Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Ia tahu bahwa puteranya sedang menderita sakit, dan ia maklum pula bahwa itu adalah penyakit asmara yang sukar diobatinya. Maka ayah yang waspada ini tidak menanya sesuatu kepada Jarot mengenai penderitaannya ini, hanya semenjak saat itu Panembahan Cakrawala tekun bersamadhi dan memohon kemurahan Yang Agung untuk menguatkan batin puteranya itu.
Semenjak datang ke tempat asalnya, Jarot menjalani tapa-brata dan tekun bersamadhi, melepaskan diri dari segala ikatan dunia. Tubuhnya makin kurus, kumis dan jenggotnya dibiarkan saja tak terawat. Namun, dasar hatinya baik dan penuh sifat welas asih, ketika ada beberapa orang gunung datang minta pertolongannya karena penyakit atau rintangan lain, Jarot tak tega untuk membiarkan saja. la memberi pertolongan, baik berupa obat maupun berupa nasihat dan petuah. Ternyata bahwa pertolongannya selalu berhasil baik hingga sebentar saja Jarot terkenal sebagai seorang pertapa muda yang sidik dan waskita. Makin banyaklah orang datang memohon pertolongannya.
Mendengar akan keadaan puteranya yang bertapa di puncak sebelah timur itu, pada suatu hari Panembahan Cakrawala mengunjungi puteranya. Jarot menyambut kedatangan ayahnya dengan sembah.
"Puteraku Jarot, harapanku timbul kembali ketika mendengar betapa kau mulai dengan berdarma-brata. Tadinya aku khawatir kau akan bertapa-brata untuk selamanya."
"Rama, memang sesungguhnya hamba sudah merasa tawar dan bosan akan keadaan dunia ramai. Hamba tadinya mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan dengan dunia ramai, tapi ternyata hamba tak tega untuk menolak kedatangan para sahabat yang minta pertolongan. Sanubari hamba tak mengijinkan hamba diam berpeluk tangan saja melihat kesusahan orang lain sedangkan hamba masih kuasa menolongnya."
"Itu bagus, Jarot. Karena kau masih muda, masih luas harapanmu untuk memajukan sesama, untuk membantu peredaran maya dengan perbuatan yang layak. Ketahuilah, Jarot, ayahmu ini walaupun bertubuh pertapa, namun hatinya masih cukup mempunyai rasa perikemanusiaan seperti orang lain dan karenanya masih ingin memangku cucu. Kau suka menolong orang, Jarot, maka tak dapatkah kau menolong ayahmu sendiri?"
"Pertolongan bagaimana, rama?"
"Tolonglah beri kesenangan sedikit pada ayahmu sewaktu aku masih dapat melihat dengari mata jasmani ini, Jarot. Kau carilah pasangan dan kawinlah agar aku dapat menikmati kurnia Yang Agung dengan menimang seorang cucu."
Jarot menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.
"Sukar bagiku untuk mendapat pasangan, rama."
Ayahnya memandang tajam.
"Jarot, dimanakah hatimu tersangkut? Wanodya manakah yang demikian besar kuasanya hingga dapat mematahkan engkau seperti ini?"
"Jangan salah paham, rama. la seorang gadis baik dan sempurna. Dan percayalah, rama, kalau memang Yang Agung mengijinkan, pasti kami akan bertemu kembali. Dan kalau datang saat itu, permintaanmu akan terkabul, rama. Hanya itulah janjiku dan harap rama habiskan pembicaraan tentang ini sampai sekian saja."
Ayahnya menggeleng-geleng kepala dengan kecewa.
"Jarot...... Jarot...."
Pada saat itu dari luar terdengar suara orang batuk-¬batuk dan tak lama kemudian terdengar suara orang minta buka pintu. Mendengar suara itu, baik Jarot maupun ayahnya menjadi girang. Mereka bangkit berbareng dan keluar menyambut, karena mereka kenal suara itu.
"Eyang...." Jarot berlutut menyembah.
"Paman begawan...." Panembahan Cakrawala pun memberi hormat.
Tamu yang datang itu, seorang tua yang tampak agung, berdiri tersenyum girang. Ia bukan lain ialah Kyai Ageng Sapu jagat, guru Jarot, seorang pertapa suci yang tak tentu tempat tinggalnya.
"Eyang, sungguh besar hati hamba menerima kunjungan eyang hari ini. Silahkan masuk dan duduk didalam, eyang."
Panembahan Cakrawala juga mempersilakan tamu agung itu masuk, tapi Kyai Ageng Sapujagat menolak sambil tersenyum.
"Aku hanya menjenguk sebentar, tak perlu masuk, biar kita ngobrol disini juga sama saja. Jarot, kulihat kau sudah mengenakan jubah pertapa dan kau mengikuti jejak ramamu."
"Itulah yang mengesalkan hatiku, paman," kata Panembahan Cakrawala.
"Mengapa kesal hatimu, Cakrawala? Kau ini seperti anak kecil saja. Siapa yang heran melihat keadaan hati seorang pemuda seperti Jarot ini? Ia masih muda, perlu ia mengalami bermacam-macam perubahan dalam hidup, ini namanya pengalaman. Biarkan sajalah, nanti kalau sudah tiba masanya tentu ada perubahan lagi. Mari, mari, Cakrawala, mari ikut aku jalan-jalan ke puncak Tengger. Sudah lama kita tidak mengobrol. Jarot, kami pergi dulu. Kulihat banyak orang datang mencarimu untuk minta pertolongan. Mereka juga tamu, sama saja dengan aku. Mereka lebih penting, layanilah."
Dan orang tua yang suci itu sambil menggandeng tangan Panembahan Cakrawala, lalu berjalan pergi, bercakap¬-cakap sepanjang jalan.
Jarot memasuki pondoknya dan mempersilakan para tamunya masuk seorang demi seorang. Dengan sabar dan ramah ia melayani mereka, memberi jamu-jamu yang telah disediakan olehnya, khusus untuk keperluan itu, memberi nasihat-nasihat bagi mereka yang bersedih, memberi peringatan-peringatan bagi mereka yang tersesat, Semua tamunya menerima pertolongan yang diberikan dengan hati ikhlas ini dengan puas dan mereka pulang dengan hati ringan.
Tamu yang masuk paling akhir adalah dua orang gadis desa yang agaknya datang dari tempat jauh karena mereka nampak lelah. Seperti biasa, tiap kali menghadapi tamu wanita muda, Jarot menundukkan kepala dan meramkan mata. Sudah seringkali ia tergoda oleh gadis-gadis, yang ingin memikatnya. Gadis-gadis itu datang dari berbagai tempat, dan sengaja datang untuk melihat pertapa muda yang tersohor tampan itu, dan tiap kali mereka datang, tentu mereka menggunakan segala macam akal untuk menarik perhatian Jarot.
Menghadapi godaan ini, Jarot merasa tak berdaya untuk berlaku keras, maka untuk menolaknya ia hanya menerima gadis-gadis muda yang berkunjung ke rumahnya dengan menundukkan muka dan meramkan mata. Ada kalanya seorang gadis datang dengan maksud benar-benar minta pertolongan, tapi sebagian besar hanya karena ingin bertemu dengan pertapa muda yang tampan ini.
Demikianlah, sekilas saja memandang tubuh mereka ketika memasuki pintu pondoknya, Jarot maklum bahwa lagi-lagi ada dua orang gadis kampung yang hendak menemuinya, entah hendak minta pertolongan atau hendak menggodanya.
"Kulanuwun, mas kyai.....” berkata seorang diantara mereka.
"Duduklah kalian dan pertolongan apakah yang dapat kulakukan untuk kalian?" jawab Jarot tanpa mengangkat mukanya.
"Kami Dinah dan Dini kakak beradik, mas kyai, dari desa Barat," jawab seorang diantara mereka yang halus tutur bahasanya.
"Apa kehendakmu?"
"Saya..... saya hanya mohon berkah, mas kyai."
"Yang Maha Agung akan memberkahimu."
"Bukan hanya itu, mas kyai, kami datang mohon diberi obat!" tiba-tiba gadis kedua menjawab, suaranya lantang dan genit. Jarot menghela napas. Hm, lagi-lagi datang penggoda, pikirnya. Tapi ia menjawab juga,
"Obat? Sakit apakah kalian?"
"Obat untuk sakit di hati, mas kyai!"
"Apa maksudmu?" Jarot mengangkat muka, tapi belum membuka matanya.
"Benar, mas kyai, kami menderita sakit rindu asmara, mohon obatnya, mas kyai!" gadis pertama menyambung.
Tiba-tiba tubuh Jarot menggigil dan wajahnya memucat. Ia serasa kenal akan suara ini. la membuka matanya dan......
"Sari.....!! Raras....!!"
"Kang-mas Jarot....!!"
Mereka bertiga saling tubruk dan berpelukan. Air mata tak dapat ditahan lagi, membanjir keluar membasahi muka mereka.
"Sari..... mengapa.... bagaimana kau bisa berada disini?"
Setelah menceritakan semua pengalamannya, Sekarsari berkata,
"Mas Jarot, eyang Kyai Ageng Sapujagat yang menolong aku dan Raras dan membawa kami kesini. Mas, aku telah cukup menderita, telah cukup terhukum karena ketidak percayaanku kepadamu dahulu. Sekarang aku datang, bukan sebagai puteri raja, mas. Aku datang sebagai Sekarsari yang mohon belas kasihanmu. Terimalah diriku mas, aku minta mondok di rumahmu, ingin bersuwita padamu, mas."
Wajah Jarot berseri.
"Akhirnya kita berkumpul juga, Sari.... Sari..." Jarot memeluk gadis itu dengan mesra dan terharu.
"Mas Jarot dan kau, Sari. Aku merasa berbahagia sekali bahwa kalian telah bertemu dan berkumpul kembali. Kini tugasku sudah selesai. Aku telah menebus dosaku. Biarlah aku pergi, jangan sampai menjadi pengganggu kalian lagi..... selamat tinggal, mas Jarot.... Sari...." dengan air mata mengalir di sepanjang pipinya Maduraras lari meninggalkan mereka.
"Raras.... tunggu....!!"
Sari meloncat mengejar dan berhasil memegang lengannya dan terus saja ia memeluk tubuh Maduraras.
"Raras.... jangan pergi, Raras...."
"Sari, aku pergi untuk kebaikan kita bersama. Aku hanya akan menjadi pengganggu..."
"Kau takkan menjadi pengganggu, Raras…”
"Tapi..... tapi tegakah kau menyiksa hatiku, Sari? Tegakah kau melihat aku menderita karena iri dan sengsara...?"
"Tidak, tidak, Raras. Kau salah paham. Lupakah bahwa kalau aku menjadi Subadra maka kau ialah Srikandinya?"
"Apa.... apa maksudmu, Sari?"
"Maksudku sama dengan maksudmu, Raras. Cari saja sendiri artinya, aku Subadra, kau Srikandi, dan mas Jarot ialah Arjuna...."
"Jadi kau.... kau....."
"Ya, demikianlah kehendakku."
"Kalau mas Jarot menolak bagaimana, Sari?"
"Tak mungkin! Aku tahu bahwa iapun kasih kepadamu. Tapi, kalau dia sampai berani menolak kau, maka aku.... akupun akan menolaknya!"
Mata Maduraras terbelalak memandang Sari dan air mata turun dari mata itu.
"Demikian baikkah hatimu kepadaku, Sari?"
"Tidak sebaik kau kepadaku, Raras..."
Jarot keluar dari pondok dan menghampiri mereka.
"Hayo, Raras, kita sambut Arjuna kita....." dan Sekarsari menarik-narik tangan Maduraras yang memerah seluruh mukanya dan yang menggunakan sebelah tangan menutupi mukanya karena malu!
Maka berbahagialah mereka bertiga di atas Gunung Tengger. Adapun Pangeran Amangkurat setelah memalsu dan mencuri Keris Pusaka Margapati, menjadi makin jahat dan kejam. Sejarah menyatakan betapa ia kelak menjadi Sunan Amangkurat I yang terkenal kejam, yang membunuh banyak sanak keluarganya sendiri, yang menjadi iblis karena cemburu.
Dengan kejamnya ia membunuh puluhan selir hanya karena menyangka mereka itu membunuh seorang selir kekasihnya yang mati. Betapa jahatnya terbayang kepada catatan sejarah ketika ia memperebutkan seorang wanita dengan puteranya sendiri.
Keris Pusaka Margapati memuaskan nafsu dengan darah manusia, keris maut itu kenyang akan darah dalam pegangan tangan Amangkurat yang lalim dan yang membuat orang mengutuk kejahatannya.
Demikianlah maka cerita ini diakhiri dengan peringatan yang sering disabdakan para arif bijaksana bahwat siapa menanam, ia sendiri yang akan memetik buahnya!
TAMAT