Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Harta pemberian Sultan Agung itu oleh Jarot diberikan kepada Ki Galur untuk membuat sebuah rumah yang agak besar dan pantas. Semua ini dilakukan oleh Jarot untuk menyenangkan hati Sekarsari. Karena mengandung harapan untuk memperisteri gadis itu, maka Jarot sampai pada waktu itu tak pernah mengandung niat untuk menyelidiki lebih jauh rahasia yang menyelubungi diri Sekarsari, karena la khawatir kalau-kalau terbongkar rahasia itu akan menjauhkan Sekarsari dari padanya!
Senapati Ki Baurekso yang menghargai kejujuran merasa kagum dan sayang kepada Jarot. Panglima tua yang tadinya tidak sangat perdulikan keadaan anak muda itu, kini seringkali memanggil Jarot ke gedungnya dan kadang-kadang ia sendiri datang berkunjung ke pondok Jarot untuk bercakap-cakap.
Jarot juga menaruh hormat dan kagum kepada senapati yang gagah berani itu. Mereka suka sekali bercakap-cakap tentang ilmu kesaktian dan keperwiraan. Dalam hal ilmu batin dan ketata negaraan. Jarot diam-diam mengakui keunggulan senapati itu dan dalam hati mengakui senapati sebagai guru. Pernah Ki Ageng Baurekso bentangkan tentang cita-cita dan politik Sultan Agung kepada Jarot.
"Gusti Sultan sangat benci akan kelicikan bala tentara bule yang siwer matanya. Beliau selalu curiga dan tak pernah percaya kepada Belanda yang mendatangi Pulau Jawa, sungguhpun mereka itu manis tutur sapanya dan halus gerak-gayanya. Memang, aku sendiripun tidak suka kepada orang-orang bule siwer matanya itu. Mereka bukanlah pedagang-pedagang biasa. Mereka menghendaki tanah kita yang loh jinawi. Mereka ini berbahaya!"
Jarot yang masih hijau dalam hal keadaan tanah air, setelah mendengar ucapan ini serentak timbullah rasa bencinya kepada orang-orang asing yang bermaksud jahat Itu,
"Bagaimana cita-cita gusti Sultan?" tanyanya tertarik.
"Gusti Sultan cukup waspada dan maklum bahwa Belanda bukanlah lawan yang ringan, bahkan kuat sekali. Mereka mempunyai senjata-senjata api yang ampuh dan berbahaya sekali. Senapan-senapan dan meriam-meriam mereka bukanlah lawan tombak dan keris kita. Maka untuk melawannya, seluruh rakyat di Pulau Jawa harus bersatu-padu dan dimana-mana harus ada gerakan perlawanan terhadap Belanda hingga kerbau bule itu akan tidak betah tinggal lebih lama di pulau kita."
"Tapi, saya mendengar bahwa banyak pula adipati yang bersahabat baik dengan mereka karena kata orang, orang-orang putih bermata biru itu memberi banyak hadiah barang-barang indah," kata Jarot.
Ki Ageng Baurekso menghela napas.
"Itulah celakanya! Belanda pandai mengambil hati, pandai membujuk para adipati dan bupati untuk memberontak terhadap rajanya, untuk saling pukul. Siasat mereka yang licik ini sudah diketahui oleh gusti Sultan yang waspada, maka gusti Sultan telah menetapkan untuk mempersatukan semua adipati dan bupati, dan mulai tahun ini atau tahun depan, gusti Sultan akan mengirim bala tentara, menjelajah seluruh pulau dan mempersatukan seluruh kadipaten, memperkuat sekutu dan mentaklukkan mereka yang membangkang untuk maksud baik ini. Setelah kita bersatu-padu dan cukup kuat, barulah kita menyerang dan mengusir kerbau-¬kerbau bule itu!"
Demikianlah, sedikit demi sedikit terbukalah mata Jarot dan pandangannya akan keadaan tanah air menjadi agak terang. Ia berjanji kepada Ki Ageng Baurekso untuk membantu perjuangan Mataram,
Raden Mas Bahar, putera Tumenggung Suryawidura yang merasa dendam dan benci kepada Jarot, selalu masih ingin membalas sakit hatinya. Tapi melihat kedudukan Jarot demikian kuat ia tak berdaya dan dendamnya makin mendalam. Namun apakah yang dapat ia lakukan terhadap Jarot yang gagah itu? Tiada hentinya ia memutar otak mencari daya muslihat untuk membalas dendam dan mencelakakan Jarot, atau sedikitnya menghancurkan kebahagiaannya.
Pada suatu senja, seperti kebiasaannya tiap hari, Jarot pergi mandi di bengawan. Karena ia telah memilih dan mendapat tempat yang agak jauh dan sunyi, maka ia boleh mandi dan berenang sesuka hatinya tanpa khawatir terganggu oleh kehadiran orang lain. Sambil bersenandung gembira ia tanggalkan pakaiannya lalu terjun ke air yang sejuk dan mengalir perlahan.
Ketika ia tengah berenang hilir-mudik dengan hati senang dan perasaan segar, tiba-tiba ia melihat seorang wanita berdiri di tebing yang tinggi dan curam di pinggir bengawan. Jarot terkejut karena melihat sikap wanita itu mencurigakan sekali. Ia tengah menangis tersedu-sedu sambil menutup muka dengan kedua tangannya, kemudian ia bergerak hendak meloncat dan, membuang diri ke bawah!
Jarot kaget sekali, lalu berteriak keras.
"Hei! Tunggu dulu! Hati-hatilah!!"
Mendengar seruan ini wanita itu berpaling dan Jarot melihat wajah seorang gadis muda yang cantik. Ketika melihat ada seorang lelaki disitu, gadis itu segera ayun dirinya, terjun ke dalam air yang menerima tubuhnya dengan percikan tinggi.
"Celaka!"
Jarot berseru dan segera berenang cepat kearah dimana tubuh itu jatuh, la sama sekali lupa bahwa pada saat itu ia sedang bertelanjang bulat! Yang teringat olehnya disaat itu hanya bahwa ia harus bertindak secepat mungkin tanpa ragu-ragu lagi karena di depan ada jiwa terancam maut.
Agaknya memang belum nasibnya gadis itu harus mati di bengawan. Ketika terjun tadi kainnya mengembung dan kemasukan hingga ketika tubuhnya tenggelam yang mengembung itu menariknya kembali ke permukaan air. Hal ini memudahkan Jarot untuk mendapatkannya. Kalau saja tubuh itu tenggelam terus akan sukarlah bagi pemuda itu untuk menolongnya.
Jarot pegang lengan yang sudah lemas itu dan menarik tubuh itu sambil berenang ke pinggir. Dengan ringan ia pondong tubuh yang masih hangat dan lemah itu ke tepi, lalu dengan sekali loncat ia naik ke darat. Baru pada saat itu ia teringat dan merasa bahwa ia tak berpakaian sama sekali!
Dengan malu dan gugup ia pandang muka gadis yang berada dalam pondongannya. Tubuh gadis Itu bergerak dan mulutnya mengerang perlahan. Melihat betapa bulu mata yang lentik itu mulai bergerak gerak hendak terbuka, tanpa menanti sampai mata itu terbuka dan melihatnya, Jarot segera turunkan gadis itu dari pondongan dan meletakkan tubuh itu diatas rumput kemudian secepat kilat ia lari pergi bagaikan sedang dikejar setan!
Setelah dengan cepat memakai kembali pakaiannya, Jarot lari kembali ke tempat gadis itu dan melihat bahwa ia telah siuman dan tengah duduk dengan wajah bingung dan memandang kedatangannya dengan mata terbelalak heran.
"Siapa...... siapa kau? Dimana aku berada.....?”
Ketika melihat pemuda itu memandang ke arah bengawan dengan mulut menahan senyum, gadis itu berkata lirih,
"Oh.... sudah.....Sudah matikah aku.....?"
Jarot menghampiri dan duduk di atas rumput.
"Tidak, nona. Kau tidak mati, belum lagi. Masih hidup seperti aku.”
"Bagaimana? Apa yang terjadi?? Bukankah aku tadi....." ia pandang wajah Jarot dengan heran, lalu palingkan muka memandang ke arah bengawan.
"Memang, kau tadi terjun ke sungai untuk bunuh diri, tapi sayang terlihat olehku hingga tak mungkin aku diam saja melihat kenakalanmu itu." Jarot mencoba berjenaka.
Untuk sejenak tampak bayangan kecewa pada wajah yang cantik itu dan alis matanya yang hitam dan panjang melengkung di atas mata bintang itu bergerak-gerak; Kemudian ia menarik napas panjang.
"Jadi..... jadi aku masih hidup? Oh... mengapa kau begitu lancang dan suka mencampuri urusan orang lain?" dan tiba-tiba saja dia menangis!
Jarot bingung dengan muka bodoh! Ia memandang ke arah langit yang telah mulai gelap dan ia biarkan saja gadis itu menangis karena ia tahu bahwa menangis adalah jalan terbaik bagi seorang wanita untuk melepas sedihnya. Setelah isak tangis gadis itu mereda, Jarot bertanya,
"Kalau aku boleh bertanya, siapakah namamu dan dimana kau tinggal?"
Gadis itu gunakan sepasang mata bintangnya yang agak merah karena tangis Itu untuk menatap wajah tampan yang berada tak jauh di depannya.
"Saya Maduraras dari kampung Duku."
"Mengapa kau yang masih begini muda belia mengambil keputusan nekat dan terjun ke dalam sungai?"
Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi merah dan cepat-cepat Maduraras menundukkan muka, tapi Jarot masih sempat melihat betapa sepasang mata itu kembali mengeluarkan air mata. Gadis itu menahan isak, tubuhnya bergoyang-goyang dan tak dapat berkata-kata.
"Nona, tahanlah tangismu dan ceritakan padaku segala kesusahanmu. Segala macam kesulitan di dunia ini pasti dapat diatasi. Tiada persoalan yang tak dapat dipecahkan asalkan orang mau berikhtiar. Dan percayalah, aku takkan berlaku setengah-setengah dalam segala usahaku. Aku telah melepaskanmu dari cengkeraman maut di tengah bengawan, maka tentu aku akan melanjutkan usahaku membantu kau dan akan kucoba melepaskan kau dari segala kesulitanmu."
"Raden, siapakah kau yang begitu baik hati dan sudi memperdulikan nasib gadis sengsara seperti aku ini?"
"Namaku Jarot, nona."
"Oh.....!" Gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak heran. "Jadi raden ini adalah pahlawan gagah berani yang terkenal itu?"
"Ah, itu hanya omong kosong saja. Aku bukan pahlawan, hanya orang biasa. Nah, sekarang ceritakanlah padaku mengapa kau tadi hendak membunuh diri."
Wajah gadis yang tadinya keruh dan sedih itu setelah mendengar bahwa pemuda yang menolongnya itu adalah Jarot, kini menjadi berseri-seri dan matanya yang indah bercahaya penuh harapan. Wajah yang memang cantik itu menjadi tambah jelita hingga diam-diam Jarot menjadi kagum memandangnya.
Alangkah halus dan bersih kulit muka itu. Alangkah indah bentuk alisnya yang hitam panjang, sepasang mata yang bersinar bagaikan bintang pagi dengan bulu mata lentik panjang. Alangkah manis hidung yang bangir kecil dan bibir yang merah berbentuk gendewa terpentang itu. Potongan tubuhnya indah menarik, lebih nyata bentuknya yang menarik dengan lekuk lengkung yang menggairahkan karena pakaiannya basah.
"Raden Jarot! Setelah bertemu dengan kau, maka besarlah harapanku. Hanya kaulah agaknya yang dapat menolongku! Ibuku telah meninggal ketika aku masih kecil dan ayah kawin lagi dengan seorang janda. Ibu tiriku ini kejam sekali hingga semenjak ayah kawin, hidupku penuh derita dan sengsara, namun selama ayah masih ada, setidak-tidaknya aku masih terlindung. Celaka bagiku, beberapa bulan yang lalu ayah meninggal pula hingga nasib hidupku tergenggam dalam tangan ibu tiriku. Dan.... akhirnya hal yang paling kutakuti terjadilah. Aku..... dijual kepada Pak Demang Batuluwih,...."
"Dijual.....??" Jarot bertanya heran.
"Maksudku.... akan diserahkan sebagai selir yang entah keberapa belas, tapi karena hal ini semata-mata terjadi karena ibu tiriku menerima sejumlah uang, bukankah diriku sama saja dengan dijual?"
Jarot mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa heran dan kagum akan keberanian dan kenekatan gadis yang berani memberontak kepada kehendak ibu tirinya.
"Lalu apa yang terjadi?" tanyanya.
"Aku mengambil keputusan lebih baik mati daripada diselir pak demang tua bangka yang lebih pantas menjadi kakekku itu. Maka malam tadi aku melarikan diri. Aku terlunta-lunta, tiada kawan tiada keluarga, tiada orang mau menolong hingga aku tiba disini dan karena putus asa aku hendak membunuh diri.,.."
Jarot mengangguk-angguk lagi, lalu berkata gemas,
"Biar kuhajar pak demang yang hendak memaksa anak gadis orang itu!"
"Jangan, raden. Apa gunanya? Kalau aku kembali ke rumah ibu tiriku, pasti aku akan mengalami banyak siksa. Aku tidak sudi kembali kesana, lebih baik mati, raden!"
Jarot merasa bingung dan tak tahu apa yang harus dikerjakan untuk menolong gadis yang buruk nasib ini.
"Habis, bagaimana baiknya? Bagaimana aku harus menolongmu?"
"Raden Jarot. Kalau kau sudi, kalau kau kasihan kepadaku, kalau kau memang berhati mulia dan gagah sebagaimana kudengar disohorkan orang, bawalah aku, raden. Aku hendak suwita kepadamu, aku lebih rela menjadi bujangmu, menjadi pelayanmu. menjadi pesuruhmu, rela kau jadikan apa saja asal aku jangan dipulangkan ke rumah Ibu tiriku..." Dan Maduraras menangis lagi dengan sedih.