Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Eh-eh, Sari. Mengapa kau memaki orang? Kau ini siapakah maka mau menghina orang seenaknya dan mau menang sendiri saja?" tegurnya.
Sekarsari makin marah.
"Kau mau tahu aku siapa? Majulah! Kalau sudah kurobek mulutmu baru kau tahu aku siapa!" Dan dengan sikap mengancam Sekarsari maju hendak menyerang.
Sulastri cepat memisah mereka.
“Sudahlah, sudahlah, Sari, maafkan Maduraras kalau kau anggap dia menggodamu. Kenapa kau sekarang mudah sekali marah, Sari, Ada apakah? Sakitkah kau?" pertanyaan ini diucapkan oleh Sulastri dengan halus sambil pegang pundak gadis yang sedang marah itu hingga lenyaplah kemarahan dari hati Sekarsari, terganti oleh rasa sengsara hati. Sekarsari tutup muka dengan kedua tangan lalu menangis sedih.
"Sari, maafkan aku..... aku berdosa padamu...."
Maduraras berkata lirih sambil peluk Sekarsari, lalu ia naik ke atas tebing dan lari meninggalkan tempat itu, membuat Sulastri heran sekali, karena ia sama sekali tidak mengerti akan sikap ini.
Sehari itu Sekarsari tak dapat bekerja seperti biasa. Hatinya terlalu sakit dan pikirannya terlalu bingung. Mengapa ia harus marah kepada Maduraras dan seakan-¬akan mengukuhi Jarot sebagai hak miliknya? Berhak apakah ia atas diri pemuda itu? Cintakah Jarot padanya? Belum pernah pemuda itu menyatakan cinta padanya dengan kata-kata, walaupun sikap dan perhatian Jarot terhadapnya tak meragukan lagi.
Tiba-tiba Sekarsari tersadar dari lamunan ketika mendengar ringkik kuda dari jauh. Itu ringkik Nagapertala tak salah lagi! Maka berlari-larilah ia ke arah bunyi itu datang. Tapi setelah bunyi kaki kuda terdengar dekat, ia merasa malu untuk menyambut kedatangan Jarot sedemikian rupa. Bagaimana kalau sampai terlihat oleh Maduraras atau Sulastri? Alangkah akan malunya dia!
Pikiran ini mendorongnya untuk menyelinap ke dalam kegelapan bayang-bayang pohon. Matanya tajam memandang bayangan orang dan kuda yang makin mendekat. Hampir saja ia perdengarkan seruan terkejut ketika kuda itu lewat perlahan, tak salahkah penglihatannya? Tak mungkin! Jelas tampak olehnya Maduraras duduk di depan Jarot dan gadis itu sandarkan kepalanya di dada Jarot. Biarpun cuaca sudah mulai gelap, namun masih tampak olehnya betapa Maduraras menangis perlahan dan betapa muram tampak wajah Jarot!
Sekarsari tak merasa lagi detak jantungnya yang seakan-akan berhenti. Dadanya menjadi panas seakan-¬akan hendak meledak. Pipinya terasa terbakar dan kepala pening. Cepat-cepat ia berpegang pada dahan yang tergantung rendah untuk mencegah tubuhnya yang limbung dan akan roboh itu. Jiwanya menjerit, hatinya hancur. Setelah dapat kumpulkan kekuatannya kembali, perlahan-lahan ia berjalan terseok-seok kembali ke pondoknya.
Tapi Sekarsari adalah seorang gadis yang berhati kuat dan pada dasarnya ia berwatak angkuh dan tinggi hati. Biarpun merasa sengsara dan sangat bersedih, tak sudi ia memperlihatkan sikap lemah dan ia mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan kehancuran hatinya kepada Jarot.
Sebelum masuk pondok, ia pergi ke belakang rumah dan mencuci mukanya dari bekas air mata dengan air persediaan di gentong. Kemudian ia masuk rumah, dan menyiapkan hidangan malam untuk ayahnya dan Jarot seperti biasa.
KI Galur yang cukup mengenal watak dan keadaan gadisnya, maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa pada diri Sekarsari. BELUM pernah ia melihat Sekarsari berwajah seperti itu, muram dan dingin. Ia tahu akan perasaan hati Sekarsari terhadap Jarot, bahkan ia merasa bersyukur kalau anak gadisnya dapat menjadi isteri Jarot, pemuda yang ia kagumi itu. Tentu kemuram-durjaan itu ada hubungannya dengan Jarot, pikir Ki Galur. Dipanggilnyalah anaknya mendekat dan mereka duduk diatas sebuah bale-bale.
"Sari, kulihat kau mempunyai ganjelan hati. Apakah yang kau sedihkan, nak?"
Sekarsari menggigit bibirnya dan sambil menunduk ia menggeleng kepala. Kemudian, bibirnya bergerak perlahan dan berkata lirih,
"Tidak apa-apa, ayah."
Ki Galur memandang wajah yang menunduk itu dengan penuh perhatian dan kasih sayang, lalu berkata perlahan, suaranya penuh kesabaran,
"Sari, aku sudah tua, nak. Harapanku satu-satunya hanya ingin melihat kau berbahagia dan kalau mungkin..... sebelum aku mati, aku ingin sekali melihat kau..... kau duduk di samping gus Jarot sebagai isterinya."
Sekarsari mengangkat muka dan memandang wajah ayahnya dengan terharu, ia tahan-tahan hatinya, tapi kemudian bagaikan ada yang mendorongnya dari belakang ia menubruk ayahnya dan menjatuhkan kepala di atas pangkuan Ki Galur sambil menangis terisak-isak.
"Ayah..... ayah....." suaranya membisikkan rintihan hatinya yang terluka.
Ki Galur terkejut. Ia mengusap-usap rambut yang lebat halus di kepala anaknya sambil menghela napas dan diam-diam ia menyapu kering dua butir air mata yang menetes turun dari pelupuk matanya.
"Sari, anakku, apakah yang terjadi antara kau dan gus Jarot? Bercekcokkah kalian?"
Kembali Sekarsari menggeleng kepala.
"Dia....... dia..... cinta kepada Maduraras, ayah…”
"Apa? Gadis yang ditolongnya itu? Ah, tak bisa jadi. Itu hanya dugaanmu saja. Gus Jarot bukanlah macam pemuda yang mudah jatuh hati."
Sekarsari tak menjawab, hanya menangis terisak-isak. Ia merasa terhibur oleh kata-kata ayahnya dan dipangkuan ayahnya ia merasa aman.
"Sari, kau cinta kepada gus Jarot, bukan?"
Sekarsari gerakkan kepala mengangguk perlahan tanpa melihat ayahnya.
"Dan.,,, dia belum melamarmu?"
Kembali gadis itu menggeleng kepala, lalu berkata malu-malu dan perlahan,
"Kalau melamar juga tentu kepadamu, ayah, bukan langsung padaku."
Ki Galur menghela napas.
"Aah, sebetulnya sudah waktunya bagi gus Jarot untuk mengajukan lamaran. Biarlah, Sari, nanti kalau dia datang, aku akan bicarakan urusan ini dengan dia."
Serentak Sekarsari bangun dan memandang ayahnya.
"Apa? Ayah hendak bicara padanya tentang aku? Tidak, tidak! Jangan kau lakukan hal itu, ayah!"
Ki Galur memandangnya heran.
"Kenapa, Sari?"
"Perlukah kita merendah sedemikian rupa? Jangan, ayah, aku tidak sudi ditawar-tawarkan, aku tak sudi memaksa dia mengawiniku! Aku tidak sudi seperti Maduraras, memikat-mikat hatinya!"
Dan dengan marah Sekarsari lari ke dalam biliknya. Ia tidak keluar lagi biarpun ia mendengar Jarot datang dan makan bersama ayahnya. Ia mendengarkan baik-baik, siap untuk mencegah dan membantah, jika ayahnya menawarkan dirinya. Tapi Ki Galur cukup kenal wataknya yang keras. Orang tua itu hanya bercakap-cakap tentang soal biasa dan tidak menyinggung-nyinggung dirinya. Penutup percakapan mereka adalah sebuah pertanyaan dari Jarot,
"Sari kemana, paman? Aku tidak melihatnya sejak tadi."
Pertanyaan itu dijawab oleh Ki Galur sambil lalu,
"Ia sudah tidur. Agak pusing barangkali, atau terlampau lelah."
Dan Jarot tak berkata apa-apa lagi, lalu masuk ke biliknya. Malam itu keadaan Jarot dan Sekarsari sama. Mereka gelisah dan tak tenang. Baik Sekarsari maupun Jarot tak dapat meramkan mata barang sesaat.
Hawa malam itu panas. Agaknya mendung tak juga mau memberi jalan kepada air yang hendak menghujan. Setelah dapat menenteramkan pikiran dan agak mereda gelisahnya, Jarot merasa betapa panas hawa dalam biliknya dan keluarlah dia dari bilik.
Hawa di luar lebih sejuk karena angin malam bertiup perlahan bagaikan kipas raksasa yang bergerak tak tampak. Dengan tak sengaja kakinya melangkah ke arah bengawan. Cahaya ribuan bintang di langit yang suram tertutup mendung di beberapa tempat membuat pohon-pohon tampak bagaikan raksasa-raksasa mengerikan menghadang di tengah jalan. Ketika tiba dekat bengawan, tiba-tiba Jarot mendengar suara seorang wanita berkata marah,
"Tidak, tidak mau!" dan suara itu disusul tangisan sedih.
Hati Jarot tercekat. Itulah suara Maduraras! Ia cepat bersembunyi di belakang alang-alang dan mengintai. Alangkah herannya ketika ia melihat bahwa Maduraras sedang duduk di atas sebuah batu sambil menangis sedih, sedangkan di depannya berdiri seorang laki-laki yang bertolak pinggang.
Ketika ia memandang tajam, ternyata bahwa laki-laki itu bukan lain ialah Raden Mas Bahar! Jarot menjadi marah sekali dan hasratnya besar sekali untuk segera meloncat dan memberi hajaran kepada laki-¬laki jahanam itu! Tapi karena ia tak melihat Bahar berbuat sesuatu yang jahat, maka ia sabarkan hati dan terus mengintai.
"Raras, apakah kau tidak mau membantu kakakmu? Bukankah di dunia ini hanya kau seorang yang mau membantuku, mau membelaku? Kalau bukan kau yang menolong, siapakah lagi, Raras? Ayah tentu tak sudi memperdulikan aku atau kau!”
"Kurang apakah aku membelamu? Kurang apakah aku membuktikan sayangku sebagai adikmu? Kau suruh aku lakukan sesuatu yang jahat, kau suruh aku bermain sandiwara, menipu mas Jarot, merusak perhubungan Jarot dan Sekarsari, kau suruh aku menghancurkan hati Sekarsari, dan semua itu telah kulakukan! Bukankah itu sudah cukup membuktikan sayangku kepadamu, mas Bahar? Tapi, untuk mencelakai jiwa mas Jarot, ah, jangan, mas. Jangan kau sekejam itu, aku..... aku tak sanggup melakukan permintaanmu ini....."
"Raras! Tak tahukah kau betapa sakit hatiku kepadanya belum juga terbalas? Aku telah dipukulnya, dihinanya, direndahkannya di hadapan Sekarsari. Kau tahu betapa rinduku kepada gadis itu. Kalau Jarot tidak disingkirkan, ia merupakan rintangan besar, Raras. Tidak maukah kau berusaha membantu kakakmu supaya terlaksana keinginanku kawin dengan Sekarsari?"
Maduraras mendengarkan dengan menunduk dan masih terisak-isak. Sementara itu Jarot seakan-akan mendengar suara setan-setan berbicara dari neraka ketika ia mendengar percakapan itu. Demikian jahatkah Maduraras? Jadi selama ini, semua perbuatan gadis jelita itu hanya pura-pura dan gadis itu telah berusaha memikatnya, agar hubungannya dengan Sekarsari terputus? Ah, jahatnya! Jarot merasa betapa tubuhnya menggigil karena marah kepada kakak beradik jahanam yang tengah bercakap-cakap di depannya itu.
"Aku sudah berusaha, kak, tapi..... apa dayaku? Kangmas Jarot tidak.... cinta padaku.... Aku tak sanggup memisahkannya dari Sekarsari....."
"Nah, kalau begitu, tiada jalan lain, Raras. Mudah saja, besok kau pergi mengunjungi mereka dan carilah kesempatan untuk menyuguhkan minuman kepada Jarot. Kau masukkan saja bubuk ini ke dalam minumannya, dan..... akan terbalaslah dendam hatiku!"
"Jangan.......! Tidak mau, mas Bahar! Aku tak sanggup!"
"Kau..... setan alas! Kau beratkan dia daripada kakakmu sendiri?"
"Bukan demikian, tapi.... aku.... aku.... mas Jarot....."
Tiba-tiba Bahar melayangkan tangan menempeleng kepala Maduraras.
"Keparat! Jadi rupa-rupanya kau jatuh cinta kepada pemuda jahanam itu, ya?"
Pada saat menerima pukulan itu, timbullah perlawanan dalam hati Maduraras. Memang sungguhpun ia sangat sayang kepada kakaknya, namun ia berani melawan jika merasa dirinya benar.
"Memang! Aku cinta padanya! Aku cinta padanya! Dan kaulah yang kejam, kaulah yang membuatku begini! Kalau bukan karena muslihatmu yang buruk, aku selamanya takkan kenal padanya! Sekarang aku telah mengenalnya, telah mengetahui kebaikannya, dan..... dan aku jatuh cinta. Cinta sia-sia, mas Bahar, cinta sengsara, karena dia tidak membalas cintaku! Dan aku, adikmu yang kau sayang ini sekarang menderita, selama hidup akan menderita karena kau! Ah, aku menyesal..... bunuhlah saja aku, mas Bahar....!"
"Kau juga cinta kepada Jarot? Ha ha! Sungguh gila. Kau yang menolak pinangan Pangeran sekarang jatuh hati kepada anak melarat itu?"
"Ya! Memang aku cinta pada kangmas Jarot! Ia lebih jantan daripada Pangeran, lebih jantan daripada kau, lebih bijaksana daripada siapa juga. Aku tidak malu jatuh hati padanya!"