Diluar sadarnya ia mulai membayangkan gadis padepokan itu. Seorang gadis yang cantik, keras hati, namun dapat bersikap lembut.
Mahisa Bungalan seolah-olah telah terbangun dari mimpinya ketika Ki Selabajra berkata, “Sekali-kali dalam masa perburuan itu, datanglah ke padepokan kami. Tentu kau masih ingat, jalan manakah yang sebaiknya kau tempuh. Jalan ke padepokanku, atau ke padepokan Ki Watu Kendeng”
Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Suaranya tiba-tiba saja menjadi bergetar, “baik, baik Ki Selabajra. Aku akan datang ke padepokan yang sudah lama tidak aku lihat. Padepokan yang tenang dan damai, namun yang kini agaknya telah menyimpan bara yang panas dan membakar”
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya bagi Mahisa Bungalan, orang bertubuh tinggi itu tidak perlu terlalu banyak dirisaukan. Mahisa Bungalan memiliki tataran ilmu yang jauh lebih tinggi dari orang bertubuh tinggi itu. Tetapi agaknya Mahisa Bungalan mempertimbangkan kehadiran orang itu jauh mendalam.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan kemudian bertanya, “Siapakah nama orang itu?“
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, “Namanya Marwantaka”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nama yang bagus, seperti juga orangnya yang tampan”
“Ah. Angger terlalu merendahkan dir,“desah Ki Selabajra.
Mahisa Bungalan memandang Ki Selabajra sejenak, namun kemudian iapun melemparkan tatapan matanya ke kejauhan.
Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Baru kemudian Mahisa Bungalan berkata, “Aku akan segera kembali ke Kediri. Aku akan segera mulai dengan perburuan yang dahsyat ini. Mungkin aku akan singgah di padepokan Ki Selabajra, mungkin di Watu Kendeng. Tetapi aku tidak dapat mengatakan, kapan aku akan sampai ke tempat itu”
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Baiklah ngger. Kami akan selalu menunggu kehadiran angger di padepokan kami”
Mahisa Bungalan tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Aku akan mempersiapkan diri. Aku akan segera berangkat ke Kediri bersama Ki Wastu”
Seperti yang dikatakan, maka Mahisa Bungalan pun segera berkemas. Namun ternyala atas permintaan Ki Kasang Jati mereka masih diminta tinggal sampai matahari terbit di keesokan harinya bersama orang-orang yang berada di padepokan itu.
Demikianlah, maka di hari berikutnya, Mahisa Bungalan telah menempuh perjalanan kembali ke Kediri bersama Ki Wastu. Mereka harus segera mulai berpencar mencari seseorang yang bernama Ki Dukut Pakering. Mahisa Bungalan sendiri masih belum jelas benar ujud dari orang yang bernama Ki Dukut itu meskipun ia pernah melihatnya di padepokan Ki Kasang Jati. Tetapi ia sudah mendapat gambaran dari orang yang bakal diburunya itu.
“Tetapi Ki Dukut bukan seorang yang dungu” berkata Ki Wastu kepada Mahisa Bungalan di perjalanan.
“Kita menyadari” jawab Mahisa Bungalan, “mungkin justru kita yang akan dijebaknya. Tetapi kita harus menemukannya di manapun juga, karena ia adalah orang yang sangat berbahaya. Berbahaya bagi banyak orang dan berbahaya bagi Kediri”
Ki Wastu mengangguk-angguk. Tetapi terasa kata-kata Mahisa Bungalan agak terlalu karas dan pasti. Bahkan terasa, bahwa sesuatu agaknya telah mengguncang perasaannya.
Karena itu, maka sebagai seorang yang telah menyimpan banyak pengalaman di dalam hidupnya, terasa bahwa ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh anak muda itu.
Tetapi Ki Wastu tidak ingin menyinggung perasaan Mahisa Bungalan. Karena itu, ia tidak dengan serta merta bertanya. Dengan hati-hati ia berbicara tentang berbagai hal yang dapat memancing hati anak muda itu.
Mahisa Bungalan yang memang sedang digelut oleh ingatannya tentang pedepokan kecil yang tenang dan tentang seorang gadis cantik yang Keras hati. telah tersentuh karenanya.
Akhirnya, Mahisa Bungalan tidak lagi menahan hatinya Seperti sebuah pintu yang terketuk, maka akhirnya pintu itupun terbuka.
”Ki Wastu” berkata Mahisa Bungalan di perjalanan, “aku sudah lama berada dalam keluarga Ki Wastu. Karena itu, maka aku kira, aku tidak perlu lagi menyembunyikan perasaanku. Agaknya masih sulit bagiku untuk mengatakannya dengan terus terang kepada ayah”
Ki Wastu mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun telah mengatakan serba sedikit tentang anak muda bertubuh tinggi yang bernama Marwantaka itu. Hubungan orang itu dengan Ki Selabajra dan dengan anak gadisnya yang bernama Ken Padmi.
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya, “Itukah sebabnya maka orang bertubuh tinggi itu tiba-tiba saja telah mendendammu? Aku kira ia adalah orang yang sudah terlampau dalam diracuni oleh ceritera Ki Dukut Pakering. Namun agaknya masih ada persoalan lain yang tersangkut pada sikapnya itu”
“Agaknya memang demikian Ki Wastu. Mungkin juga orang itu lebih percaya kepada Ki Dukut daripada kepada kita pada mulanya. Terlebih-lebih lagi karena sikap yang khusus kepadaku dalam hubungannya dengan seorang gadis bernama Ken Padmi itu”
Ki Wastu mengangguk-angguk. Terbayang betapa rumitnya persoalan antara Ken Padmi dengan Mahisa Bungalan itu. Apalagi setelah di antara mereka berdiri beberapa nama yang telah menyangkutkan diri.
Diluar sadarnya Ki Wastu membayangkan, apa yang pernah terjadi dengan anak gadisnya. Persoalan anak gadisnya pada mulanya tidak serumit persoalan Mahisa Bungalan. Seorang anak muda dalang kepadanya dan minta anak gadisnya untuk menjadi isterinya. Dan ternyata anak muda itu adalah Pangeran Kuda Padmadata.
Baru kemudian, persoalan yang sangat rumit itu menyusul, justru setelah anak perempuannya itu mempunyai seorang anak laki-laki.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Angger Mahisa Bungalan. Agaknya persoalan itu lebih baik timbul dahulu daripada kemudian”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah lebih baik demikian? Dan apakah dalam setiap hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan tentu akan timbul persoalan yang rumit seperti itu?“
“Tidak selalu ngger” jawab Ki Wastu, “tetapi jika persoalan itu dapat kau pecahkan, maka keadaanmu akan jauh lebih baik dari keadaan anak perempuanku dengan suaminya, Pangeran Kuda Padmadata yang hampir saja menjadi korban”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Untuk sejenak ia tidak menjawab.
Keduanya pun kemudian saling berdiam diri. Perjalanan mereka menyusup bulak-bulak panjang yang hijau oleh tanaman padi dan jagung. Namun di kejauhan mereka masih melihat padang perdu yang menyekat daerah persawahan dengan hutan yang membujur panjang. Semakin dalam hutan itu menjadi semakin lebat.
Ki Wastu dan Mahisa Bungalan berpacu muskipun tidak dalam kecepatan puncak. Derap kaki kuda mereka telah melontarkan debu yang keputih-putihan. Tetapi mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa ketika mereka melintas di ujung padang perdu, dua pasang mata memandang mereka dengan penuh perhatian.
“He, apakah keduanya berada di padepokan Kasang Jati?“ bertanya seorang tua yang duduk di bayangan dedaunan.
“Aku tidak tahu pasti Ki Dukut” jawab yang lain, “tetapi mungkin pula keduanya cantrik atau Putut dari Padepokan itu”
Ki Dukut mengerutkan keningnya. Kedua penunggang kuda itu berpacu terlalu jauh, sehingga keduanya tidak melihat dengan jelas, siapakah orang-orang yang duduk di atas punggung kuda itu. Apalagi mereka pun tidak begitu mengenal orang-orang yang berada di padepokan Ki Kasang Jati, karena ketika mereka memasuki padepokan itu, malam telah menjadi sangat kelam.
“Sebenarnya kita akan dapat membunuh mereka” berkata Ki Dukut Pakering.
“Tetapi kita tidak akan dapat mengejar mereka” desis yang lain.
Ki Dukut menggeretakkan giginya. Namun kemudian katanya kepada pengikutnya, “Aku masih mempunyai banyak kesempatan. Ternyata orang-orang yang ikut bersama kita datang ke padepokan Kasang Jati telah berkhianat”
“Ya. Mereka telah berkhianat” sahut pengikutnya.
“Mereka agaknya mengerti, bahwa aku telah menipu mereka” desis Ki Dukut pula.
Pengikutnya yang seorang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Mereka harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahan mereka”
“Tentu. Tetapi untuk waktu yang dekat, aku tidak dapat melakukannya. Mereka tentu menyadari akan hal itu, sehingga mereka pun akan bersiap akan menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, aku akan mengambil waktu yang paling baik sesudah aku mengamati keadaan” berkata Ki Dukut Pakering. Namun kemudian sambil menggeram ia berkata, “Tetapi yang lebih dahulu harus dimusnahkan adalah Padmadata, Wastu dan Kasang Jati. Jika aku dapat menangkap perempuan dan anaknya itu, maka segalanya akan dapat aku lakukan. Kuda Padmadata tidak akan dapat melawan kehendakku apapun yang aku perintahkan”
“Tetapi sulit untuk menemukan perempuan dan anak laki-lakinya itu. Sekarang kita sudah kehilangan banyak pengikut. Selain yang sudah terbunuh, mereka yang masih hidup sudah tertawan dan satu dua melarikan diri karena ketakutan”
“Aku tidak menyalahkan mereka” jawab Ki Dukut, “yang penting sekarang, bagaimana kita menyusun kekuatan baru”
Pengikutnya tidak menjawab. Tetapi ia membayangkan, bahwa hal itu akan sulit dilakukan. Kecuali jika mereka dapat memasuki lingkungan mereka yang memang hidup di dunia yang kelam.
Namun agaknya hal itu terpikir juga oleh Ki Dukut Pakering. Karena itu maka katanya, “Mungkin aku akan mencari jalan memintas”
“Maksud Ki Dukut?“ bertanya pengikutnya.
“Aku akan membuat pangeram-eram di lingkungan tertentu. Betapapun hitamnya satu lingkungan, namun mereka akan dapat kita pergunakan sebagai alat yang baik. Aku dapat memasuki lingkungan para penjahat. Para penyamun dan perampok. Aku dapat menunjukkan kelebihanku dari mereka, sehingga aku akan mampunyai pengaruh di antara mereka. Dengan demikian aku tidak perlu menipu para pemimpin padepokan seperti yang sudah aku lakukan, yang ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi dengan mereka, maka aku akan mendapat banyak kesempatan”
“Dan kita pun akan ikut menyamun dan merampok?“ bertanya pengikutnya.
“Bukankah yang kita lakukan atas Pangeran Padmadata juga serupa dengan itu? Hanya mungkin kita masih memilih cara yang lebih baik dari merampok itu sendiri” jawab Ki Dukut.
Pengikutnya tidak segera menyahut. Iapun telah memikirkannya. Dan agaknya memang jalan itu adalah jalan satu-satunya.
“Tetapi tujuan kita agak berbeda dengan mereka” berkata pengikutnya.
“Pada dasarnya tidak” sahut Ki Dukut, “karena itu, kita tidak akan ragu-ragu lagi melakukannya. Dengan demikian maka kita akan menjelajahi daerah-daerah yang paling gawat, sehingga pada suatu saat kita akan mendapat jalan menuju ke sarang mereka”
“Apakah Ki Dukut sudah pasti dengan rencana itu?” bertanya pengikutnya.
“Aku masih akan berpikir. Tetapi aku kira, jalan ini adalah jalan yang paling baik” jawab Ki Dukut
Pengikutnya tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk. Ia sudah mulai membayangkan, daerah petualangan yang bakal ditempuh oleh Ki Dukut. Mereka berdua akan memasuki daerah yang paling gawat karena daerah itu dikuasai oleh para perampok. Tetapi Ki Dukut ingin menunjukkan kelebihannya, sehingga ia akan mendapat pengaruh di antara mereka. Dengan pengaruhnya, ia akan dapat membujuk mereka melakukan seperti yang diinginnya.
Namun pengikut Ki Dukut itu masih ragu-ragu. Apakah berdua saja mereka akan dapat menanamkan pengaruh mereka di antara para penjahat yang berkuasa di lereng-lereng pegunungan dan di lembah-lembah yang berpadas dan berlubang-lubang oleh goa-goa yang dangkal dan yang dalam.
Tetapi pengikut Ki Dukut itu terlalu percaya kepada perhitungan orang tua itu. Karena itu, maka ia pun hanya mengangguk-angguk kecil saja.
Sementara itu, perjalanan Mahisa Bungalan dan Ki Wastu menjadi semakin jauh. Seperti saat mereka berangkat, maka mereka pun harus bermalam di perjalanan. Namun hal itu sudah terlalu sering dilakukannya, sehingga mereka sama sekali tidak merasa canggung karenanya.
Ketika mereka kemudian sampai di Kediri, maka merekapun segera melaporkan apa yang mereka ketahui.
Mereka menceriterakan tanpa ditambah dan tanpa dikurangi segala peristiwa yang telah terjadi di padepokan Ki Kasang Jati.
Mahisa Agni dan Witantra yang berada di Kediri mendengarkan laporan Mahisa Bungalan dengan saksama, merekapun membayangkan bahwa Ki Dukut yang gagal itu tentu akan mengambil jalan lain. yang mungkin lebih kasar dan liar.
“Kami sudah memutuskan untuk mengadakan perburuan” berkata Mahisa Bungalan, “kami harus dapat menangkap Ki Dukut. Jika tidak, maka Ki Dukut akan dapat merusak ketenangan hidup padepokan-padepokan kecil yang dianggapnya pernah berkhianat kepadanya”
Mahisa Agni mengangguk-angguk sambil berdesis, “Hal itu memang mungkin sekali dilakukan”
“Ya” sahut Witantra, “setan itu akan dapat berbuat apa saja yang mungkin tidak pernah kita bayangkan”
“Lalu, apakah yang dapat kita lakukan?“ bertanya Pangeran Kuda Padmadata.
“Kita masih harus memikirkannya” jawab Witantra.
“Tetapi kita harus bertindak cepat” desis Mahisa Bungalan.
“Jika kita terlambat, maka daerah yang luas sudah menjadi karang abang. Sulit untuk dapat menahan arus kemarahan Ki Dukut Pakering bagi padepokan-padepokan kecil itu”
“Aku dapat mengerahkan para pengawal. Bukan saja pengawal, tetapi pengawal Kediri akan dapat aku pergunakan jika diperlukan”
“Terima kasih” berkata Mahisa Agni, “tetapi untuk sementara aku kira belum dapat kita lakukan. Kita masih harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang”
“Tetapi sementara itu, padepokan-padepokan kecil telah hancur menjadi debu” potong Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Kemudaanmu telah membakar jantungmu. Mahisa Bungalan, aku tahu, bahwa kita harus bertindak cepat. Bukankah kau mengetahui, siapa yang telah datang bersama Ki Dukut ke padepokan Ki Kasang Jati? Dengan demikian kita mempunyai gambaran, telatah manakah yang kira-kira akan menjadi sasaran”
“Ya. Bukankah dengan demikian kita tidak perlu membuat banyak pertimbangan lagi?“ bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku mengerti. Maksudku, kita akan pergi ke daerah itu tanpa mengerahkan para pengawal. Dengan demikian, maka kita tidak akan mengguncang ketenangan Kediri dalam keseluruhan, hanya karena seorang yang bernama Ki Dukut Pakering”
“Tetapi adalah kewajiban para pengawal Kediri untuk melindungi daerah pengawasannya. Bahkan menjadi kewajiban Singasari pula” sahut Mahisa Bungalan.
“Baiklah” berkata Witantra kemudian, “kita akan segera berangkat. Pamanmu Mahisa Agni, aku, kau dan Ki Wastu. Kita mulai dengan pemburuan yang panjang di daerah yang sangat luas. Tetapi kita sudah mempunyai gambaran, sasaran yang diintai oleh buruan kita”
Namun tiba-tiba Mahisa Bungalan berkata, “Kita dapat memisahkan diri dalam dua atau tiga kelompok kecil. Jika dalam satu kelompok kecil ada paman Mahisa Agni, atau paman Witantra atau Ki Wastu atau mungkin ayah, maka Ki Dukut tidak akan mampu berbuat sesuatu, karena tidak ada lagi pengikutnya yang memiliki ilmu yang cukup”
“Bagaimana maksudmu sebenarnya Mahisa Bungalan?“ bertanya Mahisa Agni.
“Paman Mahisa Agni disertai dua tiga orang maju ke arah yang berbeda dengan paman Witantra disertai oleh dua atau tiga orang pula. Demikian pula Ki Wastu dan ayah Mahendra. Bukankah dengan demikian daerah perburuan yang luas itu akan menjadi semakin sempit?“
“Kau?“ tiba-tiba saja Ki Wastu bertanya.
“Aku dapat mengikuti ayah yang belum melihat medan” jawab Mahisa Bungalan.
Namun tiba-tiba Ki Wastu tersenyum. Katanya, “Baiklah ngger. Kau pergi bersama ayahmu. Semakin cepat semakin baik. Mungkin Ki Dukut akan memilih sasaran yang pertama padepokan Ki Selabajra”
“Ah“ desah Mahisa Bungalan. Namun ia pun segera menundukkan kepalanya.
“Aku hanya bergurau” berkata Ki Wastu kemudian. Tetapi bibirnya masih membayang senyumnya.
Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata yang masih belum mengerti persoalan Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak bertanya, karena mereka mengerti, bahwa Ki Wastu tidak bersungguh-sungguh.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Tetapi semuanya terserah kepada paman-paman. Mungkin paman mempunyai cara yang lebih baik”
“Mahisa Bungalan” berkata Mahisa Agni, “menurut pendapatmu, apakah Ki Dukut masih mempunyai pengikut yang kuat?“
“Tidak paman. Tidak ada lagi kekuatan yang mendukungnya. Orang-orang yang dibawanya ke padepokan Ki Dukut telah mengerti, apakah yang sebenarnya terjadi”
“Dan mereka itulah yang kau cemaskan“ sambung Mahisa Agni.
“Ya paman. Selebihnya, mungkin Ki Dukut masih sempat mencari korban ke padepokan-padepokan lain. Mereka yang belum pernah mendengar peristiwa yang sebenarnya, masih mungkin dibujuknya dengan segala macam janji dan kedudukannya di masa lampau” jawab Mahisa Bungalan.
“Baiklah” berkata Mahisa Agni, “kita akan menjelajahi medan perburuan yang luas. Tetapi kita tidak perlu mengerahkan terlalu banyak orang, agar kita tidak memberikan kesan yang kurang baik”
“Maksud paman?“ bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku dan pamanmu Witantra akan menempuh perjalanan yang berbeda dengan perjalanan yang akan kau tempuh bersama ayahmu dan Ki Wastu. Kita akan menjelajahi daerah yang mungkin akan diambah oleh Ki Dukut Pakering. Sementara kau dapat memberikan petunjuk daerah manakah yang akan menjadi sasaran utama. Mungkin pada suatu saat kita akan bertemu di sebuah padepokan. Tetapi kemudian kita akan berpisah lagi. Dengan demikian daerah perburuan kita akan dapat kita batasi”
Mahisa Bungalan menarik nafas, dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah Ki Wastu. Rasa-rasanya orang tua itu masih juga tersenyum kepadanya.
Namun Ki Wastu itupun kemudian berkata, “Kita akan dapat pergi bersama-sama sampai ke tempat tinggal Ki Kasang Jati. Kemudian kita akan berpisah menuju daerah perburuan yang berbeda”
“Aku sependapat” sahut Mahisa Bungalan.
“Baiklah” jawab Mahisa Agni, “dengan demikian, maka Mahisa Bungalan harus memanggil ayahnya lebih dahulu”
“Biarlah aku mengawaninya” berkata Ki Wastu, “aku juga ingin menengok cucuku“
“Jangan lupa menghadap Tuanku Maharaja untuk menyampaikan permohonan penundaan waktu. Kau harus mengemukakan alasan yang jelas sehingga kepergianmu dapat dimengertinya“ pesan Mahisa Agni.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun telah pergi ke Singasari untuk menyusul ayahnya bersama Ki Wastu. Namun sudah diduganya sejak ia masih di perjalanan pulang. Kedua adiknya tentu tidak mau lagi ditinggalkannya.
Mahendra yang mendapat keterangan dari Mahisa Bungalan tentang Ki Dukut Pakering itupun kemudian memutuskan untuk pergi bersama-sama Mahisa Bungalan, tetapi kali ini ia tidak melarang kedua anaknya yang lain mengikutinya.
“Tetapi kalian harus mengetahui, bahwa kita akan berburu di medan yang luas” berkata Mahendra kepada kedua anaknya.
“Menyenangkan sekali” jawab Mahisa Pukat.
“Kami menunggu kesempatan itu“ sambung Mahisa Murti
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kedua anaknya itu memang sudah meningkat dewasa penuh. Merekapun telah mempelajari ilmu sampai tataran yang cukup, sehingga mereka memang perlu mengembangkannya.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun kemudian kembali ke Kediri bersama ayah dan adik-adiknya, selain Ki Wastu yang bersamanya pula setelah ia menjumpai anak dan cucunya.
Namun dalam pada itu agaknya Mahisa Bungalan masih belum menyampaikan persoalan pribadinya kepada ayahnya. Ia masih belum mengambil sikap, karena ia tidak tahu, bagaimana dengan Ken Padmi setelah ditinggalkannya untuk waktu yang lama.
Beberapa hari kemudian, maka mereka telah bersiap unluk mulai dengan perburuan yang besar. Ternyata Pangeran Kuda Padmadata telah bersedia ikut pula bersama mereka.
“Jika paman Mahendra telah mempunyai beberapa orang pengikut. maka aku akan pergi bersama paman Mahisa Agni dan paman Witantra” berkata Pangeran Kuda Padmadata.
“Baiklah” sahut Mahisa Agni, “kami akan pergi bertiga, sementara Mahendra akan pergi berlima, termasuk Mahisa Murli dan Mahisa Pukat”
“Aku akan bertamasya dengan keluargaku” jawab Mahendra, “nampaknya tamasya yang menyenangkan. Apalagi di antara kami terdapat pula Ki Wastu”
Demikianlah, maka mereka pun bersama-sama telah pergi ke padepokan Ki Kasang Jati untuk mematangkan rencana mereka dalam perburuan mereka. Mereka pun masih harus membagi medan serta menentukan di mana mereka akan bertemu pada saat-saat yang ditentukan.
Pangeran Kuda Padmadata yang ikut dalam perburuan itu, telah menanggalkan pakaian kepangeranannya. Ia mengenakan pakaian seperti kebanyakan orang, seperti juga Mahisa Agni, Witantra dan yang lain-lain. Dengan demikian, maka perjalanannya tidak akan banyak menarik perhatian orang di sepanjang jalan.
Pada hari-hari pertama perjalanan itu benar-benar seperti sebuah tamasya yang menyenangkan. Apalagi Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tidak ada sesuatu yang mereka jumpai di perjalanan. Di malam yang kelam di tengah perjalanan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat untuk melihat-lihat padang perdu yang luas. Ternyata padang perdu itu bukannya tertidur di malam hari. Ketika jenis binatang yang berkeliaran disiang hari mulai bersembunyi di sarangnya, maka mulailah binatang malam menandai kehidupan padang perdu.
“Menarik sekali” desis Mahisa Murti, “marilah kita melihat binatang apa sajakah yang berkeliaran di malam hari. Mungkin sejenis musang, mungkin pula jenis harimau yang tidak lagi mendapat makanan di hutan lebat itu, sehingga mereka telah berkeliaran di padang perdu”
Mahisa Pukat ragu-ragu. Katanya kemudian, “Tidak. Mungkin kita dapat tersesat. Dan bukankah perjalanan kita masih jauh? kita perlu beristirahat“
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun iapun mengerti pula. Katanya, “Baiklah. Kita akan beristirahat”
Demikianlah mereka menyusuri jalan panjang. Akhirnya merekapun sampai ke padepokan Ki Kasang Jati.
Kehadiran mereka telah mengejutkan isi padepokan itu. Mereka masih dibayangi dendam dan kebencian Ki Dukut Pakering. Karena itu, ketika sekelompok orang-orang berkuda mendekati padepokan itu, maka para cantrik dan Putut pun telah bersiap pula. Dengan tergesa-gesa salah seorang dari mereka memberitahukan kepada Ki Kasang Jati yang baru beristirahat di ruang dalam.
“Apakah Ki Dukut datang lagi dengan pasukannya yang baru?“ berkata Ki Kasang Jati.
“Kami tidak tahu. Kami hanya melihat sekelompok orang berkuda menyusuri jalan menuju ke padepokan ini” jawab seorang cantrik.
Ki Kasang Jati pun segera mempersiapkan diri. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Masih saja ada sebab aku harus menggenggam hulu senjata”
Cantrik itu sama sekali tidak menjawab. Namun iapun mengikut pula ketika Ki Kasang Jati melangkah keluar. Di luar ia melihat kedua Putut dan para cantrik sudah bersiap meskipun mereka tidak bertebaran di halaman. Namun mereka telah berada di belakang seketheng. Setiap saat mereka dapat bergerak dan menghambur turun ke halaman lewat seketheng sebelah menyebelah.
Dari kejauhan, debu nampak mengepul tinggi. Tetapi iring-iringan orang berkuda itu sudah menjadi semakin dekat, meskipun masih belum dapat dilihat dengan jelas siapa para penunggangnya.
Namun, ketika kemudian Ki Kasang Jati turun ke halaman dan berdiri di regol, maka iapun mulai melihat lamat-lamat, siapakah diantara mereka yang berkuda itu.
“He” katanya kepada kedua Putut dan para cantrik, “dua diantara mereka adalah Wastu dan Mahisa Bungalan”
Para cantrik dan Putut itupun termangu-mangu. Merekapun kemudian berdesakkan berdiri di regol. Satu dua diantara mereka bahkan telah turun ke jalan.
“Ya” desis salah seorang Putut, “dua diantaranya adalah Mahisa Bungalan dan Ki Wastu”
Ki Kasang Jatipun menarik nafas dalam-dalam. Kepada diri sendiri ia berkata, “Perburuan akan segera dimulai. Nampaknya Mahisa Bungalan dan Wastu tidak mau terlambat”
Sejenak kemudian, maka iring-iringan orang berkuda itupun menjadi semakin dekat. Ki Kasang Jati yang sudah terlanjur berada di regolpun telah menyambut tamunya di regol itu pula.
Dengan tergopoh-gopoh Ki Kasang Jatipun kemudian mempersilahkan tamunya masuk ke halaman. Setelah para cantrik menerima kuda-kuda mereka, dan mereka telah mencuci kaki mereka pada sebuah jambangan dibawah sebatang pohon kamboja, maka mereka pun segera naik ke pendapa.
Sesaat Ki Kasang telah menyampaikan ucapan selamat atas kehadiran para tamu. Kemudian Ki Wastu pun mulai memperkenalkan tamu-tamu itu seorang demi seorang.
“Adalah satu kurnia bahwa tuan-tuan telah bersedia datang ke padepokan ini” berkata Ki Kasang Jati kemudian, “apalagi karena tuan Mahisa Agni dan tuan Witantra pernah memegang kekuasaan atas nama kekuasaan Singasari di Kediri”
“Ah, itu sudah lama lampau. Sekarang, sebut saja kami dengan nama-nama kami. Agaknya dengan demikian, hubungan kami akan menjadi lebih akrab” berkata Mahisa Agni.
Ki Kasang Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Kami, penghuni padepokan ini mengucapkan terima kasih. Juga kepada Pangeran Kuda Padmadata yang tidak memakai pakaian kebesaran seorang Pangeran”
“Pakaian kebesaran semacam itu hanya akan mengganggu tugas kami sekarang ini Ki Kasang Jati” sahut Pangeran Kuda Padmadata.
“Baiklah. Kami sudah dapat menduga, bahwa kedatangan kalian adalah permulaan dari satu perburuan yang besar. Tetapi aku ingin mempersilahkan kalian singgah di padepokan ini barang satu dua hari. Kalian akan beristirahat sambil menyusun kerangka tugas kita” berkata Ki Kasang Jati.
Tidak seorang pun yang membantah. Mereka memang harus melakukannya. Singgah barang satu malam di padepokan itu sambil menyusun rencana perjalanan yang akan mereka tempuh.
Pada kesempatan yang terluang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat-lihat padepokan kecil yang tanang itu. Nampaknya hidup di padepokan semacam itu memang sangat menarik dibanding dengan kegelisahan hidup di Kota Raja dan sekitarnya.
Ketika malam berikutnya datang menyelubungi padepokan kecil itu maka mulailah beberapa orang berkumpul di pendapa. Mereka mulai menyusun rencana perburuan yang akan mereka lakukan.
Mahisa Bungalan yang mengenal beberapa bagian dari daerah yang akan mereka jelajahi dapat memberikan beberapa keterangan. Ditambah dengan pengenalan Ki Kasang Jati dan para Pututnya.
“Daerah itu cukup luas” berkata Ki Kasang Jati.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya pekerjaan itu akan dapat memberikan suasana lain padanya. Untuk beberapa lama ia tinggal di istana, yang melihat putaran kehidupan sehari-hari yang hampir tidak berubah. Sementara yang dilihatnyapun sangat terbatas. Dinding-dinding istana, prajurit, taman dan jika ia melangkah keluar, mereka yang dilihatnya adalah jalur-jalur jalan Kota Raja yang sudah dilihatnya berubah.
Hampir diluar sadarnya, Mahisa Agni justru mengenang masa mudanya, selagi ia masih hidup di sela-sela hijaunya pepohonan padukuhan kecil. Mahisa Agni tersadar ketika ia mendengar Mahisa Bungalan berkata, “Kita akan membagi diri Ki Kasang Jati”
“Apakah tenagaku juga diperlukan?“ bertanya Ki Kasang Jati.
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun Witantra lah yang menjawab, “Ki Kasang Jati akan berburu di daerah ini. Jika padepokan ini ditinggalkan, maka padepok an ini akan dapat menjadi sasaran pertama. Karena itu, mungkin Ki Kasang Jati akan dapat membantu kami, tetapi hanya di sekitar padepokan ini saja”
Ki Kasang Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Aku akan berusaha membantu sejauh dapat aku lakukan sambil menunggui padepokan kecil ini” ia berhenti sejenak, lalu mudah-mudahan kalian berhasil.
Seperti yang sudah direncanakan, maka Mahisa Agni akan pergi bersama Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata. Sementara Mahendra akan pergi bersama ketiga anaknya dan Ki Wastu. Namun seperti yang diduga oleh Ki Wastu, bahwa agaknya Mahisa Bungalan akan memanfaatkan perjalanan ayahnya untuk kepentingan yang lain, apabila suasananya masih memungkinkan.
Namun dalam pada itu, agar Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padma tidak mengalami kesulitan di medan, maka Ki Kasang Jati telah menyertakan seorang pututnya untuk ikut bersama mereka, yang akan dapat membantu mepermudah menyelusuri jalan-jalan yang akan mereka jelajahi.
“Meskipun ia juga belum mengenal seluruhnya, tetapi ia akan dapat mempermudah perjalanan kalian” berkata Ki Kasang Jati.
“Terima kasih” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi dengan demikian, kekuatan padepokan ini akan berkurang.
“Mudah-mudahan kami di sini tidak mengalami banyak kesulitan jika iblis itu benar-benar datang lagi” jawab Ki Kasang Jati.
Dengan demikian, maka batas dan kewajiban masing-masing teluh ditentukan. Merekapun menunjuk beberapa tempat untuk bertemu jika diperlukan masa perburuan.
Orang-orang yang akan melakukan perburuan itupun sepakat, besok pagi, ketika matahari terbit, mereka akan berangkat dari padepokan Ki Kasang Jati. Sekelompok akan menuju ke Barat, dan kelompok yang lain akan menuju ke Timur.
Malam itu, mereka masih sempat berkelakar. Meskipun demikian Ki Wastu sama sekali tidak menyinggung masalah Mahisa Bungalan dalam hubungannya dengan seorang gadis yang bernama Ken Padmi, seperti pengakuan Mahisa Bungalan sendiri. Ki Wastu membiarkan Mahisa Bungalan sendiri pada saatnya menyampaikannya kepada ayahnya.
Demikianlah, di pagi hari berikutnya, ketika matahari terbit di timur, maka kedua kelompok itupun segera berang kat kearah yang sudah ditentukan.
Dalam pada itu, Ki Dukut Pakering yang merasa tidak mungkin lagi membujuk beberapa pemimpin padepokan ternyata telah mengambil jalan lain. Dengan sengaja Ki Dukut telah memasuki daerah yang terkenal gawat, karena daerah itu menjadi daerah jelajah para penjahat. Namun dengan mempertaruhkan dirinya, Ki Dukut justru mengambil cara itu untuk mendapatkan pengikut-pengikut
Dengan pakaian dan kelengkapan yang menarik perhatian, Ki Dukut dan seorang pengikutnya berkuda menyelusuri jalan yang gawat. Mereka berharap justru dapat bertemu dengan sekelompok penjahat yang akan menyamunnya.
Ternyata bahwa usaha Ki Dukut itu berhasil ketika tiba-tiba saja dari balik segerumbul perdu, berloncatan tiga orang berpakaian serba kelam. Wajah mereka pun nampak Kasar dan telanjang.
“Ki Sanak” berkata orang yang paling garang di antara mereka, “apakah aku boleh bertanya. Ki Sanak akan pergi ke mana?“
Ki Dukut menarik keningnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Aku sekedar ingin metihat-lihat, apakah daerah ini masih merupakan daerah yang gawat”
Ketiga orang itu menjadi heran mendengar jawaban Ki Dukut. Orang yang paling garang pun kemudian maju setapak, “Aku tidak mengerti maksudmu. Aku bertanya, kau akan pergi ke mana?“
“Sudah aku jawab dungu“ tiba-tiba saja Ki Dukut membentak.
“Gila” geram orang berwajah garang itu, “apakah kau mengenal kami?“
“Tentu. Kalian adalah penyamun atau perampok atau apapun namanya” jawab Ki Dukut.
“Setan alas. Jika demikian, maka cepat lakukan perintah kami. Lepaskan pakaianmu, perhiasanmu, mungkin intan berlian pada timangmu, atau pada pendok kerismu, “
Tetapi Ki Dukut tertawa. Katanya, “Jangan bodoh. He, siapa pemimpinmu?“
Ketiga orang berpakaian kelam dan berwajah menyeramkan itupun termangu-mangu sejenak. Mereka belum pernah melihat orang yang dengan sengaja memasuki daerah yang gawat itu dan justru telah membentak-bentaknya.
Namun sesaat kemudian ketiga orang itu menyadari pekerjaannya. Salah seorang dari merekapun melangkah mendekat sambil berkata, “Sudahlah. Jangan banyak bicara. Jangan bertanya siapa pemimpin kami, dan jangan bertanya tentang kami lebih banyak lagi. Seandainya kau sengaja lewat jalan ini, maka kau telah salah langkah, dan kau akan menjadi korban dari kesombongan tetapi sekaligus kebodohanmu”
Ki Dukut dan pengikutnya kemudian menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon perdu. Kemudian dengan suara lantang Ki Dukut berkata, “Ki Sanak. Aku sengaja memilih jalan ini. Aku sengaja ingin bertemu dengan kalian, dan terlebih-lebih lagi pemimpin kalian”
“Cukup. Sekarang apa maumu sebenarnya” bentak salah seorang dari ketiga orang penyamun itu.
“Panggilah pemimpinmu” jawab Ki Dukut.
Ketiga orang penyamun itu tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Dengan gigi yang gemeretak merekapun kemudian mengepung kedua orang yang berdiri menghadap kearah yang berlawanan.
“Kalian benar-benar bodoh dan dungu. Tetapi baiklah. Marilah, apa yang akan kalian lakukan” geram Ki Dukut.
Ketiga orang itu tidak sabar lagi. Kemarahan mereka telah sampai ke ubun-ubun. Karena itu, Maka merekapun bergeser maju. Senjata merekapun mulai bergetar di tangan mereka.
Pengikut Ki Dukut telah mencabut pedangnya pula. Tetapi Ki Dukut sendiri masih saja berdiri tegak, tanpa sen jata meskipun sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sikap itu benar-benar membuat lawannya tidak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta, maka ketiga orang itupun telah bersama-sama menyerang dengan ujung senjata.
Pengikut Ki Dukut itu sempat menangkis ujung senjata yang mengarah ke dadanya. Namun dalam pada itu. Ketiga orang itu terkejut, ketika tiba-tiba saja Ki Dukut telah berada di luar lingkaran.
“Setan alas“ orang-orang yang garang itu menggeram. Dua orang di antara mereka pun segera memburu
Ki Dukut Pakering, sedangkan yang seorang tetap menghadapi pengikutnya.
“Bunuh saja mereka berdua“ orang yang agaknya menjadi pemimpin dari ketiga orang itu menggeram.
Kedua kawannya tidak menunggu lagi. Dengan serta meria merekapun telah menyerang lawan masing-masing. Sementara Ki Dukut harus menghadapi dua orang lawan yang bertempur berpasangan.
Namun adalah diluar dugaan sama sekali. Bukan saja karena Ki Dukut tidak bersenjata. Tetapi pada gerak yang tidak mereka duga sama sekali, Ki Dukut sempat menghantam pergelangan tangan salah seorang lawannya, sehingga senjatanya telah terlepas dari tangannya yang serasa menjadi patah. Demikian selagi kawannya dengan heran memperhatikan sekilas, maka tiba-tiba saja tanpa dapat melihat bagaimana hal itu terjadi, senjatanya telah berpindah ke tangan Ki Dukut Pakering.
“Apakah kalian masih akan melawan?“ bertanya Ki Dukut.
Kedua orang itu benar-benar telah dicengkam ketegangan. Sementara pengikutnya yang bertempur dengan senjata itu telah berhasil menguasai lawannya pula.
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka benar-benar tidak mengerti, bagaimana segalanya itu dapat terjadi.
Namun dalam pada itu, selagi ketiga orang penyamun itu termangu-mangu terdengar Ki Dukut berkata ”Nah ternyata bahwa kawan kalian telah datang. Aku tidak tahu, apakah ia pemimpin kalian”
Ketiga orang itu menjadi heran. Tetapi yang lebih heran lagi adalah dua orang yang bersembunyi di balik sebuah gerumbul perdu. Ternyata orang tua yang telah mengalahkan para perampok itu tahu pasti, bahwa ada orang lain yang datang mendekat.
“Marilah” berkata Ki Dukut, “kalian tidak usah bersembunyi. Aku tidak akan membunuh siapa pun di sini. Ketiga orang ini pun tidak akan aku bunuh, meskipun aku dapat melakukannya dengan mudah, semudah memijit buah ceplukan”
Kedua orang itu tidak dapat bersembunyi lebih lama. Tetapi merekapun bukan pengecut yang hatinya susut karena sikap Ki Dukut yang garang. Salah seorang dari kedua orang itupun kemudian berkata ”Baiklah Ki Sanak. Kau memiliki penglihatan yang sangat tajam. Mungkin bukan penglihatan indera wadagmu, tetapi penglihatan batinmu. Namun demikian, aku tidak akan duduk menjilat telapak kakimu. Aku adalah pemimpin perampok dan penyamun yang ditakuti di daerah ini. Aku adalah orang yang dikenal sebagai Iblis Pencabut Nyawa”
Ki Dukut tertawa. Katanya, “jangan membuat nama yang dapat menakuti anak-anak. He. apakah kau pernah mendengar namaku?“
“Siapa kau?“ bertanya pemimpin perampok itu.
“Aku adalah Rajawali Penakluk Bumi” berkata Ki Dukut. Lalu, “Mungkin aku dapat membuat nama yang lebih mengerikan. Namun nama itu tidak berarti apa-apa bagiku. Sekarang, marilah kita berbicara tentang diri kita masing-masing”
“Apa maksudmu lewat dengan sengaja di daerah ini” bertanya pemimpin perampok itu.
“Aku adalah pemimpin perampok yang selama ini bertualang tanpa kawan selain seorang saja. Tiba-tiba aku ingin mempunyai lebih dari satu kawan. Karena itu, bagaimana jika aku saja yang memimpin kelompok pe-rampok di sini. Kau akan menjadi pemimpin kedua yang namamu akan terangkat pula karena tingkat ilmuku yang tanpa lawan”
Pemimpin perampok itu menggeram. Ia benar-benar merasa terhina mendengar keterangan Ki Dukut yang sombong itu. Bahkan seolah-olah merasa dirinya manusia yang lain dari manusia kebanyakan sehingga tidak mungkin terkalahkan.
Karena itu, maka iapun menjawab, “Ki Sanak yang menyebut dirinya Rajawali Panakluk Bumi. Jangan kau kira bahwa aku sama sekali tidak akan berdaya menghadapi kau berdua. Mungkin kau memang seorang yang memiliki ilmu yang tidak terkalahkan di daerah yang tidak aku kenal. Tetapi disini, kau tidak akan berarti apa-apa bagiku, sehingga jika kau ingin bekerja bersama kami, maka kau akan menjadi orang yang paling rendah dalam tataran kami”
“He, apakah kau tidak melihat kenyataan yang terjadi di hadapanmu Iblis? Tiga orangmu sama sekali tidak berdaya. Itupun aku hanya sekedar bermain-main Apalagi jika aku bertempur dengan sungguh-sungguh”
“Persetan” geram pemimpin perampok yang menyebut dirinya Iblis Pencabut Nyawa itu, “kau belum mengenal aku seperti aku belum mengenalmu. Jangan terlampau sombong”
“Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi yang jelas bahwa aku tidak akan dapat kau sebut orang yang akan berada ditataran terendah” jawab Ki Dukut Pakering.
Pemimpin perampok itu tidak sabar lagi. Sikap Ki Dukut benar-benar sangat menyakitkan hati.
Karena itu, maka ia pun segera bersiap dengan senjata di tangan. Ia ingin menjajagi, apakah kemampuan orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu benar-benar memiliki ilmu yang tinggi seperti sikap sombongnya.
Ki Dukut pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ia masih sempat berkata, “Iblis yang jinak. Marilah kita membuat janji”
“Apa janjimu?“ bertanya pemimpin perampok itu.
“Kita akan bertempur. Mungkin kau tidak ingin bertempur seorang diri. Baiklah. Kau dapat bertempur berempat atau bahkan berlima sama sekali. Aku hanya berdua. Tetapi kita membuat taruhan” jawab Ki Dukut.
“Apakah taruhannya?“ bertanya pemimpin perampok itu.
“Jika kami berdua kalah, kau dapat memperlakukan kami sesuai dengan keinginanmu. Mungkin kau akan mengambil milik kami, atau kalian akan mencincang kami atau semacam hukum picis atau terserahlah, akan kalian perlakukan apa saja atas kami. Tetapi jika kami menang, kalian harus tunduk kepada kami, dan aku akan menjadi pemimpin kalian disini. Sebenarnyalah bahwa aku mempunyai cita-cita yang barangkali akan sangat menyenangkan bagi kalian”
“Persetan” geram pemimpin perampok itu, “aku tidak peduli. Jika kau kalah, kau memang akan aku bunuh. Tetapi aku ingin melihat kau menyesali kesombonganmu Aku ingin memasukkan kau kesarang semut dompo. Semut merah berkepala hitam. Kau akan disayat-sayat oleh semut itu menjadi gumpalan-gumpalan daging dan kerangka. Untuk mati. diperlukan waktu dua atau tiga hari”
Ki Dukut tertawa. Katanya, “Bagus sekali. Aku belum pernah mendengar nama semut dompo yang berwarna merah dan berkepala hitam. Tetapi jika jenis itu memang ada di hutan-hutan sekitar tempat ini, maka agaknya memang menarik sekali untuk melemparkan satu dua orang di antara kalian. Aku ingin melihat, bagaimana kira-kira tingkah laku seseorang yang mengalami siksaan seberat itu”
Pemimpin perampok itu benar-benar menjadi marah. Maka sesaat kemudian iapun telah bersiap. Bahkan ia berkata kepada orang-orangnya, “Jangan tinggal diam. Tangkap kedua orang ini. Sudah lama aku tidak memberi makan semut dompo itu”
Orang-orang pun segera bersiap. Tetapi dua orang di antara mereka menjadi termangu-mangu.Mereka sudah tidak memiliki senjata lagi.
Tetapi mereka menjadi heran ketika Ki Dukut berkata, “Ambil senjatamu”
Orang yang kehilangan senjata itu termangu-mangu Namun iapun kemudian mengambil senjatanya, sementara yang senjatanya jatuh ke tangan Ki Dukut Pakering yang mereka kenal bernama Rajawali Penakluk Bumi itu pun telah diserahkannya kembali sambil tertawa. Katanya, “Kau akan memerlukan ini”
Orang itu termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian menerima senjata itu pula, meskipun terasa tangannya menjadi gemetar.
Sikap Ki Dukut Pakering benar menyakitkan hati pemimpin perampok itu. Karena itu, maka ia pun dengan serta merta telah menyerang orang tua yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk Bumi.
Tetapi pemimpin perampok itu benar-benar menjadi heran. Ki Dukut Pakering dan seorang pengikutnya itu mampu bergerak secepat kitat. Bahkan kadang-kadang diluar jangkauan penglihatan para perampok itu.
Apalagi ketika Ki Dukut dan pengikutnya menggenggam senjata pula di tangan mereka. Maka perlawanan para perampok itu hampir tidak berarti sama sekali.
Yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar saling berloncatan dan bahkan kadang-kadang mereka kehilangan arah sama sekali, sehingga mereka menjadi kebingungan.
Pertempuran itu ternyata tidak berlangsung lama. Satu demi satu senjata para perampok itu telah lepas dari tangan. Segores demi segores senjata Ki Dukut dan pengikutnya telah melukai lawannya. Namun agaknya Ki Dukut dan pengikutnya itu sama sekali tidak bernafsu untuk membunuh mereka. Dalam keadaan yang gawat Ki Dukut masih berkata, “Menyerah sajalah. Aku bermaksud baik. Aku tidak akan menghukum kalian, apalagi memasukkan kalian ke sarang semut dompo itu. Tetapi jika kalian berkeras untuk bertempur terus, mungkin aku akan mempertimbangkannya, apakah kalian akan aku masukkan ke dalam sarang semut itu, atau aku akan mangambil sikap lain”
Betapapun garangnya, namun ancaman Ki Dukut Pakering itu benar-benar menggetarkan hati. Pemimpin perampok yang telah menjelajahi daerah petualangan yang luas itupun tergetar hatinya melihat kemampuan Ki Dukut Pakering yang menyebut dirinya sebagai Rajawali Penakluk Bumi.....
“Aku masih memberi kesempatan kalian untuk menyerah” berkata Ki Dukut, “atau benar-benar aku akan mengambil sikap yang dapat membuat kalian menyesal”
Para perampok itu termangu-mangu. Sekilas mereka memandang pemimpin mereka yang menjadi ragu-ragu pula.
“Aku berjanji, bahwa aku tidak akan membuat perubahan apapun dalam lingkungan hidup kalian. Aku hanya ingin menjadi pemimpin kalian. Kemudian memperluas pengaruh kelompok yang aku pimpin sehingga kita semuanya akan menjadi kelompok yang paling kuat di antara kelompok-kelompok perampokan dan penyamun. Kita semuanya akan memperluas daerah kita dan menguasai sumber hidup ditempai yang luas. Kita akan menentukan batas penjelajahan dan kitalah yang akan membagi kemungkinan bagaimana masa depan kita semuanya”
Hampir diluar sadar, maka para perampok itu seakan-akan telah menghentikan perlawanan. Bahkan pemimpin merekapun akhirnya harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu meskipun ia memanggil kawan-kawannya yang lain. Karena itu, agaknya ia memilih untuk tetap hidup meskipun tidak lagi sebagai pemimpin, daripada dilemparkan ke dalam sarang semut dompo yang sangat ditakuti.
“Apakah kalian menerima tawaranku?“ bertanya Ki Dukut.
Pemimpin perampok itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku tidak dapat melawan kehendakmu. Karena itu, jika kau berjanji untuk memperlakukan kami dengan baik, aku akan bersedia memenuhi keinginanmu”
Ki Dukut pun kemudian tersenyum. Katanya, “Aku berjanji. Aku bukan pembunuh yang kasar. Aku hanya membunuh jika terpaksa. Demikian juga atas korban-korbanku dalam petualanganku”
Pemimpin perampok itu pun kemudian menyarungkan senjatanya sambil berkata, “Kami akan menempatkan diri sebagai pengikutmu”
Ki Dukut mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Tunjukkan aku, dimana tempat tinggalmu. Atau tepatnya, dimana sarangmu”
Sekelompok perampok itu pun kemudian membawa Ki Dukut ke dalam sarangnya, yang terletak di sebuah goa di lereng pegunungan.
Beberapa orang yang berada di goa itu terkejut melihat kehadiran dua orang asing di tempat tinggal mereka. Seorang yang berwajah gelap penuh dengan goresan-goresan bekas luka melangkah menyongsong kedatangan mereka sambil bertanya kepada pemimpin perampok itu, “Siapakah mereka, dan apakah maksud mereka datang kemari?”
“Orang ini adalah pemimpin kita yang baru” desis pemimpin perampok itu.
Orang berwajah kasar penuh goresan bekas luka itu menjadi tegang. Katanya, “Apakah kau bergurau?“
“Tidak. Aku tidak bergurau. Aku berkata sebenarnya” jawab pemimpin yang telah dikalahkan oleh Ki Dukut itu.
“Kau gila” geram orang berwajah kasar itu, “aku mengakui kau sebagai pimpinan kami karena kau memiliki perhitungan yang luas di daerah perburuan yang rumit ini. Kau disegani oleh beberapa orang pemimpin perampok yang lain. Kau jugalah yang mula-mula menghimpun kami dalam satu kelompok yang memiliki kekuatan yang kini dapat kita banggakan. Lalu, apakah artinya kedatangan orang baru yang tiba-tiba saja menyebut dirinya pemimpin karni disini”
Pemimpin perampok yang telah dikalahkan oleh Ki Dukut itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sudah dikalahkannya”
“Gila” geram orang berwajah cacad itu. Lalu katanya, “sebenarnya aku mengakui kau sebagai pimpinan di daerah ini karena kemampuanmu mengurangi masalah-masalah yang pelik yang timbul di antara pekerjaan pekerjaan kami. Bukan karena aku mengakui kau adalah orang yang paling kuat disini. Jika kau kemudian menyerah kan kedudukan ini kepada orang lain yang, telah mengalahkanmu, maka akupun berhak melakukannya. Dari pada pimpinan kelompok ini jatuh ke tangan orang yang tidak kita kenal, maka aku menuntut, agar aku sajalah yang menjadi pimpinan disini”
Bekas pemimpin perampok yang telah dikalahkan itupun berkata, “Terserahlah kepadamu. Aku sudah tidak dapat berbuat sesuatu. Jika kau ingin memperbandingkan ilmu, lakukanlah jika orang baru yang menyebut dirinya Rajawali Panakluk Bumi ini bersedia melayanimu”
“Aku akan membunuhnya. Melawan atau tidak melawan. Ia sudah melihat daerah ini. Ia sudah melihat tempat kedudukan kita yang mungkin akan berakibat buruk bagi kita” geram orang itu.
Pemimpin perampok yang sudah dikalahkan itupun kemudian bersikap acuh tidak acuh sambil berkata, “Aku bukan pemimpin lagi disini. Bicarakan dengan orang asing itu”
“Persetan“ orang berwajah cacad itu menggeram, “apakah kau benar-benar ingin menjadi pemimpin disini?“ iapun kemudian bertanya kepada Ki Dukut.
“Ya” jawab Ki Dukut singkat, “apakah kau berkeberatan?“ Sikap Ki Dukut benar-benar menyakitkan hati. Karena itu, maka orang itupun membentak, “Baik. Kita akan melihat, siapakah yang paling pantas untuk menjadi pimpinan disini”
Ki Dukut tersenyum. Katanya, “Sikapmu bagus sekali. Bukan hanya kau, tetapi setiap orang disini akan yakin tentang aku”
Kata-kata itu semakin membuat jantung orang berwajah kasar itu bagaikan terbakar. Orang tua itu nampaknya tidak menyakinkan bahwa ia dapat mengalahkan pemimpin perampok yang diakui dan disegari! oleh beberapa kelompok yang lain.
Karena itu, maka orang berwajah kasar itupun segera melangkah semakin mendekat. Dengan suara lantang ia berkata, “Jangan menyesal jika kau akan mati disini sebelum kau berhasil memperdayakan aku. Agaknya kau telah membius pemimpinku dan memaksanya mengakui kau sebagai pemimpinnya dalam ketidak sadarannya”
“Aku telah dikalahkan” teriak pemimpin perampok yang sudah menyerahkan pimpinan itu.
“Persetan” geram orang berwajah cacat itu.
“Sebaiknya kau memang mengetahui siapakah yang kau hadapi. Baru kemudian kau dan orang-orang lain yang ada disini akan yakin, bahwa aku memang Rajawali Penakluk Bumi. Bukan hanya kelompok ini sajalah yang akan aku taklukkan. Tetapi setiap gerombolan perampok yang kita dengar namanya, akan kita datangi dan kita taklukkan. Yang melawan kita hancurkan, yang dengan suka. rela menyerah, akan kita beri wewenang di daerah jelajah tertentu”
“Omong kosong” geram orang berwajah kasar itu, “bersiaplah untuk mati. Kita akan berperang tanding. Kau atau aku”
“Kau tidak usah sesorah” jawab Ki Dukut, “marilah. Jika kau ingin mati, sebaiknya kau memang membunuh diri. Tetapi kau tidak akan berarti apa-apa bagiku”
Orang itu tidak lagi dapat menahan diri. Darahnya sudah mendidih, sehingga dengan serta merta iapun telah meloncat menyerang.
Ki Dukut mengerutkan keningnya. Ia melihat orang itu memang memiliki kemampuan dan kekuatan yang cukup, yang memang dapat dibanggakan diantara mereka. Tetapi bagi Ki Dukut, yang dilakukan oleh orang itu memang tidak banyak berarti. Karena itu, maka Ki Dukutpun sempat mengelak dan dengan cepat ia menangkap tangan orang itu menariknya dan kemudian memutarnya dengan kekuatan yang besar.
Orang itu bertempur satu lingkaran. Ketika Ki Dukut melepaskannya, maka ia justru terlempar dan jatuh terguling di tanah.
Ki Dukut tertawa. Katanya, “Bangkitlah anak nakal. Jangan banyak tingkah. Menyerah sajalah dan akui aku sebagai pemimpinmu”
Orang berwajah kasar yang terbanting itu memandang Ki Dukut dengan mata yang bagaikan membara. Perlahan-lahan ia bangkit sambil menggeram.
“Anak setan” katanya, “kau kira caramu yang kasar itu dapat menggetarkan hatiku”
“O, kau anggap aku bermain kasar” jawab Ki Dukut, “baiklah. Aku akan mengimbangi permainanmu”
“Kau sudah melakukannya” jawab orang berwajah kasar itu, “sekarang sudah saatnya aku membunuhmu”
Ki Dukut mengerutkan keningnya melihat orang berwajah kasar itu meloncat mengambil senjatanya yang bersandar pada dinding padas. Sebuah bindi kayu yang besar belimbingan dengan lingir baja.
“Senjatamu memang menakutkan” geram Ki Dukut, “tetapi itu tidak akan berarti apa-apa bagi Rajawali Penakluk Bumi”
Orang berwajah kasar itu sama sekali tidak menjawab. Ia langsung meloncat menerkam dengan ayunan bindinya yang berat.
Tetapi Ki Dukut masih sempat tertawa. Ia sudah bertekad untuk menunjukkan kemampuannya sehingga orang-orang yang menyaksikannya menjadi yakin, bahwa ia memang orang yang tidak ada bandingnya.
Karena itu, Ki Dukut tidak mau memperpanjang waktu perlawanan orang berwajah kasar itu. Demikian senjata itu terayun, maka Ki Dukut pun telah meloncat kesamping. Pada saat senjata itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya, maka Ki Dukut lah yang meloncat demikian cepatnya sehingga hampir tidak tertangkap oleh tatapan mata telanjang.
Dengan serta merta, Ki Dukut menangkap pergelangan tangan orang itu, memilinnya dan dengan hentaknya yang kuat melemparkan senjata itu dari tangan orang berwajah kasar itu. Ternyata Ki Dukut benar-benar ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat. Karena itu, maka tanpa melepaskan tangan yang dipilihnya, Ki Dukut menangkap tengkuk lawannya dan menekannya dengan kuat.
Terdengar orang itu mengaduh. Dengan sisa kekuatannya ia berusaha menghentakkan dirinya. Tetapi tangkapan tangan Ki Dukut bagaikan himpitan sepasang gunung, sehingga semakin kuat ia berusaha, maka tangan dan tengkuknya justru menjadi semakin sakit.
“Aku dapat membunuhmu sekarang” berkata Ki Dukut, “tetapi aku tidak ingin melakukannya. Kau memang tidak berarti apa-apa bagiku, tetapi bagi kelompok kecil ini, aku kira tenagamu memang dibutuhkan”
Orang itu tidak menjawab. Yang terdengar adalah gejolak jantungnya yang berdentangan.
“Katakan“ desak Ki Dukut, “apakah yang kau kehendaki kemudian. Pimpinan, kematian atau apa?“
Orang itu tidak segera menjawab. Masih terdengar ia menggeram. Tetapi masih terdengar pula ia mengeluh kesakitan.
“Jawablah” berkata Ki Dukut, “aku adalah orang yang baik bagi kalian. Juga bagi orang gila ini. Kau mau apa sekarang? Aku akan memenuhi permintaanmu”
Orang itu masih berdiam diri. Tetapi ketika tangan Ki Dukut menekan semakin keras, maka iapun mengeluh semakin keras pula.
Tetapi Ki Dukut Pakering melepaskannya. Ia justru menekan semakin keras, sehingga orang itu berteriak karenanya.
“Tanganmu dapat patah, dan kau akan aku biarkan terkapar disini. He, apakah begitu maumu?“ bertanya Ki Dukut.
“Tidak“ orang itu berteriak.
“Jadi apa?“ bentak Ki Dukut.
“Aku menyerah“ akhirnya orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan itu lagi. Ia tidak ingin tangannya patah dan kemudian dibiarkannya dirinya terkapar di antara batu-batu padas.
Ki Dukut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melepaskan orang itu dan mendorongnya sehingga orang itu jatuh terjerembab.
“Nah, siapa lagi yang tidak yakin terhadap kemampuanku?“ bertanya Ki Dukut kepada orang-orang yang memandang perkelaian itu dengan tegang.
Tidak seorangpun yang menjawab. Bahkan seolah-olah mereka telah membeku di tempatnya. Ujung jaripun tidak dapat mereka gerakkan, karena rasa-rasanya mereka telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat.
“Nah, jika tidak ada lagi yang ingin mencoba kemampuanku, maka sekarang aku adalah pemimpinmu” berkata Ki Dukut.
Tidak seorangpun yang membantah. Mereka tidak dapat menolak kehadiran orang baru itu. Karena adalah suatu kenyataan bahwa orang itu memang tidak dapat dikalahkan oleh orang-orang terbaik dari gerombolan itu.
Karena itu, maka tidak seorang pun yang tidak menerima keadaan baru di dalam lingkungan kecil itu. Dengan berbagai pertanyaan yang bergulat disetiap hati, mereka menunggu, apakah yang kemudian akan terjadi.
Ternyata Ki Dukut yang kemudian menjadi pemimpin sekelompok perampok dan penyamun itu tidak membuat ketentuan-ketentuan baru. Ia lebih banyak membiarkan pemimpin yang lama melakukan kegiatan seperti yang selalu mereka lakukan.
Namun pada saat tertentu, tiba-tiba Ki Dukut itu memanggil semua orang di dalam gerombolannya untuk berkumpul. Dengan hati yang bertanya-tanya, maka setiap orangpun kemudian berkumpul di seputar Ki Dukut yang duduk berdampingan dengan pengikutnya yang setia, yang datang bersamanya ke tempat itu.
Ternyata yang dikatakan oleh Ki Dukut agak mengejutkan setiap orang di dalam gerombolan itu. Dengan nada yang pasti Ki Dukut berkata, “Aku adalah Rajawali Penakluk Bumi. Karena itu, aku tidak dapat duduk berdiri dan puas dengan keadaan seperti ini”
“Apakah maksudmu?“ bertanya bekas pemimpin gerombolan itu.
“Kita harus menembus batas jelajah kita. Kita tidak tidak puas dengan batas yang sekarang. Kita harus bebas menentukan daerah petualangan kita” berkata Ki Dukut
Orang-orang yang ada di dalam kelompok itu termangu-mangu. Bahkan orang berwajah kasar itu berkata, “Rajawali Penakluk Bumi. Bukankah dengan demikian berarti kita akan membenturkan diri dengan kekuatan-kekuatan di sekitar kita”
“Itulah yang aku kehendaki. Dengan demikian kita akan menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang paling kuat di antara gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun yang ada di daerah ini. kita akan menguasai keadaan dan akhirnya kita akan mengatur segala-galanya”
Para pengikutnya menjadi ragu-ragu. Meskipun gerombolan itu adalah gerombolan yang disegani, tetapi jika gerombolan itu mulai melanggar persetujuan, maka gerombolan itu akan berhadapan dengan beberapa kelompok sekaligus.
Tetapi agaknya Ki Dukut yang disebut Rajawali Penakluk Bumi itu menjadi gembira. Bahkan katanya, “Kita harus dapat membuktikan, bahwa kita benar-benar dapat menjadi sebuah gerombolan yang paling berkuasa. Nah, siapakah yang berkeberatan”
Orang-orang yang mendengarkan rencana itu menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak berani menyatakan perasaan mereka. Bahkan mereka mencoba menilai Ki Dukut itu sendiri dihadapkan pada kemungkinan pelaksanaan rencana itu.
“Orang itu memang luar biasa” berkata orang-orang itu di dalam hati.
Karena tidak ada yang menjawab, maka Ki Dukutpun berkata, “Baiklah. Kediaman kalian dapat aku baca. Kalian ragu-ragu. Mungkin kalian kurang kepercayaan kepada diri kalian sendiri” ia berhenti sejenak, lalu, “baiklah. Mulai hari ini, kalian akan aku latih bertempur lebih baik lagi. Bertempur dengan tata gerak yang lebih teratur, sehingga dengan demikian, kemampuan kalian akan meningkat. Dasar yang ada pada kalian akan aku coba untuk aku kembangkan”
Sepercik kegembiraan nampak di wajah orang-orang kasar itu. Sebenarnyalah ada rasa muak di hati Ki Dukut melihat orang-orang yang berada di sekitarnya. Jika ia harus mengajar mereka berlatih olah kanuragan, maka itu berarti bahwa peningkatan kemampuan itu akan dapat dimanfaatkannya.
“Tidak harus mendapat pengikut yang cukup untuk menghancurkan padepokan Ki Kasang Jati dan kemudian menghancurkan istana Pangeran yang gila itu meskipun aku harus mengorbankan semua orang-orang dungu yang kasar ini” berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Demikianlah, maka sejak hari itu, Ki Dukut mulai meningkatkan kemampuan orang-orang kasar itu. Pada dasarnya mereka sudah memiliki kemampuan berkelahi meskipun masih terlalu kasar, bodoh dan kadang-kadang hanya bersandarkan pada kekuatan tenaga semata-mata tanpa landasan ilmu yang paling sederhana sekalipun.
Yang mula-mula dikerjakan oleh Ki Dukut adalah, memilih orang-orangnya dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah. Ia mempergunakan cara yang berbeda bagi mereka yang berbeda dasar ilmu dan pengalaman.
Dibantu oleh pengikutnya yang setia, ia mulai mengajari orang-orang kasar itu. Bagi mereka yang sudah mempunyai landasan ilmu yang cukup, Ki Dukut berusaha untuk memperkaya unsur-unsur gerak yang mereka miliki. Memberikan arah dan petunjuk apa yang dapat mereka lakukan dengan unsur-unsur gerak itu. Sedangkan bagi mereka yang hanya mampu berkelahi dengan tenaga kasar mereka, pengikut Ki Dukut itu mulai memperkenalkan mereka dengan olah kanuragan. Bagaimana mereka harus mempergunakan anggauta badan mereka sebaik-baiknya. Bagaimana mereka harus mempergunakan tenaga dan kekuatan mereka. Dengan demikian maka mereka tidak akan lagi menghambur-hamburkan tenaga dan kekuatan tanpa arti di dalam perkelahian-perkelahian yang akan terjadi. Dengan menguasai tubuh mereka sebaik-baiknya, maka mereka akan dapat melakukan gerak yang benar-benar terarah.
Karena pada dasarnya orang-orang itu adalah orang-orang yang berpengalaman berkelahi dan bertempur betapapun kasarnya, maka usaha Ki Dukut untuk meningkatkan kemampuan mereka ternyata tidak begitu sulit. Orang-orang itu dengan penuh kemauan telah berusaha sebaik-baiknya melakukannya semua petunjuk dan latihan-latihan yang diberikan oleh Ki Dukut dan pengikutnya, karena dengan demikian mereka merasa mendapat bekal yang lebih baik bagi pekerjaan mereka yang telah mereka lakukan sejak lama.
Dalam waktu yang terhitung singkat, maka para perampok yang dipimpin oleh Ki Dukut itu sudah menjadi semakin trampil bermain senjata. Mereka tidak lagi sekedar bergerak dan meloncat-loncat sambil mengayunkan senjata, tetapi mereka sudah mulai dapat memperhitungkan untung dan rugi bagi gerakan-gerakan mereka yang meskipun masih nampak kasar, tetapi sudah mulai terkendali.
Dalam pada itu, ketika orang-orangnya sudah semakin meningkat kemampuannya, maka Ki Dukut telah mengulangi niatnya untuk melebarkan daerah pengaruh mereka. Meskipun masih ada juga satu dua orang yang ragu-ragu, namun sebagian besar dari mereka yang merasa sudah mempunyai bekal yang lebih mantap itupun dengan senang hati menerima pendapat Ki Dukut yang ternyata memang lebih baik dari pemimpin mereka yang terdahulu.
“Kita akan menerobos batas perjanjian yang telah dibuat” berkata Ki Dukut, “dengan demikian akan segera timbul perselisihan. Justru perselisihan itulah yang kita kehendaki”
Sebagian besar dari orang-orangnya justru menjadi gembira. Mereka ingin mencoba, apakah mereka benar-benar sudah menjadi lebih baik dari masa-masa sebelumnya.
“Kita tidak lebih baik dari mereka” berkata salah seorang dari mereka kepada kawannya, “tetapi sekarang mungkin keadaannya akan berbeda”
Demikianlah, maka Ki Dukut pun telah merencanakan hari yang akan dipergunakan untuk mulai dengan usahanya, memperluas pengaruhnya terhadap gerombolan-gerombolan yang ada di sekitarnya.
Tetapi jarak terdekat dari batas jelajah gerombolan yang dipimpin oleh Ki Dukut itu adalah sebuah gerombolan yang berada di seberang bukit padas, di hutan yang lebat. Mereka tinggal di dalam gubug-gubug yang mereka buat di dalam hutan itu. Untuk mencapai tempat itu, mereka harus berjalan sehari penuh.
Namun Ki Dukut benar-benar telah bertekad. Karena itu, maka di dini hari, sebagian besar dari anggauta gerombolan itu dipimpin oleh Ki Dukut sendiri yang mereka kenal dengan gelar Rajawali Penakluk Bumi itu, berangkat ke hutan di seberang bukit padas.
Hanya sebagian kecil saja dari anggauta gerombolan itu yang tinggal. Mereka menunggui tempat tinggal dan harta benda yang mereka peroleh dari kejahatan yang mereka lakukan.
Sehari penuh gerumbolan itu berjalan, Baru setelah malam menjadi kelam mereka telah mendekati sarang gerombolan yang ingin mereka jerat ke dalam pengaruh mereka.
“Kita tidak boleh tergesa-gesa” berkata Ki Dukut, “kita sekarang sedang telah. Karena itu, jika terjadi benturan kekuatan, maka sebagian kekuatan kita telah terhisap di perjalanan. Karena itu kita akan beristirahat semalam suntuk. Besok pagi-pagi kita akan melihat keadaan. Baru kemudian kita akan menentukan langkah. Sementara itu kekuatan kita sebagian telah pulih kembali”
Dengan demikian maka Ki Dukut dan orang-orangnya semalam suntuk telah tidur nyenyak. Hanya dua orang berganti-ganti sajalah yang berjaga-jaga jika ada sesuatu diluar perhitungan mereka.
Ketika matahari terbit di Timur, maka orang-orang itupun mulai mempersiapkan diri. Tetapi mereka tidak segera berbuat sesuatu, sementara tubuh mereka telah menjadi segar kembali.
“Kita akan memancing mereka” berkata Ki Dukut, “mereka harus kita buat marah dan mereka akan kehilangan pengamatan diri”
Namun sebelumnya Ki Dukut telah memberikan banyak pesan kepada anak buahnya agar mereka tidak kehilangan pengamatan diri. Bahwa mereka harus tetap mempergunakan nalar selama mereka menghadapi lawan yang bagaimanapun juga.
“Jangan sekali-kali merendahkan lawan” berkata Ki Dukut, “jika kita lengah, maka kita sudah mulai menginjakkan sebelah kaki kita ke dalam bencana”
Ki Dukut dan bekas pemimpin gerombolan itu bersama pengikut Ki Dukut yang setia telah lebih dahulu melihat keadaan gerombolan yang tinggal di hutan itu. Dengan hati-hati mereka berusaha untuk mendekat. Dari jarak yang memungkinkan dapat mereka capai tanpa diketahui oleh penghuni gubug-gubug itu, Ki Dukut dapat menduga, berapa besar kekuatan yang bakal dihadapinya.
“Di siang hari mereka berkumpul” berkata bekas pemimpin gerombolan itu.
Ki Dukut Pakering yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kebetulan sekali. Jika mereka berkumpul, maka mereka akan melihat, bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak menghadapi kelompok kita. Kita tidak usah berbuat lagi untuk menya-kinkan orang-orang yang sedang tidak ada di dalam sarang mereka”
Bekas pemimpin gerombolan itu mengangguk-angguk Lalu iapun bertanya, “Jadi, bagaimana maksudmu kemudian?“
“Menilik jumlah barak dan kesibukan mereka, maka mereka tidak memiliki kekuatan melampaui kekuatan kita. Karena itu, maka kita akan memancingnya dan kemudian mengalahkan mereka. Tetapi kita datang tidak untuk membunuh. Kita datang untuk menaklukkan mereka, sehingga mereka akan menjadi sekelompok penjahat yang berada dibawah pengaruh kita” jawab Ki Dukut.
“Jika demikian, apakah aku harus memanggil kawan-kawan” bertanya bekas pemimpin gerombolan itu.
Ki Dukut mengangguk-angguk. Katanya, “Siapkan mereka. Aku akan memancing mereka keluar dari sarangnya. Kita akan bertempur di tempat yang luas, sehingga kita berkesempatan menunjukkan kemampuan kita. Jika mereka kemudian menyerah, maka kita tidak akan membunuh seorang pun di antara mereka. Kecuali jika ada di antara mereka yang keras kepala”
Bekas pemimpin gerombolan itu pun kemudian bergeser surut dan kembali ke tempat kawan-kawannya. Setelah memberikan beberapa pesan seperti yang diberikan oleh Ki Dukut, maka iapun membawa orang-orangnya mendekati tempat Ki Dukut bersembunyi.
Tetapi yang ditemukan di tempat itu tinggallah pengikutnya saja. Ternyata Ki Dukut telah merayap mendekat, memancing perhatian lawan agar mereka keluar dari sarangnya.
“Kita akan menunggu di sini” berkata pengikut Ki Dukut itu.
“Apakah kita akan menunggu perintah?“ bertanya bekas pemimpin gerombolan itu.
“Ya. Ki Dukut akan memberikan isyarat. Kita akan segera bertindak” jawab pengikutnya.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang sudah siap itu masih menunggu beberapa saat, sementara Ki Dukut merayap mendekati sarang gerombolan yang menjadi sasaran perluasan pengaruhnya.
Sejenak Ki Dukut menunggu. Ketika kemudian ia melihat dua orang lewat beberapa langkah di hadapannya, maka Ki Dukut itupun meloncat berlari ke balik sebuah gerumbul.
Ternyata Ki Dukut berhasil menarik perhatian kedua orang itu. Salah seorang dari keduanya berteriak, “He, siapa kau?“
Ki Dukut tidak menjawab. Tetapi ia meloncat lagi ke balik gerumbul yang lain lagi.
Kedua orang itu pun yakin, bahwa orang itu bukan salah seorang dari kawan-kawannya. Karena itu, maka keduanyapun segera mengejarnya.
Tetapi keduanya tidak menyadari, siapakah orang yang bersembunyi di balik gerumbul itu. Karena itulah, maka demikian mereka mendekat, maka keduanya bagaikan dilemparkan oleh kekuatan yang tidak mereka mengerti. Demikian mereka terbanting di tanah, maka rasa-rasanya punggung mereka bagaikan patah.
Kemarahan yang memuncak telah mendorong mereka untuk segera bangkit dan menarik senjata masing-masing. Bahkan hampir di luar sadar, maka keduanya pun berteriak memanggil kawan-kawannya.
“Ada apa?“ seorang yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan berjambang datang berlari-lari.
“Seseorang bersembunyi di balik gerumbul itu”
“Setan alas. Tetapi apakah kau tidak mengigau?“ bertanya orang berdada bidang itu.
“Aku melihat sendiri”
“Kenapa kau berteriak-teriak seperti melihat hantu, apalagi hanya seseorang” Geram orang bertubuh tinggi itu.
Keduanya tidak menjawab. Mereka merasa agak malu juga mengatakan bahwa mereka telah terlempar tanpa dapat berbuat apa-apa.
Namun dalam pada itu, beberapa orang yang lain telah datang pula. Masing-masing dengan jenis senjata mereka yang menyeramkan.
“Kepung tempat itu, agar orang itu tidak dapat lari” geram orang bertubuh tinggi itu.
Namun dalam pada itu, orang-orang itupun terkejut ketika mereka melihat Ki Dukut telah meloncat berlari. Dengan serta merta orang-orang itupun berteriak, “Jangan biarkan mereka lari”
Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar orang yang akan mereka kejar itu bersuit nyaring. Mereka pun segera menyadari bahwa orang itu tentu tidak sendiri.
“Bersiaplah“ orang bertubuh tinggi itu menggeram, “agaknya ada orang-orang gila jemu hidup datang ke rumah kita. Kita akan menyambutnya sebagai tamu yang paling terhormat”
Dalam pada itu, ketika orang-orang berikutnya ke luar dari gubug-gubug di hutan itu, maka orang-orang yang berpihak kepada Ki Dukut pun telah mendekat pula. Tetapi sesuai dengan pesan Ki Dukut, mereka berada di tempat yang agak terbuka.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang keluar dari sarangnya dengan senjata masing-masing itupun segera bergerak maju. Mereka sadar, bahwa mereka akan berhadapan dengan sekelompok orang yang belum mereka ketahui. Bukan hanya berhadapan dengan seseorang saja.
Pemimpin mereka ternyata adalah seorang yang bertubuh tinggi pula. Tetapi orang itu tidak berjambang. Bahkan kepalanya hampir tidak ditumbuhi rambut lagi. Namun demikian, matanya bagaikan menyorotkan api, sementara giginya terdengar gemeretak.
“Orang-orang gila manakah yang telah berani mendekati tempat ini” geramnya.
Dalam pada itu, maka orang-orang Ki Dukut pun telah bersiap pula. Ketika Ki Dukut kembali kepada mereka, maka iapun berkata, “Mereka akan segera datang”
Sejenak orang-orang Ki Dukut yang manyebut dirinya sebagai seekor Rajawali itu masih harus menunggu. Ki Dukut telah berhasil mengusik mereka seperti membasahi sarang semut.
“Berhati-hatilah” berkata Ki Dukut kepada orang-orangnya, “mereka sedang dibakar oleh kemarahan. Tetapi kalian jangan kehilangan akal. Kalian telah memiliki dasar-dasar olah kanuragan yang barangkali lebih dari mereka. Karena itu, kalian harus tetap mempergunakan akal yang terang, sehingga kalian tidak akan kehilangan kemampuan kalian yang baru pada tataran permulaan itu. Hadapi mereka dengan sadar”
Orang yang sudah bersiap itu menjadi semakin mantap. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu, karena mereka segera ingin menunjukkan bahwa mereka telah memiliki dasar-dasar kemampuan ilmu kanuragan. Bukan sekedar mengandalkan kekuatan tenaga wadag mereka dengan kasar.
Sejenak kemudian, orang-orang yang marah itu telah datang berlari-lari sambil mengacungkan senjata mereka. Bahkan ada diantara mereka yang berteriak-teriak.
“Mereka datang” berkata Ki Dukut, “marilah, kita akan menyongsong mereka”
Ki Dukut pun kemudian meloncat dari persembunyiannya. Demikian Ki Dukut berdiri, maka orang-orangnya pun berloncatan pula sendiri di sebelah menyebelah. Mereka sudah diajari oleh Ki Dukut, bagaimana mereka harus menempatkan diri. Meskipun tidak lengkap, tetapi mereka telah berdiri di dalam gelar. Gelar garuda nglayang. Sementara Ki Dukut menjadi, paruh dari gelarnya. Pengikutnya yang setia menjadi pendamping yang selalu dekat padanya. Sementara bekas pemimpin gerombolan itu dan orang yang berwajah cacat telah berdiri di kedua ujung menjadi sayap pasukannya, masing-masing bersama beberapa orang.
“Mereka akan terjebak” desis Ki Dukut, “mereka akan menyerang paruh yang nampaknya lemah. Tetapi sayap sebelah menyebelah itu akan segera mencengkam mereka dan sekaligus menguasainya.
Pengikutnya mengangguk-angguk. Di paruh pasukan itu memang hanya ada dua orang. Ki Dukut dan pengikutnya yang setia. Kemudian dua orang di belakang yang menjadi dada pasukannya, sementara di ekor gelar itu terdapat tiga orang berdiri termangu-mangu.
Demikianlah, seperti yang sudah diperhitungkan, maka gerombolan yang marah itu tidak mempunyai perhitungan yang luas seperti Ki Dukut. Mereka langsung menyerang paruh pasukan yang nampaknya tidak akan berdaya sama sekali menghadapi serangan itu.
Ki Dukut dan pengikutnya telah bersiap sepenuhnya. Kemudian terdengar Ki Dukut berkata kepada orang-orang yang berada di belakangnya, “Jika mereka membentur aku. maka aku akan mundur. Kalian akan segera terlibat. Beritahukan kepada ekor pasukan ini, jika ada diantara lawan yang menerobos langsung, maka mereka berkewajib an untuk menahan, sementara sayap itu akan segera bergerak pula.
Demikianlah, maka dengan permainan yang mengasyikkan itu, Ki Dukut menunggu lawannya yang marah. Sekelompok orang berwajah kasar telah berlari-lari mendatangi mereka. Namun beberapa langkah di hadapan Ki Dukut, mereka memperlambat langkah mereka, dan bahkan kemudian mereka telah berhenti.
“Gila, siapakah kalian, ha?“ bertanya orang bertubuh tinggi dan berkepala botak.
“Aku Rajawali Panakluk Bumi” jawab Ki Dukut.
“Persetan” geram orang bertubuh tinggi itu, “apa maumu datang ke sarangku. Apakah kau pemimpin dari sekelompok orang-orang dungu yang tidak tahu, siapakah aku ini he?“ bertanya orang bertubuh tinggi itu.
“Kami adalah kelompok yang semula dipimpin oleh Iblis Pencabut Nyawa. Tetapi kini pemimpin itu ada di tanganku atas kehendaknya, karena aku adalah saudara tuanya yang baru datang dari menyadap ilmu kanuragan yang tidak ada duanya di muka bumi. Karena itulah maka aku disebut Rajawali Panakluk Bumi” jawab Ki Dukut.
“Gila. Jadi kalian ini anak buah si Iblis dungu itu? Seharusnya ia mengenal dengan siapa kalian berhadapan. Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kami. Tetapi apakah maksud kalian sebenarnya datang ke tempat ini? Apakah kalian akan menyerahkan pimpinan gerombolan kepadaku atau kalian minta perlindunganku karena kalian telah diganggu oleh gerombolan lain sehingga daerah buronmu menjadi sempit?“ bertanya orang yang botak itu.
“Tidak” jawab Ki Dukut, “kami datang untuk memperluas daerah pengaruh kami. Kalian harus tunduk kepada kami. Meskipun kalian akan tetap kami beri hak untuk berburu di padang perburuan kalian, tetapi kalian berada dibawah perintah kami. Setiap saat jika kami perlukan, kalian tidak akan dapat menolak. Apakah itu tenaga kalian, apakah harta kekayaan yang telah kalian kumpulkan”
“Kau benar-benar gila” teriak orang berkepala botak itu belum pernah mendengar serba sedikit tentang aku. Tentang Macan Wulung. He, akulah Macan Wulung itu.
Ki Dukut mengangguk-angguk. Katanya, “Namamu lebih baik dari Iblis Pencabut Nyawa. Macan Wulung terdengar lebih sederhana, tetapi lebih berkesan. Sayang, aku datang untuk menaklukanmu”
“Persetan” jawab orang berkepala botak itu, “kalian datang untuk mengantarkan nyawa kalian. Kamisudah siap mencincang kalian disini” geram orang itu sambil memandang berkeliling, lalu, “kenapa kalian berdiri berpencaran? Kau kira dengan demikian kalian dapat menyebak kami?“
“Kami sama sekali tidak ingin menjebak kalian. Kami datang dengan gelar perang yang tidak kau kenal sebelumnya. Sebenarnyalah kami ingin mengalahkan kalian tanpa membunuh seorangpun apabila mungkin. Tetapi jika terpaksa, apaboleh buat”
Orang yang menyebut dirinya Macan Wulung itu menggeram marah. Sikap Ki Dukut benar-benar telah menyakitkan hatinya.
Karena itu, maka ia tidak ingin menunda lebih lama lagi. Orang-orang yang datang dengan sikap yang sombong itu harus dihancurkan. Mereka harus menyadari kebodohan mereka, bahwa mereka telah datang ke sarang gerombolan yang dipimpin oleh seorang yang bernama Macan Wulung.
Dengan demikian maka orang berkepala botak itupun kemudian berteriak, “Bunuh mereka semuanya. Jangan ada yang tersisa”
Tetapi pada saat itu pula Ki Dukut tertawa. Kemudian demikian perintah itu selesai, Ki Dukut pun berteriak, “Jangan kau bunuh seorang pun dari lawan-lawanmu yang menyerah”
“Persetan“ Macan Wulung itu berteriak semakin keras.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Macan Wulung itu telah meloncat menyerang Ki Dukut yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk Bumi. Demikian ia meloncat maju, maka pengikut-pengikutnyapun segera berlari-larian menyerang pula.
Ki Dukut bergeser setapak. Pengikutnya yang setia itupun telah menggenggam senjatanya. Demikian orang-orang yang dipimpin oleh Macan Wulung itu meloncat menyerang, maka senjatanyapun segera berputaran.
Dua orang yang menjadi dada pasukan itupun melangkah maju. Merekapun segera terlihat ke dalam pertempuran. Sementara orang-orang yang lain langsung menyerang tiga yang berdiri agak terpisah. Tiga orang yang menjadi ekor gelar Ki Dukut.
Dalam pada itu, maka untuk sekejap, orang-orang yang berada dipusat gelar itu bagaikan telah ditimbuni dengan lawan yang jumlahnya terlalu banyak. Namun hanya sekejap. Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, maka sayap gelar itupun telah menyergap dari sebelah menyebelah, sehingga dengan demikian, maka orang-orang Macan Wulung itu seolah-olah menghadapi lawan yang datang dari tiga arah.
Pertempuran berikutnya menjadi semakin sengit. Orang-orang Ki Dukut dengan sengaja memancing pertempuran agar meluas. Mereka telah mendapat latihan yang khusus Bertempur bersama-sama dalam satu kelompok, atau bertempur seorang lawan seorang.
Sejenak kemudian, pertempuran itupun telah menebar. Orang-orang Macan Wulung, yang melihat lawan mereka mundur, mula-mula mengira bahwa lawan-lawan mereka telah terdesak justru baru saja kedua gerombolan itu berbenturan.
Tetapi dugaan itu ternyata salah. Demikian pertempuran itu menebar, maka mulai terasa, bahwa orang-orang yang datang itupun ternyata memiliki kemampuan yang cukup sebagai bekal kedatangan mereka ke gerombolan Macan Wulung itu.
Orang-orang Ki Dukut tetap terbagi dalam tiga kelompok. Sayap Kiri dan sayap Kanan menghadap ke induk gelar, sementara induk gelarnya, dipimpin langsung oleh Ki Dukut, sehingga dengan demikian maka Ki Dukut seorang diri dan pengawalnya itu, dapat dihitung sebagai sekelompok orang yang tangguh.
Karena itu, maka Macan Wulung yang berada di dalam arena pertempuran di induk gelar pasukan Rajawali Penakluk itu menjadi heran, bahwa jumlah orangnya yang lebih banyak di bagian pertempuran di induk gelar lawan itu sama sekali tidak berhasil mendesak lawannya.
Bahkan kemudian. Macan Wulung itu melihat betapa orang yang memimpin pasukan lawan itu telah bertempur dengan laku yang aneh.
Sementara itu, orang-orang yang berada di sayap pasukan Ki Dukut itupun telah mengejutkan lawan-lawan mereka. Orang-orang yang datang menyerang sarang mereka itu ternyata memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan mereka.
Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, mulailah keseimbangan pertempuran itu goyah. Orang-orang Ki Dukut sedikit demi sedikit mulai menguasai seluruh arena. Mereka yang harus bertempur seorang melawan seorangpun nampak, bahwa orang-orang Ki Dukut memiliki ketrampilan dan memainkan senjatanya melampaui lawannya.
Macan Wulung mulai bingung menghadapi lawan yang seorang ini. Ia sudah mempunyai pengalaman bertempur yang luas di padang perburuan. Ia pernah bertempur melawan berbagai macam lawan dengan ilmunya masing-masing. Tetapi Macan Wulung belum pernah melihat seseorang mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.
Tetapi Macan Wulung bukan pengecut. Ia masih bertempur untuk meyakinkan diri, apakah benar-benar ia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu yang aneh.
Sementara itu, seperti yang dipesan oleh Ki Dukut, maka orang-orangnya berusaha untuk bertempur dan mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya, meskipun diluar kehendak mereka, kadang-kadang senjata mereka telah melukai lawannya. Tetapi kadang-kadang merekapun tidak dapat mengendalikan diri, sehingga dengan marah mereka menggoreskan senjata mereka ke tubuh lawannya, karena lawannya pun telah melukainya.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Tetapi terasa pada orang-orang Macan Wulung bahwa gerombolan yang datang menyerang itu tidak dengan penuh nafsu berusaha membunuh sebanyak-banyaknya.
“Menyerah sajalah“ tiba-tiba mereka mendengar Ki Dukut berteriak, “kami datang tidak untuk membunuh. Kami datang untuk memperluas pengaruh kami. Jika kalian menyerah, maka kalian berada di bawah perlindungan kami. Tetapi kalian harus tunduk kepada perintah kami”
“Aku sobek mulutmu” geram Macan Wulung.
“Kau sudah berusaha untuk melakukannya” sahut Ki Dukut, “tetapi kau tidak mampu”
Ketika Macan Wulung itu menggeram, maka Ki Dukut justru tertawa berkepanjangan.
Jantung Macan Wulung rasa-rasanya hampir meledak menahan marah melihat sikap Ki Dukut. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Ki Dukut benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang tidak dapat diimbanginya. Bahkan orang-orangnya pun ternyata memiliki beberapa kelebihan daripada orang-orang Macan Wulung yang dibanggakannya itu.
Demikianlah, akhirnya perlawanan Macan Wulung benar-benar telah dilumpuhkan. Beberapa orangnya telah terluka dan tidak mampu lagi berbuat sesuatu, meskipun mereka tidak dibunuh. Sementara Macan Wulung sendiri menjadi bingung, bagaimana ia menghadapi Rajawali yang bertempur bagaikan iblis itu.
Dalam pada itu, untuk lari pun rasa-rasanya tidak ada kesempatan lagi bagi Macan Wulung. Pasukan Rajawali Penakluk itu seolah-oleh telah mengepung mereka dengan rapat.
Demikianlah, maka Macan Wulung itu benar-benar tidak lagi dapat menemukan jalan lain kecuali satu-satunya yang ditawarkan oleh Ki Dukut. Menyerah.
Karena itu, ketika sekali lagi Ki Dukut berteriak agar mereka menyerahkan, maka Macan Wulungpun menjawab, “Aku akan menyerah bersama orang-orangku asal kau bersikap jujur”
“Maksudmu?“ bertanya Ki Dukut.
“Kau jamin keselamatan kami” jawab Macan Wulung.
“Sudah aku katakan bahwa aku memerlukan kalian Karena itu, aku jamin keselamatan kalian” berkata Ki Dukut kemudian.
Macan Wulung pun kemudian berdiri termangu-mangu. Namun akhirnya ia melepaskan senjatanya sambil berkata, “Aku menyerah”
Ki Dukut tertawa. Iapun kemudian meneriakkan isyarat agar pertempuran dihentikan, karena Macan Wulung telah menyerah.
Dengan demikian, maka anak buah Macan Wulungpun telah melepaskan senjata mereka pula. Setelah mereka melihat pemimpinnya menyerah, maka tidak seorang lagi yang berhasrat untuk melawan.
Tetapi mereka menjadi heran, ketika Ki Dukut pun kemudian berkata, “Ambillah senjata kalian. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan berbuat apa-apa”
Macan Wulung dan anak buahnya menjadi ragu-ragu. Tetapi Ki Dukut berkata sekali lagi, “Ambillah senjata kalian”
Betapapun kebimbangan mencekam hati, tetapi orang orang Macan Wulung itupun kemudian mengambil senjata mereka. Sementara itu Ki Dukut berkata, “Persilahkan kami datang ke sarang kalian. Kami akan berada di sini beberapa saat. Tetapi kami akan segera kembali setelah kami memberikan beberapa pesan kepada kalian”
Orang-orang yang keheranan itupun kemudian kembali ke sarang mereka diikuti oleh Ki Dukut dan orang-orangnya. Diantara barak-barak yang berserakkan melingkar, anak buah Macan Wulung itu duduk di tanah.
“Obatilah mereka yang terluka” berkata Ki Dukut baru kemudian aku akan berbicara”
Macan Wulung dan orang-orangnya pun kemudian sibuk mengobati kawan mereka yang terluka dengan obat-obatan yang ada pada mereka. Baru kemudian setelah selesai, Ki Dukut berkata, “Sayang, bahwa ada beberapa orang diantara kalian dan orang-orangku yang terluka. Terlebih-lebih lagi, bahwa ada satu dua orang-orangmu yang terluka berat. Tetapi aku yakin, bahwa mereka akan sembuh”
“Mudah-mudahan” desis Macan Wulung.
“Nah. Sekarang dengarlah. Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak akan berbuat apa-apa atas kalian kecuali didorong oleh keinginanku untuk memperluas pengaruh. Aku ingin mendapat bantuan kalian pada saat-saat yang aku inginkan”
“Bantuan apa?“ bertanya Macan Wulung.
“Aku ingin berkuasa di daerah yang luas. Bahkan aku ingin berkuasa seluas daerah Kediri. Kemudian aku ingin berkuasa seluas tlatah Singasari”
Macan Wulung itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa sambil berkata, “Kau mimpi. Meskipun aku sudah melihat sendiri, bahwa kau mempunyai ilmu yang ajaib, tetapi Kediri dan apalagi Singasari bukan sekedar padukuhan kecil atau sebuah padepokan dengan satu dua orang cantrik, Putut atau jejanggan”
“Jangan menggurui aku” jawab Ki Dukut, “barang kali aku lebih tahu dari pada kau tentang tlatah Kediri dan Singasari” potong Ki Dukut, “tetapi aku memang berkeinginan demikian. Sebagai langkah pertama aku telah mengalahkan kalian disini. Besok atau lusa, aku akan mengalahkan gerombolan-gerombolan yang lain. Kemudian aku akan menguasai padepokan-padepokan yang berpencaran. Menyusun kekuatan untuk mengalahkan Pakuwon-pakuwon kecil. Baru kemudian aku akan madeg kraman, melawan Kediri”
“Aku tidak mengerti” desis Macan Wulung.
“Kau memang bodoh. He. apakah kau tidak pernah mendengar ceritera tentang Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi, yang pada masa kecilnya bernama Ken Arok? Ia mula-mula hidup di daerah kelam seperti aku sekarang. Tetapi akhirnya ia dapat menguasai Tumapel. Dari Tumapel baru ia memanjatkan kekuasaannya lewat pecahnya Kediri. Sehingga akhirnya berdiri Singasari sampai sekarang, meskipun setelah itu terjadi banyak kematian”
“Kau akan menirukannya?“ bertanya Macan Wulung.
“Ya” jawab Ki Dukut.
“Aku juga pernah mendengar ceritera itu meskipun tidak lengkap. Tetapi tentu bukan dalam umur setua kau. Waktumu tinggal sedikit” berkata Macan Wulung.
“Tetapi aku akan melakukannya. Ternyata aku dapat bergerak lebih cepat dari Ken Arok. Karena itu, aku memerlukan waktu yang lebih pendek untuk mencapai maksudku“ Ki Dukut berhenti sejenak, lalu, “tetapi seandainya tidak sepenuhnya, sebagianpun aku tentu sudah merasa puas, Seandainya aku dapat menguasai padepokan kecil itu”
Macan Wulung mengerutkan keningnya. Agaknya tujuan utama orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu adalah sebuah padepokan kecil. Karena itu, maka iapun bertanya, “Padepokan apakah yang kau maksud?“
“Sebuah padepokan” jawab Ki Dukut, “di dalam padepokan itu tinggal sekelompok perampok dan penyamun seperti kita semuanya. Tetapi mereka berada dalam lingkungan hidup yang lebih teratur.. Meskipun demikian, aku akan menaklukkannya juga”
“Hanya sampai padepokan kecil itu?“ bertanya Macan Wulung.
“Di padepokan kecil itu tersimpan syarat dan cara untuk mencapai tataran tertinggi dari derajad manusia di Singasari” desis Ki Dukut.
Macan Wulung tidak begitu mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Dukut. Namun iapun kemudian mengangguk.....
“Nah,” berkata Ki Dukut, “kalian telah berjanji untuk mengikuti segala perintahku. Kali ini aku tidak akan berbuat sesuatu atas kalian. Aku dan orang-orangku akan segera kembali. Mungkin pada suatu saat aku akan memanggil kalian untuk satu tugas yang penting”
Macan Wulung menjadi heran. Apakah artinya perbuatan Ki Dukut yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu. Apakah ia sekedar ingin menunjukkan kelebihannya atau ingin berbuat gila tanpa tujuan tertentu. Atau barangkali ia benar-benar ingin melakukan seperti yang dikatakannya, yang bagi Macan Wulung tidak lebih dari sebuah mimpi.
Tetapi Ki Dukut benar-benar akan meninggalkan sarang Macan Wulung ita Namun demikian ia menyatakan niatnya, maka iapun berpesan, “Jika kalian ingkar, maka pada saat lain kami akan datang bukan dengan niat yang baik seperti sekarang. Tetapi kami akan datang sebagai perampok dan penyamun yang hanya mengenal maut sebagai penyelesaian setiap masalah. Kalian harus menyadari, bahwa kami dapat berbuat demikian”
Macan Wulung tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah bahwa orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu akan dapat berbuat demikian.
Ki Dukut dan orang-orangnya tidak tinggal terlalu lama disarang Macan Wulung. Setelah beristirahat secukupnya, maka mereka pun segera meninggalkan sarang itu tanpa membawa kekayaan dan harta benda yang tertimbun di sarang itu.
Demikian Ki Dukut dan orang-orangnya hilang dibalik pepohonan, maka Macan Wulung bergumam, “Agaknya orang itu orang gila yang sakti. Ia berbuat sesuatu tanpa maksud. Bahkan mungkin di luar sadarnya”
“Tetapi orang gila yang demikian tentu sangat berbanaya. Apalagi bersamanya adalah Iblis yang tamak itu. Pada suatu saat orang gila yang sakti itu akan diperalat oleh Iblis yang tamak dan dengki itu” berkata salah seorang anak buahnya.
“Apakah iblis itu juga yang membawanya kemari?“ bertanya yang lain.
“Tentu tidak” jawab Macan Wulung, “jika Iblis itu yang membawanya, maka ia tentu akan memanfaatkannya, membawa barang-barang yang ada itu sampai tuntas”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun Macan Wulung itupun kemudian berkata, “Memang ada dua kemungkinan. Orang tua itu seorang gila yang sakti, atau kitalah yang sudah dibuatnya gila”
Yang lain tidak menjawab. Tetapi orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu memang orang aneh bagi mereka. Orang itu datang, bertempur, melukai beberapa orang dan kemudian pergi.
Tetapi Macan Wulung pun sudah memperhitungkan, jika orang tua itu bukan orang gila, maka pada suatu saat ia akan datang dan benar-benar akan melakukan seperti yang dikatakannya, merintis jalan ke ahta Singasari.
“Itupun perbuatan gila” geram Macan Wulung.
Demikian, dalam pada itu, Ki Dukut dan orang-orangnyapun langsung kembali ke baraknya. Mereka sama sekali tidak membawa apapun juga. Bukan saja orang-orang Macan Wulung yang heran, bahkan orang-orangnya pun merasa heran juga.
“Barang-barang Macan Wulung itu cukup banyak” berkata salah seorang dari mereka.
“Ya. Sebenarya kita dapat mengambil separuh tanpa dapat mereka cegah” desis yang lain.
“Tetapi Rajawali itu nampaknya sama sekali tidak menghiraukannya” berkata yang pertama.
“Ia mimpi tentang kedudukan tertinggi. Bukan tentang harta benda” desis yang lain pula.
Tetapi kawannya mencibirkan bibirnya sambil menjawab, “Itu tidak mungkin. Mimpi itu justru mimpi buruk yang dapat menyeretnya ke dalam dekapan maut”
“Dan kita bersama-sama akan diseretnya pula”
Tetapi mereka tidak berani menentang kehendak Ki Dukut. Mereka sudah mengetahui betapa tinggi tingkat kemampuan orang itu. Tidak seorangpun yang akan dapat mengimbanginya. Bahkan semua orang yang ada diantara mereka, tidak akan dapat mengalahkannya.
Ternyata ketika mereka sampai ke dalam sarang mereka sendiri, hampir setiap orang diantara mereka berpendapat serupa. Alangkah bodohnya Ki Dukut yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu. Mereka sebenarnya dengan leluasa dapat mengambil apa saja yang mereka kehendaki dengan kemenangan mutlak yang mereka dapatkan. Tanpa membunuh, mereka sudah menunjukkan kelebihan dari gerombolan-gerombolan lain yang sejalan dengan mereka. Apalagi ternyata mereka tidak mengambil sekeping uang pun dari simpanan Macan Wulung itu.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Dukut sama sekali tidak pernah menyebut tentang harta benda itu. Yang setiap kali dikatakan, bagaimana ia dapat memperluaskan pengaruhnya dan memilih orang-orang terbaik untuk membantunya.
Ternyata bahwa Ki Dukut tidak hanya sekedar berbicara tentang pengaruh dan kekuasaan. Tetapi ia benar-benar melakukannya. Kecuali Macan Wulung, maka Ki Dukut telah menaklukkan beberapa gerombolan yang lain pula.
Ternyata bahwa gerombolan-gerombolan yang lainpun menjadi heran, bahwa orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk Bumi itu tidak berbuat apa-apa atas mereka. Ia benar-benar hanya mengalahkan dan memaksa untuk menyerah saja.
Namun, akhirnya datang juga suatu saat, bahwa Ki Dukut bukan sekedar mengalahkan mereka, gerombolan-gerombolan yang berpencaran. Tetapi Ki Dukut pun kemudian telah meminta kepada mereka untuk menyerahkan beberapa orang-orangnya yang terbaik.
“Kita akan segera mulai berkata Ki Dukut kepada orang-orang yang telah dikumpulkannya.
Ternyata Ki Dukut telah membawa mereka ke tempat yang terpencil. Sebelum ia berbuat sesuatu, maka Ki Dukut ingin meningkatkan ilmu orang-orangnya yang telah dipilihnya itu. Sementara ia sama sekali tidak perlu cemas akan kekurangan makan dan pakaian, karena gerombolan-gerombolan yang berada di bawah pengaruhnya akhirnya harus membantunya juga, menyediakan uang dan bahan yang diperlukan oleh Ki Dukut dan orang-orangnya yang terpilih itu.
Ki Dukut telah mempersiapkan orang-orang itu untuk mencapai maksudnya. Sebenarnyalah bahwa ia sama sekali tidak ingin melawan Kediri dan apalagi Singasari. Tetapi yang ingin dilakukannya adalah menghancurkan padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Kasang Jati. musuh bebuyutannya.
Di tempat yang terpisah, maka Ki Dukut telah menempa beberapa orang yang dipilih dari antara gerombolan-gerombolan yang pernah di kalahkannya. Ki Dukut memilih orang-orang muda di antara mereka, yang menurut pertimbangannya masih menyimpan kemungkinan yang besar bagi masa depannya.
Dalam pada itu, selama Ki Dukut sibuk menempa orang-orang yang telah dipilihnya, maka orang-orang yang memburunya pun telah menjelajahi beberapa padukuhan dan padepokan. Mereka singgah di beberapa tempat yang pernah tersangkut ke dalam usaha Ki Dukut untuk menghancurkan Ki Kasang Jati, Tetapi gagal.
“Seorang pemimpin padepokan yang menerima Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata singgah di padepokannya, telah menyatakan kepada mereka, bahwa masih belum ada tanda-tanda bahwa Ki Dukut akan datang ke padepokannya.
“Syukurlah” berkata Mahisa Bungalan, “mudah-mudahan ia tidak lagi menuruti kata hatinya yang sesaat itu“
“Mudah-mudahan” sahut pemimpin padepokan itu.
“Meskipun demikian, kalian jangan menjadi lengah“ pesan Mahisa Agni.
“Kami akan menjaga padepokan kami sejauh-jauh dapat kami lakukan, meskipun kami tahu, bahwa Ki Dukut adalah seorang yang pilih tanding. Tetapi ia kini seorang diri” berkata pemimpin padepokan itu, “bagaimanapun juga, maka seisi padepokan ini harus diperhitungkannya”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, bahwa seorang diri memang sulit untuk melawan seisi padepokan betapapun juga ia seorang yang mumpuni. Namun demikian, seandainya seisi padepokan itu akhirnya dapat mengalahkannya, tetapi korbannya pun tentu tidak sedikit.
Ketika ketiga orang itu kemudian, meneruskan perjalanan mereka, dan singgah di padepokan lain, maka keterangan yang didengarnya pun hampir serupa.
Namun ketika ia singgah di padepokan yang lain lagi, maka ketika orang itu telah mendengar keterangan yang lain, meskipun tidak menyangkut tentang Ki Dukut, tetapi keterangan itu agaknya cukup menarik.
“Bahaya yang mengancam padepokan ini, ternyata bukan saja datang dari Ki Dukut” berkata pemimpin padepokan itu.
“Apakah ada pihak lain yang telah melakukan pesan dendam dari Ki Dukut?“ bertanya Mahisa Agni.
“Bukan, sama sekali bukan. Tetapi diujung hutan sebelah, telah berhimpun beberapa orang yang telah terpilih dari lingkungan para perampok untuk mendapat latihan-latihan khusus” berkata pemimpin padepokan itu.
“Dari mana kau mengetahuinya?“ bertanya Witantra.
“Perampok-perampok itu tidak terlalu ganas terhadap orang-orang yang sering berhubungan dengan mereka untuk mendapatkan persediaan makan. Mereka membeli dengan harga yang wajar. Mereka sama sekali tidak memaksakan kehendaknya kepada orang-orang yang sempat berhubungan dengan mereka untuk menjual bahan-bahan makanannya” jawab pemimpin padepokan itu, “pemimpinnya seorang tua bernama Rajawali Penakluk Bumi”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Nama itu terdengar aneh ditelinganya. Namun demikian ia tidak memberikan tanggapan atas nama itu. Demikian juga Witantra dan Pengeran Kuda Padmadata.
Namun demikian Pangeran itu bertanya, “Apa saja yang mereka katakan tentang kelompok mereka itu?”
“Mereka tidak mangatakan sesuatu yang penting. Yang mereka katakan hanyalah, bahwa kawan-kawan mereka terdiri dari orang-orang yang berasal dari lingkungan yang berbeda. Mereka di tempat terpencil itu mendapat latihan-latihan kanuragan dari pemimpin mereka yang yang mereka sebut Rajawali Penakluk itu”
“Memang suatu masalah tersendiri” berkata Witantra, “masalah yang tidak terdapat pada padepokan-padepokan lain yang jauh dari tempat ini”
“Ya” sahut pemimpin padepokan itu, “berita itu membuat kami cemas. Meskipun sampai sekarang, mereka tidak membuat kesulitan apapun, namun kita tidak tahu, apa yang akan mereka lakukan kemudian”
Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata ternyata sangat tertarik kepada berita itu. Nampaknya persoalannya tidak ada hubungannya dengan tugas mereka, mencari seseorang yang bernama Ki Dukut Pakering. Namun agaknya mereka tidak dapat melepaskan perhatian mereka kepada peristiwa yang nampaknya akan dapat mempengaruhi ketenangan lingkungannya.
Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata, memutuskan untuk tinggal di padepokan itu untuk beberapa saat lamanya. Mungkin ada sesuatu yang harus mendapat perhatian mereka.
“Kesediaan kalian tinggal di sini sangat menyenang kan kami” berkata pemimpin padepokan itu, “namun mudah-mudahan tidak akan terjadi sesuatu disini”
Demikianlah maka ketiga orang pendatang itupun mendapat tempat tinggal untuk beberapa lamanya di padepokan itu. Meskipun ada juga semacam kecurigaan terhadap mereka, karena ketiga orang itu sama sekali belum dikenalnya. Hanya karena keterangan mereka yang jelas dan pasti, tentang seorang anak muda bernama Mahisa Bungalan yang pernah berkunjung ke padepokan Ki Kasang Jati sajalah, maka ketiganya dapat diterima.
Namun demikian, pemimpin padepokan itu masih memerintahkan kepada para cantriknya untuk mengawasi ketiganya dengan diam-diam. Jika nampak sesuatu yang muncurigakan, maka mereka harus segera melaporkan kepadanya.
Dalam pada itu, Mahendra dan kelompok kecilnya telah menelusuri jalur jalan yang telah ditentukan pula. Mereka juga mengunjungi padepokan-padepokan yang terlibat dalam usaha Ki Dukut untuk mengalahkan Ki Kasang Jati tetapi gagal.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan ternyata masih belum membawa ayahnya ke padepokan yang pernah dikunjunginya, dan yang pernah menumbuhkan persoalan di dalam hatinya. Meskipun kadang-kadang ada juga getar kegelisahannya, bahwa justru padepokan itulah yang akan didatangi oleh Ki Dukut, namun ada semacam hambatan yang menghalanginya untuk berkunjung ke tempat itu mendahului padepokan-padepokan yang lain.
Ki Wastu yang mengerti perasaan anak muda itu sama sekali tidak mengusulkan sesuatu. Diikutinya saja arah yang ditentukan oleh Mahisa Bungalan. Bahkan ketika mereka sampai ke padepokan yang manjadi tempat yang dijanjikan untuk saling bertemu, ternyata bahwa Mahisa Agni dan kedua orang yang pergi bersamanya masih belum berada di tempat itu.
“Kita memang terlalu cepat sehari” berkata Mahisa Bungalan kepada ayahnya.
“Kita akan menunggu sampai besok. Biasanya pamanmu Mahisa Agni memegang hitungan waktu sebaik-baiknya. Jika besok mereka tidak datang, maka agaknya ada persoalan yang mereka hadapi di perjalanan.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan yang sudah dikenal oleh pemimpin padepokan itu, telah diterima dengan senang hati. Bahkan kedatangannya telah ditunggu-tunggu oleh kegelisahan dan kecemasan bahwa Ki Dukut akan datang untuk melepaskan dendamnya.
Tetapi seperti keterangan yang didengar oleh Mahisa Agni, bahwa tidak ada tanda-tanda gerakan sama sekali yang akan dapat mengganggu ketenangan padepokannya.
Tetapi ternyata dihari yang sudah ditentukan, Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata tidak datang ke padepokan itu.
Karena itu. maka Mahendra dan mereka yang datang bersamanya menjadi gelisah.
“Tentu terjadi sesuatu di perjalanan” berkata Mahisa Murti.
“Mudah-mudahan tidak demikian. Mungkin ada sesuatu yang menarik perhatian, sehingga mereka tidak segera datang ke tempat ini”
“Kita akan dapat menelusurinya” berkata Mahisa Bungalan, “bukankah arah perjalanan paman Mahisa Agni, paman Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata telah ditentukan?“
“Ya. Kita akan segera melihat, apakah yang terjadi atas mereka” berkata Mahendra.
Dengan demikian maka Mahendra telah minta diri kepada pemimpin padepokan itu untuk mencari tiga orang kawan mereka yang menempuh perjalanan yang lain.
“Tetapi bukankah kalian akan datang lagi ke padepokan ini?“ bertanya pemimpin padepokan itu.
“Mungkin. Tetapi mungkin pula tidak. Kami sedang memburu buruan yang berbahaya dan tangkas. Mungkin kami akan mengambil sikap tertentu sesuai dengan perkembangan keadaan” jawab Mahendra.
Demikianlah, maka Mahendra dan mereka yang pergi bersamanya segera meninggalkan padepokan itu. Mereka menuju ke padepokan berikutnya sesuai dengan rencana perjalanan Mahisa Agni.
Ketika mereka sampai ke tempat itu, ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata masih berada di tempat itu. Mereka tidak dapat dengan segera meninggalkan padepokan itu sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan, karena mereka menghadapi persoalan yang khusus.
“Kami tahu, bahwa kalian tentu akan datang” desis Witantra.
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata, “Kamilah yang menjadi gelisah. Syukurlah bahwa tidak terjadi sesuatu di perjalanan kalian”
“Kami mengawasi perkembangan sekelompok orang yang dengan sungguh-sungguh sedang mempelajari olah kanuragan di hutan sebelah” berkata Mahisa Agni yang kemudian memberikan beberapa keterangan sebagaimana didengarnya. Bahkan di hari terakhir, pemimpin padepokan itu telah memberikan pesan-pesan khusus kepada orang yang pernah melaporkan tentang sekelompok orang yang sedang meningkatkan ilmunya di hutan itu, agar apabila ia menjual beberapa jenis bahan makanan, ia memperhatikan orang-orang itu dengan lebih seksama.
Hal itu nampaknya memang sangat menarik hati Mahendra. Bahkan Ki Wastu pun berpendapat, bahwa kelompok itu memang memerlukan perhatian yang lebih besar.
“Ada yang sangat menarik pada kelompok itu“ berkata Ki Wastu, “nampaknya mereka mempunyai maksud tertentu. Mereka ingin meningkatkan kemampuan mereka, sementara mereka tidak ingin terganggu. Ternyata mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu selain meningkatkan ilmu di tempat yang terpencil itu”
Pendapat itu sesuai dengan pendapat orang-orang lain yang berada di padepokan itu. Pemimpin padepokan itupun berpendapat demikian. Karena itu, maka yang perlu mereka ketahui, apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh kelompok yang dengan sungguh-sungguh sedang menempa diri itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang ditugaskan untuk mengetahui lebih banyak tentang kelompok itu, ternyata tidak dapat memberikan keterangan yang lebih jelas, selain bahwa orang-orang di tempat terpencil itu telah membeli beberapa jenis bahan makan dari mereka.
“Kita tidak dapat membiarkan mereka melakukan sesuatu yang dapat menggangu ketenangan daerah di sekelilingnya” berkata Mahisa Bungalan yang nampaknya tidak sabar menunggu.
Tetapi Mahisa Agni berkata, “Kita akan mencari keterangan yang lebih banyak tentang mereka“
“Sementara itu Ki Dukut telah merayap dari satu padepokan ke padepokan yang lain” sahut Mahisa Bungalan.
Pendapat Mahisa Bungalan itu dapat dimengerti oleh Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya, “Apakah kita harus mempercepat perkembangan menempa diri itu“
“Maksud paman?“ bertanya Mahisa Bungalan.
“Kita akan memancing mereka, agar mereka segera berbuat sesuatu yang dapat memberikan petunjuk, apa yang sebenarnya akan mereka lakukan” berkata Mahisa Agni.
“Apakah yang dapat kita lakukan” bertanya Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni merenung sejenak. Lalu katanya, “Sebaiknya di padepokan ini juga melakukan hal yang sama”
“Maksud paman di padepokan ini juga diselenggarakan latihan olah kanuragan seperti yang dilakukan di tempat terpencil itu?“ bertanya Mahisa Bungalan pula.
“Ya” jawab Mahisa Agni singkat.
Ternyata pendapat itu disetujui oleh pemimpin padepokan itu. Selagi beberapa orang yang berada di padepok-annya itu tetap berada bersama mereka, maka jika terjadi sesuatu, tamu-tamunya itu akan dapat membantunya. .
Demikian seperti yang telah direncanakan, maka di hari berikutnya, di padepokan itu telah diselenggarakan latihan-latihan olah kanuragan melampaui kebiasaan. Para cantrik dari padepokan itu mengikutinya justru di-tempat yang dapat dilihat dari luar padepokan.
Meskipun mereka berlatih di kebun belakang, namun pada saat-saat tertentu, para cantrik itu telah diperintahkan oleh pemimpin padepokannya untuk berbuat sesuatu yang dengan sengaja dapat memancing perhatian orang-orang yang menyaksikan.
Demikianlah, maka seperti yang diharapkan, maka berita tentang latihan-latihan yang melampaui kebiasaan itu, bahkan yang nampaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sangat berat itu dapat didengar oleh Ki Dukut yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.
“Apakah orang-orang padepokan itu sudah gila” berkata Ki Dukut kepada seseorang yang sedang mengantar beras kepada kelompok yang terpencil itu.
“Aku tidak tahu” jawab orang yang menjual beras itu, “yang aku ketahui mereka sedang berlatih melampaui saat-saat sebelumnya”
Ki Dukut mengerutkan keningnya sambil berkata, “Apakah kau pernah datang ke padepokan itu?“
“Jarang sekali. Mereka tidak pernah membeli beras, karena para cantrik mempunyai tanah yang cukup luas dan menghasilkan bahan makanan yang cukup bagi mereka”
Ki Dukut mengangguk-angguk. Ia pun mengerti, bahwa pada umumnya setiap padepokan memiliki sawah dan ladang yang cukup bagi persediaan makan mereka. Agak berbeda dengan kedudukannya di tempat terpencil itu. Ia tidak mempunyai waktu untuk membuka hutan bagi tanah persawahan. Dan ia tidak perlu minta agar orang-orangnya memberikan beras atau bahan makanan yang lain bagi orang-orangnya yang sedang ditempa, karena mereka mempunyai banyak uang untuk membeli dari orang-orang padukuhan di sekitarnya.
Ki Dukut tidak bertanya lebih banyak lagi kepada orang yang menjual beras kepadanya, karena orang itu tidak akan mengetahui terlalu banyak tentang para cantrik yang berlatih di padepokan itu. Hanya dari penjual beras itu, Ki Dukut dapat mengerti, saat-saat yang sering dipergunakan oleh para cantrik untuk berlatih.
Karena itu, maka Ki Dukut telah mengirimkan orang-orangnya yang terpercaya, termasuk pengikutnya yang setia, untuk melihat apakah yang dikatakan oleh penjual beras itu memang benar.
“Orang itu tidak berbohong” berkata pengikutnya yang setia, “Aku melihat para cantrik itu berlatih. Agaknya mereka bersembunyi atau setidak-tidaknya agar tidak mudah diketahui orang, karena mereka melakukan latihan-latihan itu di kebun belakang. Tetapi agaknya aku masih sempat melihatnya dari sela-sela pintu butulan kebun belakang yang terbuka”
“Apakah mereka tidak mempunyai sanggar?“ bertanya Ki Dukut.
“Mungkin ada” jawab pengawalnya, “tetapi yang agak menarik perhatian adalah, bahwa cantrik di padepokan itu agaknya terlalu banyak”
“Bagaimana dapat kau katakan terlalu banyak?“ bertanya Ki Dukut.
“Aku tidak dapat menghitung dengan pasti. Tetapi aku kira, padepokan itu dengan sengaja telah memperkuat diri”
Ki Dukut menjadi gelisah mendengar berita itu. Bahkan ia mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah orang-orang di padukuhan itu mengetahui rencananya.
“Aku tidak pernah mengganggu mereka atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menimbulkan kecurigaan mereka” berkata Ki Dukut kepada diri sendiri.
Namun kemudian Ki Dukut pun menggeram, “Pemimpin padepokan itu pernah aku bawa ke padepokan Ki Kasang Jati. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bahkan orang itu telah berkhianat”
Tiba-tiba saja dendam Ki Dukut telah bergejolak di dalam hatinya. Apabila pemimpin padepokan itu mengetahui bahwa yang memimpin sekelompok orang yang sedang menempa diri di tempat terpencil itu adalah Ki Dukut, maka mungkin sekali ia telah mempersiapkan diri.
“Bukan salahku” berkata Ki Dukut, “orang itu telah menantang agar aku bertindak atas mereka. Perbuatan mereka benar-benar telah menggugah dendamku kepadanya. Sebenarnya aku tidak akan menghiraukannya lagi, karena orang itu tidak lebih dari tikus celurut yang tidak tahu diri”
Ki Dukut pun kemudian telah memanggil pengawalnya yang setia, yang mengikutinya dari satu tempat ke tempat yang lain.
“Selesaikan saja padepokan kecil yang berisi orang-orang gila itu” berkata Ki Dukut, “mereka mencoba menantang aku, seakan-akan mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk membendung dendam dan kemarahanku”
Pengawalnya pun mengangguk-angguk, meskipun ia masih bertanya, “Apakah aku pergi sendiri bersama para pengikut yang lain?”
“Bawalah sebagian besar dari orang-orang yang telah menempa diri ini. Hancurkan saja padepokan itu dari pada akan dapat menimbulkan persoalan di hari depan. Agaknya aku tidak perlu ikut bersamamu. Padepokan itu hanya akan mengotori tanganku saja jika aku pergi bersamamu”
Pengikutnya yang setia itupun kemudian mempersiapkan sepasukan laskarnya yang telah ditempa beberapa saat lamanya. Mereka merasa bahwa mereka memilki kekuatan yang telah sempurna sehingga orang-orang di padepokan itu tidak akan dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan leher mereka untuk dibantai.
“Kita akan mencoba, betapa kemampuan kita akan membuat orang-orang padepokan itu benar-benar menjadi gila. Tetapi sayang, bahwa mereka tidak mendapat kesempatan untuk mengagumi kemampuanku terlalu lama, karena mereka harus dimusnahkan” berkata salah seorang dari mereka.
Ketika pasukan itu sudah bersiap, maka mulailah mereka dengan tugas mereka untuk menghancurkan padepokan kecil yang menurut pemimpin mereka yang bergelar Rajawali Penakluk itu terlalu sombong dan tinggi hati, karena mereka telah berani menantangnya dengan latihan-latihan yang berat untuk mengimbangi latihan-latihan yang selenggarakan di tempat terpencil itu.
“Mereka harus mangerti, bahwa tanpa aku mereka sudah dapat kalian hancurkan. Apalagi jika aku, Rajawali Penakluk datang pula di antara pasukannya” berkata Ki Dukut itu.
Dengan gambira, sepasukan kecil yang terdiri dari orang-orang terbaik yang dikumpulkan oleh Ki Dukut dari beberapa gerombolan perampok itu menuju ke padepokan yang menurut penilaian mereka adalah padepokan yang tidak berarti. Hanya seorang sajalah di antara mereka yang dapat dihitung dalam lingkungan orang-orang yang berilmu. Selebihnya adalah para cantrik yang dungu, yang tidak memiliki bekal apapun juga. Jika mereka mendapat latihan sedikit di padepokan, itu sama sekali tidak akan berarti apa-apa melawan segerombolan perampok terpilih yang sudah ditempa beberapa saat lamanya oleh seorang yang bernama Ki Dukut Pakering yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.
Ternyata sepasukan kecil orang-orang yang mendendam itu, sama sekali tidak berusaha mendekati padepokan itu dengan diam-diam. Mereka sama sekali tidak takut bahwa perjalanan mereka telah diketahui oleh orang-orang padepokan.
“Mungkin ada di antara mereka yang sempat melarikan diri” berkata pengawal Ki Dukut yang memimpin pasukan kecil itu. Lalu, “tetapi agaknya mereka akan menunggu. Mereka dengan sombong telah berani menantang kita. Aku kira mereka terlalu bodoh untuk menilai, betapa kemampuan kita sudah meningkat. Setiap orang di antara kita akan dapat bertanding seorang lawan seorang dengan pemimpin padepokan yang sombong itu. Apalagi kita bersama-sama”
“Jika mereka menunggu kedatangan kita, maka tidak seorangpun yang akan sempat lari. Padepokan itu akan menjadi karang abang. Satu contoh yang baik bagi pedepokan-pedepokan lain yang berani menantang kita” sahut kawannya.
“Yang kita lakukan ini adalah sekedar pendahuluan. Kita merencanakan untuk mendatangi bukan hanya satu padepokan ini saja. Tetapi beberapa, terutama yang telah berkhianat terhadap pemimpin kita” desis pengawal itu.
Orang-orangnya tidak bertanya, kapan dan bagaimana pemimpin padepokan itu telah berkhianat. Yang menyesak di dalam dada mereka adalah satu kegembiraan bahwa akan dapat menjajagi kemampuan mereka sendiri.
Demikianlah maka pasukan itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan kecil yang menurut pengamatan para perampok itu sedang mempersiapkan diri, yang dinilai oleh Ki Dukut sebagai dengan sengaja telah menantang mereka.
Dalam pada itu, padepokan kecil itu pun sebenarnya telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Seorang pengawas yang melihat kehadiran sepasukan kecil, segera memasuki ruang dalam rumah induk padepokan itu untuk memberikan laporan.
Namun sebenarnyalah bahwa pemimpin padepokan itu menjadi berdebar-debar pula. Yang diketahuinya memiliki kemampuan yang tinggi di antara mereka, barulah Mahisa Bungalan dan Ki Wastu yang pernah berada di padepokan Ki Kasang Jati. Seandainya yang datang itu benar-benar orang yang terlatih dan bahkan dengan guru mereka, yang disebut Rajawali Penakluk itu, apakah padepokan itu dapat bertahan, meskipun tamu-tamu mereka bersedia membantunya.
“Mereka langsung menuju padepokan ini” berkata pengawas itu.
“Baiklah” berkata pemimpin padepokan itu, meskipun detak jantungnya terasa semakin cepat, “siapkan kawan-kawanmu. Para Cantrik harus menyadari apa yang dapat terjadi pada padepokan mereka. Karena itu, maka biarlah mereka berbuat sesuatu bagi padepokan ini”
Pengawas itupun kemudian keluar dari ruang dalam. Dengan berlari-lari kecil ia kemudian memanggil kawan-kawannya. Setengah berteriak ia berkata, “Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan. Orang-orang yang berlatih di hutan itu datang dengan senjata mereka”
Meskipun hal itu tidak mengejutkan mereka, karena merekapun mengerti, bahwa padepokan itu sengaja memancing orang-orang yang tidak mereka ketahui dengan pasti, yang dengan tekun tengah menempa diri di hutan dekat dengan padepokan mereka, namun rasa-rasanya mereka menjadi berdebar-debar pula.
Sejenak kemudian, mereka pun telah menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Regol halaman telah mereka tutup. Sementara itu setiap sudut padepokan, mendapat pengawasan yang ketat dari para cantrik sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang pernah mereka dengar, dan bahkan mereka pun pernah melakukannya dalam latihan-latihan yang khusus.
Dalam pada itu dua orang telah berdiri pada dua buah tangga di sebelah menyebelah regol halaman, sementara beberapa orang cantrik telah bersiap di belakang regol.
Di pendapa rumah induk padepokan itu, Pemimpin padapokan bersama tamu-tamunya berdiri dengan termangu-mangu. Masih ada keragu-raguan di dalam hatinya, apakah mereka akan dapat menyelamatkan padepokan itu dari ancaman orang-orang yang tidak mereka kenal.
“Agaknya bukan dendam Ki Dukut yang akan menghancurkan padepokan ini, tetapi justru dari pihak yang tidak aku kenal sama sekali” berkata pemimpin padepokan itu di dalam hatinya.
Sementara itu, dari kejauhan telah terdengar suara sorak yang riuh. Agaknya orang-orang yang datang menyerang padepokan itu berusaha untuk mengecilkan hati lawannya dengan teriakan-teriakan yang mendebarkan.
“Mereka sudah dekat” desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni mengangguk. Kemudian iapun berkata, “Marilah kita akan menunggu di halaman”
Dengan hati yang berdebar-debar pemimpin padepokan bersama tamunya itu pun segera turun ke halaman. Mereka melihat para cantrik yang sudah bersiaga. Di depan regol beberapa orang cantrik dengan tombak dan pedang terhunus sedang menunggu. Demikian orang-orang yang menyerang padepokan itu memecah pintu regol. maka perut mereka akan segera dilubangi dengan ujung-ujung tombak.
Namun ternyata Mahisa Agni kemudian berkata, “Kemarilah. Kita akan mempertahankan padepokan ini di halaman. Tidak semua orang dari meraka akan memasuki halaman ini lewat regol. Tetapi sebagian dari mereka bahkan sebagian besar, akan memasuki halaman ini dengan meloncati dinding”
“Setiap sudut telah diawasi” desis seorang cantrik yang terhitung tua.
“Bagus. Tetapi jika mereka berloncatan masuk, Maka kita akan menjadi terlalu sibuk, karena sebagian besar dari kita berkumpul di depan regol”
“Apakah mereka harus membiarkan penyerang itu memasuki regol halaman tanpa perlawanan?“ bertanya cantrik itu pula.
“Kita bertempur di halaman dan di kebun. Tidak berjejal-jejal di regol“ desis Mahisa Agni.
Cantrik itu tidak menjawab. Sementara beberapa orang cantrik yang lain telah meninggalkan regol dan memencar di halaman dalam kelompok-kelompok kecil.
“Kita akan membagi diri pula” desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara Witantra berkata, “Kita harus berada di segala arena. Kita belum tahu kemampuan lawan tetapi juga kemampuan padepokan ini”
“Aku berada di halaman“ tiba-tiba saja Mahisa Murti memotong.
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berada bersama ayah” desis Mahisa Agni.
“Tetapi di halaman ini” Mahisa Pukat Menyela pula.
“Baiklah” desis Mahisa Agni, “Mahendra dan kedua anak itu akan berada di halaman. Mahisa Bungalan akan berada di sisi kanan bersama aku, sementara Witantra dan Ki Wastu akan berada di sisi Kiri”
“Aku“ pemimpin padepokan itu bertanya.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Justru pemimpin padepokan itulah yang bertanya kepadanya. Namun iapun kemudian menjawab.
“Kau disini, bersama Mahindra dan kedua anak-anaknya” Namun dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata bertanya pula.
“Apakah aku tidak akan ikut dalam pertempuran ini?“ Mahisa Agni justru termangu-mangu. Namun kemu dian jawabnya ragu.
“Silahkan. Apa yang baik menurut pendapatmu.
Pangeran Kuda Padmadata menyadari. Bahwa Mahisa Agni tidak dapatnya menyebutnya sebagai seorang Pangeran, karena ia memang tidak berpakaian seorang Pangeran. Namun Mahisa Agni ragu-ragu pula untuk tidak mengucapkan sebutannya.
Namun dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata tidak sempat memikirkannya terlalu panjang, seperti juga Mahisa Agni. Diluar padepokan telah terdengar orang-orang yang datang itu bersorak-sorak gemuruh.
“Satu cara untuk mempengaruhi lawannya” desis Mahisa Agni kepada pemimpin padepokan itu.
Ternyata sorak yang gemuruh itu benar-benar telah mempengaruhi para cantrik. Rasa-rasanya jantung mereka bardebar semakin cepat. Apalagi jika mereka mendengar di antara sorak sorai itu. kata-kata umpatan yang kasar.
“Mereka sudah sangat dekat“ orang yang memanjat tangga di sisi regol berteriak.
“Baiklah” desis Mahisa Agni, “kita mengambil tempat kita masing-masing. Namun ia sempat berkata kepada Mahisa Bungalan, “Lawan kita adalah orang-orang yang tidak mengerti persoalan yang sebenarnya kita hadapi. Mungkin mereka sekedar terpancing oleh latihan-latihan yang sengaja kita lakukan disini. Karena itu, kita jangan dibakar oleh nafsu berlebihan”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahendra berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Berhati-hatilah. Tetapi ingatlah pesan pamanmu Mahisa Agni”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun mereka pun kemudian mengangguk kecil.
Dalam pada itu, kedua orang yang berada di tangga sebelah menyebelah regol pun telah turun pula sambil berkata, “Mereka telah berpencar”
Mahisa Agni mengangguk kecil. Ia memang sudah memperhitungkan bahwa orang-orang itu tidak berjejal-jejal memasuki padepokan itu lewat regol. Karena itu, maka para cantrik pun telah dimintanya untuk berpencar pula.
Sejenak kemudian, maka suara riuh sorak dan teriakan-teriakan itu seolah-olah telah mengepung padepokan. Seakan-akan di sekitar padepokan itu telah berkumpul lawan yang jumlahnya tidak terhitung.
Karena itu, para cantrik yang belum berpengalaman, bahkan pemimpin padepokan itu, menjadi sangat gelisah Apalagi mereka belum mengetahui tingkat kemampuan orang-orang yang berada di padepokannya selain Mahisa Bungalan dan Ki Wastu. Apakah artinya kedua orang itu jika mereka harus berhadapan dengan lawan yang tidak terhitung.
Sejenak kemudian, para cantrik telah dikejutkan oleh loncatan-loncatan lawan mereka ke atas dinding padepokan, sementara suara teriakan dan sorak yang mengguruh masih saja terdengar.
“Hancurkan semuanya“ terdengar seseorang berteriak.
“Bunuh semua“ yang lain menyahut lebih keras, “kita jadikan padepokan ini menjadi kuburan yang besar”
“Bantai para cantrik yang dungu” terdengar suara yang lain lagi, “jangan beri kesempatan mereka tetap hidup. Seorangpun jangan”
Teriakan-teriakan itu membuat para cantrik menjadi ngeri. Seolah-olah mereka dihadapkan kepada sekelompok hantu yang sudah siap mencabut nyawa mereka menghisap darah mereka sampai kering.
Karena itu. maka terasa tangan meraka meskipun menggenggam senjata, namun agak gemetar.
Bahkan ada diantara “para cantrik yang menyesal, kenapa mereka telah bersedia menurut petunjuk para pendatang yang belum mereka kenal dengan baik. Akibatnya ternyata sangat buruk bagi padepokan itu serta penghuninya.
Pemimpin padepokan itu pun menjadi termangu-mangu pula. Ia memiliki kemampuan yang cukup. Namun ia menyadari, bahwa cantrik-cantriknya masih dalam tataran permulaan dihidang olah kanuragan. Meskipun ada seorang di antara, mereka yang sudah memiliki ilmu lebih baik dari kawannya serta dua orang lainnya selapis lebih tinggi dari kebanyakan para cantrik, namun mereka tidak akan banyak dapat membantu kawan-kawannya.
Dalam pada itu, orang-orang yang menyerang padepokan itu sudah mulai berloncatan turun. Wajah mereka yang kasar dan sikap mereka yang garang, benar-benar membuat para cantrik menjadi sangat cemas.
“Apakah kalian akan melawan“ seorang yang masih berdiri di atas dinding padepokan berteriak sambil bertolak pinggang.
Tidak seorang pun yang menyahut.
“He, apakah kalian akan melawan kami?” orang itu bertanya lagi dengan suara lantang”
Tidak seorangpun dari para cantrik, bahkan pemimpin padepokan itu yang menjawab.
“Sebaiknya kalian tidak melawan. Dengan demikian maka tugas kami akan cepat selesai. Kalian berdiri berjajar sambil menundukkan kepala. Kami akan memenggal kepala kalian seorang demi seorang. Dengan demikian maka kalian akan mengalami saat kematian yang menyenangkan” orang itu berhenti sejenak, lalu, “tetapi jika kalian melawan, maka kalian akan mengalami saat kematian yang paling mengerikan yang pernah terjadi atas seseorang”
Suasana di halaman itu menjadi semakin tegang. Bahkan ada di antara para cantrik yang menjadi pucat.
Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa tertahan-tahan. Ketika semua orang berpaling kearah suara tertawa itu; mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri berdesakkan sambil menahan tawa mereka.
“He, anak gila” teriak orang yang berdiri diatas dinding, “kau akan mati lebih dahulu dengan cara yang akan aku pilih”
Mahisa Murti masih tertawa tertahan-tahan. Sementara Mahisa Pukat menjawab, “Jangan seperti orang mengigau”
Jawaban Mahisa Pukat itu telah mendebarkan segenap jantung mereka yang mendengarnya. Bukan saja orang yang berdiri di atas dinding, tetapi para cantrik pun menjadi berdebar-debar. Sebagian dari mereka merasa heran, namun sebagian lagi telah menyesali sikap yang gila itu. Dengan demikian, maka orang-orang yang menyerang padepokan kecil itu akan menjadi semakin marah, sehingga mereka akan bertindak semakin kasar. Dengan demikian tidak akan ada harapan lagi bagi mereka untuk mendapat kesempatan hidup.
Namun dalam pada itu, kedua anak muda itu agaknya sama sekali tidak merasa takut.
Orang yang berdiri di atas dinding itu benar-benar menjadi marah. Namun sebelum ia sempat berkata sesuatu Mahisa Murti telah mendahului, “Aku belum pernah melihat lelucon seperti ini. Alangkah menarik jika kami bersama-sama harus berdiri dengan kepala tunduk. Kemudian satu demi kepala kami akan dipenggal”
Terdengar orang itu mengumpat kasar. Dengan geram ia berteriak, “Tangkap semuanya hidup-hidup. Jangan seorangpun yang terbunuh. Aku sendirilah yang akan membunuh mereka seorang demi seorang. Aku memerlukan waktu lima hari untuk melakukannya”
Perintah itu benar-benar mengerikan bagi para cantrik dan pemimpin padepokan itu. Tetapi dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi itupun berteriak lantang, “Cepatlah mulai. Kami sudah menunggu”
Orang yang berdiri di atas dinding itu berpaling kearah Mahisa Bungalan. Namun terasa darahnya berdesir di jantungnya. Meskipun sekilas, ia merasa pernah melihat anak muda itu.
Karena itu, maka tiba-tiba saja sikapnya telah berubah. Ia tidak lagi merasa ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Bahkan tiba-tiba ia memperingatkan orang-orangnya, “Berhati-hatilah. Terlengah, setiap orang tidak boleh terlepas dari tangan kita”
Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lagi. Bahkan terdengar Mahisa Pukat berkata, “Orang itu hanya pandai berteriak-teriak saja.
Para cantrik dan pemimpin padepokan itu menjadi bingung. Selagi hati mereka dicengkam oleh kengerian, maka anak-anak muda itu seolah-olah hanya bergurau saja menghadapi ancaman maut yang hampir menerkamnya.
Kemarahan orang yang berdiri di atas dinding itu tidak lagi dapat ditahan. Karena itu, maka iapun berteriak nyaring sambil meloncat, “Sekarang, bunuh mereka”
Bersama dengan itu, Mahendra pun berdisis, “Lindungi para cantrik. Berpencarlah”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri berdesakan itupun berpencar. Merekapun mengerti, bahwa para cantrik, bahkan pemimpin padepokan itu menjadi cemas. Jumlah orang-orang yang memasuki padepokan itu nampaknya lebih banyak dari jumlah orang-orang yang berada di padepokan. Apalagi orang-orang itu nampak kasar dan menilik sikapnya, mereka memiliki kemampuan yang menyakinkan.
Sementara itu, para cantrik yang baru mengenal dasar-dasar olah kanuragan itupun merasa, betapa kecilnya mereka di hadapan orang-orang yang garang itu.
Selagi para cantrik dan pemimpin padepokan itu termangu-mangu, Mahendra yang berdiri tidak terlalu jauh dari pemimpin padepokan itu berbisik, “Perintahkan kepada para cantrikmu, agar mereka tidak membunuh diri dengan kecemasannya sendiri. Yang mereka hadapi adalah orang-orang yang memiliki kelemahan seperti kebanyakan orang. Karena itu, mereka harus mempertahankan hidup mereka sesuai dengan kodratnya”
Pemimpin padepokan yang cemas itu, ternyata tersentuh hatinya mendengar bisik Mahendra. Rasa-rasanya iapun seperti terbangun dari mimpi buruknya. Ia sadar, bahwa menghadapi orang-orang yang liar itu, para cantrik tidak dapat berbuat lain kecuali mempertahankan hidup mereka. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Siapa yang ingin hidup, berusahalah untuk tetap hidup. Siapa yang ingin membunuh diri, serahkanlah kepalamu kepada orang-orang liar yang memasuki padepokan ini”
Kata-kata pemimpin padepokan itu bagaikan gemuruhnya guruh dilangit. Para cantrik yang ragu-ragu itupun menyadari keadaanya. Jika mereka ragu-ragu dan apalagi kehilangan keberanian untuk melawan, maka tidak ada ubahnya seperti mereka yang berdiri sambil menyerahkan lehernya untuk dipenggal.
Karena itu, maka para cantrik itupun tiba-tiba telah menggenggam senjata mereka erat-erat. Meskipun masih ada satu dua di antara mereka yang ragu-ragu, namun senjata-senjata mereka pada umumnya telah teracu.
Sejenak kemudian, orang-orang yang memasuki padepokan itu telah bergerak maju dari beberapa arah. Mereka ternyata memasuki padepokan bukan saja meloncati dinding halaman, tetapi ada diantara mereka yang meloncatl masuk dari sisi padepokan. Namun sementara itu, Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan sudah berdiri di sisi kanan, Sementara Witantra dan Ki Wastu di sisi kiri. Disamping mereka ada juga beberapa orang cantrik yang berdiri termangu-mangu. Namun yang kemudian, mereka bagaikan menemukan kekuatan mereka kembali.
“Marilah” berkata Mahisa Agni, “kita akan segera mulai. Jangan ragu-ragu lagi, agar seperti kata-kata pemimpin padepokanmu, bahwa kalian harus mempertahankan hidupmu”
Karena itu, ketika orang-orang yang menyerang padepokan itu menyerang mereka, para cantrik itupun bersiap melawan dengan senjata di tangan.
Namun yang datang itu adalah sekelompok orang-orang yang terpilih di antara beberapa kelompok penjahat dan penyamun yang tersebar di daerah yang luas, yang ternyata telah dapat ditaklukkan oleh Ki Dukut yang mempergunakan gelar yang mengerikan. Apalagi mereka telah mendapat tempaan yang khusus dari Ki Dukut sendiri, sehingga mereka benar-benar merupakan orang-orang yang berbahaya.
Karena itu, maka orang-orang itu pun merasa, bahwa yang mereka hadapi di padepokan itu adalah cantrik-cantrik yang dungu dan bodoh. Yang sama sekali tidak mengerti, betapa berbahayanya ujung pedang.
Beberapa orang yang memasuki padepokan itu, masih saja berusaha menakut-nakuti lawannya. Ketika mereka mulai bergerak, maka satu dua orang diantara mereka telah berteriak-teriak pula dengan mengucapkan kata-kata yang mengerikan.
Yang mula-mula bertempur diantara mereka adalah orang-orang yang berada di halaman. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti agaknya tidak sabar lagi menunggu terlalu lama. Karena itu, maka mereka pun segera meloncat menyerang orang-orang yang bergerak maju sambil berteriak-teriak itu.
Orang-orang yang menyerang Padepokan itu tidak menghiraukan sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Justru mereka menganggap bahwa kedua anak-anak itu belum mengenal bahaya yang gawat yang akan dapat terjadi atas mereka.
Namun apa yang dilakukan oleh kedua anak-anak muda itu benar-benar telah mengejutkan lawan-lawan mereka. Bahkan Mahendra pun harus menarik nafas dalam dalam melihat tingkah kedua anaknya itu.
Ketika keduanya meloncat menyerang, maka tiba-tiba saja diantara teriakan-teriakan yang mengerikan dari orang-orang yang datang menyerang itu telah terdengar teriakan kesakitan. Adalah di luar dugaan setiap orang, bahwa tiba-tiba saja dua orang telah terhuyung-huyung. Seleret luka telah menganga di dada dan lambung. Yang seorang terdorong beberapa langkah surut sambil berusaha menahan darah yang mengalir dari lukanya di dada, sedang seorang lagi tidak sempat bergeser dari tempatnya. Ia telah terjatuh di atas lututnya. Namun kemudian sambil memegangi lambungnya maka iapun jatuh menelungkup.....