Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Wajah Maduraras memucat.
"Apa? Ia hendak meninggalkan Mataram? Meninggalkan Sekarsari?" Dan gadis itu lari ke dalam kamarnya, diikuti pandang mata heran dan kasihan dari ayahnya.
Di dalam kamarnya Maduraras menangis sedih. Ia meratap menyebut nama ibu dan dewa.
"Ampunkan hamba, dewa yang agung, apakah yang telah hamba perbuat??" Ia memukul-mukul dada sendiri dengan menyesal. "Aku telah mencelakakan kehidupan dua orang manusia. Mas Jarot, kau benar-benar seorang jujur. Kau laki-laki setia dan jantan. Cintamu terhadap Sekarsari suci dan mulia. Sekarang kau pergi membawa luka di hati yang mungkin akan mengantarmu ke lubang kubur! Ah, semua ini karena aku, karena aku....."
Demikianlah, sampai hari telah gelap Maduraras tidak keluar dari kamarnya, menangis dan menyesali perbuatan sendiri. Ketika ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan menyuruh ia makan malam, ia jawab bahwa ia tidak mau makan dan mohon jangan diganggu malam itu.
Setelah hari menjadi gelap, Maduraras bangun dari pembaringan, mengambil pusaka ibunya yang menewaskan Bahar dulu lalu menyelipkan keris itu di sabuknya, lalu dengan hati-hati ia keluar dari jendela kamarnya, lari ke dalam gelap!
Gadis yang terdidik baik dalam hal keperajuritan oleh Ki Ageng Bendomiring di Sukowati itu lari di dalam gelap menuju ke alun-alun! Setelah tiba di alun-alun dan hendak memasuki pintu gerbang keraton, ia melihat dua orang penjaga disitu. Dengan hati-hati Maduraras memutari tembok yang mengelilingi keraton dan setibanya di belakang ia mengeluarkan tali yang telah tersedia dan yang tadi dibawanya.
Ujung tali itu ia pasangi kayu bercabang yang kuat kemudian ia ayun kayu itu ke atas tembok. Beberapa kali kayu itu jatuh kembali hingga Maduraras gemas dan menggigit bibirnya. Ia ulangi dan ulangi lagi usahanya. Akhirnya ia berhasil dan kayu bercabang itu dapat terkait di atas tembok. Ia tarik-tarik tambang yang menggantung ke bawah dan mendapat kenyataan bahwa kaitan itu kuat, ia lalu merayap naik dengan menggunakan tambang itu!
Hal ini mudah saja ia lakukan karena ketika kecil ia bersama Bahar sering sekali berlomba menaiki pohon melalui tambang, Dengan cara demikian pula ia menuruni tembok itu dan kakinya menginjak taman sari.
Sementara itu, seperti halnya Jarot dan Maduraras, Sekarsari juga merasa sedih dan menyesal. Seperginya Jarot, pesta dilangsungkan, hanya saja sifat pesta itu berobah, dari pesta perkawinan menjadi pesta penyambutan untuknya. Para ledek yang terpandai didatangkan untuk mengadakan pertunjukan dan Sekarsari dihujani makanan-makanan lezat yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya, apa pula dirasainya.
Setelah pesta berakhir, ibunya mengajak ia mengaso ditamansari. Bratadewi meminta anaknya menceritakan segala pengalamannya dan Sekarsari walaupun merasa sayang dan bahagia mempunyai ibu yang demikian cantik dan bijaksana serta halus tutur katanya, tetapi masih merasa canggung dan kaku dan sikapnya terlalu menghormat hingga beberapa kali ditegur oleh Bratadewi.
"Susilawati, ingatlah, aku ini ibumu, ibu kandung yang selalu merindukan kau, nak. Jangan anggap aku seorang priyayi agung yang harus kau hormati sedemikian itu, Wati. Aku ibumu.... ibumu sejati....."
Dan untuk kesekian kalinya Bratadewi memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang hingga Sekarsari merasa sangat terharu.
Dengan sikap yang halus Bratadewi bertanya,
"Wati, karena kau anakku dan aku ibumu, janganlah ada rahasia diantara kita, nak. Katakan saja terus terang padaku dengan hati yang berani dan yakin bahwa aku selalu tentu akan membela dan menolongmu. Coba katakan, nak, adakah, adakah kau mempunyai...... hubungan sesuatu dengan..... Jarot?"
Tiba-tiba tubuh Sekarsari menggigil dan wajahnya pucat.
"Tidak, kanjeng ibu!" jawabnya tegas, lalu mengatupkan bibirnya erat-erat.
Bratadewi menatap wajah anaknya dengan pandangan tajam.
"Betul-betulkah, anakku? Ingat,, dalam hal ini, mata orang tua lebih tajam daripada mata anak muda, Wati. Tidakkah kau menaruh..... cinta kepadanya?"
Biarpun dengan bibir gemetar, dapat juga Sekarsari menjawab tegas,
"Tidak, ibu! Kalau benar saya mencintanya, mengapa saya mau menerima pinangan Pangeran Amangkurat?"
Ibunya mengangguk-angguk, tapi keningnya dikerutkan.
"Aku lihat tadi bahwa kau sama sekali tidak merasa bahagia ketika hendak dilakukan upacara perkawinan," katanya perlahan.
Sekarsari tak menjawab, hanya menundukkan mukanya karena tanpa dapat ditahan lagi dua butir air mata turut mengalir di kedua pipinya dan ia hendak menyembunyikan air mata itu dari pandangan ibunya. Biarpun cuaca telah mulai gelap, Bratadewi masih dapat melihat keadaan puterinya, maka ia berdiri dan untuk sesaat mengusap-usap rambut kepala Sekarsari, lalu berkata,
"Susilawati, anakku. Sudahlah kau mengaso. Kau tentu lelah, kamarmu berada di sebelah kiri kamarku, nak, itu yang dipasangi janur dan kembang di pintunya. Aku sebagai ibumu hanya berdoa siang malam semoga kau selalu berbahagia, nak."
Bukan main terharu hati Sekarsari mendengar kata-¬kata ini yang belum pernah didengarnya dari mulut seorang ibu, maka ia menubruk ibunya dan memeluknya sambil menyembunyikan mukanya di dada ibunya.
"Wati, jangan khawatir, anakku, apapun yang terjadi, ibumu selalu berada di pihakmu. Nah, tidurlah, nak, besok saja kita bercakap-cakap lagi."
Dan Sekarsari memasuki kamarnya yang serba indah dengan sebuah pembaringan yang mewah dan empuk, dihias alas yang indah dan ditaburi bunga-bunga harum. Namun semua itu tak dapat melenyapkan kesedihan dan keharuan yang memenuhi dadanya dan membuat ia membanting diri di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu!
Pada menjelang tengah malam belum juga ia dapat tidur. Tiba-tiba terdengar pintu kamarnya berbunyi dan dengan perlahan daun pintu itu terbuka. Sekarsari menyangka bahwa yang datang tentu ibunya, maka ia pura-pura meramkan mata dan tidur. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa tangannya dipegang orang dengan kuat-kuat dan orang itu memanggil dengan perlahan tapi dengan tegas,
"Sari, bangunlah!"
Ketika ia membuka matanya hampir saja ia berteriak karena heran dan kaget. Yang berdiri disitu dengan tangan kanan memegang keris dan tangan kiri memegang tangannya dan dengan wajah keren serta mata berapi bukan lain adalah Maduraras!
"Kau..... kau..... Maduraras??"
Mulut Maduraras menyeringai dengan mengandung hinaan.
"Hm, kau masih mengenal aku? Hayo bangun dan ikut dengan aku ke taman!"
Sambil berkata demikian Maduraras menarik tangan Sekarsari dan memaksanya keluar memasuki taman. Hawa pada malam itu dingin dan bulan bersinar terang. Setelah berada jauh dari kamar, Sekarsari bertanya,
"Maduraras, apa yang kau kehendaki?"
"Aku? Hm, aku datang hendak mengambil nyawamu!"
Tiba-tiba Sekarsari tertawa dengan suara tawa yang membuat bulu tengkuk Maduraras berdiri.
"Kau hendak membunuhku? Mari, cepat-cepat, Maduraras, ini dadaku, tusuklah dengan kerismu itu supaya cepat mengenai jantungku. Kau yang telah merusak hidupku, yang telah merampas kebahagiaan hidupku, yang telah membuatku bosan hidup, kau kira kau akan dapat menyiksa dan menakuti aku dengan kematian? Ini, Maduraras, bunuhlah aku, aku akan berterima kasih padamu!"
Sekarsari mengangkat-angkat dadanya dan mendekati Maduraras yang bertindak mundur dengan heran dan bingung.
"Kau..... kau...... apa maksudmu, Sari?? Masih cintakah kau kepada kangmas Jarot??"
"Jangan sebut-sebut nama Jarot lagi! Kau telah merampasnya dariku! Kau telah memisahkan kami dan kau telah berhasil menggagalkan cita-cita kami. Ha, sekarang aku tahu, kau datang karena kau ditampik oleh mas Jarot? Ha-ha-ha! Sungguh lucu! Kau memikat Jarot, kau memisahkannya dariku, setelah kau berhasil, kini kau sendiri ditampik olehnya! Ha-ha! Alangkah lucunya, aku mendengar penampikan Jarot dengan telingaku sendiri!"
"Sari, jawablah terus terang! Kenapa kau menerima pinangan Pangeran Amangkurat? Kalau kau benar masih cinta kepada Jarot, mengapa kau terima pinangannya?? Butakah matamu bahwa Jarot tidak cinta padaku, bahwa ia hanya mencinta kau seorang? Gilakah kamu maka kau mau menerima pinangan orang lain? Tidak tahukah kau bahwa hal itu menghancurkan hati mas Jarot? Ah, Sari, dimanakah kecerdasan otakmu?"
"Apa..... apa katamu?? Mas Jarot tidak mencintamu?"
Tiba-tiba Maduraras melempar kerisnya ke tanah dan ia menangis.
"Aku..... akulah yang tak tahu diri, Sari. Aku telah berdosa. Berdosa karena cintaku padanya. Aku..... aku cinta padanya, Sari. Maka aku tidak tahan melihat ia sengsara, melihat dia hancur hatinya. Aku rela mengorbankan kebahagiaanku sendiri asalkan dia bahagia, Sari. Kau tahu, aku telah kehilangan kakakku yang kucinta, tapi kematiannya di tangan mas Jarot tak dapat menghapus cintaku kepadanya. Aku telah mengorbankan kakakku, tapi ternyata mas Jarot tak dapat membalas cintaku, buktinya dia telah menolakku. Kau.,.., kau seorang yang dicintanya, tapi kau bahkan menyakiti hatinya. Ah, mengapa hatimu sekejam itu, Sari?"
"Aku..... aku masih tidak percaya, Raras."
Tiba-tiba Maduraras meloncat bangun dan memungut kerisnya, sikapnya menjadi keras dan beringas lagi.
"Sari, mudah saja bagiku untuk membunuhmu lalu membunuh diriku sendiri disini. Tapi apa gunanya? Mas Jarot takkan bahagia karenanya. Bahkan mungkin ia akan makin bersedih. Kau tidak percaya bahwa ia cinta padamu? Ah, kau orang bodoh dan buta! Dia besok pagi-¬pagi hendak pergi, Sari. Pergi dengan membawa luka dihati. Ayoh, ikutlah aku. Kau harus tolong padanya!"
"Ikut padamu? Di tengah malam begini? Kemana?"
"Ke rumah Jarot!"
“Ah, aku tidak sudi merendahkan diri macam itu!"
Maduraras memutar tubuh dan tangannya melayang. Sebuah tamparan keras memukul pipi Sekarsari.
"Aduh sombongnya. Sikapmu yang buruk macam inilah yang menyakiti hati mas Jarot. Pendeknya, mau atau tidak, kau harus ikut, biarpun aku harus menyeretmu seperti domba!"
Akhirnya dengan cemberut Sekarsari menurut juga. Dengan susah payah Sekarsari merayap di tambang dengan bantuan Maduraras dan mereka lalu berjalan menuju ke kampung Ki Galur, Setelah tiba di dekat pondok Ki Galur, tiba-tiba Sekarsari berhenti.
“Jalan terus, Sari." Maduraras mendesak.
"Tidak, Raras. Kau harus terangkan dulu padaku. Apa maksudmu membawaku kesini? Apa yang harus kulakukan di hadapan mas Jarot?"
"Kau harus mencegah kepergian mas Jarot. Kau harus menyatakan cintamu kepadanya dan kau harus menerangkan alasanmu mengapa kau menerima pinangan pangeran. Kau harus mengobati luka di hatinya karenamu. Dan kalau dia berkeras hendak pergi, kau harus menyatakan hendak ikut padanya kemana ia pergi!"
"Tapi, Raras.....;."
"Tidak ada tapi! Aku telah berdosa. Berdosa kepada mas Jarot dan kepadamu. Aku telah memisahkan kalian, maka sekarang aku harus memaksa kau untuk memperbaiki hubungan kalian kembali. Siksaan hatiku baru lenyap kalau kalian sudah bersatu kembali, Sari. Turutilah permintaanku kali ini, Sari, demi kebaikanmu sendiri, kebaikan mas Jarot, dan juga kebaikanku!"
Sekarsari berjebi dengan pandang menghina.
"Hm, kau hendak menebus dosa dengan jasa baik? Tapi ketahuilah, Raras, usaha yang dipaksakan bukanlah jasa baik lagi, dan dosamu takkan tertebus demikian mudah."
Maduraras menundukkan muka karena kata-kata itu menikam jantungnya, kemudian ia menghela napas.
"Sari, kau benar. Aku memang ingin menebus dosa, ingin melihat mas Jarot bahagia dan juga ingin melihat kau bahagia pula, Sari. Tapi, agaknya kau tidak suka, Sari. Salahkah dugaanku bahwa kau mencintai mas Jarot? Benar-benarkah kau begitu rendah budi dan lebih memberatkan kedudukanmu sebagai sekar kedaton daripada pertalian kasihmu dengan mas Jarot?"