Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Ia turun dari kudanya dan mendekati kedung yang curam dimana airnya tampak berputaran merupakan ulekan yang dalam mengerikan. Ia mencabut keris pusaka Margapati dari sarungnya. Tiba-tiba ia menjadi pucat dan menahan napas. Ia pandang keris itu dengan tajam dan penuh perhatian. Memang, keris itu sama benar dengan keris Margapati, baik warna maupun bentuk dan pamornya tapi dari mata keris itu tiada sinar kematian yang bercahaya bagaikan api.
"Celaka, ini bukan Margapati !"
Jarot merasa penasaran dan marah. Ia lari dan mencemplak kudanya, tapi sebelum kudanya bergerak, ia meloncat turun lagi. Ia meremkan mata dan bibirnya berkemak-kemik, pikirannya menimbang-nimbang. Kemudian ia tersenyum dan menarik napas panjang.
"Ah, memang sudah kehendak Dewata. Mataram masih akan mengalami banyak malapetaka. Tapi aku yakin bahwa Gusti Sultan Agung akan dapat menguasai dan memusnahkan pengaruh jahat keris itu dengan kebijaksanaan dan kesaktiannya. Hanya aku khawatirkan kalau-kalau keris itu terjatuh ke tangan Pangeran Amangkurat!"
Demikian ia termenung dan memikir seorang diri. Kemudian ia menaiki kudanya kembali dan membalap menuju ke arah timur dari mana sang surya mulai menampakkan dirinya. Ia berlomba dengan air bengawan yang juga mengalir ke timur tiada hentinya.
Pada malam hari itu, setelah meninggalkan Jarot, Sekarsari dan Maduraras kembali ke keraton. Kali ini mereka melalui gerbang depan. Dua orang penjaga mencegat mereka dengan bentakan, tapi ketika melihat Sekarsari, segera mereka memberi hormat.
"Paman penjaga, biarkan kawanku ini masuk bersamaku," kata Sekarsari dan kedua penjaga itu hanya dapat memberi hormat dan tak berani bertanya, sungguhpun mereka merasa heran sekali karena mereka tak pernah melihat puteri itu keluar.
Bilakah sekar ¬kedaton itu keluar dan mengapa pada lewat tengah malam baru kembali, dari mana dan kemana? Tapi mereka tahu akan diri dan kedudukan hingga mereka tak berani meributkan persoalan yang menyangkut diri sekar ¬kedaton yang baru saja diterima oleh Sri Sultan itu.
Pada keesokan harinya, Sekarsari minta kepada ibunya agar Maduraras diperkenankan tinggal bersama ia sebagai kawan bermain. Tentu saja Bratadewi tidak menaruh keberatan karena menurut pandangannya, Maduraras adalah seorang gadis yang cukup baik dan pandai membawa diri.
Baiknya Maduraras tinggal bersama Sekarsari, kalau tidak, mungkin Sekarsari takkan dapat menahan kesedihan hatinya. Demikianpun Maduraras. Dalam diri Sekarsari ia mendapatkan seorang kawan yang agaknya lebih mesra daripada seorang kakak sendiri.
Diam-diam mereka mempertebal perasaan kasih mereka satu kepada yang lain dan mereka menganggap masing-¬masing bagaikan saudara sendiri. Lambat laun berkuranglah luka hati dan kesedihan mereka. Namun sedikitpun mereka tak dapat melupakan Jarot dan boleh dikata seharipun belum pernah mereka lupa untuk membicarakan soal pemuda itu.
Mereka gali semua pengalaman ketika Jarot masih berada disitu dan semua itu merupakan kenangan-kenangan indah dan bahan godaan bagi Maduraras yang jenaka untuk menggoda Sekarsari, seakan-akan Jarot masih berada di tempat itu dan seakan-akan disitu masih terdapat banyak harapan bagi Sekarsari untuk bertemu kembali dengan Jarot.
Tapi bilamana teringat bahwa Jarot telah pergi jauh dan belum tentu mereka dapat bertemu kembali, menangislah Sekarsari, dibantu oleh Maduraras yang tidak kalah sedihnya.
Hampir dua tahun kedua orang gadis itu hidup dalam keraton dengan aman, dibawah lindungan Bratadewi. Tapi keadaan segala apa di dunia ini tidak langgeng dan selalu ada perubahan yang tak tersangka-sangka.
Selama itu, bala tentara Mataram, terus melanjutkan penjelajahan ke timur, menaklukkan Pasuruan dan lain¬-lain adipati atau bupati yang membangkang dan tidak mau tunduk kepada Sultan Agung. Maka makin banyaklah kini para adipati dan bupati yang mengunjungi Mataram untuk menyatakan sembah sujud dan hormatnya kepada Sultan Agung, raja sekalian raja yang bijaksana itu.
Diantara para adipati, bupati, dan lain panglima yang mengunjungi Mataram, terdapat Raden Panjibagus, keponakan adipati di Pasuruan yang menjadi panglima. Ia adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perwira. Dalam pertempuran melawan tentara Mataram, ia hanya dikalahkan oleh Senopati Ki Ageng Baurekso.
Raden Panjibagus ketika menghadap Sri Sultan, dengan tak terduga dapat melihat sekar-kedaton, dan pada saat itu juga jatuhlah hati terhadap Raden Roro Susilawati yang cantik jelita itu. Ia menjadi ¬gandrung, makan tak sedap tidur tak nyenyak, rindu dan birahi kepada gadis juwita yang selalu terbayang di bulu matanya.
Maka pulanglah ia dengan menanggung sakit rindu asmara yang berat hingga Adipati Pasuruan, pamannya yang sayang kepadanya, menanyakan sebab-¬sebabnya. Setelah mendengar akan hal kerinduan Panjibagus, Adipati Pasuruan segera mengirim utusan dan mengajukan pinangan.
Sultan Agung sedang menjalankan siasat mempersatukan semua adipati dengan Mataram, maka pinangan itu diterimanya dengan senang hati. Apalagi karena iapun suka akan pemuda yang tampan dan perwira sebagai Panjibagus itu. Bratadewi tak berani membantah kehendak Sultan Agung dan dengan halus ia membujuk Susilawati. Tapi puterinya itu menolak dengan keras dan menangis sedih.
"Wati, anakku, Percayalah akan pandangan tajam dan kebijaksanaan ramamu. Ia cukup waspada dan dapat memilih, hingga tak mungkin pilihannya ini keliru. Akupun mendengar bahwa Raden Panjibagus adalah seorang pemuda yang baik, tampan dan gagah. Wati, turutilah kehendak ayahmu, karena akupun ingin sekali melihat kau kawin dan berbahagia."
Susilawati makin sedih dan tak dapat menjawab, hanya menangis saja.
"Wati, katakanlah terus terang, apakah..... apakah kau berat karena teringat kepada Jarot?"
Tanpa mengangkat mukanya, Susilawati menjawab,
"Ibu.... ampun, ibu.... anakmu tak dapat kawin dengan lain orang.... aku.... aku telah saling berjanji dengan mas Jarot untuk bersetia dan tidak kawin dengan orang lain."
Ibunya menghela napas dalam.
"Aeh, mengapa begitu, nak? Bukankah Jarot sudah kembali ke negerinya?"
"Tapi..... tapi kami masih mengharap untuk saling bertemu pada suatu waktu, ibu."
"Susilawati, ingatlah baik-baik. Janjimu dengan Jarot itu hanyalah janji anak-anak yang dilakukan sewaktu kau terharu atau dibuai perasaan. Pinangan Raden Panjibagus telah diterima ayahmu, maka hal ini tak dapat dibatalkan lagi, nak. janganlah membikin ibu dan ramamu bersedih, Wati, menurutlah saja. Ibumu yang akan tanggung bahwa kau tentu akan hidup bahagia di samping Panjibagus."
Namun Susilawati hanya menangis dengan sangat sedihnya hingga ibunya berkali-kali menghela napas dengan putus asa dan kehabisan akal. Susilawati lari keluar dan masuk ke kamar sendiri dimana Maduraras telah menantinya. Maduraras melihat betapa Sekarsari masuk kamar sambil menangis segera memeluknya.
"Sst, Sari. mengapa kau menangis seperti anak kecil?"
Maduraras yang biasa berjenaka itu mencoba menghiburnya dengan berkelakar, dan jika berada berdua ia memang selalu menyebut Sekarsari.
Tapi Sekarsari tetap menangis sedih.
"Eh. eh, Sari, apakah yang telah terjadi? Percayalah, betapapun sulit persoalan yang kau hadapi, selama Maduraras masih dapat bernapas, tentu kesulitan itu dapat dipecahkan!"
Terhibur juga hati Sekarsari. Dengan mata basah ia pandang wajah kawannya, lalu memeluknya sambil mengeluh,
"Ah, Raras.... celaka nasibku, aku.... aku dipaksa kawin!"
"Apa? Kawin? Dengan siapa?"
"Dengan putera Kadipaten Pasuruan, namanya Panjibagus."
Maduraras mengangguk-angguk.
"Dan kau tidak suka?"
Sekarsari mengangkat mukanya dan memandang Maduraras dengan tajam.
"Kau kira demikian mudah aku berubah?"
"Maaf, Sari, aku hanya menggoda. Memang sudah sepantasnya kau bersetia kepada mas Jarot, karena betapa gagah dan tampanpun Panjibagus seperti yang kudengar orang berkata, bila dibandingkan dengan Jarot, ia masih tidak nempil!"
"Raras, jangan berkelakar saja, pikirlah keadaanku, Raras. Apa yang harus kuperbuat? Aku tidak berani membantah kanjeng rama, sedangkan ibupun telah setuju dan memaksaku. Bagaimanakah, Raras? Aku lebih baik mati daripada harus dikawinkan dengan orang lain."
Maduraras mengerutkan keningnya yang halus, memutar otaknya yang cerdik. Sepasang mata bintangnya mengerling ke sana ke mari dengan gesit dan bibirnya ditajamkan. Beberapa lama kemudian ia melonjak dan tersenyum puas.
"Bagaimana, Raras? Dapatkah kau menolongku?"
"Sari, jalan satu-satunya bagimu tak lain ialah..... lari minggat!"
"Tak mungkin!" Sekarsari mundur dua tindak dengan kaget mendengar usul berbahaya ini. "Kau kira mudah saja melarikan diri? Kanjeng rama tentu marah sekali dan mengerahkan semua perajurit untuk mencariku. Dan jika aku tertangkap kembali, selain mendapat marah dan merasa malu, akupun tetap harus menjadi isteri putera Pasuruan itu. Sia-sia, Raras."
Maduraras tersenyum.
"Kalau aku yang minggat dan lenyap, tentu takkan ada yang mencariku, bukan?"
"Bisa jadi, karena bukan kau yang akan dikawinkan!" jawab Sekarsari marah karena dianggapnya kawan itu menggodanya.
"Nah, kalau begitu, kita bertukar tempat, Sari. Aku menjadi engkau dan pergi mewakilimu diboyong ke Pasuruan, sedangkan kau menjadi aku, lari minggat dan takkan ada yang mencari dan mengejarmu. Bukankah jalan ini baik sekali?"
"Habis, kemana aku harus lari? Dan bagaimana selanjutnya?" tanya Sekarsari yang masih khawatir dan bingung.
"Begini, Sari. Kau minggat dan bersembunyi di Sukowati. Nanti kalau aku sudah diboyong ke Pasuruan dan berhasil lari dari sana, aku akan mencarimu, dan kita sama-sama minggat dari tempat ini."
"Kau? Pasuruan bukan dekat dari sini, Raras. Kau seorang perempuan, mana kau dapat melakukan semua itu?"
"Sari, kau kira semua perempuan selemah engkau?" Maduraras berkata tertawa dan bangga. "Lupakah kau bahwa ada seorang wanita bernama Srikandi?"
"Kau mau menjadi Srikandi kedua?" tanya Sekarsari yang terpengaruh kejenakaan kawannya.
"Kalau Srikandi dapat berlaku gagah berani, mengapa aku Maduraras tidak?"
"Hm, kalau kau Srikandi, habis aku siapa, Raras?"
"Kau..... kau Subadra, ya..... ya.... kau Subadra!" Maduraras begitu gembira dengan sebutan ini hingga ia bertepuk tangan.
"Hush, jangan keras-keras, Raras, Jadi, kau Srikandi dan aku Subadra, ya? Ingatkah kau bahwa Srikandi adalah madu Subadra?"
Merahlah wajah Maduraras mendengar ini.
"Sari..... bukankah kita juga seakan-akan..... madu, yakni dalam kenangan?"
Sekarsari tiba-tiba melihat wajah Maduraras menjadi muram dan bersedih. Segera dipeluknya gadis itu dan dengan suara sungguh-sungguh Sekarsari berkata,
"Raras, percayalah, aku akan merasa berbahagia sekali jika seandainya kau bisa menjadi maduku, seperti Srikandi dan Subadra!"
Sejenak kemudian, setelah keharuan agak reda, Maduraras berkata,
"Bagaimana, Sari. Setujukah kau akan rencanaku?"
"Terserah kepadamu saja, Raras. Aku bingung dan takut. Tapi, kalau aku minggat, bagaimana dengan kanjeng ibu? Tentu beliau akan sedih sekali, dan beliau sudah tua, Raras. Aku tidak tega..."