Keris Pusaka dan Kuda Iblis Jilid 03

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Setelah melihat ke kanan kiri dan jelas bahwa disitu tidak ada orang lain, gadis itu mengangkat mukanya yang ayu memandang ke atas mengingat-ingat, lalu ia bernyanyi tembang Asmaradana.

Kata-kata tembangnya melukiskan keadaan Dewi Sinta yang sedang menangis dalam taman Kerajaan Ngalengka diraja, yakni kerajaan raja raksasa Dasamuka atau Rahwana raja yang menculiknya dari suaminya yang tercinta, Prabu Ramawijaya. Dewi Sinta menangis meratap-ratap merindukan suaminya yang tak kunjung tiba untuk menolongnya dan membebaskannya dari cengkeraman Dasamuka, si durjana. Suara gadis itu merayu-rayu dan Jarot merasa sangat terharu mendengar tembang itu yang maksudnya demikian :

Wahai murai, angin, dan surya...
sampaikanlah sembah rinduku kepadanya
duh, suamiku, pujaan kalbu...
lihatlah betapa isterimu merindu.
Raden Rama... satria kekasih hati,
bilakah kau datang menolong rayi...?
tubuhku kurus, hatiku hancur jiwaku sengsara
hanya wajahmu yang selalu terbayang depan mata
duh Raden Rama... suamiku.....
kekasihku....!

Setelah tembang itu habis dinyanyikan kedua kawan gadis itu tak tahan untuk menahan air matanya, mereka merangkul gadis itu dan seorang diantara mereka berbisik terharu,

"Sinta... Sinta... jangan berduka, Rama tentu akan segera datang....."

Beberapa lama mereka berpelukan, kemudian gadis yang menembang tadi memecahkan hikmat tembangnya dengan tertawa nyaring dan merdu.

"Eh-eh, kalian ini bagaimana sih? Mau mandi dan mencuci pakaian, atau mau menangis?"

Mereka tertawa-tawa lagi dan mencuci pakaian sambil bersendau gurau, saling menyiram dengan air dan busa buah lerak yang mereka gunakan untuk mencuci pakaian.

Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa darj balik semak-semak ada dua pasang mata laki-laki yang mengintai dengan pandangan kagum. Mengapa dua pasang? Ya, karena dari belakang semak-semak tak jauh dari tempat Jarot bersembunyi, terdapat pula seorang pemuda hitam tinggi besar yang berwajah menyeramkan. Matanya bulat besar dan kulit mukanya habis dimakan cacar. Ia adalah Raden Mas Bahar, putera tunggal Tumenggung Suryawidura yang sudah tua tapi cukup terkenal karena kekayaannya dan karena anak perempuannya menjadi selir Sri Sultan.

Telah lama Bahar rindu dan tergila-gila akan Sekarsari, gadis yang sedang bersenda gurau dengan kedua kawannya di sungai itu. Berkali-kali Bahar membujuk rayu menggoda Sekarsari, tapi gadis itu tidak menghiraukannya, bahkan memperlihatkan muka membenci dan sebal.
Kini, melihat gadis kenangannya itu berada di sungai dengan dua orang gadis lain, serta mendengar tembangnya yang merdu merayu, Bahar tak dapat menahan gelora hatinya lagi. la keluar dari tempat persembunyiannya dan dengan langkah lebar ia menghampiri mereka.

Alangkah terkejutnya Sekarsari dan kawan-kawannya. Mereka cepat membereskan kain yang diangkat dan diikatkan di dada setinggi mungkin, lalu mengambil pakaian yang mereka cuci dan siap hendak lari.

Tapi Bahar sengaja berdiri mencegat di jalan kecil yang menurun ke sungai itu hingga ketiga orang gadis itu tak berdaya, karena selain melalui jalan kecil itu, sukar juga untuk naik ke tebing.

"Den-mas, berilah kami jalan.” Seorang kawan Sekarsari berkata dengan sikap menghormat.

Bahar geleng-geleng kepala dan menyeringai.
"Tidak, sebelum Sekarsari menembang sebuah lagu untukku!"

Tentu saja Sekarsari tidak sudi melakukan permintaan ini, tapi ia tak berani menjawab, hanya palingkan mukanya yang menjadi merah ke arah lain.

"Den-mas, jangan ganggu kami, biarkan kami pulang," kedua gadis kawan Sekarsari mendesak.

Bahar memberi jalan, kepada mereka, tapi ketika Sekarsari hendak maju, ia mencegat pula dan mengulurkan tangan hendak menangkap. Terpaksa gadis itu mundur dan turun kembali ke sungai. Sedangkan kedua kawannya lari keras sambil angkat kain sebatas lutut. Sekarsari yang ditinggal berdua dengan Bahar menjadi takut dan cemas. Ia memandang ke arah pemuda hitam itu dengan mata terbelalak.

Bahar tertawa bergelak.
"Ha-ha, Sekarsari, juwitaku, sekarang kau hendak lari ke mana? Hayo bernyanyilah barang selagu untuk kangmasmu."

Sambil berkata begini Bahar melangkah turun ke atas batu kali yang besar, mendekati gadis itu. Sekarsari makin takut dan cepat maju ke tengah sungai dimana air lebih dalam hingga mencapai dadanya.

“Eh, jangan terlalu jauh, Sari, kau nanti terbawa air," Bahar berkata sambil tertawa. Tapi Sekarsari tak takut akan air karena ia pandai berenang.

“Sari, kemarilah mari kita bercakap-cakap.”

Segala bujuk dan rayu keluar dari mulutnya, namun gadis itu tetap tidak sudi menghiraukannya, bahkan berenang makin ke tengah.

"Sari! Awas, ada buaya di sana!”

Tiba-tiba Bahar berteriak. Gadis itu terkejut sekali. Tanpa menengok lagi ia berenang ke tepi dan tubuhnya menggigil takut ketika tangan Bahar memegang lengannya dan membantunya naik ke atas batu.

Sekarsari menengok ke arah sungai untuk melihat buaya yang mengancamnya, tapi ia tidak melihat apa-apa di air yang mengalir perlahan itu, kecuali beberapa potong ranting kayu yang hanyut perlahan.

"Mana buayanya?" Ia bertanya.

"Ha-ha! buayanya berada di kedung, Sari. Disini tidak ada buaya, di sungai ini paling ada juga ikan lele!"

"Kau..... kau..... kurang ajar! Lepaskan aku!"

Sekarsari berontak dan berusaha melepaskan lengan kirinya yang dipegang Bahar. Tapi ia kalah tenaga dan Bahar menariknya ke tepi. Ia melawan dengan menyepak, memukul, mencakar, dan menjerit-jerit.

Jarot melihat peristiwa itu dengan mata bernyala dan ia sudah siap bertindak. Tapi ditahannya napsu marahnya karena pada saat itu datanglah seorang tua berlari-lari ke tempat itu. Ia adalah Ki Galur, ayah Sekarsari yang diberi tahu oleh kedua gadis kawan Sekarsari yang lari pulang tadi.

"Ayah.....!”

Sekarsari berteriak dan Bahar terpaksa melepaskan pegangannya. Gadis itu lari menubruk ayahnya sambil menangis.

"Raden Mas Bahar, mengapa kau selalu mengganggu anakku?"

Orang tua itu menegur. Suaranya penuh penyesalan tapi sikapnya tetap menghormat karena ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan putera Tumenggung Suryawidura.

"Kau perduli apa?” teriak Bahar yang merasa malu dan penasaran atas teguran itu. "Aku suka pada anakmu, besok kau harus antar ia ke Tumenggungan!"

"Ampun, den-mas, jangan den-mas memaksa.....”

"Apa katamu? Aku cinta pada Sekarsari dan ingin mengambil dia sebagai selir, kau berani menampik aku? Kau orang tua jangan banyak cakap!"

"Ayah........ aku tak sudi, ayah. Lebih baik mati.....”

"Den-Mas bagus, ampunkan kami ayah dan anak. Biar kami tinggalkan tempat ini dan pergi, selanjutnya kami tak berani mengganggu den-mas pula. Tapi jangan.... jangan kau paksa anakku.....”

"Diam!" bentak Bahar yang maju dua langkah dan ia ayun tangannya menampar kepala Ki Galur. Orang tua yang lemah itu kena tampar terhuyung-huyung ke belakang.

"Kau pengecut..... jahanam!" Sekarsari berteriak dan meloncat menghadang di depan ayahnya ketika Bahar hendak memukul pula.

"Orang tua sombong, banyak cerewet. Biar kuhajar dia!"

"Jangan..... jangan den-mas....." akhirnya Sekarsari berkata lemah, penuh kecemasan ketika Bahar melangkah perlahan ke depan hingga iapun melangkah mundur dengan wajah pucat.

Pada saat itu Bahar merasa bahunya ditepuk orang dengan cara yang berani dan kurang ajar. Ia cepat memutar tubuhnya dan berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang berkulit halus bersih. Jarot memandang Bahar dengan mata menghina dan mulut tersenyum.

"Siapa kau? Mengapa berani pegang-pegang pundakku?" bentaknya.

"Mengapa tidak berani? Kau juga berani menghina orang tua dan anak gadisnya," Jarot balas mengejek.

"Bangsat! Tak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa?"

"Tentu tahu! Aku sedang berhadapan dengan seorang pemuda tidak sopan, seorang yang sombong dan mengandalkan pangkat dan kedudukan untuk menghina orang-orang lemah."

"Anjing keparat! Aku adalah Raden Mas Bahar, putera Tumenggung Suryawidura, kau tidak lekas menyembah?"

"Hm, tak pantas....... sungguh tak patut....."

"Apa yang tak patut, keparat?"

"Tak pantas kalau kau putera tumenggung, pantasnya kau ini seorang perampok hina!"

"Keparat jahanam!"

Dan kepalan Bahar melayang ke arah dada Jarot. Putera tumenggung ini sebenarnya bukanlah seorang pemuda lemah. Ia pernah belajar pencak silat dan ilmu aji kesaktian, bahkan hari inipun ia berrnaksud memasuki sayembara yuda lumba di alun¬-alun.

Maka Jarot pun segera merasa betapa pukulan itu berat dan mendatangkan angin. Tapi dengan gesit Jarot miringkan tubuh dan tangan kirinya membabat dalam tangkisan kuat.

Lengan kanan Bahar terpental dan ia merasa kulit dan tulang lengannya sakit sekali. Ia terkejut karena sama sekali tak disangkanya pemuda yang tampaknya seperti petani desa ini memiliki tenaga sebesar itu. Namun, ia merasa malu untuk mundur, maka segera ia menyerang lagi dengan ganas. Tangan kanan memukul lambung dan tangan kiri menempiling kepala.

Dua macam pukulan yang dilakukan dengan sekali gerak dan cepat sekali datangnya itu membuat Jarot diam-diam merasa kagum, tapi dengan mudah dan tak gentar sedikitpun Jarot menundukkan kepala berkelit dari serangan tangan kiri. Sedangkan serangan ke arah lambungnya ia tangkis dengan kepretan tangan. Ia tidak berhenti sampai sekian saja, karena secepat kilat kaki kanannya bergerak menyapu pergelangan kaki lawan hingga tak ampun lagi Bahar berseru kaget dan tahu-¬tahu tubuhnya terpelanting dan jatuh berdebuk ke atas tanah!

Sungguh malang baginya, tanah disitu basah dan penuh lumpur hingga ketika ia merayap bangun, mukanya penuh tanah lumpur dan menjadi makin buruk!

Terdengar suara tertawa nyaring dan merdu. Ternyata Sekarsari tak dapat menahan tawanya karena geli hati melihat keadaan lucu itu dan karena gembiranya melihat orang yang dibencinya mendapat hajaran. Juga Ki Galur tersenyum puas, sungguhpun matanya masih membayangkan kecemasan.

Bahar makin marah dan panas hati. Sekali tangannya bergerak maka gagang kerisnya telah tergenggam erat. Napasnya terengah-engah, hidungnya kembang-kempis, matanya merah setengah dikatupkan, giginya dikertakkan dan mulutnya mengeluarkan suara berdesis. Sikapnya merupakan ancaman maut.

"Beri tahu namamu, keparat. Jangan mati tak bernama!" geramnya.

Suaranya parau menyeramkan. Tapi Jarot hanya tersenyum dan memandang rendah. Sikapnya ini membuat Ki Galur dan terutama Sekarsari, khawatir sekali. Dengan melupakan bahaya, gadis itu lari menghampiri Jarot.

"Raden..... larilah..... kau tentu akan dibunuhnya..... lari..... lari, raden!" teriak gadis itu.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar