Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Aji ini hanya baik untuk menakut-nakuti anak-anak saja, paman kyai!"
Marahlah Kyai Sidik permono mendengar ini. Ia menggunakan jari tangannya menunjuk kepada Jarot dan pada saat itu juga siluman itu menubruk ke arah Jarot dengan gerengan hebat. Tapi Jarot sudah siap. Kedua matanya mengeluarkan cahaya tajam dan sambil mengucap,
"Asal kayu kembali menjadi kayu" ia memukul dada siluman itu.
Ajaib! Sambil berteriak kesakitan siluman itu lenyap ditelan bumi dan di atas tanah menggeletak potongan gagang tombak yang lenyap tadi. Kyai Sidikpermono merasa penasaran dan berkali-kali ia matak aji dan mencipta siluman-siluman dari batu, daun, dan tanah, tapi selalu Jarot dapat memunahkan dengan mudah!
Akhirnya Kyai Sidik permono mengalah.
"Raden Jarot, sungguh kau gagah. Aku mengaku kalah. He, para perajurit Lasem, dengarlah. Aku Kyai Sidikpermono bukan tak kenal kewajiban dan tidak mau membantu perjuangan kalian tapi hari ini aku dikalahkan oleh Raden Jarot. Aku telah membantu tapi gagal. Perkenankan aku kembali ke gunungku!"
Dan pertapa itu lalu meninggalkan medan pertempuran dengan langkah lebar, diikuti pandangan kecewa oleh para perajurit Lasem. Maka pecahlah pertempuran hebat. Tapi karena seperginya pertapa sakti itu semangat perajurit Lasem telah mengurang, mana mereka dapat menahan serbuan bala tentara Mataram yang bersemangat baja dan terpimpin oleh panglima-panglima gagah perkasa.
Terutama Jarot di atas Nagapertala merupakan lawan berat hingga dimana saja pemuda itu tiba dengan kudanya, disitu bergelimpangan mayat tentara musuh. Akhirnya, tanpa dapat mengadakan perlawanan yang berarti, Lasem jatuh ke dalam tangan bala tentara Mataram dengan mudah.
Barisan Mataram pulang dengan gembira sebagaimana biasa tentara menang perang. Ketika memasuki kota raja, matahari telah naik tinggi. Jarot dan Nagapertala merasa lelah, terutama kuda itu yang telah lari tiada hentinya sepanjang malam. Tubuhnya yang kuat menjadi licin karena peluh dan ketika Jarot menghentikannya di depan pondok Ki Galur, dari punggung dan mulut Nagapertala keluar uap putih.
Jarot heran melihat kampungnya sunyi. Pondok Ki Galur tertutup pintunya. Ia cepat meloncat turun dari punggung kudanya dan mengetuk pintu, lalu berjalan memutar dari belakang. Namun ternyata bahwa pondok itu kosong. Ketika ia sedang berdiri termenung di depan pondok, tiba-tiba seorang tetangga menegurnya,
"He, Den-mas Jarot, kau baru kembali?"
Jarot bagaikan tak mendengar teguran orang dan balas bertanya,
"Paman, kemanakah mereka pergi?"
Kakek yang ditanyanya tersenyum.
"Kau maksudkan Ki Galur dan Sekarsari? Belum tahukah kau? Pagi tadi mereka pindah ke keraton!"
Terkejutlah hati Jarot.
"Ke keraton? Mengapa??"
"Eh, bukankah Sekarsari diboyong oleh pangeran? Hari ini pesta kawinnya," jawab kakek itu dengan heran melihat perobahan muka Jarot.
"Apa katamu? Sekarsari diboyong oleh pangeran? Celaka!"
Lalu tanpa memperdulikan kakek yang menjadi heran dan memandangnya dengan mata terbelalak itu, Jarot cemplak kudanya lagi dan membalapkan Nagapertala menuju ke istana.
Benar saja, gapura-gapura di alun-alun telah dihias indah. Banyak orang hilir mudik memasuki gerbang halaman keraton sambil membawa barang-barang antaran untuk memberi selamat. Bunyi gamelan menggema sampai ke alun-alun. Hati Jarot makin berdebar dan tubuhnya yang telah lelah gemetar di atas kuda. la tidak turun dari kuda seperti biasa kalau orang hendak menghadap ke istana, tapi terus saja memasuki pintu gerbang dengan Nagapertala.
Banyak orang mengikutinya dari belakang karena semenjak memasuki alun-alun, orang-orang telah heran melihat Jarot membalapkan kudanya hingga hampir-hampir menabrak orang-orang yang berada disitu. Penjaga pintu gerbang dengan tombak di tangan hendak mencegah Jarot memasukkan kudanya, tapi ketika penjaga itu melihat Nagapertala dan Jarot yang pada saat itu berwajah menyeramkan, ia mundur ketakutan!
Jarot meloncat turun dan lari ke dalam istana, melewati beberapa orang pengawal keraton yang tak kuasa mencegahnya karena merasa segan dan takut menghalang-halangi pemuda yang terkenal gagah berani itu.
Pada saat itu, di ruang pesta sedang sibuk diadakan upacara sebagaimana layaknya jika pangeran atau pembesar lain mengawini seorang gadis untuk menjadi selirnya.
Sekarsari duduk di atas sebuah bangku dalam pakaian pengantin yang indah dan rambut kepalanya terhias bunga-bunga dan cunduk beraneka warna dan ragam. Gadis itu duduk diam dan menundukkan kepala. Pangeran Amangkurat dengan wajah gembira dan lagak gagah duduk di sampingnya.
Karena hendak memenuhi syarat dan permintaan Sekarsari, maka perkawinan itu diadakan secara sah dan dalam upacara itu dihadiri pula oleh Sultan Agung sendiri dan oleh semua penghuni istana!
Peristiwa ini adalah luar biasa karena belum pernah seorang selir diboyong ke keraton dengan upacara demikian resmi bagaikan mengawini seorang isteri atau permaisuri saja. Pada saat Upacara mencuci kaki pengantin pria dilakukan, dan Sekarsari sudah berjongkok dengan bokor kencana berisi air kembang, tiba-tiba seorang pemuda meloncat memasuki ruang itu dan suaranya keras menggema,
"Batalkan perkawinan ini!"
Sultan Agung tak senang melihat sikap Jarot ini. Dengan perlahan Sultan berdiri dan berkata tenang,
"Jarot, alangkah kurang ajar kamu!"
Jarot kaget mendengar suara Sri Sultan, karena tidak disangkanya sama sekali bahwa Sultan Agung berada pula di situ. Buru-buru ia maju berlutut dan menyembah.
"Ampunkan hamba, gusti, hamba mengaku telah berlaku lancang, tapi mohon perkawinan ini ditunda dulu dan sudi kiranya paduka mendengar keterangan hamba."
Sultan Agung memberi tanda agar upacara ditunda sebentar dan sepasang mempelai duduk kembali di kursinya. Sekarsari menundukkan kepala makin dalam hingga dagunya menempel di dada, sedangkan Pangeran Amangkurat duduk dengan perasaan tegang dan memandang ke arah Jarot dengan marah.
"Sekarang, sebelum kau bicara tentang sebab-sebab kelakuanmu yang aneh ini, terlebih dulu ceritakanlah tentang hasil bala tentara Mataram. Kau baru kembali dari Lasem, bukan?"
Jarot merasa terpukul dan malu kepada diri sendiri. Nyata bahwa Sri Sultan yang bijaksana itu jauh lebih mementingkan persoalan negara daripada persoalan--persoalan pribadi yang remeh. Maka dengan singkat ia menuturkan tentang kemenangan bala tentara Mataram di Lasem dan bahwa barisan sedang menuju pulang. Wajah Sultan Agung berseri mendengar hasil baik ini, demikianpun seisi ruangan, disana-sini terdengar tarikan napas lega.
"Untung bagimu kau membawa kabar baik, Jarot. Hal ini setidaknya mengurangi pengaruh buruk dari sikap dan tindakanmu yang lancang tadi. Nah, sekarang katakanlah terus terang, mengapa kau berani mengganggu upacara perkawinan pangeran,"
"Ampunkan hamba, gusti. Kalau tidak ada sesuatu yang akan mendatangkan aib dan mencemarkan nama baik kerajaan, tidak sekali-kali hamba berani mengganggu perkawinan ini. Tapi ada satu hal pelik yang harus paduka ketahui tentang diri pengantin wanita."
Terdengar suara-suara bisikan memenuhi ruang itu, Sekarsari mengangkat kepala sekejap lalu menunduk kembali, sedangkan pangeran memandang penasaran.
"Jarot, kau sungguh berani mati. Jangan kau berani mengganggu nama baik Sekarsari!"
Pangeran membentak marah dan mencabut keris, tapi dengan sinar matanya Sultan Agung melarang puteranya, hingga pangeran terduduk kembali dengan muka merah dan pandangan mata penuh kebencian.
"Jarot, apa maksudmu?" Sri Sultan bertanya.
"Gusti Sultan," Jarot berkata dengan suara keras dan tetap hingga terdengar jelas oleh semua yang hadir, "sesungguhnya, gusti pangeran adalah masih kakak sendiri dari mempelai wanita!"
Semua orang terkesiap dan untuk sejenak keadaan di ruang itu sunyi. Semua mata tertuju kepada sepasang mempelai itu yang kini saling pandang dengan heran. Sri Sultan memandang Jarot dengan heran dan tak senang, lalu cepat bertanya,
"Apa katamu? Alasan apa yang kau pakai untuk memperkuat omongan ini?"
"Hamba persilakan Gusti Ayu Bratadewi tampil ke depan."
"Eh-eh, apa maksudmu?" sri Sultan makin terheran.
"Hamba hendak memperlihatkan bukti, gusti," jawab Jarot tabah.
Bratadewi yang hadir pula disitu dan yang sejak tadi sudah mendengar ucapan Jarot dengan hati berdebar, segera maju ke depan dan berlutut di depan Sri Sultan.
"Sekarang hamba mohon juga supaya mempelai wanita dipersilakan duduk di dekat Gusti Ayu Bratadewi dan membuka penutup mukanya supaya paduka dapat memeriksa persamaan mereka," kata Jarot.
Sekarsari yang sejak tadi memandang wajah Bratadewi dengan terkejut dan heran, mendengar kata-¬kata Jarot ini, tanpa menanti perintah lagi dari Sri Sultan lalu maju dan berlutut di depan Sultan Agung sambil membuka penutup wajahnya.
Sultan Agung terbelalak melihat wajah Sekarsari karena gadis yang sedang menyembah ini tiada bedanya sedikitpun dengan Bratadewi ketika masih gadis dan yang pernah menggoncangkan dan mencuri hatinya. Juga lain-lain orang yang berada di ruang itu menahan napas karena baru sekarang mereka dapat melihat persamaan wajah kedua wanita itu.
Bratadewi sendiri memandang dengan tercengang dan muka pucat. Wanita setengah tua yang cantik ini menekan dada dengan kedua tangan dan bibirnya gemetar.
"Apa artinya ini?" kata-kata ini diucapkan hampir berbareng oleh Sultan Agung dan Bratadewi.
"Gusti Sultan, kalau hamba tak salah sangka, bukankah dulu beberapa belas tahun yang lalu, Gusti Ayu Bratadewi telah kehilangan puterinya yang masih kecil? Bukankah puterinya itu hilang tak meninggalkan jejak dan tak tentu rimbanya?"
"Benar, benar......... kau maksud gadis ini........." Bratadewi bertanya sambil memandang tajam kepada Sekarsari yang juga memandangnya.
"Sabar, gusti, hamba sendiripun belum tahu pasti karena belum tahu duduknya peristiwa, Tapi ada seorang yang akan dapat memecahkan rahasia ini."
"Siapa dia?" Sultan Agung bertanya cepat.
"Bukan lain ialah paman Galur yang kebetulan hadir pula disini."
Kini semua mata tertuju kepada Ki Galur yang menjadi pucat dan tubuhnya gemetar karena kini terbukalah matanya akan kemungkinan dan kenyataan yang luar biasa ini.
"Ki Galur, majulah kesini dan ceritakanlah sejujurnya, siapakah sebenarnya Sekarsari yang kau aku sebagai anakmu."
Ki Galur maju dan menyembah, lalu bercerita.
"Ampunkan, gusti, tadinya hamba sama sekali tidak ada persangkaan sedikitpun bahwa Sari mempunyai hubungan dengan dalam keraton. Memang, hamba bukanlah ayah Sekarsari....." suaranya terdengar lemah terharu hingga Sekarsari maju menubruk padanya.
"Ayah..."
Ki Galur mengusap-usap rambut anaknya dan membiarkan gadis itu menangis sambil menyandarkan kepala di pundak ayahnya.
"Tujuh belas tahun yang lalu, ketika hamba dan bini hamba sedang menjala ikan di bengawan pada senja hari, tiba-tiba hamba mendengar tangis seorang anak kecil. Ternyata anak itu berada dalam sebuah sampan kecil yang hanyut terapung-apung di tengah bengawan. Hamba berdua segera menolongnya dan ternyata dalam sampan itu terdapat seorang anak perempuan berusia kurang lebih satu tahun. Pada waktu itu juga hamba hendak melaporkan hal itu kepada yang berwajib, tapi bini hamba melarangnya karena kami memang tidak punya anak dan dia sayang sekali melihat anak yang cantik itu. Sayang sekali setahun kemudian bini hamba terkena penyakit dan meninggal dunia, hingga hamba harus memelihara anak itu seorang diri. Anak itu ialah Sekarsari yang hamba anggap sebagai anak sendiri. Sekali-kali hamba tidak tahu dan tidak ada persangkaan bahwa anak itu datang dari keraton, kalau demikian halnya tentu hamba takkan berani tinggal diam saja. Maka ampunkanlah hamba, gusti."