Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Mendengar berita itu, Sultan Agung mengadakan persidangan dan diambil keputusan untuk mengirim seorang penyelidik ke arah timur. Tiga orang pahlawan muda yang gagah dipilih untuk berangkat melakukan tugas penting ini.
Biarpun tersiar berita akan kedatangan musuh negaranya, Amangkurat bersikap tak perduli, bahkan ia membuat gara-gara dengan Jarot. Seminggu setelah bertemu dengan Sekarsari, ia mengutus enam orang pahlawannya mendatangi rumah Ki Galur.
Pada waktu itu, Ki Galur sedang memperbaiki jalanya yang banyak putus. Ia terkejut melihat datangnya enam orang pahlawan yang bersikap galak dan gagah.
"Kaukah yang bernama Ki Galur?" seorang diantara mereka bertanya sambil bertolak pinggang.
"Betul, raden. Apakah yang hendak diperintahkan kepada hamba?" jawab Ki Galur.
"Kami datang atas perintah Pangeran Amangkurat untuk memboyong anakmu si Sekarsari, dan inilah hadiahnya untukmu."
Pahlawan itu mengeluarkan sekantung perak yang dilempar ke atas bangku di mana Ki Galur tadi duduk.
"Ampun, raden. Bukannya hamba membantah, tapi hal ini harus hamba tanyakan dulu kepada Sekarsari."
"Panggil saja anakmu kesini."
Ki Galur lalu berteriak memanggil nama anaknya. Sekarsari keluar dari belakang dan ia merasa sangat heran dan terkejut melihat kehadiran enam orang pahlawan yang bersikap sombong itu. Ia tundukkan kepala ketika melihat betapa keenam orang itu memandangnya dengan kagum dan tersenyum simpul.
"Ada apa, bapak?" tanya Sekarsari kepada ayahnya.
"Sari..... ini..... para raden ini diutus oleh gusti pangeran, maksudnya... maksudnya hendak memboyong kau ke keraton, Sari....."
Wajah gadis itu seketika menjadi pucat dan tubuhnya menggigil, la memandang kepada enam orang pahlawan itu dengan mata terbelalak, lalu berkata marah,
"Tidak mau..... aku tidak mau, bapak...."
''Eh, Sekarsari, kau tidak boleh membantah kehendak gusti pangeran! Pula, seharusnya kau bergembira terpilih menjadi selir beliau."
"Tidak, tidak sudi!!" jawab Sekarsari yang lari ke dalam pondoknya.
Seorang pahlawan hendak lari mengejar, tapi Ki Galur lebih cepat. Orang tua ini meloncat dan sudah berdiri di ambang pintu pondoknya, menghalangi pengejar tadi.
"Nelayan busuk! Menghindar kau" pahlawan itu mendorong dada Ki Galur hingga orang tua itu terhuyung-huyung.
Tapi Ki Galur cepat menubruk lagi dan dari belakang memegang kain pengawal yang hendak mengejar Sekarsari itu.
"Breett!!" dan robeklah kain pengawal keraton hingga ia menjadi marah sekali.
"Orang tua edan! Kau cari mampus?!" Dan kakinya terayun ke arah lambung Ki Galur.
Serangan ini sangat kejam dan sekiranya tendangan itu mengenai sasarannya, maka dapat dipastikan orang tua lemah itu takkan kuat menahannya dan mungkin jiwanya akan melayang!
Tapi pada saat itu terjadi keanehan. Ketika kaki pengawal itu tampaknya telah "makan" lambung Ki Galur, bukan orang tua itu yang roboh, sebaliknya si pengawallah yang menjerit kesakitan dan jatuh terjengkang ke belakang! Betis kaki yang menendang tadi mengeluarkan darah bercucuran karena sebilah pisau belati telah menancap di daging betis itu!
Kelima pengawal keraton yang lain terkejut sekali melihat hal ini. Mereka tidak tahu bagaimana belati itu dapat tertancap di betis kawan mereka. Mereka sangka bahwa Ki Galur tentu mempergunakan ilmu gaib, maka sambil mencabut keris mereka maju berbareng dan mengancam Ki Galur dengan hebat!
Orang tua yang lemah itu ternyata tidak gentar menghadapi kelima lawannya yang muda dan gagah, bahkan ia bermaksud untuk nekat dan melawan sampai titik darah terakhir untuk membela puterinya! Ia cabut sebilah arit yang terselip di bilik, lalu menanti serbuan lawan-lawannya dengan mata terbelalak merah.
Pada saat itu, sebelum lima orang pengawal itu sempat menyerang Ki Galur, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dari dalam dan Jarot telah berdiri menghalang di depan orang tua itu, menghadapi kelima pengawal dengan senyum sindir dan tolak pinggang.
"Sungguh tak tahu malu! Beginikah kegagahan pahlawan-pahlawan keraton yang menghadapi seorang tua lemah saja harus mengeroyoknya? Hm, kalian tak pantas menjadi pengawal keraton dan terkenal dengan sebutan pahlawan-pahlawan!"
Kelima orang itu biarpun sudah tahu akan kegagahan Jarot, namun mengandalkan jumlah banyak dan nama Pangeran Amangkurat yang mengutus mereka, mereka tidak takut.
"Den-mas jangan ikut-ikut! Kami harus tangkap orang tua yang berani membangkang terhadap perintah gusti pangeran."
"Jangan banyak cakap! Mundur dan pergi dari sini!” Jarot mengancam, tapi hal ini membuat mereka marah.
"Eh-eh, kaupun hendak memberontak? Berani melawan utusan pangeran? Jarot, jangan kau sombong. Kau kira kegagahanmu itu cukup untuk menjagoi di Mataram? Minggir kau!!"
Mereka berlima menyerang dengan keris terhunus. Jarot menjadi marah dan menerjang ke kanan kiri. Gerakan kedua kaki dan sepasang kepalan tangan Jarot luar biasa cepatnya, hingga kelima lawannya hanya melihat berkelebatnya tangan atau kaki dan tahu-tahu senjata mereka telah terpental entah kemana kemudian sebelum mereka dapat melihat jelas, masing-masing telah menerima pukulan atau tendangan yang membuat mereka jatuh bangun, kepala benjol dan tulang patah!
Mendapat hajaran keras ini mereka, termasuk juga orang pertama yang terluka oleh belati yang dilepas Jarot, meninggalkan tempat itu sambil mengaduh-aduh dan terhuyung-huyung!
Orang-orang kampung melihat perkelahian itu merasa khawatir akan keselamatan Jarot dan Ki Galur karena telah berani menentang Pangeran Amangkurat yang disegani. Namun Jarot tetap tenang dan tabah.
"Lebih baik kalian lekas lari saja," seorang tetangga memberi nasihat, "Pangeran Amangkurat tentu akan segera datang. Dan kalau beliau sendiri yang datang membalas dendam, celakalah kampung ini! Kenapa tidak kau berikan saja Sekarsari untuk menjadi selirnya?"
Hampir saja Ki Galur memukul mulut orang itu kalau tidak cepat-cepat dicegah oleh Sekarsari yang memeluk ayahnya sambil menangis.
"Ayah, biarlah aku terjun ke bengawan saja daripada diselir pangeran..." ratapnya kemudian sambil memandang Jarot ia berkata lagi, "Lebih baik mati daripada dipaksa menjadi selirnya, tapi kalau aku menolak, kau dan mas Jarot tentu akan mendapat bencana..... ah, lebih baik aku mati saja…”
Jarot segera menghibur semua orang dengan kata-¬katanya yang tenang.
"Janganlah kalian khawatir dan bersedih. Aku yang tanggung, jika Pangeran Amangkurat marah dan datang kesini. Biarlah aku yang menghadapinya. Kalau ada apa-apa, aku seoranglah yang akan memikul tanggung jawab dan akibatnya!"
Ucapan yang gagah berani ini membuat orang-orang merasa kagum dan berterima kasih, tapi Sekarsari mendengarkan dengan air mata mengalir.
Tapi sungguh mengherankan mereka karena sampai malam tiba, tidak juga ada berita sesuatu dari Pangeran Amangkurat. Hal ini melegakan dada orang-orang kampung. Sebaliknya, Jarot merasa tak enak hati. Ia akan lebih senang kalau urusan itu lekas-lekas selesai. Maka, malam hari itu tanpa diketahui seorangpun, ia berjalan cepat di bawah sinar bulan purnama menuju ke keraton. Ia bermaksud menyelidiki keadaan pangeran yang telah dikenal banyak akalnya itu.
Jarot ambil jalan memutar dan masuk ke tamansari dengan jalan meloncati tembok yang mengelilinginya. Ia belum pernah melihat taman bunga keraton itu, hingga ia tercengang dan kagum melihat keindahan tamansari dimana beraneka macam bunga sedang mekar dan tertimpa cahaya bulan yang gilang-gemilang. Juga harum bunga yang sedap menyambut hidungnya.
Dengan hati-hati dan perlahan Jarot memasuki tamansari. Taman itu luas sekali. Tiba-tiba Jarot mendengar suara tangis yang sedih, tangis seorang wanita yang terisak-isak. Suara itu datang dari sebuah bangunan kecil di tengah tamansari. Ia merasa tertarik dan ingin tahu, maka segera ia lari menghampiri dan bersembunyi di belakang pintu ruang dimana suara itu berada, lalu mendengarkan.
"Sudahlah, gusti ayu, jangan terlalu bersedih. Hal itu sudah lalu belasan tahun lamanya dan percayalah, Yang Maha Kuasa akan memberkahi mereka yang benar dan baik," terdengar suara seorang wanita tua menghibur.
"Kau benar, biung emban, tapi betapa hatiku takkan sedih dan sakit. Aku yakin betul bahwa ini tentu perbuatan yayi Madu ningrum dan ayahnya, Tumenggung Suryawidura, tapi karena tiada bukti, aku harus menerima nasib dan menyimpan sakit hati. Betapa hatiku takkan sakit, melihat orang membawa pergi anakku yang hingga kini tak kuketahui hidup matinya, sedangkan terhadap orang-orang jahat itu aku tak berdaya menuntut balas sama sekali?" Kembali terdengar isak tangis.
"Sudahlah, gusti Bratadewi, marilah kita berdoa saja kepada Yang Maha Agung. Sekarang sudah jauh malam, lebih baik gusti mengaso di peraduan, kalau nanti gusti Sultan datang dan paduka tidak ada, tentu beliau akan marah."
Jarot loncat bersembunyi di belakang pohon mawar dan melati ketika mendengar suara kaki mereka menuju keluar. Tak lama kemudian tampak olehnya wanita yang menangis dan bernama Bratadewi itu berjalan perlahan, diiringi oleh biung emban.
Ketika cahaya bulan tepat menimpa wajah puteri itu. hampir saja Jarot berseru karena terkejut dan heran. Bukankah wanita yang sedang berjalan itu Sekarsari? Tubuhnya, lenggangnya, raut wajahnya, mata hidung mulut itu. Jarot menggosok-gosok matanya dan memandang lagi. Bukan, bukan Sekarsari, tapi seorang wanita setengah tua yang serupa benar dengan Sekarsari!
Otak Jarot yang cerdas dengan cepat merangkai segala hal yang didengarnya tadi, Puteri Bratadewi kehilangan anaknya, yang menurut sangkaan puteri itu telah dibawa pergi oleh Tumenggung Suryawidura dan anak perempuannya bernama Maduningrum. Dan puteri Bratadewi ini serupa benar dengan Sekarsari!
Kalau demikian, mungkinkah Sekarsari puteri yang hilang dicuri itu? Dan Ki Galur? Apakah hubungan Ki Galur dengan peristiwa ini, kalau memang benar demikian halnya? Ah, ia harus minta keterangan dari Ki Galur! Hatinya berdebar, mungkinkah ia akan membongkar sebuah rahasia keraton yang terpendam?
Ia tidak merasa bahwa telah lama juga ia termenung disitu dan ketika ia berdiri lagi, di tamansari telah sunyi. Ketika ia hendak mulai penyelidikannya ke kamar Pangeran Amangkurat yang berada di sebelah barat keraton, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan ribut di luar keraton. Jarot segera meloncat ke atas tembok dan keluar dari tamansari itu untuk melihat apakah yang telah terjadi.
Ternyata seorang diantara tiga utusan penyelidik telah kembali dengan tubuh penuh luka. Di bawah penerangan bulan dan obor, penyelidik yang mandi darah itu dengan terengah-engah menutur betapa ia dan dua orang kawannya telah bertemu dengan barisan pelopor musuh di luar kota dan terbukalah rahasia penyelidikan mereka hingga terjadi perang tanding.
Jumlah musuh terlalu banyak hingga dua orang kawannya gugur dan ia sendiri berhasil menerobos kepungan dan melarikan diri pulang ke dalam kota. Setelah habis ceritanya, penyelidik yang telah terlampau banyak mengeluarkan darah itu menjadi lemas dan jatuh pingsan.
Orang-orang berusaha menolongnya namun sia-sia, karena di sepanjang jalan setengah bagian darahnya mengalir keluar dari tubuh melalui luka¬-lukanya. Tak lama kemudian ia menghembuskan napas terakhir.
Mendengar cerita itu, seorang pengawal pribadi Sultan segera masuk ke dalam dan minta seorang pengawal dalam membangunkan Sultan. Tapi pada saat itu tampak dua orang maju mencegahnya, seorang keluar dari dalam dan yang lain masuk dari luar. Mereka adalah Pangeran Amangkurat dan Jarot.
"Tidak usah mengganggu ramanda Sultan karena urusan kecil ini. Musuh masih jauh, biar kita perkuat penjagaan di luar kota," kata Amangkurat.