Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Diam-¬diam ia telah bersumpah dalam hati bahwa hanya Jarot seoranglah yang berhak memiliki dirinya, biarpun ia tahu bahwa Jarot tidak cinta padanya. Habis, bagaimanakah ia harus bersikap? Berkata terus terang? Ah, tentu satria itu akan marah. Ia akan dibunuhnya. Biarlah, kalau memang demikian nasibnya, ia akan menerima dengan rela. Ia akan menganggap itu sebagai hukuman atas dosanya telah memisahkan Jarot dengan Sekarsari dulu.
Empat hari kemudian rombongan yang membawanya tiba di Pasuruan. Kadipaten itu telah dihias indah karena di situpun diadakan perayaan menyambut pengantin yang terhormat karena pengantin itu datang dari keraton Mataram.
Sampai pada saat mempelai perempuan turun dari kendaraan dan diarak masuk ke kamar di gedung kadipaten, belum ada yang menyangka akan adanya penggantian pengantin dan Maduraras dapat memasuki kamar pengantin dengan selamat.
Hal ini adalah karena gadis itu selain dihias sama benar dengan Sekarsari, juga karena ia memakai kerudung yang melambai menutupi mukanya, dan karena perawakannya memang sama benar dengan Sekarsari. Pula, hanya para pengiring dan beberapa orang saja pernah melihat pengantin perempuan yang asli.
Ketika tiba saatnya mempelai lelaki memasuki kamar pengantin, barulah Maduraras merasa benar-benar takut dan ngeri. Raden Panjibagus sebagai pengantin laki-laki tampak benar-benar tampan dan gagah. Kalau saja hati Maduraras tidak sudah penuh terisi bayang-bayang Jarot, tentu gadis ini akan merasa kagum dan tertarik. Tapi baginya tidak mungkin ada laki-laki yang dapat mempesonakannya lagi, betapapun tampan dan gagahnya laki-laki itu.
Melihat Panjibagus memasuki kamar, Maduraras semakin menundukkan kepala dengan hati berdebar dan kaki tangan terasa dingin. Panjibagus maju mendekat dan duduk di atas pembaringan di sebelah Maduraras. Dengan mesra dan halus ia memegang tangan gadis itu dan terkejut karena dinginnya.
"Diajeng, takutkah kau? Malukah? Tanganmu dingin benar."
Alangkah halusnya suara Panjibagus yang diucapkan dengan penuh perasaan. Maduraras tak dapat menahan kekecutan hatinya lagi dan tiba-tiba ia menangis.
Panjibagus menggunakan tangan kiri menyingkap kerudung di depan muka Maduraras. Ketika ia menatap wajah gadis itu, ia tersentak kaget dan mundur tiga tindak sambil mengucap,
"Ya Jagad Dewa Batara!" kemudian ia cepat maju memegang lengan tangan Maduraras dengan erat sambil bertanya keras,
"He, gadis. Siapa engkau dan dimana diajeng Susilawati?"
Melihat bahwa tiada jalan baginya untuk bersembunyi atau menyangkal pula, timbullah keberanian Maduraras. Ia bangun berdiri dan dengan gagah berkata,
"Susilawati telah dengan diam-diam keluar dari keraton dan membunuh diri di bengawan. Tak seorangpun mengetahuinya kecuali saya, dan kami telah bermufakat untuk melakukan penggantian ini."
"Apa katamu?" Panjibagus bertanya dengan wajah pucat. "Mengapa ia membunuh diri? Dan tahukah Gusti Sultan akan hal ini?" suaranya mengandung penasaran besar karena ia merasa tertipu.
"Tak seorangpun mengetahui kecuali saya. Bahkan Gusti Ayu Bratadewi sendiripun tak mengetahuinya. Susilawati tidak mau dikawinkan dengan engkau maka dia membunuh diri.”
"Dan kau.... siapakah kau yang berani menggantikan tempatnya?"
"Aku bernama Maduraras dan kawan baik Susilawati. Aku menggantikan tempatnya bukan karena aku ingin diboyong kesini dan menjadi isterimu. Tidak! Aku melakukan ini hanya untuk memenuhi permintaannya. Maka, jika engkau benar-benar seorang satria yang luhur budi, biarkan aku pergi meninggalkan Pasuruan."
Melihat sikap Maduraras yang tidak menghormat kepadanya itu, makin bertambahlah kemarahan Panjibagus.
"Hm, keparat! Kau wanita rendah! Setelah kau menipuku, kau minta aku melepaskanmu begitu saja? Keparat engkau!" Raden Panjibagus lari keluar memanggil pengawal. Dua orang penjaga datang berlari.
"Tangkap perempuan ini. Masukkan dalam tahanan!" Kedua orang penjaga itu saling pandang dengan heran.
"Bagaimana, raden? Apa maksudmu...? Hamba harus.... tangkap padanya? Masukkan dalam tahanan??" Mereka berdua menyangka kalau-kalau Raden Panjibagus tiba-tiba menjadi gila!
Raden Panjibagus mengertak gigi dan membanting-¬banting kakinya.
"Jangan banyak cakap! Tangkap dia dan jebloskan dalam tahanan! Hayo cepat!!" ia berteriak marah dan dengan heran dan takut kedua penjaga itu memegang lengan Maduraras yang menurut saja dibawa ke dalam tahanan.
Ia tidak takut dan berjalan dengan dada dan muka terangkat tinggi, gagah dan angkuh. Tapi setelah ia didorong ke dalam sebuah kamar dari batu yang tak berjendela dan hanya mempunyai pintu besi yang kuat, ia terduduk di atas sebuah bangku batu dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa putus asa. Bagaimana selanjutnya dengan nasibnya? Apa yang dapat ia perbuat? Ia tak berdaya sama sekali dan hanya derita dan bencana menanti di depannya.
Semalam penuh ia tidak dapat tidur sama sekali, pikirannya digoda segala macam bayangan seram dan ngeri. Akan diapakan orangkah dia?
Pada keesokan harinya, dua orang laki-laki setengah tua memasuki kamar tahanannya. Mereka ini adalah dua orang pemeriksa yang datang membujuk dan mengancamnya untuk mengaku dan menceritakan keadaan sebenarnya.
"Aku telah mengaku dan menceritakan keadaan sebenarnya. Mengapa harus mengaku pula?"
"Kau bohong! Raden Panjibagus tak mudah kau tipu begitu saja! Kau tentu tahu dimana tempat puteri sekar-¬kedaton. Kau tentu menyembunyikan dia. Mengakulah, Maduraras. Kalau kau mengaku terus terang dan memberi tahu tempat persembunyian sekar-kedaton, maka jika puteri Susilawati telah ditemukan, tentu kau akan diampuni. Mungkin kau akan diambil selir oleh Raden Panjibagus, karena kau cukup cantik jelita. Bukankah kau cinta pada Raden Panji? Bukankah karena cintamu itu maka kau menggantikan tempat sekar-kedaton?"
"Cih! Siapa yang tergila-gila padanya? Aku sudah mengatakan berkali-kali. Susilawati tidak sudi menjadi isterinya dan karenanya ia bunuh diri. Aku menggantikan tempatnya hanya karena sudah berjanji padanya! Sekarang terserah, mau kau bunuh, bunuhlah saja. Mau dilepaskan, lakukanlah sekarang juga agar aku dapat pergi dari neraka ini."
Kedua penyelidik itu tak berdaya. Mereka segera meninggalkan Maduraras untuk memberi laporan kepada Raden Panjibagus, setelah memperdengarkan ancaman-ancaman untuk memberi hukuman yang seberat-¬beratnya. Tapi Maduraras hanya ketawa mendengar semua ancaman itu.
Pada malam hari kedua dari penahanannya, pintu kamar tahanan terbuka dan Maduraras terkejut sekali ketika melihat bahwa yang datang kali ini adalah Raden Panjibagus sendiri! Ia merasa khawatir dan cemas sekali. Wajah satria yang tampan dengan senyumnya yang manis itu lebih menakutkannya daripada wajah para pemeriksa yang kejam dengan ancaman-ancaman mereka yang mengerikan!
"Maduraras, alangkah besar perbedaan kamar ini dengan penghuninya," Panjibagus berkata dengan senyum simpul dan kerling tajam penuh arti.
"Apa.... apa maksudmu, raden?"
"Kamar ini buruk dan gundul, sedangkan kau..... kau begitu cantik. Heran aku memikirkan betapa gadis secantik kau dapat berlaku sekejam itu terhadap aku."
Maduraras hanya menunduk dan diam saja.
"Maduraras, kalau kuperhatikan wajahmu dan bentuk tubuhmu, kau tidak kalah cantik dan jelita dari Susilawati, bahkan menurut pandanganku, kau lebih manis, lebih berani dan lebih kenes menarik hati."
"Raden, katakan saja maksud kedatanganmu. Jangan memutar-mutar lidah yang tak bertulang itu. Tiada gunanya, raden."
Panjibagus tertawa. Suara tawanya merdu dan sedap didengar. Maduraras berdebar ketika pemuda itu mendekatinya dan hampir ia berteriak ketika tiba-tiba Panjibagus memeluknya.
"Raden, lepaskan aku!" ia mencoba berontak.
"Tidak, takkan kulepas kau sebelum kau beri tahu padaku dimana kau sembunyikan Susilawati."
"Raden Panjibagus, jangan kau paksa aku. Sia-sia, raden. Aku tidak mempunyai keterangan lain. Susilawati telah mati, di dunia ini tidak ada Susilawati lagi, raden."
"Kalau begitu, biarlah..... kau saja yang menjadi gantinya, Raras." Panjibagus memancing lagi dengan bujukannya.
Maduraras menggeleng-geleng kepala.
"Aku tidak sanggup menjalani, raden. Lebih baik lepaskan saja aku."
Tiba-tiba timbul kemarahan dalam hati Panjibagus. Dengan cepat tangannya menyambar dan sebuah tamparan keras mengenai pipi Maduraras yang halus. Darah mengalir dari ujung bibir Maduraras; tapi gadis itu tetap tersenyum.
Melihat senyum itu Panjibagus menjadi menyesalkan perbuatannya tadi, tapi kemarahan hatinya belum lenyap.
"Keparat benar kau, Maduraras. Kau sengaja hendak menggoda dan menghinaku. Biarlah, kau telah menjatuhkan keputusan akan nasibmu sendiri. Besok aku akan menyuruh orang menggantungmu, kecuali kalau sebelum saat itu kau merobah pendirianmu!"
Setelah berkata demikian Raden Panjibagus keluar dari kamar itu sambil berpesan kepada para penjaga agar hati-hati menjaga gadis itu.
Menjelang tengah malam pikiran yang teraduk di kepala Maduraras mulai menyuram. Tiba-tiba ia melihat pintu kamarnya terbuka dan sebuah bayangan berkelebat memasuki kamarnya. Maduraras merasa kepalanya berat dan pandangan matanya kabur. Ia hanya melihat sekilas betapa seorang kakek tua yang berbaju putih dan berjenggot panjang putih pula membungkuk, lalu mengangkatnya dan membawanya terbang! Ya terbang, karena ia merasa betapa tubuhnya terayun tinggi dan betapa angin bersiutan di pinggir telinganya. Tapi ia tak kuasa membuka mata lagi dan segala gelap di sekitarnya.
Ketika membuka matanya, Maduraras mendapatkan dirinya berada dalam sebuah bilik bambu yang terbuka jendelanya. Ia memandang keluar jendela. Hari telah siang dan dari jendelanya ia melihat sawah dan gunung. Ia mengingat-ingat dan tiba-tiba ia mendengar suara pintu berderit. Ia menengok dan melihat betapa pintu kamarnya terbuka perlahan dari luar. Wajah seorang wanita muncul dari balik daun pintu, menjenguknya, dan serentak Maduraras meloncat bangun.
"Sari.....II!"
Panggilan ini merupakan jerit yang keluar dari lubuk hatinya, panggilan yang penuh diliputi kegirangan besar.
Sekarsari maju dan memeluknya.
"Maduraras, kau... terima kasih, Raras..."
Sekarsari tak dapat berkata-kata lagi, hanya air matanya turun membasahi muka Maduraras yang diciumnya.
"Sari, jangan tipu aku, Sari. Katakanlah sejujurnya, tidakkah aku sedang mimpi?" Maduraras bertanya sambil meramkan mata.
"Tidak, Raras. Kau betul berada di samping Sekarsari. Raras..... eyang begawan yang menolongmu telah menceritakan kepadaku akan segala penderitaanmu, Raras, akan segala pengorbanan yang kau lakukan untukku. Terima kasih, Raras..."
"Aah, jangan sebut-sebut itu lagi, Sari. Dimana eyang itu? Aku harus menghaturkan terima kasih padanya."
"Ia sedang bersamadhi, Raras. Mari kuantar kau menjumpainya." Dan keduanya lalu keluar dari kamar sambil bergandengan tangan.
**** 26 ****