Panasnya Bunga Mekar Jilid 24

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Keributan ternyata telah didengar oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Karena itu, maka mereka pun telah mengintip dari balik seketheng.

Bahkan Ken Padmi pun telah mendengarnya pula. Perlahan-lahan ia beringsut mendekat sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”

“Ayah akan berkelahi. Meskipun ayah sudah semakin tua, tetapi ia masih saja berkelahi.” desis Mahisa Murti.

“Ia membela diri.” sahut Mahisa Pukat, “Apakah orang-orang tua harus membiarkan dirinya dipukuli?”

“Tentu tidak.” jawab Mahisa Murti, “Nampaknya ayah pun tidak mau dipukuli. Baginya lebih baik pukul-pukulan dari pada dipukuli saja.”

“Ssst!” Ken Padmi berdesis. Namun agaknya gadis itu dapat menerka apa yang telah terjadi. Ketika sekali ia mendengar namanya disebut oleh Pangeran muda yang masih saja membentak-bentak itu, maka tahulah Ken Padmi, apa yang telah terjadi.

Dalam pada itu, ternyata Pangeran Indrasunu itu pun masih membentak orang bertubuh raksasa itu, “Hancurkan orang itu. Ia lebih sayang kepada Ken Padmi itu daripada nyawanya sendiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai menduga-duga, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Namun mereka sama sekali tidak menyebut apa pun juga selain memperhatikan keadaan itu dengan seksama.

“Jika ada orang lain yang melibatkan diri, aku pun akan turun.” desis Mahisa Pukat.

“Tentu,” sahut Mahisa Murti, “tetapi biarlah kita tunggu apa yang terjadi.”

Ken Padmi sendiri tidak mengatakan sesuatu. Namun debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Tiba-tiba saja ia pun teringat apa yang telah terjadi di padepokannya sejak ia meningkat dewasa. Dan ia pun mulai menilai kepergiannya dari padepokan kecilnya. Ia meninggalkan padepokannya untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi atas dirinya. Tiba-tiba di tempat ini pun telah terjadi pula hal yang serupa.

Bahkan ia bertanya di dalam hati, “Apakah ayah Mahisa Bungalan itu akan mampu bertahan? Ia sudah melihat kemampuan Mahisa Bungalan sendiri, Mahisa Agni dan Witantra. Tetapi bagaimana dengan Mahendra?”

Sejenak kemudian ia melihat, Mahendra mulai bergeser menghindar ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu menyerang. Namun lawannya itu pun telah memburunya, sehingga Mahendra harus berkisar sekali lagi.

Rasa-rasanya Ken Padmi ingin meloncat turun ke halaman. Namun karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berada di balik seketheng, maka ia pun masih tetap berdiri termangu-mangu.

Dalam pada itu, di halaman telah terjadi pertempuran antara Mahendra melawan orang bertubuh raksasa itu. Atas perintah Pangeran Indrasunu, seseorang telah menutup pintu regol agar tidak seorang pun dapat masuk.

Orang bertubuh raksasa itu pun kemudian menyerang Mahendra semakin cepat. Terasa betapa kekuatannya menghentak-hentak pada ayunan tangan dan kakinya.

Mahendra ternyata masih saja selalu menghindar. Ia berloncatan mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Dengan demikian serangan-serangan beruntun dari orang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak mengenainya.

Orang bertubuh raksasa itu bukan orang yang kasar. Sebenarnya ia masih mempunyai beberapa pertimbangan untuk dengan langsung menghukum lawannya yang menurut pendapatnya memang tidak bersalah. Namun setelah serangannya beberapa kali gagal, maka di luar sadarnya, ia pun bergerak semakin cepat pula.

Tetapi orang bertubuh raksasa itu masih belum mempergunakan kekuatan sepenuh tenaganya. Ia masih ingin mengenai lawannya untuk sekedar menjajagi daya tahannya. Namun ternyata bahwa Mahendra tidak dapat dikenainya.

Orang bertubuh raksasa itu mulai menilai lawannya. Apalagi ketika beberapa lama mereka berkelahi, ia masih belum berhasil menyentuh lawannya, maka Pangeran Indrasunu mulai berteriak membentak-bentak.

“Apakah kau tidak mampu melakukannya, he?” teriak Pangeran yang masih muda itu.

Orang bertubuh raksasa itu mulai gelisah. Sementara Mahendra pun ternyata dapat mengerti, bahwa orang bertubuh raksasa itu bukan orang yang kasar sebagaimana nampak pada tubuhnya.

Namun karena bentakan-bentakan Pangeran Indrasunu sajalah maka orang bertubuh raksasa itu menjadi semakin garang. Ia mulai mengerahkan kemampuannya. Dengan demikian maka geraknya pun menjadi semakin cepat, dan sambaran angin pada ayunan tangannya pun menjadi semakin deras.

Karena dengan demikian, maka Mahendra masih belum juga dapat disentuhnya, maka orang bertubuh raksasa itu akhirnya sampai juga ke puncak ilmunya.

“Bukan niatku mencelakaimu, apalagi membunuhmu, Ki Sanak. Tetapi aku menjalankan perintah Pangeran Indrasunu.” desis orang itu.

“Aku mengerti.” jawab Mahendra, “Meskipun demikian, adalah kewajibanku untuk mempertahankan diriku.”

Orang bertubuh raksasa itu tidak ingin mendapat penilaian yang buruk dari Pangeran Indrasunu. Karena itu, maka dengan segenap kemampuannya ia pun menyerang Mahendra semakin lama semakin cepat. Akhirnya, orang bertubuh raksasa yang telah sampai ke puncak kemampuannya itu, bertempur bagaikan badai.

Itulah yang ditunggu oleh Mahendra. Dengan demikian ia dapat menentukan takaran perlawanannya, karena sebenarnyalah kemampuan orang bertubuh raksasa itu, bukannya imbangan ilmunya. Dengan demikian, sebelum ia mendapat gambaran tingkat kemampuan lawannya, Mahendra masih mencari-cari agar ia tidak dengan serta merta mecelakai orang itu. Apalagi sebenarnyalah orang bertubuh raksasa itu menurut penilaiannya bukannya seorang yang jahat. Yang dilakukannya itu adalah sekedar menjalankan perintah semata-mata.

Namun sementara itu, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat bahwa orang bertubuh raksasa itu telah sampai ke puncak ilmunya. Pangeran Indrasunu pun mengerti, bahwa orang bertubuh raksasa itu telah mengerahkan segenap kemampuannya.

Karena itu, maka menurut penilaiannya, sebentar lagi maka Mahendra pun akan segera jatuh terkapar di tanah.

Berdasar atas perhitungan itu, maka tiba-tiba saja Pangeran Indrasunu itu telah menjatuhkan perintah kepada pengawalnya yang lain, “Cari gadis itu, dan bawa ia kemari.”

Dua orang pengawal pun segera meninggalkan halaman naik ke pendapa. Mereka langsung memasuki ruang dalam untuk mencari Ken Padmi yang mereka sangka ada di dalam rumah itu.

Ken Padmi melihat kedua orang yang naik ke pendapa itu dari balik pintu seketheng. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melihat pula. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Biarlah mereka mencarimu kemari. Kami berdua akan menyongsong mereka untuk mengucapkan selamat datang.”

Ken Padmi termangu-mangu. Tetapi karena ia tidak siap dalam pakaian tempurnya, maka ia pun tidak menjawab.

Sebenarnyalah kedua orang pengawal itu telah memasuki rumah Mahendra sampai ke longkangan dan kemudian ke bagian belakang rumah yang cukup besar itu. Mereka memasuki dapur dan ruangan-ruangan yang lain.

Beberapa orang yang berada di rumah itu menjadi gelisah. Namun seorang pelayan laki-laki kemudian berdesis di antara kawan-kawannya di belakang dapur, “Ki Mahendra sedang bertempur di halaman.”

Dua orang itu menjelajahi setiap bilik yang ada. Akhirnya mereka turun ke longkangan gandok.

Langkah mereka tertegun ketika mereka melihat tiga orang anak-anak muda berada di belakang pintu seketheng. Seorang di antara mereka adalah Ken Padmi.

“Jangan bersembunyi!” geram salah seorang dari kedua pengawal itu.

Namun jawab Mahisa Murti telah mengejutkan kedua pengawal itu. Katanya, “Kami sedang mengintip permainan yang asyik di halaman. He, apakah kau juga ingin bermain-main seperti itu? Nampaknya kau dapat menjadi kawan bermain yang baik.”

Kedua pengawal itu menegang. Mereka justru berhenti beberapa langkah dari ketiga anak-anak muda itu.

Dalam pada itu, justru Mahisa Murti lah yang melangkah mendekat sambil bertanya, “Siapa yang kalian cari?”

“Aku akan mengambil gadis itu. Pangeran Indrasunu menghendakinya.” sahut salah seorang pengawal itu.

Mahisa Murti tertawa pendek. Katanya, “Jangan ganggu kakakku. Ia belum lama berada di rumah ini.”

“Minggir anak bengal!” bentak pengawal yang lain, “Aku akan menjalankan tugasku.”

“Jangan tergesa-gesa,” jawab Mahisa Murti, “kalian harus mendengarkan keteranganku. Gadis itu adalah kakakku. Aku berdua tentu bertanggung jawab atasnya. Karena itu, jangan kau lakukan perintah Pangeran Indrasunu itu. Kembalilah, dan katakan bahwa Ken Padmi tidak mau keluar dari persembunyiannya.”

“Anak iblis!” bentak pengawal itu, “Aku tidak punya waktu untuk menyaksikan kau melucu seperti itu.”

“Aku tidak melucu. Sama sekali tidak. Aku berkata sebenarnya. Karena itu, pergilah. Jangan menunggu aku mengusirmu dengan kekerasan.”

Wajah kedua pengawal itu menjadi merah membara. Karena itu salah seorang di antara keduanya maju sambil membentak, “Cukup. Aku hanya memerlukan Ken Padmi yang dikehendaki oleh Pangeran Indrasunu.”

“He, mudah sekali menurut dugaanmu. Dikehendaki oleh siapa pun, tetapi kalau orang yang berkepentingan tidak mau, kau tidak dapat memaksa.” bentak Mahisa Pukat yang tidak sabar.

Kedua pengawal itu pun menjadi, semakin marah. Yang seorang membentak pula, “Belum tentu kalau gadis itu tidak mau. Yang kami perlukan bukan kau.”

“Jika ia mau, ia tidak akan bersembunyi.” sahut Mahisa Pukat, “Ia tentu sudah berlari turun ke halaman dan memeluk kaki Pangeran itu. Tetapi ia tidak berbuat demikian.”

“Persetan!” kedua pengawal itu sudah kehabisan kesabaran. Selangkah mereka maju sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan, sementara salah seorang dari keduanya berkata, “Marilah Ken Padmi, jangan kau korbankan orang-orang di sekitarmu. Jika kau mendengar perintah Pangeran Indrasunu, maka saudara-saudaramu akan selamat semuanya.”

Ken Padmi memandang kedua pengawal itu. Ia pun sebenarnya ingin menyelesaikan persoalan itu langsung dengan kedua pengawal itu. Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sudah siap pula.

“Keduanya adalah adik Mahisa Bungalan,” berkata Ken Padmi di dalam hatinya, “tentu keduanya pun memiliki ilmu yang cukup. Bahkan mungkin jauh lebih baik dari aku sendiri.”

Karena itu, maka Ken Padmi pun tidak beringsut dari tempatnya. Dibiarkannya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyelesaikannya.

Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka keduanya pun melangkah mendekat. Sementara Mahisa Pukat akhirnya kehilangan kesabaran dan berkata, “Sebaiknya kalian kembali kepada Pangeran itu. Katakan, Ken Padmi tidak mau datang kepadanya.”

“Persetan!” geram salah seorang pengawal, “Tutup mulutmu atau aku robek sampai ke telinga.”

“Jangan hanya berbicara saja. Lakukan jika kalian mampu!” geram Mahisa Murti.

Ternyata pengawal yang seorang itu pun tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menerkam dengan garangnya.

Tetapi Mahisa Murti sempat mengelak. Bahkan ketika pengawal itu menggenggam senjata di tangan, Mahisa Murti pun telah menarik pisau belati panjangnya.

Dalam pada itu Mahisa Pukat pun telah bersiap pula. Seperti Mahisa Murti ia memegang sebuah belati panjang. Sementara itu lawannya mempergunakan sebilah pedang.

Namun demikian, ketika mereka kemudian terlibat dalam pertempuran, pisau belati panjang di tangan kedua anak muda itu mampu mengimbangi pedang yang lebih besar dan lebih panjang.

Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bertempur pula. Agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sengaja ingin bertempur terpisah, sehingga keduanya pun telah bergeser saling menjauhi.

Dalam pada itu, agaknya Mahendra dapat mengetahui apa yang terjadi. Sambil bertempur ia dapat mendengar meskipun tidak jelas, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terlibat dalam perselisihan dengan pengawal Pangeran itu. Dan Mahendra pun sudah dapat menerka bahwa mereka tentu akan bertempur.

Ketika benturan-benturan senjata kemudian terjadi, maka kedua pengawal itu telah menjadi berdebar-debar. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa kedua anak-anak muda itu mempunyai kekuatan yang cukup besar dan kecepatan bergerak yang mendebarkan.

Justru karena itu, maka kedua pengawal itu pun menjadi semakin mengerahkan segenap kemampuannya. Pedang mereka pun berputaran semakin cepat. Namun dalam pada itu, kedua pengawal itu semakin jelas melihat kenyataan, bahwa kedua anak muda itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Dalam pada itu, di halaman Mahendra bertempur dengan sengitnya pula. Bukan karena ilmu keduanya seimbang, tetapi Mahendra sengaja sekedar mengimbangi tingkat kemampuan lawannya, sehingga dengan demikian seolah-olah kedua orang itu memiliki kemampuan setingkat.

Pangeran Indrasunu menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Pangeran muda itu pun melihat, seolah-olah kemampuan Mahendra dengan orang yang bertubuh raksasa itu memang seimbang. Pangeran muda itu sama sekali tidak menyangka, bahwa sebenarnya Mahendra hanya sekedar mengimbangi kemampuan lawannya saja. Apalagi Mahendra mengetahui bahwa sebenarnya lawannya bukan orang yang terlalu jahat. Orang itu sudah mencoba menghindari pertengkaran. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengelakkannya. Sehingga karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur.

Mahendra pun sadar, jika orang bertubuh raksasa itu dapat dikalahkannya, maka ia tentu akan menerima hukuman. Mungkin Pangeran Indrasunu akan mengangkat orang lain untuk mengawalnya dan melemparkan saja orang bertubuh raksasa itu. Sedangkan orang bertubuh raksasa itu sendiri sama sekali tidak bersalah.

Karena itu, Mahendra telah memilih jalan yang mungkin tidak akan menyebabkan orang bertubuh raksasa itu mendapat celaan yang berlebihan. Mahendra akan bertempur dengan kemampuan yang disesuaikan dengan kemampuan orang itu setingkat demi setingkat, apabila orang bertubuh raksasa itu masih mampu meningkatkan ilmunya.

Sebenarnyalah, maka lawan Mahendra itupun merasa heran, bahwa setelah ia sampai ke puncak kemampuannya, maka ia tidak berhasil menguasai lawannya. Lawannya pun mampu mengimbanginya dalam tingkat ilmunya yang tertinggi.

“Orang ini luar biasa.” berkata orang bertubuh raksasa itu di dalam hatinya.

Bahkan kemudian, justru karena ia merasa heran atas kemampuan lawannya, maka ia pun berusaha menilainya secermat-cermatnya. Bahkan sekali-sekali ia dengan sengaja memberikan kesempatan bagi lawannya. Tetapi lawannya tidak mempergunakan.

“Orang ini aneh sekali.” berkata orang itu di dalam hatinya. Justru karena ia berkelahi dengan alas yang berbeda dengan orang-orang yang dibakar oleh dendam dan kebencian, maka orang bertubuh raksasa itu dapat memandang lawannya dengan pandangan mata hatinya yang jernih.

Lambat laun orang itu memang merasa curiga. Jika ia menghentakkan ilmunya dengan tiba-tiba, atau dengan kejutan yang tentu tidak disangka-sangka oleh lawannya, maka lawannya itu masih saja dapat menghindar. Tetapi lawannya itu, sama sekali tidak pernah berusaha mendesaknya atau sekali-sekali dengan penuh tenaga menyerangnya pada saat-saat ia berada dalam kesulitan.

“Mungkin orang ini sengaja memancing kelemahanku.” berkata orang itu di dalam hati, lalu, “Seolah-olah ia tidak sempat melihat kesempatan-kesempatan yang terbuka. Namun pada suatu saat, ia tentu akan menerkam aku seperti seekor harimau menerkam seekor kancil yang lemah.”

Namun ternyata bahwa lawannya itu tidak pernah berbuat seperti yang diduganya itu. Bahkan menurut pengamatannya, lawannya itu jarang sekali menyerangnya.

Semakin lama, pengamatannya yang cermat itu pun dapat mengambil satu kesimpulan, bahwa Mahendra tidak bertempur dengan kemampuannya yang tertinggi.

Meskipun demikian, orang bertubuh raksasa itu tidak mau melepaskan setiap kemungkinan karena ia sendiri tidak yakin akan pengenalannya itu. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian di halaman itu masih saja berlangsung dengan serunya.

Berbeda dengan Mahendra, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun telah bertempur dengan tangkasnya melawan lawannya yang bersenjata. Dengan pisau belati panjang, kedua anak muda itu telah berhasil mendesak lawannya. Meskipun senjatanya tidak sepanjang senjata lawan, namun keduanya mampu bertempur dengan cepat.

Kedua pengawal Pangeran Indrasunu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Senjata mereka berputaran, menebas dan mematuk. Tetapi serangan-serangan mereka itu tidak pernah berhasil menyentuh kulit kedua anak muda itu.

Bahkan Mahisa Pukat yang garang telah berhasil mendesaknya sehingga pengawal itu hampir saja kehilangan nyawanya. Demikian ia menusuk tubuh Mahisa Pukat, maka Mahisa Pukat sempat memukul serangan itu ke samping. Namun dengan serta merta, pedang itu berputar dan terayun mendatar setinggi dada. Tetapi Mahisa Pukat dapat menangkisnya pula dengan sentuhan ke atas. Namun, dengan cepat lawan Mahisa Pukat itu memutar pedangnya, dan dengan cepat mematuk dengan derasnya ke arah jantung.

Sekali lagi Mahisa Pukat harus menangkis serangan itu. Demikian pedang itu terjulur lurus, maka Mahisa Pukat telah memukul pedang itu sekeras-kerasnya, sehingga pedang itu pun tergetar. Hampir saja pedang itu terlepas dari genggaman. Namun untunglah bahwa lawannya masih sempat memperbaiki genggaman tangannya itu, meskipun betapa jari-jarinya merasa pedih.

Tetapi adalah mengejutkan sekali. Sebelum ia benar-benar sempat memperbaiki pegangan itu Mahisa Pukat lah yang kemudian-menyerangnya. Pisau belatinya diangkatnya tinggi-tinggi. Kemudian berputar dan menukik menyerang lambung.

Dengan serta merta lawannya meloncat ke samping. Ia masih berusaha untuk tidak membenturkan senjatanya. Namun tiba-tiba senjata itu terayun mengejar tubuh yang sedang mengelak itu.

Tidak ada kemungkinan lain daripada menangkis senjata itu dengan senjatanya agar pisau belati lawannya itu tidak menyentuh tubuhnya. Karena itu, maka ia pun telah menyilangkan pedangnya melawan ayunan pisau belati panjang itu.

Sekali lagi telah terjadi benturan antara pedang pengawal itu dengar pisau belati panjang Mahisa Pukat. Meskipun pisau belati itu lebih pendek dan lebih kecil, namun ternyata tenaga Mahisa Pukat jauh lebih kuat dan lebih besar dari tenaga lawannya sehingga ketika benturan itu terjadi, Mahisa Pukat telah mengungkit senjata lawannya dengan hentakan yang keras dan cepat.

Ternyata senjata lawannya itu tidak dapat diselamatkan lagi. Hentakan itu benar-benar telah melemparkan senjata pengawal Pangeran Indrasunu itu.

Pengawal itu tergetar. Bukan saja tangannya, tetapi juga jantungnya. Jari-jarinya merasa pedih. Tetapi yang lebih pedih lagi adalah hatinya.

Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti telah bertindak lebih jauh lagi. Meskipun ia memang tidak berniat untuk membunuh namun ketika putaran senjatanya membingungkan lawannya, maka serangannya berhasil menyusup langsung menyentuh lambung lawannya.

Terdengar keluhan tertahan. Pengawal yang terluka itu meloncat beberapa langkah surut. Sekilas ia memandang kawannya, seolah-olah ia ingin mendapat bantuannya.

Tetapi sekali lagi jantungnya tergetar. Ternyata kawannya itu baru saja kehilangan senjatanya. Dengan termangu-mangu kawannya itu berdiri tegak, seolah-olah ia telah pasrah kepada maut di ujung belati lawannya yang masih muda itu.

Tetapi ternyata baik Mahisa Pukat maupun Mahisa Murti tidak menghunjamkan pisatu belati mereka ke jantung lawannya. Demikian lawan-lawan mereka kehilangan kemampuan untuk melawan, maka anak-anak muda itupun menghentikan serangan mereka.

“Apa katamu?” bertanya Mahisa Pukat kepada lawannya, “Apakah kau ingin menyelesaikan persoalan ini dengan pertaruhan nyawamu, atau kau mempunyai sikap lain?”

Lawan Mahisa Pukat tidak menjawab, sementara Mahisa Murti membentak lawannya, “Pergi ke Pangeran itu. Katakan kepadanya bahwa gadis yang bernama Ken Padmi itu tidak mau dibawanya. Jika Pangeran itu tidak percaya, biarlah ia bertemu langsung. Dan jika Pangeran itu akan memaksanya, biarlah ia mencoba mengalahkan gadis yang bernama Ken Padmi itu.”

“Ah” desis Ken Padmi.

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Jangan dikira bahwa gadis itu dapat dipermainkan. Jika ia dapat mengalahkan gadis itu maka ia akan dapat membawanya.”

“Tidak,” desis Ken Padmi, “aku tidak mau apapun yang dapat dilakukannya.”

Tetapi Mahisa Murtilah yang kemudian menyahut, “Yang benar, jika Pangeran itu dapat mengalahkan kakang Mahisa Bungalan, maka ia akan dapat membawa Ken Padmi.”

“Ah” sekali lagi Ken Padmi berdesis.

Tetapi ternyata yang dikatakan oleh kedua anak-anak muda itu tidak sekedar masuk ke telinga kiri dan lenyap lewat telinga kanan. Kedua anak-anak muda itu dianggap benar-benar telah melontarkan tantangan bagi Pangeran Indrasunu.

Karena itu, maka salah seorang dari kedua pengawal itu kemudian bertanya, “Apakah aku dapat mengatakan tantangan itu kepada Pangeran Indrasunu?”

“Katakan. Jika ia dapat mengalahkan kakang Mahisa Bungalan.” jawab Mahisa Pukat.

Kedua orang pengawal itu termangu-mangu. Sementara itu, Mahisa Murti membentak, “Sekarang, cepat pergi. Atau aku harus melubangi jantungmu.”

Kedua pengawal itu melangkah surut. Kemudian dengan tergesa-gesa keduanya meninggalkan longkangan itu ketika Mahisa Murti membentaknya, “Cepat, sebelum kami mengambil keputusan lain.”

Demikian pengawal itu turun ke halaman, maka Pangeran Indrasunu pun terkejut. Ia melihat seorang pengawalnya telah berlumuran darah. Sementara orang bertubuh tinggi besar itu masih belum berhasil mengalahkan Mahendra. Bahkan semakin lama semakin nampak, orang bertubuh raksasa itu menjadi semakin letih, sehingga kemampuannya pun menjadi semakin menurun.

Dengan wajah tegang Pangeran Indrasunu pun dengan tergesa-gesa mendekati pengawalnya yang terluka sambil bertanya, “Kenapa? Siapakah yang telah melukaimu?”

Kedua pengawal yang telah dikalahkan oleh anak-anak muda dilongkangan di belakang seketheng itu pun ragu-ragu sejenak. Namun dalam pada itu, Pangeran Indrasunu membentaknya, “Cepat. Katakan.”

“Di dalam belakang seketheng ada dua orang anak muda yang mengawal gadis yang Pangeran maksudkan.” jawab pengawal itu.

“Siapa?” bertanya Pangeran itu dengan marah.

“Kami tidak mengetahuinya. Tetapi nampaknya mereka adalah adik atau barangkali saudara sepupu gadis itu.” Pangeran itu membentaknya semakin keras.

“Tidak.” suara kedua pengawal itu semakin lambat. Bahkan pengawal yang terluka itu mulai menjadi gemetar karena darah yang semakin mangalir dari lukanya.

Sementara itu, Mahendra yang bertempur sambil mengimbangi kemampuan lawannya sempat berkata, “Luka itu harus diobati, agar darahnya menjadi pampat.”

Peringatan Mahendra itu memang menarik perhatian. Pangeran Indrasunu berpaling kepadanya. Namun ia pun membentak, “Tutup mulutmu.”

Namun Mahendra menjawab, “Aku berkata sebenarnya. Jika ia tidak segera mendapat pertolongan, justru karena darahnya yang mengalir semakin banyak itu, nyawanya akan terancam. Padahal korban itu tidak perlu, karena lukanya sebenarnya tidak terlalu berbahaya. Tetapi jika ia kehabisan darah, maka sebab kematiannya adalah justru karena darahnya menjadi kering.”

“Tutup mulut orang itu!” perintah Pangeran Indrasunu kepada pengawalnya yang bertubuh raksasa, “Kenapa kau tidak segera melakukannya?”

Orang bertubuh raksasa itu semakin heran melihat lawannya. Ia pun berusaha semakin banyak mengenalinya. Apakah sebenarnya yang akan dilakukannya.

Namun dalam pada itu, ia masih harus bertempur dalam puncak kemampuannya, karena lawannya yang bernama Mahendra itu pun bertempur pada tataran yang setingkat dengan puncak kemampuannya itu.

Dalam pada itu, ternyata orang yang terluka itu menjadi semakin lemah. Darahnya masih saja mengalir tanpa terbendung. Meskipun luka itu sendiri tidak terlalu parah.

Pangeran Indrasunu ternyata sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan ia masih saja membentak orang bertubuh raksasa itu, “Cepat selesaikan orang itu. Kemudian dua orang yang telah melukai pengawal-pengawalku.”

Tetapi Pangeran Indrasunu tidak memerintahkan kepada pengawalnya yang lain untuk mengambil Ken Padmi, karena pengawal yang lain itu pun akan dapat mengalami nasib seperti yang dialami oleh pengawal yang terluka itu.

Namun yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Pangeran Indrasunu adalah, bahwa Mahisa Murti dengan tiba-tiba saja telah berlari mendekati pengawal yang terluka itu. Sejenak kedatangannya telah menimbulkan kejutan bagi para pengawal yang lain. Beberapa orang telah bersiaga. Bahkan pengawal yang terluka itu sendiri, berusaha untuk bersiap-siap.

Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti itu datang dengan sebumbung kecil obat di tangannya.

Katanya, “Obat ini akan memampatkan darahmu.”

“Gila!” geram Pangeran Indrasunu.

“Maaf, Pangeran. Aku tidak berniat membunuhnya. Jika ia terlambat mengobati lukanya, maka ia akan mati. Dan aku akan menyesal bahwa aku telah membunuh orang yang sebenarnya tidak pantas untuk dibunuh.” jawab Mahisa Murti.

“Jadi kau yang telah melukai pengawalku?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Ya.” jawab Mahisa Murti.

“Bagus. Kau telah datang untuk membunuh dirimu.” Lalu katanya kepada para pengawal, “Tangkap anak ini.”

Para pengawal yang sudah siap itu pun mulai bergerak. Tetapi Mahisa Murti seolah-olah tidak menghiraukannya. Bahkan katanya, “Sabarlah sedikit. Kalian dapat menangkap aku setelah aku menyerahkan obat ini kepada kawanmu yang terluka itu.”

Para pengawal itu pun menjadi termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti tanpa menghiraukan mereka, telah berjongkok di samping pengawal yang terluka, yang karena kelemahan tubuhnya telah terduduk di pinggir halaman.

Dengan tenang Mahisa Murti membuka bumbung kecil itu dan kemudian berkata kepada pengawal itu, “Berbaringlah, agar aku dapat menaburkan obat ini pada lambungmu.”

Seperti kehilangan dirinya sendiri, pengawal itu menurut saja. Ia pun kemudian berbaring agak miring, sementara Mahisa Murti pun telah menaburkan obat yang dibawanya itu pada luka yang masih berdarah.

Pengawal itu menyeringai menahan pedih yang menusuk. Namun Mahisa Murti berkata, “Memang agak pedih. Tetapi obat ini bekerja cepat, sehingga lukamu akan segera menjadi sembuh.”

Sebenarnyalah luka itu terasa pedih dan nyeri. Bahkan seakan-akan telah menjalar ke seluruh tubuh. Namun dalam pada itu darah di lambung itu pun berangsur-angsur menjadi pampat.

“Jangan bangkit sampai darah itu benar-benar berhenti. Setelah itu pun kau harus menjaga, agar kau tidak terlalu banyak bergerak sehingga darahmu benar-benar tidak akan mengalir lagi.”

Seolah-olah di luar sadarnya pengawal itu mengangguk.

Dalam pada itu, Pangeran Indrasunu telah terpukau oleh sikap Mahisa Murti. Bahkan mereka yang sedang bertempur itu pun berusaha untuk melihat apa yang telah terjadi.

“Anak itu adalah anakku.” desis Mahendra.

“O” orang bertubuh raksasa itu mengangguk-angguk. Namun orang itu masih tetap menyerangnya.

“Kau tidak akan berhasil,” akhirnya Mahendra berkata, “sebenarnya aku dapat berbuat lebih banyak. Jika para pengawal itu benar-benar akan menangkapnya, maka aku akan bertindak lebih jauh.”

“Apa yang dapat kau lakukan?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.

“Melawan kalian semuanya dan mengalahkannya.” jawab Mahendra.

Ternyata jawab orang bertubuh raksasa itu mengejutkan Mahendra. Katanya, “Aku percaya. Sejak semula aku menganggap bahwa caramu bertempur tidak wajar.”

“Kalau begitu berhentilah.” desis Mahendra.

“Jangan aku yang berhenti. Tetapi tolong, hentikan perlawananku. Jika aku pingsan, maka tidak akan ada tuduhan pengkhianatan.” desis orang bertubuh raksasa itu.

Mahendra justru termangu-mangu. Ternyata orang bertubuh raksasa itu tahu akan keadaannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu yang akan dapat mencelakainya. Jika ia menyerah atau menghentikan perlawanan, maka ia akan dapat dituduh berkhianat.

Mahendra memaklumi sepenuhnya akan hal itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Maaf, apakah aku harus benar-benar melakukannya?”

“Ya. Tetapi aku pun mengharap, jangan bunuh aku.” berkata orang bertubuh raksasa itu.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun nampaknya menjadi semakin sengit. Sementara itu, Pangeran Indrasunu menjadi semakin marah melihat keadaan para pengawalnya. Namun tiba-tiba sekali lagi ia berteriak, “Tangkap anak itu.”

Para pengawal pun telah bergerak pula. Selangkah mereka maju mendekati Mahisa Murti yang masih sibuk. Namun sekali lagi para pengawal itu termangu-mangu, justru karena Mahisa Murti seolah-olah tidak menghiraukan mereka.

Namun Pangeran yang masih muda itu berteriak lebih keras lagi, “Cepat tangkap orang itu dan aku akan mengadilinya karena ia sudah melukai pengawalku.”

Para pengawal nampaknya tidak dapat berbuat lain. Ketika mereka bergerak, maka Mahisa Murti pun telah bangkit berdiri, sehingga para pengawal itu pun tertegun karenanya.

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, lalu, “aku sudah selesai. Apakah kalian benar-benar akan menangkapku?”

“Tutup mulutmu!” bentak Pangeran Indrasunu, “Kau tidak akan diampuni.”

“Aku tidak akan minta ampun.” jawab Mahisa Murti. Namun dalam pada itu, para pengawal itu pun terkejut ketika mereka mendengar seorang lagi berteriak dari tangga seketheng, “Jangan ampuni anak itu.”

Ternyata Mahisa Pukat berdiri tegak sambil membawa sebatang tombak pendek. Di tangannya yang lain ia membawa sebilah pedang. Sambil mengacukan pedang itu ia berkata, “Mahisa Murti, sebaiknya kau bersenjata pedang jika lawanmu cukup banyak. Aku pun akan melawan mereka dengan tombak pendek ini. Sementara itu, seorang lagi di antara kita akan bertempur dengan pedang rangkap.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ia tahu, yang dimaksud tentu Ken Padmi.

Namun tiba-tiba saja Mahendra berteriak, “Tidak. Tidak ada yang akan bertempur dengan pedang rangkap. Kalian pun tidak akan bertempur. Aku akan melawan mereka semuanya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Namun tiba-tiba tata gerak ayah mereka itu menjadi semakin cepat. Bagaikan amukan prahara ia menyerang orang bertubuh raksasa itu.

Tidak ada orang yang tahu, apa yang telah terjadi. Namun tiba-tiba saja orang bertubuh raksasa itu telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah.

Pangeran Indrasunu terkejut bukan buatan. Dengan tergesa-gesa ia pun berlari-lari mendekati orang bertubuh raksasa itu. Namun ternyata ia telah pingsan.

Mahendra masih berdiri tegak di tempatnya. Kemudian dengan suara lantang ia berkata, “Nah, orang itu sudah aku kalahkan. Sekarang, siapa yang akan menangkap anakku itu? Ia sendiri akan dapat membela dirinya bersama saudara-saudaranya. Tetapi aku adalah ayahnya. Aku akan bertindak lebih jauh dari apa yang sudah aku lakukan.”

Pangeran Indrasunu menggeretakkan giginya. Dengan lantang ia berkata, “Aku sendiri akan membunuhmu.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Namun semuanya berpaling ketika tiba-tiba saja Mahisa Pukat yang masih berada di tangga seketheng berteriak, “Tidak usah ayah berbuat apa-apa. Sebenarnya persoalannya sudah jelas. Ken Padmi akan melihat apakah Pangeran Indrasunu itu benar-benar seorang laki-laki. Jika ia dapat mengalahkan Mahisa Bungalan, maka semuanya akan dipertimbangkannya.”

“Mahisa Pukat!” potong Mahendra. Tetapi anak itu sudah terlanjur mengatakannya. Bahkan Mahisa Murti pun menyambung, “Sebuah sayembara tanding yang menarik. Tentu Pangeran Indrasunu tidak sempat mengikuti sayembara tanding di padepokan Kenanga. Karena itu, maka ia akan mengikutinya di sini, jika ia benar-benar memerlukan Ken Padmi.”

“Mahisa Pukat!” desis Ken Padmi dari balik seketheng. “Aku tidak mau. Itu saja.”

Tetapi Mahisa Pukat yang nakal itu tidak menghiraukannya. Bahkan ia pun kemudian melangkah turun ke halaman sambil berkata, “Kedua pengawal itulah yang seharusnya menyampaikan tantangan ini.”

Mehendra tidak dapat mencegahnya lagi. Kedua anaknya itu memang nakal sekali.

Namun demikian, seandainya hal itu yang harus terjadi, maka Mahendra pun tidak berkeberatan. Menurut perhitungannya, Pangeran itu tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Bungalan. Namun demikian, Mahisa Bungalan tidak akan dapat mengabaikannya. Meskipun Pangeran itu nampak tidak banyak bertindak langsung karena pengawal-pengawalnya, bukan berarti bahwa ia tidak memiliki ilmu yang cukup.

Mahendra menjadi berdebar-debar ketika Pangeran Indrasunu itu menyahut “Aku terima tantangan Mahisa Bungalan. Jika aku menang, aku berhak mengambil Ken Padmi. Tetapi aku menjadi muak terhadap gadis itu, sehingga setelah aku mempunyai hak atasnya maka aku akan memberikannya kepada pengemis kudisan.”

Tetapi sikap Mahisa Murti memang menjengkelkan. Katanya, “Ken Padmi berhak pula mencekiknya sampai mati.”

Kemarahan Pangeran Indrasunu sudah memuncak sampai ke kepala. Tetapi ia tidak dapat mengabaikan kenyataan. Orang yang paling dipercaya telah dikalahkan oleh Mahendra, sehingga pingsan. Sementara salah seorang pengawalnya malahan sudah dilukai oleh Mahisa Murti.

Karena itu, maka Pangeran Indrasunu itu pun kemudian menggeram, “Aku akan mengurungkan niatku kali ini. Tetapi itu bukan berarti bahwa persoalanku sudah selesai, tantangan untuk berperang tanding itu akan aku layani. Aku akan membunuh Mahisa Bungalan di arena. Kemudian mengambil Ken Padmi dan menyeretnya seperti seekor lembu untuk aku serahkan kepada pengemis seperti yang sudah aku katakan.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia tertawa pendek.

Sangat menyakitkan hati. Tetapi Pangeran Indrasunu tidak dapat berbuat apa-apa.

Sejenak kemudian, maka Pangeran Indrasunu itu pun tekah memerintahkan para pengawalnya bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Yang pingsan itu pun perlahan-lahan telah sadar kembali. Namun tubuhnya menjadi sangat lemah, sehingga ia perlu dibantu oleh seorang pengawal yang lain.

“Kalian telah berkhianat!” geram Pangeran Indrasunu, “Semuanya ini akan sampai ketelinga kakangmas Wirapaksi.”

Sekali lagi Mahisa Pukat tertawa. Bahkan Mahisa Murti pun tertawa pula sambil berkata, “Sebaiknya memang demikian. Jika Pangeran Indrasunu melaporkannya kepada Pangeran Wirapaksi, maka Pangeran Wirapaksi akan menghukummu. Di Singasari adat seperti yang Pangeran lakukan itu tidak berlaku lagi. He, apakah Pangeran juga masih dapat menyaksikannya di Kediri? Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang Pangeran yang berpengaruh. Tetapi ia bersikap sangat baik dan ramah kepada siapapun.”

“Persetan!” geram Pangeran Indrasunu, “Apa yang kau ketahui tentang Pangeran Kuda Padmadata.”

Kedua anak Mahendra itu tidak menjawab lagi. Rasa-rasanya mereka memang ingin mengusir Pangeran itu agar segera meninggalkan halaman rumahnya.

Sejenak kemudian, maka Pangeran itu benar-benar telah pergi. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun mendekati ayahnya sambil tersenyum.

“Pangeran itu memang memerlukan sedikit pelajaran.” berkata Mahisa Murti.

“Ia tentu akan menyampaikan persoalan ini kepada Pangeran Wirapaksi.” desis Mahendra.

“Aku kira ada baiknya,” sahut Mahisa Pukat, “bukankah ayah mengenal Pangeran Wirapaksi dengan baik?”

“Aku mengenal Pangeran Wirapaksi dengan baik. Tetapi Pangeran Indrasunu adalah adik iparnya.” jawab ayahnya.

“Apakah mungkin hal itu akan sangat berpengaruh? Mungkin Pangeran Wirapaksi akan dapat mempertimbangkannya sebaik-baiknya.” desis Mahisa Murti.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita menunggu perkembangan keadaan. Mungkin Pangeran Indrasunu akan dapat mengatakan yang tidak sebenarnya. Yang putih dikatakan hitam, yang hitam dikatakan putih. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra tentu akan didengar pula keterangannya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Mereka pun kemudian mengikuti ayahnya ke seketheng, karena mereka mengira bahwa Ken Padmi masih berada di longkangan.

Namun demikian mereka memasuki seketheng, mereka terkejut karena mereka melihat Ken Padmi menangis di serambi.

“Ken Padmi,” Mahendra mendekatinya dengan tergesa-gesa, “kenapa kau menangis? Segalanya telah selesai. Pangeran itu telah pergi.”

Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Ia mengira bahwa Ken Padmi marah kepadanya, karena ia telah mengatakan bahwa Ken Padmi menuntut sayembara tanding.

“Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu,” desis Mahisa Pukat, “aku justru ingin bergurau dengan Pangeran itu.”

“Jika kau menolak sayembara tanding seperti yang dikatakan oleh Mahisa Pukat, Ken Padmi. Akulah yang akan mengurusnya. Jika pimpinan pemerintahan di Singasari melarang, maka hal itu tidak akan dapat dilangsungkan.”

Tetapi Ken Padmi menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Bukan karena sayembara tanding itu.”

“Lalu, kenapa kau menangis?” bertanya Mahendra.

Di antara isaknya Ken Padmi berkata, “Ternyata nasibku terlalu buruk. Di padepokan Kenanga, aku telah menimbulkan persoalan sehingga jatuh korban jiwa. Beberapa orang terbunuh karena persoalanku langsung atau tidak langsung. Kemudian aku telah menyingkir, betapa pun hatiku terasa pahit. Sebagai seorang gadis aku telah mengikuti seorang laki-laki yang belum mempunyai satu ikatan apa pun juga. Namun dengan satu harapan, bahwa aku akan hidup tenang dan tidak membuat persoalan bagi orang lain. Tetapi ternyata bahwa di sini pun telah terjadi persoalan karena aku. Agaknya aku adalah manusia yang paling terkutuk, yang di mana-mana akan dapat menimbulkan bencana.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara lembut ia berkata, “Sudahlah, Ken Padmi. Jangan terlalu kau pikirkan. Serahkan segalanya kepadaku.”

“Tetapi segalanya itu terjadi karena nasibku yang buruk.” desis Ken Padmi.

“Ken Padmi,” berkata Mahendra kemudian, “jangan menyesali nasib yang sudah digariskan olen Yang Maha Agung. Segala yang terjadi, tentu bukannya tanpa maksud. Hal yang terasa pahit, mungkin akan dapat memberikan kebahagiaan di hari kemudian. Karena itu, berdoa sajalah agar kau mendapat petunjuk di hatimu, apakah yang sebaiknya harus kau lakukan.”

Ken Padmi memandang Mahendra sekilas. Kemudian ia pun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan suara lirih ia berkata, “Semoga Yang Maha Agung memberikan petunjuknya. Bukan maksudku untuk menyesali garis yang tergores di sepanjang jalan hidupku. Namun jika harus terjadi akibat dari sebab yang tidak aku mengerti, atau yang telah terjadi pada masa lalu, mudah-mudahan aku lekas mendapatkan pengampunan.”

“Sudahlah,” berkata Mahendra kemudian, “masuklah. Cobalah beristirahat. Aku akan menyelesaikan persoalan ini sebaik-baiknya. Karena itu, hari ini juga aku akan pergi ke Singasari menyusul Mahisa Agni dan Witantra. Sebaiknya ia mendengar persoalan ini dari mulutku. Bukan dari Pangeran Indrasunu atau orang lain yang ditugaskan oleh Pangeran itu. Karena aku yakin bahwa Pangeran Indrasunu akan segera menyampaikan persoalannya kepada Pangeran Wirapaksi.”

Ken Padmi hanya dapat mengangguk saja, sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun kemudian membimbingnya masuk ke ruang dalam.

Sementara itu, Mahendra pun segera berkemas. Ia akan segera menyusul Mahisa Agni dan Witantra. Bahkan ia pun harus segera memberitahukan kepada Mahisa Bungalan bahwa sudah terloncat kata-kata dari mulut adik-adiknya, bahwa untuk mendapatkan Ken Padmi Pangeran Indrasunu harus perang tanding. Namun agaknya Pangeran Indrasunu telah tersinggung. Untuk mendapatkan seorang gadis padepokan ia harus melakukan sayembara tanding. Karena itu, maka ia pun ingin menghina keluarga Ken Padmi pula, dengan mengatakan bahwa apabila ia memenangkan sayembara, maka gadis itu akan dilemparkannya dengan hina.

Mahendra pun sadar, bahwa penghinaan itu tentu akan membakar darah Mahisa Bungalan. Tetapi ia pun berharap bahwa Mahisa Agni dan Witantra akan dapat memberikan pertimbangan.

Sementara itu, Pangeran Indrasunu yang meninggalkan rumah Mahendra itu pun telah memacu kuda menuju ke istana Pangeran Wirapaksi.

Ia harus memberitahukan kepada Pangeran Wirapaksi bahwa seorang pidak pedarakan telah berani menolak keinginannya, seorang Pangeran. Seandainya orang Singasari tidak menghormatinya sebagai seorang bangsawan Kediri, maka mereka pun harus menghormati Pangeran Wirapaksi yang meskipun juga berdarah Kediri, tetapi ia sudah berada di Singasari.

Kedatangan Pangeran Indrasunu yang tergesa-gesa, serta keadaan para pengawalnya telah mengejutkan para pengawal istana Pangeran Wirapaksi. Namun Pangeran Indrasunu yang marah itu, tidak mengatakan sesuatu, selain sambil membentak-bentak ia menyerahkan kudanya kepada para pengawal.

Kedatangan Pangeran Indrasunu yang tergesa-gesa itu memang membuat Pangeran Wirapaksi terkejut. Sebelum Pangeran Wirapaksi bertanya, maka Pangeran Indrasunu telah berkata, “Orang-orang Singasari perlu mendapat pelajaran, bagaimana mereka harus bersikap terhadap bangsawan dan para penguasa.”

Pangeran Wirapaksi terkejut melihat sikap adik iparnya. Karena itu, maka katanya, “Duduklah. Kita berbicara dengan tenang.”

Pangeran Indrasunu dan Pangeran Wirapaksi itu pun kemudian duduk di serambi. Dengan sabar Pangeran Wirapaksi bertanya, “Apakah yang sudah terjadi?”

“Orang-orang Singasari ternyata adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Bodoh dan sombong.” geram Pangeran Indrasunu.

“Apa yang telah terjadi?” desak Pangeran Wirapaksi.

Pangeran Indrasunu kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di rumah seorang yang bernama Mahendra.....

“O,” Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk, “begitukah yang telah terjadi? Semula aku tidak begitu memikirkan akibatnya. Karena itu, aku menunjukkan di mana gadis itu akan tinggal, karena ia akan berada di Singasari. Aku mengenal Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra dengan baik.”

“Tetapi itu bukan berarti bahwa mereka dapat menghinakan kami, para bangsawan.” geram Pangeran Indrasunu.

“Jika kau mengatakan kepadaku, apa yang sebenarnya akan kau lakukan, aku tidak akan menunjukkan kepadamu, di mana rumah Mahendra itu.” berkata Pangeran Wirapaksi.

Pangeran Indrasunu menjadi heran. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa justru begitu?”

“Aku tidak dapat bermusuhan dengan Mahendra, Mahisa Agni dan Witantra.” sahut Pangeran Wirapaksi.

“Kenapa? Apakah mereka setingkat dengan kakang mas Wirapaksi dalam kedudukan keprajuritan? Bukankah Mahendra bukan seorang prajurit?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Memang bukan. Tetapi sebaiknya kau urungkan niatmu.” berkata Pangeran Wirapaksi.

“Aku sudah mengatakan kepada Mahendra. Aku terima tantangan perang tanding melawan Mahisa Bungalan. Tetapi jika aku menang, aku tidak akan mengambil gadis yang memuakkan itu. Sebagai hak yang aku peroleh, maka gadis itu akan aku serahkan kepada pengemis kudisan di pinggir jalan.” geram Pangeran Indrasunu.

“Kau kurang mengenal Singasari,” berkata Pangeran Wirapaksi, “aku akan berusaha mengurungkannya.”

“Kenapa?” bertanya Pangeran Indrasunu, “apakah kakangmas berkeberatan melihat Ken Padmi menjadi pengewan-ewan, karena ia menjadi seorang istri dari seorang pengemis?”

“Jangan begitu kasar terhadap orang-orang Singasari. Aku sudah mengenal Singasari seperti aku mengenal Kediri. Sebenarnya bukan saja Singasari. Di Kediri pun kau tidak dapat berbuat seperti itu.”

“Jadi kakangmas tidak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka? Jika demikian, maka biarkan aku menempuh caraku. Perang tanding. Bukankah itu adil?” bertanya Pangeran yang masih muda itu.

Pangeran Wirapaksi menarik nafas dalam-dalam. Adik iparnya benar-benar belum mengenal keadaan Singasari, dan lebih-lebih lagi ia belum mengenal siapakah Mahendra, Mahisa Agni dan Witantra yang sebenarnya.

Namun dalam pada itu, terbersit juga di dalam hatinya, “Biarlah anak ini sekali-sekali mendapat peringatan, bahwa ia tidak dapat berbuat sesuka hatinya sendiri.”

Karena itu, maka Pangeran Wirapaksi pun berkata, “Baiklah, adimas. Jika kau menghendaki perang tanding melawan Mahisa Bungalan, aku kira dapat juga dilaksanakan. Tetapi dengan peraturan yang ketat, sehingga perang tanding itu benar-benar dilandasi oleh sifat kesatria.”

“Maksud kakangmas, sampai mati?” suara Pangeran Indrasunu tiba-tiba menurun.

“Tentu tidak. Maksudku, perang tanding itu dilakukan atas landasan sifat seorang kesatria. Yang kalah akan segera mengaku kalah, dan yang menang tidak bertindak sewenang-wenang.” jawab Pangeran Wirapaksi.

“Bagaimana dengan taruhan itu?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Mahisa Bungalan akan mempertahankan gadis itu, dan kau akan merebutnya.” jawab Pangeran Wirapaksi pula.

“Bagus, aku akan melakukannya.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Tetapi coba renungkan, apa itu adil?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

“Kenapa? Bukankah itu adil?” bertanya Pangeran gang masih muda itu.

“Jika kau menang, kau akan mendapat sesuatu, meskipun yang kau dapatkan itu akan kau lempar kembali. Tetapi bagaimana jika kau kalah?” bertanya kakak iparnya.

“Jika aku kalah, bagaimana?” Pangeran Indrasunu menjadi tegang.

“Kau harus minta maaf kepadanya.” berkata Pangeran Wirapaksi.

“Minta maaf?” Pangeran Indrasunu termangu-mangu.

“Ya. Dan sayembara ini bersifat umum. Maksudku, jika masih ada orang lain yang berminat, ia akan dapat memasuki sayembara itu. Yang menang akan mempertahankannya.” berkata Pangeran Wirapaksi.

“Ah, kenapa menjadi demikian luas?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Tidak apa-apa. Kita tidak dapat melakukannya terbatas di Singasari.” jawab Pangeran Wirapaksi.

“Terserah kepada kakangmas. Aku sudah siap memasuki sayembara itu, meskipun aku belum mengenal Mahisa Bungalan.” gumam Pangeran Indrasunu. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi kenapa Mahisa Bungalan?”

Pangeran Wirapaksi mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Bukankah adimas sendiri yang datang ke rumah Mahendra? Tetapi mungkin karena gadis itu adalah saudaranya. Mungkin saudara sepupu, mungkin dalam kaitan yang lain.”

Pangeran Indrasunu tidak bertanya lagi. Namun kemudian ia berkata, “Aku akan melatih diri mempergunakan senjata. Aku akan menghancurkan lawanku di arena.”

“Baiklah. Dah aku akan melakukan hubungan dalam persoalan ini dengan orang-orang yang berkepentingan.” berkata Pangeran Wirapaksi.

Dalam pada itu, maka Pangeran Wirapaksi pun segera mencari Mahisa Agni, yang menurut Pangeran Indrasunu sudah berada di Kota Raja.

Ternyata Pangeran itu tidak terlalu sulit mencarinya. la menemui Mahisa Agni justru di dalam lingkungan istana Singasari sebagaimana Mahisa Agni tinggal sejak semula.

Kedatangan Pangeran Wirapaksi memang mengejutkan. Namun karena tidak nampak satu kesan pun yang dapat menggelisahkan, maka Mahisa Agni, Witantra maupun Mahisa Bungalan tidak menjadi berdebar-debar pula.

Tetapi belum lagi Pangeran Wirapaksi mengatakan sesuatu tentang keperluannya yang sebenarnya, justru karena ia tidak tergesa-gesa, maka Mahendra pun telah datang pula.

Dengan demikian, setelah mereka beristirahat sejanak, maka pembicaraan pun mulai mengarah.

Ternyata apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Wirapaksi dan Mahendra telah sejalan. Perang tanding untuk satu sayembara.

“Anak bengal!” geram Mahisa Bungalan.

“Aku tidak sempat mencegah Mahisa Pukat mengatakannya, sementara nampaknya Pangeran Indrasunu telah menanggapinya.” berkata Mahendra.

Tetapi Pangeran Wirapaksi pun telah memberikan keterangan pula. Sayembara itu bukan sayembara yang sungguh-sungguh dan terbuka.

“Aku ingin Indrasunu mendapat pengalaman,” berkata Pangeran Wirapaksi, “aku tahu, bahwa ia memang berguru. Tetapi aku tidak yakin, bahwa kemampuannya sudah cukup untuk melakukan perang tanding melawan Mahisa Bungalan.”

Mahisa Agni menarik nafas panjang. Ketika Mahendra kemudian mengatakan, bahwa Ken Padmi merasakan peristiwa itu sebagai satu kepahitan setelah ia berusaha menghindari kepahitan yang yang pernah dialami di padepokannya, maka ia pun berkata, “Sebenarnya aku dapat mengerti. Tetapi aku kira cara ini baik juga bagi Pangeran Indrasunu. Tetapi apakah hal itu tidak berpengaruh bagi para bangsawan di Kediri, seolah-olah Pangeran Indrasunu mendapat perlakuan yang tidak wajar di Singasari?”

“Aku juga seorang berdarah Kediri. Aku akan dapat mengatakan hal yang sebenarnya kepada orang-orang Kediri yang tersinggung oleh peristiwa ini.” jawab Pangeran Wirapaksi.

Tetapi perang tanding itu benar-benar bukan satu sayembara terbuka. Pangeran Wirapaksi hanya sekedar ingin meyakinkan Pangeran Indrasunu, bahwa ia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya meskipun ia seorang Pangeran. Ia tidak dapat dengan sewenang-wenang menyakiti hati rakyat Singasari. Bahkan juga rakyat Kediri.

Karena itu, maka Pangeran Wirapaksi pun kemudian berkata, “Biarlah perang tanding itu diselenggarakan di halaman belakang tempat tinggalku.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Tetapi apakah kita akan melaporkan perang tanding ini kepada Sri Maharaja?”

“Tidak. Tentu tidak perlu,” jawab Pangeran Wirapaksi, “tidak akan ada yang mengetahuinya kecuali kita, dan para pengawal Pangeran Indrasunu dari Kediri. Tetapi mereka tidak akan dapat menyebarkannya di Singasari, karena mereka tidak mempunyai kepentingan.”

“Apakah Pangeran Indrasunu tidak mempunyai satu keinginan? Misalnya perang tanding ini harus disaksikan oleh orang banyak atau keinginan-keinginan lain?” bertanya Witantra.

“Akulah yang akan mengatur, la tidak akan bebuat apa-apa kecuali turun ke arena.” jawab Pangeran Wirapaksi.

Dengan demikian maka mereka pun telah mengatur waktu, kapan perang tanding itu akan diselenggarakan. Namun justru karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah mengurungkan niatnya untuk menghadap Sri Maharaja. Mereka akan menghadap dan melaporkan diri setelah semuanya selesai.

Namun dalam pada itu, adalah di luar pengamatan Pangeran Wirapaksi, ternyata Pangeran Indrasunu telah memerintahkan dua orang pengawalnya untuk pergi ke Kediri melaporkan segalanya yang telah terjadi kepada guru Pangeran Indrasunu. Seorang tua dari padepokan Umbul Pitu.

Demikianlah, menurut keterapan waktu yang disepakati, perang tanding akan diadakan tiga hari lagi di halaman belakang istana Pangeran Wirapaksi.

Tetapi yang tiga hari itu sudah dapat dimanfaatkan baik-baik oleh pengawal Pangeran Indrasunu yang menghadap Wasi Sambuja dari padepokan Umbul Pitu.

Laporan pengawal itu telah mengejutkan Wasi Sambuja. Namun kemudian ia bertanya, “Siapakah lawan yang akan memasuki arena?”

“Namanya Mahisa Bungalan,” jawab pengawal itu, “nama yang tidak banyak dikenal di luar Kota Raja.”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menyaksikan perang tanding itu. Tetapi aku akan datang dengan diam-diam.”

“Perang tanding itu akan berlangsung di dalam halaman istana Pangeran Wirapaksi.” jawab pengawal itu.

“Kau sudah mengatakannya.” sahut Wasi Sambuja.

“Jadi bagaimana Kiai akan memasuki halaman itu dengan diam-diam? Di setiap regol ada pengawal yang menjaganya. Apalagi dalam penyelenggaraan perang tanding itu.” sahut pengawal itu.

Wasi Sambuja tertawa. Katanya, “Jika aku sedungu kau, maka aku tidak akan dapat melakukannya. Malam sebelumnya aku sudah berada di dalam halaman. Meskipun aku belum pernah memasuki halaman itu, tetapi aku akan dapat mencari persembunyian sampai saat perang tanding itu di selenggarakan.”

Pengawal itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Semuanya akan aku sampaikan kepada Pangeran Indrasunu.”

“Jangan cemas. Mungkin ia akan kalah jika lawannya seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Tetapi jika lawannya masih sebaya dengan Pangeran Indrasunu, aku kira ia akan dapat dibuatnya menjadi jera. Namun seandainya Pangeran Indrasunu dikalahkannya, aku akan memasuki sayembara bagi Pangeran Indrasunu.”

“Pangeran Indrasunu tidak menghendaki gadis itu lagi. Jika ia menang, gadis itu akan diberikan kepada pengemis kudisan.” berkata pengawalnya.

Tetapi Wasi Sambuja tertawa. Katanya, “Sudah lebih dari sepuluh kali aku mendengar ia berkata seperti itu. Tetapi ternyata gadis-gadis yang akan diserahkan kepada pengemis kudisan itu diambilnya juga menjadi selirnya meskipun hanya satu dua bulan. Baru kemudian diberikan kepada hamba-hambanya. He, siapa tahu, kau pun akan mendapat triman.”

“Ah” desis pengawal itu.

Wasi Sambuja tertawa. Katanya, “Berangkatlah dahulu. Aku akan segera menyusul. Segalanya akan aku bereskan kemudian.”

Demikianlah pengawal itu meninggalkan padepokan Ketika di hari berikutnya ia menghadap Pangeran Indrasunu, maka segalanya telah dilaporkannya.

“Bagus,” desisnya, “semua orang akan menyesali kesombongannya. Jika guru benar datang, maka segalanya akan hancur. Hari depan gadis itu pun akan aku hancurkan pula. Karena ia lelah berani menghina Pangeran Indrasunu.”

Demikianlah, hari yang ditentukan itu pun telah tiba. Di halaman belakang istana Pangeran Wirapaksi telah di buat arena dengan gawar tampar ijuk. Beberapa orang pengawal berjaga-jaga dengan ketat. Sementara yang lain akan menjadi saksi dari perang tanding yang akan diselenggarakan tanpa hadirnya gadis yang diperebutkan. Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang sangat ingin menyaksikan perang tanding itu terpaksa tidak dapat hadir, karena mereka harus menjaga Ken Padmi di rumahnya. Segalanya memang dapat terjadi. Kecurangan atau sikap lain yang dapat merugikan.

Sebenarnyalah tidak terlalu banyak saksi yang berada di sekitar arena perang tanding itu, termasuk para pengawal Pangeran Indrasunu.

Dalam pada itu perang tanding itu sendiri, tidak didengar sama sekali oleh orang-orang di luar istana Pangeran Wirapaksi, karena Pangeran Wirapaksi sendiri telah memerintahkan kepada para pengawalnya untuk tidak mengatakan kepada siapa pun juga di luar lingkungan istana itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan dan Pangeran Indrasunu pun telah bersiap-siap memasuki arena. Pangeran Wirapaksi dan Mahisa Agni akan menjadi penengah di dalam arena.

Setelah semuanya dianggap siap, maka perang tanding yang tidak banyak di ketahui orang itu pun sudah siap untuk dimulai. Mahisa Bungalan telah turun ke arena. Kemudian Pangeran Indrasunu pun telah bersiap pula di luar gawar.

“Sebenarnya tidak pantas aku memasuki arena perang tanding melawan seseorang yang tidak sederajad.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Jangan begitu,” sahut Pangeran Wirapaksi, “dalam olah kanuragan, semua orang sederajad. Siapa yang trampil dan memiliki kemampuan lebih baik, ia akan menang. Derajad sama sekali tidak akan mempengaruhi kemampuan di dalam arena perang tanding.”

Pangeran Indrasunu memandang Mahisa Bungalan sejenak. Namun kemudian ia pun meloncat memasuki arena sambil berkata, “Tetapi baiklah. Jika kau menjadi pepalang. He, kenapa kaulah yang harus memasuki arena?”

“Ia mempunyai hak,” jawab Mahisa Agni, “ia mempertahankan saudara sepupunya.”

“O, jadi tegasnya keluarga kalian telah menolak keinginanku. Dan anak yang bernama Mahisa Bungalan itu mewakili kalian untuk mengesahkan penolakan kalian?” berkata Pangeran Indrasunu.

“Ya.” jawab Mahisa Bungalan tegas.

“Baiklah.” berkata Pangeran Indrasunu, “Aku sudah siap.”

“Perang tanding ini dapat segera dimulai,” berkata Pangeran Wirapaksi, “tetapi aku ingin memperingatkan. Perang tanding ini adalah perang tanding antara para kesatria. Semua pihak harus bersikap jujur. Yang kalah harus dengan jantan mengaku kalah, atau perang tanding akan dihentikan jika salah satu pihak sudah jelas tidak akan mampu melawan lagi.”

“Bagus,” sahut Pangeran Indrasunu, “kita dapat segera mulai.”

Pangeran Wirapaksi pun kemudian bertanya kepada Mahisa Bungalan, “Apakah kau sudah siap?”

Mahisa Bungalan mengangguk. Jawabnya, “Aku sudah siap.”

“Kau sudah siap adimas?” bertanya Pangeran Wirapaksi kepada adik iparnya.

“Ya. Aku sudah siap.” jawab Pangeran yang masih muda itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Pangeran Wirapaksi telah memberikan isyarat kepada kedua anak muda yang berada di arena perang tanding itu.

Pangeran Indrasunu bergeser setapak. Dengan wajah tengadah ia memandang Mahisa Bungalan yang masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

“Apakah yang dapat dilakukannya?” desis Pangeran Indrasunu di dalam hatinya.

Namun ketika Pangeran Indrasunu melangkah semakin dekat, maka Mahisa Bungalan pun mulai bergeser pula. Ia berputar ke arah Pangeran Indrasunu bergerak.

Namun tiba-tiba saja Pangeran Indrasunu itu meloncat menyerang. Demikian tiba-tiba. Meskipun serangan, itu tidak terlalu keras, tetapi memang terlalu cepat untuk dapat dihindari.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan tidak menghindarinya. Serangan Pangeran Indrasunu yang mengarah ke dadanya itu telah ditangkisnya dengan tangannya yang bersilang. Mahisa Bungalan sengaja sekedar menahan serangan itu dan tidak menghentakkannya dengan kekuatannya, sekedar untuk menjajagi kekuatan Pangeran Indrasunu, meskipun ia tahu, serangan itu bukanlah serangan yang sebenarnya.

Yang ternyata terkejut adalah Pangeran Indrasunu. Bukan karena benturan kekuatan. Tetapi bahwa Mahisa Bungalan sempat menangkis serangannya itu. Dengan demikian, maka Pangeran Indrasunu dapat memperhitungkan, bahwa lawannya adalah seorang anak muda yang mampu bergerak cepat sekali.

Namun demikian Pangeran Indrasunu masih belum yakin akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikembangkan dengan kecepatan gerak lawannya. Karena itulah, maka sejenak kemudian maka Pangeran muda itu pun telah bertempur semakin cepat. Ia mulai dengan serangan-serangan yang susul menyusul.

Beberapa kali Mahisa Bungalan sempat menangkis dan menghindari serangan-serangan lawannya. Bahkan ia condong untuk bertahan, dan sama sekali masih belum bermaksud untuk menyerang.

Namun nampaknya Pangeran Indrasunu menganggap bahwa Mahisa Bungalan tidak sempat membalas serangan-serangannya dengan serangan pula. Justru karena itu, maka ia berniat untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.

Karena itu, maka serangan-serangan Pangeran Indrasunu pun menjadi semakin lama semakin cepat. Apabila Mahisa Bungalan menghindar, maka ia pun segera memburunya. Dengan loncatan-loncatan panjang ia menyerang terus-menerus tanpa memberi kesempatan kepada lawannya sama sekali.

Tetapi Mahisa Bungalan memang tidak memerlukan agar lawannya memberikan kesempatan kepadanya, karena jika dikehendaki Mahisa Bungalan akan segera dapat mengambil kesempatan itu sendiri.

Demikianlah, ketika Pangeran Indrasunu sudah mengerahkan segenap kemampuannya dan sama sekali tidak berhasil menyentuhnya, maka Mahisa Bungalan pun mulai bersiap-siap untuk memberikan perlawanan yang sesungguhnya kepada Pangeran yang sombong itu.

Demikianlah, maka di saat-saat berikutnya, Mahisa Bungalan tidak hanya sekedar menghindar dan menghindar. Ketika serangan Pangeran Indrasunu menjadi semakin cepat, maka mulailah ia membalas serangan Pangeran Indrasunu yang masih muda itu dengan serangan pula.

Pangeran Indrasunu terkejut ketika tiba-tiba saja justru Mahisa Bungalan telah menyerangnya, bahkan pada saat yang tidak terduga sama sekali.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun segera berubah. Mahisa Bungalan tidak lagi sekedar menghindar dan menangkis serangan lawannya, namun ia pun mulai menyerang pula, sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Indrasunu.

Pangeran Indrasunu yang semula menganggap bahwa Mahisa Bungalan tidak mampu membalas serangan-serangannya, terpaksa menentukan sikap lain untuk mengatasinya. Pangeran Indrasunu tidak saja meningkatkan kecepatan geraknya, namun ia pun mulai mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya. Ternyata bahwa kecepatannya saja tidak dapat mengatasi kemampuan lawannya, karena pada benturan-benturan yang terjadi, justru tangan Pangeran Indrasunu mulai bergetar.

Ternyata Pangeran Indrasunu pun bukan seorang anak muda yang lemah. Ia memang mempunyai kemampuan sehingga kesombongannya itu pun telah dibekali dengan ilmu yang dapat dipergunakannya pada saat-saat yang memaksa. Namun menghadapi Mahisa Bungalan, Pangeran Indrasunu itu harus menilai kenyataan yang dihadapinya. Semakin lama tekanan Mahisa Bungalan justru menjadi semakin kuat. Bahkan akhirnya Pangeran Indrasunu seolah-olah tidak mendapat tempat lagi di arena perang tanding itu.

Jika mula-mula ia menyangka bahwa Mahisa Bungalan tidak pernah mempunyai kesempatan untuk membalas serangan-serangannya dengan serangan pula, maka kemudian justru terjadi sebaliknya.

Karena itu, maka akhirnya Pangeran Indrasunu itu pun telah mengambil keputusan untuk mempergunakan puncak ilmunya yang jarang sekali dipergunakan selain pada saat-saat yang paling gawat.

Menghadapi Mahisa Bungalan, Pangeran Indrasunu tidak mempunyai pilihan lain. Ia sudah memutuskan untuk mempergunakan puncak ilmunya, meskipun dengan demikian lawannya akan lebur menjadi abu. Ia tidak lagi dapat membatasi diri dengan sekedar mengalahkan lawannya dan membuat lawannya mengakui kekalahan.

Karena itulah, ketika Pangeran Indrasunu itu telah terdesak oleh serangan-serangan yang beruntun, maka ia pun segera berusaha untuk mengambil jarak.

Mahisa Bungalan pun terkejut ketika ia melihat lawannya bersikap. Ternyata menurut pengalaman serta pengenalannya atas olah kanuragan, maka Pangeran Indrasunu sedang mempersiapkan ilmu puncaknya yang tentu memiliki daya kemampuan yang luar biasa.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun tidak memburunya. Justru ia pun telah surut selangkah.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra pun menjadi tegang melihat kenyataan itu. Bahkan Pangeran Wirapaksi pun telah bergeser selangkah. Tetapi ia tidak dapat mencegah. Segalanya kemudian telah terjadi. Pangeran Indrasunu yang telah sampai pada puncak ilmunya itu telah meloncat menyerang Mahisa Bungalan.

Tetapi dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun telah siap menghadapi kemungkinan itu. Ketika ilmu puncak itu membentur pertahanannya, maka beradulah dua puncak ilmu yang nggegirisi.

Mahisa Bungalan ternyata telah terdorong beberapa langkah surut. Ia pun tidak mampu bertahan pada keseimbangannya, sehingga karena itu, maka ia pun telah terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Nafasnya menjadi sesak dan matanya pun berkunang-kunang.

Namun Mahisa Bungalan masih memiliki kesadaran sepenuhnya. Karena itu, maka ia pun segera memperbaiki keadaannya. Ia pun kemudian duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Dengan mengatur pernafasannya ia berusaha untuk memusatkan daya tahan tubuhnya untuk melawan perasaan sakit yang seolah-olah menghimpit jantungnya.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra pun telah berada di seputarnya. Namun mereka sama sekali tidak menyentuhnya. Perang tanding itu masih belum dinyatakan selesai oleh Pangeran Wirapaksi sehingga mereka masih menunggu dengan membiarkan mereka yang berperang untuk menolong dirinya sendiri.

Namun dalam pada itu, ternyata keadaan Pangeran Indrasunu telah terlempar dan terbanting jatuh, sehingga tidak lagi sadar akan dirinya.

Karena itu, maka Pangeran Wirapaksi pun telah berlari-lari mendekatinya. Namun demikian ia berjongkok di samping adik iparnya, maka ia pun terkejut ketika seorang pengawal Pangeran Indrasunu itu mendekatinya sambil berdesis, “Jangan kau sentuh Pangeran. Kau sudah merelakan adik iparmu sendiri.”

Pangeran Wirapaksi terkejut. Ketika ia memandang pengawal itu dengan saksama, maka ia pun berdesis, “Wasi Sambuja.”

“Aku sudah tahu, bahwa kau akan sampai hati membiarkan adik iparmu mengalami bencana seperti ini.” desis Wasi Sambuja. Lalu, “Tetapi aku juga tidak dapat menyalahkan Pangeran, karena kedudukan Pangeran. Pangeran tentu tidak senang melihat sikap adik ipar Pangeran, dan dengan perang tanding yang tertutup ini Pangeran ingin sedikit memberi pelajaran kepada adik ipar Pangeran.”

“Ya.” desis Pangeran Wirapaksi.

“Tetapi Pangeran lupa, bahwa yang terjadi ini telah menyinggung harga diri sebuah padepokan. Sebuah perguruan.” berkata Wasi Sambuja selanjutnya.

Wajah Pangeran Wirapaksi menjadi tegang. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa persoalannya akan berkembangan menjadi semakin luas. Tiba-tiba saja guru Pangeran Indrasunu itu sudah berada di halaman itu dengan mengenakan pakaian seorang pengawal.

Dalam kebimbangan itu, terdengar Wasi Sambuja berkata, “Pangeran. Kita semua tidak dapat ingkar. Bahwa dalam perang tanding ini, Pangeran Indrasunu sudah dapat dikalahkan oleh Mahisa Bungalan. Sebentar lagi Mahisa Bungalan akan dapat menguasai dirinya, pernafasannya akan pulih, dan kekuatannya pun akan segera tumbuh kembali, sehingga sejenak kemudian ia sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan seandainya perang tanding ini akan diteruskan.”

“Jadi maksudmu, perang tanding ini sudah selesai?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

“Belum, Pangeran.” jawab Wasi Sambuja, “Masih akan ada kelanjutannya. Jika Mahisa Bungalan sudah berani membuka sayembara, maka ia akan berani menghadapi siapa pun juga.”

“Tidak. Itu tidak benar. Sayembara ini tertutup,” jawab Pangeran Wirapaksi, “persoalannya adalah penyelesaian persoalan antara Mahisa Bungalan sebagai keluarga seorang gadis yang bernama Ken Padmi dengan Adimas Indrasunu.”

Tetapi Wasi Sambuja tertawa. Katanya, “Sudahlah. Nyatakan bahwa Pangeran Indrasunu sudah kalah. Aku akan mengobatinya.”

Pangeran Wirapaksi menjadi tegang. Namun ia pun kemudian berdiri di sudut arena sambil berkata, “Perang tanding telah dimenangkan oleh Mahisa Bungalan.”

Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka melihat, bahwa Pangeran Wirapaksi telah terlibat dalam satu pembicaraan yang bersungguh-sungguh dengan seorang pengawal, tetapi ternyata bahwa Pangeran Wirapaksi segera mengambil satu keputusan yang bijaksana.

Namun dalam pada itu, mereka menjadi berdebar-debar ketika pengawal yang telah berbicara dengan sungguh-sungguh dengan pangeran Wirapaksi itu pun kemudian berdiri sambil berkata, “Aku mohon maaf, bahwa aku ingin mengajukan satu persoalan kepada Pangeran Wirapaksi.”

Wajah Pangeran Wirapaksi menjadi tegang. Sementara itu Wasi Sambuja pun berkata, “Perang tanding ini sudah dinyatakan selesai. Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu telah dinyatakan menang dan Pangeran Indrasunu telah dinyatakan kalah. Namun dalam pada itu, aku menyatakan, bahwa aku pun ingin memasuki arena perang tanding dalam persoalan yang sama. Aku minta gadis yang bernama Ken Padmi itu bagi siapapun juga yang aku tentukan kemudian, setelah gadis itu menjadi milikku.”

Suasana di sekitar arena itu menjadi tegang. Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah membara. Meski pun keadaan tubuhnya masih belum pulih benar, namun ia sudah berusaha untuk bangkit.

Tetapi Pangeran Wirapaksi berpikir tangkas. Sebelum Mahisa Bungalan menjawab tantangan itu, yang akan berarti kehancuran baginya, karena Pangeran Wirapaksi dapat menilai kemampuan Wasi Sambuja, maka ia telah berkata mendahului jawaban Mahisa Bungalan. “Ternyata bahwa telah timbul persoalan baru di arena ini. Satu tantangan baru telah datang. Orang yang dalam pakaian seorang pengawal ini adalah seorang yang pilih tanding.”

“Kau tidak perlu menyebut apapun juga Pangeran,” potong Wasi Sambuja, “kecuali sebut saja namaku.”

“Baiklah,” sahut Pangeran Wirapaksi cepat, “namanya adalah Wasi Sambuja, ia adalah guru dari Pangeran Indrasunu.”

Wajah Wasi Sambuja menjadi tegang. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Muridku telah kalah. Tetapi aku ingin mendapat hak yang sama, karena aku juga menghendaki gadis itu. Atau barangkali kalian, keluarga dekatnya, merelakan gadis itu aku ambil dari rumahmu?”

Mahisa Bungalan bergeser setapak. Tetapi Witantra telah menggamitnya. Katanya, “Permainan bagi anak-anak muda sudah selesai. Kau sudah berhasil mengurungkan niat Pangeran Indrasunu untuk mengambil Ken Padmi. Jika kemudian datang orang tua yang berniat seperti Pangeran Indrasunu, biarlah orang-orang tua juga yang menyelesaikannya.”

Pangeran Wirapaksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengenal Witantra, seperti ia juga mengenal Mahisa Agni dan Mahendra. Karena itu, ketika Witantra menyatakan dirinya untuk menggantikan Mahisa Bungalan, maka Pangeran Wirapaksi menjadi sedikit tenang.

Dalam pada itu Wasi Sambuja itu pun mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, “Kau siapa?”

“Aku pamannya. Akulah, yang telah membawa gadis itu dari padepokannya. Karena itu, maka adalah kewajibanku untuk mempertahankannya.” berkata Witantra.

Sementara itu Mahisa Agni pun bergeser pula sambil berdesis, “Serahkan orang itu kepadaku.”

Tetapi dengan tidak sengaja Witantra menjawab, “Kau sudah membunuh Ki Dukut Pakering. Jangan bertempur lagi sekarang ini. Suasananya agak berbeda. Jika kau masih dibayangi oleh sifat dan tabiat Ki Dukut, maka akibatnya akan gawat.”

Wajah Wasi Sambuja menegang mendengar nama itu disebut. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Ki Dukut siapa yang kalian maksud?”

“Ki Dukut Pakering.” jawab Witantra.

“Guru Pangeran Kuda Padmadata?” desak Wasi Sambuja.

“Ya. Guru Pangeran Kuda Padmadata yang sudah kehilangan kepribadian itu. Namun ia masih memiliki ilmunya yang luar biasa itu.” sahut Witantra.

Terasa jantung Wasi Sambuja berdebaran. Namun kemudian ia berkata, “Ki Dukut nasibnya memang sangat buruk.”

Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Kenapa kau menganggapnya bahwa nasibnya sangat buruk?”

“Aku sudah mendengar bahwa ia mati terbunuh, jadi orang itukah yang telah membunuhnya?” bertanya Wasi Sambuja pula.

“Bukan maksudku,” jawab Mahisa Agni, “tetapi demikianlah yang telah terjadi.”

“Petualangannya telah membuat tubuh dan hatinya, ringkih, sehingga kau berhasil membunuhnya,” berkata Wasi Sambuja, “seandainya aku yang bertemu dengan orang itu di saat terakhir, aku pun akan dengan mudah membunuhnya.”

Witantra mengangguk sambil berkata, “Mungkin Ki Sanak akan dapat melakukannya. Tetapi sebaiknya kita tidak berbicara tentang bunuh membunuh. Kita tidak akan saling membunuh. Jika persoalannya adalah karena gadis itu, maka aku adalah pamannya yang membawanya dari padepokan, sehingga aku memang wajib mempertahankannya. Tetapi jika persoalannya adalah harga diri dari satu perguruan, maka aku minta maaf, bahwa Mahisa Bungalan sama sekali tidak berniat untuk menyinggung harga diri perguruan Pangeran Indrasunu, tetapi semata-mata untuk mewujudkan penolakan Ken Padmi atas keinginan Pangeran Indrasunu untuk mengambilnya dan memberikannya kepada pengemis kudisan di pinggir jalan.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Soalnya memang tidak begitu sederhana. Tetapi baiklah, aku akan melawanmu di arena.”

Witantra tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian membenahi dirinya, sementara Wasi Sambuja telah membantu Pangeran Indrasunu yang telah sadar untuk duduk. Ia pun telah memberikan sebutir obat berwarna hijau kehitaman yang dibuatnya dari reramuan dedaunan.

“Makanlah. Pangeran akan segera merasa sehat kembali.” berkata Wasi Sambuja.

Pangeran Indrasunu pun kemudian menelan obat yang diberikan oleh gurunya. Sebenarnyalah sejenak kemudian ia merasa tubuhnya menjadi semakin segar setelah ia minum seteguk air yang telah mencairkan sebutir obat itu di dalam perutnya.

Dalam pada itu, maka sesaat kemudian, yang berdiri di tengah arena bukan lagi dua orang auak-anak muda. Namun yang telah terjadi di antara anak-anak muda itu telah menyeret orang-orang tua melibatkan diri ke dalamnya.

“Ki Sanak,” berkata Wasi Sambuja, “aku ingin memperingatkan kau sebelumnya, bahwa aku ingin menebus kekalahan muridku. Kemudian merampas gadis itu dan seperti yang dikehendaki oleh muridku, memberikan gadis itu kepada pengemis di pinggir jalan. Karena itu, maka aku akan bertempur dengan segenap kemampuanku untuk mengalahkanmu. Jika kau merasa bahwa kau sudah tidak mampu lagi mengimbangi ilmuku, aku minta kau cepat mengatakannya, agar perkelahian dapat diakhiri. Namun sebaliknya jika kau bertahan terus, aku akan meningkatkan ilmuku sampai kepada puncaknya. Aku akan menyesal sekali bahwa pada saat yang demikian terjadi atasmu sesuatu yang tidak aku kehendaki.”

Tetapi jawab Witantra mendebarkan jantung Wasi Sambuja. Katanya, “Aku mengerti sepenuhnya. Kita sudah menghendaki apa pun yang terjadi. Tetapi kita memasuki arena tanpa rasa dendam sama sekali, karena kita belum pernah tersentuh oleh satu persoalan pun sebelumnya.”

Namun Wasi Sambuja menjawab, “Kau sudah menyentuh harga diri perguruanku. Meskipun bukan kau sendiri yang melakukannya.”

Witantra tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia sadar, bahwa Wasi Sambuja tentu bukan orang kebanyakan. Bahkan, mungkin ia memiliki ilmu setingkat dengan Ki Dukut Pakering.

Karena itu, Witantra harus berhati-hati. Ia tidak boleh menganggap lawannya sekedar seorang guru dari padepokan kecil yang tidak tersebut namanya. Tetapi ia telah diangkat menjadi guru dari seorang Pangeran.

Sejenak kemudian, kedua orang-orang tua itu pun telah bersiap. Pangeran Wirapaksi yang sama sekali tidak menghendaki keadaan berkembang semakin gawat, menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya.

Berbeda dengan perang tanding antara kedua anak-anak muda, maka pada orang-orang tua itu tidak diperlukan penengah. Mereka adalah laki-laki yang menghargai sifat-sifat kesatria, sehingga tidak mudah terjadi kecurangan.

Untuk beberapa saat kedua orang di tengah arena itu saling mengamati sikap lawannya. Namun agaknya keduanya menganggap bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang meyakinkan.

Sejenak kemudian, kedua orang itu mulai bergeser mendekat. Wasi Sambuja yang ingin menebus kekalahan muridnya itu telah menyerang lawannya. Witantra pun dengan gerak sederhana menghindari serangan yang belum bersungguh-sungguh itu. Namun ternyata serangan Wasi Sambuja yang kedua telah mengejutkan lawannya. Serangan itu bukan sekedar pancingan agar lawannya bergeser. Tetapi serangan itu benar-benar serangan yang langsung mengarah ke dada.

Witantra sebenarnyalah tidak memperhitungkannya. Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa telah meloncat surut. Namun Wasi Sambuja tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan tangkasnya ia memburu. Serangan berikutnya benar-benar serangan yang menentukan. Agaknya Wasi Sambuja ingin menunjukkan, bahwa lawannya tidak berarti apa-apa baginya.

Witantra yang tidak menyangka itu pun benar-benar tersudut dalam kesulitan. Namun pada saat serangan lawannya terjulur ke lehernya, Ki Witantra masih sempat menjatuhkan dirinya dan berguling dengan cepat.

Namun sementara itu, Wasi Sambuja telah memperhitungkannya, bahwa Witantra tentu akan melenting berdiri secepatnya.

Karena itu, maka Wasi Sambuja telah siap meloncat di saat Witantra tegak di atas tanah. Sebelum ia sempat bersiap, maka serangan yang dilambari dengan segenap kekuatannya akan Segera mengakhiri perang tanding itu.

“Dengan demikian maka setiap orang akan menyebut namaku.” berkata Wasi Sambuja di dalam hatinya.

Namun, sekali itu perhitungan Wasi Sambuja keliru, karena Witantra pun menyadari, jika ia melenting berdiri, maka saat yang demikian itu tentu sudah ditunggu oleh Wasi Sambuja. Karena itu, maka ketika Wasi Sambuja tidak memburunya, dan bahkan bersiap untuk meloncat menyerang, maka Witantra sama sekali tidak melenting berdiri. Tetapi dengan sigapnya ia telah duduk dengan kedua kakinya bersilang memanjang.

Wasi Sambuja mengumpat meskipun hanya di dalam mulutnya. Namun ia pun telah menyerang dengan kakinya mengarah kekening Witantra yang masih terduduk.

Namun Witantra memiringkan tubuhnya. Bahkan kemudian sambil bertumpu pada sebelah tangannya, maka kakinya telah menyambar mendatar setapak di atas tanah. Demikian cepatnya, sementara kaki Wasi Sambuja yang sebelah masih terangkat.

Benturan kaki itu ternyata telah melemparkan Wasi Sambuja. Tetapi Wasi Sambuja tidak jatuh terbanting. Ia masih sempat melenting justru tepat pada saat Witantra juga melenting berdiri.

Ketika keduanya telah tegak kembali dan berhadapan di tengah arena, maka sekali lagi Wasi Sambuja mengumpat di dalam hatinya. Witantra berhasil membebaskan dirinya pada saat yang paling gawat, sehingga mereka telah berdiri dalam kedudukan yang sama.

Wasi Sambuja pun kemudian menyadari, bahwa Witantra memiliki ketrampilan yang matang dalam olah kanuragan. Karena itu, apabila mereka masih saja bertempur beradu kemampuan dan ketrampilan tenaga wadag mereka sewajarnya, maka pertempuran itu tentu akan berlangsung sangat lama. Bahkan mungkin mereka harus beristirahat untuk bertempur lagi di hari berikutnya. Tiga hari tiga malam.

Karena itu, maka Wasi Sambuja pun menyadari, bahwa ia harus mempergunakan tenaga cadangannya. Ia pun mengerti, bahwa lawannya akan mampu melakukannya. Namun dengan benturan kekuatan yang berlipat, maka segalanya pun akan semakin cepat. Kekalahan atau kemenangan akan segera dapat diketahui.

Dengan demikian, maka Wasi Sambuja yang kemudian memancing serangan Witantra, telah mempergunakan tenaga rangkapnya. Sementara itu, maka Witantra pun telah melihat pula, bahwa tenaga cadangan Wasi Sambuja telah melambari tata geraknya.

Witantra yang selalu waspada itu pun mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia tidak mau dikejutkan lagi dengan serangan yang tiba-tiba, apalagi dengan kekuatan rangkap. Serangan yang kemudian melibat Witantra, telah dihadapinya dengan lambaran tenaga cadangannya pula.

Dengan demikian maka pertempuran di arena itu pun semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Benturan-benturan kekuatan di antara keduanya telah mendebarkan setiap jantung mereka yang menyaksikannya.

Sebenarnyalah bahwa Wasi Sambuja adalah seorang yang memiliki kelebihan seperti juga Ki Dukut Pakering. Ia mampu bergerak dengan kecepatan yang tidak kasat mata. Namun ternyata bahwa kekuatannya pun melampaui dugaan Witantra sebelumnya.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin meningkat. Bukan saja kecepatan gerak mereka, tetapi benturan-benturan yang terjadi kemudian, seolah-olah telah mengguncang halaman istana itu.

Mahisa Agni dan Mahendra memperhatikan pertempuran itu dengan jantung berdebaran. Demikian pula Pangeran Wirapaksi. Ia tidak menyangka, bahwa di halaman istananya akan terjadi benturan kekuatan yang demikian dahsyat.

Sementara itu, Pangeran Indrasunu memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang rasa-rasanya berdentang semakin cepat. Ia menganggap gurunya sebagai seorang yang tidak ada duanya. Bahkan Pangeran Indrasunu tidak pernah menganggap bahwa gurunya itu berada di bawah tataran guru Pangeran Kuda Padmadata.

Namun berhadapan dengan Witantra, ternyata gurunya tidak segera berhasil mengalahkannya.

Karena itu, maka jantungnya pun berdegup semakin keras. Di pinggir arena itu masih ada dua orang tua lagi yang nampaknya memiliki kemampuan yang meyakinkan. Mahendra yang bertempur di halaman rumahnya melawan pengawalnya, ternyata tidak menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Pangeran Indrasunu baru sadar, ketika ia telah bertempur melawan Mahisa Bungalan yang merupakan salah seorang anak Mahendra itu.

Jika gurunya menang atas Witantra, apakah itu berarti bahwa perang tanding ini sudah selesai? Apakah itu tidak berarti bahwa Mahisa Agni atau Mahendra, atau keduanya berturut-turut dapat memasuki arena itu pula, untuk mempertahankan gadis itu dengan cara yang telah ditempuh oleh gurunya untuk merebutnya?

Demikianlah pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin meningkat. Baik Wasi Sambuja maupun Witantra telah meningkatkan kemampuan mereka pula. Perlahan-lahan tetapi pasti, bahwa mereka akhirnya akan sampai kepada puncak ilmu mereka masing-masing.

Para pengawal yang menyaksikan pertempuran itu pun berdiri bagaikan patung. Mereka menjadi semakin sulit menilai, apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh Wasi Sambuja dan Witantra. Gerak mereka semakin cepat, dan tenaga mereka pun telah menjadi berlipat ganda. Namun sejalan dengan itu, daya tahan tubuh masing-masing pun seolah-olah telah berlipat ganda pula.

Yang nampak di arena itu pun kemudian bagaikan benturan angin pusaran yang saling melibat. Keduanya memiliki kemampuan yang sulit untuk ditangkap dengan nalar orang kebanyakan.

Namun dalam pada itu, lambat laun, justru Mahisa Agni dan Mahendra lah yang melihat, bahwa keseimbangan pertempuran itu mulai goyah. Nampaknya Witantra memiliki daya tahan yang lebih besar dari lawannya. Perlahan-lahan kekuatan Wasi Sambuja pun menjadi susut.

Namun hal itu masih belum disadari oleh orang yang berkepentingan. Wasi Sambuja memang merasa harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengimbangi Witantra yang mulai menekan. Namun ia belum menyadari, bahwa kekuatan yang dikerahkan tanpa kekangan itu telah menghisap segenap kekuatan yang ada padanya, melampaui batas kemampuannya.

Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun pada suatu saat akan nampak bahwa kemampuan manusia tetap dalam keterbatasan. Di saat-saat batas itu telah disentuh, maka seseorang tidak mungkin lagi untuk mengatasinya.

Demikian pula Wasi Sambuja. Perlawanannya mulai susut, sehingga perlahan-lahan ia mulai terdesak setapak demi setapak.

Ketika tiba-tiba saja Wasi Sambuja yang menghindari serangan Witantra menyentuh gawar, barulah ia mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Agaknya ia telah terdesak menepi tanpa sadarnya.

Dengan demikian, maka Wasi Sambuja pun mulai memperhatikan dengan sungguh-sungguh keseimbangan pertempuran itu. Ketika ia menghentakkan tenaganya, dan ternyata ia tidak berhasil mendesak dan apalagi mengenai Witantra, maka ia pun mulai yakin, bahwa lawannya masih dalam keadaan yang lebih baik dari dirinya.

Namun demikian, Wasi Sambuja sama sekali tidak berniat untuk menghentikan perang tanding itu. Ia masih mempunyai harapan. Meskipun tenaganya mulai susut, tetapi jika lawannya membuat kesalahan besar atau kecil, maka ia akan dapat memanfaatkannya justru pada saat-saat yang paling gawat.

Tetapi Witantra seolah-olah tidak akan pernah melakukan kesalahan yang betapapun kecilnya. Bahkan semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Witantra telah mendesaknya semakin berat.

Wasi Sambuja menjadi gelisah. Ia melihat benturan ilmu antara muridnya dengan Mahisa Bungalan. Sementara itu, Wasi Sambuja pun tahu, bahwa Mahisa Bungalan, anak Mahendra telah memiliki ilmu yang sejalan dengan ilmu Witantra. Meskipun Wasi Sambuja tidak pasti, namun ia menganggap bahwa Witantra memiliki ilmu dari sumber yang sama dengan Mahisa Bungalan dalam tataran yang lebih tinggi. Bahkan Wasi Sambuja menduga, bahwa Mahisa Bungalan adalah murid Witantra yang memasuki arena ketika ia memasukinya pula untuk menebus kekalahan Pangeran Indrasunu.

Rasa-rasanya akan terulang kembali apa yang telah terjadi. Pangeran Indrasunu tidak mampu menembus kekuatan ilmu Mahisa Bungalan, sehingga karena itu, maka Wasi Sambuja itu pun bertanya kepada diri sendiri, “Apakah aku mampu menghancurkannya dengan ilmu pamungkasku?”

Namun akhirnya Wasi Sambuja sampai pada satu kesimpulan, bahwa persoalannya akan berbeda. Jika Pangeran Indrasunu tidak mampu menembus kekuatan ilmu Mahisa Bungalan itu bukan berarti bahwa sumber ilmunya-lah yang kalah. Tetapi unsur manusianya itu pun mempunyai pengaruh yang kuat pula. Dalam hal kedua anak muda itu, maka Wasi Sambuja menilai bahwa Mahisa Bungalan memang memiliki kemungkinan lebih baik dari Pangeran Indrasunu. Dan itu bukan berarti bahwa guru kedua anak muda itu tercermin sepenuhnya kepada murid-muridnya.....

Dengan demikian maka Wasi Sambuja yang menjadi semakin kehilangan pengamatan diri karena desakan Witantra yang semakin berat itu, telah mengambil satu keputusan, untuk membenturkan ilmunya.

“Jika bukan orang itu, biar aku sajalah yang mati dalam perang tanding ini. Rasa-rasanya aku tidak akan dapat menanggung tekanan batin karena kekalahan yang beruntun ini, seandainya aku tidak berhasil.” berkata Wasi Sambuja di dalam hati. Ketika ia berangkat dari padepokannya, ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki kemampuan seperti itu.

Namun Wasi Sambuja masih tetap berpengharapan. Pangeran Indrasunu bukan muridnya sejak kanak-kanak. Ia datang kepadanya setelah ia menjadi anak muda dewasa dengan bekal ilmu yang kurang mapan. Dalam waktu singkat ia berhasil membentuk Pangeran Indrasunu menjadi seorang yang mulai mapan dengan ilmunya, meskipun sifat dan wataknya sama sekali tidak dapat berubah.

Karena itulah, maka akhirnya Wasi Sambuja itu pun benar-benar telah mempersiapkan diri untuk melepaskan ilmu puncaknya.

Witantra memang sudah menduganya. Dan ia pun telah bersiap pula menghadapinya. Ketika ia melihat Wasi Sambuja siap untuk menyerangnya dengan ilmu puncaknya, maka Witantra pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dipusatkannya segenap daya ilmunya untuk menghadapi benturan dengan ilmu Wasi Sambuja.

Witantra tidak mau menyesal. Karena itu, maka ia pun telah mengerahkan segenap ilmu yang ada padanya.

Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di pinggir arena itu menjadi semakin tegang. Mereka melihat sikap Wasi Sambuja dan Witantra. Apalagi Pangeran Indrasunu yang melihat gurunya sudah sampai kepada ilmu puncaknya.

Mahisa Agni, Mahendra dan Mahisa Bungalan pun telah menahan nafasnya. Benturan itu tentu akan merupakan benturan yang sangat dahsyat. Namun mereka pun menyadari, bahwa taruhannya adalah harga diri sebuah perguruan.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, Wasi Sambuja itu pun telah meloncat menyerang dengan lambaran ilmu puncaknya yang tiada taranya.

Namun dalam pada itu, Witantra pun tidak hanya sekedar bertahan. Ia ingin mendapat kesempatan yang sama dengan lawannya, sehingga karena itu, maka Witantra pun telah meloncat pula, membentur ilmu lawannya dengan ilmunya.

Sebenarnyalah benturan yang terjadi bagaikan mengguncang seluruh isi istana Pangeran Wirapaksi. Getarannya telah menghantam setiap dada, sehingga rasa-rasanya benturan yang dahsyat itu telah terjadi di dalam dada orang-orang yang menyaksikannya itu.

Karena itu, mereka yang daya tahannya tidak mampu mengatasinya, maka mereka pun telah terduduk di tanah sambil menahan guncangan dada mereka dengan tangannya.

Sebenarnyalah bahwa benturan itu benar-benar merupakan benturan kekuatan dan ilmu yang sulit ditangkap dengan nalar. Namun kedua orang yang telah membenturkan ilmunya itu pun merupakan orang yang luar biasa. Keduanya tidak lumat menjadi debu meskipun keduanya mengalami keadaan yang parah.

Witantra telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Ternyata bahwa benturan ilmu itu telah benar-benar mengguncang isi dadanya.

Sekali Witantra menggeliat. Kemudian ia pun menjulurkan kakinya lurus-lurus. Ia tidak dapat lagi bangkit seperti yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan, karena rasa-rasanya tulang-tulangnya berpatahan.

Namun kemudian Witantra telah berbaring sambil memusatkan segenap daya tahan tubuhnya. Mengatur pernafasannya dan mempergunakan segenap sisa kekuatan yang ada padanya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya, karena sebenarnya, ia telah terluka di bagian dalam tubuhnya.

Namun dalam pada itu, Wasi Sambuja pun telah terbaring di tanah. Matanya terpejam, dan nafasnya menjadi terputus-putus.

Pangeran Indrasunu menjadi bingung. Demikian pula Pangeran Wirapaksi. Sementara itu, Mahisa Agni yang kemudian mendekat dan berjongkok di samping Witantra yang dengan tenang berusaha mengatasi kesulitan di dalam dirinya itu, telah berkata kepada Mahendra, “Lihatlah, apa yang telah terjadi dengan Wasi Sambuja.”

Mahendra pun kemudian melangkah mendekati Wasi Sambuja. Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja Pangeran Indrasunu merebut tombak seorang pengawalnya sambil berteriak, “Jangan berbuat curang. Jika kau melangkah selangkah lagi, aku bunuh kau dengan tombak ini.”

Mahendra tertegun. Ia mengerti perasaan Pangeran Indrasunu, karena Pangeran itu adalah muridnya. Namun dalam pada itu, keadaan Wasi Sambuja sebenarnyalah sangat gawat.

Sejenak Mahendra termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Pangeran. Sebenarnyalah aku tidak ingin berbuat jahat. Aku justru ingin melihat, apa yang terjadi atas guru Pangeran itu. Dengan demikian, jika ada kemungkinan yang dapat aku lakukan, biarlah aku mencoba menolongnya.”

“Jangan menipu aku,” Pangeran Indrasunu masih saja berteriak, “mundur atau aku bunuh kau.”

“Tenanglah, Pangeran.” berkata Mahendra, “Keadaan gurumu sangat gawat. Jika kau berkeras, dan ternyata terjadi sesuatu atas gurumu itu, maka kesalahannya ada padamu.”

“Aku bukan anak dungu yang dapat kau tipu dengan cara yang licik itu.” geram Pangeran yang masih muda itu, “Mundurlah. Cepat.”

Tetapi Mahendra masih berusaha meyakinkan, katanya, “Berpikirlah. Jangan terlalu hanyut pada perasaan semata-mata.”

Tetapi agaknya Pangeran Indrasunu sama sekali sudah tidak dapat berpikir bening. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menikam Mahendra tepat ke arah dada.

Namun Mahendra telah menduganya. Karena itu, maka ia pun bergeser setapak. Kemudian diraihnya tangkai tombak itu dan justru ia telah meraba tengkuk Pangeran yang masih muda itu.

Tidak seorang pun yang melihat, apa yang telah dilakukan oleh Mahendra. Namun ternyata Pangeran itu seolah-olah telah kehilangan segenap tenaganya. Ketika ia menjadi terhuyung-huyung maka Mahendra pun cepat menangkapnya dan membaringkannya di tanah.

Namun dalam pada itu, para pengawalnya telah berloncatan berdiri. Mereka telah bersiap melakukan apa saja sebagai pernyataan bakti mereka kepada Pangeran Indrasunu.

Tetapi sekali lagi Mahendra berkata, “Kalian pun jangan kehilangan akal. Jika pada saatnya Pangeran Indrasunu tidak terbangun lagi, maka kalian dapat membunuhku.”

Para pengawal itu termangu-mangu. Apalagi ketika Pangeran Wirapaksi yang percaya kepada kata-kata Mahendra itu pun menyambung, “Minggirlah. Percayalah kepadaku. Pangeran Indrasunu adalah adik iparku.”

Para pengawal itu ragu-ragu. Tetapi ketika para pengawal istana Pangeran Wirapaksi mulai bergeser, maka mereka pun telah melangkah surut.

Dalam pada itu, Mahendra pun dengan tergesa-gesa mendekati Wasi Sambuja yang dalam keadaan parah. Namun rasa-rasanya Wasi Sambuja masih dapat mengatasi keadaannya. Sementara itu Mahendra pun telah memberi isyarat kepada Mahisa Agni untuk mendekatinya.

Setelah berpesan kepada Mahisa Bungalan untuk menunggui Witantra yang sedang berusaha mengatur pernafasannya dan mengatasi kesulitan di bagian dalam dadanya, maka Mahisa Agni pun telah dengan tergesa-gesa mendekatinya.

Mahisa Agni dan Mahendra pun kemudian berjongkok di sebelah Wasi Sambuja yang terbujur diam. Keduanya pun kemudian berusaha untuk membantu mengatur pernafasan mereka. Mahendra telah mengangkat kedua tangan Wasi Sambuja dan kemudian meletakkannya membentang. Sementara Mahisa Agni pun kemudian duduk diam sambil meletakkan tangannya di dada Wasi Sambuja.

Masih terasa nafas Wasi Sambuja bergerak. Tetapi sama sekali tidak teratur dan bahkan kadang-kadang hampir tidak terasa.

Karena itu, maka Mahendra pun telah mengambil sejenis obat yang selalu dibawanya. Dengan beberapa tetes air, obat itu dicairkannya dan kemudian dituangkannya ke dalam mulut Wasi Sambuja.

“Mudah-mudahan dapat membantunya.” berkata Mahendra sambil mengendorkan ikat pinggang kulit Wasi Sambuja yang tebal dan lebar.

“Bawa Wasi Sambuja ke serambi.” minta Mahendra kemudian kepada para pengawal Pangeran Indrasunu.

Oleh beberapa orang maka Wasi Sambuja itu pun kemudian dibaringkan di amben kayu di serambi samping istana Pangeran Wirapaksi. Sementara itu, justru Witantra masih tetap berbaring di sisi arena.

“Apakah Ki Witantra tidak dibawa ke serambi pula?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

Tetapi Mahisa menggeleng. Katanya, “Ia sedang berusaha dengan kekuatan sendiri untuk memperbaiki pernafasan dan berusaha menyembuhkan guncangan di dalam dadanya karena benturan itu. Aku masih berharap bahwa ia dapat melakukannya bagi dirinya sendiri tanpa bantuan sejenis obat-obatan, karena dengan kekuatan sendiri, segalanya akan berjalan lebih baik dan wajar bagi tubuhnya.”

Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk. Tetapi ia pun melihat bahwa pernafasan Witantra yang terbaring di sisi arena itu, semakin lama menjadi semakin teratur.

Dalam pada itu, setelah Wasi Sambuja terbaring di amben kayu, maka Mahisa Agni dan Mahendra pun meninggalkannya dan mereka pun mendekati Witantra yang terbaring sambil berkata kepada para pengawal Indrasunu, agar Pangeran Indrasunu yang tertidur itu pun dibawa ke serambi pula.

Ketika Mahisa Agni dan Mahendra berjongkok di sisi tubuh Witantra, ternyata bahwa Witantra sudah berhasil mengatasi segala kesulitan di dalam dirinya. Meskipun tubuhnya masih sangat lemah, namun pernafasannya sudah menjadi teratur. Dadanya tidak lagi terasa pepat bagaikan ditindih gunung.

Dibantu oleh Mahisa Bungalan, maka perlahan-lahan Witantra pun berusaha untuk duduk. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia bergumam, “Wasi itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dimana ia sekarang?”

Mahisa Agni memandang ke serambi sambil berkata, “Ia telah dibaringkan di amben kayu.”

Wajah Witantra menegang. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Tetapi bukankah aku tidak membunuhnya?”

“Tidak,” jawab Mahendra, “ia tidak mati. Tetapi keadaannya sangat parah. Tetapi aku sudah memberikan obat baginya. Mudah-mudahan ia berhasil mengatasi keadaannya.”

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan melihatnya.”

Dengan tubuh yang masih lemah, Witantra itu pun berdiri dibantu oleh Mahisa Bungalan. Ia pun kemudian diikuti oleh Mahisa Agni dan Mahendra melangkah menuju ke serambi pula untuk melihat keadaan Wasi Sambuja.

Ketika Witantra sampai di serambi, Wasi Sambuja masih terbaring diam. Nampaknya keadaannya memang parah. Namun setelah obat yang diberikan oleh Mahendra dituangkan ke dalam mulutnya dan mengalir melalui tenggorokannya, maka pernafasannya menjadi berangsur baik dan mulai teratur. Namun demikian matanya masih tetap terpejam.

Witantra yang lemah itu pun kemudian duduk di bibir amben tempat Wasi Sambuja terbaring. Ketika ia memandang ke amben yang lain, dilihatnya Pangeran Indrasunu pun terbaring pula.

“Kenapa anak itu?” bertanya Witantra.

“Aku telah membuatnya tidur sebentar.” jawab Mahendra yang kemudian menceriterakan apa yang telah diperbuat oleh Pangeran Indrasunu.

Dalam pada itu, ketika angin yang silir menyentuh tubuh Pangeran Indrasunu, maka ia pun mulai sadar perlahan-lahan. Akhirnya ia pun teringat segalanya yang telah terjadi, sehingga karena itu, maka ia pun segera meloncat bangun.

“Dimana guru?” Pangeran Indrasunu itu pun kemudian bertanya dengan tegang.

“Tenanglah,” berkata Mahendra, “gurumu sedang berusaha untuk memperbaiki pernafasannya.”

“Omong kosong. Kalian telah membunuhnya.” Pangeran itu membentak.

“Ia dalam keadaan yang semakin baik.” jawab Mahendra.

“Omong kosong. Jika kalian membunuh guru, bunuh aku sama sekali. Guru datang kemari karena aku memanggilnya. Karena itu, maka kematiannya harus aku tuntut sampai akhir hidupku pula.”

“Gurumu masih hidup,” jawab Mahisa Agni, “ia akan berangsur baik jika kau tidak mengganggunya. Tetapi jika kau tidak mau mengerti usaha kami, maka kematiannya adalah karena pokalmu. Itu berarti bahwa kaulah yang membunuhnya.”

Pangeran Indrasunu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Kalian berusaha menipu aku.”

“Tunggulah barang sejenak. Kau akan melihat satu kenyataan tentang keadaan gurumu ini. Lihat, pernafasannya telah menjadi lebih lancar dan lebih teratur.” jawab Mahendra.

Pangeran Wirapaksilah yang kemudian mendekati adik iparnya. Dibimbingnya adik iparnya untuk duduk. Dengan kata-kata sareh Pangeran Wirapaksi berkata, “Adimas Indrasunu. Jika orang-orang itu bermaksud jahat, maka alangkah mudahnya untuk membunuh Wasi Sambuja dalam keadaan itu. Tetapi kau harus percaya bahwa mereka tidak akan melakukannya.”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya sendiri rasa-rasanya masih terlalu letih. Bukan saja karena perang tanding. Tetapi benturan ilmu yang telah terjadi, membuatnya hampir tidak bertenaga lagi.

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang mengerumuni Wasi Sambuja termasuk Witantra, bahwa pernafasannya menjadi semakin baik. Beberapa kali Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam meskipun matanya masih terpejam. Namun perlahan-lahan pula ia mulai menggerakkan pelupuk matanya itu.

Ketika matanya terbuka, ia melihat beberapa orang duduk di bibir amben kayu tempat ia terbaring. Semula bayangan-bayangan itu nampak baur. Namun semakin lama menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya ia melihat seorang demi seorang. Di antara mereka nampak Witantra, orang yang melawannya dalam perang tanding, dan Pangeran Wirapaksi sendiri.

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat Pangeran Indrasunu maka ia pun berdesis, “Pangeran.”

Pangeran Indrasunu mendekatinya. Dengan penuh harap ia berkata, “Apakah guru menjadi semakin baik?”

Wasi Sambuja tersenyum. Katanya, “Aku berangsur semakin baik.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Sebentar lagi guru akan pulih kembali.”

Sesaat Wasi Sambuja masih tetap berbaring. Namun pernafasannya tidak lagi terasa sesak. Dan ia pun merasa pada bibir dan lidahnya, bahwa ia telah minum obat yang membantunya mempercepat kesadarannya.

Namun ketika tubuhnya terasa menjadi semakin baik, maka Wasi Sambuja itu pun berusaha untuk bangkit.

“Jangan memaksa diri,” desis Pangeran Wirapaksi, “berbaring sajalah.”

Tetapi Wasi Sambuja berusaha untuk tersenyum dan menjawab, “Aku sudah berangsur baik.”

Dibantu oleh Pangeran Indrasunu, maka Wasi Sambuja pun segera duduk bersandar dinding kayu serambi. Sementara itu, beberapa orang masih tetap mengerumuni mereka.

“Sungguh di luar dugaan,” desis Wasi Sambuja, “bahwa aku telah dikalahkan oleh orang-orang yang tidak aku kenal sebelumnya. Tetapi sudah tentu bahwa yang terjadi ini bukan akhir dari segala-galanya. Meskipun aku tahu, bahwa kalian adalah orang-orang jantan yang menghargai keluhuran budi, sehingga kalian tidak membunuh aku pada saat aku tidak berdaya.”

“Apakah Wasi Sambuja masih mendendam?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

“Tidak, Pangeran. Persoalannya bukan dendam dan benci. Tetapi sekedar harga diri sebuah perguruan.” jawab Wasi Sambuja.

“Jadi paman Wasi Sambuja merasa terhina karena pimpinan tertinggi perguruan paman, dikalahkan oleh orang-orang yang sebelumnya tidak pernah dikenal? Begitu?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

“Ya. Begitulah kira-kira.” jawab Wasi Sambuja.

“Bagaimana jika yang telah mengalahkan paman Wasi Sambuja itu orang-orang yang telah punya nama?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

“Jika tatarannya cukup tinggi untuk mengalahkan aku, maka itu adalah wajar sekali. Tetapi kekalahan yang terjadi ini sebenarnya tidak boleh dipakai sebagai ukuran betapa rendahnya derajad perguruan Wasi Sambuja.”

“Paman menilai diri sendiri terlalu besar.” berkata Pangeran Wirapaksi. “Tetapi baiklah. Jika paman ingin persoalan ini selesai, maka aku ingin memperkenalkan paman. Mungkin paman pun telah mengenalnya, tetapi paman kurang memperhatikan, dan tidak sempat mengingat, kembali apa yang pernah terjadi di Kediri.”

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Wasi Sambuja.

“Sampai saat ini masih ada wakil kekuasaan Singasari di Kediri.” berkata Pangeran Wirapaksi.

“Ya.” jawab Wasi Sambuja.

“Nah, menurut paman, bagaimana dengan orang yang mendapat tugas seperti itu? Maksudku, apakah orang-orang yang demikian itu dapat disebut orang-orang yang telah mempunyai nama?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

“Ah, apa hubungannya persoalan ini dengan wakil kekuasaan Singasari di Kediri?” bertanya Wasi Sambuja.

“Apakah paman Wasi Sambuja merasa diri seorang yang pilih tanding sehingga mampu mengalahkan seorang Senopati Agung Singasari yang berada di Kediri?” bertanya Pangeran Wirapaksi itu pula.

“Jangan berkata begitu, Pangeran. Dengan demikian maka Pangeran telah menuduh aku memberontak melawan kekuasaan Singasari. Padahal masalahnya adalah masalah yang sangat pribadi.” jawab Wasi Sambuja.

“Tidak. Aku sama sekali tidak akan mengaitkan hal ini dengan hubungan antara paman Wasi Sambuja dengan Singasari. Tetapi aku ingin paman menjawab pertanyaanku.” desak Pangeran Wirapaksi.

“Aku tidak dapat menjawab, Pangeran.” berkata Wasi Sambuja, “Tetapi sudah barang tentu, bahwa Senopati Agung itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.”

“Apalagi pada saat-saat permulaan kekuasaan Singasari atas Kediri. Maka orang yang ditugaskan di Kediri tentu orang-orang yang memiliki bekal yang mapan.” berkata Pangeran Wirapaksi.

Wasi Sambuja menjadi semakin heran. Tetapi ia justru menjadi semakin bingung ketika Pangeran Wirapaksi berkata, “Bagaimanakah sikap paman Wasi Sambuja jika pada suatu saat paman dapat dikalahkan oleh Senopati Agung Singasari yang berada di Kediri? Apakah paman masih juga berbicara tentang harga diri sebuah perguruan?”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Namun setelah berpikir sejenak ia menjawab, “Pangeran Wirapaksi, pertanyaan Pangeran memang terdengar aneh di telingaku. Tetapi baiklah aku mencoba menjawabnya. Jika yang mengalahkan aku adalah seorang Senopati Agung, sudah tentu aku tidak akan berbicara tentang harga diri, karena wajar sekali bagiku, jika aku dikalahkan oleh seorang Senopati Agung Singasari. Bukan sekedar Senopati kebanyakan.”

“Apalagi Senopati Agung itu adalah wakil kekuasaan Singasari di Kediri.” Pangeran Wirapaksi melanjutkan.

“Ya.” jawab Wasi Sambuja.

“Jika demikian, sebenarnyalah bahwa sudah tidak ada masalah lagi bagi paman Wasi Sambuja.” berkata Pangeran Wirapaksi.

Wasi Sambuja termangu-mangu. Katanya kemudian, “Aku tidak mengerti, Pangeran.”

“Sebenarnyalah, bahwa paman tentu mengenal seseorang yang pernah bergelar Panji Pati-pati, Senopati Agung Singasari yang bertugas di Kediri. Tidak jauh setelah kekuasaan Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa di Singasari temurun kepada puteranya Pangeran Tohjaya, setelah disisipi oleh kekuasaan Pangeran Anusapati.” berkata Pangeran Wirapaksi.

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti.”

“Bagaimana penilaian paman Wasi Sambuja terhadap Panji Pati-pati itu?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

Wasi Sambuja menjadi semakin bingung. Namun dalam pada itu Pangeran Wirapaksi pun menjelaskan, “Paman Wasi Sambuja. Ketika Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa berkuasa atas Singasari setelah mengalahkan Kediri, maka yang menjadi Senopati Agung dari Singasari di Kediri adalah paman Mahisa Agni. Setelah itu, pada suatu saat, paman Panji Pati-pati juga pernah menjalankan tugas serupa. Dan orang yang bergelar Panji Pati-pati itu adalah paman Witantra.”

“O.” wajah Wasi Sambuja menjadi tegang.

“Nah, bukankah tidak ada persoalan lagi? Paman Witantra adalah Senopati Agung sejak Ken Arok berada di Singasari yang masih berujud Pakuwon. Ia adalah Senopati Agung Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian masa kekuasaan Ken Arok di Singasari dan Kediri, yang pada suatu saat telah melemparkan paman Witantra ke Kediri.” berkata Pangeran Wirapaksi.

“Jadi orang inikah Senopati Agung itu?” suara Wasi Sambuja merendah.

“Ya. Paman Mahisa Agni dan paman Witantra, keduanya pernah memegang kedudukan Senopati Agung itu.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi masih terpercik keragu-raguanriya atas keterangan Pangeran Wirapaksi itu sehingga Pangeran itu berkata, “Kau tentu sudah pernah mendengar namanya, tetapi belum pernah melihat orangnya. Tetapi jika kau ragu, bertanyalah kepada siapapun juga yang langsung berada di Kota Raja Kediri saat itu.”

Akhirnya Wasi Sambuja mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Aku memang harus mengaku, bahwa aku telah dikalahkan. Apalagi setelah aku mendapat keterangan dari Pangeran Wirapaksi, maka aku pun harus menilai kembali perasaan harga diri tentang sebuah perguruan.”

“Sudahlah, paman,” berkata Pangeran Wirapaksi, lalu, “sebenarnyalah kita dapat menganggap bahwa persoalannya telah selesai. Biarlah adimas Indrasunu tidak lagi menyebut-nyebut gadis yang bernama Ken Padmi itu. Kemanakan paman Mahisa Agni dan paman Witantra.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pangeran Indrasunu yang menundukkan kepalanya. Namun kemudian Wasi Sambuja itu pun berkata, “Sebelumnya, Pangeran Indrasunu tidak pernah gagal. Tetapi kali ini, biarlah kami mengakui, bahwa kami pada suatu saat telah membentur kekuatan yang tidak terlawan. Dan apalagi ternyata bahwa kami telah berhadapan dengan kekuatan yang memang tidak sepantasnya kita lawan.”

Pangeran Indrasunu masih tetap menunduk. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Jika gurunya telah menyerah kepada keadaan, maka apa yang akan dapat dilakukannya.

Karena itulah, maka ia harus menerima keadaan itu. Untuk pertama kali ia gagal mengambil seorang gadis yang diingininya, justru di Singasari.

“Memang Singasari mempunyai suasana yang lain.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya. Di Singasari ia melihat, bahwa Pangeran Wirapaksi tidak berpihak kepadanya meskipun Pangeran Wirapaksi itu adalah kakak iparnya dan juga seorang bangsawan seperti dirinya.

“Jika kakangmas mau mempergunakan kekuasaannya maka segalanya akan selesai. Tetapi nampaknya ia justru berpihak kepada orang-orang yang bukan dari tataran bangsawan.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya. Sehingga karena itu, maka Pangeran Wirapaksi sama sekali tidak mau mempergunakan kekuasaannya untuk memenuhi keinginannya.

Dalam pada itu, maka Pangeran Indrasunu itu pun harus menerima segalanya dengan hati yang geram. Namun akhirnya ia pun telah berusaha untuk melihatnya sebagai satu kenyataan meskipun ia merasa sangat kecewa terhadap kakak iparnya.

Tetapi kenyataan itu memang tidak dapat ditolaknya. Yang harus dilakukannya kemudian adalah melupakan seorang gadis padepokan yang bernama Ken Padmi, yang kini tinggal di rumah Mahendra.

Tetapi Pangeran Indrasunu ragu-ragu akan dirinya. Apakah ia benar-benar akan dapat melupakannya. Mungkin ia dapat melupakan gadis yang bernama Ken Padmi itu dengan mengambil sepuluh orang gadis di Kediri. Gadis-gadis padesan yang lain akan merasa sangat berbahagia apabila mereka mendapat kesempatan untuk diangkat menjadi selir seorang bangsawan, karena dengan demikian, mereka berharap bahwa di antara keturunan yang akan lahir adalah keturunan bangsawan.

Tetapi kekalahan yang dialaminya dan bahkan dialami oleh gurunya tentu akan tetap menyiksanya. Meskipun nampaknya gurunya justru telah menerima kekalahan itu dengan ikhlas, tetapi Pangeran Indrasunu berpendirian lain.

Meskipun demikian segala getar di dadanya itu disimpannya saja. Ia tidak dapat mengatakannya kepada siapapun. Tidak kepada kakak iparnya, dan bahkan tidak kepada gurunya.

Dalam pada itu, maka permusuhan itu pada gelar kelahirannya sudah dihentikan. Wasi Sambuja sama sekali tidak ingin berusaha untuk berbuat apa pun juga. Bahkan Wasi Sambuja sebenarnyalah telah menerima keadaan itu dengan ikhlas, setelah ia menyadari dengan siapa ia berhadapan.

Namun agaknya berbeda dengan Pangeran Indrasunu.

Karena itu, maka arena yang dibuat di halaman Pangeran Wirapaksi itu pun telah dihilangkan. Gawarnya pun telah digulung, sementara para pengawal telah meninggalkan halaman. Baik pengawal istana Pangeran Wirapaksi, maupun para pengawal Pangeran Indrasunu. Mereka telah berada di serambi gandok, sementara para Pengawal istana itu telah berkumpul di regol halaman.

Demikianlah, maka yang ada di halaman itu pun kemudian oleh Pangeran Wirapaksi telah diterima sebagai tamu-tamu mereka. Namun beberapa orang masih juga nampak letih. Witantra pun ternyata lebih senang meneguk minuman daripada mengunyah makanan. Rasa-rasanya badannya masih lungkrah sehingga yang paling segar baginya adalah minum sebanyak-banyaknya. Demikian pula Wasi Sambuja, Mahisa Bungalan dan Pangeran Indrasunu.

Namun sementara itu, ternyata Wasi Sambuja tidak dapat terlalu lama berada di istana Pangeran Wirapaksi. Meskipun tubuhnya masih belum pulih, maka ia benar-benar berhasrat ingin segera kembali ke padepokannya.

“Pangeran Indrasunu akan tetap berada di sini sampai keadaannya menjadi baik dan kekuatannya pulih kembali.” berkata gurunya.

Ternyata Wasi Sambuja benar-benar tidak dapat ditahan lagi. Ia pun segera mohon diri setelah dengan ikhlas ia minta maaf atas segala perbuatannya.

“Aku mohon kelancangan kami dapat dilupakan.” berkata Wasi Sambuja. Kemudian katanya pula, “Sebenarnyalah tidak ada gunanya kami mengingkari kenyataan ini. Seandainya aku mendendam, dan merencanakan bertemu dalam waktu satu dua tahun lagi, maka akhirnya tidak akan berubah. Aku mungkin justru akan dibinasakan karena aku sudah mengulangi kesalahan yang serupa.”

“Kami sudah melupakannya,” jawab Witantra, “tetapi aku mohon bahwa yang kau ucapkan benar-benar keluar dari nuranimu.”

“Aku berkata dengan jujur. Aku sudah cukup tua untuk mengerti keadaan diri sendiri.” jawab Wasi Sambuja.

Ternyata Wasi Sambuja benar-benar meninggalkan istana itu dan kembali ke padepokannya. Rasa-rasanya ia benar-benar ingin beristirahat tanpa segan. Ia ingin tidur tanpa diganggu dan makan yang dikehendaki untuk memulihkan tubuhnya. Di padepokan ia akan mendapat reramuan berbagai jenis akar dan dedaunan bagi makanannya sekaligus obat yang akan dapat memulihkan keadaannya dengan cepat.

Sebenarnyalah sepeninggal Wasi Sambuja, maka Mahendra pun telah mohon diri pula. Demikian juga Mahisa Agni dan Witantra yang akan membawa Mahisa Bungalan kembali ke istana. Mereka masih belum melaporkan bahwa mereka telah siap untuk menghadap. Terlebih-lebih adalah Mahisa Bungalan, setelah petualangannya yang sebelum ia berangkat disebutnya yang terakhir.

Pangeran Wirapaksi tidak dapat menahan mereka. Mahendra kembali ke kampung halamannya, sementara Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masuk ke dalam istana Maharaja Singasari.

Dalam pada itu, ketika istana Pangeran Wirapaksi sudah sepi, maka Pangeran Indrasunu duduk termenung di serambi samping. Betapapun juga, ia masih tetap merenungi apa yang telah terjadi. Ternyata ia tidak seikhlas gurunya menerima kenyataan itu. Bukan karena Ken Padmi, tetapi justru karena kekalahan-kekalahan yang memalukan.

Pangeran Indrasunu terkejut ketika ia mendengar desir lembut mendekatinya. Ketika ia berpaling, dilihatnya isteri Pangeran Wirapaksi yang juga kakak perempuan Pangeran Indrasunu, mendekatinya.

“Kakangmbok.” desis Pangeran Indrasunu.

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian bergeser ketika isteri Pangeran Wirapaksi itu duduk di sampingnya.

“Aku sudah mengetahui segalanya yang terjadi.” berkata kakak perempuan Pangeran Indrasunu itu.

“Aku telah dihinakan di sini,” desis Pangeran yang masih muda itu, “sementara itu kakangmas Wirapaksi sama sekali tidak berusaha untuk membantuku.”

“Ia sudah dijangkiti penyakit para bangsawan di Singasari.” jawab kakak perempuannya.

“Penyakit apa?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Kehilangan kewibawaan dan tidak percaya lagi akan kekuasaan yang ada di tangannya. Karena itu, kakangmasmu selalu bertindak ragu-ragu dan tidak tuntas. Bahkan kadang-kadang merugikan dirinya sendiri.” jawab kakak perempuannya.

Pangeran Indrasunu memandang kakak perempuannya dengan kerut merut di dahinya. Dengan suara bernada tinggi ia bertanya, “Jadi kakangmbok juga berpendapat demikian?”

Kakak perempuannya mengangguk kecil. Jawabnya, “Ya. Aku berpendapat demikian.”

“Dan kakangmbok tidak pernah menegurnya?” bertanya adiknya.

“Aku sudah berusaha memperingatkannya,” berkata kakak perempuannya, “justru Pangeran Wirapaksi mempunyai kewajiban untuk menegakkan kewibawaan para bangsawan. Sejak anak padesan yang pernah menjadi buruan Akuwu Tunggul Ametung di hutan Karautan itu memegang pemerintahan di Singasari dan bahkan kemudian berhasil mengalahkan Kediri, maka telah terjadi sungsang buwana balik. Seolah-olah para bangsawan sudah tidak berharga lagi. Dan bangkitlah satu trah rakyat jelata yang memegang kekuasaan. Bukankah Ken Dedes yang terkenal sebagai bunga di lereng Gunung Kawi itu pun hanya anak padepokan Palawijen?”

“Ya. Ya. Aku mengerti kakangmbok. Yang berkuasa sekarang di Singasari adalah keturunan Ken Dedes itu. Baik dari suaminya Tunggul Ametung, maupun dari anak brandal yang bernama Ken Arok.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Ya. Dan sekarang kakangmasmu sudah terpengaruh jalan kehidupan dan cara berpikir orang-orang Singasari yang tidak lagi menarik batas antara para bangsawan dan rakyat jelata meskipun ia memegang jabatan setinggi apapun juga.” berkata isteri Pangeran Wirapaksi itu.

“Dan kakangmas Pangeran dengan rela melihat kenyataan itu. Bahkan mendukungnya.” geram Pangeran Indrasunu. Tiba-tiba anak muda itu berkata, “Kakangmas harus bangkit. Para bangsawan harus mengerti tentang dirinya sendiri. Termasuk para bangsawan di Singasari yang lahir sebagai keturunan para Raja dan Maharaja, meskipun mereka berasal dari keturunan rakyat jelata.”

“Itulah yang akan tetap membaurkan hak para bangsawan.” berkata kakak perempuannya.

“Jadi?” bertanya adiknya.

“Aku seorang perempuan yang tidak banyak mengetahui seluk beluk pemerintahan. Tetapi ada semacam ketidakrelaan di dalam hatiku, seperti apa yang baru saja terjadi, bahwa kau harus memasuki arena perang tanding melawan seorang anak muda petualang yang tidak sederajat dengan kau. Apalagi dengan demikian kau telah gagal mengambil seorang gadis padesan itu.” berkata kakak perempuannya.

“Jadi bagaimana menurut kakangmbok?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Aku tidak mengerti. Tetapi keadaan ini membuat aku menjadi sangat prihatin dan kadang-kadang sakit hati.” jawab isteri Pangeran Wirapaksi, “Hampir setiap hari aku melihat, bagaimana Pangeran Wirapaksi harus melayani orang-orang berkedudukan rendah seperti ia melayani Pangeran-pangeran di Kediri.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata tata kehidupan di Kediri masih lebih baik meskipun Kediri saat ini dibawahi perintah Singasari. Aku akan berbicara dengan beberapa orang bangsawan di Kediri, bahwa tata kehidupan di Singasari telah menjadi kalut dan tidak terdapat lagi tataran-tataran yang jelas.”

“Cobalah berbicara dengan orang-orang tua.” berkata kakak perempuannya, “Bagaimana pun juga Kediri harus tetap teguh dengan tata kehidupannya.”

Pangeran Indrasunu mengangguk kecil. Kemudian katanya, “Jika aku kembali, aku akan melakukannya. Aku masih tetap merasa terhina oleh kekalahanku. Guru-pun nampaknya telah pasrah dan tidak berupaya apa pun juga.”

“Jangan kau sangka begitu. Bukankah gurumu dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat ini? Ia tidak dapat terlalu lama menanggung malu di sini. Namun ia tidak dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa ia tidak dapat memenangkan perang tanding itu.” jawab kakak perempuannya.

“Tetapi tidak nampak pada sikap dan kata-kata guru bahwa ia akan kembali untuk menuntut kemenangan.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Tetapi jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan tentang gurumu.” berkata isteri Pangeran Wirapaksi. Lalu, “Sebaiknya kau melihat dan menilai keadaan yang bakal berkembang. Aku akan tetap mendampingi Pangeran Wirapaksi untuk berusaha dapat mengarahkan pandangan hidupnya yang telah berubah itu.”

“Baiklah, kakangmbok. Aku akan melakukannya,” jawab Pangeran Indrasunu, “aku akan segera kembali ke Kediri dan bertemu dengan beberapa orang. Tetapi aku curiga terhadap Pangeran Kuda Padmadata. Ia ternyata telah menodai dirinya sendiri dengan mengambil seorang gadis padesan menjadi isterinya. Justru isterinya yang diambilnya dari tataran para bangsawan telah tidak berada di istananya sepeninggal adiknya yang terbunuh itu.”

“Tinggalkan orang itu,” berkata kakak perempuannya, “jika Pangeran Kuda Padmadata memang meragukan, kau tidak usah berbicara dengannya. Masih banyak orang-yang akan dapat mengerti tentang sikapmu itu. Dan tentu masih banyak orang yang ikut prihatin atas peristiwa yang baru saja terjadi di halaman istana ini.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Ternyata bahwa kakak perempuan mempunyai sikap yang berbeda dengan kakak iparnya. Dengan sikap itu, maka ia masih berpengharapan, bahwa pada suatu saat, ia akan dapat menebus kekalahannya yang berarti bukan saja kekecewaan karena ia tidak dapat membawa gadis cantik itu, tetapi juga harga dirinya.

Menurut pengamatan Pangeran Indrasunu dan kakak iparnya, Pangeran Wirapaksi sudah tidak berdiri di atas tatarannya. Bahkan agaknya para pemimpin pemerintahan di Singasari pun menganggap bahwa orang-orang dari tataran yang paling rendah pun akan mendapat perlakuan yang sama dengan para Pangeran.

Karena itu, maka Pangeran Indrasunu pun akan melakukan sesuatu untuk merubah tataran hidup khususnya kakak iparnya.

Dengan bekal sikap itulah, maka di hari berikutnya Pangeran Indrasunu mohon diri kepada kakak iparnya untuk kembali ke Kediri setelah beberapa waktu ia berada di Singasari.

Dalam pada itu, niatnya yang dilambari oleh dendam dan kekecewaan pribadi itu, benar-benar akan dilaksanakannya. Karena itu, demikian ia sampai di Kediri, ia pun mulai mencari kemungkinan untuk melakukan niatnya.

Tetapi pada saat ia menjajagi sikap beberpa orang Pangeran yang masih terikat hubungan keluarga dan di antara mereka adalah saudara sepupunya, maka pangeran Indrasunu menjadi kecewa. Beberapa orang Pangeran, yang bukan Pangeran Kuda Padmadata justru telah menasehatinya, bahwa sebenarnyalah jarak antara orang-orang yang disebut orang kecil dan para bangsawan memang sudah sepatutnya diperkecil.

“Bukan karena kami takut terhadap tindakan orang-orang Singasari, tetapi ternyata bahwa kami sependapat dengan sikap itu.” berkata seorang Pangeran yang lebih tua dari Pangeran Indrasunu.

Betapa kecewanya Pangeran Indrasunu mendengar jawaban beberapa orang yang dihubunginya. Seolah-olah ia telah tersisih pada satu sikap yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya.

Tetapi Pangeran Indrasunu tidak putus asa. Ia masih tetap berusaha untuk mendapatkan dukungan atas sikapnya itu. Karena usahanya yang tidak mengenal lelah, maka akhirnya, Pangeran Indrasunu bertemu juga pendiriannya dengan beberapa orang Pangeran muda.

“Kediri sudah benar-benar lumpuh.” geram Pangeran Indrasunu. “Jika sikap para bangsawannya masih tetap seperti budak-budak belian, maka Kediri untuk selamanya tidak akan pernah bangkit.”

“Kitalah yang wajib berbuat sesuatu,” jawab seorang pangeran muda yang lain, “aku mempunyai sepasukan pengawal yang setia. Demikian pula agaknya setiap orang di antara kita. Karena itu, jika kita benar-benar bertekad, maka kita akan mampu berbuat sesuatu.”

“Tentu tidak cukup.” desis seorang Pangeran yang lebih tua. Bertubuh kecil, tidak terlalu tinggi. Namun hatinya bergejolak seperti kawah gunung berapi, “Aku mempunyai seorang kakak yang mempunyai kesempatan paling baik melakukannya.”

“Siapa?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Pangeran Suwelatama. Kakangmas Suwelatama yang menjadi Akuwu di Kabanaran.” jawab Pangeran yang bertubuh kecil.

Wajah pangeran Indrasunu tiba-tiba menjadi cerah. Sambil mengangguk-angguk berkata, “Bagus. Bagus sekali. Kita akan membangunkan satu tata kehidupan yang paling baik di daerah Pakuwon itu. Kita akan melakukan yang bertentangan sepenuhnya dengan apa yang pernah dilakukan oleh Ken Arok. Anak pidak pedarakan yang pernah menjadi orang buruan di padang Karautan. Orang itulah yang mula-mula telah merusak tatanan hidup di Tumapel, karena ia sendiri orang pidak pedarakan. Isterinya, bekas isteri Tunggul Ametung seorang gadis padepokan, sehingga mereka ingin mengangkat derajad tataran yang paling rendah.”

“Kakangmas Suwelatama tentu akan berbuat sebaliknya. Kabanaran akan menjadi landasan tatanan kehidupan yang mapan dengan tataran-tataran yang seharusnya,” berkata Pangeran Indrasunu, “dengan landasan Akuwu Suwelatama aku akan memberi peringatan kepada kakangmas Wirapaksi, bahwa tatanan kehidupan di Singasari dan Kediri sudah rusak.”

“Siapa tahu, bahwa kakangmas Suwelatama akan mendapat dukungan cukup setelah ia berhasil menunjukkan sesuatu yang berharga. Bukankah Ken Arok pun mulai dari Pakuwon Tumapel, kemudian mengalahkan Kediri dan menyebut negerinya Singasari?”

“Kabanaran akan bangkit. Kediri dan Singasari pada saatnya akan tunduk di bawah kaki Akuwu Suwelatama.” berkata Pangeran Indrasunu pula. Lalu, “Tentu Akuwu Suwelatama tidak akan lebih buruk dari Akuwu Ken Arok pada waktu itu.”

Dengan demikian maka beberapa orang Pangeran telah sepakat untuk menemui Akuwu Kabanaran, yang sebenarnya juga seorang Pangeran. Tetapi nampaknya ia merasa lebih bebas dan lebih dapat merasakan kekuasaan yang ada di tangannya sebagai seorang Akuwu.

Para Pangeran yang merasa memiliki kekuatan masing-masing akan dapat mendukung kekuatan yang ada di Kabanaran. Sehingga dengan demikian, maka yang akan dilakukan oleh Akuwu Suwelatama akan lebih mudah daripada yang dilakukan oleh Ken Arok.

Demikianlah, maka para Pangeran itu telah bersepakat untuk pergi ke Kabanaran untuk menemui Pangeran Suwelatama. Menurut pendapat mereka, semakin cepat akan semakin baik.

“Tetapi aku harus berbicara pula dengan guru,” berkata Pangeran Indrasunu, “guru Wasi Sambuja harus mengetahui rencana ini. Mungkin dengan beberapa orang saudara seperguruannya, ia akan dapat membantu kami, karena sebenarnyalah di Singasari terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi di antara para prajurit dan Senopati.”

“Kau sangka di Kediri tidak ada orang-orang yang sakti?” bertanya seorang Pangeran.

“Tetapi apakah orang itu bersedia bekerja bersama kita, itulah soalnya.” jawab Pangeran Indrasunu.

Para Pangeran yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan pikiran Pangeran Indrasunu.

Namun dalam pada itu, maka para Pangeran itu pun benar-benar telah mengambil satu sikap. Mereka telah menentukan, di keesokan harinya, mereka akan pergi menemui Akuwu Suwelatama.

Ampat orang Pangeran yang masih muda, telah pergi menemui Akuwu Suwelatama. Di antara mereka adalah Pangeran Indrasunu dan Pangeran yang bertubuh kecil, adik Akuwu Suwelatama, yang lebih senang tinggal di Pakuwon daripada di dalam istana di Kota Raja Kediri.

Kedatangan mereka telah mengejutkan Akuwu Suwelatama. Sudah agak lama adiknya tidak berkunjung ke istananya yang terpisah dari Kota Raja. Tiba-tiba adiknya yang bertubuh kecil itu telah datang bersama beberapa orang Pangeran yang lain.

“Nampaknya ada sesuatu yang penting.” bertanya Pangeran Suwelatama yang lebih senang menjadi Akuwu itu setelah ia menanyakan keselamatan tamu-tamunya.

“Tidak, kakangmas,” jawab Pangeran yang bertubuh kecil itu, “kami hanya ingin mengunjungi kakangmas. Kami merasa terlalu pepat dan terkurung di Kota Raja. Di sini kami menghirup udara yang segar, dan yang seakan-akan bebas menghisap udara seberapa pun kami ingini.”

Akuwu Suwelatama tertawa. Katanya, “Syukurlah. Jika kalian kerasan di sini, tinggallah di sini. Sebenarnyalah bahwa hidup di Pakuwon jauh lebih senang daripada hidup berjejal di Kota Raja dengan segenap bentuk kehidupan yang memuakkan. Di sini aku dapat berbuat segalanya yang sesuai dengan sikap dan pandangan hidupku. Meskipun itu bukan berarti bahwa Pakuwon ini melepaskan diri dari kuasa Kediri dan bahkan Singasari, tetapi aku dapat mengatur tata kehidupan sehari-hari sesuai dengan tata cara yang paling baik menurut pendapatku.”

“Benar, kakangmas,” jawab Pangeran yang bertubuh kecil itu, “apalagi pada saat-saat Kediri sudah kehilangan kewibawaannya. Seolah-olah Kediri sudah tidak lagi mempunyai tatanan kehidupan sesuai dengan adat yang berlaku dari abad ke abad.”

“Apa yang kau maksud adimas?” bertanya Akuwu Suwelatama.

Pangeran bertubuh kecil itu tertawa. Jawabnya, “Tidak apa-apa. Tetapi barangkali kakangmas juga mengetahui, bahwa ada perubahan di dalam tatanan kehidupan di Kediri, terlebih-lebih lagi di Singasari. Tataran kehidupan tidak lagi dihormati, dan bahkan para Pangeran dan para bangsawan telah lupa akan dirinya.”

Akuwu Suwelatama tertawa. Katanya, “Jadi baru sekarang kau sadari hal itu?”

“Ya.” jawab adiknya. Lalu, “Saudara-saudara kita ini pun terlambat menyadari keadaan.”

“Karena itu, aku lebih senang berada di sini.” jawab Akuwu Suwelatama, “Di sini aku bagaikan seorang Maharaja. Semua orang menghormati aku dan keluargaku sebagaimana mereka harus hormat kepada junjungannya.”

Pangeran-pangeran muda yang datang ke Pakuwon itu pun mengangguk-angguk. Pangeran Indrasunu kemudian berkata, “Tataran yang demikian sudah dihinakan di Singasari. Mungkin maksudnya bukan saja menghina tataran itu sendiri, tetapi justru karena aku seorang bangsawan dari Kediri.”

Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apa yang sudah terjadi Adimas Indrasunu?”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Setelah memandang Pangeran bertubuh kecil itu sekilas, maka ia pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi atas dirinya.

Wajah Akuwu Suwelatama pun nampak berkerut. Demikian Pangeran Indrasunu selesai berceritera dengan menambah di beberapa bagian dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi, Akuwu itu pun bertanya, “Jadi kau gagal mengambil gadis itu?”

“Ya, kakangmas.” jawab Indrasunu.

“Dan Pangeran Wirapaksi sama sekali tidak berusaha mempergunakan kekuasaan untuk menolong adimas?” bertanya Akuwu itu pula.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar