Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Aku juga tidak dapat yakin akan hal ini kalau tidak terdapat bukti-bukti, Jarot. Dapatkah kau membuktikan bahwa gadis ini benar-benar puteri yang hilang itu?"
Jarot berpaling kepada Bratadewi dan berkata,
"Gusti Ayu, dapatlah kiranya paduka ingat tanda-tanda yang ada pada tubuh puteri paduka yang hilang itu dan yang kiranya dapat dijadikan bukti bahwa gadis inilah puteri paduka? Dan tidakkah jiwa seorang ibu itu lebih dapat merasakan untuk mengenal anak sendiri?"
Bratadewi termenung sambil memandang wajah Sekarsari. Ia tak ragu-ragu lagi, tapi apakah buktinya? Ia mengingat-ingat. Jarot berkata lagi,
"Jika kiranya gusti ayu tak dapat mencarikan tanda bukti, hamba masih mempunyai jalan, yakni hamba akan menangkap penculik-penculik itu dan memaksa mereka mengaku!" Sambil berkata demikian Jarot memandang tajam ke arah Tumenggung Suryawidura.
Tumenggung tua itu kebetulan memandang ke arah Jarot dan ketika mata mereka bertemu pandang, Tumenggung Suryawidura tiba-tiba menjadi pucat karena pandangan mata Jarot menudingnya dengan kata-kata,
"Kaulah penculiknya!"
Tumenggung Suryawidura menjadi gugup dan sambil memandang lemah kepada Bratadewi ia berkata,
"Angger Bratadewi, cobalah ingat-ingat barangkali kau masih ingat akan tanda-tanda anakmu dulu." Suara ini bagi Bratadewi mengandung permohonan dan belas kasihan.
Tiba-tiba biung emban yang selalu berada di belakang Bratadewi untuk melayaninya, berbisik perlahan,
"Gusti ayu, bukankah puterl kita dulu ada tanda tembong biru ditelapak kaki kirinya?"
Maka teringatlah Bratadewi dan cepat-cepat ia berkata kepada Sri Sultan.
"Puteri kita yang hilang dulu mempunyai tanda tembong biru di telapak kakinya yang kiri!"
"Betulkah?"
Wajah Sultan Agung menjadi gembira, sementara itu Sekarsari yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka dengan perhatian mendalam, tiba-¬tiba melepaskan dirinya dari Ki Galur dan langsung berlutut memeluk kaki Bratadewi sambil menyebut dengan suara gemetar,
"Kanjeng ibu........" alangkah sedapnya sebutan itu bagi Sekarsari dan Bratadewi.
Namun kesabaran Bratadewi sudah cukup teruji selama belasan tahun itu hingga ia tidak buru-buru mengutarakan perasaan harunya, namun dengan halus ia pegang kaki Sekarsari dan membalikkan telapak kaki kirinya. Betul saja, ditengah telapak kaki itu terdapat tanda belang warna biru yang bundar. Sekarang, Bratadewi tak dapat menahan gelora hatinya lagi. Ia peluk Sekarsari dan menggunakan kedua tangan untuk memegang kepala gadis itu, menatapnya dan memandanginya bagaikan seorang memandangi barang pusaka yang tak ternilai harganya.
Sekarsari membiarkan saja mukanya dipegang dan dipandang oleh ibunya, ia balas memandang dan dua wajah yang sama bentuknya itu saling pandang dengan mesra. Perlahan-lahan dari dua pasang mata itu mengalirlah air mata dan bagaikan tertarik oleh besi sembrani mereka saling peluk dan saling cium sambil menangis.
"Anakku....... anakku..... berilah hormat kepada ramamu."
Sekarsari memandang Sultan Agung yang merasa terharu juga.
"Anakku, majulah kemari...." kata Sri Sultan.
Sekarsari maju dan berlutut mencium ujung jari tangan Sultan Agung yang diulurkan.
"Kanjeng rama, hamba menghaturkan sembah bakti....."
Sultan Agung dengan mesra mengusap-usap rambut Sekarsari, sebagaimana tadi dilakukan oleh Ki Galur yang kini memandang kesemuanya itu dengan bibir gemetar dan air mata mengucur membasahi pipinya yang kempot.
"Amangkurat, tidak salah lagi, dia ini adikmu, dia adalah Susilawati yang dulu hilang diculik orang. Ah, baiknya Jarot segera datang membuka rahasia ini, kalau tidak...."
Amangkurat menyembah.
"Kanjeng rama, hampir saja hamba membuat dosa besar. Ah, hamba menyesal dan malu, rama, perkenankan hamba mengundurkan diri."
Ayahnya memberi perkenan dan calon pengantin yang urung kawin itu kembali ke dalam kamarnya dengan murung dan kecewa. Dendamnya kepada Jarot makin menjadi, karena ia menganggap Jarot telah menghancurkan kebahagiaannya, menghalangi cita¬-citanya.
Sultan Agung berkata kepada Jarot,
"Jarot, kini aku tahu mengapa kau sampai berani berlaku kurang ajar dan lancang. Ternyata kau benar dan kami berterima kasih kepadamu. Tapi, tadi kau bilang bahwa kau dapat menangkap penculik puteri kami, coba terangkan, siapakah penculik-penculik hina dina itu?"
Jarot memandang Tumenggung Suryawidura yang tampak gemetar ketakutan, tapi ketika ia mengerling ke arah Bratadewi, ia melihat puteri itu menggelengkan kepala.
"Perlukah hamba menyebutkan nama-nama penculik itu, gusti?"
Biarpun pertanyaan ini ia ajukan kepada Sultan Agung, tapi sebenarnya ia maksudkan minta perkenan dari Bratadewi. Puteri inipun tahu akan maksudnya, maka segera ia berkata,
"Jarot, kurasa tak perlu kau sebutkan nama mereka. Janganlah kegirangan ini ternoda oleh pengaliran darah, biarpun hanya darah penculik-penculik hina. Tuhan telah memberi kurnia kepadaku dengan mempertemukan aku dengan anakku. Kurnia sebesar ini harus dibalas dengan amal perbuatan, maka biarlah amal pertama kulakukan dengan mengampuni mereka yang telah menculik anakku beberapa belas tahun yang lalu!"
Sultan Agung kagum mendengar ucapan selirnya itu dan menyetujui pendapatnya. Maka berdatanganlah para selir dan pembesar memberi selamat kepada orang tua dan anak yang telah bertemu kembali itu.
Diantara sekalian pemberi selamat, Tumenggung Suryawidura dan anaknya yang juga menjadi selir Sri Sultan yaitu Maduningrum, memberi selamat dengan mesra dan terharu sekali. Bahkan Maduningrum memeluk dan menciumi ibu dan anak itu. Ketika memeluk Bratadewi, Maduningrum berbisik di telinganya,
"Terima kasih, Dewi."
Hanya tiga orang saja yang tahu atau sedikitnya dapat menduga bahwa Maduningrum dan ayahnyalah yang dulu menculik Susilawati yang sekarang bernama Sekarsari. Ketika itu Sultan Agung belum menjadi raja, tapi sudah mempunyai beberapa orang selir.
Diantaranya yang paling dicinta adalah Bratadewi dan Maduningrum. Tapi selir kedua ini terdesak ke pinggir oleh Bratadewi karena terlahirnya seorang puteri. Maduningrum merasa iri hati karena ia sendiri tidak mempunyai anak. Ia khawatir kalau-kalau cinta suaminya akan dicurahkan seluruhnya kepada Bratadewi dan ia dilupakan. Maka timbullah niat buruk di hatinya. Dan dalam hal ini dibantu oleh ayahnya yang gila kedudukan.
Kebetulan pada waktu itu disitu terdapat seorang perampok jahat bernama Surobalelo yang terkenal karena perampok yang berani ini seringkali membawa anak buahnya untuk mengacau di kota raja!
Kesempatan dengan adanya perampok ini digunakan oleh Maduningrum dan Tumenggung Suryawidura untuk menyuruh kaki tangannya menyerang biung emban yang mengasuh Susilawati dan menculik anak itu. Tentu saja hal ini lalu dihubungkan dengan perampok Surobalelo dan semua orang, termasuk Sultan Agung sendiri, menyangka bahwa penculikan itu adalah perbuatan anak buah perampok itu.
Baiknya kaki tangan Suryawidura yang disuruh menculik anak itu masih menaruh belas kasihan dan tidak melempar tenggelam anak itu begitu saja ke dalam bengawan tapi memasukkan anak itu ke dalam sampan kecil dan melepaskan sampan bergerak mengikuti aliran air. Akhirnya Ki Galurlah yang menemukan dan memelihara anak itu. Kemudian Sultan Agung berkata kepada Jarot,
"Jarot, semenjak kau datang banyak hal telah kau lakukan, sayang sekali tidak semua hal itu baik. Kau telah membela Mataram, kau telah berjasa dengan mempertemukan kembali kami dengan Susilawati, tapi ada juga hal-hal kurang baik yang kau perbuat. Misalnya perkelahian-perkelahianmu itu sungguh menggelisahkan kami. Paman tumenggung telah melaporkan kepadaku akan hal perkelahianmu dengan Bahar hingga menewaskan jiwa Bahar. Namun, mengingat bahwa Bahar tewas di ujung pusakanya sendiri, kami berpendapat bahwa kau hanya membela diri, dan hal inipun diperkuat pula oleh keterangan Maduraras adik Bahar yang menjadi saksi perkelahian itu. Maka, melihat sikap Maduraras yang membelamu dan atas persetujuan paman tumenggung, kami bermaksud memberikan Maduraras untuk menjadi kawan hidupmu. Bagaimana pendapatmu, Jarot?"
Jarot menggigit bibirnya dengan bingung dan diam¬-diam ia mengerling ke arah Sekarsari yang memandangnya tak acuh.
"Kau boleh menerima usul ini dengan gembira, Jarot," kata Bratadewi dengan ramah. "Aku dapat meyakinkan kau bahwa Maduraras adalah seorang gadis yang baik, biarpun aku baru sekali bertemu dengan dia. Juga, untuk jasamu mempertemukan aku dengan anakku, katakan saja apa yang hendak kau minta, tentu akan kuberikan padamu!"
Untuk sesaat Jarot tak dapat menjawab, hanya menundukkan muka dengan hati sedih. Kemudian ia menyembah dengan hormatnya dan berkata perlahan,
"Hamba menghaturkan beribu terima kasih atas perhatian dan budi kecintaan gusti sultan dan gusti ayu. Sesungguhnya seorang gunung yang bodoh dan tak berharga seperti hamba ini sekali-kali tidak pantas mendapat kurnia paduka. Bukanlah hamba menampik kurnia paduka yang hendak menjodohkan hamba dengan puteri yang terhormat dari gusti tumenggung, tapi sesungguhnya hamba tidak ada keinginan untuk beristeri. Juga kepada gusti ayu yang hendak memberi hadiah kepada hamba, bukan hamba tidak menghargai maksud yang mulia itu, tapi hamba tidak berani meminta sesuatu karena sebenarnya jasa apakah yang telah hamba lakukan? Sebaliknya hamba telah berdosa dan menghalangi dan mengacaukan kebahagiaan puteri paduka, Gusti Roro Sekar..... eh, Susilawati. Jika diperkenankan, hanya satu hal yang hendak hamba ajukan sebagai permohonan."
"Apakah permintaanmu itu? Katakanlah,” Sultan Agung bertanya.
“Tak lain yang hamba mohon ialah keris pusaka Margapati."
Sultan Agung terheran,
"Jarot, mengapa kau suka sekali akan keris itu? Mengapa kau tidak memilih lain pusaka? Disini banyak sekali pusaka-pusaka ampuh yang lebih baik daripada keris Margapati itu."
"Memang tidak keliru sabda paduka, gusti. Tapi, hamba berada di Mataram ini sebenarnya ada hubungannya dengan keris itu. Hamba telah menerima tugas untuk menjaga agar keris itu tidak menimbulkan bencana di kerajaan paduka. Kini, karena hamba hendak pergi, akan amanlah hati hamba jika keris maut itu hamba bawa serta."
Mendengar kata-kata terakhir ini, Sekarsari memandang wajah Jarot dan pada matanya terbayang kekecewaan besar.
"Pergi? Jadi kau hendak pergi meninggalkan Mataram, Jarot?"
"Betul, gusti. Besok pagi hamba hendak meninggalkan Mataram dan pulang ke tempat asal hamba, jika paduka perkenankan."
Sultan Agung menghela napas.
"Aku tak dapat menghalangi kehendakmu, Jarot, sungguhpun kusayangkan sekali kamu ini. Baiklah, besok pagi-pagi akan kukirim keris Margapati padamu."
Setelah menyembah dan menghaturkan terima kasih, Jarot pamit undur. Sekarsari memandang kepergian pemuda itu dengan mata mengembeng air mata. Hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Sultan Agung yang waspada dan Bratadewi yang memperhatikan puterinya. Keduanya bertukar pandang dengan penuh pengertian. Pada saat itu, Ki Galur maju menyembah pula dan mohon diri dengan kata-kata terharu,
“Hamba..... hamba juga mohon diperkenankan pulang, gusti, karena..... karena hamba tidak..... tidak diperlukan lagi kiranya dan..... dan hamba ingin berkumpul dengan gus Jarot untuk saat terakhir ini....."
Orang tua itu tak berani memandang ke arah Sekarsari karena ia yakin bahwa sekali pandang saja akan hancurlah hatinya dan ia takut kalau-kalau ia takkan dapat mengendalikan perasaannya.
Sultan Agung berkata ramah,
"Baiklah kalau kau hendak pulang dulu, tapi kau takkan kulepas begitu saja, paman. Mulai besok, setelah Jarot berangkat, kau tinggal saja disini menjadi juru taman hingga kau akan selalu dekat dengan Susilawati."
Mata orang tua itu bersinar dan ia memandang kepada Sultan Agung dengan penuh rasa terima kasih. Ketika Ki Galur menyembah lagi dan hendak mundur, tiba-tiba Sekarsari memburu dan memeluknya,
"Ayah..... ayah....." bisiknya.