Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Memang, sifat Subadra juga sangat jujur dan berbakti, sama seperti kau. Beginilah, Sari, hal ini terpaksa harus kuserahkan kepadamu untuk mengaturnya, yaitu, kau harus dapat membujuk ibumu hingga beliau itu suka membantu kita, demi cintanya padamu."
"Akan kucoba, Raras."
Karena selalu dibujuk rayu oleh anaknya yang terkasih dan yang menyatakan bahwa jika dipaksa kawin tentu akan bunuh diri, akhirnya Bratadewi menyerah kepada kehendak Sekarsari. Maka mereka bertiga, Bratadewi, Maduraras, dan Sekarsari mengatur rencana.
Hari perkawinan tiba. Keraton dipajang indah. Sejak tiga hari sebelumnya, gamelan berbunyi terus siang malam, Pada malam hari kawin, yaitu malam sebelumnya yang disebut malam midodaren, pengantin perempuan mulai dirias. Dan pada malam hari itulah terjadi hal yang ganjil.
Dilain bilik, Maduraras dirias pula oleh Bratadewi. Bratadewi demikian pandainya dalam hal ini hingga wajah Maduraras hampir sama benar dengan Sekarsari. Pada waktu tengah malam, Maduraras memasuki kamar Sekarsari, sedangkan Sekarsari sudah menanggalkan pakaian pengantin, lalu keluar dari kamar itu. Ia berpelukan sebentar dengan Maduraras dan dengan Bratadewi, kemudian dengan isak tertahan Sekarsari keluar dari pintu belakang.
Di tamansari telah menanti Ki Galur, ayah angkatnya yang diberi tahu akan hal ini dan yang bersedia membantunya biarpun dengan taruhan jiwa demi kebahagiaan anaknya yang tercinta.
KI Galur dan Sekarsari tidak lari menuju Sukowati sebagaimana yang direncanakan semula, karena menurut perhitungan Ki Galur, Sukowati terlalu dekat dengan kota raja hingga sangat berbahaya bila Sekarsari bersembunyi disitu. Maka oleh Ki Galur, Sekarsari dibawa lari ke arah timur.
Semalam itu mereka berjalan terus keluar masuk hutan dan baru beristirahat setelah malam berganti pagi. Demikianlah mereka berjalan terus, sungguhpun perjalanan mereka tak dapat maju pesat karena Sekarsari sering minta berhenti mengaso.
Setelah berjalan terus ke timur selama lima hari, mereka tiba di dalam sebuah hutan yang besar dan liar. Pohon-pohon tinggi besar yang sudah berusia ratusan tahun memenuhi hutan itu dan suara segala macam binatang liar memenuhi udara dan membuat Sekarsari gemetar ketakutan. Tapi Ki Galur dengan sebatang tombak di tangan menghiburnya.
"Jangan takut, Sari. Selama ayahmu ini masih ada di sampingmu, kau takkan terganggu kecuali kalau dadaku sudah pecah!" ucapan yang gagah ini sedikitnya membuat Sekarsari merasa agak tenang.
Tapi pada saat itu terdengar teriakan dan suitan nyaring. Sebelum rasa kaget mereka lenyap dari semak-¬semak keluarlah belasan orang tinggi besar yang berwajah buas dan bersenjata ruyung, dikepalai oleh seorang pemuda tinggi besar yang bermata kejam.
"He, paman tua, berhentilah!" teriak pemuda yang menjadi kepala rampok itu.
Ki Galur menenangkan hatinya yang berdebar-debar dan bertanya,
"Saudara-saudara yang gagah, apakah maksud dan kehendak kalian menghentikan dan mencegat kami? Kami anak dan ayah hanya orang-orang melarat yang sedang merantau mencari hidup di lain tempat."
"Ha-ha-ha! Paman, kami takkan mengganggumu. Kami orang-orang baik, bukan demikian, kawan-kawan?"
Empat belas orang anak buahnya tertawa dan menyeringai sambil menggemakan pernyataan
"Betul..... betul...".
Ki Galur menarik napas lega.
"Kami juga tahu bahwa kalian orang-orang gagah dan baik. Nah; selamat berpisah dan kami hendak melanjutkan perjalanan sebelum malam tiba."
"Nanti dulu, paman," kepala rampok itu mencegah. "Perkenalkan dulu, aku si Klabangkoro dan mereka semua ini saudara-saudaraku, juga pembantu-¬pembantuku. Kau dan anakmu sudah lewat di wilayahku, maka aku tak mau berlaku kurang hormat, paman. Kami persilakan paman dan anak paman yang cantik molek ini untuk mampir di pondok kami."
"Sungguh cantik, sungguh jelita, sungguh manis."
Para anggauta rampok itu berkata campur aduk, membuat Sekarsari makin takut dan Ki Galur makin gelisah.
"Terima kasih, saudara. Tapi kami sangat tergesa-¬gesa, biarlah lain kali saja kami mampir."
Tiba-tiba senyum di bibir pemimpin rampok itu menghilang.
"Apa? Paman berani menolak undangan kami? Kalau begitu, biarlah kau tinggalkan saja anakmu ini. Kau sendiri boleh segera pergi!"
Ki Galur mempererat pegangannya pada tombaknya.
"Saudara, janganlah kau berlaku demikian. Kasihanilah kami yang tak berdosa dan jangan ganggu anakku."
"Siapa yang mau mengganggu anakmu? Aku hendak memuliakannya, hendak mengangkat ia menjadi ratu dirimba ini, menjadi permaisuriku, bukan begitu, kawan-kawan?" Semua kawannya membetulkan sambil tertawa riuh-rendah.
Ki Galur timbul nekatnya.
"Tidak bisa, saudara. Terpaksa aku tidak mau memberikan anakku padamu."
"Apa katamu?" teriak kepala rampok itu. "Kawan-¬kawan, hayo serbu dan bunuh monyet tua ini!"
Tiga orang meloncat menerkam dengan ruyung di tangan. Tapi Ki Galur meloncat ke kiri dan tombaknya menyerang lambung seorang perampok. Namun perampok-perampok itu adalah orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi, maka perlawanan Ki Galur itu tak berarti. Melawan perampok-perampok itu, ia bagaikan seorang kanak-kanak melawan orang-orang dewasa.
Pada saat itu terdengar suara gerutuan,
"Tidak adil.... tidak adil..." dan dari belakang sebatang pohon besar muncullah seorang kakek berbaju putih yang bercambang bauk berwarna putih pula.
Pada saat itu Ki Galur telah terpeleset dan rebah di tanah sedangkan beberapa orang perampok telah mengangkat ruyung untuk mengirim pukulan maut ke arah kepala Ki Galur. Sekarsari duduk di bawah pohon sambil menggigil dan menangis. Tiba-tiba terdengar bentakan keras
"Tahan.,.!!!"
Bentakan ini demikian berpengaruh hingga semua perampok menunda pukulan mereka dan menengok ke arah datangnya suara. Ki Galur menggunakan kesempatan Itu untuk merayap bangun dan menghampiri lalu memeluk tubuh Sekarsari yang menggigil ketakutan.
"He, kamu kakek tua mau mampus! Mengapa berani ikut campur?" kepala rampok membentak.
"Anak-anak, kenapa kalian demikian jahat? Lepaskanlah gadis dan ayahnya itu, jangan kalian mengganggu orang yang tidak berdosa." Suara kakek itu sabar dan lembut, tapi terdengar sangat berpengaruh.
"Aah, monyet tua jangan banyak mulut!"
Seorang anggauta perampok memaki lalu lari menghampiri kakek itu dengari ruyung terangkat. Tapi aneh, ketika ia sudah tiba dekat dengan kakek itu, tiba¬-tiba ia merasa seakan-akan menginjak tanah becek yang licin sekali hingga ia kehilangan keseimbangan badannya dan tak ampun lagi ia jatuh terguling!
Kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan menghela napas. Kawan-kawan perampok yang jatuh itu menjadi marah dan tiga orang dari mereka lari menyerbu kakek tua itu. Tapi sungguh heran, seperti halnya orang pertama, mereka ini ketiga-tiganya terpeleset dan roboh di depan kakek itu dan merayap bangun dengan bingung. Kini kepala rampok menjadi marah. Ia menuding kakek itu lalu berteriak mengajak kawan-kawannya,
"Hayo kita serbu dan hajar sampai mampus monyet tua ini!"
Maka lima belas orang perampok yang bertubuh tinggi besar dan dengan ruyung di tangan, maju perlahan menghampiri seorang kakek lemah dengan sikap mengancam dan nafsu membunuh di wajah mereka!
Ki Galur menahan napas dan Sekarsari menutup mukanya dengan tangan. Tapi kakek itu tenang saja, bahkan ia tersenyum lalu menggunakan telunjuknya menuding ke arah mereka sambil berkata,
"Anak-anak, hati-hatilah kalian, ular di tangan kalian itu berbahaya!"
Mendengar kata-kata ganjil ini, semua perampok segera memandang ruyung di tangan mereka, tapi ah, tiba-tiba mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga, sedangkan wajah mereka tiba-tiba menjadi pucat dan mereka menahan tindakan mereka.
Ki Galuryang juga memandang ke arah tangan mereka menjadi terkejut hingga beberapa kali ia mengucek-ucek mata karena tidak percaya kepada apa yang dilihatnya. Ia memegang lengan Sekarsari dan mengguncang tubuh gadis itu.
"Sari, Sari..... lihat....!" bisiknya dengan suara gemetar.
Ternyata ruyung-ruyung di tangan kelima belas perampok itu telah berubah menjadi ular. Kini ular itu membalik dan sambil membuka mulutnya mereka mendesis-desis hebat dan siap menerkam kepala orang-orang yang memegang tubuh mereka.
Tentu saja para perampok itu menjadi takut sekali, tanpa diperintah lagi mereka menggerakkan tangan untuk melempar ular itu. Tapi celaka bagi mereka, ular-ular itu tak mau terlepas dari tangan, seakan-akan telah melengket! Maka larilah mereka tunggang-langgang ke dalam hutan sambil berteriak-teriak ketakutan.
Kakek baju putih itu tertawa perlahan lalu menghampiri Ki Galur yang segera menarik tangan Sekarsari untuk diajak berlutut dan menyembah. Tapi kakek itu membangunkan mereka dan mengajak mereka duduk di bawah pohon yang rindang.
"Bolehkah aku bertanya kemana kalian hendak pergi? Dan mengapa anak ini tampak sangat bersedih bagaikan mengalami sesuatu hal yang malang? Katakanlah padaku, barangkali aku dapat membantu."
Maka dengan menangis Sekarsari menceritakan pengalamannya. Menghadapi kakek tua itu ia merasa seakan-akan berhadapan dengan eyang sendiri hingga ia tidak ragu-ragu atau malu-malu lagi untuk menuturkan riwayatnya semenjak pertama sampai yang terakhir. Ia menceritakan tentang dirinya, tentang Jarot, tentang Maduraras, pendeknya tentang segala yang diketahuinya. Kakek itu mendengarkan dengan sabar dan dengan senyum di bibir. Setelah habis bercerita, Sekarsari berkata,
"Eyang, saya kasihan sekali mengenangkan nasib Maduraras. Kalau memang eyang sudi menolong, tolonglah saja dia, eyang. Lepaskan dia dari bencana dan biarkan Maduraras berkumpul lagi dengan saya. Ia lebih-lebih daripada adik sendiri bagiku."
Kakek itu mengangguk maklum, lalu berkata kepada Ki Galur,
"Kau harus membantu memikirkan nasib anak angkatmu ini. Maka sekarang kau pergilah ke tempat kediaman Jarot dan rundingkan dengan ia tentang hal Sekarsari. Biarlah aku akan mengantar Sekarsari menjumpai Maduraras kembali."
Ki Galur bersangsi.
"Tapi.... tapi..."
Kakek itu memandangnya tersenyum.
"Semua akan beres."
Heran, mendengar kata-kata ini, Ki Galur merasa hatinya demikian lega hingga semua kesangsian atau keragu-raguan lenyap seketika dari dadanya. Ia mengangguk dan menyembah lalu mempersilakan kakek itu membawa Sekarsari pergi lebih dulu.
"Marilah, nak," kakek itu berkata kepada Sekarsari.
Setelah Sekarsari mohon diri dari Ki Galur, kakek itu memegang pergelangan tangan Sekarsari dan berkata kepada Ki Galur,
"Nah, kami pergi!"
Ketika Ki Galur memandang, lho! Kakek itu dan Sekarsari sudah lenyap bagaikan ditelan bumi! Ki Galur maklum bahwa ia telah bertemu dengan seorang pertapa sakti yang menolong mereka, maka sekali lagi ia menyembah, lalu berjalan menuju ke tempat yang ditunjuk oleh pertapa itu, yakni lereng Gunung Tengger, tempat tinggal Jarot.