Sementara itu seorang lawannya yang bermain dengan api itu telah berdiri dan melangkah selangkah surut. Ia melihat api mulai menyala. Lidah yang merah terjulur menjilat-jilat dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah kering.
Namun tiba-tiba orang itu terkejut. Selagi ia memandang api yang mulai membakar rumah itu, ia mendengar jerit ngeri yang seperti membelah langit. Ketika ia berpaling, ia terkejut luar biasa. Baru ia sadar akan kelengahannya Seandainya ia tidak tercengkam oleh lidah api yang mulai menjilat, dan segera kembali ke arena pertempuran, maka hal itu agaknya tidak terjadi.
Dalam pada itu ia melihat kawannya terlempar dengan dada yang menganga oleh pedang orang tua itu. Darah yang merah segera mengalir membasahi halaman.
“Mati” desis kawannya yang baru saja menyalakan api. Orang tua itu berlari ke sudut rumahnya, maka dengan serta merta iapun mencegahnya. Dengan garangnya orang itu menyerang Ki Wastu yang berusaha untuk memadamkan api yang mulai membakar rumahnya.
Tetapi Ki Wastu tertahan oleh kawannya yang seorang. Karena itu. tanpa berpikir lagi, Ki Wastu telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Ternyata ia masih mampu bergerak dengan cepat dan kuat, sehingga pada serangan yang garang, lawannya terdorong selangkah surut.
Ki Wastu tidak membiarkan lawannya menghalang-halangi lagi, sehingga karena itu, maka iapun memburunya, dengan cepat ia meloncat menebas lambung lawannya dengan pedangnya.
Tetapi karena serangan yang tergesa-gesa itu. Lawannya justru sempat mengelak. Ia meloncat selangkah mundur. Bahkan kemudian dengan tangkasnya orang itu meloncat membalas serangan Ki Wastu dengan serangan yang garang pula.
Orang tua itupun sempat menangkis serangan itu dengan perisai kecilnya. Dengan demikian. justru lumbung lawannya telah terbuka. Ki Wastu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Apalagi ia telah kehilangan pertimbangan karena kegelisahannya.
Sejenak kemudian terdengar sekali lagi pekik yang meninggi. Lawan Ki Wastu itu terdorong surut, ketika Ki Wastu menarik pedangnya yang menghunjam ke dada lawannya, maka orang yang garang itu terhuyung-huyung uti kemudian jatuh terlelungkup.
Ki Wastu tidak menunggu apa yang terjadi atas lawannya. Ia tidak menghiraukan lagi, apakah lawannya itu mati atau pingsan. Yang dilakukan kemudian adalah berlari-lari ke sudut rumahnya, melepaskan senjata dan perisainya, kemudian berusaha untuk memadamkan api yang mulai berkobar.
Tanpa menghiraukan panasnya api yang menyala, ia menarik dinding rumahnya dengan segenap tenaganya, sehingga dinding itu justru telah terlepas. Tali-talinya putus dan tiang rumah itupun telah berderak patah.
Tetapi api telah merayap sampai menjilat atap. Sehingga dengan demikian, usaha orang tua itu seakan-akan telah sia-sia.
Dalam pada itu, beberapa orang yang menyaksikan api itupun menjadi sangat gelisah. Namun kematian dua orang yang buas dan liar di halaman itu, membuat mereka menjadi lebih berani. Beberapa orang mulai mendekat, sedang yang lain mulai melingkar dari arah lain.
Dalam pada nu, maka Mahisa Bungalan pun menjadi sangat gelisah pula. Iapun menjadi bingung seperti Ki Wastu. Api yang menyala itu telah menyalakan kemarahannya pula. Karena itu, seperti Ki Wastu, iapun tidak memikirkan apapun juga kecuali melumpuhkan lawannya dengan segera.
Di saat yang gawat itu, maka orang-orang yang mendekati rumah itu dari arah lain tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Merekapun bagaikan mendapat aba-aba untuk segera menolong.
Namun kemudian mereka tertegun sejenak ketika mereka mendengar suara menggelegar, “Orang-orang gila, siapa yang membantu memadamkan api itu, akan aku bunuh di halaman ini”
Namun suara itu terputus, karena tombak Mahisa Bungalan telah mematuk dadanya. Sehingga orang itu menggeliat. Dengan tatapan mata yang penuh dengan kemarahan. Namun akhirnya orang itu jatuh di tanah.
Sesaat kemudian, kawannya yang merasa tidak mampu berbuat apa-apa, ternyata telah menjadi putus asa. Ketika ia menyerang Mahisa Bungalan dengan membabi buta, maka nasibnya pun tidak lagi dapat ditolong. Ujung tombak Mahisa Bungalan sekali lagi menembus tubuh lawannya yang mengamuk seperti orang gila.
Yang terdengar kemudian adalah suara teriakan tertahan. Ketika teriakan itu terputus, maka orang itupun kemudian roboh di tanah.
Sejenak Mahisa Bungalan mengawasi kedua lawannya itu berganti-ganti. Tetapi ia tidak sempat mengamatinya, apakah keduanya benar telah terbunuh. Yang dilakukannya kemudian adalah berlari-lari membantu memadamkan api yang menyala membakar rumah orang tuai itu.
Dalam hiruk pikuk itu, Ki Wastu masih sadar, bahwa ia harus menyelamatkan anak dan cucunya apabila api sulit dipadamkan. Karena itu, maka iapun segera berlari memutari rumahnya. Dengan serta merta, Ki Wastu yang tidak sempat lagi membuka pintu sanggar itu, telah berlari melanggar daun pintu yang berderak patah.
Hampir saja Ki Wastu melanggar anak dan cucunya yang menjadi ketakutan. Sanggar itu ternyata telah penuh dengan asap. Tetapi perempuan dan anak laki-laki itu tidak berani keluar seperti pesan Ki Wastu. Dengan demikian, maka yang dapat dilakukan hanyalah berkisar menyudut sanggar. Namun mereka tidak berani melanggar pesan dengan mencari jalan keluar.
Karena itu, demikian Ki Wastu masuk, keduanya telah menghambur mendapatkannya sambil bertanya dengan cemas, “Bagaimana ayah?”
“Cepat keluarlah. Rumah ini telah terbakar”
Perempuan dan anak laki-lakinya itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Mereka mulai melihat api yang menjilat dinding. Bukan saja asapnya yang menyesak di dalam sanggar itu. Karena itu, maka perempuan itupun kemudian membimbing anaknya berlari-lari keluar dari sanggar.
Ternyata Ki Wastu masih tetap berhati-hati. Meskipun keempat erang yang datang ke rumahnya telah terbunuh. Namun mungkin masih ada orang lain yang berbahaya bagi keselamatan anak dan cucunya itu.
Karena itu, maka iapun telah memungut senjata dan perisainya. Ia sudah melepaskan harapan untuk menyelamatkan rumahnya. Meskipun orang-orang di sekitarnya telah datang membantu, namun api yang sudah mulai membakar rumah yang terbuat dari bambu dan kayu itu, tidak dapat dikuasai lagi.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang mencoba memadamkan api itupun telah melepaskan usaha mereka. Mereka justru berdiri semakin jauh, karena mereka tidak tahan lagi dipanggang oleh panasnya api yang menelan seluruh rumah dan isinya.
Di tengah-tengah halaman itu berdiri Ki Wastu dengan anak dan cucunya. Kemudian di belakangnya Mahisa Bungalan berdiri tegak dengan tombak di tangan.
Dengan tegang mereka memandangi api yang bagaikan menjilat langit. Asap mengepul tinggi ke udara. Orang-orang yang berdiri melingkari halaman rumah itu sama sekali tidak berdaya untuk menguasai lagi. meskipun jumlah mereka semakin lama menjadi semakin banyak.
Beberapa orang yang datang kemudian berusaha untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Mereka melihat empat sosok mayat yang tergolek di halaman dengan darah yang mulai membeku.
“Kami tidak tahu, apakah persoalannya” berkata salah seorang dari tetangganya yang melihat apa yang telah terjadi di halaman itu, “aku hanya melihat perkelahian itu terjadi dengan sengitnya. Kemudian keempat orang itu pun telah terbunuh. Dua orang dibunuh oleh anak muda itu, sedangkan yang dua lagi, telah dibunuh oleh Ki Wastu”
“Ki Wastu?” beberapa orang saling bertanya. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa orang tua itu ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa, sehingga ia mampu membunuh dua orang yang garang dan kasar itu.
Namun dalam pada itu, tidak seorang pun yang dapat mengatakan dengan pasti, kenapa keempat orang itu tiba-tiba saja telah mendatangi rumah Ki Wastu dan kemudian terjadi perselisihan sehingga mengakibatkan keempat orang itu terbunuh.
“Mungkin mereka akan merampok” desis yang seorang.
“Apakah ada hubungannya dengan perempuan yang baru saja datang ke rumah Ki Wastu itu? Yang katanya adalah anaknya, ibu dari anak laki-laki yang tinggal bersamanya”
“Mungkin sekali” sahut yang lain, “aku melihat seseorang melihat-lihat rumah dan halaman Ki Wastu dari arah belakang”
“Besok kita bertanya kepadanya”
Merekapun terdiam. Mereka hanya dapat melihat api yang sudah menelan seluruh rumah dan isinya. Bahkan dengan perlahan-lahan api itupun mulai surut. Asap yang hitam keputih-putihan mengepul tinggi sampai ke langit.
Orang-orang yang menyaksikan api yang mulai surut itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa, selain merasa iba kepada orang tuam anak dan cucunya.
“Benar-benar suatu malapetaka” gumam seseorang.
Kawannya hanya berpaling. Namun ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, ternyata yang terjadi itu telah di dengar oleh bebahu padukuhan. Ki Buyut dengan beberapa orang pembantunya dengan tergesa-gesa telah datang untuk menyaksikan apa yang telah terjadi. Ketika mereka menyaksikan orang-orang berkerumun, terdengar ia menarik nafas dalam-dalam. “Rumah itu telah menjadi abu”
Ki Buyut berdiri termangu-mangu di halaman yang panas itu. Ia masih melihat asap yang mengepul, empat sosok mayat yang tergelatak di tanah, dan senjata-senjata yang terlempar dari tangan.
“Apa yang terjadi Ki Wastu?” bertanya Ki Buyut kepada Ki Wastu.
Ki Wastu mengangguk hormat sambil menjawab, “Aku mohon maaf Ki Buyut. Mungkin aku telah membuat seisi padukuhan ini menjadi gelisah. Tetapi aku tidak berniat untuk berbuat demikian”
“Siapakah mereka?” bertanya Ki Buyut.
Ki Wastu memang sudah gelisah jika pada suatu saat ia mendapat pertanyaan yang demikian. Namun ia arus menjawab, karena itu, maka katanya, “Ki Buyut. Masalah ini sebenarnya menyangkut masalah keluarga. Tetapi pihak-pihak tertentu telah mengupah beberapa orang untuk berbuat kejahatan atas diri kami. Jika Ki Buyut berkenan, biarlah pada satu saat aku akan menceritakan segalanya.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku ingin tahu Ki Wastu. Peristiwa ini benar-benar peristiwa penting bagi padukuhan ini. Kedatangan keempat orang yang tidak kami kenal ini telah menumbuhkan persoalan yang gawat. Apalagi mereka ternyata telah terbunuh disini. Kami tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa meskipun Ki Wastu termasuk orang tua yang dihormati dipadukuhan ini, tetapi sebenarnya bahwa Ki Wastu digolongkan sebagai orang baru disini”
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya, “Benar Ki Buyut. Aku dapat mengerti seandainya tumbuh pertanyaan di dalam hati Ki Buyut dan orang-orang dipadukuhan ini, “Siapakah orang tua ini sebenarnya”
“Ya” sahut Ki Buyut, “selebihnya hampir tidak masuk akal. bahwa Ki Wastu, seorang petani tua yang mencari selembar tanah untuk bertani, ternyata mampu bertempur melawan empat orang meskipun barang kali dibantu oleh anak muda itu. Menurut pengamatan kami sebelumnya, Ki Wastu tentu akan mati ketakutan melihat satu orang saja yang segarang itu datang dengan pedang teracu”
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan mengatakan yang sebenarnya pada suatu saat Ki Buyut, bersamaan waktu aku akan menyebut segala sebab bahwa hal ini dapat terjadi”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Kami para bebahu, para tetangga tentu akan berbelas kasihan. Tetapi merekapun selalu dibayangi oleh kecemasan akibat dari peristiwa ini. Sudah sepantasnya kami memberikan tempat berteduh kepadamu. Sebenarnya aku ingin mempersilahkan kau tinggal di rumahku. Tetapi apakah dapat menjamin bahwa tidak akan terjadi sesuatu. Bahwa sanak kadang orang-orang yang terbunuh ini tidak akan mendendam dan kemudian mencarimu dalam kelompok yang lebih besar. Jika demikian, maka keluargaku ikut terpercik oleh keadaan yang gawat tanpa aku ketahui sebab musababnya”
“Ki Buyut” berkata Ki Wastu aku tidak dapat ingkar, bahwa kemungkinan-kemungkinan masih akan dapat terjadi. Dendam akan berkembang dan pembalasan akan dapat mengejar kami, kapanpun dan dimanapun kami berada. Karena itu, maka biarlah kami berada di halaman ini”
“Ah, itu tidak mungkin” sahut Ki Buyut, bagaimana jika hujan turun. Dan apakah yang dapat kalian lakukan antara debu yang berserakan itu”
“Kami akan membangun sebuah gubug kecil. Kami dapat tinggal di dalamnya. Itupun masih harus kami perhitungkan, sampai kapan kami berani bertahan tinggal di padukuhan ini”
Ki Buyut mariarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Ki Wastu. Jika kau tidak berkeberatan, kau dapat tinggal untuk sementara di dalam banjar. Tidak ada keluarga yang lain yang tinggal disana. Banjar itu dapat menampung siapa saja yang memerlukan. Jangankan penghuni padukuhan ini jika ia benar-benar membutuhkan. Orang lewat pun dapat tidur di banjar jika mereka kemalaman di padukuhan ini dan memerlukan penginapan”
Ki Wastu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya sambil mengangguk hormat, “Terima kasih Ki Buyut. Kami sekeluarga mengurapkan terima kasih atas kemurahan itu, sementara kami akan mendirikan gubug kecil”
“Tinggalah di banjar” Ki Buyut melanjutkan, “dan datanglah ke rumahku nanti malam. Aku ingin kau berceritera tentang dirimu dan keadaanmu sekarang ini”
“Baiklah Ki Buyut. Aku akan datang” jawab Ki Wastu.
“Kau membuat aku dan seluruh isi padukuhan ini menjadi heran. Tetapi kau jangan sakit hati bahwa karena itu. kami akan bertanya, kenapa selama ini kini selalu berpura-pura menjadi seorang petani yung bodoh dan lemah. Mungkin kau sedang bersembunyi. Tetapi mungkin kau sedang menyembunyikan sesuatu”
“Ki Buyut benar. Aku akan menceritakannya” jawab Ki Wastu.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku akun pulang. Tetangga-tetanggamu tentu tidak akan berkeberatan membantumu. Disini banyak terdapat bahan-bahan yang dapat kau pergunakan untuk membangun rumahmu kembali. Di hutan sebelah kau akan mendapatkan jenis kayu yang cukup. Semantara di ujung padang perdu terdapat hutan bambu”
“Terima kasih Ki Buyut. Kami mengucapkan terima kasih. Segalanya akan kami pertimbangkan. Tetapi kami juga mempertimbangkan, apakah kami memerlukan tempat baru untuk bersembuyi dan sekaligus menyembunyikan sesuatu”
Ki Buyut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sudah mengerti bahwa sesuatu tersembunyi dibalik kehidupan petani tua itu. Sejenak kemudian, Ki Buyutpun minta diri. Katanya, “Ki Wastu. Pergunakan banjar padukuhan ini unluk sementara kau perlukan. Aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan kemudian. Apakah kau akan membangun kembali rumahmu, yang tentu akan dibantu oleh tetangga-tetanggamu dan bahkan para bebahu padukuhan, atau kau akan melakukan hal yang lain yang tidak kami ketahui sebelumnya”
“Terima kasih Ki Buyut. Kami akan mempergunakan kemurahan Ki Buyut sebaik-baiknya. Untuk sementara kami memang akan tinggal di banjar” sahut Ki Wastu.
Setelah memerintahkan beberapa orang untuk menyelenggarakan mayat-mayat yang terkapar di halaman itu, maka Ki Buyut pun kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Wastu yang sudah hangus menjadi abu.
Sementara itu, beberapa orang telah sibuk dengan mayat-mayat yang terbujur dengan darah yang sudah membeku. Beberapa orang justru tidak berani menyentuh mayat itu. Mereka lebih senang mengerjakan yang lain meskipun ada juga keinginan mereka untuk membantu.
Ketika halaman rumah itu dibersihkan, maka beberapa orang mempersilahkan Ki Wastu. anak perempuan dan cucunya untuk pergi ke Banjar. Sementara Mahisa Bungalan tetap berada di halaman itu untuk mengawasi keadaan. Ia tidak sampai hati melepaskan orang-orang padukuhan itu bekerja tanpa perlindungan. Jika masih ada satu dua orang kawan-kawan mereka yang terbunuh itu berkeliaran, maka ia harus berbuat sesuatu.
Demikian juga, keselamatan anak dan cucu Ki Wastupun harus mendapat perlindungan. Sehingga karena itu, maka Ki Wastu harus tetap berada di dekat dengan anak dan cucunya.
Sejenak kemudian, maka halaman rumah itu pun telah dibersihkan. Bersih dari mayat-mayat yang terkapar, dan bersih dari bara yang panas. Asap tidak lagi mengepul dan sisa-sisa api yang berserakanpun telah dikumpulkan.
“Terima kasih” gumam Mahisa Bungalan, “Tuhan Yang Maha Pemurah lah yang akan membalas segala kebaikan budi”
“Yang kami lakukan adalah kewajiban kami” jawab salah seorang tetangganya, “adalah menjadi beban kami bersama, suka dan duka di antara kita bertetangga”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimanapun juga, kalian sudah berbuat sesuatu di atas atas kemanusiaan”
Sementara itu, Mahisa Bungalan pun kemudian bersama tetangga-tetangganya meninggalkan halaman itu. Mahisa Bungalan menyusul Ki Wastu ke Banjar, sementara tetangga-tetangganya pun pulang ke rumah masing-masing.
Di Banjar, Ki Wastu masih saja dicengkam oleh kegelisahan. Ia tidak meletakkan senjatanya jauh daripadanya. Seolah-olah ia masih saja dibayangi oleh kecemasan, bahwa tiba-tiba akan muncul beberapa orang untuk menangkap anak dan cucunya dan membunuh mereka bersama-sama.
Ketika Mahisa Bungalan dalang ke Banjar, Ki Wastupun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kehadiranmu telah mengurangi keteganganku”
Mahisa Bungalan mengagguk sambil menjawab, “Ya. Kita masih harus berhati-hati”
Ki Wastu mengangguk-angguk Katanya, “Anak dan cucuku di ruang belakang. Mereka mendapat yang baik untuk tidur. Di sebelah ada ruang untuk memasak. Tetapi aku tidak tahu, apakah ada yang dapat dimasak besok, karena semuanya telah menjadi abu”
“Kita dapat mengambil di sawah. Ketela pohon itu mungkin sudah dapat dipetik hasilnya, meskipun sedikit demi sedikit” jawab Mahisa Bungalan.
“Dengan itu kita hanya dapat bertahan beberapa waktu” jawab Ki Wastu. Tetapi katanya kemudian, “Namun yang penting, apakah yang akan terjadi besok atau lusa. Apakah kematian keempat orang itu tidak akan disusul dengan peristiwa-peristiwa lain yang akan dapat meningkatkan kematian”
“Mungkin sekali” sahut Mahisa Bungalan, “tetapi kita harus mampu mengurusi segala peristiwa dan kemudian mencari penyelesaian sebaik-baiknya”
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita akan berbicara dengan Ki Buyut. Beristirahatlah”
Mahisa Bungalan memang merasa letih. Ia memiliki kemampuan dan daya tahan yang luar biasa. Tetapi keletihan jiwanya membuatnya ingin beristirahat barang sejenak.
Setelah membersihkan dirinya, maka Mahisa Bungalan pun kemudian duduk di serambi belakang. Ia ingin duduk seorang diri tanpa diganggu oleh siapapun juga. Sambil memandang kebun yang terbentang, Mahisa Bungalan sempat berangan-angan tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Ia melihat, betapa buruk nasib anak perempuan Ki Wastu. Ia ditinggal suaminya tanpa dapat berbuat sesuatu meskipun ia mengerti dan mengetahui tempat tinggalnya. Di Kediri. Semantara orang-orang yang jahat ingin memusnahkannya, karena anak laki-lakinya itu mempunyai hak warisan dari Pangeran yang sudah lama tidak menjenguknya.
Sementara itu, Ki Wastu justru duduk di pendapa banjar. Juga seorang diri. Diluar persetujuan mereka, seolah-olah mereka sengaja mengawasi bagian depan dan belakang dari banjar itu.
Sementara, itu, di dalam banjar, di ruang bagian belakang, anak perempuan Ki Wastu duduk memeluk anak laki-lakinya. Betapa ia berjuang untuk dapat mengendalikan perasaannya. Ingin kiranya ia berteriak menangis.
Tetapi dengan demikian, anak laki-lakinya tentu semakin gelisah dan ketakutan. Karena itu, betapa pampat dadanya. Perempuan itu tetap menahan diri. Bahkan ia masih berusaha untuk dapat menenangkan hati anaknya.
“Kenapa rumah kita dibakar ibu?” bertanya anak itu.
Ibunya membelai rambut anak itu sambil berkata, “Tidak ada yang membakar rumah kita ngger. Tetapi agaknya suatu kecelakaan sudah terjadi”
“Tetapi siapakah yang sudah berkelahi di halaman?” bertanya anak itu.
Ibunya tidak akan dapat ingkar. Anak itu mendengar dengan telinga sendiri, apa yang telah terjadi. Iapun mengerti, bahwa perkelahian di halaman itu telah merenggut beberapa nyawa. Anak itu melihat, meskipun kemudian menyembunyikan wajahnya, bahwa beberapa sosok mayat telah terkapar.
Karena ibunya tidak segera menjawab, maka anak itu bertanya lagi, “Siapa yang telah berkelahi dengan kakek dan paman Mahisa Bungalan?”
“Mereka orang-orang jahat ngger. Mereka menyerang kakek dan pamanmu Mahisa Bungalan” jawab ibunya.
“Kenapa ibu?” anak itu mendesak.
Hampir saja ibunya tidak dapat menahan air matanya. Tetapi ia berusaha sejauh yang dapat dilakukan. Dengan suara yang mulai parau ia berkata, “Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi. Apapun yang sudah terjadi, mereka dapat dikalahkan oleh kakek dan paman Mahisa Bungalan. Mereka tidak dapat menggaggu kita lagi”
Anak itu tidak berkata lagi, maka ibunya berkata, “Tidurlah. Kau harus mencoba menenangkan dirimu. Tidak akan ada apa-apa lagi ngger. Pamanmu Mahisa Bungalan dan kakek ada di banjar ini. Sementara para bebahu padukuhan ini pun sangat baik kepada kita”
Anak itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berbaring di sebuah amben bambu yang besar di bagian belakang dari banjar padukuhan itu, sementara ibunya duduk di sebelahnya sambil memijit kakinya. Betapapun hatinya dibakar oleh kegelisahan, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya kepada anak laki-lakinya bahwa hatinya bergejolak.
Untuk beberapa saat, anak laki-laki itu masih belum memejamkan matanya. Seolah-olah ia masih memandangi atap yang agak lain dari atap di rumahnya. Atap itu tidak terbuat dari raguman sebelah bambu yang dilindungi oleh anyaman rumput ilalang. Tetapi rusuk atap rumah itu terbuat dari kayu dan dilindungi dengan anyaman ijuk yang tebal.
Namun sejenak kemudian seperti dibuai oleh ayunan, maka matanya mulai menjadi redup. Silirnya angin kemudian mengipasinya, sehingga anak itu pun sejenak kemudian telah tertidur.
Betapa sesak yang menyumbat jantung ibunya bagaikan meledak. Betapapun juga perempuan itu bertahan, akhirnya air matanya telah pecah dan mengalir di pipinya. Meskipun ia tidak menangis memekik tinggi, namun iapun menjadi terisak-isak. Diluar sadarnya ia mulai membayangkan, betapa panasnya saat-saat ia mulai mekar di sebuah padukuhan kecil. Kadang-kadang ia berbangga karena kurnia kecantikan wajahnya. Jika tidak ada seorang pun yang menyaksikan, ia menyempatkan diri bercermin di wajah belumbang yang bening. Jika air sedang tenang, ia dapat melihat wajahnya sendiri yang mulai menginjak usia dewasa.
“Apakah aku cantik?” kadang-kadang ia bertanya kepada dirinya sendiri. Namun iapun sadar, bahwa ia adalah bunga yang sedang mekar.
Tetapi sesaat kemudian, iapun mulai dipanggang di atas panasnya bara nasibnya yang malang. Ia masih sempat menikmati kebahagiaan beberapa saat bersama suaminya Pangeran Kuda Padmadata. Tetapi setelah itu, iapun mulai merasa sepi. Suaminya pergi ke daerah yang sesuai dengan tataran dan derajatnya. Untuk beberapa tahun, hatinya justru dibakar oleh sepi. Hanya karena anak laki-lakinya sajalah maka ia masih tetap pempunyai gairah untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan.
Namun akhirnya ia masih saja diburu oleh nasib buruk. Sehingga akhirnya ia telah terlempar ke dalam suatu suasana yang mengerikan dan selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
“Seandainya maut itu memang akan datang, aku akan rela menyerah, asal anakku akan mendapatkan tempatnya sebagai anak seorang Pangeran” keluhnya di dalam hati. Tetapi ia sama sekali tidak mempunyai harapan.
Tidak ada jalan yang dapat ditempuh. Ia tidak akan berani datang ke istana kepangeranan untuk menerangkan bahwa anak itu adalah anak Pangeran Kuda Padmadata. Dan ia pun tidak akan berani menuntut apapun juga dari suaminya yang meninggalkannya sekian lama tanpa kabar berita.
Tidak sulit untuk mencari istana Pangeran Kuda Padmadata di Kediri” berkata perempuan itu kepada diri sendiri. Tetapi jika itu hanya akan menghadapkan anak kepada kematian, maka tidak ada gunanya menemukan istana itu, bagaimanapun megahnya”
Perempuan itu menjadi semakin terisak. Tetapi ia mencoba untuk tidak menggangu perasaan ayahnya dan seorang anak muda yang telah menolongnya. Ia ingin menekan duka deritanya di dalam dadanya sendiri, meskipun ia sadar, bahwa ayahnya pun tentu telah terlibat pula dalam kegelisahan yang tiada taranya, “Aku tidak boleh menambah sakit hati ayah” berkata perempuan itu di dalam hatinya.
Sementara anak laki-lakinya tidur nyenyak, maka perempuan itu duduk dengan air mata yang menitik di pangkuannya. Sekali-kali tangannya mengusap pipinya. Namun air mata itu masih saja mengalir.
Di pendapa, Ki Wastu merenungi keadaannya pula. Ia mencoba untuk mencari, jalan manakah yang sebaiknya akan ditempuhnya, ia sadar, bahwa anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu tentu tidak akan dapat ditahannya terlalu lama. Anak yang luar biasa itu, pada suatu saat tentu akan pergi, melanjutkan perjalanannya, “Apakah aku harus pergi jauh untuk mencari tempat persembunyian” berkata Ki Wastu di dalam harinya, “Apakah dengan demikian, bagi kami sekeluarga dunia ini tidak lebih baik dari sebuah hutan belantara? Kami adalah kelinci-kelinci yang selalu diburu oleh serigala-serigala yang buas dan liar”
Tetapi Ki Wastu tidak menemukan cara yang paling baik untuk menemukan jalan ke masa depan yang tenang bagi anak dan cucunya. Ia masih selalu membayangkan, beberapa orang memburu dengan senjata di tangan. Jika mereka mengetahui bahwa empat orang yang memburunya telah terbunuh, maka mereka tentu akan mengirimkan enam orang. Jika enam orang terbunuh, mereka akan mengirimkan sepuluh orang, sehingga akhirnya, sepasukan segelar sepapan akan datang mengepungnya dan terjadi rampokan seperti yang biasa dilakukan di alun-alun. Beberapa orang prajurit dengan tombak telanjang melingkari seekor harimau liar yang lapar, yang dilepaskan di antara ujung-ujung tombak sebagai tontonan yang sangat menarik perhatian. Betapapun kuat dan garangnya harimau itu, namun ujung-ujung tombak yang bagaikan daun ilalang di padang itu, akhirnya akan mengoyak tubuhnya sampai lumat.
“Kemana aku harus mencari perlindungan?” bertanya Ki Wastu kepada diri sendiri. Namun ia tidak kunjung mendapat jawaban.
Tetapi yang selalu terbayang, langkah yang pertama yang dapat dilakukannya, adalah menjauhkan diri. Lari dan bersembunyi. Ia harus menemukan tempat yang dapat dijadikan persembunyian meskipun untuk sementara, sebelum ia menemukan langkah-langkah selanjutnya yang lebih baik bagi masa depan anak dan cucunya.
Tetapi ada juga niatnya untuk menghubungi Pangeran Kuda Padmadata. Apakah Pangeran itu sama sekali tidak mempunyai perasaan, jika ia mengetahui anaknya dalam keadaan yang gawat. Seandainya ia tidak mau tahu lagi tentang keadaan isteri yang diketemukannya di padesan kecil dan tidak berarti sama sekali di dalam jalur hidupnya, apakah ia dapat berbuat demikian pula terhadap anaknya.
“Menurut pengamatanku. Pangeran Kuda Padmadata bukannya orang yang terlalu mementingkan diri sendiri” berkata Ki Wastu, “jika saja ada kesempatan untuk mengatakan tentang keadaan anaknya, mungkin hatinya akan tersentuh”
Ki Wastu menjadi ragu-ragu. Mahisa Bungalan telah menyatakan diri untuk pergi ke Kediri, menghadap Pangeran Kuda Padmadata.
“Biarlah ia pergi. Tetapi selama ia dalam perjalanan, apakah nasib kami tidak selalu berada di ujung duri” berkata Ki Wastu kepada diri sendiri.
Dengan demikian maka Ki Wastupun condong untuk mengambil keputusan, meninggalkan padukuhan itu untuk menemukan tempat baru yang jauh. Setidak-tidaknya untuk sementara, di saat-saat Mahisa Bungalan pergi ke Kediri.
Bukan berarti bahwa ia akan takut menghadapi bahaya yang betapapun gawatnya, namun jika ia gagal bertahan, maka anak dan cucunya itupun akan menjadi korban.
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian berdiri dan melangkah ke belakang mencari Mahisa Bungalan.
Ketika ia lewat di muka bilik anak perempuannya, maka ia masih mendengar isak di dalam. Tetapi ia tidak berhenti. Ia tahu pasti, perasaan apakah yang bergejolak di dalam hati anak perempuannya itu. Ketika ia menjengukkan kepalanya di serambi belakang, dilihatnya Mahisa Bungalan duduk dengan mata redup. Nampaknya iapun sedang merenungi keadaan yang gawat bagi kedua ibu dan anaknya itu.
Mahisa Bungalan beringsut ketika Ki Wastu mendekatinya dan kemudian duduk di sisinya, “Kita memerlukan sikap” berkata Ki Wastu.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. katanya, “Ya kek. Mungkin bahaya itu akan datang menyusul. Berita kematian empat orang itu diketahui oleh setiap orang di padukuhan ini, bahkan oleh orang-orang di sekitarnya. Berita demikian akan dengan cepat menjalar dan sampai ke telinga kawan-kawan keempat orang yang terbunuh itu”
Mereka akan mengirimkan orang-orang yang lebih baik untuk melepaskan dendam. Selain itu. kewajiban merekapun belum dapat mereka lakukan dengan baik” sambung Ki Wastu yang gelisah.
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia menyadari keadaan sepenuhnya, nyawa perempuan dan anak laki-lakinya itu benar-benar berada dalam bahaya.
Diluar sadarnya. Mahisa Bungalan pun mula merenung. Adalah diluar kemampuannya untuk menghalangi keinginan sekelompok keluarga Pangeran Kuda Padmadata untuk memiliki warisan tanpa dibagi dengan anak laki-laki dari Pangeran itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Warisan adalah harapan bagi seorang anak, tetapi sekaligus sumber bencana. Orang tua yang tidak mempunyai warisan apapun yang dapat diberikan kupada anak keturunannya, akan menjadi gelisah dan menyesal, bahwa hidupnya adalah sia-sia bagi masa depan keturunannya. Tetapi warisan akan dapat membuat seseorang menjadi cemas, bahwa anak-anaknya akan saling bertengkar karena warisan. Semakin besar warisan itu, maka kemungkinan yang buruk akan menjadi semakin besar pula, meskipun tidak berarti bahwa semua orang akan terlibat ke dalam keadaan yang serupa.
Kini ternyata bahwa putera Pangeran Kuda Padmadata itu telah terjerumus ke dalam keadaan yang gawat. justru karena Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang Pangeran yang kaya, yang memiliki warisan yang banyak sekali bagi keturunannya. Tetapi keluarganya tidak ingin melihat, anak Kuda Padmadata yang lahir dari perempuan desa itu sempat memiliki warisan yang tidak ternilai itu.
Mahisa Bungalan terkejut ketika orang tua yang duduk di sampingnya itu bertanya, “Bagaimana pendapatmu ngger?”
Mahisa Bungalan berpaling. Kemudian sambil beringsut setapak ia berkata, “Kita memang harus memperhitungkan segala kemungkinan, kek. Jika aku pergi ke Kediri untuk menghadap Pangeran Kuda Padmadata sebelum ibu dan anak itu disembunyikan sebaik-baiknya, rasa-rasanya hati ini tidak akan sampai. Seperti yang kakek katakan, mereka dapat mengirimkan orang-orang yang lebih baik dan lebih banyak. Padahal kita menyadari, bahwa kemampuan seseorang itu sangat terbatas. Pada suatu saat kita akan sampai pada batas kemampuan kita. Sehingga kita tidak akan dapat mengatasinya lagi”
“Jadi apakah yang baik kita lakukan?” bertanya orang tua itu.
“Ya, apakah yang baik kita lakukan?” Mahisa Bungalan mengulangi.
Keduanya terdiam. Sejenak keduanya merenung. Namun nampaknya hari depan masih terlalu suram.
“Kek” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “sebaiknya kita mencari tempat persembunyian lebih dahulu”
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya, “Akupun berpikir demikian ngger. Setelah kita menemukan tempat yang sebaik-baiknya, maka salah seorang dari kita akan pergi ke Kediri menghadap Pangeran Kuda Padmadata”
Mahisa Bungalan memandang orang tua itu sejenak. Lalu, “Jika demikian, kemanakah sebaiknya kita pergi? Ke Utara atau Ke Selatan? Ke Barat atau Ke Timur?”
“Orang-orang yang datang itu datang dari arah Utara. Dengan demikian, “kita akan bersembunyi ke tempat yang semakin jauh. Kita akan pergi ke Selatan.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, tetapi iapun bertanya, “Apakah kita akan dapat menemukan tempat yang dapat melindungi kita seperti padukahan ini? Artinya, orang-orang dari tempat yang baru itu akan dapat menerima kita dengan senang hati, dan dapat menganggap kita sebagai petani yang mencari tanah garapan yang baru?”
“Kenapa tidak ngger?”
“Ki Wastu” Mahisa Bungalan berdesis, “kedatangan Ki Wastu ke tempat ini memang tidak mencurigakan. Seorang laki-laki tua dan seorang cucunya. Baru kemudian aku datang menyusul, selanjutnya seorang perempuan yang ternyata adalah anak kakek. Tetapi di tempat yang baru, maka kita datang lengkap seperti jumlah orang yang sedang dicari. Mereka yang kehilangan empat orang itu tentu akan dapat mengetahui, penghuni rumah yang terbakar itu berjumlah empat orang. Jika mereka bertanya, maka mereka akan dengan mudah menemukannya. empat orang”
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya, “Itu memang mungkin sekali. Seorang laki-laki tua, seorang perempuan dan anak laki-lakinya, dan seorang anak muda”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia sedang memperhatikan segala kemungkinan. Kemungkinan yang baik, tetapi juga kemungkinan yang pahit. Nampaknya tidak ada jalan yang baik yang dapat ditempuh. Segalanya mengandung bahaya dan kemungkinan-kemungkinan yang gawat. Seolah-olah tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri.
Ki Wastu pun menyadari, bahwa jalan terlalu gelap. Hari depan anak dan cucunya itu seolah-olah tidak akan dapat diharapkan lagi.
Sekilas terbayang padepokan-padepokan yang pernah disinggahi oleh Mahisa Bungalan. Padepokan yang telah meninggalkan bekas yang tidak terhapus dari hatinya. Di padepokan itu, terdapat tidak hanya satu dua orang yang dapat membantu melindungi perempuan dan anak laki-lakinya. Tetapi di padepokan itu terdapat beberapa orang murid.
Mereka tentu tidak akan berkeberatan jika Mahisa Bungalan datang kepada mereka dan menitipkan laki-laki tua itu dengan anak cucunya. Tetapi Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Bayangan itupun mulai mengabur ketika kemudian ia melihat kemungkinan yang buruk bagi padepokan itu.
Meskipun di padepokan-padepokan itu ada beberapa orang murid yang terpercaya, tetapi tingkat tertinggi yang dimiliki oleh padepokan-padepokan itu masih belum dapat dipercaya sepenuhnya. Jika orang-orang yang ditugaskan oleh mereka yang ingin membinasakan perempuan dan anak laki-lakinya itu datang setelah mereka menemukan jejaknya, maka padepokan itu justru akan hancur menjadi abu. Tidak akan ada kekuatan yang dapat melindungi perempuan dan anak laki-lakinya itu yang dapat diharapkan dari padepokan-padepokan kecil yang terpencil itu. Bahkan dengan demikian maka ia akan dapat mengundang bencana bagi perempuan dan anak-anak laki-lakinya itu, sekaligus padepokan yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang terjadi di antara keluarga Pangeran Padmadata.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun segera menghapus kemungkinan itu dari angan-angannya. Ia tidak akan menjerumuskan kedua belah pihak ke dalam kesulitan. Namun dengan demikian, apakah yang sebaiknya di lakukan.
Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri. Mereka mencoba mencari kemungkinan yang sebaik-baiknya untu bersembunyi. Sementara Mahisa Bungalan akan meninggalkan mereka, pergi ke Kediri menemui Panger Kuda Padmadata.
Dalam kebingungan, akhirnya Mahisa Bungalan berdesis, “Kek. Jika keadaan tidak terpecahkan lagi, aku mempunyai pertimbangan jika kau sependapat”
Ki Wastu memandang wajah Mahisa Bungalan dengan kerut merut di keningnya, sambil bertanya, “Apakah kau menemukan jalan?”
“Jika hanya jika tidak ada jalan lain” berkata Mahisa Bungalan.
“Katakanlah” sahut Ki Wastu dengan penuh harapan.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ki Wastu. Aku adalah seorang yang datang dari Singasari. Aku mempunyai rumah dan tempat tinggal. Aku mempunyai lingkungan dan keluarga. Jika memang tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh, apakah kakek bersedia untuk pergi ke Singasari. Jaraknya memang cukup jauh. Tetapi jika kita dapat mencapai tempat tinggalku yang juga tidak berada di dalam pusat pemerintahan, maka aku kira untuk sementara kakek dan keluargamu akan mendapat perlindungan”
Ki Wastu menegang sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi anak muda. Setiap tempat di muka bumi ini akan menjadi sasaran pencarian. Mungkin mereka akan sampai juga ke Singasari. Mungkin satu dua orang akan menelusuri sejak padukuhan ini mengikuti jejak perjalanan kita, sampai ke Singasari. Mungkin mereka akan menemukan kita juga. Apakah dengan demikian, kami tidak akan mempersulit keadaan keluargamu?”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin memang demikian. Tetapi adalah menjadi kewajiban setiap orang untuk saling menolong. Aku kira keluargaku tidak akan berkeberatan. Bukankah kemungkinan bahwa orang-orang yang mencari anak dan cucu kakek itu sampai ke Singasari sangat kecil”
“Betapapun kecilnya tetapi itu mungkin sekali terjadi” sahut Ki Wastu.
“Kakek sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu yang dapat dipergunakan untuk melindungi anak dan cucumu. Sementara aku pergi ke Kediri, maka di rumah akan ada ayahku, Mahendra. Kedua adikku, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Jika perlu, maka paman-pamanku pun akan dapat membantu”
“Siapakah mereka?”
“Aku kira aku tidak perlu menjelaskan semua orang yang bersedia berbuat sesuatu atas dasar kewajiban itu. Tetapi percayalah, bahwa anak dan cucumu akan mendapat perlindungan di rumahku. Bahkan jika masih meragukan, kita akan dapat mohon perlindungan kepada prajurit-prajurit Singasari.
“Apakah itu mungkin?” bertanya Ki Wastu.
“Kenapa tidak. Prajurit-prajurit Singasari akan dapat diminta perlindungannya, karena mereka memang berdiri pada sikap seorang kesatria. Adalah menjadi kewajiban mereka untuk melindungi siapapun yang memerlukannya” jawab Mahisa Bungalan.
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Terbayang harapan yang cerah bagi anak dan cucunya. Namun terbayang juga perjuangan yang berat menuju ke Singasari. Apalagi ia membawa seorang perempuan dan seorang anak laki-laki.
Tiba-tiba saja Ki Wastu itu berkata, “Anakmas, aku pasrah kepada anakmas. Tentu anakmas lebih banyak mengenal Singasari daripada aku. Sementara aku akan dapat menjual sesuatu yang masih ada padaku untuk membeli bekal perjalanan”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun kemudian Ki Wastu menunjukkan selingkar cincin di jari-jarinya. Katanya, “Aku akan menjualnya. Mungkin timangku ini dapat juga aku jual. Aku akan membeli sebuah pedati, seekor lembu dan perlengkapannya. Jika pada anak perempuanku masih juga ada perhiasan, aku akan dapat menjualnya pula untuk menambahinya jika masih kurang”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah pedati tidak justru memperlambat perjalanan” Ki Wastu menarik nafas. Katanya, “Mungkin. Tetapi apakah seorang perempuan dan seorang anak-anak akan dapat berjalan sampai ke Singasari”
“Tentu dapat” berkaja Mahisa Bungalan. Tetapi iapun tidak dapat ingkar, bahwa mungkin sekali mereka akan kelelahan.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun justru meraba kantong ikat pinggangnya. Ia membawa beberapa bekal yang diberi oleh ayahnya, yang sewakla-waktu dapat dijualnya.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak mengatakannya, bahwa ia mempunyai beberapa bentuk cincin, beberapa butir permata dan logam mulia. Hanya jika diperlukan sekali sajalah, ia akan memberikannya satu dua butir kepada orang tua itu untuk menambah, agar dapat membeli sebuah pedati dan dua ekor lembu untuk membawa anak perempuan dan cucunya pergi ke Singasari.
Dalam pada itu, Ki Wastu berkata, “Angger Mahisa Bungalan. Seandainya kita memaksa seorang perempuan dan anak-anak untuk berjalan ke Singasari, maka aku kira kita baru akan sampai dalam waktu yang terhitung akan lebih panjang daripada kita membawa sebuah pedati yang akan dapat berjalan terus, meskipun lambat. Sudah tentu kita akan beristirahat di sepanjang jalan. Namun aku kira, perjalanan kita akan dapat lebih rancak”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia belum mengatakan bahwa jika diperlukan, iapun akan dapat membantu menjual sesuatu yang masih ada padanya. Jika benda-benda itu terpisah dari ikat pinggangnya dan ikut terbakar, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Namun dalam pada itu, Ki Wastu pun ingat, bahwa ia harus pergi ke rumah Ki Buyut. Ia akan mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa yang telah memusnahkan rumahnya, namun ia harus menjelaskan juga, bahwa ada empat sosok mayat yang terkapar di halaman.
“Tetapi, aku harus pergi ke rumah Ki Buyut, ngger” berkata Ki Wastu kemudian, “apakah aku dapat mengatakan, bahwa kita akan meninggalkan padukuhan ini ke tempat yang belum pasti?”
Sebaliknya Ki Wastu mengatakan demikian, agar jejak kita tidak terlalu cepat diikuti. Siapa tahu, bahwa beberapa orang akan datang dan memaksa Ki Buyut untuk mengatakan. Jika Ki Buyut benar-benar tidak mengetahui, maka mereka tentu tidak akan dapat berbuat terlalu banyak terhadapnya” berkata Mahisa Bungalan.
“Tetapi, apakah dengan demikian Ki Buyut tidak akan mengalami kesulitan?” bertanya Ki Wastu.
“Kita dapat mempertimbangkannya. Tetapi aku kira, bagi orang-orang itu akan dapat dilihat, apakah Ki Buyut berkata sebenarnya atau sekedar berpura-pura”
Ki Wastu pun kemudian bersiap-siap untuk pergi. Tetapi ia masih juga berpesan, “Angger Mahisa Bungalan. Jika sesuatu terjadi, biarlah anak itu memukul kentongan. Aku akan segera datang”
Mahisa Bungalan menyadari, bahwa orang tua itu tentu masih selalu dibayangi oleh kegelisahan. Karena itu maka Mabisa Bungalan pun berkata, “Kek, untuk sementara kita akan aman. Meskipun demikian, aku akan selalu ingat pesan itu”
Demikianlah, maka kakek tua itupun kemudian minta diri kepada anak perempuannya untuk pergi sebentar ke rumah Ki Buyut.
“Aku takut ayah” desis ariak perempuannya.
Ki Wastu memandangi cucunya yang masih tidur nyenyak. Kemudian katanya, “Angger, Mahisa Bungalan ada di sini. Meskipun demikian, jika terjadi, sesuatu, kau dapat memukul kentongan itu. Aku akan mendengarnya dari rumah Ki Buyut”
Anak perempuannya itupun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Tetapi jangan terlalu lama ayah”
“Aku hanya sebentar” jawab ayahnya, “jika kemudian ruangan-ruangan ini menjadi gelap, nyalakan lampu yang ada”
“Dari mana aku mendapat api?” bertanya perempuan itu, “Aku tidak berani minta kepada tetangga. Dan aku tidak berani ditinggalkan oleh Ki Sanak Mahisa Bungalan jika ayah belum datang”
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Biarlah angger Mahisa Bungalan membuat api”
Sepeninggal Ki Wastu maka seperti yang dipesan oleh kakek tua itu, maka Mahisa Bungalan pun membuat api dengan batu thithikan. Kemudian dinyalakannya seikat belarak kering yang didapatkannya di belakang. Dengan api itu, maka iapun kemudian menyalakan lampu dan bahkan perapian untuk merebus air.....
Dalam pada itu, Ki Wastu pun telah diterima oleh Ki Buyut di pendapa rumahnya. Tanpa orang lain, Ki Wastu menceriterakan sebagian dari keadaannya yang sebenarnya. Tetapi ia masih belum menyinggung, bahwa laki-laki yang meninggalkan anak perempuannya itu adalah seorang Pangeran.
“Jadi, laki-laki itu sampai hati untuk mengupah orang agar membunuh isterinya” bertanya Ki Buyut.
“Bukan laki-laki itu Ki Buyut. Tetapi keluarganya yang tidak mau kehilangan warisan” jawab Ki Wastu.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Adalah perbuatan yang terkutuk”
“Karena itu, maka kami sudah memutuskan untuk menyingkir saja Ki Buyut. Agar tidak terjadi pembunuhan-pembunuhan lagi, atau pada suatu saat kamilah yang akan terbunuh” berkata Ki Wastu kemudian.
“Kalian akan menyingkir ke mana?” bertanya Ki Buyut.
“Itulah yang kami tidak tahu Ki Buyut. Mungkin kami akan menjelajahi daerah yang luas dan panjang, sehingga pada suatu saat kami menemukan daerah yang meyakinkan, tidak akan dicapai oleh orang-orang yang berniat buruk itu”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi nampak wajahnya dibayangi oleh iba di hatinya. Bahkan seakan-akan kepada diri sendiri ia berkata, “Nasib itu memang sulit untuk dihindari. Kalian telah mengalami suatu kesulitan, yang sebenarnya bukan karena kesalahan yang pernah kalian lakukan”
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam, ia memang dibayangi oleh masa depan yang sangat suram, seakan-akan segalanya yang akan dilakukan, tidak banyak bermanfaat baginya untuk menghindarkan diri dari orang-orang yang bermaksud buruk terhadap anak dan cucunya.
Kesediaan Mahisa Bungalan untuk membawa anak dan cucunya ke Singasari, agaknya memang memberikan harapan. Tetapi jika bencana itu terjadi di sepanjang jalan, maka sangat sulit baginya untuk melawannya.
Jika orang-orang itu kemudian mengirimkan orang-orangnya lagi. maka jumlahnya akan tentu berlipat, dan di antara mereka tentu akan terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang semakin tinggi.
Tetapi keluarganya memang harus berbuat sesuatu. Jika ia tidak berusaha sama sekali, maka bencana itu akan lebih cepat datang, tanpa harapan untuk dapat mengelak sama sekali.
Karena itu. maka Ki Wastu pun kemudian berkata, “Ki Buyut. Kami berniat untuk menjauhkan diri tanpa mengerti tujuan sama sekali. Tetapi dimana kami merasa bahwa kami dapat hidup tenang, maka kami akan tinggal di tempat itu untuk waktu yang tidak dapat direncanakan, mungkin kami harus berpindah tempat lagi, jika kami merasa, bahwa hidup kami akan mulai diusik oleh orang-orang yang berniat jahat terhadap keluarga kami itu”
“Jadi, kalian akan merantau tanpa tujuan?” beranya Ki Buyut.
“Begitulah agaknya Ki Buyut. Kami harus melakukan yang bukan pilihan kami. Tetapi kami tidak dapat mengelak lagi” berkata Ki Wastu.
“Sulit bagiku untuk membayangkan, apa yang akan terjadi atas seorang perempuan dan anak-anak. Apakah mereka harus berjalan menempuh teriknya matahari dan dinginnya embun malam di sepanjang bulak-bulak panjang tanpa batas?” bertanya Ki Buyut.
“Apaboleh buat Ki Buyut” sahut Ki Wastu. Namun Ki Wastupun kemudian mengatakan, bahwa dengan menjual sisa-sia barangnya yang melekat pada tubuhnya, ia ingin mendapatkan sebuah pedati. Dengan pedati itu ia dan keluarganya akan menempuh perjalanan tanpa batas.
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ki Wastu. Meskipun kau bukan orang yang cikal bakal di pudukuhan ini, namun kau sudah kami anggap sebagai keluarga kami. Kau sudah kami anggap sebagai orang tua yang pantas kami hormati. Karena itu, Ki Wastu, jika kau memang memerlukan sebuah pedati, maka kau tidak perlu menjual sisa barang-barangmu yang masih melekat pada tubuhmu. Biarlah, orang-orang padukuhan ini memberimu sebuah kenang-kenangan, bahwa kau pernah tinggal di padukuhan ini”
“Apakah maksud Ki Buyut?” bertanya Ki Wastu.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Biarlah kau tidak usah membeli pedati dengan menjual barang-barangmu. Jika kau memerlukan pedati, pakailah pedatiku. Pedati yang akan selalu mengingatkanmu kepada padukuhan ini, kepada penghuninya, tetapi juga kepada pengalaman pahit yang pernah terjadi”
Ki Wastu mengerutkan dahinya. Setapak ia bergeser. Dengan suara yang bergetar karena getar jantungnya ia berkata, “Ki Buyut, apakah benar pendengaranku, betapa besar belas kasihan Ki Buyut terhadap keluarga kami”
“Sudah menjadi kewajiban kita Ki Wastu” sahut Ki Buyut, “kita harus saling menolong. Agaknya hanya itulah yang dapat kami berikan. Padukuhan ini sudah tentu tidak akan dapat memberikan perlindungan kepada keluargamu. Kami sama sekali tidak memiliki kekuatan unluk melawan kekerasan”
Ki Wastu untuk sejenak bagaikan membeku. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Ki Buyut demikian baik hati, sehingga ia tidak perlu menjual apapun juga untuk mendapatkan sebuah pedati.
“Betapa besar rasa terima kasih kami sekeluarga Ki Buyut” suara Ki Wastu menjadi semakin bergetar, “kami sekeluarga tidak akan melupakannya. Kami selalu mengenang padukuhan ini. Kami akan selalu mengenang Ki Buyut dan semua penghuninya”
“Besok pedati itu sudah siap Ki Wastu” berkata Ki Buyut, “bukan maksudku agar kau cepat meninggalkan padukuhan ini, tetapi setiap saat, pedati itu sudah siap kau pergunakan bersama keluargamu”
“Terima kasih Ki Buyut. terima kasih. Aku akan segera membicarakannya dengan anak dan cucuku. Juga membicarakannya dengan Mahisa Bungalan, anak muda yang telah ikut menyelamatkan keluargaku”
“Bukan saja sebuah pedati dengan dua ekor lembu. Tetapi aku akan dapat memberimu sekedar bekal bahan makan di perjalanan. Mungkin kau tidak segera mendapatkan tempat untuk sekedar tinggal beberapa saat. Mungkin kalian harus merantau untuk waktu yang tidak dapat dibatasi”
Ki Wastu mengangguk-angguk. Suaranya masih bergetar ketika ia menjawab, “Tidak ada kata-kata yang dapat aku ucapkan Ki Buyut Aku dan keluargaku telah berhutang budi kepada Ki Buyut, kepada padukuhan ini dan penghuninya”
“Tidak perlu kau bebani perasaanmu dengan anggapan seperti itu. Semuanya terserah kepadamu. Kapan kau akan berangkat, dan sampai kapan kau akan tinggal di banjar. Kaulah yang dapat menduga, apakah keadaan menjadi gawat atau masih dapat kau anggap tenang”
Setelah mengucapkan terima kasih berulang kali. maka Ki Wastu pun kemudian minta diri. Betapa baik sikap dan tanggapan Ki Buyut tentang keadaannya. Dengan demikian, maka ketika ia sampai ke banjar, hampir tidak sabar lagi menunggu Mahisa Bungalan yang sedang berada di belakang berjalan mendapatkannya di pendapa banjar.
“Ternyata Ki buyut adalah orang yang sangat baik” berkata Ki Wastu yang kemudian menceriterakan apa yang disanggupkan oleh Ki Buyut bagi keluarganya.
“Sukurlah” berkata Mahisa Bungalan, “jika keadaan berangsur baik dan tidak ada kecemasan lagi di dalam kehidupan kakek kelak, maka kakek tidak akan melupakan padukuhan ini”
“Tentu, tentu ngger. Aku tidak akan melupakannya” jawab Ki Wastu.
“Dengan demikian, apakah kakek berhasrat untuk segara meninggalkan tempat ini?” bertanya Mahisa bungalan.
“Aku kira begitu ngger. Semakin cepat semakin baik. Mungkin orang-orang yang bermaksud buruk itupun bekerja cepat, agar mereka tidak kehilangan kita. Terutama anak dan cucuku itu”
“Baiklah Ki Wastu Besok kita sudah bersiap, jika benar Ki Buyut akan memberikan pedati, maka demikian pedati itu ada, maka kita akan berangkat” berkata Mahisa Bungalan.
Ki Wastu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku akan berbicara dengan anak dan cucuku”
Ketika Ki Wastu kemudian masuk ke ruang di bagian belakang banjar itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian turun kehalaman dan berjalan-jalan hilir mudik. Ketika malam menjadi semakin gelap maka di gardu di muka banjar itupun mulai terisi oleh beberapa orang anak muda yang meronda.
Mahisa Bungalan yang kemudian berada di antara anak-anak muda itupun mulai dihujani dengan berbagai macam pertanyaan tentang peristiwa yang telah terjadi. Anak-anak muda itu tidak puas mendapat keterangan sekedarnya. Teetapi mereka ingin mengetahui lebih banyak.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat menceriterakan semuanya, ia hanya menyatakan apa yang sebenarnya dapat dilihat oleh tetangga-tetangganya.
Agar ia tidak terlalu banyak mengalami kesulitan untuk menjawab, maka Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan gardu itu dan masuk ke ruang dalam banjar. Sementara Ki Wastu sedang duduk terkantuk-kantuk di ruang dalam.
“Aku akan tidur sejenak, ngger” berkata Ki Wastu.
“Tidurlah kek. Aku akan berada di serambi belakang. Kita akan mendapat kesempatan untuk tidur bergantian”
“Aku akan tidur lebih dahulu” berkata kakek tua itu.
Ketika Mahisa Bungalan turun ke serambi belakang dan duduk di dalam gelap, maka Ki Wastu pun membaringan dirinya pada sebuah kayu yang rendah di depan pintu bilik anak perempuan dan cucunya, seolah-olah ia sama sebali tidak mau melepaskan pengawasannya atas pintu itu. Namun sejenak kemudran Ki Wastu itu pun telah tertidur.
Dalam pada itu, ibu dan anak laki-laki yang berada di dalam bilik itupun menjadi gelisah. Anak laki-laki itu merasa perutnya menjadi lapar. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat merengek minta makan. Yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar mereguk air dan beberapa potong gula kelapa yang didapatkannya dari seorang tetangga yang baik.
“Besok kakek akan ke sawah” ibunya menghibur, bukankah kita masih mempunyai beberapa batang pohon ketela?”
Anak laki-lakinya yang sedang terbangun itupun mengangguk. Namun ia tidak dapat menyembunyikan bunyi perutnya yang lapar.
Menjelang pagi, Ki Wastu sudah terbangun, iapun kemudian pergi ke serambi belakang dan mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat.
“Akupun duduk terkantuk-kantuk disini” berkata Mahisa bungalan, “aku juga tertidur meskipun hanya sekejap-sekejap”
“Sekarang tidurlah sampai pagi. Aku akan duduk di sini”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia tidak pergi ke ruang dalam. Betapapun dinginnya malam menjelang pagi, namun Mahisa Bungalan telah berbaring di sebuah amben bambu di serambi.
Sejenak kemudian Mahisa Bungalan pun sempat tidur meskipun tidak terlalu lama, karena fajar pun kemudian mulai menyingsing.
Malam itu telah dilampaui dengan tanpa terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki. Menjelang pagi, anak-anak muda yang berada di gardupun telah pulang ke rumah masing-masing.
Namun bagi Mahisa Bungalan, anak-anak muda itu justru mencemaskannya. Jika orang-orang yang berusaha membunuh ibu dan anak itu benar-benar datang menyusul di malam itu maka anak-anak muda yang tidak tahu menahu itu akan mengalami kesulitan. Mungkin tanpa mereka sadari, mereka mencoba untuk melawan. Namun dengan demikian, maka akibatnya akan sangat gawat bagi mereka.
Ternyata bahwa datangnya pagi telah membuat Mahisa Bungalan justru agak tenang. Di siang hari segalanya menjadi semakin jelas dan pasti. Namun, yang bergejolak di dalam hatinya juga sebuah pengharapan agar pedati itu benar-benar datang. Dengan demikian, mereka akan semakin cepat meninggalkan tempal itu. Tempat yang mungkin masih akan dikunjungi oleh orang-orang yang tidak dikehendakinya.
Ternyata seperti yang dikatakan, bahwa menjelang matahari naik sepenggalah, maka Ki Buyut sendiri telah dalang ke banjar membawa sebuah pedati diikuli oleh beberapa orang pamong.
Dengan hati tergetar Ki Wastu menerima pedati itu. Berpuluh kali ia mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Ki Buyut.
Ki Buyut dan para pamong pun mengerti, betapa perasaan terimakasih itu benar-benar melonjak dari dasar hati Ki Wastu. Bukan sekedar sikap lahiriahnya saja.
Dengan tangan gemetar Ki Wastu meraba pedati itu hampir pada setiap bagiannya. Kemudian dua ekor lembu yang besar dan kuat.
“Luar biasa” desis Ki Wastu.
“Nah Ki Wastu. Kami sudah memberikan sesuatu yang barangkali bermanfaat bagi Ki Wastu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku mempersilahkan Ki Wastu segera meninggalkan tempat ini. Kami masih akan dengan senang hati menerima Ki Wastu tinggal bersama kami di padukuhan ini, tetapi kami pun tahu keadaan Ki Wiastu yang sulit itu” berkata Ki Buyut kemudian. Lalu, “Karena itu, terserahlah kepada Ki Wastu. Dan aku pun tidak akan bertanya dan tidak akan berusaha mengerti, ke mana Ki Wastu akan pergi, karena pengertianku tentang tujuan Ki Wastu, akan dapat berbahaya bagi Ki Wastu”
Wajah Ki Wastu menegang. Seolah-olah Ki Buyut itu mengerti apa yang pernah dipikirkannya. Karena itu, dengan ragu-ragu ia berkata, “Kami percaya sepenuhnya kepada Ki Buyut. Tetapi sebenarnyalah kami tidak tahu, kemana kami akan pergi”
Ki Buyut tersenyum. Katanya, “Baiklah. Di dalam pedati itu terdapat beberapa onggok bekal yang dapat kalian pergunakan di sepanjang jalan”
Terima kasih yang tidak terhingga masih saja selalu diucapkan oleh Ki Wastu. Dan sekali-kali Mahisa Bungalan juga menyatakannya.
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun minta diri meninggalkan banjar itu. Di regol ia berpesan, “Ki Wastu. Kapan saja Ki Wastu akan berangkat, aku harap Ki Wastu sudi memberitahukan kepadaku”
“Baiklah Ki Buyut. Kami akan singgah di rumah Ki Buyut. Kami akan minta diri. dan kami tidak akan pernah melupakan kebaikan hati ini” sahut Wastu.
Sepeninggal Ki Buyut, maka Ki Wastu pun mulai berbicara bersungguh-sungguh dengan keluarganya dan Mahisa Bungalan. Mereka menganggap bahwa semakin cepat meninggalkan tempat itu, akan semakin baik. Setiap saat, kawan-kawan dari keempat orang itu akan dapat datang, karena berita kematian mereka tentu sudah tersebar dari mulut ke mulut, dari pasar ke pasar dan dari padukuhan ke padukuhan.
“Malam nanti kita berangkat” berkata Mahisa Bungalan.
“Kenapa malam?” bertanya Ki Wastu.
“Tidak banyak orang yang mengetahui kepergian kita”
“Aku berjanji untuk singgah di rumah Ki Buyut”
“Senja kita pergi ke rumah Ki Buyut dengan pedati ini. Selanjutnya kita tinggalkan daerah ini menuju ke Singasari” berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia pun ternyata sependapat dengan Mahisa Bungalan. Sementara anak dan cucunya tidak dapat memberikan pendapat lain karena moreka merasa hidup mereka hanya sekedar tergantung kepada Ki Wastu dan Mahisa Bungalan.
Demikian, maka mereka pun segera bersiap-siap. Tetapi, karena tidak ada lagi yang dapat mereka persiapkan, maka mereka segera selesai. Pedati itu sudah siap untuk berangkat. Di dalamnya telah tersimpan seonggok bahan makanan yang dapat mereka pergunakan beberapa saat di perjalanan menjelang tempat baru yang masih akan mereka cari.
Menunggu senja, Ki Wastu masih sempat mencari rumput di pinggir parit, di ujung padukuhan. Lembu yang akan membawa mereka itu pun tidak boleh lapar. Di perjalanan, mereka akan dapat mencari rumput untuk makanan lembu-lembu itu tanpa takut kekurangan.
Demikianlah, ketika matahari telah turun, pedati dan keluarga Ki Wastu pun telah bersiap-siap. Mereka sempat minta diri kepada satu dua orang tetangga. Namun Ki Wastu sama sekali tidak pernah menyebut arah perjalanan mereka. Ki Wastu selalu berkata bahwa ia menuju ke tempat yang sama sekali tidak diketahui.
Ketika senja datang, maka Ki Wastu pun segera berangkat meninggalkan banjar menuju ke rumah Ki Buyut. Sekali lagi Ki Wastu minta diri.
Dengan iba hati, Nyai Buyut pun telah memberikan bekal pakaian kepada anak perempuan Ki Wastu. Sebagai seorang perempuan, Nyai Buyut mengetahui, bahwa anak perempuan Ki Wastu itu tidak akan dapat memakai pakaian gantung kepuh seperti seorang laki-laki.
Ketika gelap mulai turun, dengan berat hati Ki Wastu berangkat meninggalkan padukuhan yang untuk beberapa saat lamanya telah memberikan tempat tinggal baginya.
Namun akhirnya ia harus meninggalkan padukuhan itu, karena tingkah beberapa orang yang tidak mengenal peri-kemanusiaan.
Ketika mereka meninggalkan gerbang padukuhan, cucu Ki Wastu itu masih sempat menjengukkan kepalanya. Dengan nada ragu ia bertanya kepada ibunya, “Kita akan pergi ke mana ibu?”
Ibunya membelai kepala anak laki-lakinya sambil menjawab, “Kita akan mengikuti kakek dan pamanmu Mahisa Bungalan ngger. Kita akan pergi ke tempat yang belum pernah kita lihat”
Anak itu memandang ibunya dengan wajah yang tegang. Namun ia tidak bertanya lagi. Iapun menyadari bahwa mereka sedang mencari tempat untuk mencari ketenangan.
Demikianlah maka pedati itu pun berjalan dengan lambannya menempuh jalan-jalan padukuhan. Kemudian lewat gerbang di ujung lorong, dan turun ke jalan di tengah bulak panjang.
Tidak banyak orang yang menghiraukan. Karena pedati memang berjalan di malam hari membawa hasil sawah untuk dijual di pasar yang agak jauh, karena pemiliknya memerlukan barang lain yang akan didapatkannya di pasar itu pula.
Dengan demikian, maka perjalanan pedati itu pun sama sekali tidak mendapat hambatan apapun juga. Semakin lama menjadi semakin jauh dari padukuhan yang telah menjadi tempat tinggal Ki Wastu untuk beberapa lamanya.
“Jika kau telah dan mengantuk, tidurlah” berkata Ki kastu kepada anak dan cucunya.
Tetapi rasa-rasanya mereka selalu diguncang oleh roda-roda pedati yang melintasi di sepanjang jalan. Karena itu, maka anak perempuannya itupun menjawab, “Aku belum mengantuk ayah” Namun kemudian sambil membelai rambut di anak laki-lakinya ia berkata, “Tidurlah. Seolah-olah kau berada di dalam ayunan”
Anak itu tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya kakeknya dan Mahisa Bungalan duduk di bagian depan. Ki Wastu memegang kendali lembu yang berjalan seenaknya di gelapnya malam yang menjadi semakin pekat.
“Perjalanan kita akan cukup panjang” berkata Ki Wastu kepada anak perempuannya, “mudah-mudahan kau dan anakmu tidak jemu berada di dalam pedati ini hampir siang dan malam”
“Apakah pedati ini tidak akan pernah berhenti?” tiba-tiba saja cucunya yang sudah mulai menguap bertanya.
“Tentu. Pedati ini akan berhenti setiap kali. Lembu-lembu itu tentu juga mengenal lelah. Ibumu akan merebus ubi kayu atau ubi rambat yang kita bawa. Mungkin jika sempat juga menanak nasi. Sementara lembu itu beristirahat dan makan rumput, kau mendapat kesempatan untuk makan nasi. Mungkin kita berhenti di dekat sebatang sungai. Kita akan turun ke sungai, mandi dan mencari ikan”
Anak itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Ia mulai membayangkan perjalanan yang panjang dan lama. Namun tiba-tiba ia tersenyum sendiri sambil berkata, “Perjalanan yang menyenangkan sekali”
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya disentuhnya senjatanya yang diletakkan di bawah tikar yang terbentang di dalam pedati itu, di atasi dengan damen kering, sehingga menjadi lunak. Di sebelahnya teraba juga tangkai tombak pendek Mahisa Bungalan.
Tetapi Ki Wastu merasa agak tenang, bahwa ia tidak perlu menjual barangnya yang tersisa dan melekat di tubuhnya untuk membeli sebuah pedati, karena pedati itu telah didapatkannya dari Ki Buyut. Dengan demikian barang-barang itu akan menjadi bekal yang setiap saat dapat saja dijual untuk hidup mereka.
Demikianlah perjalanan itu telah dimulai. Di malam yang kelam, mereka melihat bintang gemerlapan di langit. Ketika malam menjadi semakin larut, maka anak perempuan Ki Wastu itu pun membaringkan dirinya di bagian belakang dari pedati itu, sementara Ki Wastu pun berbaring pula di bagian depan menyilang. Meskipun mereka harus berbaring melingkar, namun pada suatu saat, mata mereka pun terpejam juga, sementara cucu Ki Wastu telah tertidur nyenyak.
Mahisa Bungalan lah yang kemudian memegang kendali dua ekor lembu yang berjalan lamban sekali. Sekilas dipandanginya jalan yang tidak nampak ujungnya, yang seolah-olah menghunjam ke dalam gelap tidak berbatas. Jika ia mengangkat kapalanya, maka dilihatnya bintang-bintang berhamburan di langit. Rasa-rasanya menjadi ngelangut dan sepi.
Tetapi pengalaman- pengalaman semacam itulah yang memang diinginkannya dalam perantauannya. Ia melihat kehidupan dari berbagai segi. Ia melihat warna-warna jiwa beberapa orang yang berbeda, bahkan saling bertentangan.
Mahisa Bungalan duduk sambil berselimut kain panjangnya. Kakinya yang sebelah tergantung di belakang lembunya, sedang yang lainnya ditekuknya pada lututnya di atas pedati yang berguncang-guncang itu.
“Mudah-mudahan orang-orang itu tidak segera menyusul” tiba-tiba saja ia berdesis ketika ia mulai membayangan niat buruk terhadap anak perempuan dan cucu Ki Wastu itu.
Dalam pada itu, berita tentang kematian empat orang berada di halaman rumah Ki Wastu itu sudah tersebar. Dari mulut ke mulut berita itu menjalar sampai ke tempat yang jauh.
Akhirnya, seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Bungalan dan Ki Wastu, berita kematian empat orang itupun sampai ke telinga kawan-kawan mereka yang terbunuh itu.
“Tetapi apakah benar mereka berempat” desis salah seorang dari kawannya yang ragu-ragu atas berita itu.
“Mungkin sekali. Seorang laki-laki muda berhasil membunuh enam orang di hutan itu. Apalagi menurut pendengaranku, mereka bartempur berdua. Yang seorang sudah tua. Tetapi ternyata bahwa masing-masing dari mereka mampu membunuh empat orang, meskipun salah seorang dari keempat orang itu berhasil membakar rumahnya. Namun seorang perempuan dan seorang anak laki-laki telah diselamatkan”
“Gila” yang lain menggeram, “dimana mereka sekarang tinggal setelah rumah itu terbakar”
Mereka tentu tinggal di salah seorang keluarga, atau mungkin di rumah Ki Buyut atau banjar padukuhan”
Ternyata berita kematian keempat arang itu telah membuat kawan-kawan mereka menjadi sangat marah. Bukan saja karena usaha keempat orang itu untuk membunuh perempuan dan anak laki-lakinya itu gagal, tetapi kematian itu benar-benar telah menyinggung harga diri mereka.
Karena itu, maka salah seorang di antara mereka yang tidak sabar lagi berkata, “Aku akan pergi ke padukuhan itu. Aku akan mencarinya sampai aku mendapatkan mereka, Aku akan membunuh mereka di halaman banjar, atau di rumah Ki Buyut, agar setiap orang mengetahui bahwa kita tidak akan dapat dihalangi oleh siapapun juga”
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya kawan-kawan.
“Aku akan pergi mencari mereka, kau dengar?”
“Dan menyerahkan lehermu?” sahut seorang kawannya yang lain.
“Gila. Kau telah menghina aku” jawabnya.
“Kau memang tidak mempunyai otak. Kau dengar, empat orang telah mati. Mereka adalah orang-orang terbaik diantara kita. Nah, apakah kita masih meragukan bahwa perempuan itu mempunyai pengawal yang kuat, yang telah membunuh enam orang pula di hutan itu?”
“Pengecut. Kau takut?”
“Bukan takut. Tetapi otakku masih waras. Masih dapat membuat pertimbangan-pertimbangan dengan jernih”
Kawannya yang marah itupun menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti, bahwa tentu ada orang yang memiliki kemampuan luar biasa. Menurut pendengaran mereka keempat orang itu terbunuh oleh dua orang keluarga perempuan itu. Seorang anak muda dan seorang yang sudah tua itu masih memiliki kemampuan yang luar biasa.
Dalam kebimbangan itu, salah seorang dari mereki berkata, “Kita akan menyampaikannya kepada Ki Wangut yang sedang berada di Kediri, ia akan mengambil sikap. Dan kita akan menjalankan perintahnya. Persoalannya memang sudah berkembang. Bukan saja karena kita akan mendapatkan upah yang besar. Tetapi harga diri kita tidak boleh dikorbankan. Kematian demi kematian. Jika hal ini tidak diakhiri, maka kita semuanya akan tumpas sampai habis”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Agaknya mereka sependapat. Karena pimpinan mereka adalah Ki Wangut yang berada di Kediri, mengamati istana Pangeran Kuda Padmadata, maka salah seorang dari mereka akan mencarinya untuk menyampaikan laporan itu.
Akhirnya merekapun memutuskan, mengirimkan dua orang pergi ke Kediri. Dua orang yang sudah mengenal berapa segi dari istana Pangeran Kuda Padmadata.
Berita kematian empat orang itu, membuat darah Ki Wangut bagaikan mendidih, ia sama sekali tidak menduga, bahwa keempat orangnya yang terbaik itu akan terbunuh. Apalagi justru saat mereka sudah menemukan perempuan dan anaknya itu.
“Iblis itu benar-benar harus dimusnahkan” geram Ki Wangut, “aku sendiri akan mencarinya”
Dengan demikian, maka Ki Wangut pun kemudian meninggalkan Kediri. Pengamatannya terhadap istana Pangeran Kuda Padmadata telah diserahkan kepada salah seorang pengikutnya yang berada di Kediri, didampingi oleh dua orang lain yang tinggal di rumahnya pula. Mereka harus mengawasi, jika ada orang yang tidak dikenal menghadap Pangeran Kuda Padmadata. Salah seorang abdi di dalam istana itu telah dihubungi, dan akan dapat menjadi penunjuk apa yang telah terjadi di istana itu.
Sementara itu Ki Wangut pun segera kembali ke padukuhannya. Dengan tergesa-gesa ia mengumpulkan pengikut-pengikutnya untuk menentukan apakah yang sebaiknya dilakukan.
“Aku sendiri akan mencarinya” berkata Ki Wangut, “tetapi aku tidak akan menjadi dungu dan kehilangan akal. Aku akan membawa beberapa orang terbaik diantara kita. Kita sudah dapat menjajagi kemampuan para pelindungnya, empat orang kita telah terbunuh. Karena itu, kita harus membawa kekuatan yang menyakinkan”
“Sepuluh orang” desis salah seorang dari mereka.
“Gila” sahut Ki Wangut, “aku akan berangkat dengan empat orang saja”
“Apakah Ki Wangut tidak akan mengalami nasib serupa?”
“Kau sangka aku tidak lebih dari kelinci-kelinci yang terbunuh itu?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka percaya, bahwa Ki Wangut memiliki kemampuan yang sulit dijajagi. Bahkan ia memiliki beberapa jenis ilmu melampaui kemampuan seorang perwira prajurit Kediri.
“Meskipun demikian” berkata Ki Wangut, “aku akan mengajak kakak seperguruanku, ia memiliki kemampu ilmu melampaui kemampuanku. Bahkan dengan demikian, kekuatan kami sudah meyakinkan. Aku, kakak seperguruanku dan dua orang lagi di antara kalian yang terbaik”
“Meyakinkan sekali” desis salah seorang dan mereka aku akan ikut serta. Aku ingin melihat pembalasan itu terjadi. Alangkah senangnya, jika aku pun mendapat kesempatan menusukkan senjataku ke lambung orang itu”
“Gila” geram Ki Wangut, “kau akan mengambil keuntungan saja dari peristiwa ini. Aku akan pergi bersama kakak seperguruanku. Yang lain akan aku tentukan kemudian. Yang harus aku lakukan segera adalah pergi ke padepokan kakak seperguruanku. Aku tidak mau ketinggalan terlalu jauh. jika perempuan serta para pelindungnya itu menyingkir, aku akan sempat menemukan jejaknya”
Ternyata Ki Wangut tidak membuang waktu lagi. Setelah ia mempersiapkan segala sesuatunya, maka ia pun segera meninggalkan padepokannya. Ia tidak mau mengalami kesulitan lagi dengan buruannya. Karena itu, ia telah berusaha menghubungi orang terbaik yang pernah dikenalnya dan yang mungkin akan dapat diajaknya kerja bersama.
Dengan tergesa-gesa. dan seolah-olah hampir tidak beristirahat sama sekali, Ki Wangut telah berpacu sebuah padukuhan yang terpencil, di kaki sebuah bukit kecil yang tidak banyak diketahui orang.
Sehari penuh Ki Wangut berada di perjalanan. Bahkan ia masih meneruskan perjalanannya ketika gelap malam turun. Sekali-kali ia memberi kesempatan kudanya untuk beristirahat. Namun sejenak kemudian ia telah berjalan lagi, diikuti oleh seorang pengiringnya.
Kedatangannya di padepokan terpencil yang disebut padepokan Wara Amba itu telah mengejutkan para penghuninya. Seorang yang sudah mulai menginjak setengah baya mendapat laporan dari seorang cantriknya, bahwa seseorang telah mencarinya.
“Siapa?” bertanya orang itu.
“Namanya Ki Wangut” jawab cantrik itu.
“Anak setan” geramnya, “suruh ia kemari”
Diantar oleh cantrik itu, maka Ki Wangut telah menghadap kakak seperguruannya, kedatangannya ternyata telah mendapat sambutan yang menggembirakan. Karena mereka sudah lama tidak bertemu, maka pertemuan itu
mampaknya merupakan pertemuan yang akrab sekali.
“Mari, masuklah anak setan” berkata orang yang sudah separo baya itu, “kau masih awet muda. Atau akulah yang cepat menjadi tua”
“Kakang Tunda Wara pun nampaknya awet muda” sahut Ki Wangut.
Saudara seperguruannya itu tertawa. Katanya, “Marilah. Matamu masih tetap liar”
Ki Wangut pun segera masuk ke ruang dalam rumah Tunda Wara. Sejenak mereka saling mempertanyakan keselamatan masing-masing selama mereka tidak bertemu. Sekarang kau mandi. Kemudian kau akan kami jamu makan. meskipun sudah dingin. Kau tentu mempunyai keperluan khusus. Biarlah besok pagi saja kau berbicara”
Ki Wangut tidak membantah. Iapun kemudian pergi ke pakiwan. Setelah makan, meskipun nasi telah dingin, namun memberikan kesegaran di tubuhnya, maka iapun dipersilahkan beristirahat di dalam bilik di gandok. Tetapi Ki Wangut tidak segera dapat tidur, ia telah digelisahkan oleh tugasnya yang ternyata dapat dicerai-beraikan oleh seorang yang tidak dikenalnya, tetapi ia tidak dapat memaksa kakak seperguruannya untuk mendengarkan keadaannya itu. Karena itu, betapapun gelisahnya, ia harus menunggu sampai hari berikutnya.
Oleh kelelahan, maka akhirnya Ki Wangut pun tertidur pula. Namun, Ki Wangut ternyata terbangun selagi langit masih buram. Meskipun udara terasa dingin, namun ia telah pergi ke pakiwan dan membenahi pakainnya, seolah-olah ia tidak sabar lagi untuk bertemu dan berbicara dengan kakak seperguruannya tentang kewajiban yang baru embannya, tetapi sebagian terbesar dari yang sudah dilakukannya adalah kegagalan.
Betapa gelisahnya menunggu. Namun akhirnya, ia telah mendapat kesempatan untuk duduk bersama kakak perguruannya di pendapa padepokan terpencil itu.
“Jika tidak ada keperluan penting, kau sudah melupakan aku” berkata Ki Tunda Wara.
“Tentu tidak kakang. Tetapi sebagaimana kau ketahui, aku adalah seorang yang sibuk dengan kerja-kerja yang tidak berarti, sehingga karena itu, aku telah kehabisan waktu”
“Dan sekarang, katakan, apakah keperluanmu? Apakah kau kehabisan pengikut? Karena itu, maka kau hanya membawa seorang saja dalam perjalanan yang jauh ini”
“Tidak kakang. Aku masih mempunyai cukup pengaruh terhadap orang-orangku. Aku sengaja hanya membawa satu orang bersamaku sekarang agar tidak menarik perhatian orang”
“Baiklah. Katakan apa keperluanmu datang kemari”
Ki Wangut pun menjadi ragu-ragu. Ia sengaja tidak mengajak pengikutnya dalam pembicaraan itu, meskipun pengikutnya itu sudah mengetahui segala-galanya.
“Kakang” berkata Ki Wangut, “aku mengalami kesulitan dengan tugas yang sekarang dibebankan kepadaku”
“Kau selalu mengalami kesulitan dengan pekerjaanmu. He, apakah kau masih juga menjual tenaga dan nyawa orang untuk mendapatkan makan dan minum?”
“Ah” desah Ki Wangut sambil beringsut, “tentu bukan sekedar untuk makan dan minum kakang. Aku cukup mempunyai sawah dan ladang di sekitar padepokan”
“Ya, aku tahu. Tetapi bukankah kau masih saja mengandalkan kemampuanmu? Tidak jauh bedanya dengan merampok dan menyamun”
Ki Wangut menjadi berdebar-debar. Tetapi iapun kemudian mengatakan apa yang telah terjadi atasnya. Telah sepuluh orang pengikutnya terbunuh. Katanya kemudian, “Aku tidak ingin orang-orangku benar-benar akan habis kakang. Karena itu, aku datang untuk mohon pertolonganmu”
Ki Tunda Wara pun tertawa. Katanya, “Kau akan mengajak aku memburu perempuan dan anaknya itu?”
Ki Wangut termangu-mangu sejenak. Ia menjadi ragu-ragu melihat sikap kakak seperguruannya itu.
Namun akhirnya dikatakannya juga akal yang sudah lama tersimpan di dalam dadanya. Bahkan sejak ia berangkat dari padepokannya, ia sudah berniat untuk membujuk kakak seperguruannya dengan cara yang khusus, yang sesuai dengan sifat-sifat orang itu seperti yang dikenalnya dahulu.
“Kakang” berkata Ki Wangut kemudian, “mungkin kakang tidak tertarik kepada hadiah yang akan kami terima, meskipun jumlahnya adalah sebanyak bilangan yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Tetapi barangkali yang lebih menarik bagi kakang adalah, bahwa perempuan itu cantik sekali. Jika tidak, ia tidak akan diambil menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata, dan menguasainya untuk beberapa lama”
“He?” Ki Tunda mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa sambil berkata, “Anak iblis. Kau membujukku dengan cara licik itu he? Kau tahu bahwa aku mempunyai kumpulan perempuan-perempuan cantik dari seluruh sudut negeri ini. Sekarang kau menawarkan untuk menambah dengan seorang lagi ya?”
Ki Wangut tertawa. Katanya, “Mungkin kakang akan tertarik Tetapi upah itu sendiri benar-benar telah menumbuhkan seleraku untuk melakukan pekerjaan itu, meskipun harus mengorbankan beberapa orang-orangku. Tetapi aku kira, sepuluh orang itu sudah terlalu banyak, sehingga jika kakang bersedia, maka tentu tidak akan ada lagi di antara kita yang terbunuh, sementara kakang akan mendapat tambahan seorang perempuan cantik, tetapi anak laki-lakinya harus kita musnahkan”
“Ah, aku sudah menjadi semakin tua Wangut. Apakah masih pantas aku lakukan, memburu perempuan-perempuan cantik seperti itu?”
“Tentu masih kakang. Pantas atau tidak pantas, bukannya satu hal yang pantas dipertimbangkan. Satu-satunya yang harus kakang perhitungkan adalah, apakah kakang masih memerlukan atau tidak”
Ki Tunda Wara tertawa. Katanya, “Sayang, bahwa untuk mendapatkan perempuan-perempuan cantik, masih banyak jalan yang dapat ditempuh. Jauh lebih mudah dari jalan yang kau tawarkan itu”
Ki Wangut mengerutkan keningnya. Ia mulai gelisah Tetapi ia berkata, “Ada dua keuntungan kakang. Perempuan cantik dan sekaligus harta benda yang tidak ternilai harganya. Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang Pangeran yang kaya raya. Yang memiliki keping-keping emas tak terbilang jumlahnya. Yang memiliki permata sebanyak bintang yang bertaburan di langit”
Ki Tunda Wara tertawa semakin keras. Katanya, “Kau masih suka berbohong sejak mudamu. Tetapi kebohongan yang tidak tanggung-tanggung kadang-kadang menyebabkan orang lain semakin tertarik juga. Dan kebohonganmu kali ini memang sangat menarik”
“Aku tidak berbohong kakang. Aku mengatakan yang sebenarnya. Perempuan itu sangat cantik, dan uang itu sangat banyak. Mungkin aku tidak akan mampu menyimpannya sendiri meskipun sudah aku bagi-bagikan dengan orang-orangku. Apalagi untuk menyimpan perempuan itu. Jika aku-sendiri yang mendapatkannya, maka selain anak laki-laki itu, maka perempuan itupun tentu akan aku bunuh”
“Kenapa tidak kau lakukan saja? Jika kau menemukan perempuan itu dan anaknya, Kepung mereka dengan duapuluh lima orang. Meskipun tanpa aku, maka dengan duapuluh lima orang, kau tentu akan berhasil”
“Membunuh perempuan itu?” bertanya Ki Wangut.
“Ya” jawab Ki Tunda Wara.
Ki Wangut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi kakang sudah menghentikan kegemaran kakang?”
“Lihatlah di bagian belakang dari padepokan ini. Aku mempunyai tiga buah barak yang penuh dengan perempuan cantik. Ada yang bagi kepentinganku sendiri, ada pula yang aku berikan kepada pengikut-pengikutku yang paling setia”
“Dan mereka kerasan tinggal disini?”
Suara tertawa Ki Tunda Wara meledak. Katanya, “Anak setan yang dungu. Kenapa kau bertanya, kerasan atau tidak? Jika seorang dari mereka berani melarikan diri. maka ia tentu akan tertangkap, sebelum ia berhasil melampaui dinding luar padepokan ini. Dan setiap orang di padepokan ini mengetahui akibat dari perbuatan yang demikian”
“Apa akibatnya?”
Ki Tunda Wara tertawa berkepanjangan.
“Jadi kakang sudah tidak tertarik lagi kepada seorang perempuan muda yang cantik, meskipun ia sudah mempunyai seorang anak? Jika tidak, aku akan mempergunakan saran kakang. Aku akan membawa duapuluh lima pengikut dan mengepung perempuan itu. aku akan memberikan perintah kepada orang-orangku untuk membunuh perempuan cantik itu bersama anaknya” Ki Wangut berhenti sejenak, lalu, “tetapi bagaimana jika sekali lagi aku mohon pertolongan kakang. Pengawal perempuan itu benar-benar seorang yang luar biasa. Aku akan melawan salah seorang dari mereka, dan kakang yang seorang, sementara aku akan membawa dua orang kepercayaanku, sekedar untuk menyakinkan. bahwa perempuan dan anak laki-lakinya harus mati”
Ki Tunda Wara menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia berkata, “Ketahuilah anak iblis. Jika aku pergi bukannya karena aku memerlukan uang atau perempuan. Tetapi karena kau merengek minta aku membantumu”
Ki Wangut termangu-mangu sejenak, ia mulai berharap-harap cemas.
Untuk beberapa saat Ki Wangut menunggu. Sekilas ia memandang wajah saudara seperguruan itu. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika Ki Tunda Wara berkata, “Aku akan membantumu. Tetapi aku yakin, bahwa rencana ini tidak boleh gagal. Karena itu, aku akan membawa yang palingbaik. Selebihnya, kaupun harus membawa orang-orangmu yang terbaik agar kegagalan itu tidak terulang lagi”
“Terima kasih kakang” sahut Ki Wangut dengan serta merta, “aku akan membawa pengikutku. Tidak hanya satu atau dua orang. Tetapi berapa saja kau butuhkan.
“Orang-orang yang terbaik. Yang penting bukan jumlahnya, tetapi apakah mereka mampu bertempur atau tidak” jawab Ki Tunda Wara.
“Semula aku ingin membawa dua orang saja. Berempat dengan aku dan kakang. Tetapi jika kakang mempunyai pertimbangan lain, maka akupun akan menuruti nasehat itu”
“Kau memang sombong. Kau anggap dirimu mumpuni. Karena itu kau hanya akan pergi berempat saja” jawab Ki Tunda Wara, “tetapi menurut partimbanganku, itu tidak cukup. Kedua orang pengawal itu mampu membunuh empat orang-orangmu yang terbaik. Karena itu, maka kita harus datang lebih empat orang. Bukan berarti bahwa kemampuanmu dan kemampuanku tidak lebih baik dari keempat orang-orangmu itu, tetapi kemungkinan lain dapat saja terjadi. Setelah kegagalan itu, maka mereka mengundang beberapa orang lain untuk bersama-sama menjadi pelindung perempuan itu dengan janji bahwa mereka akan mendapat upah yang banyak jika parempuan itu berhasil bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata”
Ki Wangut mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat kakang. Jika kakang membawa dua orang terbaik dari padepokan ini. aku akan mambawa lebih dari dua orang”
Ki Tunda Wara merenung sejenak. Lalu katanya, “Kapan menurut pertimbanganmu, sebaiknya kita berangkat”
“Secepatnya kakang. Mungkin orang-orang yang kita buru itu sudah meninggalkan padukuhannya. Kita harus mencarinya kemana mereka pergi”
“Besok pagi-pagi kita akan berangkat. Aku akan menyiapkan segalanya yang perlu. Hari ini aku akan mengumpulkan orang-orang terpenting dari padepokan ini, agar mereka tinggal di rumah dan menjaganya dengan baik selama aku pergi mengikutimu tanpa batas waktu. Mungkin sepekan, mungkin sebulan. Tetapi mungkin kita tidak akan pernah ketemu dengan orang yang kau cari itu, sampai saatnya mereka menghadap Pangeran Kuda Padmadata. Justru Pangeran itulah yang memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk memburu kita karena kita sudah berusaha membunuh isteri dan anaknya. Sehingga dengan demikian, maka yang terjadi kemudian adalah sebaliknya dari yang terjadi sekarang. Kitalah yang akan menjadi buruan”
“Ah, mustahil” jawab Ki Wangut, “apakah kita tidak akan berhasil mencari perempuan dan anaknya itu?”
“Mungkin sakali terjadi demikian. Kita bukan Tuhan yang dapat melihat seluruh isi dunia ini sehingga kita dapat melakukan apa saja”
Ki Wangut mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Kita akan berusaha kakang. Kita akan mencarinya sampai ketemu”
“Tentu kau akan berkata begitu. Tetapi tidak dengan aku. Jika aku sudah jemu berburu, maka aku akan kembali ke padepokan ini kapan saja aku ingin”
Ki Wangut menarik nafas panjang. Namun ia harus menjawab, “Baiklah kakang. Tetapi biarlah kita mencobanya”
“Sudah aku katakan, besok kita akan berangkat. Hari ini aku akan mengemasi padepokanku sebelum aku pergi”
Ki Wangut tidak dapat memaksa. Ia pun harus menunggu sehari dan semalam lagi. Namun demikian, ia mulai berpengharapan bahwa ia akan dapat memenuhi tugasnya, membunuh perempuan dan anaknya itu.
Sehari itu dihabiskannya waktunya dengan berbincang-bincang. Diajaknya seorang pengikutnya untuk membicarakan banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
“Mungkin kita benar-benar akan kehilangan mereka” berkata pengiringnya.
“Memang mungkin, tetapi aku tidak dapat memaksa kakang Tunda Wara untuk berangkat hari ini. Jika aku mencoba memaksanya, maka mungkin justru ia akan mengurungkan kesediaannya”
Sebenarnyalah, betapapun gelisahnya Ki Wangut memang harus menunggu. Sehari semalam itu rasa-rasanya bagaikan bertahun-tahun.
Namun akhirnya saat yang ditunggu itu pun datang. Menjelang dini hari, Ki Tunda Wara telah bersiap. Demikian juga Ki Wangut dan pengiringnya, “Kita akan berangkat, mumpung masih belum pagi” berkata Ki Tunda Wara, “jalan-jalan masih belum dijamah oleh sinar matahari. Meskipun akhirnya kita akan kepanasan di jalan, namun sebagian dari perjalanan sudah kita tempuh”
Demikianlah maka sebelum langit menjadi cerah, Ki Tunda Wara serta dua orang kepercayaannya berpacu meninggalkan padepokannya bersama Ki Wangut dan seorang pengiringnya. Seperti saat Ki Wangut berangkat ke padepokan Wara Amba, maka ketika mereka menampuh perjalanan yang sebaliknya, mereka pun seakan-akan hampir tidak pernah beristirahat, kecuali mengingat kuda-kuda mereka yang lelah dan haus. Namun setelah beristirahat sejenak, mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka.
Tidak banyak yang mereka perbincangkan di sepanjang perjalanan. Ki Tunda Wara seolah-olah sedang diliputi oleh sebuah angan-angan tentang pekerjaan yang akan dilakukannya atas permintaan saudara seperguruannya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Ki Wangut telah benar-benar tersinggung. Bukan sekedar upah yang besar, tetapi kematian demi kematian yang dialami oleh orang-orangnya membuat Ki Wangut semakin mendendam kepada perempuan dan anak laki-lakinya itu.
“Ia tentu bersumpah kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan berusaha dengan cara apapun juga, agar perempuan dan anaknya itu terbunuh” berkata Ki Tunda Wara di dalam hatinya, lalu, “Bahkan seandainya orang yang mengupahnya itu mencabut niatnya, Wangut tentu akan masih tetap, berusaha atas kehendaknya sendiri. Ada atau tidak ada upah buat melakukannya”
Sebenarnyalah bahwa Ki Wangut memang sudah dibakar oleh dendam, meskipun baginya upah masih merupakan harapan tersendiri. Tetapi seperti yang diduga oleh Ki Tunda Wara, seandainya upah itu pun tidak lagi dijanjikan, maka ia tentu akan tetap berusaha membunuhnya. Bahkan kedua-duanya. Yang berjanji untuk mengupahnya itu pun akan menjadi sasaran kemarahannya, karena ia sudah terlanjur mengorbankan orang-orangnya yang terbaik.....
Kedatangan Ki Wangut kembali ke padepokannya menjelang tengah malam telah disambut olah pengikutnya dengan berbagai macam tanggapan. Ada yang menyambutnya dengan gembira, karena kehadiran Ki Tunda Wara akan mempercepat penyelesaian tugas yang dibebankan kepada padepokan itu. Tetapi ada juga yang menyesali ketergesa-gesaan Ki Wangut yang telah memanggil saudara seperguruannya itu. Dengan demikian berarti bahwa upah yang harus mereka terima akan susut hampir separo.
Tetapi ketika hal itu dikatakannya kepada kawannya, kawannya menjawab, “Aku lebih senang menerima separo, bahkan seperempat dari yang seharusnya aku terima dari pada aku harus mati terbunuh seperti kesepuluh orang yang terdahulu”
Orang yang menganggap tindakan Ki Wangut itu tergesa-gesa menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya, kau benar”
Demikianlah, Ki Wangut tidak mau bekerja lamban. Malam itu juga ia menentukan dua orang yang terpercaya. Seorang yang mengikutinya ke padepokan Ki Tunda Wara, seorang lagi yang baru datang dari pesisir Utara mengunjungi pertemuan lingkungan perguruannya sebelum ie berada di padepokan Ki Wangut.
“Sepuluh orang saudara-saudaramu di sini sudah terbunuh” berkata Ki Wangut kepada orang itu.
“Siapakah yang bersalah? Kesepuluh orang itu terlalu bodoh ataukah lawannya memiliki kelebihan, bahkan mung kin membunuh mereka dengan licik?”
“Apapun caranya, dan betapapun dungunya yang terbunuh, tetapi itulah yang terjadi”
“Tentu ada sebabnya yang khusus, bahwa keenam orang pertama itu telah mati hanya melawan seorang saja”
Sementara keempat saudaraku yang terbaik itu mati oleh dua orang yang bukan orang-orang yang mempunyai nama”
“Kau jangan mencari-cari” jawab Ki Wangut, “kita akan pergi dengan penuh kewaspadaan. Bahkan mungkin niat kita akan kita tunda jika ternyata bahwa perempuan itu berada di dalam lingkungan yang dapat membahayakan kita”
“Dan kita sudah menjadi pengecut” jawab orang yang baru datang dari pesisir Utara itu.
“He” potong Ki Wangut, “kau kira kau sudah dapat melampaui kemampuanku? Aku masih merasa harus berhati-hati. Dan kesombonganmu itulah termasuk salah satu sebab yang dapat membunuhmu seperti keenam orang yang mati melawan seorang saja yang mereka anggap tidak berarti, tetapi yang ternyata telah menyapu mereka tanpa ampun. Sedang keempat orang itu mati karena mereka-menganggap orang tua yang sudah tidak mempunyai tenaga sama sekali nampaknya, namun ternyata bahwa ia masih sanggup membunuh dua di antara mereka”
Orang itu menggeretakkan giginya. Nampaknya ia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu berbuat demikian dengan wajar. Tentu ada sesuatu yang menyebabkan hal itu terjadi. Tetapi ia tidak membantah lagi. Sementara Ki Tunda Wara lah yang berkata selanjutnya, “Aku bukan anak kecil lagi dalam dunia pengembaraan, kakerasan dan bahkan dalam dunia yang dipenuhi oleh kabut kematian. Tetapi aku tidak ingin berbuat tergesa-gesa. Aku Sependapat dengan Wangut Hanya anak-anak yang baru turun dari perguruan dan merasa tulangnya sekeras baja sajalah yang akan dengan sombong menganggap dirinya tidak terkalahkan. Justru kesombongan semacam itulah yang telah membunuh sebagian besar dari mereka”
Yang mendengarkan keterangan itupun terdiam. Mereka mengerti, siapakah Ki Tunda Wara, yang mempunyai kelebihan dari saudara seperguruannya. Ki Wangut.
Karena itu, maka orang-orang yang mendengarkan pembicaraan itupun kemudian menyadari pula, bahwa kadang-kadang mereka menganggap diri mereka tidak terkalahkan. Kelengahan itu, sebagian dari sebab kematian mereka. Menghadapi pengawal-pengawal perempuan dan anak laki-lakinya itu, maka sudah sewajarnya, bahwa Ki Tunda Wara dan Ki Wangut harus berhati-hati Karena mareka cukup mempunyai pengalaman, sehingga mereka tidak akan terjebak dalam sikap yang tidak teramati.
Demikianlah, maka malam itu, Ki Wangut dan Ki Tunda Wara telah menyusun rencana yang akan mereka lakukan kemudian.
Ternyata Ki Tunda Wara cukup berhati-hati dan tidak tergesa-gesa seperti yang dikatakannya. Karena ia sudah mendengar seluruhnya apa yang telah terjadi, maka iapun kemudian berkata kepada Ki Wangut, “Jika demikian, apa perlunya kita dengan serta merta pergi mencari mereka? Biarlah dua orang dari padepokanku kau perintahkan untuk pergi ke padukuhan itu dengan laku sandi. Biarlah mereka mencari keterangan tentang perempuan dan anak-anaknya itu”
Ki Wangut mengangguk-angguk. Ia pun ternyata sependapat. Karena itu, maka ia pun telah menunjuk dua dari orang-orangnya untuk pergi mencari keterangan tentang perempuan dan anak laki-lakinya yang rumahnya telah terbakar habis.
Di keesokan harinya, maka kedua orang itupun telah berangkat. Meskipun dengan hati yang berdebar-debar Jika mereka terjebak ke dalam pengamalan pengawal-pengawalnya, maka tidak ada harapan lagi baginya untuk keluar.
Tetapi perintah Ki Wangut sudah tegas, “Kau harus kembali selambat-lambatnya lewat dua malam. Jika kau tidak kembali, kalian telah aku anggap mati di perjalanan”
Kedua orang itu pun dengan hati-hati telah melakukan tugasnya. Mereka telah pergi ke padukuhan sesuai dengan berita yang sampai ke telinga mereka.
Ternyata yang mereka dengar itu benar. Keduanya masih melihat bekas rumah yang terbakar. Dan keduanya pun mendengar langsung dari beberapa orang yang bertemu di dalam warung, apa yang telah terjadi.
“Kasihan” berkata salah seorang dari kedua orang yang dikirim oleh Ki Wangut itu, “lalu, apakah mereka telah berusaha membangun rumah mereka kembali?”
Tetapi orang-orang yang berada di warung itu menggeleng. Salah seorang dari mereka berkata, “Tidak ada bekal apapun dapat mereka pergunakan untuk membangun kembali rumah mereka”
“Lalu, dimanakah mereka sekarang tinggal?”
‘Untuk beberapa saat lamanya, mereka barada di banjar” jawab yang lain.
“Sekarang, apakah mereka sekarang masin tinggal di banjar?”
“Tidak. Mereka telah meninggalkan padukuhan ini”
“He, mereka telah pergi?” kedua orang itu terkejut, tetapi mereka berusaha untuk menyembunyikan perasaan mereka. Sementara salah seorang dari keduanya bertanya, “Kemana mereka pergi?”
“Kami tidak tahu” jawab orang di warung itu, “mungkin ke tempat saudaranya yang jauh sekali”
“Kenapa jauh sekali?”
“Mereka berusaha untuk mendapatkan sebuah pedati, membawa perempuan dan anak laki-lakinya dengan pedati”
“Darimana mereka mendapat pedati?”
“Dari orang-orang padukuhan itu. Ki Buyut memberi pedati bersama orang-orang se padukuhan”
Kedua orang itu menjadi gelisah. Namun mereka tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Bahkan dari orang-orang mereka mendengar bahwa Ki Buyut pun tidak tahu, kemana perempuan dan anak-anak laki-laki itu pergi bersama orang pelindungnya.
“Tentu sulit untuk melacaknya” berkata salah seorang dari mereka.
“Kita tidak bertugas untuk melacak. Kita hanya berusaha untuk mendapat keterangan tentang mereka di padukuhan ini” sahut yang lain. Lalu, “Kita harus kembali, agar mereka tidak menganggap bahwa kita telah mati terbunuh pula seperti kawan-kawan kita itu”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi kita masih mempunyai waktu. Kita akan bertanya arah perjalanan mereka. Dan kita akan mencoba menelusuri perjalanan mereka pada satu dua padukuhan saja”
Kawannya tidak berkeberatan. Karena itu, maka keduanya pun telah bartanya arah perjalanan perempuan dan anak laki-lakinya dengan sangat berhati-hati, sehingga tidak banyak menarik perhatian, seolah-olah yang mereka lakukan itu sama sekali tidak mengandung maksud tertentu.
Ketika mereka mengetahui arah perjalanan perempuan itu, maka keduanya pun telah pergi ke padukuhan berikutnya. Tetapi karena mereka yakin, tidak ada jalan simpang yang dapat ditempuh oleh pedati itu, maka mereka tidak bertanya kepada siapapun juga tentang usaha mereka.
Baru di padukuhan berikutnya, mereka harus berhenti di simpang jalan. Kedua arah jalan yang bercabang itu dapat dilalui sebuah pedati, sehingga karena itu, maka merekapun harus bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya, apakah mereka melihat sebuah pedati yang membawa seorang perempuan dan anak-anak. Yang beberapa hari yang lalu meninggalkan padukuhan sebelah, padukuhan yang nampak dari itu.
“O” orang itu mengangguk-angguk, “maksud Ki Sanak, orang-orang yang rumahnya terbakar itu?”
“Ya. Jadi kalian mengetahuinya? Mereka adalah saudara-saudaraku” sahut salah seorang dari kedua orang yang mencarinya itu.
“Tentu saja kami mengetahuinya” jawab orang yang ditanya itu, “mereka memang meninggalkan padukuhan mereka. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui kemana mereka pergi, mereka pergi ke tempat yang mereka tidak ketahui. asal saja mereka meninggalkan padukuhan, yang membuat kesan yang pahit dalam hidupnya”
“Kasihan mereka. Apakah kau tidak tahu ke arah mana mereka pergi?”
Orang itu sama sekali tidak berprasangka. Maka ia pun kemudian menjawab, “Aku tidak melihat pedati mereka lewat jalan ini. Tetapi beberapa orang mengatakan. bahwa ia mengambil jalan ke arah Barat”
“Ke arah Barat?” ulang salah seorang dari kedua orang itu, “apakah kau sama sekali tidak dapat menduga, tlatah manakah yang akan mereka datangi”
“Tentu tidak. Jalan itu akan dapat mencapai banyak padukuhan, banyak kota dan padepokan”
“Ya, ya. Kau benar. Baiklah, terima kasih. Biarlah aku mengajak saudara-saudaraku untuk mencarinya. Kami sangat mengasihi sebagai seorang saudara. Mereka memang jatuh miskin. Tetapi mereka mempunyai harga diri yang berlebih-lebihan, sehingga mereka tidak mau minta bantuan kepada saudara-saudaranya yang tentu dengan senang hati akan membantunya”
Demikianlah, maka kedua orang itupun segera minta diri. Mereka tidak melanjutkan perjalanan mereka, karena mereka memang tidak bertugas untuk melacak perempuan dan anak laki-lakinya itu.
Yang harus mereka laporkan adalah apa yang mereka dengar dari orang-orang di sepanjang jalan. Apa yang mereka katakan tentang perempuan dan anak laki-lakinya.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera kambali ke padepokan untuk melaporkan, apa yang telah dilakukan oleh perempuan dan anak laki-lakinya itu menurut pendengaran mereka.
“Jadi mereka telah pergi” geram Ki Wangut.
“Ya. Mereka telah meninggalkan padepokan itu” jawab para pengikutnya yang telah menjelidiki keadaan mareka.
Ki Wangut mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Sudah saatnya kita menyusul kakang”
Ki Tunda Wara merenung sejenak. Ia mencari segala macam kemungkinan yang paling baik dilakukan. Namun katanya kemudian, “Kau benar Wangut. Tidak ada gunanya menunggu lebih lama lagi. Dengan demikian maka jarak kita akan menjadi semakin jauh”
“Jadi, menurut pendapat kakang, kita harus segera berangkat”
“Ya. Besok pagi-pagi kita akan berangkat. Aku sudah membawa dua orang kepercayaanku. Apakah kau juga akan membawanya?”
“Dua orang terbaik dari padepokan ini” jawab Ki Wangut
Demikianlah, maka merekapun segera mengemasi diri. Mereka sudah memutuskan untuk berangkat mencari perempuan dan anak laki-lakinya itu.
Menjelang pagi, keenam orang itu pun telah bersiap. Sejenak Ki Wangut masih memberikan beberapa pesan. Baru sejenak kemudian, iapun bersama dengan lima orang telah berangkat meninggalkan padepokan mereka.
Tetapi mereka tidak bergabung menjadi satu kelompok yang akan mengejutkan orang-orang yang berjumpa dengan mereka di tengah jalan. Tetapi mereka membagi kelompok itu menjadi dua kelompok kecil. Masing-masing dengan tiga orang.
Mereka tidak perlu berpacu dengan kecepatan penuh. Meskipun mereka sudah tertinggal beberapa hari, namun mereka yakin, akan dapat menemukan tempat persembunyian perempuan dan anak laki-lakinya itu.
Seperti yang dikatakan oleh dua orang petugas yang melihat keadaan padukuhan yang ditinggalkan oleh perempuan dan anak laki-lakinya itu, maka keterangan yang diterima oleh Ki Wangut di sepanjang jalan tidak ada bedanya. Merekapun segera menemukan jalan simpang yang dikatakan oleh kedua orang itu. Dan meraka pun telah memilih jalan ke jurusan Barat.
Meskipun mereka tidak lagi dapat melihat bekas pedati itu, karena telah terhapus oleh jejak-jejak kaki dan pedati-pedati yang lain, namun mereka menganggap, bahwa mereka masih memiliki beberapa cara untuk menemukannya.
“Tentu mereka memerlukan singgah di Warung atau kedai yang manapun juga di sepanjang jalan yang mereka lalui” berkata Ki Wangut dan pengikutnya yang berkuda di depan, “mungkin mereka membeli makanan. Tetapi mungkin mereka membeli bahan mentah”
Ternyata Ki Wangut cukup telaten. Meskipun perjalanan mereka tidak laju seperti orang-orang yang pergi bertamasya, namun mereka masih tetap yakin akan dapat menemukan buruannya.
Di malam hari mereka bermalam di tempat-tempat yang mereka anggap terasing. Namun pernah juga mareka bermalam di sebuah banjar padukuhan.
Dengan para peronda Ki Wangut sempat berbincang ketika ia sengaja ikut duduk di dalam gardu, sementara kawan-kawannya telah tertidur lelap di dalam banjar. Dengan sangaja Ki Wangut menggiring pembicaraan mereka kepada kemungkinan, apakah ada seorang di antara mereka yang melihat sebuah pedati dalam perjalanan jauh, membawa seorang perempuan, seorang anak laki-laki dan dua orang yang lain.
Tiba-tiba saja salah seorang berkata, “Aku melihatnya. Mereka lewat jalan di sebelah padukuhan”
Dada Ki Wangut menjadi berdebar-debar. Ia sudah berkuda cukup lama. Ia sudah bermalam beberapa malam. Karana kecakapan mereka, maka Ki Wangut dan Ki Tunda Wara berhasil mengikuti jejak pedati yang dicarinya itu. Dan kini, sekali lagi ia akan mendapat petunjuk tentang pedati itu.
Seperti kedua orang yang memberi keterangan tentang pedati itu sebelumnya, maka iapun pura-pura mencari saudaranya yang karena sesuatu hal telah pergi meninggalkan keluarga yang lain. Ia mendapat tugas dari keluarga besar dan hampir seisi padukuhannya untuk mancari sampai mereka diketemukan.
Tidak seorang pun yang mencurigainya. Para peronda itu percaya bahwa Ki Wangut dan kawan-kawannya, benar-benar sedang mencari sekelompok keluarganya yang sedang berselisih dan meninggalkan lingkungannya, “
Kenapa mereka pergi meninggalkan padukuhan?” bertanya salah seorang dari para peronda itu.
“Sebenarnya persoalannya tidak terlalu besar. Tetapi adalah menjadi tabiat perempuan itu. Ia keras hati” jawab Ki Wangut.
Para peronda itu mengangguk-angguk. Namun salah seorang mendesaknya, “Persoalan yang tidak terlalu besar itu apakah cukup kuat untuk mandorongnya pergi?”
“Suaminya kawin lagi. Iapun kemudian pergi bersama anak dan kakaknya, membawa anak laki-lakinya yang masih kecil meninggalkan kami. Sanak kadangnya. Kami yang ditinggalkan, berusaha mencarinya dan meyakinkannya, bahwa bagaimanapun juga sebaiknya ia kembali pulang. Segalanya dapat kami bicarakan dan mancari jalan yang lebih baik dari memutuskan persaudaraan”
Para peronda itu mengangguk-angguk, salah seorang dari mereka berkata, “ternyata itu bukan persoalan yang tidak terlalu besar bagi seorang perempuan. Jika suaminya kawin lagi, maka seolah-olah dunia ini tidak akan berarti lagi baginya”
“Ada yang kami takutkan” berkata Ki Wangut, “jika ia tidak dapat menguasai perasaannya lagi, maka mungkin sekali perempuan itu akan menempuh jalan sesat. Karena itu, kami tergesa-gesa memburunya, kemanapun mereka pergi”
“Kenapa baru sekarang kalian menyusulnya? Bukankah kecepatan kuda kalian berlipat ganda dari kecepatan pedati itu?” bertanya salah seorang peronda.
“Kami melakukannya segera setelah hal itu kami ketahui. Tetapi kami tidak dapat menemukan jalan yang mereka tempuh dengan segera, sehingga untuk beberapa lama kami harus mencari. Kadang kadang kami menempuh jalan yang salah, sehingga kami harus berpacu kembali. Akhirnya kami sampai ke tempat ini”
Para peronda itu mendengarkan ceritera Ki Wangut itu dengan bersungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk salah seorang dari mereka berkata, “Mudah-mudahan kalian segera akan dapat menyusul mereka. Agaknya dalam waktu dua tiga hari lagi, kalian akan dapat menemukannya. asal kalian tidak menempuh jalan yang salah.
“Dua tiga hari?” bertanya Ki Wangut.
“Ya. Sudah satu hari satu malam yang lewat, pedati itu melalui jalan di sebelah padukuhan” jawab peronda itu, “karena itu, maka secepatnya dalam dua hari lagi, kalian baru akan dapat menyusulnya. Mungkin malam ini pedati itu berjalan terus meskipun perlahan-lahan” jawab peronda itu. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi apakah kalian tidak mengetahui, bahwa mungkin ada sanak kadang yang akan dikunjunginya”
Ki Wangut menggelengkan kepalanya. Katanya, “Se pengetahuanku, tidak ada seorang pun saudaranya di tempat yang begini jauh. Tetapi mungkin diluar pengetahuan kami, ada orang yang akan mereka datangi” Ki Wangut berhenti sejenak, lalu, “Yang kami sesalkan. Ialah sikap ayah dan kakaknya. Mereka sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Tetapi mereka justru membantu usaha pelarian ini”
“Itu dapat dimengerti” jawab salah seorang peronda itu, “ayahnya pun tentu merasa tersinggung, bahwa anaknya telah dihinakan dan disakiti perasaannya”
Ki Wangut mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa gembira bahwa jalan yang ditempuh agaknya menjadi semakin dekat.
Jika benar pedati itu lewat, sehari semalam sebelum ia sampai ke padukuhan itu, maka tidak sampai dua hari lagi, ia akan dapat menyusulnya.
Pagi-pagi benar, Ki Wangut telah bersiap-siap. Ketika para peronda meninggalkan gardu itu, Ki Wangut masih sempat mengucapkan terima kasih, karena ia tidak meninggalkan gardu sampai saat para peronda pulang, ia dapat tidur mendengkur di sudul gardu itu, sementara anak-anak muda memandanginya sambil tersenyum.
Salah seorang dari mereka berkata, “la tentu telah sekali setelah menempuh perjalanan yang_sangat panjang. Kawan-kawannya sama sekali tidak mampu lagi bertahan sampai tengah malam. Mereka tertidur nyenyak di banjar” sahut yang lain.
“Biarlah. Ia masih akan berjalan jauh”
Namun pagi-pagi benar, ketika para peronda meninggalkan gardu, Ki Wangut pun telah terbangun dan berkemas untuk melanjutkan perjalanannya yang panjang.
Kawan-kawannya segara dibangunkannya pula. Merekapun segera bersiap dan meninggalkan banjar itu, setelah minta diri kepada seorang tua yang ditugaskan memelihara banjar itu.
Sejenak kamudian Ki Wangut. Ki Tunda Wara dan para pengikutnya pun segera berpacu menurut arah yang diberitahukan oleh para peronda. Jalan yang mereka lalui ternyata tidak terlalu banyak simpangan yang dapat membingungkan. Jalur jalan pedati itu agaknya menyusur jalan lurus yang banyak dikenal oleh banyak orang, termasuk Ki Wangut dan Ki Tunda Wara. Jalan itu menuju ke Singasari.
“Gila” geram Ki Wangut, “perempuan itu akan menyembunyikan dirinya ke dalam kota”
“Tidak ada bedanya” berkata Ki Tunda Wara.
“Bagaimana jika mareka menyampaikan persoalannya kepada prajurit di Singasari” bertanya Ki Wangut.
“Apakah para prajurit itu begitu mudahnya percaya?” sahut Ki Tunda Wara, “meskipun demikian, kita akan mencapai pedati itu sebelum mereka memasuki kota Singasari”
Ki Wangut mengangguk-angguk. Tetapi ia mempunyai gambaran tentang kemungkinan yang buram. Jika perempuan itu benar-benar menyampaikan persoalannya kepada prajurit Singasari, sehingga terdengar oleh para perwira dan kesatria, mungkin persoalannya akan dapat mengalir ke Kediri. Mungkin Pangeran Kuda Padmadata akan mendengar berita tentang keadaan isteri dan anak laki-lakinya, sehingga dengan demikian, ia dapat mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyelamatkan mereka.
“Banyak hal yang dapat ditempuh” berkata-Ki Wangut di dalam hatinya, lalu, “Pangeran itu seolah-olah sudah melupakan tentang isteri dan anaknya itu”
Ternyata bahwa Ki Tunda Wara pun berpendapat demikian. Pangeran Kuda Padmadata tidak akan mempedulikan lagi keadaan isterinya. Seandainya isteri dan anaknya yang berasal dari padukuhan itu akan mati, ia tidak akan merasa kehilangan.
“Bahkan mungkin rencana ini sudah diketahui pula oleh Pangeran Kuda Padmadata itu sendiri dengan diam-diam” berkata Ki Tunda Wara di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka perjalanan mereka pun tidak menemui kesulitan apapun juga. Mereka masih saja membagi diri dalam dua kelompok. Ki Wangut dengan dua orang pengiringnya dan Ki Tunda Wara dengan dua orang pengiringnya pula.
Namun ternyata ada juga sekelompok perampok yang malang, yang tidak mengetahui siapakah orang-orang berkuda di tengah-tengah bulak di gelapnya malam.
Ketika Ki Wangut dan pengiringnya yang berkuda di depan, dihentikan oleh empat orang perampok, maka iapun menjadi sangat marah.
“Kami tergesa-gesa” bentak Ki Wangut, “jika tidak, kami tidak akan melanjutkan perjalanan di malam hari”
Tetapi perampok-perampok itupun membentak dengan kasar, “Turun, dan serahkan semua barang dan perhiasan yang kau bawa. Senjata, barang-barang dagangan dan barangkali timang dan wrangka keris”
Ki Wangut meloncat turun dari kudanya. Diserahkannya kendali kudanya kepada pengiringnya sambil berkata, “Duduk saja di situ. Aku akan mengusir orang-orang itu”
Sikap itu sudah mendebarkan keempat perampok yang malang itu. Namun mereka memaksa diri untuk menjajagi kemampuan orang yang dianggap dapat menjadi korbannya. Namun ternyata bahwa dalam loncatan-loncatan pertama, Ki Wangut sudah membunuh dua orang di antara mereka. Sedangkan yang dua orang lagi lari tunggang langgang.
“Gila” geram Ki Wangut. Sementara itu Ki Tunda wara di belakang telah menyusulnya.
“Kenapa?” bertanya Ki Tunda Wara.
Sambil menunjuk dua sosok mayat yang tarkapar di jalan, ia menggeram, “Tikus-tikus itu mencoba mangganggu perjalanan kita. Dua orang terbunuh, yang dua melarikan diri”
Ki Tunda Wara mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan hiraukan mereka, tidak mengenal kita. Tetapi jika di daerah ini banyak penyamun dan perampok, apakah pedati yang berjalan terdahulu itu tidak dirampok orang-orang itu?”
Ki Wangut tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat ke punggung kudanya dan sejenak kemudian, iring-iringan itupun meneruskan perjalanan.
Dalam pada itu, dua orang penyamun yang lari tunggang langgang, ketika sudah yakin tidak dikejar lagj oleh orang yang dengan gerak yang tiba-tiba berhasil membunuh dua orang kawannya, sempat juga berhenti dengan nafas terengah-engah dan berbicara di antara mereka, “Setan alas. Hari-hari yang sangat sial”
“Dua orang kawan kita telah terbunuh” gumam yang lain.
“Kemarin, baru saja kita hampir mati oleh dua orang penunggang pedati itu. Aku kira mereka adalah orang-orang yang akan menjual hasil tanahnya, atau keperluan lain dengan membawa harta benda. Ternyata yang turun dari pedati itu adalah dua orang yang menghajar kita berempat habis-habisan. Untunglah kita tidak dibunuhnya saat itu. Tetapi kematian bagi dua orang kawan kita itu pun datang juga malam ini”
“Agaknya dua orang penunggang pedati kemarin, hatinya lebih baik dari penunggang kuda itu. Kemarin kita sama sekali tidak berdaya. Untuk lari pun kita tidak dapat lagi. Tetapi mereka tidak membunuh kita. Mereka justru berpesan agar kita menghentikan tingkah laku yang dibenci orang ini Tetapi kita tidak menghiraukan. Dan malam ini dua orang di antara kita sudah-mati. Mungkin besok kita berdua”
“Nasihat itu baik juga kita kalau kita perhatikan” gumam yang lain.
Kawannya tidak menjawab. Tetapi agaknya ia pun sadar, pada suatu saat, di jalan yang sepi itu lewat juga orang yang tidak dapat dikalahkannya.
“Kita mengambil mayat kawan-kawan kita” desis yang seorang.
“Apakah orang-orang berkuda itu sudah pergi?” yang lain masih gemetar.
“Mungkin. Marilah kita lihat dengan hati-hati”
Kedua orang itupun kemudian dengan sangat hati-hati merayap kembali untuk melihat, apakah orang-orang berkuda itu sudah meninggalkan kedua sosok mayat kawannya yang sudah terbunuh.
Ketika ternyata bahwa orang-orang berkuda itu sudah pergi, maka keduanya telah meloncat ke jalan untuk mengambil kedua orang kawannya yang terbunuh untuk diserahkan kepada sanak kadangnya.
“Kematian yang demikian pada suatu saat akan menerkam kita juga, jika kita masih saja melakukan pekerjaan seperti ini” gumam salah seorang dari keduanya. Kawannya sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu, Ki Wangut dan pengiringnya telah meluncur semakin jauh menuju ke arah Singasari.
Dalam pada itu, perjalanan pedati yang membawa Ki Wastu, anak dan cucunya berserta Mahisa Bungalan menjadi semakin mendekati Singasari. Namun ternyata bahwa pedati itu tidak langsung memasuki kota, karena Mahisa Bungalan ingin membawa mereka ke rumahnya.
“Tetapi meskipun kita sampai ke rumah ayahku, persoalannya masih belum selesai” berkata Mahisa Bungalan, “karena kita masih akan berbicara dangan Pangeran Padmadata”
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Berkali-kali aku memikirkannya. Tetapi aku masih tetap ragu-ragu. Apakah ada perlunya kita menyampaikan persoalan ini kepada Pangeran Kuda Padmadata. Kami sama sekali tidak pernah mengharapkan apapun dari warisan Pangeran itu. Yang kami harapkan hanyalah hidup yang tenang tanpa diganggu oleh siapapun”
“Kakek” berkata Mahisa Bungalan, “persoalan tidak akan berakhir, jika kita masih belum bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata. Orang-orang yang memburu anak dan cucumu tentu masih akan mencari di manapun kalian bersembunyi. Tetapi jika Pangeran Kuda Padmadata mengetahui persoalan ini dan mengambil sikap tertentu, maka tidak akan ada persoalan lagi. Apapun yang akan diputuskan oleh Pangeran Kuda Padmadata tentu akan mengikat segala pihak”
“Tentu masih ada persoalan” jawab Ki Wastu tetapi jika kemudian Pangeran itu menyatakan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan anak dan cucuku, kukira barulah persoalannya selesai. Mereka tidak akan mengejar anak dan cucuku lagi seperti sedang berburu binatang di hutan yang lebat”
“Tetapi kakek” berkata Mahisa Bungalan, “apapun yang akan kita hadapi kemudian, biarlah segera kita ketahui kemungkinannya. Baik atau buruk”
Ki Wastu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah pedati itu masih maju perlahan-lahan. Kadang-kadang mereka memerlukan beristirahat untuk waktu, yang cukup lama. Mereka harus memberikan kesempatan sepasang lembu itu untuk beristirahat dan makan rumput yang dapat mereka sabit di pinggir-pinggir jalan.
Bahkan di hari-hari terakhir, di malam hari, pedati itu kadang-kadang berhenti lebih dari separo malam. Anak perempuan Ki Wastu dan cucunya ternyata menjadi sangat letih, meskipun mereka berdua sebagian besar waktunya dipergunakannya untuk duduk. Tetapi mereka selalu digoncang oleh roda pedati yang kadang-kadang menggilas batu-batu yang berserakan.
Kadang-kadang justru anak perempuan Ki Wastu itu turun dari pedati dan berjalan mengiringinya untuk mengurangi penat-penat kakinya. Baru beberapa tonggak kemudian, ia naik lagi ke atas pedatinya.
Di saat-saat tertentu pedati itu pun harus berhenti pula. Memberi kesempatan anak perempuan Ki Wastu untuk merebus air dan menanak nasi. Sementara Mahisa Bungalan dan Ki Wastu menyediakan makan sepasang lembu penarik pedati itu.
Karena itulah, akan jarak mereka dengan orang-orang yang memburunya menjadi cepat sekali berkurang. Bahkan akhirnya, di saat mereka mendekati Singasari, orang-orang yang memburunya sudah berada dekat di belakang mereka.
Ki Wangut dan para pengiringnya yakin, bahwa mereka akan dapat menyusul pedati itu sebelum pedati itu memasuki kota Singasari. Mereka yakin, bahwa mereka akan berkesempatan untuk menyelesaikan tugas mereka. Siang atau malam, jika mereka bertemu dengan orang-orang yang ada di dalam pedati itu maka mereka harus dibinasakan.
Apalagi menurut keterangan yang mereka dapatkan di sepanjang jalan, bahwa isi pedati itu hanyalah empat orang.
“Dua laki-laki, seorang perempuan dan seorang anak-anak” berkata salah seorang penunggu kedai” pedati itu berhenti sebentar. Perempuan itu memerlukan beberapa macam rempah-rempah yang akan dibawanya”
Keterangan ini memberikan gambaran yang cerah. Dua orang itu memang berhasil membunuh empat orang pengikut Ki Wangut. Tetapi yang akan menyusulnya adalah Ki Wangut sendiri bersama dua orang kepercayaannya, diikuti oleh orang yang jarang ada bandingnya, Ki Tunda Wara dengan dua orang pengikutnya pula.
“Keduanya tentu akan segera dapat kami selesaikan” berkata Ki Wangut di dalam hatinya.
Dalam pada itu, pedati yang membawa Mahisa Bungalan itupun ternyata langsung menuju ke padukuhannya. Pedati itu mengambil jalan simpang, melepaskan diri dari jalur jalan ke Singasari, memasuki sebuah padukuhan di sebelah simpang tiga. Di sebelah padukuhan itu terdapat sebuah bulak pendek. Seberang bulak pendek itulah letak padukuhan tempat tinggal Mahendra yang dikenal sebagai seorang saudagar permata dan wesi aji.
Namun dalam pada itu, Ki Wangut yang hampir berhasil memburu pedati itu, sempat terlihat bahwa pedati telah berbelok, tidak langsung menuju Singasari, tetapi mengambil jalan simpang, memasuki sebuah padukuhan kecil.
“Sebentar lagi kita akan mendapatkan mereka” ia menggeram.
Para pengikutnya pun sudah melihat pedati yang berbelok itu. Karena itu, maka Salah seorang dari mereka berkata, “Marilah. Kita akan segera mendapatkannya”
“Kita tidak terlalu tergesa-gesa” berkata Ki Wangut. “justru karena pedati itu tidak langsung memasuki kota Singasari”
“Jadi?” bertanya pengikutnya.
“Kita akan mengikutinya sampai pedati itu berhenti di halaman sebuah rumah. Kecuali jika pada suatu saat, pedati itu mengambil jalan lain yang menuju ke gerbang kota Singasari” jawab Ki Wangut.
Para pengikutnya mengetahui, bahwa Ki Wangut akan mengakhiri pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, maka Ki Wangut pun tidak dengan tergesa-gesa menyusul pedati itu dan menghentikannya di tengah bulak. Tetapi ia ingin melihat, dimana pedati itu akan berhenti dan kepada siapa isteri Pangeran Kuda Padmadata itu akan menyembunyikan diri.
“Menyenangkan sekali” berkata Ki Wangut, “kita akan mengetuk pintunya dan dan memasuki rumah itu sebagai tamu yang sopan. Kemudian kita minta dipertemukan kepada perempuan itu untuk memenggal kepalanya bersama anak laki-lakinya”
“Tidak semudah Ki Wangut” desis pengikutnya.
Ki Wangut tertawa, katanya, “dan aku sudah memperhitungkan dengan cermat, seorang akan melawan aku dan kau berdua, sedang yang lain akan melawan kakang Tunda Wara dan dua orang pengikutnya”
Salah seorang kawannya berkata, “Sejak semula aku sudah ingin membantainya”
Ki Wangut tertawa. Katanya, “Jika kau pergi tanpa aku dan kakang Tunda Wara, maka kaulah yang akan dibantainya”
Orang itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menyahut.
Dalam pada itu, pedati itupun berjalan terus. Jaraknya dangan beberapa orang yang memburunya memang menjadi semakin pendek. Namun ternyata bahwa Ki Wangut tidak ingin menyusulnya.
Ketika pedati itu berjalan di bulak yang pendek, maka Ki Wangut yang menjadi semakin dekat pun yakin, bahwa pedati itulah yang disusulnya. Ia melihat seorang perempuan duduk di bagian belakang pedati itu. Seorang laki-laki yang berjalan di sisi lembu yang menarik pedati itu, sementara seorang anak laki-laki berlari-lari mendahuluinya. Namun kemudian berhenti dan menunggu. Ketika pedati itu lewat di depannya, maka anak laki-laki itupun meloncat dan memanjat lewat bagian belakang”
“Anak laki-laki yang lincah” berkata Ki Wangut, “sayang. Sebentar lagi, ia harus mati bersama ibunya. Dan bahkan kedua laki-laki itupun harus mati. Jika ada orang lain yang ikut campur, maka mereka pun harus mati pula.
Demikianlah, Ki Wangut telah memperlambat jalan kudanya. Ia mengambil jarak tertentu di belakang pedati itu. Kemudian mengikutinya memasuki padukuhan di seberang bulak pendek itu.
Dengan berdebar-debar Ki Wangut memperhatikan pedati itu yang kemudian berbelok ke sebuah halaman rumah yang berhalaman cukup luas. Rumah yang cukup baik bagi padukuhan yang tidak terlalu besar dan ramai itu.
Ki Wangut berhenti beberapa puluh langkah dari regol rumah itu. Bahkan kemudian ia menunggu Ki Tunda Wara yang sebentar kemudian telah menyusulnya, tetapi dengan meninggalkan kedua pengiringnya di mulut lorong.
“Apa yang kau lihat?” bertanya Ki Tunda Wara.
“Pedati itu” jawab Ki Wangut.
“ Ya. Aku sudah melihatnya pula. Lalu apakah kau bermaksud menyusunya sekarang?”
Ki Wangut termangu-mangu. Kemudian katanya, “Bagaimana pertimbangan kakang?”
“Kita sudah memberi kesempatan kepadanya sampai ke tujuan”
“Ya. Tetapi bukankah, kita memang baru saja menyusulnya? Aku melihat pedati pertama kali simpang tiga. Dan tiba-tiba saja, timbul keinginanku untuk melihat di mana pedati itu berhenti. Sekarang kita sudah mengetahui, bahwa pedati itu berhenti di rumah yang berhalaman luas itu”
“Kita belum tahu, rumah siapakah yang disinggahi itu? Mungkin sanak kadangnya. Tetapi mungkin juga tempat yang dapat memberikan perlindungan kepadanya”
“Jadi, apakah sebaiknya kita berusaha untuk mengetahui, siapakah yang berada di dalam rumah itu? bertanya Ki Wangut.
Ki Tunda Wara termangu-mangu sejenak. Namun inpun kemudian mengangguk sambil berkata, “Kita harus berhati-hati. Dua orang yang berada di dalam pedati itu sudah cukup membuatmu pening. Apalagi jika di dalam rumah itu ada orang lain yang akan dapat membantu mereka berdua”
Ki Wangut mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba seorang pengikutnya berkata, “Jadi kita masih harus menunggu lagi?”
Ki Wangut mengangguk. Jawabnya, “Kita harus memperhitungkan segenap kemungkinan”
“Ki Wangut masih juga bersabar? Bagaimana jika kita kehilangan mereka lagi?”
“Hanya ada dua regol di padukuhan ini. Jika kita mengawasi keduanya, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat lepas dari tangan kita”
“Tetapi pekerjaan yang demikian akan memakan waktu yang lama. Mungkin hari ini kita belum dapat menyelesaikan pekerjaan itu”
“Lebih baik kita tunda satu hari, daripada kita semuanya tidak akan dapat berhasil melakukannya”
Pengikut Ki Wangut itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat, namun ia mengumpat di dalam hatinya.
“Tunggulah di luar regol padukuhan di ujung lorong itu” berkata Ki Wangut kepada kedua pengiringnya, “Jangan menarik perhatian. Sedang di ujung yang lain akan diawasi oleh para pengikut kakang Tunda Wara. Kami berdua akan singgah sebentar di kedai kecil itu untuk mendapat beberapa keterangan tentang rumah itu”
Kedua pengikut Ki Wangut nampak ragu-ragu. Tetapi tatapan mata Ki Wangut telah memaksa mereka mengangguk dan memenuhi perintah itu.
Demikian kedua orang itu menuju ke ujung lorong, maka Ki Tunda Warapun kembali kepada para pengikutnya untuk memberikan pesan serupa. Baru kemudian, bersama Ki Wangut keduanya telah singgah di sebuah kedai kecil yang terletak di pinggir jalan itu, berdekatan dengan beberapa tempat yang berserakan untuk menjajakan beberapa jenis dagangan. Agaknya tempat itu baru tumbuh menjadi sebuah pasar.
Tanpa menarik perhatian, maka Ki Wangut pun kemudian berbicara tentang padukuhan itu dan sebuah rumah yang agak besar di pinggir jalan itu pula.
“O” berkata penjual di kedai itu, “rumah itu adalah rumah seorang saudagar permata barang-barang berharga dan wesi aji”
Ki Wangut dan Ki Tunda Wara saling berpandangan sejenak. Sesuai dengan pekerjaannya yang menjelajahi beberapa daerah dan padukuhan, maka seorang saudagar biasanya memiliki kemampuan untuk membela diri, atau mempunyai satu dua orang pengawal yang dapat dipercaya. Karena itu, maka merekapun mulai tertarik kepada keterangan penjual di kedai itu.
“Siapakah namanya?” bertanya Ki Tunda Wara.
“Ki Mahendra? jawab penjual itu.
“Apakah ia masih muda?” bertanya Ki Wangut.
Penjual itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Orang itu sudah tidak dapat disebut muda lagi. Ia sudah melampaui masa mudanya dan mulai dengan pertengahan umurnya yang kemudian. Tetapi ia masih menjalankan pekerjaannya. Ia masih pergi ke beberapa tempat yang dapat menjadi daerah pasarannya.
Ki Tunda Wara dan Ki Wangut masih bertanya tempat sekelompok pengawal yang akan dapat mengganggu pekerjaan mereka.
“Ada beberapa orang anaknya” berkata penjual itu, “dua orang anak muda yang kini ada di rumah. Aku tidak tahu pasti, apakah saudagar itu sekarang ada. Kadang-kadang ia tiba-tiba saja kami lihat duduk di pendapa atau menyiangi tanaman bunganya, atau berjalan-jalan di depan ini. Tetapi sesaat kemudian, ia sudah berpacu dengan kudanya ke tempat yang jauh untuk menawarkan barang-barang yang dibawanya”
“Apakah kau melihat sebuah pedati yang lewat di depan kedai ini?” tiba-tiba saja Ki Wangut bertanya.
“Ya, ya. Aku melihatnya” jawab penjual itu.
“Apakah kau mengenal siapa yang ada di dalamnya?”
Penjual itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng sambil menjawab, “Sayang. Aku tidak memperhatikannya”
Ki Wangut dan Ki Tunda Wara menjadi kecewa. Ia ingin bertanya, apakah penjual di warung itu mengenal salah seorang dari mereka.
Namun dalam percakapan itu, Ki Tunda Wara dan Ki Wangut tidak mendapat gambaran, bahwa rumah itu adalah rumah yang berperisai tebal. Di rumah itu, tidak terdapat pengawal-pengawal yang akan dapat mengganggu usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Seandainya ada, maka di rumah itu terdapat tiga orang laki-laki. Saudagar itu sendiri dan dua orang anak laki-lakinya yang masih sangat muda, sedang anak yang sulung sudah tidak ada di rumah.
“Siapakah anaknya yang sulung itu?” bertanya Ki Wangut kemudian.
“Mahisa Bungalan. Ia sudah lama meninggalkan rumahnya. Mungkin ia pergi merantau karena titisan darah ayahnya”
“Ayahnya seorang pengembara?” bertanya Ki Wangut.
“Maksudku ia soerang saudagar yang sering pergi jauh membawa barang dagangannya”
Ki Wangut mengangguk-angguk, nama itu pernah di dengarnya, anak muda yang berada di rumah orang tua, anak perempuan serta cucu laki-lakinya adalah Mahisa Bungalan. Orang-orang Ki Wangut yang mencari keterangan keluarga perempuan dan anak laki-lakinya memang pernah menyebutnya. Anak muda yang bersama perempuan yang di rumah kakek itu bernama Mahisa Bungalan.
“Kita harus melakukan sebelum mereka memasuki rumah rumah itu. Kita harus memperhitungkan tiga orang lagi di antara mereka” berkata Ki Tunda Wara.
“Tetapi mereka mereka tidak memiliki kemampuan seperti Mahisa Bungalan dan kakek tua itu” sahut Ki Wangut.
Ki Tunda Wara tidak dapat mempersoalkannya lagi, karena hal itu sudah terjadi. Tetapi ia mempunyai pendapat yang sama seperti yang dikatakan oleh Ki Wangut.
Di rumah itu tentu Mahisa Bungalan lah yang paling disegani. Namun saudagar dan kedua anak muda yang lain itupun harus diperhitungkann baik-baik.
“Kita masih harus menunggu” berkata KiTunda Wara.
“Ya. Kita masih harus menunggu sampai malam. Mungkin kita akan bergerak dan memasuki rumah itu. Menghancurkan semuanya tanpa ampun, dan aku kira di dalam rumah itu ada juga beberapa jenis perhiasan dan permata di samping beberapa jenis wesi aji. Bukankah itu patut diperhitungkan juga”
Ki Tunda Wara mengerutkan keningnya, kemudian dengan bersungut-sungut ia berkata, “Kau masih anak iblis. Ternyata kau tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh harta benda itu”
“Bukankah sudah aku katakan bahwa yang aku lakukan ini adalah karena aku akan mendapat upah yang banyak sekali, sementara perempuan yang kita buru adalah perempuan yang sangat cantik, tetapi aku sama sekali tidak tertarik kepada perempuan yang manapun juga”
“Persetan dengan perempuan itu” potong Ki Tunda Wara, “aku berbuat karena kau merengek-rengek, aku tidak memikirkan apapun juga dalam kerja ini, “
“Juga tidak memikirkan perempuan yang sangat cantik itu”
“Tidak. Aku belum pernah melihatnya. Karena itu ia tidak dapat menggerakkan minatku. Sekali lagi aku katakan bahwa aku melakukan semuanya ini karena kau. Sadari hal itu. Jika ada persoalan lain, itu tentu tumbuh kemudian. Tetapi aku sama sekali tidak berminat untuk memiliki harta benda ataupun perempuan itu”
Ki Wangut mengangguk-angguk, tetapi ia tersenyum di dalam hati, ia mengenal saudara perguruannya dengan baik. Dan ia pun mengetahui di padepokannya tersimpan beberapa orang perempuan yang tidak akan dapat meninggalkannya. Kecuali mereka yang memang sudah waktunya dicampakkan pergi. Agar padepokannya tidak menjadi penuh karenanya.
Dengan demikian, maka Ki Tunda Wara dan Ki Wangut sudah memutuskan untuk memasuki rumah itu dengan pertimbangan yang lebih masak. Mereka masih juga memikirkan orang-orang di sebelah menyebelah. Jika mereka memiliki keberanian dan bahkan ada di antara mereka yang memiliki kemampuan, maka usaha itu akan mengalami kesulitan.
“Kita tidak mengetahui keadaan padukuhan ini sebaik-baiknya” berkata Ki Tunda Wara, “kita jangan terjebak oleh ketergesa-gesaan sehingga kita akan mengalami kegagalan lagi”
Ki Wangut mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa orang-orangnya tentu akan mengeluh dan tidak menyetujuinya. Tetapi iapun tidak mau mau gagal lagi. Sehingga karena itu, iapun harus memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya.
Seperti yang pernah dilakukan, maka merekapun menyingkir di siang hari, meskipun mereka masih juga mengawasi jalan keluar dari padukuhan itu. Kemudian di malam hari, mereka berusaha untuk dapat menginap di banjar padukuhan, sementara empat orang di antara mereka, masih tetap mengawasi jalan keluar. Di banjar itulah mereka dapat berbicara dengan beberapa orang anak muda yang berada di gardu di depan banjar itu. Dari mereka, Ki Wangut dan Ki Tunda Wara mendengar serba sedikit tentang keadaan padukuhan itu dan keadaan Mahendra yang di padukuhannya dikenal sebagai seorang saudagar.
Kedua anaknya itu juga sering berada di banjar ini” berkata anak-anak muda itu.
Keduanya mengangguk-angguk. Dan anak-anak muda itupun berceritera beberapa hal tentang kedua adik Mahisa Bungalan dan tentang Mahisa Bungalan sendiri.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Mahendra anak-anaknya bukanlah orang-orang yang sombong di padukuhannya. Mereka tidak dengan sengaja menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan tidak ada taranya. Bahkan kadang-kadang Mahendra berusaha untuk menyatakan dirinya, tidak lebih dari orang-orang di sekitarnya.
Meskipun di masa mudanya, Mahendra adalah seorang anak muda yang lain dari kawan-kawannya, karena mempunyai banyak kelebihan. Namun di hari tuanya, seolah-olah apa yang pernah dilakukannya di masa mudanya itu sudah dilupakan orang. Apalagi anak-anak yang kemudian tumbuh dewasa sebaya dengan anak Mahendra, tidak mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh Mahendra di masa mudanya, selagi ia masih selalu berada di antara saudara-saudara seperguruannya.
Karena itulah, maka ceritera tentang Mahendra dan kedua anak laki-lakinya yang muda, sama sekali tidak menggetarkan jantung Ki Wangut dan Ki Tunda Wara.
“Yang harus diperhitungkan hanyalah Mahisa Bungalan dan orang tua itu” berkata Ki Wangut ketika mereka sudah berada di serambi belakang banjar padukuhan.
Sementara itu, di rumah Mahendra, Mahisa Bungalan duduk berdua saja dengan ayahnya di pendapa. Ki Wastu, anak perempuan dan cucunya telah di persilahkan beristirahat di gandok sebelah kiri.....