Demikian Ki Wastu mengambil alih lawan Mahendra, maka Mahendra yang tidak lagi dikepung oleh lawannya yang harus menghadapi Ki Wastu, sempat menghindarkan diri dan melihat perkelahian anaknya dengan hati yang berdebar-debar.
Ternyata bahwa Pangeran Kuda Rukmasanti benar-benar seorang yang pilih tanding. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya Mahisa Bungalan berusaha untuk mengimbangi ilmu lawannya. Dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu, maka diperlukan ketangkasan dan kecepatan bergerak yang tinggi, karena masing-masing akan dengan mudah dapat menjangkau lawannya dengan ujung senjata. Setiap kelengahan akan berakibat tersayatnya kulit daging mereka.
Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata yang marah itupun bertempur dengan segenap kemampuannya. Bukan saja karena ia ingin melindungi dirinya. Tetapi tekanan batin yang dialaminya untuk beberapa waktu lamanya itu, bagaikan meledak tidak terkendali. Dua orang itu untuk beberapa lama merupakan hantu yang setiap hari menakut-nakutinya, menyiksa perasaannya dan kadang-kadang bahkan menyakiti tubuhnya.
Keringat telah membasahi segenap tubuh kedua orang lawan Pangeran Kuda Padmadata. Jika setiap hari keduanya dapat melaksanakan kehendaknya tanpa banyak kesulitan, maka kini mereka benar-benar telah berhadapan dengan Pangeran Kuda Padmadata seutuhnya.
Dalam kemarahan yang memuncak, maka ujung tombak Pangeran Kuda Padmadata seolah-olah telah mengejar keduanya, kemana keduanya menghindar. Ketika Pangeran yang marah itu mendesak salah seorang dari mereka, maka yang lain berusaha untuk menyerangnya dari samping.
Tetapi tanpa diduganya, tombak itu telah berkisar. Meskipun ujungnya tidak berputar arah, namun tiba-tiba saja terasa sebuah hentakan pada pundaknya.
Ternyata Pangeran Kuda Padmadata tidak menyerangnya dengan mata tombaknya. Tetapi dengan pangkal landean, ia menghantam pundak salah seorang lawannya.
Orang itu terdorong dengan kuatnya, sehingga tubuhnya berputar. Bahkan kemudian ia telah kehilangan keseimbangannya sama sekali.
Tetapi Pangeran Kuda Padmadata tidak sempat memburunya. Ketika ia berkisar, maka lawannya yang seorang lagi telah siap menyerangnya.
Namun Pangeran Kuda Padmadata pun telah bersiap pula. Tombaknya telah siap merunduk menyongsong serangan lawannya, sehingga lawannya itu mengurungkannya.
Tetapi yang sekejap itu telah memberikan kesempatan kepada orang yang terjatuh itu untuk meloncat bangkit. Tetapi ia masih harus menyeringai menahan sakit. Meskipun yang mengenai pundaknya itu adalah pangkal landean tombak Pangeran Kuda Padmadata, tetapi rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan.
“Gila” orang itu menggeram,, “apakah Pangeran benar-benar tidak dapat menahan diri?”
“Persetan” geram Pangeran Kuda Padmadata.
“Jika demikian, maka saatnya telah tiba. Kami tidak akan berbelas kasihan lagi. Kami dapat membunuh Pangeran”
Tetapi, orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Ia harus meloncat menjauh beberapa langkah, bahkan mirip seperti seseorang yang berlari sipat kuping untuk menghindari serangan tombak Pangeran Kuda Padmadata yang meloncat pula beberapa langkah.
Pangeran itu berhenti ketika lawannya yang lain telah memburunya pula dengan senjata teracu. Tetapi demikian Pangeran itu berhenti dan memutar tubuhnya, maka orang itu pun berhenti pula.
Sejenak kemudian, lawannya yang telah terluka di pundaknya itu pun mendekatinya pula selangkah demi selangkah dengan sangat berhati-hati. Ketika Pangeran Kuda Padmadata menggerakkan tombaknya ke arah lawannya orang lain, maka orang yang telah terluka itu pun meloncat maju sambil menjulurkan senjatanya.
Tetapi Pangeran itu cukup tangkas. Ia berkisar dan memutar tombaknya mendatar.
Perkelahian itu pun menjadi semakin dahsyat. Pangeran Kuda Padmadata benar-benar tidak mengekang diri lagi. Ujung tombaknya kemudian bagaikan berterbangan memutari tubuh lawannya.
Ketika kemudian terdengar desah tertahan, maka seorang lawannya telah terlempar lagi jatuh terguling di tanah. Dengan susah payah kawannya berusaha mencegah agar Pangeran itu tidak sempat memburunya dan menghunjamkan ujung tombaknya, dengan sebuah serangan yang cepat. Namun, orang itu bernasib malang, karena Pangeran Kuda Padmadata yang sudah memperhitungkannya, tiba-tiba telah berputar sambil berjongkok. Orang itulah yang kemudian menghunjamkan dadanya sendiri ke ujung tombak Pangeran Kuda Padmadata, orang yang untuk beberapa saat lamanya berada dibayangan kekuasaan adik kandungnya.
Dengan tangkasnya, Pangeran itu pun menghentakkan tombaknya. Ketika tombaknya itu terlepas dari dada lawannya, maka orang yang dikenainya itu pun kemudian terhuyung-huyung sejenak, namun sesaat lagi ia pun jatuh pada lututnya, dan ketika ia terbanting ke tanah maka jiwanya tidak dapat tertolong lagi.
Kawannya yang terjatuh oleh dorongan tangkai tombak Pangeran Kuda Padmadata itu melihat, bagaimana kawannya yang berusaha menyelamatkannya itu justru telah terbunuh lebih dahulu dari padanya.
Tetapi dalam pada itu, maka ia pun telah dibayangi oleh kecemasan yang amat sangat. Berdua ia tidak dapat mengalahkan Pangeran yang untuk beberapa saat lamanya telah tunduk pada perintahnya itu, yang kemudian dengan tiba-tiba saja telah menghentak dengan ledakkan kekuatannya yang tidak terlawan.
Karena kesadarannya bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang prajurit linuwih, maka tiba-tiba saja jantung orang itu telah dicekam oleh ketakutan yang amat sangat. Ia merasa bahwa ia telah dihadapkan pada suatu kenyataan tentang Pangeran yang untuk beberapa saat menjadi jinak itu.
Itulah sebabnya, maka ketika Pangeran Kuda Padmadata kemudian berputar menghadapnya setelah kawannya terbanting jatuh, maka tidak ada jalan lain yang nampak dihadapannya, selain melarikan diri.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia meloncat berdiri dan mencoba berlari meninggalkan arena tanpa menghiraukan kawan-kawannya yang justru baru mulai bertempur.
Pangeran Kuda Padmadata yang menjadi muak melihat kedua orang yang untuk beberapa saat lamanya seolah-olah berkuasa atasnya itu ternyata telah tidak dapat menahan diri lagi. Dengan dada yang membara, maka ia melihat lawannya berusaha menyelamatkan diri dengan licik.
Dengan demikian, maka kemarahannya pun menjadi semakin melonjak didesak oleh kebencian dan rasa muak. Hampir diluar sadarnya, maka tiba-tiba saja tangannya telah bergerak terayun dengan cepatnya.
Tidak seorang pun yang mampu mencegahnya. Tombak di tangannya tiba-tiba saja telah meluncur mengejar orang yang melarikan diri itu.
Sejenak kemudian terdengar jerit melengking. Tubuh yang sedang berlari itupun tiba-tiba saja telah terhenti. Sesaat tubuh itu terhuyung-huyung, namun kemudian jatuh berguling di tanah. Di punggungnya tertanam tombak yang membenam sampai ke pangkal tajamnya.
Semua orang yang mendengar jerit itu, dan kemudian melihat tubuh itu jatuh di tanah, merasa tubuhnya meremang. Namun Pangeran Kuda Padmadata yang sedang marah itu, seolah-olah tidak menghiraukannya lagi. Demikian ia kehilangan lawannya, maka ia pun segera berlari menuju ke pintu untuk melihat, apa yang telah terjadi dengan adiknya yang telah mengkhianatinya itu.
Ternyata Mahendra masih berdiri di pintu. Orang-orang yang mengepung mereka yang berusaha membebaskan Pangeran Kuda Padmadata itu telah bertempur melawan Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu. Mereka ternyata tidak banyak mendapat kesempatan Meskipun jumlah mereka lebih banyak.
Beberapa orang di antara mereka adalah orang-orang yang dianggap cukup memiliki kemampuan sehingga mereka telah mendapat perintah untuk melindungi istana itu dari kemungkinan seperti yang telah terjadi.
Tetapi berhadapan dengan Witantra, Mahisa Agni dan Ki Wastu mereka tidak banyak dapat berbuat sesuatu. Bahkan pemimpin pengawal itu pun tidak dapat menguasai lawannya meskipun ia dibantu oleh beberapa orang pengikutnya.
Mahendra yang melihat Pangeran Kuda Padmadata mendekatinya, maka ia pun beringsut. Tetapi ketika Pangeran itu mendekat lagi, ia berkata,, “Biarlah keduanya bertempur dengan jantan”
“Kuda Rukmasanti adalah seorang yang luar biasa” desis Pangeran Kuda Padmadata,, “biarlah aku yang akan menyelesaikannya”
Tetapi Mahendra menjawab,, “Lihatlah Pangeran, apakah kira-kira yang akan terjadi?”
Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya. Ia melihat perkelaian yang dasyat di ruang yang tidak begitu luas. Tetapi kedua orang yang bertempur itu ternyata memiliki kemampuan yang tinggi, yang tidak segera dapat saling menguasai.
“Siapakah anak muda itu?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.
“Mahisa Bungalan. Ia adalah anak hamba” jawab Mahendra.
“Jadi ia benar-benar anakmu?” bertanya Pangeran itu.
“Ya Pangeran”
Pangeran Kuda Padmadata termangu-mangu. Agaknya anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu memang memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan Pangeran Kuda Rukmasanti”
“Anakmu luar biasa” guman Pangeran Kuda Padmadata, “selama ini aku belum pernah melihat seorang pun yang dapat mengimbangi Kuda Rukmasanti, apalagi yang umurnya masih sebaya. Aku sendiri tidak yakin, apakah aku akan dapat mengalahkannya. Tetapi nampaknya anak muda itu benar-benar memiliki kemampuan yang mengagumkan”
“Ia masih memerlukan banyak pengalaman” jawab Mahendra, “karena itu, biarlah ia mendapatkan pengalaman baru di sini”
Pangeran Kuda Padmadata menjadi termangu-mangu Namun ia masih berdiri tegak di sebelah Mahendra.
Sementara itu kedua orang itu masih bertempur dengan sengitnya. Kemarahan Pangeran Kuda Rukmasanti benar-benar telah membakar dadanya. Namun ia pun harus melihat kenyataan, bahwa lawannya benar-benar anak muda yang tangguh dan tanggon.
Sementara itu, di dalam bilik yang lain perempuan yang disebut isteri Pangeran Kuda Padmadata sedang menggigil ketakutan Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi. Sementara emban yang menungguinya pun tidak dapat mengatakan, apa yang sebenarnya telah terjadi di luar.
Meskipun mereka mengetahui bahwa telah terjadi pertempuran, tetapi mereka tidak dapat mengatakan, siapa saja yang telah terlibat dan apalagi tentang keseimbangan pertempuran itu.
“Apakah kakang mas Kuda Padmadata telah berusaha untuk melawan kehendak adimas Kuda Rukmasanti?” bertanya puteri itu.
“Hamba tidak tahu puteri. Tetapi suara itu ramai sekali” jawab embannya.
“Ternyata bahwa kakangmas Kuda Padmadata adalah seorang yang paling bodoh jika ia berani melakukan perlawanan justru pada saat para pengawal sedang berjaga-jaga karena kehilangan yang nampaknya sudah mulai terdapat tanda-tanda siapakah yang telah mengambilnya” berkata puteri yang ketakutan itu.
Tetapi emban itu pun tidak dapat menjawab. Bahkan ia pun telah menggigil pula ketakutan seperti puteri itu juga.
Dalam pada itu, pertempuran itu pun masih berlangsung dengan dahsyatnya. Di halaman Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu telah berhasil menguasai lawan-lawan mereka. Beberapa orang telah terluka dan bahkan mereka telah terdesak mundur, beberapa orang pengawal telah mengerang kesakitan karena luka-luka mereka. Sementara beberapa orang telah pingsan.
Tetapi Mahisa Bungalan masih bertempur dengan gigihnya melawan Pangeran Kuda Rukmasanti.
“Inikah salah seorang contoh dari anak-anak muda Singasari?” desis Pangeran Kuda Padmadata.
Mahisa tidak menjawab. Tetapi perkelahian itu benar-benar merupakan perkelaian yang sengit. Keduanya saling mendesak dan dalam kedudukan yang seimbang. Pangeran Kuda Rukmasanti memiliki kecepatan bergerak. Senjatanya berputaran dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu, sehingga seolah-olah setiap jengkal telah tersentuh oleh tajamnya senjatanya.
Namun Mahisa Bungalan telah memagari dirinya dengan putaran tombaknya yang bagikan perisai yang tidak tertembuskan oleh senjata lawannya. Bahkan kadang-kadang senjata yang melindungi tubuhnya itu bergeser dan mematuk dengan cepatnya mengarah kebagian yang paling berbahaya di tubuh Pangeran Kuda Rukmasanti.
“Mengagumkan” desis Pangeran Kuda Padmadata.
Mahendra tidak menyambut. Ia benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu pun telah menyelesaikan pertempuran di halamanan. Beberapa orang memang berhasil melarikan diri. Tetapi, beberapa orang telah menyerahkan dan tidak bermaksud melawan lagi. Kedua orang yang terbunuh oleh Pangeran Kuda Padmadata itu ternyata telah berpengaruh sekali pada setiap orang yang mengadakan perlawanan. Bahkan, pekatik muda yang garang itu pun telah berjongkok sambil minta maaf kepada Mahisa Agni.
“Aku tidak menyangka, bahwa kau, bahwa kau, bukannya pekatik tua” desahnya.
Mahisa Agni memandanginya dengan tajamnya. Dalam keremangan cahaya lampu di kejahuan ia melihat wajah pekatik muda itu disaput oleh kecemasan dan ketakutan.
“Aku adalah seorang pekatik tua” berkata Mahisa Agni tetapi aku bukan penjilat seperti kau”
Pekatik muda itu membungkuk dalam-dalam sampai dahinya menyentuh tanah,, “Aku mohon ampun”
Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu pun kemudian mengumpulkan orang-orang yang sudah menyerah. Mereka harus merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan membawanya ke serambi, sementara yg lain harus duduk bejajar ditunggui oleh Ki Wastu dan Witantra. Beberapa orang yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang menyangkut hubungan antara kedua Pangeran kakak beradik itu pun menjadi sangat bingung. Namun sebagian dari mereka telah terlibat kedalam perkelahian yang tidak mereka ketahui artinya, sehingga di antara mereka ada pula yang harus duduk berjajar bersama beberapa orang abdi yang lain, yang memang ditetapkan di istana itu oleh Pangeran Kuda Rukmasanti.
Sementara itu. Mahisa Bungalan dan Pengaran Kuda Rukmasanti telah sampai ke puncak ilmu masing-masing.
Keduanya telah menjadi wuru dan kehilangan segala macam pertimbangan yang dapat mengekang gerak mereka.
Dalam kekalutan itu, ruangan tempat kedua anak muda itu bertempur telah berubah menjadi sebuah bilik yang ditaburi dengan segala macam perabot yang pecah berserakan. Senjata kedua anak muda itu lelah memecahkan segala yang berada di dalam ruangan itu. Amben kayu berukhir, geledeg kayu, songsong kehormatan yang lumat, beberapa macam perabot yang lain hancur sama sekali. Sementara kedua orang itu masih bertempur dengan dahsyatnya. Sekali-sekali Mahisa Bungalan berhasil mendesak lawannya sampai ke sudut ruangan. Tetapi, kemudian Pangeran Rukmasanti lah yang seolah-olah telah menguasai Mahisa Bungalan. sehingga Mahisa Bungalan harus berloncatan menjauh.
Namun dalam puncak pertempuran itu, senjata-senjata mereka mulai ikut berbicara. Mahisa Bungalan berdesis ketika terasa ujung senjata lawannya tergores di pundaknya. Titik darah yang membasahi kulitnya, bagaikan titik-titik minyak yang jatuh kedalam api, menyalakan kemarahan di hatinya. Dengan dahsyatnya ia pun kemudian telah melihat lawannya kedalam putaran selanjutnya yang mengerikan.
Pangeran Kuda Rukmasanti itu mengaduh ketika ia terdorong oleh sentuhan senjata Mahisa Bungalan. Lengannyalah yang kemudian mengalirkan darah karena tersobek oleh pedang anak muda dari Singasari itu.
Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti tidak menyerah. Ia pun kemudian meloncat ke samping. Namun senjatanya langsung terjulur lurus ketika ia meloncat pula menyerang Ketika Mahisa Bungalan berusaha menghindar, maka serangan berikutnya telah memburunya.
Mahisa Bungalan berkisar surut. Tetapi ketika ia melangkah setapak lagi mundur, maka terasa punggungnya telah melekat pada dinding kayu.
Pangeran Kuda Rukmasanti yang marah memandanginya dengan tajamnya. Kemudian terdengar mulutnya menggeram,, “Mati kau sekarang jahanam”
Mahisa Bungalan berdiri melekat dinding. Tetapi ia merendahkan diri pada lututnya. Sambil bergeser miring ia menggerakkan pedangnya menyongsong serangan Pangeran Kuda Rukmasanti.
Mahendra menjadi berdebar-debar. Kesempatan menghindar sudah terlalu sempit baginya. Namun bukan berarti bahwa ia telah kehilangan segala macam cara untuk menghadapi lawannya.
Sejenak Pangeran Kuda Rukmasanti berdiri dengan garangnya. Kemudian dengan langkah pendek ia bergerak mendekat sambil berkata pula,, “Jangan menyesal, bahwa kau sudah ikut campur dalam persoalanku. Sekarang, kau akan mati sia-sia”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya terikat pada tangan Pangeran yang bagaikan kesurupan itu.
Ketika tangan itu bergerak, maka Mahisa Bungalan pun bergeser. Ia melihat Pangeran Kuda Rukmasanti dengan serta merta, telah menjulurkan senjatanya menusuk ke arah dadanya.
Dengan tangkas, Mahisa Bungalan menyilangkan pedangnya menangkis serangan itu. Tetapi ternyata bahwa lawannya telah menarik serangannya. Dengan cepat, Pangeran Kuda Rukmasanti mengayunkan pedangnya mendatar, menyambar perut Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan tidak mungkin lagi bergeser surut. Karena itu maka ia pun dengan cepat menggerakkan pedangnya menyilang serangan lawannya.
Yang terjadi adalah sebuah benturan yang keras. Kedua anak muda itu ternyata memiliki kemampuan yang mengagumkan. Serangan Pangeran Kuda Rukmasanti yang cepat dan kuat itu telah membentur senjata Mahisa Bungalan, sehingga bungaapi pun telah meloncat di udara.
Pangeran Kuda Rukmasanti menggeram. Ia bergeser setapak surut. Serangannya ternyata tidak berhasil menyobek perut lawannya. Namun dengan demikian, kemarahannya benar-benar telah sampai keubun-ubun.
Sejenak Pangeran Kuda Rukmasanti berdiri dengan tegangnya. Ketika ia kemudian mengangkat pedangnya, maka tangan kirinya pun telah bergetar pula. Ketika tangan itu menyilang di dadanya, maka Pangeran Kuda Padmadata pun tiba-tiba melangkah selangkah maju. Tetapi Mahendra cepat menahannya sambil berkata,, “Kita akan menyaksikan keduanya bertempur dengan jujur Pangeran”
“Tetapi sikap itu berbahaya sekali” desis Pangeran Kuda Padmadata,, “anak itu telah sampai ke puncak ilmunya”
Mahendra menjadi berdebar-debar. Tetapi ketika ia melihat Mahisa Bungalan pun mengangkat pedangnya pula menyilang, serta dengan ketajaman tatapan matanya Mahendra melihat ujung pedang itu bergetar dengan getaran yang bagaikan memancarkan tenaga yang tidak kasat mata, maka Mahendra pun tahu, bahwa Mahisa Bungalan tanggap menghadapi lawannya yang telah mengerahkan puncak ilmunya, sehingga Mahisa Bungalan pun telah mengimbanginya pula.
“Tetapi, apakah kekuatan puncak ilmu mereka juga seimbang pertanyaan itu telah mengganggu perasaan Mahendra.
Sementara Pangeran Kuda Padmadata menjadi gelisah. Dengan nada rendah ia berkata, “Ilmu itu tidak ada bandingnya. Biarlah aku yang melawannya”
Tetapi Pangeran Kuda Padmadata tidak sempat berbuat sesuatu Dengan jantung yang berdegup keras ia melihat Pangeran Kuda Rukmasanti meloncat mengayunkan senjatanya langsung mengarah ke dahi lawannya tanpa menghiraukan kemungkinan lawannya menangkis serangannya.
Jantung Pangeran Kuda Padmadata bagaikan berhenti berdetak. Ia tahu, bahwa kemampuan tenaga cadangan adiknya telah tersalur sepenuhnya lambaran ilmunya yang dahsyat, yang sukar dicari bandingnya.
Tetapi Mahisa Bungalan memiliki puncak ilmu rangkap dari dua perguruan yang meskipun berbeda, telah berhasil luluh di dalam dirinya. Ia telah menimba ilmu dari Mahisa Agni dan sekaligus mewarisi ilmu ayahnya sendiri dan saudara seperguruan ayahnya, Witantra.
Namun demikian, Mahisa Bungalan masih mempergunakan nalarnya sepenuhnya. Ketika ayunan senjata lawan nya itu menghantam kearah dahinya, maka ia tidak langsung membenturkan ilmunya, tetapi ia masih berusaha untuk mengelak.
Mahisa Bungalan yang tidak dapat lagi bergeser mundur itu masih sempat menghindar ke samping. Namun dalam pada itu, hatinya bergetar ketika ia melihat, betapa dahsyatnya senjata lawannya itu menghantam dinding kayu yang tebal.
Terdengar suara gemeretak serta derak yang memekakkan telinga. Sebagian dinding kayu itu ternyata terbelah oleh kekuatan ilmu dan senjata Pangeran Kuda Rukmasanti.
Pangeran Kuda Padmadata menahan nafasnya. Demikian cepat segalanya telah terjadi. Pada saat itu pula, Mahisa Bungalan yang telah mengerahkan ilmunya pada senjatanya, tiba-tiba telah mengayunkan pedangnya, menghantam senjata Kuda Rukmasanti.
Benturan telah terjadi. Jauh lebih dahsyat dari benturan-benturan sebelumnya. Dua ilmu telah beradu. Namun Mahisa Bungalan yang memukul punggung senjata lawannya agaknya lebih mapan. Namun senjatanya lah yang agaknya kurang baik, Senjata yang dapat direngut dari seorang pengawal itu tidak mampu menahan benturan ilmu. yang luar biasa, sehingga ketika bunga api memercik, ternyata bahwa pedangnya telah patah.
Tetapi dalam pada itu, senjata Pangeran Kuda Rukmasanti yang dihantam pada punggungnya itupun telah terlepas dari genggamam Pangeran Kuda Rukmasanti.
Pangeran Kuda Rukmasanti terkejut mengalami benturan yang dahsyat itu. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya itu tidak saja mampu mengimbangi kekuatan dan kemampuan wajarnya, tetapi iapun mampu membentur kekuatan puncak ilmunya dengan pengerahan tenaga cadangan. Bahkan dengan demikian, lawannya itu telah mampu menghantam dan melepaskan genggaman senjatanya, meskipun senjata lawannya itupun telah patah pula.
Pangeran Kuda Padmadata pun menjadi berdebar-debar. Ternyata anak orang yang berdiri di pintu, di sisinya itu, memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan adik kandungnya, kemampuan yang sukar dicari bandingannya.
“Luar biasa” desis Pangeran Kuda Padmadata, “itulah sebabnya mereka berani bertindak pada keadaan yang sangat gawat. Jika anak muda itu mampu berbuat demikian, bagaimana dengan ayahnya dan orang-orang yang lain yang termasuk di dalam kelompok mereka”
Di luar sadarnya, maka Pangeran Kuda Padmadata itu pun memandang ke sekelilingnya. Dengan berdebar-debar ia melihat beberapa orang yang sudah mutlak dikuasai oleh beberapa orang yang mengaku petugas dari Singasari itu. Para pengawal, bahkan pemimpin-pemimpinnya sama sekali tidak berdaya menghadapi orang-orang tua dari Singasari itu, sehingga mereka dapat ditundukkan tanpa mengorbankan jiwa.
Sekilas Pangeran Kuda Padmadata melihat dua orang pengawalnya yang telah dibunuhnya. Tetapi ia tidak menyesal. Kedua orang itu benar-benar merupakan hantu yang paling licik yang selalu membayanginya.
Dalam pada itu, kedua orang anak muda yang telah kehilangan senjata masing-masing itu ternyata masih bertempur terus. Mereka sudah berada pada puncak kemampuan mereka. Meskipun bertempur dengan tangan mereka namun kedahsyatan sentuhan tangan mereka tidak kalah dahsyatnya dari benturan-benturan senjata.
Ruang yang menjadi arena pertempuran itu sudah berserakkan. Bukan saja perabotnya. Tetapi dinding-dindingnya pun sudah menjadi pecah oleh hentakan kekuatan yang tidak ada taranya.
Benturan demi benturan telah terjadi. Masing-masing dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dan mengerahkan segenap daya tahan tubuhnya.
Namun demikian, setelah memeras tenaga dan kemampuan, maka ternyata bahwa betapapun tinggi ilmu yang mereka miliki, tetapi mereka masih tetap didalam lingkup keterbatasan. Kedua anak muda yang sedang bertempur itu masih tetap dua orang yang terdiri dari wadag mereka. Daging dan tulang mereka masih juga daging dan tulang se wajarnya.
Dengan demikian, maka setelah ilmu mereka berbenturan dengan dahsyatnya pada puncak kemampuan, maka mulai nampak tenaga mereka pun mulai susut. Pengerahan tenaga cadangan mereka pada puncak ilmu mereka tidak lagi sedahsyat pada benturan-benturan yang pertama.
Namun pada saat-saat yang demikian, maka perbedaan tingkat kemampuan kedua anak muda yang seimbang itu, mulai nampak. Ternyata bahwa ketahanan merekalah yang berbeda.
Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang anak muda yang luar biasa. Yang memiliki ilmu yang tidak ada taranya, yang seimbang dengan ilmu yang dimiliki oleh Mahisa Bungalan. Namun kemampuan yang seimbang itu ternyata didukung oleh daya tahan yang berbeda. Mahisa Bungalan adalah seorang yang membiasakan diri hidup dalam keprihatinan. Bahkan ia adalah seorang perantau yang dengan caranya telah menempa diri. Sementara Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang Pangeran yang terbiasa hidup dalam genangan pesona hidup duniawi. Meskipun Pangeran Kuda Rukmasanti telah bekerja keras untuk menguasai ilmu yang dahsyat seperti juga kakaknya Pangeran Kuda Padmadata, bahkan mungkin dalam tataran yang lebih baik, namun ia tidak menempa dirinya sedahsyat Mahisa Bungalan.
Karena itulah, Maka pada saat-saat terakhir, Mahisa Bungalan yang mempunyai daya tahan yang lebih besar, ternyata sedikit demi sedikit, berhasil mendesak lawannya.
Namun demikian, itu belum berarti akhir dari pertempuran itu. Jika Mahisa Bungalan melakukan kesalahan sedikit saja, maka ia akan terperosok ke dalam kesulitan yang berbahaya.
Tetapi Mahisa Bungalan pun ternyata berusaha untuk bertempur dengan cermat di saat-saat terakhir. Ia tidak mau membuat kesalahan sama sekali. Bahkan ia telah mengambil keputusan untuk melumpuhkan lawannya yang dianggapnya seorang pengkhianat terhadap saudara kandungnya sendiri.
Perlahan-lahan Mahisa Bungalan berhasil mendesak lawannya. Ketika Pangeran Kuda Rukmasanti menghentakkan kekuatannya menghantam Mahisa Bungalan dengan tangan terjulur lurus mengarah ke dada, maka Mahisa Bungalan sempat mengelak. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak dinding yang pecah. Namun pada saat yang tepat, Mahisa Bungalan sempat merendahkan dirinya. Kakinya dengan cepat terayun menghantam lambung.
Kemampuan yang dilambari dengan ilmunya yang dahsyat itu telah melemparkan Pangeran Kuda Rukmasanti. Meskipun tubuh Pangeran muda itu juga dilambari dengan kemampuan puncaknya, namun kekuatan kaki Mahisa Bungalan masih terasa menyesakkan nafasnya.
Dengan sigapnya Pangeran Kuda Rukmasanti berusaha untuk meloncat bangkit. Namun demikian ia berdiri tegak, Mahisa Bungalan telah meluncur bagaikan anak panah yang dilontarkan dari busurnya. Dengan kaki terjulur lurus menyamping, Mahisa Bungalan menyerang Pangeran Kuda Rukmasanti yang baru bangkit berdiri. Tidak ada kesempatan apapun juga yang dapat dilakukan. Demikian Pangeran itu berdiri tegak, maka serangan Mahisa Bungalan menghantam tengkuknya sehingga sekali lagi Pangeran Kuda Rukmasanti terdorong jatuh terbanting di lantai.
Pangeran Kuda Rukmasanti mengeluh tertahan. Tetapi kemarahan di dadanya telah menghentakkannya untuk bangkit. Betapapun perasaan sakit mencengkamnya, tetapi dengan tangkasnya ia meloncat berdiri. Ia tidak mau sekali lagi dikenai serangan Mahisa Bungalan. Karena itu, maka dengan cermat ia mengamati setiap gerak lawannya.
Mahisa Bungalan yang tidak mau kehilangan kesempatan telah meloncat sekali lagi. Tangannyalah yang kemudian terjulur menghantam kening.
Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti masih sempat mengelak. Ia memalingkan wajahnya sambil menarik tubuhnya secengkang, sehingga tangan Mahisa Bungalan tidak menyentuhnya. Bahkan dengan serta merta, maka Pangeran Kuda Rukmasanti itu berkisar setapak ke samping. Dan dengan kuatnya ia menghantam bagian samping dada Mahisa Bungalan dengan kerasnya.
Terasa nafas Bungalan menyesak. Bahkan sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, Pangeran Kuda Rukmasanti telah berputar. Dengan kerasnya Pangeran itu menghantam pangkal leher Mahisa Bungalan dengan sisi telapak tangannya.
Mahisa Bungalan lah yang kemudian menyeringai menahan sakit yang menyengat. Namun ia tidak mau membiarkan dirinya dikenai beruntun olah lawannya.
Pada jarak gapai tangannya, justru pada saat Pangeran Kuda Rukmasanti menyerangnya, Mahisa memiringkan tubuhnya, sehingga ia sempat menangkis serangan kaki lawannya dengan sikunya. Benturan itu memang merupakan benturan ilmu yang sangat dahsyat, sehingga ternyata bahwa Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Rukmasanti telah terdesak surut beberapa langkah.
Demikian keduanya memperbaiki kedudukan mereka, maka keduanya telah berhadapan dengan garangnya.
Pada keadaan yang demikian, baik Pangeran Kuda Padmadata, maupun Mahendra dapat melihat dengan jelas, bahwa keadaan Mahisa Bungalan masih lebih baik dari lawannya. Pernafasan Kuda Rukmasanti menjadi semakin memburuk oleh sesak didadanya, juga oleh tenaganya yang terperas.
Meskipun Mahisa Bungalan telah mandi keringat, serta pernafasannya pun mulai semakin cepat mengalir, namun ia masih nampak lebih kuat dari lawannya.
“Kuda Rukmasanti” panggil Pangeran Kuda Padmadata dengan cemas. Lalu, “Sudahlah. Marilah kita berbicara dengan baik. Semuanya telah dapat diketahui dengan pasti”
Pangeran Kuda Rukmasanti memandang kakak kandungnya dengan tatapan mata penuh kebencian. Dengan kasar ia menjawab, “Kau harus tunduk kepadaku. Aku akan membunuh siapa saja yang menentang maksudku”
“Adimas” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “marilah kita berbicara. Bagaimana juga, aku adalah kakak kandungmu. Kau adalah adikku”
“Cukup” Pangeran Kuda Rukmasanti berteriak, “jangan merajuk. Sudah saatnya kau mengetahui segala rencanaku. Kau akan kehilangan anak isterimu yang kau ambil dari padukuhan itu. Jika pada saatnya kau mati, mungkin karena kecelakaan atau karena sebab-sebab lain sehingga kau mati muda, maka segala warisan akan jatuh ke tanganku dan puteri yang disebut isterimu itu”
“Ya, ya. Aku tahu” berkata PangeranKuda Padma data, “untuk itu kau tidak perlu menunggu aku mati. Kau tidak perlu membunuh anak isteriku. Biarlah aku serahkan semuanya kepadamu. Aku akan menyingkir dan hidup di kalangan orang-orang padesan bersama isteri dan anakku, aku tidak akan mengingat lagi, bahwa aku dalah Pangeran Kuda Padmadata”
“Omong kosong. Kau hanya ingin menyelamatkan dirimu” geram Pangeran Kuda Rukmasanti, “pada saatnya kau akan berusaha membunuh aku”
“Orang yang hina” Mahisa Bungalan lah yang tidak tahan lagi mendengar percakapan itu, “kau tidak mempunyai kesempatan lagi tanpa belas kasihan Pangeran Kuda Padmadata”
“Mahisa Bungalan” potong Mahendra, “biarlah masalahnya diselesaikan antara kakak beradik itu”
Mahisa Bungalan menggeram. Rasa-rasanya ia tidak sabar menunggu lagi. Tangannya sudah gemetar, sementara ilmunya masih mapan pada puncak kemampuannya.
Setiap saat ia menerkam lawannya, maka pada jari-jarinya masih terungkap kekuatannya yang tiada taranya, yang tiap saat pula dapat merengut nyawa lawannya itu.
Namun dalam pada itu, ruangan itu telah digetarkan suara Pangeran Kuda Rukmasanti, “jangan bicara lagi. Marilah, siapa yang ingin aku bunuh, majulah. Aku akan membunuh kalian semuanya. Kalian orang dungu, dan kakangmas Kuda Padmadata. Kemudian siapapun juga yang mencoba melibatkan diri dalam masalah kami”
Pangeran Kuda Padmadata melangkah maju. Dengan hati-hati ia berkata, “Kau sudah tidak banyak kesempatan adimas. Orang-orangmu telah terbunuh. Kedua orang yang kau tempatkan di sisiku itupun telah terbunuh. Darahku masih mendidih pada saat mereka melawanku, sehingga aku tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lain kecuali membunuh mereka”
“Aku tidak tergantung kepada siapapun juga” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti, “aku adalah aku. Dan aku akan membunuh semua orang di sini”
Jantung Mahisa Bungalan bagaikan akan meledak. Ia sudah tidak dapat menahan diri lagi melihat sikap Pangeran Kuda Rukmasanti. Darah yang meleleh dari luka masing-masing, nampaknya telah membuat jantung mereka hangus terbakar oleh gejolak kemarahan yang tidak terkekang.
Hanya karena ayahnya lah maka Mahisa Bungalan masih berusaha untuk menahan diri.
Namun agaknya Pangeran Kuda Padmadata yang marah itu, telah berusaha menguasai perasaannya. Kemarahannya telah tersalur dan terhunjam lewat tombaknya ke tubuh kedua orang yang setiap hari membayanginya dan yang baginya sangat memuakkan itu. Bahkan kadang-kadang kedua orang itu berani membentaknya, mendorongnya dan justru kadang-kadang menyakitinya, dengan ancaman, bahwa setiap perlawanan akan berakibat kematian anak dan isterinya.
Selangkah lagi ia maju mendekati adiknya. Dan dengan suara lunak ia berkata, “Sudahlah adimas. Marilah kita berbicara sebagai dua orang saudara. Selain kita, masih ada paman dan bibi kita yang dapat memberikan beberapa petunjuk tentang hidup kita dimasa datang. Atau barangkali orang-orang tua lainnya yang kita anggap cukup bijaksana”
“Persetan dengan orang lain” geram Kuda Rukma santi, “kau akan menyeret aku kepada pengadilan keluarga? Kau akan menyudutkan aku ke dalam kesulitan, karena orang-orang tua itu akan menunjuk hidungku sambil menyeringai dengan bengis. Mereka akan meneriakkan hukuman yang paling berat yang harus aku tanggungkan”
“Tidak. Tidak” sahut Pangeran Kuda Pamdadata dengan serta merta, “jika memang tidak kau kehendaki, aku tidak akan minta nasehat kepada siapapun juga. Kita akan menyelesaikan persoalan kita. Aku akan menurut apa yang akan kau putuskan tentang istana ini, tentang isinya dan tentang apapun juga yang kau kehendaki”
“Kau memancing aku. Kau sudah menjadi licik kakangmas. Jika kau masih jantan marilah. Kita masih mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan persoalan kita dengan sikap laki-laki”
“Apakah yang akan kita pertengkarkan dengan perang tanding semacam itu adimas”
“Istana peninggalan ayahanda, isinya dan perempuan itu”
“Ambillah semuanya tanpa perang tanding. Aku sudah mengaku kalah. Ambillah isinya, dan ambillah puteri yang memang belum pernah menjadi isteriku itu” Pangeran Kuda Padmadata berhenti sejenak, “lalu apa lagi?”
“Licik. Licik. Licik kau. Marilah, aku bunuh kau” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti.
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Namun ia benar-benar tidak ingin melawan adiknya. Adik kandungnya, yang pada masa kecilnya setiap hari bermain bersama, berlari-larian dan memang kadang kadang mereka bertengkar. Tetapi tidak lebih lama dari sepenginang.
Ternyata bahwa Kuda Padmadata benar-benar tidak ingin berkelai melawan adiknya. Dengan susah payah ia mencoba membujuknya. Namun dengan keras adiknya membentak dan bahkan mengumpat.
“Lalu apakah yang kau kehendaki sebenarnya adimas?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata, “Aku sudah menyerahkan segala-galanya tanpa kecuali. Aku bersikap jujur. Bukan sekedar ingin menjebakmu, karena kedudukanku sekarang jauh lebih baik dari kedudukanmu”
“Bohong” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti.
“Lihatlah. Orang-orang sudah terbunuh. Yang lain menyerah dan meletakkan senjatanya” jawab Pangeran Kuda Padmadata.
“Tetapi isterimu itu akan aku bunuh dengan anak laki-lakimu sekaligus” teriak adiknya.
“Ia sudah berada di tangan yang aman. Kau tidak akan dapat melakukannya” sahut Pangeran Kuda Padmadata, “karena itu, tidak ada gunanya aku menjebakmu dengan licik. Jika aku mau, segala dapat terjadi tanpa jebak-jebakan. Tanpa melakukan kelicikan dan tanpa pengkhianatan. Kau memang sudah tidak berdaya. Karena itu, jika aku bertanya untuk menyerahkan apa saja selain nyawa isteri dan anak laki-lakiku itu, aku tidak akan berkeberatan”
“Aku minta nyawamu” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti.
“Adimas” Pangeran Kuda Padmadata terkejut. Ia tidak menduga sama sekali bahwa kesesatan hati itu sudah mencekamnya demikian dalamnya.
Sejenak Pangeran Kuda Padmadata termangu-mangu. Namun dalam pada itu, Pangeran Kuda Rukmasanti berteriak, “Cepat. Ambil keputusan. Menyerahkan lehermu di sini, atau bertempur sampai mati”
Pangeran Kuda Padmadata termangu-mangu. Namun kemudian dengan kepala tunduk ia berkata, “Aku tidak dapat bertempur melawannya. Aku tidak tahu apakah aku akan kalah atau menang seandainya aku harus berperang tanding. Tetapi aku adalah saudara tuanya. Demikian pula di dalam perguruan. Aku kira aku tidak kalah daripadanya. Tetapi aku tidak dapat melakukannya”
“Jadi, apa yang akan terjadi selanjutnya Pangeran?” bertanya Mahendra.
Pangeran Kuda Padmadata merenung sejenak. Namun iapun kemudian justru memutar diri dan melangkah keluar dari ruangan itu.
Tetapi iblis benar-benar telah menyala di hati adik kandungnya. Demikian Pengeran Kuda Padmadata melangkah menjauh sambil membelakangi adiknya, tiba-tiba saja Pangeran Kuda Rukmasanti telah menyerangnya dengan garangnya. Kedua tangannya berkembang menerkam tengkuk kakaknya.
“Pangeran” Mahendra berteriak.
Pangeran Kuda Padmadata terkejut. Iapun telah meloncat berpaling. Namun yang dilihatnya adalah Mahisa Bungalan yang meloncat dengan serangan kakinya mendatar. Demikian cepatnya, sehingga kaki itu telah lebih dahulu menyentuh tubuh Pangeran Kuda Rukmasanti daripada tangan Pangeran Kuda Rukmasanti yang menerkam kakaknya.
Demikian kerasnya, dilambari dengan kemampuan puncaknya, maka hantaman kaki Mahisa Bungalan telah membenturkan Pangeran Kuda Rukmasanti pada dinding.
Tetapi daya tahan tubuh Pangeran Kuda Rukmasanti pun ternyata luar biasa pula. Karena itu, maka tubuh yang terlempar itu telah memecahkan dinding kayu yang membatasi bilik itu dengan ruang lainnya.
Demikian tinggi kemampuan Pangeran Kuda Rukmasanti, didorong oleh kemarahan yang membakar jantungnya, maka ia pun dengan serta merta telah meloncat berdiri. Dengan tangkasnya ia pun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sikap itu telah membuat darah Mahisa Bungalan mendidih. Ia masih terlalu muda untuk dapat menahan diri dalam keadaan seperti itu. Karena itu, maka tanpa menghiraukan lagi Pangeran Kuda Padmadata dan ayahnya. Mahisa Bungalan meloncat menyerang.
Pertempuran pun segera menyala kembali dengan sengitnya. Keduanya tidak lagi menghiraukan siapapun juga. Mahisa Bungalan tidak lagi melihat ketika Witantra pun kemudian berdiri di pintu bersama Mahisa Agni.
Dengan dahsyatnya Mahisa Bungalan menyalurkan tangannya mengarah kepada Pangeran Kuda Rukmasanti. Tetapi Pangeran itu menarik sebelah kakinya dan bergeser ke samping. Dengan sekuat tenaga, maka ialah yang kemudian menyerang dengan hentakkan tangan mendatar ke lambung Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan yang marah itu sengaja tidak menghindar. Ia telah menangkis serangan itu dengan kedua sikunya yang merapat dihadapan dadanya sambil merendahkan lututnya.
Telah terjadi benturan kekuatan yang dahsyat. Pangeran Kuda Rukmasanti menyeringai menahan sakit tangannya, sementara Mahisa Bungalan terguncang selangkah surut.
Namun dalam pada itu, meskipun perasaan nyeri menyengat tangannya,, tetapi Pangeran Rukmasanti tidak menghiraukan. Sekali lagi ia berputar pada sebelah tumitnya sementara kakinya yang lain dengan dahsyatnya menghantam lawannya.
Mahisa Bungalan tidak membentur kekuatan kaki lawannya. Ia meloncat menghindarkan. Tetapi kemudian ia pun melenting seperti seekor bilalang, dengan tangannya terjulur lurus menghantam ke arah kening.
Pangeran Kuda Rukmasanti menyilangkan tangannya, ketika terjadi benturan sekali lagi maka tangan Mahisa Bungalan telah bergeser. Setapak ia beringut surut. Sementara Pangeran Kuda Rukmasanti pun terdorong selangkah.
Tetapi kecepatan bergerak Mahisa Bungalan lah yang kemudian mengejutkan lawannya. Sekejab kemudian, tubuh Mahisa Bungalan bagaikan lurus mendatar dan bertumpu pada satu kakinya, sedangkan kakinya yang lain telah menyambar dada lawannya.
Pangeran Kuda Rukmasanti berusaha memukul kaki itu ke samping. Tetapi ia tidak berhasil sepenuhnya. Ternyata kaki Mahisa Bungalan masih mengenai pundaknya, sehingga ia terdorong setapak.
Mahisa Bungalan tidak melepaskan setiap kesempatan Dengan tangkasnya ia meloncat sekali lagi menyerang lawannya. Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti masih sempat memperhitungkan serangan itu, Justru kerena ia masih belum mapan, maka ia justru menjatuhkan dirinya.
Dengan demikian, maka serangan Mahisa Bungalan tidak mengenai sasarannya. Ketergesa-gesaannya telah membenturkannya pada dinding kayu di bagian lain dari ruang itu.
Sekali lagi terdengar dinding kayu itu berderak pecah berserakan.
Dengan demikian, maka bilik itu sudah tidak berujud lagi. Semuanya berserakkan. Dinding pun telah pecah dan patah-patah. Namun pertempuran itu masih berlangsung terus. Mahisa Bungalan segera memperbaiki keadaannya, sementara Pangeran Kuda Rukmasanti telah tegak pula.
Tetapi pernafasan Pangeran Kuda Rukmasanti menjadi semakin cepat berdesakkan di lubang hidungnya. Keringatnya telah terperas, bercampur dengan titik-titik darahnya. Wajahnya yang tegang kadang-kadang nampak merah membara. Namun kadang-kadang nampak keputih-putihan dan bagaikan tidak dialiri oleh darahnya lagi.
Sementara Mahisa Bungalan justru menjadi semakin garang. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati lawannya. Pecahan dinding kayu yang berserakan tidak dihiraukannya lagi. Iapun sama sekali tidak tertarik untuk memungut senjata yang terlepas dari tangan Pangeran kuda Rukmasanti. rasa-rasanya ia lebih percaya pada tangannya yang dialiri oleh kemampuan puncaknya.
Pangeran Kuda Rukmasanti ternyata sama sekali tidak menyadari, betapa kemampuannya telah mulai susut. Nafasnya mulai mengganggunya. Namun gejolak perasaannya justru menjadi semakin menyala membakar kesadarannya bagaikan hangus.
“Adimas” suara Pangeran Kuda Padmadata menjadi parau. Bagaimapun juga, ia merasa gentar di sudut jantungnya, melihat keadaan adik kandungnya.
Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti tidak mendengarnya. Wajahnya yang kadang-kadang pucat, kadang-kadang menyala itu menjadi semakin liar. Bahkan semakin lama. kesan keagungannya sebagai seorang bangsawan tinggi dari Kediri telah lenyap. Yang nampak adalah wajah iblis yang paling buas menghadapi bayangan kebenaran yang menjadi semakin nyata.
“Adimas, kau dengar suaraku?” suara Pangeran Kuda Padmadata bergetar.
Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti justru telah meloncat menyerang Mahisa Bungalan yang telah menjadi semakin dekat. Demikian tiba-tiba dengan mengerahkan segenap kemampuannya.
Mahisa Bungalan yang masih selalu bersiap, tidak sempat mengelak. Sekali lagi mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan puncak ilmunya untuk membentur serangan Pangeran Kuda Rukmasanti.
Akibat benturan yang terjadi berlandaskan segenap kemampuan dari dua orang yang memiliki kekuatan dan. kematangan ilmu yang luar biasa itu, maka akibatnya pun luar biasa pula.
Mahisa Bungalan telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan, oleh pecahan perabot dan dinding yang pecah berserakan, kaki Mahisa Bungalan telah terantuk dan membuatnya terhuyung-huyung. Tenaganya yang telah diperas itu, tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya ia terjatuh meskipun ia masih dalam keadaan sepenuhnya menghadapi kemungkinan yang dapat memburunya.
Tetapi dalam pada itu, akibat yang terjadi pada pangeran Kuda Rukmasanti pun ternyata menggetarkan jantung. Pangeran Kuda Rukmasanti telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di atas pecahan kayu perabot dan dinding yang berserakkan. Namun yg berakibat sangat buruk baginya adalah, bahwa kepala Pangeran Kuda Rukmasanti itu telah membentur batu pada tiang yang terdapat di antara bilik itu tanpa dapat mengelak lagi.
Namun yang terdengar dari bibir Pangeran Kuda Rukmasanti mengejutkan sekali. Dengan suara gemetar dan terputus-putus Pangeran yang masih muda itu menggeram, “Aku bunuh kau, isteri dan anakmu yang tidak pantas mewarisi segala yang kau miliki karena derajatnya.”
Terdengar Pangeran itu mengaduh. Betapa gejolak yang menggelora di dalam dadanya masih sempat menghentakkannya bangun. Namun sekali lagi terhuyung-huyung dan jatuh terbaring di lantai. Tangannya mengusap bagian belakang kepalanya yang telah membentur sudut batu yang telah melukai bagian belakang kepalanya itu.
“Adimas” Pangeran Kuda Padmadata yang mengetahui apa yang telah terjadi itu, telah berlari-lari mendekatinya.
Ternyata bahwa Pangeran Kuda Padmadata, saudara yang lebih tua dari Pangeran Kuda Rukmasanti benar-benar berusaha untuk melenyapkan segala pertengkaran yang pernah terjadi. Dengan perasaan haru seorang kakak kandung, maka pangeran Kuda. Padmadata itu telah mengangkat kepala adiknya dan diletakkan pada pangkuannya.
“Adimas” desisnya.
Ternyata bahwa keadaan Pengeran itu benar-benar sudah parah. Dari bagian belakang kepalanya mengalir darah, agaknya terbentur ompak itu sudah melukai tulang belakang kepala itu.....
Pangeran Kuda Rukmasanti menyeringai menahan, sakit.
“Adimas, kau mendengar suaraku?” sekali lagi Pangeran Kuda Padmadata berdesis ditelinga adiknya.
Namun yang terdengar dari bibir Pangeran Kuda Rukmasanti mengejutkan sekail Dengan suara gemetar dan terputus-putus Pengeran yang masih muda itu menggeram, “Aku bunuh kau, istri dan anakmu yang tidak pantas mewarisi segala yang kau miliki karena derajatnya”
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Segalanya akan terjadi. Tetapi sadarilah keadaanmu Tenangkan hatimu. Kau memerlukan seorang tabib yang baik untuk mengobati luka-lukamu”
“Aku tidak terluka” tiba-tiba saja Pangeran itu menghentakkan dirinya. Namun ternyata tenaganya sama sekali tidak mampu lagi mendukungnya. Karena itu, maka iapun terkulai lagi dengan lemahnya. Bahkan dari sudut bibirnya mulai mengalir darah yang kehitam-hitaman.
“Animas, animas” pangal Pangeran Kuda Padmadata.
Tidak ada jawaban. Nafas Pangeran yang masih muda itu pun menjadi semakin sendat.
Akhirnya, yang sangat dicemaskan itu telah terjadi. Pangeran yang masih sangat muda untuk berpeluk dengan maut itu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Yang lebih menggelisahkan hati Pangeran Kuda Padmadata ialah bahwa adiknya di saat-saat terakhir, masih belum dapat mengerti, apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia masih belum melihat kesalahan yang telah menggerakkannya untuk melakukan suatu pengkhianatan terhadap kakak kandungnya sendiri.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Pangeran Kuda Padmadata berdesis, “Ia telah kehilangan segala kesempatan. Kesempatan terakhir pun tidak dipergunakannya untuk menghubungkan dirinya dengan Yang Maha Agung”
Mahendra telah berlutut pula di sisinya. Di sebelah lain Mahisa Agni dan Witantra pun telah duduk pula diatas pecahan kayu yang berserakkan, sementara Mahisa Bungalan masih berdiri dengan nafas terengah-engah.
“Kemarilah Mahisa Bungalan” panggil ayahnya.
Mahisa Bungalan memandang orang-orang yang berada di dalam bilik itu sejenak. Namun iapun kemudian beringsut maju dan duduk di belakang Mahisa Agni.
“Maafkan anak itu Pangeran” berkata Mahendra, “iapun masih terlalu muda untuk mengekang diri”
“Tidak. Ia tidak bersalah. Ia sudah melakukan sesuatu yang menurut keyakinannya, akan dapat bermanfaat bagi sesamanya. Ia telah berjuang untuk tegaknya keadilan di dalam lingkungan keluarga kecilku. Bahkan ia telah berjuang untuk memulihkan keluargaku yang terpecah dan terancam akan punah” berkata Pangeran Kuda Padmadata.
Mahendra mengangguk-angguk, sementara Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Terbayang segalanya yang telah dilakukannya sejak ia bertemu dengan seorang laki-laki yang dengan segenap kemampuan yang ada padanya, berusaha menyelamatkan seorang cucu laki-lakinya, yang ternyata adalah putera Pangeran Kuda Padmadata.
“Ki Sanak” berkata Pangeran Kuda Padmadata kemudian, “cobalah, panggillah puteri yang berada di bilik depan. Biarlah ia melihat akibat dari akhir permainan yang telah dilakukan oleh Rukmasanti bersamanya”
Witantra menjadi ragu. Namun ia pun berdiri pula ketika Mahisa Agni menggamitnya dan mengisyaratkannya agar mereka berdua melakukan permintaan itu.
Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian pergi ke bilik depan. Bilik yang tertutup rapat dan diselarak dari dalam.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mengetuk pintu itu sambil berkata, “Puteri. Hamba mendapat perintah untuk me manggil puteri”
“Siapa kau?” terdengar suara dari dalam.
“Hamba adalah pekatik yang telah bersalah mengambil barang-barang milik puteri di ruang penyimpanan” berkata Mahisa Agni.
“Apa yang terjadi?” bertanya puteri itu.
“Sebaiknya puteri datang sendiri. Pangeran memanggil tuan puteri”
“Pangeran siapa?” bertanya puteri itu.
“Sejenak Mahisa Agni ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Pangeran Kuda Rukmasanti”
Sejenak bilik itu menjadi sepi. Namun telinga Mahisa Agni dan Witantra yang tajam mendengar embannya berbisik, “Berhati-hatilah puteri. Mungkin orang-orang itu ingin menjebak tuan puteri dengan maksud buruk”
Mahisa Agni termangu-mangu. Agaknya puteri itu pun mendengar hiruk pikuk yang terjadi. Bahkan puteri itu pun tentu mengetahui, bahwa telah terjadi pertempuran yang sengit.
Sejenak Mahisa Agni menunggu. Namun kemudian ia mendengar puteri itu berkata, “Lihatlah, siapakah orang-orang itu”
Emban itu tidak membuka pintu. Tetapi ia telah mencoba melihat orang-orang yang mengetuk pintunya dari lubang daun pintu yang sempit. Namun dari lubang yang sempit itu ia melihat Mahisa Agni dan seorang yang tidak dikenalnya. Tetapi agaknya kedua orang itu tidak berbahaya bagi mereka. Apalagi keduanya agaknya tidak bersenjata”
“Yang seorang memang hamba istana ini” bisiknya kepada puteri yang gelisah.
“Bukalah pintu” perintah puteri itu.
Emban itu telah menarik selarak dan membuka pintu. Selarak yang sebenarnya tidak berarti bagi Mahisa Agni apabila ia ingin memaksa membuka pintu itu.
“Puteri” Mahisa Agni dan Witantra mengangguk dalam-dalam. Demikian hormatnya, sehingga puteri itu pun kemudian tidak mencurigainya lagi.
“Hamba mendapat perintah untuk memanggil tuan puteri” berkata Witantra kemudian.
“Siapakah yang memerintahkanmu? Benar Pangeran Kuda Rukmasanti?” bertanya puteri itu.
“Hamba tuan puteri” jawab Mahisa Agni.
“Apakah yang sudah terjadi?” bertanya puteri itu pula.
“Sedikit perselisihan. Tetapi semuanya sudah selesai”
“Kenapa bukan para pengawal yang datang menjemputku?” bertanya puteri itu.
Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Namun ia pun kemudian menjawab, “Para pengawal sedang mengawasi beberapa orang yang terlibat dalam perselisihan itu tuan puteri”
“Perselisihan apa sebenarnya?” bertanya puteri itu.
“Hamba tidak jelas tuan puteri. Tetapi persoalannya memang menyangkut persoalan perhiasan itu”
Puteri itu masih ragu-ragu. Namun kemudian katanya kepada embannya, “Ikut aku”
Puteri itu pun kemudian diantar oleh embannya menuju ke ruang yang khusus di bagian belakang istana itu, Ketika ia sampai di serambi, maka iapun terkejut. Ia melihat beberapa orang di antara para pengawal, justru duduk diam, sementara seorang tua berdiri mengawasi mereka.
“O” Puteri itu hampir menjerit ketika ia melihat dua sosok mayat di halaman.
“Silahkan puteri” berkata Mahisa Agni, “jangan hiraukan yang terjadi, Pangeran Kuda Rukmasanti telah menunggu”
Puteri itu menjadi semakin ragu-ragu. Apalagi ketika ia melihat sebuah bilik yang pecah dindingnya dan perabotnya berserakan.
“Masuklah” Mahisa Agni mempersilahkan.
Dengan hati yang berdebar-debar puteri itu berdiri di muka pintu Jantungnya bagaikan berhenti berdetak ketika ia melihat seseorang yang memangku kepala orang lain yang terbujur diam.
“Siapa?” suaranya tertahan dikerongkongan.
Puteri itu menjadi pucat ketika ia melihat Pangeran Kuda Padmadata berpaling. Dengan suara tertahan Pangeran itu berkata, “Lihatlah. Inilah Pangeran Kuda Rukmasanti”
Puteri itu maju selangkah. Namun puteri itu tiba-tiba telah memekik tinggi sambil berlari-lari mendekati sesosok mayat yang terbujur di pangkuan Pangeran Kuda Padmadata.
“Pangeran, Pangeran” teriak puteri itu.
“Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti sama sekali tidak menyahut.
“Kenapa Pengeran?” bertanya puteri itu sambil memandang wajah Pangeran Kuda Padmadata.
“Ia telah membentur ompak batu itu” jawab Pangeran Kuda Padmadata.
“Kenapa hal itu dapat terjadi?”
Pangeran Kuda Padmadata termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Aku menyesal bahwa adikku telah terbunuh Tetapi aku tidak dapat menyalahkan orang lain. Ia telah memetik buah dari tanamannya sendiri” Pangeran Kuda Padmadata berhenti sejenak, lalu, “semuanya sudah berakhir”
“Maksud Pangeran?” bertanya puteri itu.
“Selama ini aku selalu dibayangi oleh niat dan maksud yang kurang baik dari adikku, aku sama sekali tidak ingin mengakhiri dengan cara ini. Tetapi demikianlah yang terjadi”
Puteri itu terdiam sejenak. Namun tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Semuanya berakhir. Akupun kini akan bebas dari ketakutan dan kepura-puraan”
Semua orang terkejut mendengar kata-kata puteri itu. Semua mata pun tertuju ke arahnya. Dengan ragu-ragu Pangeran Kuda Padmadata bertanya, “Apakah maksudmu?”
Puteri itu termenung sesaat. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya Perlahan-lahan terdengar suaranya sendat, “Ampun Pangeran. Selama ini aku merasa diriku dipanggang oleh api yang paling panas” ia berhenti sejenak. Bahkan kemudian terdengar ia terisak, “aku telah dikuasai oleh Pangeran Kuda Rukmasanti yang tamak aku sama sekali tidak dapat melawan kehendaknya, karena aku tidak sampai hati menyakiti hati Pangeran Kuda Padmadata. Aku tahu, bahwa isteri Pangeran yang pertama, dan putera Pangeran laki-laki berada di bawah kekuasaan Pangeran Kuda Rukmasanti, sehingga apabila aku melawan kehendaknya, maka isteri Pangeran yang pertama dan putera Pangeran itu akan mengalami kesulitan. Karena itu, aku terpaksa berbuat sesuai yang dihendaki oleh Pangeran Kuda Rukmasanti, demi kesetiaanku kepada Pangeran Kuda Padmadata, meskipun aku adalah seorang isteri yang kedua. Namun adalah menjadi kewajibanku untuk menunjukkan bakti dan kesetiaan, yang barangkali terpaksa aku lakukan dengan cara yang tidak terpuji”
Ruangan itu menjadi hening sesaat. Perlahan-lahan Pangeran Kuda Padmadata meletakkan tubuh adiknya yang membeku. Kemudian ditatapnya wajah puteri itu dengan sorot mata yang aneh.
“Apakah benar yang kau katakan?” tiba-tiba Pangeran Kuda Padmadata bertanya.
“Ampun Pangeran, hamba berkata sebenarnya” jawab puteri itu, “jika Pangeran tidak percaya, belahlah dada ini”
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku benar akan membelah dadamu Dan aku akan melihat, bahwa pada jantungmu tumbuh bulu-bulu sebagai pertanda kelamnya sifat dan watakmu”
“Pangeran?”
“Puteri yang manis” desis Pangeran Kuda Padmadata, “siapakah sebenarnya yang telah mendorong adikku berbuat seperti ini? Siapakah sebenarnya yang telah membakar istana ini dengan ketamakan dan kedengkian?”
“O” puteri itu terkejut, “apakah maksud Pangeran dengan tuduhan-tuduhan semacam itu?”
Puteri itu mulai menjadi ketakutan. Namun ia masih mencoba mengelak, “Pangeran, Hamba adalah isteri Pangeran, meskipun hanya isteri kedua. Tetapi hambapun mempunyai kewajiban sebagaimana seorang isteri yang setia. Hamba sudah mengatakan bahwa mungkin cara yang hamba tempuh tidak sesuai dengan keinginan Pangeran. Tetapi dengan demikian, hamba sudah berusaha memperpanjang umur isteri Pangeran yang pertama dan putera laki-laki Pangeran itu”
“O, puteri yang maha bijaksana” berkata Pangeran Kuda Padmadata dengan suara gemetar oleh gejolak perasaannya., “Jika puteri tidak mengatakan demikian, tidak memutar balik kenyataan dan membebankan semua dosa kepada adikku, mungkin aku masih mempunyai perasaan belas kasihan kepadamu. Tetapi ternyata kau adalah iblis yang paling licik. Kau adalah iblis yang berkedok seorang wanita yang paling cantik di Kediri. Kau telah membius adikku dengan kecantikanmu. Kau telah bersepakat dengan Kuda Rukmasanti untuk membelengguku dalam sarang raksasa ini. Tetapi yang Maha Agung telah membebaskan aku dengan lantaran beberapa orang yang ternyata adalah para petugas sandi dari Singasari”
“Paman Mahisa Agni pernah mewakili kuasa Singasari di Kediri” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan memotong, “Demikian pula paman Witantra. Keduanya adalah Senopati Agung, seperti yang sudah aku katakan”
Wajah puteri itu menjadi pucat. Sementara Pangeran Kuda Padmadata berkata, “Aku mengucapkan terima kasih kepada tuan-tuan sekalian, mungkin sikapku terlampau kasar. Tetapi keadaanku saat ini agak berbeda dengan keadaan seorang Pangeran sewajarnya”
“Kami mengerti Pangeran” jawab Mahisa Agni.
“Aku ingin menyerahkan puteri ini kepada kekuasaan tertinggi di Kediri. Mungkin perlu juga diketahui oleh Singasari apa yang telah terjadi disini. Tetapi peristiwa ini adalah peristiwa yang kecil sekali dalam hubungan Singasari dan Kediri, tetapi peristiwa yang maha besar bagi keluargaku” Pangeran Kuda Padmadata berhenti sejenak memandang puteri yang kemudian menangis sambil meratap, “Ampun Pangeran. Hamba mohon ampun”
“Kesalahanmu berlipat ganda. Kau telah menjerumuskan adikku ke dalam kesulitan ini. Dan pada saat terakhir kau telah mengkhianatinya pula” geram Pangeran Kuda Padmadata.
“Bukan maksud hamba sendiri” jawab puteri itu, “tetapi juga dalam persetujuan dengan Pangeran Kuda Rukmasanti”
“Sebenarnya sulit dipercaya, bahwa adikku pada suatu saat akan memusuhi aku tanpa pengaruh orang lain. Ia adalah seorang anak yang baik. Ia sangat penurut, dan bahkan ia kadang-kadang menunjukkan kesediaannya berkorban untuk kepentinganku. Namun pada suatu saat, ia menjadi liar dan buas, justru setelah ia berhubungan dengan kau”
“Hamba mohon ampun. Tetapi jangan serahkan hamba kepada kekuasaan di Kediri, meskipun tuanku akan menghukum hamba dengan cara apa saja” berkata puteri itu, “hamba iklas menerima hukuman Pangeran, karena hamba telah berdosa kepada Pangeran”
“Aku tidak berhak. Biarlah kau berada di tangan mereka yang wajib mengadilimu. Yang wajib menghukum atau mengampunimu” jawab Pangeran Kuda Padmadata.
Puteri itu menangis tertahan-tahan. Seolah-olah ia melihat apa yang pernah dilakukannya. Ia telah menjerumuskan Pangeran Kuda Rukmasanti ke dalam keadaan yang paling pahit. Pangeran yang masih muda itu telah mengakhiri hidupnya dalam keadaan yang mengerikan. Yang terakhir melukainya, bukanlah ujung tombak atau keris. Tetapi ompak batu yang menjadi alas tiang didalam ruang sudah berserakan itu.
Tiba-tiba saja penyesalan yang dalam telah mengorek jantungnya. Dengan suara tertahan-tahan ia berkata, “Pangeran Kuda Padmadata. Hamba memang sudah sepantasnya dihukum. Tetapi aku mohon, hendaklah tuan yang menjatuhkan hukuman atas hamba. Hamba adalah perempuan yang paling hina di seluruh Kediri”
“Sudah aku katakan” jawab Pangeran Kuda Padmadata, “bukan aku yang berhak”
“Meskipun tuan tidak berhak. Tetapi seandainya Pangeran menghendaki, maka tuan dapat menghukum hamba sekarang. Tuan dapat membunuh hamba dihadapan para saksi, bahwa sebenarnyalah hamba telah bersalah” tangis puteri itu.
“Tidak. Tidak” desis Pangeran Kuda Padmadata.
“Jika hamba Pangeran serahkan kepada kekuasaan Kediri, maka hamba hanya akan menjajakan aib yang. tergores di kening. Setiap orang akan memandang hamba seperti memandang seekor binatang melata yang paling rendah derajadnya. Jika hamba kemudian dibawa ke tiang gantungan di ara-ara atau hukuman lain yang harus hamba lakukan, maka kematian hamba akan diiringi oleh perasaan malu yang tentu tidak akan tertanggungkan” puteri itu menangis semakin menjadi jadi, “tetapi jika tuan membunuh aku sekarang, maka perasaan itu akan jauh berkurang menghimpit jantung hamba. Kematian tidak lagi menakutkan bagi hamba, tetapi yang paling mengerikan bagi hamba sekarang, adalah justru perasaan malu dan tidak berharga”
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam Katanya kemudian, “Aku tidak dapat bebuat apa-apa terhadapmu. Tetapi aku bersedia menolongmu, menjauhkan kau dari perasaan malu, Seandainya kau harus aku hukum, maka hukumanmu tidak akan dilakukan di hadapan rakyat Kediri”
Puteri itu mengingat wajahnya. Namun wajah itupun kembali tertunduk. Tetapi terdengar suaranya parau, “Hamba mengucapkan terima kasih tuan. Sebenarnyalah, bahwa kebaikan hati Pangeran itu akan hamba imbangi dengan perasaan sesal yang tidak ada taranya. Tentu tuanku tidak akan percaya lagi kepada hamba, apapun yang hamba katakan. Tetapi biarlah hamba mengatakannya juga, bahwa jika hamba melakukannya, bukanlah semata-mata karena keinginan hamba sendiri, meskipun ada juga keterlibatan hamba secara batin dalam muslihat ini”
Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku sudah menduga. Tetapi siapakah orangnya”
Puteri itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian Pangeran, bukan maksud hamba ingin mengurangi kesalahan hamba. Tetapi sebenarnyalah bahwa Pangeran Kuda Rukmasanti pun mengetahui segala-galanya.
“Ya, katakan siapakah orang yang berada bersama kalian itu” desak Pangeran Kuda Padmadata.
Sejenak puteri itu ragu-ragu. Namun tiba-tiba, sebelum puteri itu menjawab, Mahisa Agni meloncat dengan cepatnya, mendorong puteri itu sehingga jatuh tertelungkup.
Namun bersamaan dengan itu, seleret anak panah telah menyambar ke dalam bilik itu. Hampir saja mengenai Mahisa Bungalan. Tetapi dengan gerak naluriah. Mahisa Bungalan agaknya telah beringsut pula.
Sementara puteri itu terjatuh, maka tiba-tiba pula Witantra telah meloncat bagaikan terbang, keluar dari bilik itu. Hampir tidak dapat di ikuti dengan tatapan mata sewajarnya. Yang dapat dilihat oleh orang-orang yang berada diserambi seolah-olah hanyalah sebuah bayangan yang terbang menghilang ke dalam gelap.
Ki Wastu pun tertegun melihat peristiwa itu. Barulah ia sadar sepenuhnya, bahwa Mahisa Bungalan benar-benar seorang anak muda dari lingkungan yang pilih tanding. Orang yang disebut ayahnya, paman-pamannya dan juga yang dianggapnya sebagai gurunya.
Mahendra dan Mahisa Agni pun kemudian menolong puteri itu duduk kembali. Namun kemudian ia pun dibawa beringut ketempat yang lebih terlindung. Sementara Mahendra pun kemudian bangkit dan melangkah ke luar untuk mengamati keadaan.
Tetapi keadaan di luar terasa sangat sepi. Meskipun di serambi beberapa orang duduk di bawah pengawasan Ki Wastu, namun seolah-olah mereka adalah patung yang mati.
Perlahan-lahan Mahendra mendekati Ki Wastu yang termangu-mangu sambil berkata, “Ada seseorang yang terlibat di dalam persoalan yang gawat ini”
“Aku adalah orang tua yang tidak berarti sama sekali. Aku berada di sini, tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ternyata hampir saja merusak keadaan seluruhnya” berkata Ki Wastu.
Ada orang yang berusaha menghilangkan jejak dengan membunuh puteri itu” berkata Mahendra.
Ki Wastu mengangguk-angguk. Dipandanginya arah Witantra menghilang dalam gelap. Namun ia tidak melihat sesuatu.
“Kita akan menunggu” berkata Mahendra.
“Sekedar menunggu?” bertanya Ki Wastu. Mahendra pun termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “aku akan melihat, apa yang terjadi dengan kakang Witantra. Berhati-hatilah kiai. Di dalam ada Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan. Jika perlu, kau harus memanggilnya”
“Baiklah” jawab Ki Wastu.
Mahendra pun termangu-mangu sejenak, ia tidak tahu, kemana Witantra menyusul orang yang telah berusaha membunuh puteri yang sedang mengucapkan beberapa pengakuan itu.
Namun ia pun kemudian melangkah memasuki kegelapan, ke arah Witantra menghilang.
Tetapi Mahendra tidak menjumpai sesuatu. Dengan ketajaman inderanya ia berusaha mencari, apakah di halaman yang gelap di bagian belakang istana itu telah terjadi perkelahian. Namun agaknya, yang didapatnya adalah getar dedaunan disentuh angin malam yang lembut.
Karena itu, maka Mahendra pun tidak melanjutkan langkahnya. Ia sudah kehilangan jejak. Sehingga ia pun justru melangkah kembali ke serambi. Namun ia terkejut ketika ia mendengar desir lembut. Dengan tangkasnya ia berkisar, menghadap kearah suara itu.
Yang dilihatnya adalah sesosok bayangan yang terkejut pula melihat kehadirannya. Tetapi segera mereka saling mengenal, bahwa yang datang itu adalah Witantra.
“Bagaimana?” bertanya Mahendra.
“Aku kehilangan jejak” jawab Witantra.
“Ternyata bahwa segalanya belum berakhir. Jika orang itu dapat melepaskan diri dari tangan kakang Witantra, maka orang itu tentu bukan orang kebanyakan”
“Ya” jawab Witantra, “karena itulah, maka segalanya masih harus dipersoalkan. Pangeran Kuda Padmadata mungkin akan berhadapan dengan orang-orang yang justru lebih berbahaya dari orang-orang yang nampak dan membayanginya selama ini. Mungkin orang-orang yang tersembunyi itu merasa bahwa tidak ada lagi kesempatan yang dapat dilakukannya, selain dengan kekerasan terbuka, sementara mereka adalah orang-orang yang pilih tanding”
Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Untunglah bahwa perempuan dan anak laki-lakinya itu telah dititipkan ke dalam istana Singasari, sehingga mereka berada dalam perlindungan para prajurit. Mungkin orang-orang yang tersembunyi itupun tidak akan tinggal diam. Mungkin mereka pun akan mempergunakan perempuan dan anak laki-lakinya itu sebagai bahan untuk mematahkan perlawanan Pangeran Kuda Padmadata atas segala maksudnya”
“Tetapi jika yang mereka maksudkan adalah warisan, maka mereka tidak akan mendapatkan saluran lagi” berkata Witantra kemudian, “tidak ada perempuan yang dapat disebut isteri Pangeran Kuda Padmadata, dan tidak ada orang yang dapat disebut saudara kandungnya lagi”
“Kecuali dengan kekerasan” desis Mahendra.
“Maksudmu, perampokan?” berkata Witantra.
Mahendra mengangguk, sementara Witantra berkata, “Jika demikian, para pengawal di istana ini yang tentu akan dibangun lagi oleh Pangeran Kuda Padmadata, akan lebih mudah menghadapinya. Betapa besar kekuatan mereka, maka isyarat yang disembunyikan, akan terdengar dari gardu-gardu perondan para pengawal kota. Mereka akan segera datang membantu sehingga perampokan itu akan dapat digagalkan”
Witantra mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Mungkin akan dicari cara lain. Namun sebaiknya Pangeran Kuda Padmadata tidak meninggalkan kewaspadaan menghadapi segala kemungkinan yang mungkin kasar, tetapi mungkin juga dengan halus”
“Tetapi puteri itu dapat diselamatkan oleh Mahisa Agni” desis Mahendra, “ia akan dapat menjadi sumber keterangan yang mudah-mudahan dapat mengungkapkan persoalan ini sampai tuntas”
Keduanya pun kemudian kembali ke serambi. Mereka masih melihat Ki Wastu berada di tempatnya, mengawasi orang-orang yang duduk dengan lesu.
“Bagaimana?” bertanya orang tua itu. Witantra menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak menemukannya”
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun menyadari, bahwa persoalan yang mereka hadapi memang belum selesai. Tetapi, ia tidak mengatakan sesuatu. Ia menunggu perkembangan terakhir dari pembicaraan orang-orang yang berada didalam. Meskipun ia adalah mertua Pangeran, tetapi Ki Wastu merasa dirinya tidak lebih dari orang padesan yang tidak berhak untuk berbuat sesuatu selain me nunggu dan menjalankan perintah yang akan diterimanya.
Dalam pada itu, maka Witantra dan Mahendra pun telah masuk kembali ke dalam bilik yang sudah menjadi porak poranda itu. Mereka melihat puteri yang ketakutan itu duduk di sudut, dijaga oleh Mahisa Agni dengan tubuh gemetar. Sementara Pangeran Kuda Padmadata berdiri di samping tubuh adiknya yang membeku.
“Tidak ada seorang pun yang dapat aku ketemukan” berkata Witantra.
“Tentu bukan orang kebanyakan” desis Mahisa Agni, “bahwa ia berhasil mendekati pintu itu tanpa diketahui oleh seorang pun, merupakan pertanda bahwa ia termasuk orang yang pilih tanding”
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya perempuan yang pernah disebut sebagai isterinya itu dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Katakan, siapakah orang yang berada di belakang kalian, yang hampir saja membunuhmu itu?”
Puteri itu masih menggigil. Namun Mahisa Agni pun kemudian berkata, “Jangan takut puteri. Puteri akan aman di sini, karena di sini ada beberapa orang pengawal dan usaha itu telah digagalkan, sehingga tidak akan ada orang yang berani mencoba lagi”
Puteri itu masih ragu-ragu. Wajahnya masih pucat, dan bibirnya nampak bergetar oleh ketakutan yang sangat.
Tetapi Puteri itu tidak segera mengatakan, nama yang dikehendaki oleh Pangeran Kuda Padmadata. Bahkan puteri itu telah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil terisak.
“Puteri” berkata Mahisa Agni, “jika puteri mengatakannya, maka beban di dalam dada puteri akan menyusut. Seolah-olah beban itu sudah puteri letakkan. Bukankah puteri sudah mengatakan, bahwa hukuman apapun tidak lagi menggetarkan jantung puteri, jika hukuman itu harus puteri lakukan, kecuali apabila puteri harus menanggung malu di hadapan rakyat Kediri?”
Puteri itupun mengangguk kecil.
“Nah, katakan” desis Mahisa Agni, “dengan demikian maka kesalahan dari peristiwa ini tidak akan memberati pundak puteri, sehingga puteri akan di arak berkeliling kota sebelum dibawa ke tiang gantungan.”
“O” desahnya.
“Katakan” desak pangeran Kuda Padmadata. Karena puteri itu masih berdiam diri, maka Pangeran Padmadata lah yang kemudian menyebut sebuah nama, “Apakah paman Herbuntala, ayahmu itulah yang telah menggerakkan hatimu untuk melakukan pengkhianatan ini?”
Puteri itu menggelengkan kepalanya.
“Jika bukan ayahmu, siapa? Dan apakah ayahmu tidak tahu menahu akan segala muslihatmu itu?”
“Tidak Pangeran” jawab puteri itu sambil menangis, “ayahanda sudah terlalu tua untuk melakukannya”
“Jadi siapa?” Pangeran Kuda Padmadata sudah hampir kehilangan kesabaran. Lalu katanya, “Baiklah. Jika tidak ada orang lain, maka kau adalah pangkal dari segala yang telah terjadi. Kau akan menanggung segala kesalahan dan dosa itu seluruhnya, karena adikku sudah mati”
“Pangeran dapat menghukum mati hamba sekarang juga” tangis puteri itu.
“Bukan aku” suara Pangeran Kuda Padmadata semakin keras, “tetapi penguasa di Kediri. Mungkin kau tidak saja diarak keliling kota sebelum digantung, tetapi kau akan diikat di simpang empat pusat kota, agar setiap orang dapat melihat betapa seorang puteri yang cantik, tetapi hatinya sekelam hati iblis”
“Jangan Pangeran jangan. Ayahanda akan tersiksa melampaui yang hamba derita sendiri” minta puteri itu.
“Apaboleh buat. Jika kau tidak mau menyebut nama orang yang bertanggung jawab atas segala kejadian ini”
Sejenak puteri itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata ampun pengeran. Hamba tidak kuasa untuk mengatakannya, karena hamba takut akan mengalami kutuknya. Tetapi carilah orang yang paling dekat dengan Pangeran dan kakanda Kuda Rukmasanti dalam hubungan ilmu kanuragan”
Wajah Pangeran Kuda Padmadata menegang. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku tidak mempunyai saudara seperguruan yang lain, kecuali adimas Kuda Rukmasanti. Mungkin guru mempunyai murid yang lain diluar pengetahuanku. Tetapi aku tidak mengenalnya”
“Tidak Pangeran” desis puteri yang ketakutan itu, “memang tidak ada muridnya yang lain kecuali Pangeran berdua kakak beradik seperti yang dikatakan oleh kakanda Pangeran Kuda Rukmasanti”
“Jadi, jadi siapakah yang kau maksud? Siapa?” Pangeran Kuda Padmadata yang tidak sabar lagi itu telah mengguncang tubuh puteri itu.
Hampir saja Pangeran itu meremas lengan puteri itu, jika Mahendra tidak menggamitnya, ketika puteri itu menyeringai menahan sakit yang menyengat lengannya yang digenggam kuat-kuat oleh Pangeran Kuda Padmadata.
“Siapa?” Pangeran itu berteriak.
Puteri itu masih terisak. Tetapi ia berdesis, “Siapakah orang yang hamba maksud itu. Tuan tentu dapat menyebutnya”
“Guru sendiri. Guru sendiri” Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah berteriak, “benar begitu? Atau kau memang harus dipancung kepalamu jika kau berbohong?”
“Ampun Pangeran” puteri itu menangis, “jangan dipaksa hamba menyebutkannya. Hamba tidak berani, karena hamba akan dikutuknya sehingga hamba akan dapat menjadi seekor kelinci, atau seekor katak, atau seekor binatang melata yang paling hina dalam jenis hamba, atau hamba akan dapat menjadi gila dan kehilangan akal dan ingatan, sehingga hamba akan berkeliaran di sepanjang jalan tanpa mengenal malu sama sekali”
“Tidak” teriak Pangeran Kuda Padmadata, “tidak ada orang yang dapat mengutuk orang lain menjadi seekor binatang jika ia sendiri berhati binatang. He, apakah benar? Kau tidak usah menyebutnya. Jika benar, anggukkan kepalamu”
Puteri itu ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk kecil.
Namun dalam pada itu, meledaklah tangisnya betapapun ia mencoba menahan. Wajahnya menjadi pucat seperti kapas. Tubuhnya gemetar seperti orang kedinginan.
Betapa ketakutan yang sangat telah mencekamnya.
Tetapi Mahisa Agni kemudian berkata, “Puteri, apakah puteri pernah melihat, bagaimana ia mengutuk seseorang menjadi seekor binatang?”
Puteri itu ragu-ragu sejenak. Namun ia pun kemudian menggeleng.
“Nah, itu adalah pertanda, bahwa ia tidak dapat melakukannya. Mungkin ia dapat membuat orang lain menjadi gila dengan cara yang khusus. Tetapi bukan dengan kutukan. Aku dapat membuat orang lain kehilangan ingatan dengan reramuan obat-obatan, tetapi juga dengan mengganggu syaraf pada simpul-simpul yang paling peka. Jika tuan puteri tidak percaya, aku dapat mencobanya”
Puteri itu memandang Mahisa Agni dengan tatapan mata yang buram. Tetapi ia mengangguk lemah. Di sela-sela bibirnya yang gemetar terdengar ia berdesis, “apakah benar demikian?”
“Ya. Seandainya ia mencoba melakukannya, maka kita akan dapat mencoba menghindar” jawab Mahisa Agni.
Puteri itu mencoba menenangkan hatinya. Tetapi ia masih pucat dan gemetar.
“Ya Pangeran. Guru Pangeran Kuda Rukmasanti. Ia telah mengatur segalanya” desis puteri itu dengan ragu-ragu.
“Jadi, benarkah guru telah melakukannya?” sekali lagi Pangeran Kuda Padmadata bertanya.
“Ya Pangeran. Guru Pangeran Kuda Rukmasanti. Ia telah mengatur segalanya” desis puteri itu dengan ragu-ragu.
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Di antara getar jantungnya, ia berkata terbata-bata, “Aku tidak menduga bahwa guru dapat bertindak sedemikian jauhnya. Aku sudah merasa, bahwa guru lebih dekat dengan Kuda Rukmasanti. Meskipun pada mulanya tidak ada bedanya antara kami berdua. Tetapi di saat-saat terakhir terasa, bahwa guru lebih banyak berada bersama Kuda Rukmasanti. Bahkan kadang-kadang aku merasa ditinggalkan. Karena itulah, maka aku ragu-ragu, meskipun aku saudara yang lebih tua bukan saja dalam umur, tetapi juga dalam olah kanuragan, namun aku tidak yakin bahwa ilmuku lebih baik dari ilmu Kuda Rukmasanti.
Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Mahisa Bungalan termangu-mangu mendengarkan keterangan Pangeran Kuda Padmadata itu. Selanjutnya Pangeran itu berkata, “Agaknya puncak dari sikap guru itu tercermin pada peristiwa yang pahit yang aku alami untuk beberapa lama. Hampir saja aku menjadi putus asa, bahwa aku tidak akan dapat keluar lagi dari istana ini sebagai seorang yang bebas. Bahkan aku mengira, bahwa isteri dan anakku itu tidak akan mampu lagi aku selamatkan”
“Semuanya sudah lewat Pangeran” desis Mahisa Agni.
“Belum. Masih ada yang dapat terjadi. Ternyata guru masih belum menganggap bahwa peristiwa ini telah selesai. Gurulah yang agaknya telah mencoba membunuh puteri. Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan”
“Mudah-mudahan segalanya akan dapat menjadi semakin terang” desis Witantra.
“Tetapi aku tidak tahu, kenapa sikap guru demikian tidak adil. Aku merasa bahwa aku tidak pernah berbuat kesalahan. Mungkin aku tidak mempunyai kesempatan sebanyak yang dilakukan oleh adimas Rukmasanti”
Namun dalam pada itu, semua orang telah berpaling ke pintu ketika mereka mendengar suara, “Hambalah yang menyebabkannya Pangeran”
Pangeran Kuda Padmadata terkejut. Dengan serta merta ia bangkit dan melangkah mendekat, “Ki Wastu”
“Ya, hambalah ini Angger Pangeran” jawab orang tua itu.
“Marilah Ki Wastu” Pangeran Kuda Padmadata mempersilahkan.
“Biarlah hamba disini Pangeran. Hamba mengawasi orang-orang yang berada di serambi itu” jawab Ki Wastu.
“Tetapi apa hubungannya guru dengan Ki Wastu, sehingga Ki merasa, bahwa Ki Wastu adalah penyebab dari kebencian guru kepadaku”
“Sebenarnya itu tidak perlu terjadi” berkata Ki Wastu, “semuanya sudah dilupakan oleh orang yang aku anggap guruku. Agaknya orang yang Pangeran sebut sebagai guru Pangeran itu adalah musuh bebuyutan dengan orang yang aku anggap sebagai saudara tua seperguruanku, yang kemudian aku anggap sebagai pengganti guruku”
“O” Pangeran Kuda Padmadata terkejut, “adalah kebetulan sekali Pangeran. Ketika Pangeran mengambil anakku menjadi isteri Pangeran dan Pangeran tinggalkan di padesan untuk waktu yang lama, hamba sudah merasa, bahwa ada hubungannya dengan orang yang Pangeran sebut guru itu. Pada saat itu Pengeran masih selalu datang ke padukuhan hamba. Tetapi pada suatu saat Pangeran bagaikan melupakan kami. Selain seorang yang Pangeran tinggalkan bersama kami, maka seolah-olah hubungan kita sudah terputus sama sekali. Sehingga akhirnya datang malapetaka itu. Orang yang tuanku tinggalkan itu ternyata adalah seorang yang sangat setia. Tetapi akhirnya ia terbunuh oleh orang-orang yang telah mengambil anak perempuan hamba itu dan kemudian menyembunyikannya. Sementara itu mereka masih saja mengancam keselamatan hidup cucu hamba yang lahir dari anak perempuan hamba itu, yang sebenarnya adalah putera Pangeran sendiri”
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Tetapi guru tidak pernah mengatakan sesuatu tentang permusuhannya dengan saudara seperguruan Ki Wastu itu”
“Mungkin ia menganggap hal itu tidak perlu dikatakannya. Sementara ia mempunyai cara dan pamrih ganda. Ia dapat melepaskan dendamnya karena Pangeran telah berhubungan dengan musuh bebuyutannya, tetapi juga dapat mengharapkan harta peninggalan yang akan Pangeran wariskan kepada Pangeran Kuda Rukmasanti dan puteri yang disebut isteri tuanku ini”
“Aku mengerti” desis Pangeran Kuda Padmadata, “jika segalanya berjalan lancar, maka umurku pun tidak akan panjang. Aku akan mereka lenyapkan, meskipun mereka tentu berusaha untuk melenyapkan jejak. Mungkin kematian yang mereka rencanakan, akan memberikan kesan, bahwa aku mengalami kecelakaan. Mungkin aku akan mengalami sakit beberapa hari lamanya, atau alasan-alasan lain yang dapat mereka lakukan. Namun puteri itupun tidak akan menikmati kemenangannya. Ia akan tersisih, sehingga segalanya akan jatuh ke tangan guru. Mungkin Kuda Rukmasanti akan ikut menikmatinya pula sebagai murid terdekat. Atau puteri itu pun akan dapat ikut serta memiliki jika ia diperlukan oleh Kuda Rukmasanti”
Terdengar puteri itu terisak tertahan-tahan. Namun iapun kemudian berkata, “Aku memang seorang perempuan yang tidak berharga Aku tidak akan dapat mencuci tanganku, seolah-olah aku sama sekali tidak bersalah”
“Aku akan menyerahkan kau kepada paman Herbuntala. Aku akan menyelesaikan masalah ini dengan guru sampai tuntas. Aku akan mencarinya kemana guru pergi” geram Pangeran Kuda Padmadata.
“Jangan serahkan aku kepada ayahanda” tangis puteri itu.
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Kau tidak mau diserahkan kepada penguasa di Kediri. Dan kau juga tidak mau diserahkan kepada ayahandamu. Jadi kau mau apa?” tiba-tiba saja Pangeran Kuda Padmadata membentaknya.
Puteri itu menjadi semakin ketakutan. Sementara Pangeran itu berkata, “aku tidak akan mengatakan sesuatu kepada paman Herbuntala”
“Tetapi ayahanda menyangka bahwa aku akan tinggal di rumah ini sebagai isteri Pangeran suara puteri itu gemetar.
“Itu tidak mungkin. Bukankah Rukmasanti yang selalu datang menjemputmu jika kau pulang. Dan Rukmasanti pula yang mengantarmu?” geram Pangeran Kuda Padmadata.
“Ya Pangeran. Tetapi atas nama Pangeran Kuda Padmadata”
“Jika kau tidak mau kembali ke rumahmu lalu kau mau kemana lagi?”
“Biarlah hamba di sini, meskipun hamba harus menjadi juru pengangsu atau juru madaran” tangis perempuan itu.
“Persetan” wajah Pangeran Kuda Padmadata menjadi merah, “kau harus kembali. Jika kau ingin menjaga namamu, maka katakan kepada ayahmu, bahwa kaulah yang telah minta aku mengantarmu pulang. Katakan kepada ayahmu, bahwa aku sudah membohongimu. Ternyata aku sudah mempunyai isteri dan anak. Biarlah paman Herbuntala marah kepadaku dan mengutukku”
“Tidak. Pangeran tidak bersalah. Aku tidak akan dapat mengatakannya kepada ayahanda demikian”
“Terserah kepadamu, apa yang akan kau katakan. Tetapi kau hanya mempunyai dua pilihan. Aku serahkan kepada penguasa di Kediri yang akan menghukummu, atau aku kembalikan kau kepada orang tuamu”
Puteri itu tidak dapat membantah lagi. Ia tidak mempunyai pilihan lain, sehingga karena itu, maka iapun harus pasrah kepada nasibnya. Betapa penyesalan telah mencekamnya. Betapa rendah budinya dan betapa ringkih hatinya.
Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Padmadata pun kemudian memerintahkan membenahi keadaan yang telah terserak-serak tidak menentu. Demikian juga mereka harus menyelenggarakan mayat Pangeran Kuda Rukmasanti.
Kepada orang-orang yang tidak lagi dapat berbuat apa-apa itu, Pangeran Kuda Padmadata berpesan, agar mereka tidak usah menceriterakan apa yang telah terjadi Mereka akan diampuni, sepanjang mereka mengerti, bahwa yang telah mereka lakukan itu adalah kesesatan.
“Aku tidak akan sampai hati membiarkan nama adikku tercemar” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “Karena itu, kalian yang pernah menjadi pengikutnya dan berpengharapan untuk mendapatkan keuntungan apapun juga, harus membantuku. Aku akan mengatakan bahwa rumah ini telah didatangi oleh sekelompok perampok. Kita semuanya telah bertempur. Dan adikku telah terbunuh. Dengan demikian, namanya tidak akan direndahkan oleh orang-orang Kediri. Ingat, jika penguasa di Kediri mengetahui, bahwa adikku pernah melakukan kesalahan yang harus dihukum, maka tentu akan dilakukan pengusutan. Kalian, yang pernah menjadi pengikutnya akan diseret pula ke tiang gantungan. Tetapi aku berpendirian lain. Siapa yang menyesali kesalahannya dan tidak akan melakukannya lagi, maka aku akan mengampuninya”
Beberapa orang yang berada di serambi itu menundukkan kepalanya. Ketika pekatik muda itu mencoba mengangkat wajahnya, tiba-tiba saja terpandang olehnya Mahisa Agni. Pekatik muda itu cepat-cepat menundukkan kepalanya ketika ia melihat Mahisa Agni justru tersenyum kepadanya.
Demikianlah, maka malam itu juga istana Pangeran Kuda Padmadata telah disibukkan dengan penyelenggaraan mayat Pangeran Kuda Rukmasanti dan pengawal yang telah terbunuh. Tetapi seperti yang dipesankan oleh Pangeran Kuda Padmadata, tidak seorang pun yang berani mengatakan, apakah yang sebenarnya telah terjadi, agar mereka tidak terseret ke tiang gantungan karena mereka telah terlibat ke dalam kesalahan itu. Bahkan kepada mereka yang tidak tahu menahu tentang peristiwa itu, tetapi melihat pertengkaran yang telah terjadi antara kakak beradik itu pun telah mendapat pesan pula dari Pangeran Kuda Padmadata agar mereka tidak menceriterakan lain dari yang dipesankannya.
“Jika tidak, kalian pun tentu akan diusut. Satu persatu kalian akan dipanggil untuk didengar keterangannya oleh para prajurit” berkata Pangeran Kuda Padmadata Sehingga dengan demikian, maka penghuni istana itupun merasa takut untuk menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara itu, maka Pangeran Kuda Padmadata telah mempersilahkan Mahisa Agni. Witantra, Mahendra, Ki Wastu dan Mahisa Bangalan untuk masuk keruang dalam. Puteri yang ketakutan itu pun telah dipersilahkan masuk ke dalam bilik di ruang dalam yang terlindung rapat, sehingga tidak seekor lalatpun yang akan dapat mengganggunya, ditunggui oleh embannya yang juga gemetar karena ketakutan.
Sementara orang-orang yang tidak terlibat, abdi istana Pangeran itu yang sudah berada menghambakan diri, diperintahkannya mengawasi kawan-kawanya yang ternyata adalah para pengikut Pangeran Kuda Rukmasanti.
Meskipun demikian, orang-orang di serambi itu benar-benar tidak berani lagi berbuat sesuatu, Mereka yang mendapat tugas menyelenggarakan mayat-mayat itu pun tidak berani berusaha untuk berbuat lain, Jika orang-orang yang mengawasi itu berteriak, maka yang akan keluar adalah orang-orang yang luar biasa yang sedang berada di ruang dalam. Yang paling muda di antara mereka ternyata telah mampu membunuh Pangeran Kuda Rukmasanti, yang mereka anggap orang yang tidak terkalahkan.
Dipagi harinya, maka seluruh Kediripun telah mendengar apa yang terjadi. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata, bahwa yang terjadi itu adalah satu kecelakaan, Sekelompok perampok telah memasuki istana itu. Dalam pertempuran yang terjadi, maka Pangeran Kuda Rukmasanti telah terbunuh.
“Dua orang perampok itupun telah terbunuh pula” berkata Pangeran Kuda Padmadata sambil menunjuk mayat dua orang yang sehari-hari nampaknya seperti dua orang pengawalnya yang paling setia, namun orang yang baginya justru paling memuakan. Lebih memuakkan dari adiknya yang telah berkhianat itu.
Sementara itu, maka seperti yang sudah dikatakannya, orang yang disebut isteri Pangeran Kuda Padmadata itu pun telah diserahkannya kembali kepada orang tuanya, demikian upacara penyelenggaraan mayat itu sudah selesai.
Tetapi ternyata bahwa puteri itu tidak ingin merendahkan nama Pangeran Kuda Padmadata. Yang dikatakannya kepada ayahnya, bahwa ia sebenarnya telah ditekan oleh perasaan takut yang sangat untuk berada di istana itu.
Meskipun ia sadar, bahwa pada suatu saat ayahnya akan bertanya, kapan ia akan kembali kepada suaminya, Namun ia akan mendapat kesempatan untuk memikirkannya. Mungkin ia dapat berterus terang setelah berjarak waktu. Mungkin ayahnya akan marah dan menghukumnya, Tetapi keadaannya tentu sudah berubah.
Namun dalam pada itu, yang kemudian menjadi pembicaraan Pangeran Kuda Padmadata adalah persoalan yang tentu masih akan berkepanjangan. Gurunya tentu tidak akan tinggal diam, karena rencana jahatnya telah diketahui oleh Pangeran Kuda Padmadata.
“Ki Wastu” berkata Pangeran itu ketika mereka duduk di serambi samping istana setelah keadaan mereda, dan suasaa di istana itu telah berjalan wajar, meskipun agaknya lain bagi Pangeran Kuda Padmadata sendiri, “Apakah tidak mustahil bahwa dendam guru akan dijatuhkan kepada anak perempuan Ki Wastu serta anak laki-lakinya?”
“Mereka sudah berada di bawah perlindungan para prajurit di Singasari Pangeran” jawab Ki Wastu.
Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Namun masih nampak kecemasan di wajahnya. Bahkan kemudian katanya, “Apakah para prajurit di Singasari itu menyadari, bahwa perempuan itu terancam bahaya yg dapat menyergapnya dengan segala cara. Mungkin seseorang mengaku akan mengunjunginya karena ia saudaranya, atau mungkin dengan cara apapun juga, sehingga memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan niatnya yang jahat.”
“Mudah-mudahan para prajurit tetap waspada” sahut Mahendra. Namun akhirnya ia berkata, “Pangeran, aku kira memang lebih baik jika aku kembali saja. Aku akan dapat memberikan beberapa peringatan kepada prajurit-prajurit di Singasari. Karena menurut perhitungan, lebih baik jika isteri Pangeran itu untuk sementara tidak berada di istana ini. Orang yang Pangeran katakan sebagai guru itu tentu masih tetap berusaha melakukan sesuatu. Meskipun mungkin ia sudah melepaskan niatnya untuk memiliki harta dan benda yang ada di istana ini, tetapi dendamnya akan menuntut pembalasan”
Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Akan tetapi katanya kemudian, “Tetapi ia adalah isteriku. Akulah yang paling berkewajiban untuk melindunginya. Anak itu pun adalah anakku. Biarlah aku mempertanggung jawabkannya”
“Sebaiknya kita melihat keadaan yang tentu masih akan berkembang Pangeran” berkata Witantra, “aku setuju jika Mahendra dan Ki Wastu kembali ke Singasari. Aku dan Mahisa Agni akan berada disini. Mungkin Pangeran masih memerlukan aku.”
Pangeran Kuda Padmadata berpikir sejenak. Sementara itu Mahisa Bungalan bertanya, “Bagaimana dengan aku paman?”
Witantra memandang anak muda itu sambil berkata, “Kau akan menentukan sikapmu. Meskipun aku mengatakannya, namun agaknya lebih suka memilih sendiri. Jika kau menganggap perantauanmu sudah selesai, maka kau dapat kembali ke Singasari. Tetapi jika kau masih ingin melihat kelanjutan dari peristiwa ini kau dapat tinggal di sini.”
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku akan tinggal di sini. Tetapi tidak di istana ini.”
“Lalu dimana?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.
“Di rumah Ki Daredu. Aku sudah kerasan tinggal di rumah itu. Mungkin untuk beberapa lamanya aku akan menunggu perkembangan keadaan di rumah Ki Daredu”
Tetapi Witantra menggeleng. Katanya, “Yang kita hadapi bukan kanak-kanak. Sebaiknya kau berada di sini untuk beberapa saat sampai segalanya nampak lebih jelas. Guru Pangeran Kuda Padmadata tentu bukan orang kebanyakan. Ia tentu memiliki sesuatu yang jauh melampaui Pangeran Kuda Rukmasanti itu”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.,Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Terserah kepada paman”
“Nah, baiklah kita akan melihat perkembangan keadaan. Biarlah Mehendra dan Ki Wastu segera kembali ke Singasari” gumam Witantra,
Demikianlah, Maka pembicaraan itu pun telah mengambil kesimpulan, agar Mahendra dan Ki Wastu kembali ke Singasari. Mereka harus memberitahukan segala persoalannya kepada para prajurit di Istana Singasari. Dengan demikian, maka perhatian mereka kepada perempuan itu akan memberikan pertimbangan, agar perlindungan kepadanya menjadi lebih baik. Bahkan jika diijinkan oleh pimpinan prajurit pengawal, maka biarlah Ki Wastu berada didekat anak perempuan dan cucunya, agar ia akan dapat bertindak langsung jika terjadi sesuatu, sementara ia dapat mengharapkan bantuan para prajurit.
“Tidak mustahil guru Pangeran Kuda Rukmasanti itu akan mengambil jalan yang licik. Ia dapat memberikan uang atau bentuk suap yang lain kepada para pengawal untuk mendapat kesempatan bertemu dengan orang yang seharusnya dilindungi itu. Ia akan dapat saja memberikan seribu satu alasan, sehingga para pengawal yang menerima suap itu tidak mengetahui, bahwa orang yang mungkin mengaku saudaranya,mungkin mengaku utusan dari siapa pun, namun yang sebenarnya akan dapat membunuh pada kesempatan yang sangat kecil sekalipun” berkata Mahendra.
Ki Wastu mengangguk-angguk. Agaknya sebaiknya memang demikian apabila ia mendapat ijin dari yang berwenang dalam pasukan pengawal istana itu.
“Sementara itu” berkata Mahendra lebih lanjut, “aku dapat kembali kepada kedua anak-anakku yang bengal itu. Mereka tentu sudah menunggu dan mengumpat setiap saat karena aku terlalu lama pergi”
Ki Wastu pun mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia berkata, “Ki Mahendra ternyata mendapat kurnia yang tiada taranya dari Yang Maha Agung. Putera-putera Ki Mahendra ke-tiga-tiganya dapat dibanggakan”
“Aku selalu mengucapkan terima kasih kepada kemurahan Tuhan Yang Maha Penyayang. Namun sebenarnyalah bahwa anak-anakku itu adalah anak-anak yang bengal”
“Mereka memiliki ilmu yang luar biasa pada umurnya yang masih sangat muda. Ketika aku melihat, bagaimana Mahisa Bungalan mempertahankan diri dari orang-orang yang berusaha membunuhnya, pada saat pertama kali aku melihatnya, aku hampir tidak percaya akan penglihatanku atas kemudian anak itu”
“Ki Wastu selalu memuji. Tetapi Ki Wastu juga telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi Mahisa Bungalan” jawab Mahendra.
“Tidak ada artinya baginya. Hanya sekedar melengkapi ilmu geraknya” sahut Ki Wastu.
Demikianlah, maka ketika Mahendra dan Ki Wastu kembali ke Singasari, mereka sempat singgah di rumah Ki Daredu. Kepada orang tua itu Mahendra mengatakan, bahwa segalanya telah selesai. Ia tidak perlu merasa cemas lagi”
“Aku tidak mengerti, apakah yang sebenarnya telah terjadi di Istana Pangeran Kuda Padmadata” berkata Ki Daredu.
“Tidak ada apa-apa. Seperti berita yang barangkali pernah kau dengar, bahwa rumah itu telah dirampok oleh sekelompok penjahat yang merasa sangat kuat kedudukannya. Tetapi untunglah pada saat itu Mahisa Agni dan Kakang Witantra berada di istana itu” jawab Mahendra.
Tetapi Ki Daredu tertawa sambil berkata, “Jadi aku harus mempercayainya?”
Mahendrapun tersenyum. Jawabnya, “Terserah Kepadamu Ki Daredu”
Ki Daredu masih tertawa sambil mengangguk-angguk., “Baiklah. Aku akan mempercayainya. Tetapi aku tahu bahwa Tuanku Mahisa Agni dan Tuanku Witantra pernah memegang kekuasaan tertinggi Singasari di Kediri. Akupun mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak wajar terjadi di istana itu seperti yang pernah dikatakan oleh Tuanku Mahisa Agni sebelumnya. Tetapi sebaiknya aku memang tidak mengatakannya kepada siapapun”
Mahendra dan Ki Wastupun tertawa. Pekatik tua itu agaknya bukannya orang yang terlalu bodoh, sehingga ia pun dapat mengerti beberapa persoalan yang dilakukan oleh Mahisa Agni. Namun, bahwa segala sesuatu telah selesai dilakukan oleh Mahisa Agni dan Witantra, membuat hati Ki Daredu menjadi tenang. Beberapa hari lamanya, iapun mengalami ketegangan. Yang dilakukan oleh Mahisa Agni tentu bukannya sesuatu yang tidak akan dapat menyangkut banyak pihak.
Demikianlah, maka Mahendra dan Ki Wastu pun meninggalkan Kediri, kembali ke Singasari. Bagaimanapun juga, mereka merasa cemas, bahwa guru Pangeran Kuda Rukmasanti itu akan mencari sasaran dendamnya kepada anak perempuan Ki Wastu, mungkin mengambilnya untuk dipergunakan sebagai alat memaksakan kehendaknya kepada Pangeran Kuda Padmadata seperti yang pernah terjadi.
Sepeninggal Mahendra dan Ki Wastu, maka Mahisa Agni dan Witantra telah ditempatkan di tempat yang khusus di dalam istana Pengeran Kuda Padmadata.
Tetapi karena Mahisa Agni dan Witantra masih tetap ingin dianggap sebagai orang-orang yang tidak banyak berarti, maka iapun telah memilih tempat diluar lingkungan bangunan induk istana Pangeran Kuda Padmadata. Meskipun Mahisa Bungalan pernah mengatakan pada saat hatinya terbakar oleh kemarahannya dihadapan Pangeran Kuda Rukmasanti, tetapi hanya orang-orang tertentu sajalah yang telah mendengar bahwa ia adalah Mahisa Agni dan Witantra yang pernah mewakili kekuasaan Singasari di Kediri. Sementara orang-orang itu telah dipesan untuk tidak mengatakan sesuatu tentang kedua orang itu.
Dalam kehidupan sehari-hari di istana, Mahisa Agni dan Witantra, mencoba untuk meluluhkan diri ke dalam keluarga besar yang mulai tenang itu.
Dalam pada itu, selagi Pengeran Kuda Padmadata sibuk dengan usaha penyelamatan keluarganya, sebelum mereka merasa aman untuk membawanya ke istana, maka seorang yang memiliki ilmu yang mumpuni sedang dicekam oleh kekecewaan. Bahkan kecemasan bahwa rahasianya telah terbuka.
“Ia tentu akan mengatakannya” geramnya. Namun ia tidak mempunyai cara untuk mencegahnya. Dalam pada itu, seorang pengikutnya yang terdekat duduk dengan kepala tunduk diatas amben yang besar, sementara orang yang berilmu mumpuni itu berjalan hilir mudik didalam bilik itu.
“Ada beberapa orang gila di rumah Kuda Padmadata” orang itu bergeremang, “tidak banyak yang mengetahui siapa mereka. Tetapi agaknya mereka pulalah yang telah berhasil membebaskan isteri Pangeran gila itu”
Orang yang menundukkan kepalanya itu mengangguk angguk kecil. Katanya kemudian, “Tetapi belum terlambat Masih ada kesempatan untuk membunuhnya atau mencari kembali sampai kita dapatkan perempuan dan anak laki-lakinya itu”
“Jika Pangeran itu mati, maka tidak banyak lagi artinya atas harta benda yang dimilikinya. Tetapi aku kini telah dibakar oleh dendam. Aku tidak mau berpikir lagi. Yang penting bagiku adalah kematiannya. Ada atau tidak ada gunanya lagi bagiku”
“Kita masih dapat mengumpulkan kekuatan” berkata pengikutnya.
“Tetapi aku kehilangan muridku yang paling baik. Pangeran Kuda Rukmasanti. Ada juga setan yang mampu mengalahkannya” geramnya, “bukannya saja seorang. Tetapi aku yakin, bahwa beberapa orang yang ada di istana itu, tentu memiliki ilmu yang tinggi. Setidak-tidaknya mereka dapat mengimbangi ilmu murid-muridku. Tetapi dalam jumlah empat atau lima orang, maka sulit bagiku untuk mengatasinya. Aku tidak sempat memanggil orang lain diantara kalian”
“Sekarang masih ada waktu” berkata pengikutnya.
“Aku sudah kehilangan dua orang muridku yang paling baik. Kuda Rukmasanti sudah jelas, ia terbunuh. Sedang Padmadata benar-benar telah berkhianat. Ia telah membuat jalur hubungan dengan iblis yang paling terkutuk itu. Langsung atau tidak langsung. Sengaja atau tidak sengaja”
“Kita dapat berbuat cepat” berkata pengikutnya.
Orang yang dibakar oleh dendam itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau tinggal satu-satunya muridku. Itupun agak terasing dari kedua muridku yang berdarah bangsawan itu, sehingga kau tidak nampak sebagai saudara seperguruannya. Tetapi aku yakin, justru karena itu, maka kau telah menempa dirimu sebaik-baiknya meskipun jarang dibawah pengawasanku langsung”
“Aku sedang mencoba untuk dapat menjadi murid di padepokan kecil itu” berkata pengikutnya.
Jangan sebut lagi padepokan itu. Aku tidak akan kembali ke sana. Kuda Padmadata telah pernah datang ke padepokan itu. Ia akan dapat datang kesana mencari aku dengan membawa beberapa orang pilihan” guman orang yang sedang mendendam itu.
“Ki Dukut Pakering” berkata pengikutnya, “jika demikian, maka apakah yang akan kita lakukan sekarang?”
“Untuk sementara aku akan tinggal di pondok ini. Aku akan membuat hubungan dengan beberapa orang kawan-kawanku, Aku sudah hampir kehilangan kesempatan karena kegagalan-kegagalan yang terjadi. Semula aku masih dapat menjanjikan sebagian dari kekayaan Pangeran gila itu, jika kelak jatuh ketanganku lewat adik dan perempuan yang disebut isterinya itu. Tetapi kini aku tidak akan dapat mengatakan demikian, sementara beberapa pihak telah kehilangan kepercayaan kepadaku” desah orang yang disebut Dukut Pakering itu.
“Tetapi masih dapat diusahakan dengan banyak cara” berkata pengikutnya.
“Sudah banyak orang yang terbunuh, meskipun itu karena kebodohan mereka sendiri. Menurut keterangan yang aku dengar, satu orang diantara orang-orang yang me nolong isteri Pangeran yang gila itu, telah membunuh beberapa orang sekaligus”
“Kesahalan-kesalahan itu akan dapat dipakai sebagai pengalaman” berkata Pengikutnya. Lalu, “Sebaiknya Ki Dukut masih berusaha menghubungi beberapa orang yang dapat dipercaya”
“Itu memerlukan waktu. Tetapi dendamku tidak susut lewat waktu-waktu yang betapapun panjangnya. Padmadata harus mati dengan cara apapun juga. Mungkin aku harus menunggu saat yang paling baik. Tapi rasa-rasa nya aku sudah tidak sabar lagi”
“Segalanya dapat dibicarakan” berkata Pengikutnya, “tetapi siapakah yang masih mungkin dihubungi dalam hal ini”
“Ada dua tiga orang. Mereka masih mempunyai hubungan ilmu dengan aku. merekapun orang-orang yang tidak ada tandingnya. Tetapi mereka tentu mempunyai syarat-syarat yang harus aku penuhi. Itulah yang masih belum dapat aku ramalkan” berkata Dukut Pekering.
“Apakah tidak ada semacam kesetia kawanan meng hadapi persoalan ini? Seperti juga jika pada saat lain, salah seorang dari mereka mengalami kesulitan?”
“Mungkin juga” berkata Dukut Pekering, “tetapi aku harus dapat menyakinkan mereka, bahwa aku telah dihinakan. Bahwa aku telah diperlakukan dengan licik dan tidak adil”
“Apakah mereka orang-orang yang berpegang pada keadilan dan mungkin kebenaran?” bertanya Pengikutnya.
Ki Dukut Pakering menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mengerti. Tetapi kebenaran itu sendiri bukannya sesuatu yang mutlak seperti juga keadilan. Setiap orang dapat memberikan batasan sesuai dengan kepentingannya”
Pengikutnya mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya yang terjadi itu adalah sesuatu yang sangat pahit yang harus ditelan oleh Ki Dukut Pakering, yang sebelumnya sangat dihormati orang.
Sebagai seorang guru dari kakak beradik Pangeran Kuda Padmadata dan Kuda Rukmasanti, maka ia adalah orang yang disegani. Ia memang mempunyai ilmu pada tingkat yang sulit dicapai oleh orang kebanyakan. Namun pada suatu saat, ia tidak dapat tegak lagi dalam kedudukannya. Hatinya telah digoyahkan oleh dendam dan kebencian. Namun kemudian juga nafsu dan ketamakan.
Semula ia kecewa kerena Pangeran Kuda Padmadata di luar sadarnya telah berhubungan dengan orang yang paling dibencinya, bahkan kemudian Pangeran Kuda Padmadata telah kawin dengan seorang perempuan padukuhan yang masih mempunyai jalur hubungan meskipun tidak langsung dengan orang yang paling dibencinya itu. Namun akhirnya, warna-warna hatinya yang sebenarnya telah mencair pula mengaliri sikapnya. Ia tidak saja berusaha untuk menjauhkan Pangeran Kuda Padmadata dari orang yang paling dibencinya itu. Tetapi ia mulai melihat kekayaan yang tersimpan di dalam istana Pangeran Kuda Padmadata. Seorang Pangeran yang memiliki hutan khusus dengan tanaman peliharaan yang dapat mendatangkan kekayaan, karena ia menamani jenis-jenis kayu yang bergetah arum.
Dengan cara yang tidak kasat mata, maka ia memperalat adik kandung Pangeran Kuda Padmadata untuk menguasainya. Bukan saja orangnya, tetapi juga segala kekayaannya. Bahkan telah diaturnya untuk memasukkan seorang perempuan yang hampir sederajat untuk disebut sebagai isterinya tanpa dapat menolak, karena isteri Pangeran itu yang sebenarnya telah dikuasainya.
“Tetapi ternyata hadir orang-orang gila yang tidak dikenal itu” geramnya didalam hati.
Sebenarnya bahwa kehadiran Mahisa Bungalan yang tidak diduga-duga itu telah merusak segala rencananya. Apa yang sudah dimulainya, ternyata pecah berserakkan. Perempuan yang dapat dipergunakannya untuk memaksakan kehendaknya atas Pengeran Kuda Padmadata itu telah terlepas dari tangannya. Betapapun diusahakannya namun korban-korban jugalah yang jatuh. Sedang perempuan itu bagaikan telah hilang ditelan bumi.
Setelah kegagalan-kegagalan itulah maka kini harus mulai lagi dari permulaan sekali meskipun tujuannya sudah berbeda. Kini ia telah digerakkan oleh dendam yang tidak tertahankan, seperti dendamnya kepada saudara tua seperguruan Ki Wastu itu.
Seorang pengikutnya yang semula tidak diperhitungkannya, kini menjadi satu-satunya orang yang setia kepadanya.
Bersama seorang pengikutnya itulah maka Ki Dukut Pakering mulai dengan usahanya melepaskan dendamnya. Setelah beberapa saat lamanya ia berada di pondok kecil milik pengikutnya itu, maka mulailah ia mencari hubungan dengan orang-orang yang pernah dikenalnya.
Namun dalam pada itu, ada juga semacam kerinduannya untuk melihat bekas padepokannya yang tidak lagi dihuninya, karena ia mempunyai perhitungan tertentu setelah ia gagal menguasai muridnya yang tua.
“Apakah Ki Dukut akan kembali ke padepokan itu?” bertanya pengikutnya.
“Tidak. Aku hanya ingin melihatnya. Mungkin aku akan mendapatkan semacam kesan atau bahkan mungkin aku akan mendapat ilham daripada padepokan itu, apakah yang sebaiknya aku lakukan” jawab Ki Dukut Pakering.
Demikianlah, maka ia telah mengajak pengikutnya untuk berjalan mendekati padepokannya. Mereka menempuh jalan yang jarang dilalui orang, karena Ki Dukut merasa seolah-olah setiap orang telah mengetahui apa yang telah dilakukan.
Dengan hati yang ragu-ragu, mereka telah mendekati sebuah bukit kecil. Dari atas bukit itu mereka akan dapat melihat, jalur jalan menuju ke padepokannya yang juga terletak di atas sebuah bukit kecil yang lain.
Namun jantung Ki Dukut itu serasa berhenti berdetak. Dari tempatnya ia melihat beberapa ekor kuda berpacu menuju ke padepokan kecilnya.
“Siapakah mereka?” bertanya pengikutnya.
“Setan itu” geram Ki Dukut” Tentu yang dipaling depan itu adalah Kuda Padmadata”
“Apakah maksudnya?” bertanya pengikutnya pula.
“Tentu ia mencari aku. Ia membawa beberapa orang pengawal”
“Hanya lima orang” desis pengikutnya, “apakah Ki Dukut tidak berniat membalas dendam sama sekali. Merekalah yang datang kepedepokan ini”
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Meskipun hanya lima orang, tetapi aku tidak tahu, siapakah mereka. Mungkin salah seorang dari mereka adalah orang yang telah membebaskan isteri Pangeran gila itu dengan membunuh beberapa orang sekaligus. Bukan berarti aku takut kepadanya, tetapi aku harus belajar dari pengalaman, agar aku tidak gagal lagi, dan apalagi mati tanpa arti sama sekali”
Pengikutnya mengangguk-angguk. Dari kejauhan ia memandang derap beberapa ekor kuda menuju ke padepokan kecil yang telah menjadi kosong itu.
Di muka regol. Ki Dukut dan pengikutnya melihat kuda-kuda itu berhenti. Tanpa berpencar mereka telah meloncat turun dan memasuki regol. Selanjutnya, dari kejauhan mereka tidak melihat orang-orang yang memasuki regol padepokan itu lagi.
“Mereka tidak akan menemukan apa-apa” berkata Ki Dukut, “tetapi sikap deksura dari Padmadata membuat darahku semakin mendidih. Aku semakin bernafsu mencincangnya meskipun ia pernah menjadi muridku yang baik”
Pengikutnya mengangguk-angguk. Namun tatapan matanya masih saja mengarah ke padepokan kecil itu. Tetapi iapun tidak melihat lagi orang-orang berkuda yang telah memasuki regol padepokan itu sambil menuntun kuda mereka.
Dalam pada itu, Pengeran Kuda Padmadata bersama Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan diikuti oleh seorang pengiring, telah memasuki padepokan yang pernah dihuni oleh Ki Dukut Pakering.
Namun padepokan kecil itu ternyata telah kosong. Mereka tidak menjumpai seorangpun berada di padepokan itu.
“Semuanya telah pergi” berkata Pangeran Kuda Padmadata.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara Witantra dan Mahisa Bungalan telah melihat-lihat ke bagian samping dari padepokan itu. Mungkin sesuatu dapat dijumpainya, atau barangkali ada semacam petunjuk yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk menelusuri jejak Ki Dukut Pakering.
“Agaknya orang tua itu menyadari, bahwa pada suatu saat aku akan datang ke padepokan ini” berkata Pangeran Kuda Padmadata.
“Mungkin Pangeran” sahut Mahisa Agni, “tetapi mungkin pula orang tua itu ingin menghalau kegelisahan hatinya”
“Tetapi usahanya untuk membunuh puteri itu adalah pertanda, betapa ia telah dicengkam oleh kecemasan dan ketakutan. Dengan demikian, maka ia tidak akan berani lagi berada di padepokan ini”
Mahisa Agni pun mengangguk-angguk. Ketika ia pun kemudian memutari padepokan itu menyusul Witantra dan Mahisa Bungalan, maka ia pun melihat, betapa padepokan kecil itu pernah terpelihara dengan baik. Padepokan itu agaknya memang tidak banyak berpenghuni. Hanya ada beberapa pondok kecil meskipun cukup baik. Karena padepokan itu adalah dari seorang guru yang mempunyai dua orang murid Pangeran yang cukup kaya di Kediri.
“Sayang sekali jika padepokan ini diterlantarkan” berkata Mahisa Agni.
“Siapakah yang berani memakai padepokan ini?” desis Witantra, “meskipun guru Pangeran Kuda Padmadata itu sudah tidak tinggal disini, tetapi jika ada orang lain yang berani memilikinya, maka ia tentu akan dianggapnya musuh yang harus disingkirkan”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian. Karena itu, untuk sementara padepokan ini akan kosong”
“Tidak ada lagi yang akan menyirami tanaman-tanaman itu” berkata Mahisa Bungalan. Lalu iapun mengeluh, “Burung-burung di dalam sangkar itu mati kelaparan. Agaknya sudah sejak beberapa hari padepokan ini ditinggalkan”
“Masih ada yang hidup” berkata Mahisa Agni, “mungkin pada suatu saat orang itu atau pengikutnya telah datang dan memberi sekedar minum makan kepada burung burung didalam sangkar itu. Tetapi keadaannya sudah tidak terlalu baik”
Mahisa Bungalan pun kemudian membuka pintu sangkar burung-burung yang masih hidup. Betapa lemahnya mereka, namun burung-burung itupun kemudian berterbangan. Satu dua di antara mereka hinggap di pinggir belumbang yang airnya nampak jernih meskipun dikotori oleh dedaunan yang gugur dari rantingnya. Sementara yang lain telah hinggap pada pelepah pisang. Beberapa tandan buah pisang memang nampak menguning di batangnya.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya lehernya ikut menjadi sejuk ketika ia melihat beberapa ekor burung yang minum air belumbang yang segar, kemudian terbang mencari buah-buahan yang bertebaran di kebun padepokan itu.
Dalam pada itu, maka ketika mereka sudah melingkari padepokan itu dari sudut kesudut, maka mereka pun kemudian naik kependapa. Masih ada sehelai tikar pandan yang putih terbentang. Meskipun Mahisa Bungalan harus mengibaskan beberapa kali karena debu, namun tikar itu adalah tikar yang masih baik.
Orang-orang itu pun kemudian beristirahat sambil duduk di pendapa. Pangeran Kuda Padmadata dapat bercerita serba sedikit, pada saat-saat ia belajar ilmu kanuragan pada Ki Dukut Pakering di padepokan itu. Ketika ia sudah menguasai dasar-dasar ilmunya, maka iapun kembali ke Kediri. Ki Dukut lah yang kemudian selalu datang untuk meningkatkan dan mematangkan ilmunya. Sehingga akhirnya pada suatu saat terasa oleh Pangeran Kuda Padmadata, bahwa gurunya agak berbeda sikap terhadapnya dan terhadap adiknya. Pangeran Kuda Rukmasanti.
“Tinggal sebuah kenangan yang manis” berkata Pangeran Kuda Padmadata.
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan dapat merasa, betapa perasaan kecewa telah mencekam jantung Pangeran Kuda Padmadata. Padepokan itu agaknya memang pernah memberinya nafas kehidupan yang sejuk. Tetapi kemudian, ternyata bahwa gurunya telah membantingnya pada suatu keadaan yang hampir menyeretnya pada keputus-asaan dan bahkan akhir hidup yang sangat pahit.
Dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda Padmadata dan beberapa orang yang menyertainya duduk dipendapa padepokan kecil itu, maka Ki Dukut Pakering memperhatikan padepokannya dengan hati yang bergejolak. Sekali-sekali terdengar ia mengumpat. Namun kemudian katanya, “Apa saja yang mereka kerjakan di padepokan itu? Apakah mereka akan merampok sisa-sisa perabot yang masih ada. Atau mereka akan membakarnya?”
Pangikutnya tidak menyahut. Namun ia pun tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh beberapa orang yang sedang berada di dalamnya.
Namun demikian, kedua orang itu sama sekali tidak ingin mendekat dan melihat ke dalamnya. Mereka tidak mau mengalami nasib yang buruk, karena menurut perhitungan Ki Dukut Pakering, orang yang datang itu tentu bukan orang kebanyakan. Jika ia terlibat dalam satu perselisihan, maka Ki Dukut tidak yakin, bahwa ia akan dapat membebaskan dirinya. Sementara ia harus mempertanggung jawabkan segala peristiwa yang pernah terjadi di istana Pangeran Kuda Padmadata.
Ternyata Pangeran Kuda Padmadata tidak terlalu lama berada di padepokan itu. Setelah ia yakin, bahwa padepokan itu telah ditinggalkan oleh seluruh penghuninya, maka Pangeran Kuda Padmadata pun segera bersiap-siap untuk kembali ke istananya.
“Kita harus berusaha mengerti, atau setidak-tidak nya mengetahui arah kepergian Ki Dukut” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “apakah ia benar-benar ingin meninggalkan daerah ini, atau ia hanya sekedar bersembunyi dengan menyimpan dendam dihatinya”
“Kemungkinan yang terakhir itulah” sahut Mahisa Bungalan.
Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian”
“Tetapi untuk menemukannya adalah pekerjaan yang sangat sulit. Bahkan menemukan lacaknyapun agaknya memerlukan waktu dan kerja yang tekun” desis Mahisa Agni.
“Benar” sahut Pangeran Kuda Padmadata, “dan aku harus melakukannya. Jika aku tidak menemukan suatu keyakinan bahwa orang itu tidak akan dapat menggangguku lagi, maka aku masih akan tetap ragu-ragu untuk menjemput isteriku ke Singasari”
“Memang sebaiknya Pangeran tidak tergesa-gesa” berkata Witantra, “semuanya memang harus jelas. Jika tidak demikian, maka selesai isteri Pangeran itu sudah berada disini, keadaan yang gawat itu masih akan mencekam istana Pangeran, maka akan dapat timbul kesulitan”
Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Marilah kita kembali. Kita tidak menemukan sesuatu disini”
Orang-orang yang ada di padepokan kecil itupun segera meninggalkan regol halaman, kembali ke Kediri.
Sementara itu, Ki Dukut Pakering masih saja berada di atas bukit kecil yang tidak begitu jauh dari pedepokannya. Beberapa kali ia mengumpat. Namun kemudian katanya, “Marilah, Kita melihat, apa yang mereka lakukan di padepokan itu”
Ki Dukut dan pengikutnya itupun segera menuruni tebing yang rendah turun ke jalan yang menuju ke padepokan itu. Dengan ragu-ragu merekapun kemudian memasuki regol yang masih terbuka.
Terasa jantung Ki Dukut itu menjadi berdebar-debar. Ada juga keseganan meninggalkan padepokan yang sudah mapan, dengan kebun bunga dan kebun buah-buahan. Beberapa tandan pisang telah mulai menguning. Buah-buahan yang tumbuh subur.
“Pangeran itu memang anak setan. Nyawanya ternyata cukup liat, sehingga rencana yang nampaknya sudah hampir selesai dengan sempurna itu telah gagal” geram Ki Dukut, “tetapi yang harus dibunuh bukannya Pangeran itu saja, tetapi semuanya. Orang-orang gila yang telah melibatkan diri itu pun harus mati dicincang”
“Apakah Ki Dukut dapat mengetahui salah seorang dari mereka?” bertanya pengikutnya.
“Sampai saat ini belum. Tetapi aku segera akan mengetahuinya. Jangan kau kira bahwa orang-orang kita yang telah dikalahkan seluruhnya akan berkhianat. Kita akan dapat mencari hubungan dengan mereka.
“Apakah mereka masih dapat dipercaya?” desis pengikutnya, “mereka tentu mengetahui, bahwa harapan untuk mendapatkan kekayaan Pangeran Kuda Padmadata telah pudar sama sekali. Dengan demikian, mereka pun tidak dapat mengharapkan apapun juga dengan tugas-tugas yang akan kita berikan kepada mereka”
“Mungkin,” sahut Ki Dukut, “tetapi mereka pun tentu ingin hidup mereka lebih panjang. Mereka yang tidak mau menjalankan perintah, berarti nyawanya akan kita lenyapkan”
Pengikutnya menarik nafas dalam-dalam. Dengan cara yang demikian, memang mungkin sekali untuk memaksa satu dua orang di antara mereka untuk tetap mematuhi perintah Ki Dukut. Tetapi hubungan dengan orang-orang dalam, bukan berarti tidak mengandung bahaya. Pengkhianatan masih akan dapat terjadi sehingga akan dapat menyulitkan keadaan Ki Dukut yang sudah terjepit itu.
Namun dalam pada itu, Ki Dukut pun berkata, “Tetapi kecuali mempergunakan orang-orang yang masih berada di istana itu, aku akan tetap mencari hubungan beberapa orang kawanku. Mungkin aku memerlukan waktu barang dua tiga pekan. Tetapi itu akan lebih baik jika aku tempuh dengan cara yang lain”
Pengikutnya mengangguk-angguk. Iapun berpendapat bahwa jalan yang paling baik adalah mencari bantuan kepada orang-orang yang dianggap mempunyai kemungkinan untuk melakukan niatnya.
Satu-satunya jalan untuk menguasai harta benda Pangeran Kuda Padmadata adalah dengan merampoknya Orang-orang yang masih berada di istana itu akan dapat di bujuk, mungkin dengan di takut-takuti, tetapi mungkin juga dengan janji bahwa mereka akan mendapat sebagian dari hasil rampokan itu, jika mereka dapat membantu terlaksananya” berkata Ki Dukut.
Pengikutnya mengangguk-angguk, sementara Ki Dukut Pakering pun dengan wajah buram berdesis, “ Aku tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa akhirnya, aku hanya akan menjadi seorang perampok. Tetapi akupun akan tetap menjaga harga diriku. Aku tidak merampok petani-petani miskin atau saudagar ternak di padukuhan. Tetapi aku merampok seorang Pangeran gila yang bernama Kuda Padmadata, yang karena dendam tiada taranya. Bahkan kemudian membunuhnya sekali”
Nampak diwajah Ki Dukut, betapa kemarahan dan dendam menyala dihatinya. Sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Kita kembali. Pondok kecil itu ternyata jauh lebih baik dari padepokan ini. Kita harus mulai dengan modal yang ada dan dapat kita pergunakan”
“Maksudmu iblis itu sendiri” bertanya Ki Dukut.
“Ya Ki Dukut. Kita dapat mulai dari iblis itu sendiri. Kemudian adik seperguruannya. Ayah perempuan itu. Baru kemudian sampai pada sasarannya”
Pengikutnya sama sekali tidak menjawab. Namun iapun kemudian mengikutinya ketika Ki Dukut dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan yang pernah dihuninya beserta beberapa orang pengikutnya.
Dengan darah yang bergejolak di jantungnya, Ki Dukut berjalan menyelusuri jalan yang pernah setiap hari dilaluinya, keluar masuk padepokannya.
Dalam pada itu. Di perjalanan kembali kepondok kecilnya, Ki Dukut telah menganyam gagasan. Apakah yang sebaiknya dilakukan lebih dahulu. Apakah ia akan menghubungi orang-orang yang akan dimintanya untuk membantu membunuh Pangeran yang pernah jadi muridnya itu, ataukah ia harus mengambil langkah-langkah lain.
“Ki Dukut,” bertanya pengikutnya itu, “bukankah ada sumber kebencian Di Dukut kepada Pangeran Kuda Padmadata? Tentu bukan tiba-tiba saja Ki Dukut membencinya, kemudian bersama Pangeran Kuda Rukmasanti merencanakan segalanya yang telah terjadi itu”
“Ya” berkata Ki Dukut, “iblis itulah yang menumbuhkan kebencianku kepada Kuda Padmadata yang kemudian mengambil seorang isteri dari padukuhan. Seandainya perempuan yang diambil itu bukannya anak perempuan tikus kecil itu, aku kira aku tidak akan membencinya. Karena Kuda Padmadata termasuk seorang murid yang patuh. Tetapi ternyata bahwa ia sama sekali tidak menghiraukan peringatanku ketika ia mengambil gadis padesan itu. Apalagi ketika aku mengetahui bahwa perempuan itu adalah anak dan adik seperguruan iblis buruk itu”
Pengikutnya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tetapi apakah dengan demikian, Ki Dukut tidak mulai saja dari sumber kebencian itu”
“Maksudmu iblis itu sendiri?” bertanya Ki Dukut.
“Ya Ki Dukut. Kita dapat mulai dari iblis itu sendiri. Kemudian adik seperguruannya. Ayah perempuan itu. Baru kemudian sampai kepada sasarannya. Perempuan dan anak laki-lakinya, terakhir barulah Pangeran Kuda Padmadata”
“Tidak yang terakhir,” potong Ki Dukut, “aku ingin memperlihatkan kematian Pangeran gila itu kepada isteri dan anak laki-lakinya”
“Jika demikian, apakah Ki Dukut tidak mulai saja dari orang yang telah menjadi sumber kebencian Ki Dukut. Mungkin tidak terlalu sulit untuk melakukannya. Jika Ki Dukut mendapat satu dua orang kawan, maka orang itu, betapapun saktinya, tentu akan dapat dikalahkan. Memang agak berbeda dengan Pangeran itu sekarang. Mungkin ia sedang dikerumuni oleh orang-orang yang memiliki kelebihan” desis pengikutnya.
“Ya. Kuda Padmadata sedang cukerumuni oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi bodoh dan dungu. Apa yang mereka dapatkan dengan mempertaruhkan nyawa, mereka melindungi Pangeran dan istrinya itu” geram Ki Dukut.
“Tetapi apakah mungkin mereka keluarga atau hubungan perguruan dengan orang tua dari perempuan yang diambilnya itu?” bertanya pengikutnya.
“Aku tidak tahu” jawab Ki Dukut, “tetapi agaknya mereka orang lain, mungkin mereka adalah petugas-petugas dari Singasari, atau orang-orang lain sama sekali.
Namun dalam pada itu, pendapat pengikutnya itu memang menarik perhatian. Jika ia tidak segera dapat menghukum Pangeran Kuda Padmadata, maka ia akan mulai dari ujung yang lain. Ia akan dapat menelusuri kebenciannya kepada musuh bebuyutannya. Kemudian ke-kepada orang tua perempuan padukuhan itu. Baru kemudian ia akan sampai kepada perempuan dan anak laki-lakinya atau Pangeran Kuda Padmadata sendiri, yang ke-matiannya ingin ditunjukkannya kepada isterinya yang diambilnya dari padukuhan itu.
Bahkan tiba-tiba saja Ki Dukut berkata, “Aku akan memikirkannya”
“ Apa Ki Dukut?” bertanya pengikutnya.
“ Aku tidak harus mulai dengan Pangeran Kuda Padmadata” berkata Ki Dukut, “ aku akan membunuh iblis itu lebih dahulu. Mungkin aku akan sulit melakukannya karena mungkin aku dan iblis itu mempunyai kemampuan seimbang. Namun aku akan datang kepadanya dengan beberapa orang tertentu, aku harus yakin bahwa ia akan mati. Kemudian aku akan merambat kepada orang-orang yang lebih dekat lagi dengan Pengeran Kuda Padmadata itu”
“Tetapi apakah Ki Dukut tahu, dimanakah orang-orang itu tinggal atau mungkin padepokannya?” bertanya pengikutnya.
“Aku sudah mengetahuinya. Tetapi perempuan dan orang tuanya itulah yang tidak aku ketahui dimana mereka sekarang berada” geram Ki Dukut, “namun demikian, aku akan mulai dari orang yang dapat aku ketemukan dengan mudah”
Pengikutnya tidak menyahut lagi. Tetapi iapun mengikutinya saja dengan langkah yang semakin cepat.
Ternyata Ki Dukut Pakering benar-benar telah memikirkan, bahwa ia akan mengambil langkah yang lain Ia sudah merasa tidak lagi akan dapat menguasai harta benda Pangeran Kuda Padmadata seperti yang diperhitung kan. Karena itu, yang kemudian menyala di dadanya bukan lagi ketamakannya kepada harta benda, tetapi dendamnyalah yang seakan-akan telah membakar jantung.
Ketika keduanya sampai kepondok kecil tempat tinggal mereka untuk sementara, maka Ki Dukut masih mengulangi pembicaraan itu. Bahkan kemudian seakan-akan ia telah mengambil keputusan, untuk mengamati padepokan kecil tempat tinggal musuh bebuyutannya itu.
“Alangkah buruk nasibnya” berkata Ki Dukut, “tiba-tiba saja aku datang untuk melepaskan dendam dan kebencianku kepadanya. Mungkin ia tidak menduga sama sekali. Bermimpi pun tidak. Atau bahkan ia sudah dibayangi oleh mimpi buruk”
Pengikutnya mengerutkan keningnya ketika ia melihat Ki Dukut itu tertawa tertahan-tahan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata pula, “Kenapa baru sekarang aku menyadarinya, bahwa dengan demikian aku akan mendapat kepuasan ganda. Meskipun bukan karena aku dapat membunuh Pangeran Kuda Padmadata dan mendapat harta bendanya, tetapi aku telah membunuh orang yang paling aku benci sebelum aku membunuh muridku yang gila itu”
Dengan demikian, maka Ki Dukut itu pun telah memalingkan untuk sementara perhatiannya kepada musuh bebuyutannya. Ia tidak lagi dengan tergesa-gesa ingin membunuh Pangeran Kuda Padmadata, karena menurut perhitungannya, orang-orang yang telah melibatkan diri itu tentu masih tetap berada di istana itu untuk sementara.
“Biarlah mereka terlena dengan Pangeran yang gila itu” berkata Ki Dukut, “aku akan mengambil jalan lain”
Namun demikian, pada saat Ki Dukut memutuskan untuk menghubungi beberapa orang yang dikenalnya dengan baik untuk melaksanakan maksudnya, maka pada saat itu, Mahendra dan Ki Wastu telah berada di Singasari
Bersama Mahendra, maka Ki Wastu pun telah masuk ke dalam lingkungan istana untuk menengok anak perempuan Ki Wastu dan cucunya ternyata mereka mendapat tempat yang cukup baik dan perlindungan seperlunya, apalagi pesan itu diberikan oleh Mahisa Agni.
“Untuk sementara kau akan tetap tinggal disini” berkata Ki Wastu kepada anak perempuannya.
“Kenapa ayah?” bertanya anak perempuannya itu, “aku berterima kasih kepada para prajurit di Singasari yang telah melindungi aku dan memperlakukan aku dengan sebaik-baiknya. Tetapi aku di sini tidak lebih dari seekor burung yang hidup didalam sangkar. Aku mendapat makan secukupnya. Aku mendapat pakaian dan bahkan aku mendapat apa saja yang aku perlakukan. Tetapi bukan kali demikian yang seharusnya dilakukan oleh seorang perempuan. Aku sudah merindukan panasnya api di dapur. Aku sudah mulai dibayangi oleh keinginan untuk mengambil air sumur mengisi pakiwan dengan kelenting. Aku adalah seorang perempuan yang seharusnya bekerja seperti kebanyakan srempuan. Tetapi disini aku tidak sempat melakukannya, justru karena kebaikan hati dan mungkin juga belas kasihan”
Mahendra menarik nafas, dalam-dalam. Katanya, “jangan memikirkan sesuatu yang dapat memberati perasaan. Kami sudah bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata. Segalanya akan segera selesai. Namun sementara ini, Pangeran itu masih dibayangi oleh dendam dan kebencian, justru dari gurunya sendiri. Karena itu. maka untuk sementara kau masih perlu mendapat perlindungan khusus. Perlindungan yang sebaik-baiknya tidak akan dapat kau peroleh di rumahku misalnya, karena orang-orang yang mendendam Pangeran Kuda Padmadata itu akan dapat bertindak dengan cara yang paling kasar sekalipun”
Perempuan itu dapat mengerti. Tetapi kadang-kadang ia merasa sulit untuk mengendalikan perasaannya. Bahkan tanpa disadarinya, matanya menjadi basah Terdengar ia berdesah, “ Ayah, sampai kapan aku harus mengalami himpitan perasaan seperti ini?”
“Anakku” jawab Ki Wastu, “sebenarnyalah langit sudah menjadi merah oleh fajar. Sebentar lagi, pagi akan datang. Tetapi kau tidak akan dapat mempercepat putaran waktu. Karena itu, kau harus tetap bersabar”
Perempuan itu menunduk dalam-dalam. Titik air matanya telah membasahi pangkuannya. Namun ia mencoba untuk tetap menahan hati dan mengerti, pesan ayahnya. Karena iapun menyadari, betapa ayahnya, dan orang-orang yang semula tidak dikenalnya sama sekali, telah mempertaruhkan nyawanya, untuk melindunginya.
Dalam pada itu, untuk sementara, Ki Wastu tetap berada di rumah Mahendra. Ia menunggu mungkin sesuatu akan terjadi di Kediri atau di Singasari.
Namun sementara itu, Ki Wastu pun telah memikirkan saudara seperguruannya. Sumber kebencian guru Pangeran Kuda Padmadata kepada muridnya itu adalah karena saudara tua seperguruannya itu, sehingga kebencian itu lelah mengalir pula kepada Pangeran yang malang itu.
Yang hampir saja menjadi korban. Namun ternyata bahwa yang berbicara, bukan saja dendam dan kebencian, tetapi juga nafsu dan ketamakan atas harta benda Pangeran yang kaya raya itu.
“Ki Mahendra” berkata Ki Wastu pada suatu saat, “aku merasa kurang lengkap, jika persoalan ini tidak aku sampaikan kepada kakak seperguruanku, yang kemudian aku anggap sebagai pengganti guruku. Ia adalah sumber dari kebencian Ki Dukut Pakering, guru Pangeran Kuda Padmadata itu. Jika ia mengetahui persoalan ini, mungkin ia akan dapat ikut memecahkannya. Dengan demikian kecemasan kecurigaan dan keragu-raguan ini akan dapat segera diatasi”
Mahendra mengangguk-angguk. Iapun sependapat dengan Ki Wastu. Namun demikian, ia masih bertanya, “Tetapi Ki Wastu, apakah dalam waktu dekat, saudara seperguruan Ki Wastu itu perlu diberi tahu? Atau justru apabila segala sudah selesai, sehingga tidak perlu melibatkannya ke dalam kegelisahan pula”
“Mungkin juga demikian. Tetapi jika ia sudah mengetahuinya, maka ia akan dapat ikut mengambil sikap,” bertanya Ki Wastu, “bahkan mungkin ia akan dapat memberikan jalan penyelesaian”
Mahendra masih mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika demikian, apakah yang sebaiknya kita lakukan?”
“Ki Mahendra” berkata Ki Wastu kemudian, “aku kira tidak ada jalan lain kecuali, aku harus menemuinya di padepokannya. Menyampaikan segala persoalan yang berkembang atas anak perempuanku, sehingga berakhir dengan kematian Pangeran Kuda Rukmasanti”
“Perjalanan itu tetap cukup jauh Ki Wastu. Apakah Ki Wastu akan menempuh perjalanan itu sendiri”
“Aku kira aku tidak berkeberatan untuk menempuh perjalanan itu sendiri. Meskipun mungkin aku kembali bersama dengan saudara seperguruanku itu” sahut Ki Wastu kemudian.
“Mungkin ada kawan lain yang dapat pergi bersama! Ki Wastu” berkata Mahendra, “jika Ki Wastu mau singgah di Kediri, meskipun barangkali akan bertambah sedikit jauh, namun Mahisa Bungalan akan dapat menemanimu”
Ki Wastu mengerutkan keningnya. Ia telah mengenal anak muda yang bernama Mahisa Bungalan. Ia telah mengetahui tingkat kemampuan anak muda itu. Bahkan ternyata Mahisa Bungalan telah berhasil mengalahkan Pangeran Kuda Rukmasanti.
“Tetapi apakah ia masih bersedia mengorbankan waktunya untuk kepentingan orang yang tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan anak muda itu?” bertanya Ki Wastu, lalu, “kami bukan sanak bukan kadang. Kamipun tidak mempunyai hubungan perguruan. Adalah karena sikap yang luhur sajalah, maka angger Mahisa Bungalan, dan bahkan kemudian seluruh keluarganya, termasuk ayah dan paman-pamannya, telah terlibat pula ke dalam persoalan ini”
Mahendra tersenyum. Katanya, “Ki Wastu. Memang seharusnya Mahisa Bungalan sudah dipanggil oleh Sang Maha Prabu di Singasari untuk memasuki lingkungan keprajuritan. Tetapi agaknya Mahisa Bungalan ingin melengkapi pengalamannya lebih dahulu. Jika ia sudah berada di dalam lingkungan keprajuritan, maka ia adalah seorang prajurit yang tidak dapat pergi kemana saja sesuai dengan keinginannya. Karena itu, untuk sementara ia masih mohon waktu, agar ia diperkenankan melengkapi bekalnya sebelum ia memasuki tugas-tugas yang berat dari seorang prajurit di Singasari yang besar ini”
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Tetapi untuk mencari pengalaman, seharusnya angger Mahisa Bungalan tidak terlalu dekat berjalan menyentuh bahaya. Mungkin ia ingin melihat kota-kota lain dan tata kehidupan yang lebih lengkap. Tetapi tidak bermain-main dengan nyawanya”
“Sentuhan-sentuhan pada bahaya yang gawat itulah yang diinginkannya, meskipun aku harus berdoa siang dan malam, agar’ia selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa”
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku menyadari bahwa aku sedang berbicara dengan ayah seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan. Akupun sadar, bahwa pembicaraan ini sekaligus merangkum pengertian, bahwa Ki Mahendra tidak berkeberatan sama sekali jika aku menawarkan kepada angger Mahisa Bungalan, apakah ia bersedia untuk ikut bersamaku, pergi ke padepokan saudara seperguruanku itu”
“Ki Wastu benar. Justru aku masih ingin memberikan kesempatan kepada anakku. Mudah-mudahan dengan tugas tugas ini menjadi puas dan segera bersedia memasuki lingkungan keprajuritan yang sudah lama tersedia baginya” berkata Mahendra.
Dengan demikian, maka keduanya pun telah sepakat, bahwa Ki Wastu akan memberitahukan segala yang telah terjadi kepada saudara seperguruannya, yang menjadi pusat dendam Ki Dukut Pakering, sehingga akibatnya telah menyentuh Pangeran Kuda Padmadata, muridnya sendiri. Sehingga hampir saja hidupnya telah dikorbankan. Sementara itu Ki Wastu pun akan singgah pula di Kediri untuk menyampaikan maksudnya kepada Mahisa Bungalan, apabila ia tidak berkeberatan untuk ikut serta dalam perjalanan yang agak panjang.....