok itu mempunyai pengalaman yang luas. Tetapi pengalaman mereka terutama adalah pengalaman menghadapi para peronda yang tidak mempunyai kemampuan yang cukup, serta para penjaga regol di rumah orang-orang kaya yang jumlahnya terlalu sedikit.

Karena itu, ketika mereka dihadapkan kepada kemampuan para pengawal, maka segera terasa betapa mereka merasakan tekanan yang sangat berat, meskipun jumlah mereka lebih banyak.

Dalam pada itu, para pengawal itu pun telah menyerang perampok-perampok itu dari beberapa arah. Sebagian besar dari mereka bertempur di depan pendapa. Beberapa orang pengawal telah menyerang dari lambung sebelah menyebelah. Dengan demikian maka para perampok itu harus menghadapi para pengawal dari arah yang berbeda-beda.

Pemimpin perampok yang bertempur melawan Mahisa Bungalan itu pun tidak terlalu banyak dapat berbuat. Ia segera terdesak. Hanya karena jumlah para perampok itu terlalu banyak, maka pemimpin perampok itu masih berlindung di antara jumlah yang banyak itu. Hanya sekali-sekali saja ia tampil. Namun kemudian ia berada di antara sekelompok pengikutnya.

Di pendapa, para penjaga regol yang menyerah itu menyaksikan pertempuran dengan jantung yang berdebaran. Dalam cahaya obor yang lemah, mereka melihat pertempuran yang menjadi semakin sengit.

Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Kaki dan tangan mereka telah terikat.

Namun kecemasan telah benar-benar mencengkam jantung mereka. Mereka tahu pasti, bahwa yang bertempur itu adalah dua gerombolan perampok yang memiliki kekuatan yang tangguh. Ketika keduanya berbenturan, maka rasa-rasanya halaman itu telah guncang.

Sementara itu, saudagar permata yang berada di dalam rumahnya itu pun menjadi bingung. Masih ada seorang pengawal yang mengawasinya. Sambil mengacukan senjatanya, pengawal itu berkata, “Duduklah. Biarlah mereka yang bertempur itu menyelesaikan persoalan mereka.”

Saudagar itu menjadi bingung. Namun ia pun kemudian duduk dengan tubuh gemetar.

Mahisa Bungalan dan para pengawal masih bertempur dengan sengitnya. Tetapi bekal ilmu mereka mampu mengatasi kekasaran para perampok itu. Meskipun tidak seluruhnya, tetapi beberapa orang pengawal telah dapat memberikan kesan kekasaran dan kekerasan. Ada juga di antara para pengawal yang berteriak-teriak dan mengumpat sejadi-jadinya, sebagaimana dilakukan oleh para perampok itu.

Dalam pada itu, ternyata jumlah para perampok yang mampu bertempur itu cepat susut. Mahisa Bungalan pun telah memaksa beberapa orang perampok untuk melepaskan perlawanannya karena luka-lukanya. Sementara para pengawal masih berusaha untuk tidak membunuh lawan. Tetapi sebagian dari mereka tidak berhasil mengendalikan senjata mereka, sehingga menembus tubuh lawannya terlalu dalam.

Dalam pertempuran yang seru itu, masih juga dapat dilihat oleh Mahisa Bungalan, bahwa para perampok itu tidak memiliki ilmu yang sebenarnya. Mereka hanya berbekal keberanian dan pengalaman yang keras dan kasar. Sehingga ketika mereka dihadapkan kepada kemampuan para pengawal, maka mereka tidak dapat banyak memberikan perlawanan.

Karena itu, maka para perampok yang jumlahnya cepat susut itu pun telah terdesak. Pemimpin perampok yang selalu mengumpat-umpat itu pun tidak dapat menutup mata. Meskipun ia sendiri memiliki bekal ilmu kanuragan yang cukup, tetapi berhadapan dengan Mahisa Bungalan maka ia tidak dapat banyak berbuat.

Dengan demikian, maka pemimpin perampok itu sudah dapat memperhitungkan, apa yang akan terjadi seandainya pertempuran itu akan berlangsung terus. Karena itu, maka tidak ada jalan yang lebih baik bagi mereka, selain melarikan diri.

Meskipun mereka tidak berhasil menangkap perampok yang telah berani mengganggu tlatah Watu Mas itu, namun mereka akan dapat memberikan laporan kepada para pengawal di Watu Mas, bahwa sebenarnyalah ada segerombolan perampok yang kuat telah mengganggu ketenangan Pakuwon Watu Mas.

Sejenak kemudian, maka pemimpin perampok yang melihat kekalahannya itu, telah memberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk meninggalkan arena pertempuran. Para perampok itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan serta merta, maka para perampok itu pun telah berlarian meninggalkan halaman rumah saudagar permata itu.

Para pengawal tidak mengejar mereka. Namun yang terdengar kemudian adalah perintah, “Kita pun harus segera pergi.”

Para pengawal yang telah menyelesaikan pertempuran itu pun kemudian telah berkumpul di pendapa untuk menunggu perintah selanjutnya. Sementara itu, Mahisa Bungalan telah masuk kembali ke ruang dalam sambil berkata kepada saudagar permata itu, “Ki Sanak. Aku akan melakukan seperti yang sudah aku rencanakan. Aku akan membawa barang-barang yang kau sebut milikmu sendiri. Tetapi aku tidak akan membawa barang-barang yang merupakan dagangan, lebih-lebih barang-barang titipan. Kau harus berterima kasih bahwa aku tidak mengambilnya semuanya meskipun aku dapat melakukannya bila aku mau. Yang aku lakukan ini tentu lebih baik dari yang dilakukan oleh para perampok yang datang kemudian itu.”

Saudagar itu tidak menjawab. Ia tidak akan dapat mencegahnya. Bahkan mungkin perampok itu akan mengambil sikap yang lain jika ia berbuat sesuatu.

Karena itu, Maka saudagar itu membiarkan saja ketika para perampok itu kemudian mengambil petinya dan membawanya keluar.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Bungalan kepada saudagar permata itu, “di halaman terdapat beberapa orang yang terluka. Barangkali ada yang terbunuh tanpa sengaja. Terserahlah kepadamu. Mungkin para pengawal dari Pakuwon Watu Mas akan segera datang untuk meneliti peristiwa ini. Katakan dengan terus-terang, bahwa ada dua gerombolan perampok yang saling berebut harta bendamu.”

Saudagar itu masih tetap diam. Bahkan seolah-olah ia tetap membeku ketika Mahisa Bungalan dan kawan-kawannya meninggalkan halaman rumah itu dengan membawa hasil rampokannya.

Baru kemudian saudagar itu meloncat keluar ketika ia mendengar para penjaga pintu rumahnya berteriak-teriak.

Dengan tergesa-gesa maka saudagar itu pun melepas ikatan mereka. Namun tidak ada yang dapat mereka lakukan.

“Kita hanya dapat melaporkannya kepada Ki Buyut.” berkata saudagar itu.

“Kita akan segera melaporkannya.” desis para penjaga itu.

Namun dalam pada itu, saudagar permata itu bergumam, “Tetapi mereka adalah perampok-perampok yang aneh. Di balik kekasaran mereka, terdapat sesuatu yang tidak dapat aku mengerti. Ternyata mereka tidak mengambil semua harta benda yang sebenarnya dapat mereka bawa. Tetapi mereka tidak melakukannya.”

“Kami pun tidak disakitinya.” berkata para penjaga regol.

“Pemimpinnya berilmu iblis.” sambung salah seorang di antara mereka. “Orang itu dapat memecahkan pintu regol.”

“Itulah sebabnya maka gerombolan yang satu lagi dapat dikalahkannya.” desis saudagar itu.

“Gerombolan yang datang kemudian sebenarnya akan menangkap gerombolan yang datang terdahulu. Tetapi ternyata mereka dapat dikalahkan.” desis salah seorang penjaga regol itu.

“Aku kira itu hanya sekedar dalih saja.” berkata saudagar itu, “Tetapi mereka pun tentu akan merampok. Bahkan mungkin mereka akan membawa semua barang-barang yang ada di rumah ini. Bukan saja barang-barang miliknya sendiri seperti yang dilakukan oleh perampok yang datang terdahulu.”

Para penjaga itu hanya termangu-mangu saja.

“Nah,” berkata saudagar itu, “dua orang di antara kalian pergi kepada Ki Buyut. Laporkan apa yang terjadi. Sementara kami yang tinggal akan melihat akibat dari pertempuran itu. Yang terluka mungkin memerlukan pertolongan segera.”

Ketika kedua orang itu keluar dari regol, maka mereka melihat beberapa orang tetangga yang menjenguk. Tetangga-tetangga yang sudah tidak mendengar keributan lagi, baru berani keluar dari rumah mereka.

“Apa yang terjadi?” bertanya salah seorang tetangga yang melihat kedua orang penjaga regol itu.

“Perampok.” jawab salah seorang dari kedua orang itu.

“Saudagar itu telah dirampok?” bertanya orang itu lagi.

“Ya. Sekelompok perampok dalam jumlah yang tidak dapat kami atasi,” jawab penjaga regol itu, “tetapi mereka sudah pergi.”

“Apa ada barang-barang yang dibawa?” bertanya tetangga itu.

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi ada.” jawab penjaga itu sambil meneruskan perjalanannya ke rumah Ki Buyut.

Berita itu ternyata cepat sekali menjalar. Dalam waktu yang pendek, maka tetangga-tetangga di sekitar rumah saudagar itu telah mendengarnya, bahwa Ki Saudagar telah dirampok.

Beberapa orang pun telah berkumpul di regol halaman rumah saudagar itu. Sebagian dari mereka memberanikan diri memasuki halaman yang masih terasa hangatnya pertempuran. Para penjaga regol yang tinggal telah membawa orang-orang yang terluka ke pendapa.

Beberapa orang tetangga itu pun dengan suka rela telah membantu mengangkat mereka, sementara ada juga dua orang yang ternyata telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Agaknya beberapa orang pengawal tidak dapat lagi mengendalikan senjatanya, sehingga senjata mereka telah menembus jantung lawannya.

Malam itu, padukuhan yang baru saja dikunjungi oleh sekelompok perampok itu pun menjadi sibuk. Beberapa orang berkumpul dengan wajah-wajah tegang. Namun mereka tidak dapat berbicara bagaimana seharusnya mereka mengatasi keadaan itu. Segalanya akan tergantung kepada Ki Buyut. Agaknya beberapa orang pengawal Kabuyutan tidak akan mampu berbuat banyak menghadapi perampok-perampok yang kuat. Hanya pengawal dari Pakuwon Watu Mas sajalah yang akan dapat mengatasi persoalan.

Ki Buyut yang kemudian mendapat laporan itu pun terkejut. Dengan serta merta ia pun telah pergi ke tempat kejadian disertai oleh beberapa orang pengawal Kabuyutan. Sementara itu beberapa orang pengawal yang lain harus melaporkannya kepada para pengawal Pakuwon Watu Mass yang bertugas di tempat paling dekat.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan pasukannya telah menjadi semakin jauh. Ternyata bahwa ada beberapa orang di antara mereka yang terluka.

Namun untunglah bahwa tidak seorang pun dari para pengawal itu yang terbunuh. Meskipun demikian tiga orang dari mereka yang terluka, harus dipapah karena lukanya cukup berat.

“Kita berhenti sejenak,” berkata Mahisa Bungalan ketika mereka sudah cukup jauh, “kita obati kawan-kawan yang terluka agar darah mereka tidak mengalir terlalu banyak. Sementara kita akan dapat beristirahat barang sejenak.”

Para pengawal itu pun kemudian menebar di pinggir sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Sementara mereka yang terluka pun telah diobatinya.

Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawal mulai membicarakan tugas mereka yang aneh itu. Seorang pengawal Pakuwon Kabanaran yang bertubuh raksasa berdesis, “Sampai kapan kita akan melakukan tugas seperti ini?”

Tetapi jawab kawannya di luar dugaan. Katanya, “Menyenangkan sekali. Kita melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan.”

“Tetapi pengalaman ini sangat berbahaya bagimu.” sahut pengawal bertubuh raksasa itu.

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Jika pada saatnya kau tidak lagi menjadi pengawal, kau akan memanfaatkan pengalaman ini.” jawab pengawal bertubuh raksasa itu.

“Ah,” kawannya itu menggeleng, “tentu tidak. Segalanya tergantung isi dada kita masing-masing.”

Pengawal bertubuh raksasa itu tersenyum. Katanya, “Jangan sombong. Tidak ada orang yang tahu gejolak isi dada yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan. Tetapi mudah-mudahan dadamu tetap tenang melihat harta benda yang tidak ternilai harganya itu, yang melihat pun baru setelah kita melakukan tugas aneh ini.”

“Agaknya kaulah yang mulai dihinggapi iblis.” desis kawannya.

Orang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Mudah-mudahan kita semuanya berhati batu.”

Keduanya pun tidak berbicara lagi. Namun kawan-kawannya yang lain agaknya berbicara pula tentang persoalan yang mirip dengan yang mereka bicarakan dengan cara dan gayanya masing-masing.

Untuk beberapa lamanya sekelompok pengawal itu beristirahat setelah mereka yang terluka tidak lagi mengalirkan darah dari luka-lukanya, maka para pengawal itu pun segera bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Menembus hutan perbatasan dan kembali ke dalam barak mereka di daerah Pakuwon Kabanaran.

Ternyata perampokan-perampokan yang terjadi di Watu Mas itu cukup menggelisahkan. Para perampok yang bersarang di hutan perbatasan daerah Pakuwon Watu Mas ternyata tidak dapat mengimbangi kemampuan para perampok yang belum mereka kenal. Mereka tidak berhasil menangkap meskipun hanya seorang. Bahkan para perampok dari Watu Mas itu harus mengorbankan beberapa orang kawan mereka.

Kesatuan pengawal Watu Mas yang berada di tempat paling dekat dari tempat kejadian, telah mendapat laporan pula. Beberapa orang pengawal berkuda segera datang ke tempat itu, sesaat setelah Ki Buyut datang pula.

Ki Buyut dan pengawal Pakuwon Watu Mas itu pun segera meneliti keadaan. Mereka menemukan beberapa orang korban. Yang terluka dan yang telah terbunuh. Namun mereka tidak segera dapat menentukan, dari pihak manakah dari antara kedua gerombolan itu yang meninggalkan korban-korban itu. Sementara mereka belum sempat bertanya kepada orang-orang yang terluka, yang masih dapat memberikan keterangan apabila diminta.

Dalam pada itu, sebenarnyalah, para perampok yang telah melarikan diri itu pun telah menghubungi dengan tergesa-gesa pemimpin pengawal Pakuwon Watu Mas di perbatasan. Agaknya laporan memang mengejutkan mereka. Ternyata gerombolan perampok yang garang itu tidak berhasil mengimbangi kemampuan para perampok yang telah melakukan perampokan itu di Pakuwon Watu Mas.

Bersama beberapa orang pengawal, maka pemimpin pengawal itu pun datang pula di tempat kejadian. Sehingga dengan demikian, maka para pengawal itu dapat berbincang di antara mereka dan Ki Buyut.

Kesimpulan dari pembicaraan itu adalah, laporan kepada Akuwu di Watu Mas, karena peristiwa itu agaknya bukan peristiwa yang dapat diabaikan.

“Aku tidak boleh menunggu terlalu lama,” berkata pemimpin pengawal di perbatasan itu, “aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu, sehingga tindakan yang harus aku ambil harus mendapat persetujuan dari Akuwu, karena akan melibatkan kekuatan di luar rangkah.”

Baru pada hari berikutnya, setelah para korban yang terbunuh diselenggarakan sebagaimana seharusnya, maka seorang Senopati, utusan khusus dari Akuwu di Watu Mas telah datang untuk melihat keadaan. Beberapa keterangan dari saudagar itu, serta keterangan yang telah dihimpun sebelumnya mengenai peristiwa-peristiwa yang aneh, karena orang-orang yang tidak dikenal telah membagikan hadiah dan pemberian-pemberian yang kurang jelas maksudnya, maka Watu Mas mulai dapat mengurai keadaan yang mereka hadapi.

“Kita harus menutup perbatasan.” berkata Senopati itu.

Laporan itu ternyata disetujui oleh Akuwu di Watu Mas. Karena itulah, maka perbatasan antara kedua Pakuwon itu pun telah ditutup dan diawasi dengan saksama oleh orang-orang Watu Mas.

Namun demikian, Mahisa Bungalan masih juga berhasil menerobos lubang-lubang yang terdapat pada penjagaan di perbatasan itu, sehingga Mahisa Bungalan masih juga berhasil menyuap dan merampok di daerah Watu Mas.

Namun demikian, ternyata bahwa Mahisa Bungalan dan kawannya tidak dapat menutup jejak untuk seterusnya. Meskipun mereka selalu berhasil kembali dengan utuh, betapapun ada di antara mereka yang terluka, namun para pengawas di Watu Mas akhirnya mengetahui juga bahwa perampok-perampok yang aneh itu bersarang di daerah Pakuwon Kabanaran.

Laporan itu tidak terlalu mengejutkan bagi Akuwu di Watu Mas. Perhitungannya yang cermat memang sudah mengarah seperti laporan itu.

Karena itu, maka apa yang telah di lakukan oleh Akuwu di Watu Mas untuk menutup perbatasan itu telah diperkuat lagi.

“Kita harus menumpas mereka sampai ke sarangnya,” berkata Akuwu di Watu Mas, “tetapi hati-hati. Aku yakin, mereka bukan perampok yang sebenarnya. Mereka hanya ingin membuat imbangan dari kekecewaan mereka. Kami telah melarang mereka mengejar para perampok dan memasuki Pakuwon Watu Mas. Karena kami sendiri mampu untuk menumpas perampok-perampok yang demikian. Namun yang dilakukan oleh Pakuwon Kabanaran adalah penyerangan terhadap Watu Mas karena yang melaksanakan adalah para pengawal.”

Demikianlah, maka Watu Mas telah benar-benar bersiap untuk memasuki daerah Pakuwon Kabanaran karena menurut Akuwu di Watu Mas, Kabanaran telah mulai dengan peperangan. Yang memasuki Watu Mas bukan sekedar para penjabat, tetapi justru merupakan bagian dari usaha Kabanaran untuk melemahkan Pakuwon Watu Mas, dan dilakukan dalam rencana yang besar, memerangi Watu Mas.

Namun dalam pada itu, Kabanaran pun menyadari akan hal itu. Kabanaran tidak menutup mata melihat persiapan-persiapan di perbatasan. Karena itulah, maka Akuwu di Kabanaran telah memanggil Mahisa Bungalan untuk berbicara tentang persiapan Pakuwon Watu Mas.

“Kita akan bertahan,” berkata Akuwu di Kabanaran, “kita akan melawan pasukan Watu Mas di Pakuwon kita sendiri. Dengan demikian, tidak akan ada orang yang dapat menuduh, bahwa kita telah menyerang Watu Mas.”

“Kita harus menyiapkan ajang peperangan itu, sehingga rakyat tidak akan menjadi korban.” berkata para Senopati.

“Bagus,” sahut Akuwu Suwelatama, “kalian harus melakukannya sejak sekarang. Kita akan mempergunakan hutan perbatasan di daerah Kabanaran sebagai ajang. Kemudian beberapa padukuhan di lapisan pertama di belakang hutan itu harus dikosongkan. Sementara padukuhan itu akan dihuni oleh para pengawal dan anak-anak muda yang selama ini telah mengikuti latihan yang berat untuk menghadapi segala kemungkinan.”

“Kita harus memperhitungkan Pangeran Indrasunu dengan pasukan dari padepokan itu.” berkata Mahisa Bungalan.

“Karena itulah, maka kita juga menyiapkan anak-anak muda yang bukan pengawal, tetapi yang mempunyai keberanian dan tekad untuk ikut serta bertahan di garis pertama.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun ia masih memerlukan pada satu kesempatan untuk melihat sendiri kesiagaan anak-anak muda yang telah menyatakan dirinya bersedia untuk ikut berada di medan.

Dengan sungguh-sungguh Mahisa Bungalan melihat dan menilai kemampuan mereka mempermainkan senjata. Dengan teliti Mahisa Bungalan memberikan penilaian terhadap mereka, sehingga para Senopati telah mendapatkan beberapa pertimbangan tentang anak-anak muda itu. Beberapa orang di antara mereka masih harus mendapat persiapan lebih matang lagi, karena mereka akan berhadapan dengan para pengawal di Watu Mas dan mungkin para cantrik dari padepokan-padepokan yang memiliki kemampuan yang cukup pula.

Dalam pada itu, maka mereka yang sudah dianggap cukup, segera dikirim ke daerah perbatasan bersama para pengawal dalam tahap-tahap yang tidak menarik perhatian. Beberapa padukuhan yang telah dikosongkan segera diisi oleh para pengawal dan anak-anak muda yang telah dipersiapkan, sementara di kota Pakuwon, anak-anak muda yang lain masih mengikuti latihan-latihan yang berat, untuk mempersiapkan mereka dalam waktu singkat. Jika perang berkobar, maka anak-anak muda itu akan di tarik ke medan secepatnya menyusul kawan-kawannya yang terdahulu.

Dengan demikian, maka pada garis perbatasan yang panjang, antara Pakuwon Kabanaran dan Pakuwon Watu Mas, telah terjadi persiapan-persiapan yang menegangkan. Sementara itu, maka kegiatan Mahisa Bungalan pun telah dihentikan. Para pengawal itu tidak akan dapat lagi menembus penjagaan yang semakin ketat dari para pengawal di Watu Mas.

Namun sebaliknya, para perampok dari Watu Mas pun tidak akan dapat melintasi perbatasan tanpa diketahui oleh para pengawal di Kabanaran.

Dalam suasana yang semakin panas, maka benturan-benturan kecil tidak dapat dihindari lagi. Jika kedua kelompok peronda berpapasan di perbatasan, maka mereka kadang-kadang tidak dapat mengendalikan diri lagi. Meskipun mereka tidak saling mendekat, namun ternyata mereka dengan sengaja telah membawa busur dan anak panah. Kadang-kadang mereka telah saling menyerang pada jarak jangkau anak panah dari daerah masing-masing.

Dalam pada itu, Akuwu di Kabanaran dan Akuwu di Watu Mas tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Apalagi ketika Pangeran Indrasunu yang sering berkunjung ke Pakuwon Watu Mas telah memberikan dorongan dan bahkan kesanggupan untuk membantu. Sehingga dengan demikian maka kemelut di perbatasan itu menjadi semakin panas.

Namun dalam pada itu, kedua belah pihak tidak ada yang telah menyampaikan persoalan kemelut itu kepada para pemimpin di Kediri dan apalagi Singasari. Mereka bertekad untuk menyelesaikan masalah mereka menurut keinginan mereka sendiri.

Baru kemudian apabila persoalan mereka telah selesai, maka mereka akan dapat memberikan laporan menurut sudut kepentingan mereka masing-masing.

Dalam pada itu, maka sentuhan-sentuhan para peronda di perbatasan, ternyata tidak dapat dikendalikan lagi. Para pengawal di Watu Mas benar-benar telah kehilangan kesabaran. Apalagi ketika mereka kemudian mengetahui, hutan di perbatasan yang semula menjadi sarang para pengawal yang menyebut dirinya para perampok dari hutan perbatasan.

“Kita akan menghancurkan landasan yang mereka pergunakan untuk memasuki wilayah Watu Mas.” berkata seorang Senopati Pakuwon Watu Mas.

“Mereka sudah agak lama tidak pernah muncul.” sahut seorang pengawal. Lalu, “Mungkin mereka sudah memindahkan sarangnya dan menyusun landasan baru.”

“Memang mungkin mereka tidak akan lagi mempergunakan cara itu.” berkata Senapati itu pula, “Tetapi sarang itu tentu masih ada siapa pun yang menungguinya. Mungkin para pengawal itu juga yang bertugas mengawasi perbatasan. Namun, siapa pun mereka, kami akan datang dan menghancurkannya.”

Demikianlah pasukan pengawal dari Pakuwon pengawal dari Pakuwon Watu Mas itu pun segera mempersiapkan diri. Dengan segelar sepapan mereka berniat menghancurkan salah satu landasan pengawal Kabanaran di perbatasan. Sementara para pengawal yang lain masih tetap berjaga-jaga dengan ketatnya.

Para pengawal dari Pakuwon Watu Mas itu pun sudah mendapat laporan bahwa padukuhan-padukuhan di belakang hutan perbatasan itu sudah kosong. Penghuninya sudah ditarik untuk mengungsi apabila terjadi peperangan yang seru.

“Mungkin padukuhan-padukuhan itulah yang kemudian menjadi sarang para pengawal. Mereka tidak lagi berada di hutan perbatasan. Karena itu, kita harus bersiap-siap menghadapi pertempuran yang besar.” berkata Senapati itu.

Meskipun demikian, Senapati itu pun cukup berhati-hati. Sebelum pasukannya berangkat, ia sudah mengizinkan dua orang petugas sandinya untuk mengawasi hutan perbatasan dengan diam-diam.

“Hutan itu telah lenyap,” berkata kedua orang itu, “kami menemukan beberapa barak yang sudah rapuh karena dibuat dengan tergesa-gesa. Tetapi barak itu sudah tidak berpenghuni lagi.”

Dengan demikian maka Senapati itu berkesimpulan, bahwa pasukan pengawal Kabanaran berada di padukuhan-padukuhan yang kosong.

“Hati-hatilah. Jangan dikelabuhi dengan akal licik orang-orang Kabanaran.” berkata Senapatinya.

Atas persetujuan Akuwu di Watu Mas, dan justru didorong oleh Pangeran Indrasunu, maka pasukan yang sudah dipersiapkan itu pun mulai bergerak. Mereka melintasi hutan perbatasan yang memang sudah kosong. Namun mereka maju lagi sampai ke seberang perbatasan.

Ketika mereka melihat sebuah rumah kecil, maka mereka mulai tertarik. Dua orang diperintahkan untuk melihat, rumah di pinggir hutan itu. Apakah rumah itu merupakan salah satu jebakan, atau semacam gardu peronda atau untuk keperluan lain.

Dua orang yang mendekati rumah itu sama sekali tidak melihat tanda-tanda bahwa rumah itu berpenghuni. Karena itu, maka kedua orang itu pun telah memberanikan diri membuka pintu lereg dari rumah itu.

Tidak ada seorang pun si dalam rumah itu. Namun tiba-tiba saja mereka telah melihat dua ekor burung merpati lepas dan terbang meninggalkan rumah itu. “Nampaknya penghuni rumah ini sudah pergi,” berkata yang seorang, “perabot rumah ini nampaknya cukup lengkap sampai ke alat-alat dapur.”

Kawannya mengangguk-angguk. Ketika mereka memperhatikan sebuah gentong yang besar, isinya sama sekali bukan air, tetapi jagung, yang agaknya merupakan makanan bagi burung-burung merpati itu. Sementara itu, di sudut rumah itu terdapat sebuah belanga yang berisi air.

Kedua orang itu mulai berpikir. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menghentak sambil berkata, “Kita yang dungu. Dua ekor merpati itu dengan sengaja dipelihara di dalam rumah ini, dengan perhitungan, bahwa jika kami membuka pintu rumah ini, maka kedua ekor burung itu akan terbang dan kembali ke rumahnya.”

“Apa artinya?” bertanya yang lain.

“Kau memang bodoh,” jawab kawannya, “tidak ada orang yang akan datang ke tempat ini kecuali pasukan yang melintasi perbatasan. Di padukuhan itu, para pengawal selalu mengawasi gupon-gupon merpati yang dahulu milik penduduk di padukuhan itu.”

“O, aku mengerti sekarang. Dengan demikian, jika burung-burung itu kembali ke guponnya, berarti ada seseorang yang datang ke rumah ini.” berkata kawannya.

“Tidak seseorang, tetapi mereka sudah memperhitungkan, sepasukan. Tidak ada pengawas atau petugas sandi dari Watu Mas yang memberanikan diri sampai ke tempat ini tanpa pasukan.” berkata kawannya.

“Jika demikian, para pengawal di Kabanaran itu mengetahui bahwa kita akan datang?” bertanya kawannya.

“Kita akan melaporkannya.” sahut yang lain. Keduanya pun segera menemui Senapati yang memimpin serangan itu. Mereka pun melaporkan tentang burung merpati yang semula tidak mereka hiraukan itu.

“Aku tidak peduli,” berkata Senapati itu, “mereka tidak akan sempat mengumpulkan pasukan dari padukuhan-padukuhan yang jauh. Karena itu, kita tentu akan dapat menyelesaikan tugas kita kali ini dengan baik. Kita akan kembali dengan membawa kemenangan.”

Para pengawal dari Watu Mas itu mengangguk-angguk. Mereka pun membayangkan, bahwa pasukannya akan dapat menghancurkan salah satu kekuatan dari deretan pasukan pengawal Kabanaran yang bersiaga di perbatasan.

“Jika ada satu lubang pada sebuah tanggul yang dilanda banjir bandang,” berkata Senapati itu, “maka tanggul itu tentu akan menjadi semakin lebar. Akhirnya tanggul itu akan bedah dan air pun akan melimpah menghanyutkan segalanya yang diterjangnya.”

Para pengawal itu mengangguk-angguk pula. Dengan demikian maka dengan keyakinan yang pernah mereka melangkah maju. Mereka yakin bahwa lawan mereka berada padukuhan-padukuhan yang berada di belakang hutan perbatasan.

Sementara itu, Mahisa Bungalan dan para pengawal yang menjadi sasaran itu pun telah dikejutkan oleh burung-burung merpati yang mereka tempatkan di hutan perbatasan. Seorang pengawal yang bertugas mengawasi gupon burung merpati itu melihat, sepasang burung itu pulang ke dalam guponnya.

Karena itulah, maka dengan tergesa-gesa pengawal itu pun segera melaporkannya kepada Mahisa Bungalan, bahwa tentu ada seseorang yang telah membuka pintu rumah di pinggir hutan itu.

“Kita harus bersiap-siap.” katanya kepada para pemimpin pengawal.

Dengan cepat perintah itu pun segera menjalar. Dengan kuda para penghubung menyampaikan berita itu kepada padukuhan di sebelah menyebelah, yang harus menyampaikan berita itu beranting ke padukuhan berikutnya.

“Kita harus siap untuk pergi ke padukuhan yang menjadi sasaran.” berkata para penghubung. “Jika kita memerlukan bantuan, maka seperti yang sudah kita sepakati, kita akan meluncurkan panah sendaren.”

Dengan demikian, maka para pengawal itu bukan saja siap menunggu lawan yang bakal datang, tetapi mereka harus bersiap untuk pergi ke padukuhan terdekat yang memerlukan bantuan, apabila padukuhan itulah yang menjadi sasaran.

Sementara itu, dua orang pengawas telah diperintahkan untuk pergi ke sebuah gumuk di hadapan padukuhan itu untuk mengamati keadaan. Jika mereka melihat sesuatu yang dianggap penting, mereka harus segera melaporkan.

Dalam pada itu, kedua pengawal itu telah berada di atas sebuah gumuk kecil. Betapa mereka menjadi terkejut, ketika mereka melihat pasukan segelar sepapan mendekati padukuhan yang berada di jalur jalan yang sedang dilalui oleh pasukan itu.

Karena itu, maka dengan serta merta, mereka pun segera kembali untuk melaporkan, bahwa lawan yang datang adalah pasukan segelar sepapan.

“Pasukan yang berada di beberapa padukuhan harus dikumpulkan ke dalam waktu dekat.” berkata pengawas itu.

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Yang datang itu bukan sekedar sekelompok perampok di hutan perbatasan. Tetapi mereka adalah pasukan Pengawal dari Watu Mas.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun segera memerintahkan, untuk mengirimkan isyarat kepada padukuhan-padukuhan terdekat yang akan meneruskan isyarat itu ke padukuhan-padukuhan berikutnya.

Sesaat kemudian, maka panah sendaren pun telah meraung di udara. Sebagaimana telah disepakati, isyarat itu akan dilakukan ganda tiga kali apabila keadaan sangat mendesak.

Para pengawal di padukuhan sebelah menyebelah pun menerima isyarat itu dengan hati yang berdebar-debar. Dengan tergesa-gesa mereka bersiap. Sebagian kecil di antara mereka yang mendapat seekor kuda untuk melakukan hubungan yang tergesa-gesa, telah mendahului ke padukuhan sumber isyarat itu. Meskipun jumlah mereka sangat kecil, tidak lebih dari lima orang di setiap padukuhan, namun kehadiran mereka dari beberapa padukuhan telah menambah jumlah para pengawal yang akan menjadi sasaran pasukan segelar sepapan, sementara pengawal yang lain, akan dengan segera menyusul.

Beberapa pasukan kecil yang muncul dari padukuhan-padukuhan itu pun berlari-lari kecil menuju ke padukuhan sumber isyarat. Hanya beberapa orang sajalah yang tinggal di padukuhan masing-masing untuk mengawasi keadaan, agar padukuhan-padukuhan itu tidak kosong sama sekali.

Pasukan dari Watu Mas itu pun sebenarnya tidak mengetahui, padukuhan yang manakah yang menjadi induk dari sekelompok padukuhan yang ada di daerah itu, yang merupakan bagian dari jalur yang panjang, yang merupakan perbatasan antara Watu Mas dan Kabanaran.

Jika Senopati dari Watu Mas itu menuju ke tempat itu, adalah karena ia mendapat keterangan bahwa tempat itu dan barangkali padukuhan di belakangnya adalah sarang mereka yang menamakan diri para perampok dari Kabanaran yang melakukan kegiatannya di Watu Mas.

Meskipun demikian, Mahisa Bungalan ingin meyakinkan, bahwa pasukan lawan itu benar-benar menuju ke padukuhan yang sudah dipersiapkan, tidak di padukuhan yang lain.

“Biarlah sepasukan kecil peronda memancing mereka agar pasukan itu datang kemari, sementara kita menyusun gelar untuk menerima mereka sambil menunggu kawan-kawan kita yang tentu akan segera datang.” berkata Mahisa Bungalan.

Dengan sigap lima orang pengawal berusaha memancing perhatian pasukan yang datang itu agar tidak menuju ke padukuhan yang lain, sementara para pengawal berusaha untuk menyusun gelar di luar padukuhan. Beberapa orang memanjat gumuk dan yang lain berada di balik tanggul. Bagian yang terdepan dari pasukan Mahisa Bungalan adalah pasukan yang akan menghambat laju gelar lawan, pasukan berpanah.

Dengan busur-busur terentang, para pengawal yang berada di paling depan itu pun telah siap menyambut kedatangan pengawal dari Watu Mas. Sementara itu, para pengawal yang berada di padukuhan-padukuhan lain dengan tergesa-gesa berusaha untuk segera mencapai padukuhan yang telah memberikan isyarat memanggil mereka.

Ketika sebagian dari mereka telah memasuki padukuhan yang menjadi sasaran, maka para pengawal itu pun segera menyesuaikan diri dengan persiapan sebelumnya.

Ternyata bahwa usaha memancing pasukan lawan itu pun berhasil. Para pengawal yang menampakkan diri itu pun segera mundur ke daerah pertahanan kawan-kawannya.

Tetapi para pengawal dari Watu Mas pun tidak terlalu bodoh. Mendekati pertahanan pasukan pengawal di Kabanaran, maka mereka yang berperisai di tempatkan di paruh gelar.

Tetapi para pengawal Watu Mas yang berada di gumuk-gumuk dan di balik tanggul, belum menerima isyarat perintah untuk menyerang ketika paruh pasukan lawan melalui pertahanan mereka langsung menuju ke padukuhan. Namun demikian ujung paruh itu lewat, Mahisa Bungalan baru memberikan isyarat untuk menyerang, justru pada lambung pasukan lawan.

Serangan itu memang mengejutkan. Para pengawal dari Watu Mas menganggap bahwa mereka belum memasuki daerah pertahanan lawan. Namun ternyata mereka sudah melampaui lapis pertama yang dengan sengaja melepaskan pasukan berperisai untuk memasuki pertahanan pada lapisan berikutnya.

Anak panah yang menghunjam pada lambung pasukan dari arah sebelah menyebelah, menyebabkan laju pasukan lawan terhambat. Para pengawal dari Watu Mas itu terpaksa melawan hujan anak panah dengan senjata mereka. Namun bagaimanapun juga, anak panah itu telah menyusup di antara senjata-senjata yang berputaran mematuk tubuh-tubuh mereka.

Beberapa orang dari para pengawal Watu Mas telah terluka sebelum pasukan itu berbenturan.

Dalam pada itu, pasukan yang berperisai, yang sebelumnya justru telah melampaui pertahanan pada lapisan pertama itu, harus menarik mundur, melindungi lambung yang terserang oleh pasukan pengawal Kabanaran pada lapis pertama.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar