Wajah Kangjeng Adipati menjadi sangat tegang.
“Aku telah dijebak untuk disingkirkan. Tetapi aku dapat melepaskan diri. Karena itu, kangjeng. Tidak ada waktu untuk berpikir lebih lama. Aku mohon Kangjeng segera bersiap. Aku memperhitungkan, kegagalan mereka membunuh aku malam ini, akan menjadi peletik api yang akan menyalakan api pemberontakan”
“Apa aku dapat mempercayaimu, kakang Tumenggung.”
“Kangjeng, Aku mohon Kangjeng segera mempersiapkan diri. Waktunya tentu sangat sempit.”
Kangjeng Adipati menjadi ragu-ragu. Namun Ki Tumenggung Reksabawa itu pun berkata kepada Narpacundaka, “perintahkan untuk menutup pintu gerbang utama. Siapkan pasukan yang ada untuk melindungi dalem kadipaten ini. Bunyikan isyarat agar pasukan yang tidak terpengaruh oleh adi Tumenggung Jayataruna mempersiapkan diri.”
Narpacundaka itu ragu-ragu sejenak, dipandanginya wajah Kangjeng Adipati yang tegang. Baru ketika Kangjeng Adipati itu mengangguk, maka Narpacundaka itu pun bergeser surut. Demikian pula prajurit yang ada di luar pintu. Namun seorang prajurit yang semula berada di dalam bersama Narpacundaka itu tetap duduk di tempatnya.
Sejenak kemudian, maka para prajurit yang ada di halaman kadipaten itu pun segera bersiaga. Pintu gerbang utama segera ditutup dan diselarak dari dalam.
Namun dalam pada itu, seperti yang diperhitungkan oleh Ki Tumenggung Reksabawa, kegagalan Wedung dan dua orang prajurit pilihan membunuhnya, telah menjadi api yang menyalakan pemberontakan.
Salah seorang prajurit yang berhasil melarikan diri itu telah mengejutkan mereka yang menyelenggarakan pertemuan di rumah Raden Ayu Prawirayuda.
Pada saat jamuan makan di hidangkan, maka prajurit yang sudah terluka itu berlari-lari dan langsung masuk ke ruang pertemuan.
Ki Tumenggung Jayataruna yang terkejut segera bangkit dan mendekatinya,, “Ada apa, he? Kau terluka?”
“Ya, Ki Tumenggung. Wedung dan seorang kawanku itu terbunuh. Aku terluka. Namun aku sempat melarikan diri.”
“Gila. Jadi kalian gagal membunuh kakang Reksabawa?”
“Ya, Ki Tumenggung.”
“Jadi sesumbar Wedung itu bagaikan suara guruh yang menggelegar di langit, tetapi hujan setitikpun tidak turun ke bumi.”
Prajurit itu tidak mmenjawab. Tetapi terdengar ia mengerang kesakitan.
Raden Ayu Reksayuda tidak sempat mempersilahkan tamu-tamunya untuk makan. Ki Tumengung Jayataruna lah yang kemudian bangkit sambil berkata lantang, “Kita harus mulai sekarang. Kita tidak mempunyai waktu lagi.”
“Sekarang” bertanya seorang Demang.
“Ya. Para Senapati yang membawahi pasukan akan segera bergerak. Para Demang dan orang-orangnya harus segera menyusul. Kita akan menduduki dalem kadipaten. Kita akan menangkap Kangjeng Adipati. Kalau mungkin kita akan menangkapnya hidup-hidup.”
“Kakang Tumenggung Jayataruna”berkata Raden Ayu Reksayuda, “aku akan ikut bersama kakang ke kadipaten.”
“Raden Ayu? Tidak usah Raden Ayu. Sebaiknya Raden Ayu tetap tinggal di rumah. Nanti setelah kami berhasil, kami akan menjemput Raden Ayu”
“Tidak, kakang. Aku akan pergi ke kadipaten bersama kakang. Aku minta kakang menangkap Ririswari. Jangan sakiti anak itu. Biarlah aku yang mengurusnya.”
“Raden Ajeng Ririswari?”
“Ya.”
“Apakah kepentingan Raden Ayu dengan Raden Ajeng Ririswari itu?”
“Tidak ada, kakang. Tetapi tolong, bawa Ririswari itu kepadaku.”
Ki Tumenggung Jayataruna pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sendiri akan menangkap Kangjeng Tumenggung serta membawa Raden Ajeng Ririswari kepada Raden Ayu.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka yang mengadakan pertemuan itu telah meninggalkan ruangan. Mereka langsung mempersiapkan kesatuan mereka masing-masing.
Ketika panah sendaren berterbangan di langit, maka pasukan yang kuat telah bersiap. Mereka segera bergerak mengepung dalem Kadipaten.
Sejenak kemudian mereka yang mengepung kadipaten itu telah berusaha memecahkan pintu gerbang utama. Sekelompok orang telah mendorong pintu gerbang itu dengan tenaga mereka yang besar dan menghentak-hentak.
Namun sebagian dari mereka ternyata berhasil meloncati dinding halaman samping. Berlari-larian para prajurit yang telah berada di halaman itu menuju ke pintu gerbang.
Para prajurit yang bertugas di dalem kadipaten itu tidak dapat menahan mereka ketika merka mengangkat selarak dan membuka pintu gerbang utama itu.
Arus prajurit pun kemudian mengalir seperti bendungan yang pecah. Mereka menghambur di halaman dan berlari-larian menuju ke dalem kadipaten.
Dalam pada itu, terdengar suaru kentongan yang bergaung dalam irama titir. Tetapi suara kentongan itu tidak segera disahut oleh suara kentongan yang lain. Ki Tumenggung Jayataruna telah menyebarkan orang-orangnya keseluruh kota untuk menaburkan kegelisahan dan kecemasan.
Yang justru terdengar adalah suara kentongan di kejauhan. Lamat-lamat. Juga dengan irama titir. Tetapi suara itu akhirnya hilang di telan suara angin malam.
Pertempuran telah berkobar di halaman dalem kadipaten. Para pengawal yang jumlahya jauh lebih sedikit dari pasukan yang datang menyerang, segera mengalami kesulitan untuk bertahan.
Dalam pada itu, Ki Reksabawa telah minta agar Kangjeng Adipati segera meninggalkan kadipaten.
“Marilah Kangjeng. Kangjeng harus melepaskan diri dari tangan mereka. Tangan-tangan yang panas dan haus darah.”
“Aku seorang prajurit Ki Tumenggung. Tidak pantas seorang prajurit meninggalkan arena pertempuran untuk sekedar ingin hidup.”
“Tetapi selagi kita masih hidup, maka kita akan dapat berbuat sesuatu. Tetapi jika kita sudah mati, maka berakhirlah semuanya. Meskipun kita tahu, bahwa sudah terjadi ketidak adilan dan bahkan fitnah di tanah ini, tetapi di saat kematian itu datang, maka kita akan menyadari, bahwa kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Semuanya sudah terlambat.”
“Apakah, apakah kita harus mengorbankan harga diri kita?”
“Apakah kita akan kehilangan harga diri kita, jika kita bertindak atas dasar perhitungan? Apakah kita akan kehilangan harga diri kita jika kita berniat untuk membongkar ketidak adilan, fitnah dan bahkan kemudian pembunuhan yang terjadi ini? Tidak Kangjeng. Itu adalah kewajiban Kangjeng Adipati. Kangjeng Adipati harus membuat pertimbangan dan memutuskan dalam waktu sekejap, apakah Kangjeng Adipati ingin menjadi seorang pahlawan yang gugur di medan perang, atau seorang pahlawan yang mampu menyelamatkan kadipaten ini dari tangan-tangan pemberontak.”
Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Tumenggung Reksabawa pun berkata dengan tegas, “Marilah. Kita pergi.”
Kata-kata itu seakan-akan telah mencengkam jantung Kangjeng Adipati. Karena itu, maka Kangjeng Adipati tidak membantah lagi ketika Ki Tumenggung itu berkata, “Kita mengambil jalan ini, Kangjeng. Lewat pintu butulan.”
Keduanyapun kemudian bergegas pergi ke pintu butulan. Dua orang prajurit yang bertugas di dalam mengikuti mereka.
Demikian mereka keluar dari pintu butulan dan turun ke longkangan telah terjadi pertempuran. Bahkan beberapa orang prajurit langsung menyerang Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
Namun keduanya adalah prajurit-prajurit yang mempunyai banyak kelebihan dari para prajurit kebanyakan. Kemampuan keduanya terlalu tinggi bagi mereka yang mencoba menyerangnya. Karena itu, maka beberapa orang pun segera terlempar jatuh dengan luka yang mengangga di dada mereka.
Kedua orang prajurit yang mengikuti keduanya sejak dari dalam itu masih saja mengikut. Mereka pun telah terlibat dalam pertempuran pula melawan prajurit-prajurit yang menyerang Ki Tumenggung Reksabawa dan Kangjeng Adipati.
Beberapa saat kemudian, keduanya telah keluar dari longkangan di depan serambi samping dalem kadipaten.
Namun ketika mereka lewat puri keputren, maka Kangjeng Adipati pun berhenti.
“Kenapa Kangjeng berhenti.”
“Ririswari”
“Tidak akan ada yang mengganggu Raden Ajeng Ririswari, Kangjeng.”
“Aku tidak dapat meninggalkan anak gadisku di keputren. Aku tidak dapat membiarkan Ririswari jatuh ketangan para pemberontak itu.?”
Ki Tumenggung Reksabawa dapat mengerti perasaan Kangjeng Adipati. Karena itu, maka ia tidak ingin membuang-buang waktu dengan saling bersitegang. Karena itu, maka Ki Tumenggung Reksabawa itu pun segera berlari ke keputren diikuti oleh Kangjeng Adipati dan kedua orang prajurit pengawalnya.
Namun ternyata keputren telah kosong. Yang ada tinggal lah beberapa orang emban yang ketakutan mendengar sorak dan teriakan-teriakan di halaman kadipaten.
“Dimana Ririswari?”bertanya Kangjeng Adipati.
Emban pemomong Raden Ajeng Ririswari itu mengusap matanya yang basah, “Hamba, hamba, mohon ampun Kangjeng.”
“Cepat. Katakan, apa yang telah terjadi:”
“Seorang yang menutupi wajahnya-dengan ikat kepala telah masuk keputren sebelum terdengar teriakan-teriakan itu, Kangjeng. Orang itu memasuki bilik Raden Ajeng dengan membuka atap.”
“Bukankah kau ada di dalam bilik Ririswari..”
“Hamba Kangjeng. Hamba pun terbangun ketika hamba mendengar jerit Raden Ajeng yang tertahan. Agaknya orang yang wajahnya ditutupi dengan ikat pinggang itu sempat membung-kamnya dan bahkan dengan satu sentuhan, Raden Ririswari seakan-akan menjadi tidak berdaya. Orang yang wajahnya tertutup itupun segera mengangkat Raden Ajeng Ririsari dan membawanya keluar. Ketika hamba berusaha mencegahnya, maka hamba telah didorongnya sedemikian kuatnya, sehingga hamba terbentur dinding. Untuk sesaat hamba rasa-rasanya telah kehilangan kesadaran. Ketika kesadaran itu mulai timbul kembali, hamba mendengar teriakan-teriakan yang menakutkan itu. Agaknya pertempuran di halaman”
Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Namun Ki Tumenggung berkata, “Mereka akan sampai disini pula, kangjeng. Marilah kita pergi. Raden Ajeng Ririswari telah diculik orang. Biarlah kelak kita mencarinya asal nyawa kita terselamatkan. Tetapi jika kita mati, nasib Raden Ajeng Ririswati akan menjadi semakin buruk untuk sepanjang hidupnya.
Ternyata perasaan Kangjeng Adipati tersentuh. Karena itu, maka bersama Ki Tumenggung Reksabawa dan kedua orang prajurit pengawal itu pun segera keluar dari keputren.
Tetapi di gerbang mereka berpapasan dengan berapa orang prajurit, sehingga pertempuran pun tidak dapat dielakkan.
Agaknya para prajurit yang sudah berada dibawah pengaruh Ki Tumenggung Jayataruna itu pun sudah mendapat perintah untuk menangkap Kangjeng Adipati, hidup atau mati.
Tetapi para prajurit itu harus menghadapi kenyataan bahwa Kangjeng Adipag Reksabawa adalah orang-orang yang berkemampuan sangat tinggi. Berserta mereka telah bertempur pula dua orang prajurit pilihan yang setia.
Namun ketika Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa berhasil menerobos sekelompok prajurit akan menangkap mereka hidup atau mati, kedua orang prajurit itu sudah tidak menyertai mereka lagi.
“Dimana kedua orang prajurit itu?” bertanya Kangjeng Adipati sambil menyelinap ke kebun belakang halaman kadipaten.
“Agaknya mereka telah menjadi korban, Kangjeng.”
“Mereka telah menahan para prajurit yang berusaha mengejar kita. Tetapi agaknya keduanya tidak mampu melepaskan diri dari ujung senjata para prajurit yang telah memberontak itu.”
“Marilah, Kangjeng. Kita tinggalkan tempat ini.”
“Kasihan kedua orang prajurit itu.”
“Mereka sadari, apa yang mungkin terjadi bagi seorang prajurit.”
Keduanya tidak sempat berbicara lebih panjang lagi. Mereka pun segera mendengar teriakan-teriakan para pemimpin kelompok yang memberikan aba-aba. –
Karena itu, maka keduanya pun segera menyusup diantara tanaman perdu di kebun belakang.
Ketika yang memburu mereka menjadi semakin dekat, keduanya telah mencapai dinding halaman belakang. Dengan sigapnya keduanya pun meloncati dinding halaman itu.
Demikian mereka keluar dari halaman belakang dalem kadipaten, maka keduanya pun segera berlari menjauh.
Dalam pada itu, para prajurit yang telah memberontak itupun masih sibuk mencari keduanya di dalam lingkungan dinding dipaten. Mereka tidak segera menyadari, bahwa dengan kemampuannya yang tinggi, maka Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa mampu meloncati dinding. Mereka tidak memperhitungkan bahwa Kangjeng Adipati itu mula-mula meloncat menggapai sebuah dahan pohon manggis tidak terlalu jauh dari dinding. Kemudian didorong oleh tenaga ayunannya, Kangjeng Adipati telah berdiri di bibir dinding halaman.
Setelah menyerahkan tombak Kangjeng Adipati serta menitipkan tombaknya sendiri, maka Ki Tumenggung pun telah melakukan hal yang sama. Berayun dan bertengger di atas dinding halaman sebelum keduanya turun ke lorong sempit di luar dinding kadipaten.
Para prajurit telah mengamati setiap jengkal tanah di halaman dan kebun belakang dalem kadipaten itu. Mereka menyibak setiap rumpun perdu. Mereka melihat setiap ruangan di keputren dan kasatrian. Mereka menyisir setiap jengkal tanah.
Tetapi mereka tidak menemukan Kangjeng Adipati.
Bahkan beberapa orang prajurit telah melaporkan, bahwa mereka telah melihat dan bahkan bertempur melawan Kangjeng adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
“Penjilat itu benar-benar sudah berada disini pula” geram Ki Tumenggung Jayataruna.
Tetapi dalam pada itu, Rade Raden Ayu Reksayuda pun telah bertanya kepada para prajurit, “Apakah ada yang melihat Ririswari?”
Para prajurit itu menggelengkan kepalanya.
“Gila. Ini adalah satu kegagalan yang sangat memalukan” berkata Raden Ayu Reksayuda.
Ki Tumenggung Jayataruna pun menggeram pula, “Ya. Ini adalah satu kebodohan. Bagaimana mungkin prajurit sebanyak ini tidak dapat menangkap Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.”
“Mereka juga tidak menemukan Ririswari” sambung Raden Ayu Reksayuda.
Para prajurit itu terdiam. Namun masih banyak diantara mereka yang masih berusaha menemukan Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung Reksabawa dan Raden Ajeng Ririswari.
Tetapi tidak seorang pun yang berhasil.
Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda menjadi sangat marah atas kegagalan itu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat terlalu jauh. Apalagi menjatuhkan hukuman bagi paraprajurit, karena mereka masih sangat membutuhkan mereka.
Dengan nada tinggi Ki Tumenggung Jayataruna pun kemudian berkata kepada para pemimpin kelompok, “Baiklah. Tetapi sadari. Pekerjaan kita belum selesai. Kita baru menduduki dalem kadipaten. Kita belum menangkap Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksayuda.“
“Mereka harus dicari sampai kita menemukan. Perintahkan menutup semua jalan di perbatasan kota. Tidak boleh seorangpun keluar dari kota sejak malam ini“ berkata Raden Ayu Reksayuda dengan lantang.
Sebenarnyalah perintah itu pun segera disebarkan. Beberapa orang kelompok prajurittelah menutup semua pintu gerbang kota, sehingga tidak seorang pun yang dapat keluar darikota kecuali mereka yang mampu mencari jalanlain. Mungkin dengan tangga untuk meloncati dinding kota. Namun seorang pun tidak akan sempat melakukannya, karena kelompok-kelompok peronda hilir mudik disetiap saat. Para prajurit itu tidak saja mengawasi jalan-jalan keluar. Tetapi juga jalan-jalan didalam kota. Bahkan kelompok-kelompok prajurit itu juga meronda di jalan-jalan yang lebih kecil.
Namun dalam pada itu, selagi para prajurit di halaman kadipaten dan di sekitarnya masih sibuk mencari Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung Reksayuda dan Ririswari, tiba-tiba dua orang prajurit telah menggiring seorang anak muda naik ke pendapa kadipaten.
Ketika seorang prajurit melaporkan kepada Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda, keduanya terkejut. Dengan tergesa-gesa keduanya pun keluar dari ruang dalam untuk pergi ke pendapa.
“Suratama“ Ki Tumenggung Jayataruna hampir berteriak.
“Ya, ayah.”
“Inikah Suratama putera kakang Tumenggung Jayataruna itu?” bertanya Raden Ayu Reksayuda.
“Ya. Raden Ayu. Suratama adalah anakku.”
“Apa yang dilakukannya disini?”
“Aku belum tahu, Raden Ayu”
Sementara itu sambil melangkah mendekati anak laki-lakinya itu Suratama bertanya kepada prajurit yang menggiringnya “Dimana kau temukan anak ini?”
“Suratama bersembunyi di atap kandang kuda Ki Tumenggung“ jawab salah seorang prajurit yang membawanya, “hampir saja terjadi salah paham. Untunglah aku mengenal Suratama karena aku pernah datang ke rumah Ki Tumenggung.”
“Bocah edan. Apa yang kau lakukan disini?”
“Tidak apa-apa ayah. Aku hanya ingin tahu, apa yang ayah lakukan disini.”
“Ingin tahu yang aku lakukan? Aku adalah prajurit Suratama. Sejak kau masih kanak-kanak, aku sudah menjadi prajurit. Kau tentu tahu tugas seorang prajurit.”
“Ya, ayah. Aku tahu tugas seorang prajurit. Tetapi aku tidak tahu apakah yang ayah lakukan itu sesuai dengan tugas seorang prajurit atau tidak.”
“Diam kau” bentak Ki Tumenggung.
“Aku kasihan kepada ibu.”
“Kasihan kepada ibu? Kenapa dengan ibumu? Bukankah ia tidak apa-apa? Nah, sekarang kausudah melihat apa yang terjadi disini. Pertempuran. Untunglah bahwa tidak terjadi salah paham karena keberadaanmu di daerah pertempuran ini” lalu katanya pula, “Kau dapat menilai sendiri, apakah yang aku lakukan ini tugas seorang prajurit atau bukan? Justru seorang prajurit yang sedang memperjuangkan tegaknya kebenaran di kadipaten ini.”
Suratama menundukkan kepalanya.
“Nah, sekarang pulanglah. Aku akan memerintahkan dua orang prajurit mengantarmu agar tidak terjadi salah paham di sepanjang jalan. Kau tentu tahu, bahwa saat ini adalah saat yang sangat gawat bagi kadipaten ini. Setiap orang, apalagi yang tidak dikenal oleh para prajurit akan dapat dicurigai. Bahkan mungkin para prajurit akan menjadi sangat mudah mengambil tindakan kekerasan, karena mereka sendiri merasa terancam.”
“Baik, ayah.”
Namun tiba-tiba saja Raden Ayu Reksayuda pun memanggilnya “Suratama.”
“Ya, Raden Ayu.”
“Apakah kau yang telah menyembunyikan Ririswari?”
“Raden Ajeng Ririswari maksud Raden Ayu?”
“Ya.”
“Aku tidak tahu, Raden Ayu. Aku tidak melihat Raden Ajeng Ririswari.”
“Kau datang kemari tentu akan bertemu dengan Ririswari.”
“Tidak, Raden Ayu. Aku tidak begitu mengenal Raden Ajeng Ririswari secara pribadi. Aku hanya tahu, bahwa putera puteri Kangjeng Adipati itu bernama Raden Ajeng Ririswari.”
“Kau jangan bohong, Suratama. Aku tahu, bahwa Ririswari itu akrab dengan setiap laki-laki muda. Bahkan yang telah bersuami sekalipun. Apalagi dengan anak muda setampan kau ini.”
“Benar Raden Ayu. Aku tidak akrab dengan Raden Ajeng Ririswari.”
“Suratama. Aku perintahkan kepadamu. Cari Ririswari sampai ketemu. Aku yakin, kau tahu dimana Ririswari bersembunyi, justru karena padasaat seperti ini kau berada disini.”
Suratama itu memandang ayahnya sejenak, seakan-akan ia ingin mendapat pertimbangan, apa yang sebaiknya dilakukannya.
“Raden Ayu“ berkata Ki Tumenggung Jayataruna, “aku tidak berkeberatan Raden Ayume merintahkan Suratama mencarinya. Tetapi ia tidak dibebani tanggung jawab yang terlalu berat. Aku tahu, bahwa Suratama memang tidak akrab dengan Raden Ajeng Ririswari.”
“Kakang Tumenggung jangan membuat anak itu menjadi lemah. Ia harus mendengarkan perintahku. Ia harus melaksanakan perintahku.”
Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna pun menyahut, “Aku tidak membuatnya lemah. Ia memang anak muda yang lemah. Karena itu, ia tidak akan dapat dibebani tugas sebagaimana Raden Ayu katakan. Selain Suratama aku mempunyai prajurit segelar sepapan. Apakah masih kurang bagi Raden Ayu, sehingga Raden Ayu meletakkan beban yang begitu berat dipundak Suratama? Apa arti seorang anak muda dibanding prajurit-prajuritku?”“
“Tetapi yang dilakukan itu sangatmencurigakan.”
“Aku mempercayainya, ia datang karena iamerasa kasihan kepada ibunya yang sendirian di rumah sejak aku pergi menjemput RadenTumenggung Wreda Reksayuda.”
“Jadi kakang belum pernah pulang.”
“Sudah Raden Ayu. Tetapi begitu pulang, aku segera pergi lagi. Pulang sebentar, kemudian meninggalkannya dengan berbagai pertanyaan di hatinya.”
“Tetapi Nyi Tumenggung adalah isteri seorang prajurit.”
“Ia sudah mengalaminya sejak lama. Tetapi ada persoalan di hatinya pada saat terakhir.”
“Jadi?”
“Suratama bagiku adalah masa depan. Karena itu aku tidak ingin anak itu mengalami kesulitan karena harus memikul beban yang sangat berat itu.”
“Ayah. Aku akan menjalankan tugas ini. Aku akan mencari Raden Ajeng Ririswari.”
“Kau tidak perlu pergi sendiri. Ada seratus orang prajurit yang siap mengantarmu.”
“Tidak. Aku akan pergi seorang diri, ayah. Aku memang seorang yang lemah. Tetapi aku tidakperlu menjadi cengeng.”
Suratama tidak berbicara lagi. lapun segera beranjak pergi.
“Suratama. Tunggu. Ada dua orang prajurit akan mengantarmu pulang.”
Tetapi Suratama tidak menghiraukannya.
Sepeninggal Suratama, Ki Tumenggung Jayataruna-pun berkata, “Aku tidak ingin kehilangan anakku, Raden Ayu.”
Raden Ayu Reksayuda memandang wajah Ki Tumenggung yang tegang. Bagaimanapun juga, Ki Tumenggung akan dapat ikut menentukan keberhasilan nya. Karena itu. sebaiknya ia memang tidak mengusik perasaannya.
“Maaf, kakang Tumenggung. Aku hanya terdorong untuk segera menemukan Ririswari.”
“Apa sebenarnya kepentingan Raden Ayudengan Raden Ajeng Ririswari.”
“Aku mempunyai kepentingan pribadi.”
“Tetapi adilkah jika Raden Ayu harus mengorbankan anakku?”
“Aku minta maaf kakang. Kakang dapat memerintahkan prajurit untuk menyusulnya dan mencabut perintahku.”
“Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin?-
“Aku mengenal tabiatnya. Jika ia sudah mulaimelangkah, maka ia akan berjalan sampai keujung jalan. Apapun yang akan terjadi. Kecuali jikaaku sendiri yang menyusulnya,”
“Tetapi jika kakang Tumenggung pergi, rencana kita akan menjadi berserakkan.”
Ki Tumenggung Jayataruna termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Untuk sementara aku akan tetap pada rencanakita, Aku akan tetap berada di sini.”
“Terima kasih kakang. Bagiku, kakang memang satu-satunya tempat bergantung” desis RadenAyu Reksayuda.
Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas panjang. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi. Bahkan Ki Tumenggung itu pun kemudian telah beranjak dari tempatnya.
Dalam pada itu, para prajurit masih sibukmencari Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ririswari. Tetapi mereka tidaksegera dapat menemukannya. Sementara itu, Suratama setelah meninggalkan Kadipaten, segeramenyelinap kedalam kegelapan. Ia berusaha untukdapat pulang, sekedar minta diri kepada ibunya.
“Ngger, jangan pergi. Keadaan akan menjadi semakin gawat. Jika ayahmu telah terlibat dalam pemberontakan melawan Kangjeng Adipati, maka keadaan kita pun akan menjadi gawat”
“Ayah dan Raden Ayu Reksayuda sudah menguasai dalem Kadipaten ibu. Tetapi mereka tidak dapat menangkap Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa. Bahkan Raden Ayu Reksayuda ingin juga menangkap Raden Ajeng Ririswari.”
“Raden Ajeng Ririswari?”
“Agaknya ada persoalan pribadi yang harus diselesaikannya, ibu.”
“Persoalan pribadi?”
“Ya. Antara Raden Ayu Reksayuda dan Raden Ajeng Ririswari.”
Nyi Tumenggung Jayataruna menarik nafaspanjang. Hampir diluar sadarnya iapun berdesis, ”Kedua-duanya masih muda. Umur mereka tentu tidak bertaut banyak.”
“Ibu. Sekarang aku akan pergi. Aku harus mencari Raden Ajeng Ririswari sampai ketemu. Aku sangat malu bahwa dihadapan Raden AyuReksayuda aku adalah seorang anak muda yang lemah. Karena itu, maka aku harus berhasil menemukan Raden Ajeng Ririswari.”
“Kenapa harus kau yang mencarinya, ngger?”
“Aku tidak tahu ibu. Mungkin demikian RadenAyu Reksayuda itu melihat aku di Kadipaten, dengan serta-merta saja ia memberikan perintah. Ayah sudah berusaha mencegahnya, tetapi aku akan tetap berangkat.”
“Jika ayahmu sudah berusaha mencegahmu,kenapa kau harus berangkat juga, Suratama?”
“Aku mempunyai harga diri ibu, meskipun barangkali benar aku adalah seorang anak muda yang lemah.”
“Tetapi keadaan tentu menjadi semakin gawat.“
“Aku akan berhali-hali.“
“Para prajurit lentu berkeliaran dimana-mana. Jika terjadi salah paham Suratama, maka kau akan mengalami kesulitan.”
“Aku akan berhati-hati ibu. Aku mengenal lingkungan ini seperti aku mengenali ruang-ruang di dalam rumahku. Aku akan dapat mencari jalan terbaik tanpa bertemu dengan seorang prajurit pun.”
Nyi Tumenggung Jayataruna tidak dapat mencegahnya. Suratama pun kemudian minta diri untuk mencari Raden Ajeng Ririswari.
Nyi Tumenggung Jayataruna melepasnya dipintu pringgitan dengan mata yang basah.
Sebenarnya ia tidak rela melepaskan anaknyapergi. Tetapi seperti juga ayahnya, NyiTumenggunng mengenal sifat dan tabiat anak laki-lakinya.
Demikianlah, maka Suratama pun segera meninggalkan rumahnya. Dengan cepat Suratama menyelinap diantara gelapnya lorong-lorong sempit, sehingga tidak seorang prajurit pun yang ditemuinya.
Namun Suratama pun berpendapat bahwa Raden Ajeng Ririswari tentu sudah berada di luar dinding kota.
“Aku akan mencarinya keluar. Jika ia masih berada didalam, maka esok para prajurit akan dapat menemukannya.”
Tetapi Suratama tahu, bahwa semua pintu gerbang tentu sudah ditutup. Karena itu, maka ia pun akan mencari jalan untuk dapat meloncati dinding alau menyelinap lewat regol butulan.
Namun agaknya semua pintu gerbang dan pintu butulan telah dijaga oleh para prajurit, sehingga sulit bagi Suratama untuk dapat menembus penjagaan itu. Sedangkan untuk berterus terang, bahwa ia mendapat perintah untuk mencari Ririswari, agaknya sulit untuk dipercaya.
Sebenarnya ada juga niatnya untuk dengan sengaja menemui para prajurit yang bertugas diregol. Jika mereka tidak percaya dan menahannya, justru kebetulan. Ia mempunyai alasan yang sangat kuat untuk tidak pergi mencari Raden Ajeng Ririswari.
Tetapi harga diri Suratama tidak mengijinkannya. Dengan demikian Suratama justru mencari jalan untuk dapat keluar dari dinding kota.
Akhirnya Suratama mendapatkan sebatang pohon yang tinggi, yang dahannya menyilang sampai diatas dinding.
Dengan hati-hati, Suratama memanjat pohon itu. Dengan hati-hati pula ia meniti dahan yang menyilang sampai ke bibir dinding kota.
Namun Suratama itu terhenti. Justru diatas jalan itu.. Ia melihat lima orang prajurit peronda lewat dengan memanggul tombak pendek dibahunya.
Suratama tidak berani beregerak. Jika segerumbul daun pada pohon itu bergetar, sedangkan yang lain tidak, maka tentu akan menarik perhatian para peronda itu. Mereka akan menengadahkan wajah mereka dan melihatnya bertengger diatas dahan. Dalam keadaan yang gawat, mungkin saja para prajurit itu mengambil tindakan yang keras, langsung melontarkan tombak itu ke arahnya.
Demikian para prajurit yang meronda itu lewat, maka Suratama pun menarik nafas panjang.
Sejenak kemudian Suralama pun bergeser maju. Kemudian, dengan sigapnya anak muda ilu meloncat keluar dinding kota.
Sejenak kemudian, maka Suratama itu pun telah ditelan kegelapan.
Pada waktu yang hampir bersamaan, pada saat Suratama minta diri kepada ibunya. Nyi Tumenggung Reksabawa masih duduk dengan gelisah. Ia tidak tahu perkembangan keadaan yang terjadi di kadipaten. Namun lamat-lamat ia mendengar kentongan dalam irama titir.
Sejak Ki Tumenggung Reksabawa meninggalkan rumah untuk menghadap KangjengAdipati, maka ia selalu merasa cemas dan gelisah. Apalagi setelah terdengar suara kentongan dengan irama titir.
Sebagai isteri seorang prajurit, sebenarnya NyiTumenggung sudah terbiasa ditinggal untuk menjalankan tugas. Bahkan tugas ke medan perang sekalipun dengan segala macam kemungkinan-nya. Namun rasa-rasanya ia tidak menjadi sangat gelisah seperti malam itu.
Dalam kegelisahannya, tiba-tiba saja Nyi Tumenggung itu mendengar pintu diketuk dariluar. Perlahan-lahan. Namun jelas bagi Ki Tumenggung Reksabawa.
Di malam yang sepi, suara ketukan yang hanyaperlahan-lahan itu sempat mengejutkannya.
Ketika ketukan itu terdengar sekali lagi, maka Nyi Tumenggung bangkit berdiri. Ia berharap Ki Tumenggung Reksabawa pulang. Tetapi ketukan pintu itu bukan irama ketukan pintu Ki Tumenggung Reksabawa.
“Siapa diluar?”bertaya Nyi Tumenggung Reksabawa.
“Kami berdua, ibu. Ragajati dan Ragajaya.”
“Ragajati dan Ragajaya?”
“Ya, ibu.”
Nyi Tumenggung Reksabawa pun segera dapat mengenali suara anak-anaknya. Karena itu, maka ia pun segera bangkit berdiri dan berlari ke pintu.
Demikian pintu terbuka, maka dua orang anak muda berdiri di belakang pintu sambil berdesis “Ibu.”
“Kau ngger. Kau berdua. Marilah. Masuklah.“ Keduanya pun segera melangkah masuk. Pintupun segera ditutup kembali.
Nyi Tumenggung memeluk kedua orang anaknya bergati-ganti. Terasa hangatnya titik-titik air mata ibunya.
Ragajati dan Ragajaya dapat mengerti, kenapa ibunya menyambut mereka tidak seperti biasanya. Biasanya ibunya tak pernah menyambut mereka pada saat-saat mereka pulang dengan mata yang basah. Ibunya yang tegar itu selalu menyambut mereka dengan tersenyum serta wajah yang cerah. Ibunya tidak pernah menunjukkan gejolak perasaannya dalam keadaan apapun.
Tetapi malam ini ibunya menyambutnya denganmata yang basah.
“Marilah, ngger. Duduklah.”
Kedua orang anak muda itupun segera duduk. Ragajati, yang tertua diantara mereka berduaitu pun segera bertanya, “Apa yang telah terjadi dirumah ini ibu?”
“Ayahmu dipanggil menghadap KangjengAdipati, ngger. Aku tahu, keadaan menjadi gawat. Tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan ayahmu.”
“Siapakah yang datang memanggil ayah ke rumah ini?”
“Dua orang prajurit ngger. Itu yang aku lihat.”
“Apakah pesan ayah pada saat ayah berangkat, ibu?” bertanya Ragajaya.
“Ayahmu hanya berpesan agar aku berhati-hati.”
“Agaknya sesuatu telah terjadi, ibu.”
“Kebetulan sekali, bahwa kalian berdua pulang malam ini, ngger.”
“Guru memberitahukan, bahwa agaknya akan terjadi gejolak di kadipaten ini. Guru memberitahukan kepada kami, bahwa Raden Tumenggung Reksayuda telah terbunuh. Kemudian tersiar desas-desus bahwa Kangjeng Adipati sendirilah yang memang berniat membunuh Raden Tumenggung Reksayuda. Kangjeng Adipati telah berpura-pura mengampuninya dan memberinya kesempatan pulang. Namun semuanya itu hanya jebakan saja. Bahkan Kangjeng Adipati telah memberikan salahsatu pusakanya untuk membunuh RadenTumenggung, justru untuk menghindarkan kecurigaan orang, bahwa Kangjeng Adipati sendirilah yang sebenarnya telah merencanakan semuanya itu. Sementara juru gedong di bangsal pusaka tiba-tiba telah hilang.”
“Agaknya banyak juga yang diketahui olehguru kalian ngger.”
“Ya ibu. Guru sengaja mencari keterangan tentang peristiwa yang akan dapat memancing persoalan itu, ibu“ sahut Ragajati.
“Ya. Persoalannya memang dapat menjadi gawat. Bahkan Raden Ayu Reksayuda dan pamanmu Jayataruna sudah berniat untuk membuka sikap mereka menentang KangjengAdipati.”
“Ya. Bukan sekedar berniat, ibu. Tetapi pemberontakan itu sudah berlangsung.”
“Apa katamu?”
“Ketika aku memasuki pintu gerbang kota, kota ini belum menjadi kota tertutup ibu. Tetapi aku melihat kesibukan yang luar biasa. Para prajurit hilir mudik. Bahkan nampaknya permusuhan sudah terjadi. Ada beberapa pertempuran yang tidak jelas telah terjadi di sekitar Kadipaten. Yang terjadi itu telah menarik perhatian kami, sehingga kami dengan menyelinap di lorong-lorong sempit berusaha mendekati Kadipaten. Kami melihat bahwa kadipaten telah diserang oleh sekelompok prajurit. Kami langsung menghubungkanya dengan keterangan guru, sehingga kami berkesimpulan, bahwa paman Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda sudah dengan terang-terangan memberontak.”
“Kau melihatnya ngger?”
“Ya, ibu. Aku melihat pasukan pemberontak telah memasuki dalem Kadipaten.”
“Lalu bagaimana dengan Kangjeng Adipati dan ayahmu, ngger.”
“Aku tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi seorang prajurit yang berhasil lolos dari kepungan para pemberontak, meskipun ia sudah terluka, memberitahukan kepadaku bahwa Kangjeng Adipati dan ayah berhasil meloloskan diri.”
“Apakah prajurit itu dapat dipercaya? Mungkin ia tidak berkata sebenarnya ngger, karena prajurit itu tentu tidak dapat memper-cayai setiap orangyang ditemuinya. Apalagi dalam keadaan yang gawat ini.”
“Prajurit itu mengenal kami, ibu. Kami memang sudah kenal sejak lama dengan prajurit itu. Ia tahu, bahwa kami berdua adalah putera Ki Tumenggung Reksabawa.”
“Sukurlah ngger. Jika begitu, sebaiknya kaucari ayahmu.”
“Kemana kami harus mencarinya, ibu?”
“Mungkin ayahmu sudah meninggalkan kotabersama Kangjeng Adipati.”
“Kota telah tertutup sekarang ibu.”
“Tetapi mungkin ayahmu telah keluar pintu gerbang sebelum kota ini ditutup. Jika Kangjeng Adipati berhasil lolos dari Kadipaten, maka Kangjeng Adipati tentu akan segera pergi keluar kota. Kangjeng Adipati tentu sadar, bahwa pintu gerbang kota akan segera ditutup dan para pemberontak akan mengaduk seluruh kota untuk mencarinya. Menurut perhitunganku, ayahmu tentu bersama Kangjeng Adipati.”
“Ya, ibu. Prajurit yang berhasil lepas dari kepungan itu juga melihat, bahwa ayah bersama Kangjeng Adipati.”
“Nah, ngger. Carilah ayahmu. Sebaiknya kaupergi ke luar kota. Pintu gerbang terdekat dari dalem Kadipaten adalah pintu gerbang Utara.
Kangjeng Adipati dan ayahmu agaknya telah keluar lewat pintu gerbang terdekat itu.”
“Lalu kemana?”
“Setelah kau keluar pintu gerbang, mudah-mudahan kau mendapatkan firasat, kemana ayahmu itu pergi.”
“Tetapi bagaimana dengan ibu?”
“Tinggalkan aku sendiri di rumah, ngger. Tidak akan terjadi apa-apa dengan-aku?”
“Tetapi mungkin saja orang-orang yang sedang marah itu mengarahkan kemarahannya kepadaibu, karena mereka gagal menemukan ayah.”
“Tidak. Aku seorang perempuan. Mereka tidak akan mengusik aku di rumah.”
Rajapati dan Ragajayapun termangu-mangu sejenak. Namun Ragajati pun kemudian berkata, “Baiklah, ibu. Aku akan mencari ayah. Tetapi sebaiknya ibu tidak keluar dari rumah. Tutup pintu rapat-rapat dan jangan terpancing apapun yang ada di luar. Biarlah para pembantu menemani ibudi ruang dalam.”
“Baik, ngger. Aku akan memanggil mereka.”
Ragajati dan Ragajaya pun kemudian minta dirikepada ibunya. Diusapnya kepala kedua anakmuda itu sambil berkata “Hati-hati ngger. Keadaan menjadi sangat gawat.”
“Ya ibu.”
“Semua orang akan menjadi saling mencurigai. Karena itu, berusahalah untuk tidak bertemu dengan siapapun juga. Kau tidak tahu, apakah orang yang kau temui itu berpihak kepada Kangjeng Adipati atau berpihak kepada Raden Ayu Reksayuda.”
“Baik ibu. Sekarang kami akan mohon diri. Kami akan mencari ayah.”
Kedua orang anak muda itu pun mencium tangan ibunya sebelum mereka keluar dari pintu butulan dan menghilang ke dalam kegelapan.....
Demikianlah Ragajati dan Ragajaya itu menyelinap di lorong-lorong sempit. Mereka berdua pun mengenali seluruh kota seperti mereka mengenal rumah mereka sendiri. Sejak masa kecildan apalagi menjelang remaja, keduanya sering bermain bersama kawan-kawan mereka kemana-mana menjelajahi semua jalan dan lorong-lorong sampai lorong terkecil di dalam kota.
Karena itu, maka keduanya pun tidak terlalu sulit untuk melintas mencapai dinding kota.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Ragajaya
“Kita cari tangga. Hampir disemua rumah mempunyai tangga bambu.”
Namun mereka harus segera menyelinap ketika mereka melihat beberapa orang prajurit yang sedang meronda berkeliling. Mereka menyusuri jalan di sepanjang dinding kota di bagian dalam.
Namun demikian mereka lewat, maka Ragajati dan Ragajaya itu pun lelah mengusung sebuah tangga bambu yang mereka ambil dari halaman rumah sebelah.
Dengan cepat mereka menyandarkan tangga yang panjang itu di dinding kota. Dengan cepat pula mereka memanjat naik.
“Kita bawa tangga itu keluar, agar tidak meninggalkan jejak“ berkata Ragajati.
“Berat kakang.”
“Kita tarik saja ke atas, kemudian ujungnya kita turunkan keluar.”
Keduanya pun melakukannya dengan cepat, sehingga sebelum peronda berikutnya lewat, tangga itu pun telah hilang di balik dinding.
Kedua anak muda itu masih sempat membawa tangga itu menjauh dan meninggalkannya di tengah-tengah bulak panjang.
Ketika keduanya akan melanjutkan perjalanan, keduanya terkejut. Seorang laki-laki yang sedang meniti pematang, agaknya sengaja mendekati mereka.
“Ki Sanak. Ki Sanak“ panggil orang itu.
Ragajati dan Ragajaya termangu-mangu sejenak. Namun keduanya tidak terlalu mencemaskan orang itu. Kecuali ia hanya sendiri, agaknya orang itu adalah seorang petani yang sedang mengairi sawahnya.
“Ki -Sanak” orang itu terengah-engah ketika ia meloncati parit di pinggir jalan, “Apa yangsebenarnya telah terjadi di belakang pintu gerbang kota?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu Ki Sanak?”
“Aku mendengar suara kentongan dengan irama liur. Namun suara itu pun kemudian telah menghilang. Tetapi kemudian aku melihat dua orang bersenjata melintasi jalan ini dengan tergesa-gesa.”
“Dua orang?”
“Ya. Dua orang dengan membawa tombak. Tetapi beberapa saat kemudian, belum terlalu lama, sekelompok orang telah melintas dengan tergesa-gesa pula. Mereka juga bersenjata.”
Ragajati dan Ragajaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ragajati pun menjawab, ”Telah terjadi sedikit huru-hara. Mudah-mudahan akan segera dapat diselesaikan.”
“Huru-hara apa?”
“Aku juga belum jelas.”
“Sekarang kalian berdua akan pergi ke mana?”
Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Argajati pun menjawab, “Kami hanya ingin menjauhi huru-hara itu. Kami tidak mau terlibat dalam ontran-ontran yang terjadi.”
“Tetapi bagaimana dengan orang-orang bersenjata itu tadi?”
“Aku tidak melihat. Mudah-mudahan mereka tidak mengganggu Ki Sanak serta sanak kadang lainnya.”
“Ya. Kami adalah orang-orang yang tidak tahu apa-apa. Yang kami tahu adalah menggarap sawah dan ladang.”
“Tenanglah Ki Sanak. Menurut dugaanku, tidak akan terjadi apa-apa dengan Ki Sanak dan para petani yang lain.”
Orang itu mengangguk-angguk.
Ragajati dan Ragajaya pun kemudian minta diri. Mereka melanjutkan perjalanan mereka. Juga tergesa-gesa seperti orang-orang yang pernah lewat di jalan itu sebelumnya.
“Siapakah mereka yang lewat dengan tergesa-gesa itu menurut kakang?” bertanya Ragajaya.
Ragajati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana menurut pendapatmu? Aku menduga, dua orang yangterdahulu itu adalah Kangjeng Adipati dan ayah. Kemudian sekelompok pengikut paman Tumenggung Jayataruna berusaha memburunya. Begitu?”
“Ya. Aku juga berpendapat demikian.”
“Karena itu, marilah. Kita berjalan lebih cepat lagi. Mudah-mudahan kita dapat menemukan ayah. Akan lebih baik jika ayah itu bersama Kangjeng Adipati.”
Kedua anak muda itu pun segera mempercepat langkah mereka. Meskipun mereka masih belum yakin benar, tetapi mereka menduga, bahwa kedua orang yang terdahulu itu adalah ayah mereka yang menyertai Kangjeng Adipati yanglolos dari tangan Ki Tumenggung Jayataruna danRaden Ayu Reksayuda.
Bahkan jika mereka berada di bulak panjang, mereka pun berlari-lari kecil. Mereka tidak ingin menemukan ayah mereka serta Kangjeng Adipati setelah terlambat.
Dalam pada itu, ternyata seperti yang diduga oleh Ragajati dan Ragajaya, kedua orang yang lewat seperti yang dikatakan oleh petani itu, adalah Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
Keduanya dengan tergesa-gesa berjalan menjauhi pintu gerbang kota.
Ketika mereka merasa bahwa perjalanan mereka sudah menjadi semakin jauh, maka Kangjeng Adipati itu pun berhenti sambil berkata, ”Kita beristirahat sebentar, kakang Tumenggung.”
“Jika Kangjeng masih belum merasa sangat letih, sebaiknya kita berjalan terus Kangjeng.”
“Aku memang belum letih sekali. Tetapi kau terluka, kakang. Mungkin kakang mempunyai obat yang dapat membantu memampatkan darahitu, kakang. Nanti, jika kita sudah mapan, kita akan mencari obat terbaik.”
“Aku tidak apa-apa Kangjeng. Luka inihanyalah segores kecil.”
“Tetapi rasa-rasanya aku merasakan, darah telah meleleh dari luka itu.”
“Hanya sedikit sekali, Kangjeng.”
“Tetapi sebaiknya kau obati lukamu jika kau membawanya. Aku sendiri dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga aku tidak membawa obat apapun juga.”
“Nanti saja, Kangjeng. Marilah kita meneruskan perjalanan.”
“Kemana, kakang?”
“Kita memang belum merencanakannya, Kangjeng. Tetapi untuk sementara, asal kita berjalan menjauhi kadipaten. Nanti, kita akan memikirkannya lagi, kemana kita akan pergi.”
Tetapi sebelum keduanya beranjak pergi, makamereka melihat beberapa orang berlari-lari kecil menyusul mereka.
“Kangjeng” desis Ki Tumenggung Reksabawa“ kita harus bersiap menghadapi mereka.”
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Bukankah kita prajurit”
“Ya, Kangjeng. Kita adalah prajurit.”
Sejenak kemudian, maka sekelompok prajurit telah menyusul Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa. Sementara Ki Tumenggung pun berkata, “Jika perlu, kita berusaha untuk melepaskan diri dari mereka Kangjeng. Jangan terikat pada sikap seorang prajurit yang pantang meninggalkan medan. Tugas Kangjeng masih belum selesai.. Adalah kewajiban Kangjeng menyelesaikan tugas itu”
Kangjeng Adipati tidak menjawab. Namun tombaknya telah merunduk.
“Ternyata dugaan kita benar berkata pemimpin dari sekelompok prajurit itu, “Kangjeng Adipati akan melarikan diri kemana”
“Seperti yang kau lihat, aku tidak melarikan diri ke mana-mana”
“Ki Lurah Kertadangsa” desis Ki Tumenggung Reksabawa.
“Ya, Ki Tumenggung. Bukankah Ki Tumenggung mengenal aku? Aku adalah Lurah Kertadangsa yang mendapat kepercayaan dari Ki Tumenggung Jayataruna untuk menangkap Kangjeng Adipati dan membawanya kembali ke dalem kadipaten bersama Ki Tumenggung Reksabawa dan Raden Ajeng Ririswari”
“Sebaiknya kau kembali dan mengatakan kepada Ki Tumenggung Jayataruna, bahwa kau tidak dapat menemukan kami”
“Ki Tumenggung akan minta kami melindungi Ki Tumenggung“
“Tidak”
“Lalu kenapa Ki Tumenggung minta aku kembali kepada Ki Tumenggung Jayataruna dan mengatakan bahwa kami tidak menemukan Ki Tumenggung dan Kangjeng Adipati? Ki Tumenggung Reksabawa. Perintah Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda tegas. Bawa Kangjeng Adipati dan Ki.Tumenggung Reksabawa kembali. Hidup atau mati. Kecuali Raden Ajeng Ririswari. Kami harus membawanya kembali hidup-hidup”
”Ki Lurah Kertadangsa. Jika aku mengatakan agar kau kembali kepada Ki Tumenggung Jayataruna itu adalah karena kami masih menyayangkan nyawamu”
Wajah Ki Lurah Kertadangsa menjadi merah. Katanya, “Dalam keadaan yang terjepit, kau masih menyombongkan diri, Ki Tumenggung. Bukankah Ki Tumenggung kenal aku, Lurah Kertadangsa? Aku adalah seorang Lurah prajurit yang sudah diakui memiliki kelebihan dari para Lurah prajurit yang sudah diangkat menjadi seorang Rangga. Dan bahkan sudah menjadi seorang Tumenggung. Sayang, pada masa remajaku, aku tidak ada yang mengajari membaca dan menulis. Kerjaku tidak lebih dari berkelahi. Tetapi ternyata ada artinya pula sekarang. Karena akulah yang akan dapat menangkap Adipati Sendang Arum yang telah berbuat curang, membunuh saudaranya sendiri karena menginginkan isterinya”
“Apa katamu?” tiba-tiba saja Kangjeng Adipati memotong.
“Sudahlah. Jangan dengarkan Kangjeng” Ki Tumenggung Reksabawa lah yang menyahut. Lalu katanya, “Kertadangsa. Kau pergi atau mati. Bukan kau yang akan membunuh kami, tetapi kamilah yang akan membunuhmu”
“Persetan dengan celotehmu” geram Ki Lurah Kertadangsa. Lalu katanya kepada para prajurit yang dibawanya, “Kepung mereka. Jangan sampai lolos. Jika mereka tidak mau menyerah, kita akan habisi mereka”
Demikianlah, maka para prajurityang berada di bawah perinlah Ki Lurah Kertadangsa itupun segera memencar. Mereka pun telah mengepung Kangjeng Adipati serta Ki Tumenggung Reksabawa.”
“Sekali lagi aku peringatkan, Kangjeng. Menyerah sajalah. Kangjeng akan kami bawa ke dalem kadipaten untuk diadili”
“Siapakah yang akan mengadili aku?” bertanya Kangjeng Adipati.
“Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda.”
“Apakah menurut pendapatmu mereka berhak mengadili aku?”
“Ya. Sekarang kekuasaan sudah berada di tangan mereka.”
“Kau akui kekuasaan mereka?” bertanya KiTumenggung Reksabawa.
“Ya. Kami bukan penjilat seperti kau Ki Tumenggung Reksabawa. Tetapi sayang, bahwa tempatmu bergantung sekarang sudah runtuh.”
“Kertadangsa” sahut Reksabawa, “jika aku tidak sempat membunuhmu sekarang, maka jika kami kembali ke dalem kadipaten, maka kau akan di gantung di alun-alun.”
Kertadangsa itu tertawa. Lalu katanya, “Marilah anak-anak. Tangkap mereka berdua atau bunuh mereka.”
Para prajurit itu pun segera bergerak. Namun sebelum mereka mulai, maka tombak Ki Tumenggung Reksabawa sudah terayun mendatar. Dua orang terlempar dengan luka di dada. Sementara seorang lagi, yang sempat menangkisdengan pedangnya, justru pedangnya itu telahterlempar dari tangannya.
Sementara itu seorang yang meloncat dengan garangnya sambil mengayunkan pedangnya keleher Kangjeng Adipati, justru lelah berteriaknyaring. Pedangnya sama sekali tidak menyentuh tubuh Kangjeng Adipati yang merendah. Namun justru ujung tombak Kangjeng Adipati telah mengunjam di dadanya langsung menyentuh jantung.
Demikian Kangjeng Adipati menarik tombaknya, prajurit itu pun segera roboh di tanah.
Beberapa orang prajurit yang lain pun tertegun sejenak. Namun terdengar Ki Lurah Kertadangsa berteriak, “Hati-hati. Mereka adalah orang-orang yang licik, yang memanfaatkan kelengahan kita.”
Hampir saja tombak Ki Tumenggung Reksabawa menyambar mulut Ki Lurah Kertadangsa. Untunglah bahwa Ki Luraah sempat meloncat surut. Ketika Ki Tumenggung akan memburunya, seorang prajurit justru meloncat menyerangnya, sehingga Ki Tumenggung Reksabawa harus menghindarinya.
Demikianlah sejenak kemudian, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa harus berloncatan dengan cepat menghindari serangan-serangan yang datang dari segala penjuru.
Tetapi Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa adalah prajurit-prajurit linuwih. Karena itu, maka dihadapinya sekelompok prajurit itu dengan tegarnya. Tombak mereka berputaran, menyambar-nyambar. Sekali-sekali terjadi benturan dengan senjata para prajurit yang mengeroyoknya. Namun tangan-tangan paraprajurit itulah yang menjadi pedih.
Bahkan setiap kali terdengar seorang diantara mereka yang mengaduh kesakitan jika ujung tombak Kangjeng Adipati atau Ki Tumenggung Reksabawa menggores salah seorang dari mereka.
Ki Lurah Kertadangsa menjadi semakin marah, ketika seorang lagi prajuritnya terpelanting jatuh. Ujung tombak Kangjeng Adipati telah mengoyakperut prajurit itu.
“Cepat, selesaikan, jangan ragu-ragu. Bunuh mereka berdua.”
Ki Lurah Kertadangsa sendiri telah langsung melibatkan diri. Ia memang seorang Lurah prajurit pilihan. Karena itu, maka Ki Lurah Kertadangsabersama para prajuritnya mampu menggoyah-kan pertahanan Kangjeng Adipati seria Ki Tumeng-gung Reksabawa.
Sebenarnyalah, para prajurit yang jumlahnyaberlipat ganda itu, mampu semakin mendesakKangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
Meskipun mereka belum berhasil memisahkankeduanya yang bertempur berpasangan, namun KiLurah Kertadangsa mampu mendesak Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
Semakin lama, Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksa-bawa menjadi semakin mengalami kesulitan. Para prajurit itu telah menyerang mereka sejadi-jadinya. Mereka tidakmemberi peluang lagi kepada Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung untuk mengembangkan serangan-serangan mereka, karena jumlah merekayang terlalu banyak dibandingkan dengan hanyadua orang.
Ki Tumenggung Reksabawa bergeser surut sambil berdesah tertahan ketika pundaknya tersentuh ujung pedang, sehingga darah pun mulai mengembun. Namun dalam pada itu, Kangjeng Adipatipun terkejut ketika ujung tombak dari salah seorang prajurit itu sempat mematuk pinggangnya.
“Kalian telah terluka”teriak Ki Lurah Kertadangsa.”
“Ya” jawab Kangjeng Adipati jujur, “tetapi luka itu tidak mempengaruhi tenaga dan ilmuku.”
“Omong kosong” bentak Kertadangsa, “setiap luka tentu berpengaruh. Apalagi jika luka itu berdarah. Semakin banyak darah yang mengalir, maka tenaga seseorang akan menjadi semakin lemah. Kau tentu tahu akibatnya.”
“Tetapi sebelum tenagaku terkuras habis karena darahku mengalir dari luka-luka, maka kalian telah mati.”
Ki Lurah Kertadangsa tertawa berkepanjangan.
Sebenarnyalah bahwa Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa sudah menjadi semakin terdesak. Tidak hanya segores luka yang telah mengoyak pakaian dan kulit Kangjeng Adipati. Tetapi punggungnya telah terluka pula. Lengannya dan pahanya. Demikian pula Ki Tumenggung Reksabawa.
Meskipun demikian, keduanya pun masih bertempur dengan garangnya. Bahkan ketika perasaan pedih semakin terasa menggigil, maka keduanya justru bertempur semakin sengit.
Dalam keadaan terluka, Kangjeng Adipati dan KiTumenggung Reksabawa masih sempat melemparkan dua orang lawan mereka. Dadamereka telah terkoyak oleh ujung-ujung tombak Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
Tetapi musuh terlalu banyak. Sehingga ketika dua orang terlempar, maka yang lain pun telah mendesaknya dengan ujung-ujung senjata teracu.
Ketika darah Kangjeng Adipati dan KiTumenggung Reksabawa semakin banyak menitik, maka rasa-rasanya tenaga mereka memang menjadi semakin menyusut. Sementara itu, lawanmasih saja menyerang seperti badai.
Dalam keadaan yang sulit, maka Ki Tumenggung Reksabawa berniat untuk meninggalkan arena pertempuran mumpung mereka masih mampu melawan. Mereka akandapat lari sambil mempertahankan diri dari serangan-serangan orang yang mengejarnya itu.
Tetapi nampaknya Ki Lurah Kertadangsa yang mempunyai pengalaman yang luas itu dapat menduga, bahwa keduanya akan bertempursambil menghindar. Karena itu, maka Ki Lurah itu pun berteriak, “Kepung mereka rapat-rapat. Jangan biarkan mereka melarikan diri dari medan.”
Para prajurit itu semakin merapatkan kepungan mereka. Sambil menyerang mereka menutup segala kemungkinan bagi Kangjeng Adipati serta Ki Tumenggung Reksabawa untuk menyingkir.
“Tidak ada jalan keluar dari kepungan” terdengar suara Ki Lurah Kertadangsa yang agak parau.
Baik Kangjeng Adipati maupun Ki Tumenggung Reksabawa tidak menjawab. Tetapi mereka memang merasa benar-benar terjerat dalam sebuah kepungan yang rapat.
Satu-satunya jalan untuk keluar dari kepungan adalah berusaha bersama-sama mengoyak kepungan itu.
“Menyerah sajalah. Kami akan membawaKangjeng Adipati dan Ki Tumenggung ke dalem kadipaten. Tetapi karena Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung sudah membunuh beberapa orang prajurit yang sedang bertugas, maka Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung akan kami ikat tangannya di belakang. Kemudian akan kami kalungkan tampar di leher untuk menuntun Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung, agar tidak membahayakan para prajurit.”
“Setan kau Kertadangsa” geram Ki Tumenggung, “Kau telah menghinakan kami. Kau telah merendahkan nama Kangjeng Adipati. Kaulah yang akan dihukum mati. Kau akan digantung di alun-alun.”
“Siapakah yang akan menggantung aku? Kalian berdua akan terikat dan akan kami dera seperti seekor binatang.”
“Kau akan menyesali kesombonganmu.“
Ki Lurah Kertadangsa tertawa berkepanjangan.
“Cepat anak-anak. Tangkap mereka. Kita akan memasang kendali dan menggiringnya ke kadipaten. Kita bangunkan penghuni yang tinggal di pinggir jalan untuk melihat Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung yang terpercaya di kendarai seperti seekor kerbau yang akan di bawa ketukang jagal.”
Namun tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, “Bertahanlah Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa. Kami. akan segera bergabung.”
Suara itu telah mengejutkan mereka yang sedang bertempur. Karena itu, tanpa bersepakat lebih dahulu, pertempuran itu seakan-akan telah berhenti sesaat.
“Siapakah kau?” bertanya KiLurah Kertadangsa.
“Siapapun kami, maka kami akan berpihak kepada Kangjeng Adipati.”
“Persetan. Keluarlah jika kau memang seoranglaki-laki.”
Tiba-tiba saja dari dalam kegelapan berloncatan dua bayangan dengan tangkasnya. Mereka melenting dan kemudian berputar di udara. Dengan lunak kaki-kaki mereka pun kemudian berjejak di tanah.
“Mudah-mudahan kami tidak terlambat, ayah” berkata Ragajati yang berdiri beberapa dari ayahnya.“
“Ragajatiu, kaukah itu?”
“Ya ayah. Aku datang bersama Ragajaya”
“Ini aku ayah“ desis Ragajaya yang berdiri di belakang Kangjeng Adipati.
“Siapakah mereka, kakang Tumenggung” bertanya Kangjeng Adipati.
“Keduanya adalah anakku, Kangjeng.”
“Jika demikian, kenapa merera tidak kau perintahkan untuk pergi dari tempat yang gawat ini?”
“Hamba datang untuk membantu Kangjeng Adipati serta ayah.”
“Tempat ini sangat berbahaya, kakangTumenggung.”
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi ragu-ragu. Kedua anaknya masih belum berpengalaman menghadapi keadaan yang sangat keras seperti yang sedang terjadi. Namun keduanya telah berada di padepokan untuk berguru kepada seorang yang memiliki kelebihan.
Dalam pada itu, maka Ragajati pun berkata, “Ayah. Kami datang atas permintaan ibu untuk menyusul Kangjeng Adipati dan ayah. Sekarang, kami berhasil menemukan Kangjeng Adipati danayah disini. Karena itu, jangan perintahkan kami pergi. Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan untuk membantu Kangjeng Adipati dan ayah.”
“Tetapi tempat ini sangat berbahaya bagi kalian” sahut Kangjeng Adipati.
“Hamba mengerti Kangjeng. Tetapi kami sudah bertekad untuk melibatkan diri.”
“Persetan dengan anakmu Ki Tumenggung” tiba-tiba saja Ki Lurah Kertadangsa berteriak, “ia sudah ada disini. Ia tidak akan dapat pergi. Memang nasibmu sangat buruk, Ki Tumenggung. Kau dan anakmu akan mati bersama-sama disini. Besok atau lusa isterimu pun akan mati. MeskipunKi Tumenggung Jayataruna dan Raden AyuReksayuda tidak akan mengambil tindakan apa-apa terhadap isterimu, tetapi kematianmu dan kedua anakmu akan membuatnya menderita. Bahkan mungkin ia akan membunuh diri.”
Namun yang mengejutkan telah terjadi. Sebelum mulut Ki Lurah Kertadangsa terkatub rapat, maka Ragajaya telah menarik pedangnya. Sambil meloncat dijulurkannya pedangnya ke arah jantung Kertadangsa.
Ki Lurah Kertadangsa pun terkejut pula. Namun sebagai seorang yang berpengalaman, makadengan gerak naluriah, ia masih sempat mengelakkan diri. Bahkan dengan cepat Ki Lurah Kertadangsa mengayunkan senjatanya untuk membalas menyerang.
Ragajaya meloncah mengambil jarak. Namun ketika ia siap untuk menyerang Ki Lurah, maka ayahnya pun berkata, “Biarlah aku hadapi Lurah edan ini.”
Ragajaya mengurungkan serangannya. Tetapi ia pun segera menghadapi para prajurit yang dengan serta-merta bergeiak pula.
Pertempuran pun telah menyala kembali. Tetapi Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa tidak hanya berdua. Mereka bertempur berempat bersama kedua anak muda yang telah ditempa di sebuah perguruan yang mapan.
Sementara itu, beberapa orang prajurit sudah terbaring diam. Ada di antara mereka yang masih mengerang kesakitan. Tetapi prajurit itu sudah tidak dapat bangkit lagi.
Sebenarnyalah bahwa kehadiran Ragajati dan Ragajaya telah merubah keseimbangan pertempuran. Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa yang memiliki ilmu yangtinggi, sedangkan Ragajati dan Ragajaya yangtelah mendapat bekal yang lengkap dari sebuah perguruan yang mapan, telah mampu mengimbangi lawan-lawan mereka yang jumlahnya masih lebih banyak itu.
Dalam pertempuran selanjutnya, ternyata Ragajati dan Ragajaya bertempur berpasangan. Mereka berdiri sebelah menyebelah dari arah yang berbeda. Namun kadang-kadang Ragajati dan Ragajaya itu bergerak dengan cepat dalam satuputaran, sehingga kedua-duanya seolah-olah telah menjadi sesosok tubuh dengan ampat tangan danampat kaki serta dua wajah yang menghadap kearah yang berbeda. Sehingga dengan demikian,maka beberapa orang yang bertempur melawan mereka menjadi bingung.
Namun tiba-tiba dua orang diantara para prajurit itu terlempar keluar arena dengan darah yang mengucur dari lukanya.
Dalam pada itu, Kangjeng Adipati pun bertempur seperti banteng yang terluka. Beberapa orang prajurit yang mengepung-nya, kadang-kadang harus berloncatan surut sehingga kepungan pun menjadi pecah.
Tetapi semakin lama lawannya menjadi semakin sedikit. Bahkan Ragajaya dan Ragapati pun sudah hampir kehabisan lawan pula. Sehingga ketika Ragajaya dan Ragapati kemudian bergabung dengan Kangjeng Adipati, maka para prajurit yang tersisa pun menjadi ragu-ragu.
Yang masih bertempur dengan sengitnya adalah Ki Tumenggung Reksabawa melawan KiLurah Kertadangsa. Ki Lurah ingin menunjukkan bahwa ia memang seorang lurah prajurit yang terpercaya. Ia ingin menunjukkan, bahwa meskipun ia bukan seorang Tumenggung, tetapi iaakan dapat mengalahkan dan bahkan membunuh Ki Tumenggung Reksabawa, kepercayaan Kangjeng Adipati.
Tetapi ternyata Ki Lurah Kertadangsa tidak dapat mengingkari kenyataan. Semakin lama KiLurah itu pun menjadi semakin terdesak. Jika semula ia selalu meneriakkan kemenangan yang sudah di depan hidungnya setelah Ki Tumenggung itu terluka, maka kenyataan yang dihadapinya sudah berbeda.
Ki Tumenggung tidak menjadi semakin lemah karena darahnya telah mengalir. Tetapi Ki Tumenggung seakan-akan justru menjadi semakin tegar. Bahkan Ki Lurah pun mulai tersentuh oleh ujung tombak Ki Tumenggung. Beberapa gores luka telah menganga di tubuhnya. Darah pun telah mengalir pula dari luka-lukanya.
Ki Lurah Kertadangsa itu pun menggeram. Jika semula ia dapat bertempur bersama beberapa orang prajuritnya, maka semakin lama prajuritnya pun menjadi semakin menyusut, sehingga akhirnya, tinggal beberapa orang yang sudah terluka yang masih mencoba untuk bertahan.
Bahkan akhirnya, tidak seorang pun lagi yang masih bertempur melawan Kangjeng Adipati serta kedua orang anak laki-laki Ki Tumenggung Reksabawa itu.
Yang tinggal hanyalah Ki Lurah Kertadangsa yang bertempur melawan Ki Tumenggung Reksabawa.
“Ki Lurah. Dalam keadaan seperti ini, kau akan melihat kebenaran tataran kepangkatan serta jabatan yang telah ditetapkan di Kadipaten Sendang Arum.”
“Aku tidak peduli, Ki Tumenggung. Sekarang saatnya aku membunuhmu.”
Tetapi Ki Tumenggung berkata selanjutnya, “Meskipun kau kerahkan semua ilmu dan aji kesaktian yang kau miliki, ternyata kau masih belum pantas untuk dinaikkan pangkatmu. Kau masih terlalu canggung bertempur di arena pertempuran yang sebenarnya. Apalagi secara pribadi kau bukan apa-apa. Jika sekarang kau berhadapan dengan seorang Tumenggung, maka kau baru menyadari, bahwa kau masih terlampau kecil untuk mendambakan kenaikan pangkat dan jabatan.”
“Persetan Ki Tumenggung. Aku akan membunuhmu. Aku akan membunuh Kangjeng Adipati dan kedua orang anakmu itu.”
“Prajurit-prajuritmu sudah habis. Ada yang terbunuh. Ada yang terluka parah sehingga tidak dapat bangkit lagi. Ada yang terluka hanya ringan saja, tetapi sudah berputus-asa dan menyerah.”
“Aku akan membunuh mereka yang menjadi pengecut.”
“Bagaimana kau dapat membunuh mereka jika kau sendiri akan mati.”
“Jangan hanya membual Ki Tumenggung.”
Ki Tumenggung tidak menjawab. Namun serangan-serangannya datang membadai.
“Menyerahlah Ki Lurah Kertadangsa. Kau tidak mempunyai kesempatan lagi.”
Ki Lurah Kertadangsa tidak menjawab. Tetapi ia pun meloncat dengan garangnya. Senjatanya pun terayun mendatar menebas kearah leher Ki Tumenggung.
Namun Ki Tumenggung sempat merendah. Dengan tangkasnya Ki Tumenggung menjulurkan tombaknya ke arah dada.
Terdengar Ki Lurah Kertadangsa itu berteriak memaki dengan kasarnya. Namun suaranya pun menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya, suaranya yang menjadi parau itu tidak terdengar lagi. Ketika Ki Tumenggung Reksabawa menarik tombaknya, maka Ki Lurah Kertadangsa itu pun segera terjatuh dan terbaring di tanah. Nafasnya sudah tidak mengalir lagi di lubang hidungnya.
Ki Tumenggung pun berdiri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Tumenggung itu berkata, “Kangjeng. Agaknya pekerjaan kita disini sudah selesai.”
Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kedua orang anak laki-laki Ki Tumenggung Reksabawa itu berganti-ganti. Dengan nada dalam Kangjeng Adipati pun berkata, ”Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian berdua.”
“Sudah menjadi kewajiban kami, Kangjeng” sahut Ragajati.
“Ayahmu memang memikul kewajiban sekarang ini. Tetapi sebenarnya kalian masih belum waktunya. Meskipun demikian, kalian telah menunjukkan pengabdian kalian. Yang terpenting bukan kepadaku, tetapi kepada Sendang Arum.”
“Kami berdua ingin membantu ayah kami dalam tugas-tugasnya, Kangjeng.”
“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih” Kangjeng Adipati itu terdiam sejenak. Lalu katanya kepada Ki Tumenggung Reksabawa, “Apa yang harus kita lakukan sekarang kakang?”
“Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum yang lain datang, Kangjeng.”
“Bagaimana dengan mereka yang terbunuh? Apakah kita akan meninggalkan mereka begitu saja.”
“Biarlah yang masih hidup mengurus kawan-kawannya yang sudah mati” jawab Ki Tumenggung.
“Kita akan kemana?”
“Kita akan pergi ke Kademangan Karangwaru. Kita akan membuat landasan perjuangan untuk menegakkan tatanan dan paugeran di Sendang Arum dari Karangwaru. Menurut pendapatku, Demang Karangwaru serta rakyat di sekitarya masih akan mendukung tegaknya kedudukanKangjeng Adipati.”
“Baiklah, kakang Tumenggung.”
Ki Tumenggung Reksabawa itu pun kemudian berkata kepada seorang prajurit yang terlukatetapi tidak terlalu parah, “Terserah kepadamu. Rawatlah kawan-kawanmu yang masih hidup danyang sudah mati. Kami akan melanjutkan perjalanan ke Kademangan Karangwaru atau ke Kadipaten Majawarna, yang tentu akan mendukung perjuangan kami merebut kembali Kadipaten Sendang Arum dari tangan para pemberontak.”
Prajurit itu tidak menjawab. Sekali-sekali mulutnya masih menyeringai menahan pedih lukanya yang basah oleh keringat.
Sejenak kemudian, maka Kangjeng Adipati diiringi oleh. Ki Tumenggung Reksabawa serta kedua orang anak laki-lakinya telah meninggalkan tempat itu. Mereka mengikuti jalan panjang yang akan melewati padang perdu yang mengantarai bulak persawahan dengan hutan yang memanjang ke Barat.
Namun setelah mereka mendekati sebuah padukuhan di-hadapan mereka, Ki Tumenggung Reksabawa pun berkata, “Kita akan berbelok disini Kangjeng.”’
“Bukankah jalan ini menuju ke Kademangan Karangwaru? Bahkan jika kita akan pergi ke Kadipaten Majawarna?”
“Kita tidak akan pergi ke Karangwaru atau ke Majawarna.”
“Tetapi tadi kakang Tumenggung mengatakan, bahwa kita akan pergi ke Karangwaru atau ke Majawarna.”
“Para prajurit yang masih bertahan hidup itu akan melaporkan tujuan kita. Mereka tentu akan menyusul kita ke Karangwaru. Jika para prajurit yang menyusul kita ke Karangwaru itu tidak menemukan kita, maka mereka tentu mengira kita sudah berada di Kadipaten Majawarna. Untuk memasuki kadipaten yang besar dan kuat seperti Kadipaten Majawarna, Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksabawa tentu akan berpikir dua tiga kali lagi.”
“Lalu sekarang kita pergi kemana?”
“Ke hutan itu. Kita akan berhenti mengobati luka-luka kita sambil memikirkan arah perjalanan kita yang sebenarnya.”
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk.
Beberapa saat kemudian mereka telah berada di hutan yang lebat. Sementara itu langit pun menjadi semakin terang. Cahaya fajar yang semburat merah sudah naik dan mewarnai langit.
Di pinggir hutan yang lebat itu mereka berhenti. Ki Tumenggung mempunyai serbuk obat di dalam sebuah bumbung kecil yang dibawanya kemana-mana.
Ragajati dan Ragajaya pun kemudian mengobati luka di tubuh Kangjeng Adipati dan di tubuh ayahnya dengan serbuk yang dibawa ayahnya itu.
Bahkan kemudian, Ki Tumenggung-pun telah mengobati goresan-goresan senjata di tubuh kedua anaknya yang ternyata juga sudah terluka, meskipun tidak banyak mempengaruhinya.
Setelah beristirahat sejenak, maka Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, “Nah, sekarang kita sempat memikirkan, kita akan pergikemana?”
“Ada dua arah yang dapat kita tuju, Kangjeng. Ke padepokan tempat kedua orang anakku ini berguru. Atau pergi ke lereng gunung, ke tempat tinggal Ki Ajar Anggara.”
“Ki Ajar Anggara bekas mertua Kakang Tumenggung Reksayuda?”
“Ya, Kangjeng.”
“Kenapa ke sana?”
“Ki Ajar Anggara mempunyai wawasan yang sangat luas.”
“Tetapi jika Ki Ajar Anggara juga menganggap bahwa aku telah membunuh bekas menantunya itu?”
“Mudah-mudahan tidak, Kangjeng. Ki Ajar Anggara adalah seorang yang bijaksana. Mempunyai pandangan yang luas dan ketajamanpenalaran. Menurut pendapatku. Ki Ajar tidak akan dengan tergesa-gesa mengambil sikap.”
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya lagi, “Bagaimana dengan cucunya, anak laki-laki kangmas Tumenggung Wreda Reksayuda?”
“Ki Ajar Anggara akan menjelaskannya kepadanya.” Kangjeng Adipati itu pun mengangguk-angguk. Katanya
“Baiklah. Kita akan pergi ke padepokan Ki AjarAnggara.”
Demikianlah, setelah beristirahat beberapa saat, maka mereka berempat pun segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan mereka masih jauh. Sementara itu, mereka harus berusaha menyamarkan dirinya. Sementara itu pakaian mereka terkoyak di mana-mana. Noda-noda darah pun telah melekat di baju dan kain panjang mereka, sehingga dengan demikian maka mereka tidak dapat mengambil jalan yang ramai.
Ki Tumenggung pun telah membawa Kangjeng Adipati serta kedua anaknya menempuh jalan pintas. Mereka menelusuri jalan-jalan setapak. Kemudian merayap di lereng-lereng pebukitan. Menuruni tebing-tebing yang tinggi dan berbatu padas.
Dalam pada itu, maka para prajurit yang terluka, yang ditinggal oleh Kangjeng Adipati danKi Tumenggung Reksabawa berusaha mencari bantuan. Ketika seorang petani lewat, maka seorang prajurit yang telah terluka segera memanggilnya, “Jangan takut. Aku minta bantuanmu.”
“Ada apa Ki Sanak?”
“Kemarilah.”
Petani itu termangu-mangu sejenak. Memang ada rasa takut dan was-was terhadap orang itu.
“Kau tinggal dimana?” bertanya prajurit yang terluka tidak terlalu parah itu.
“Di padukuhan sebelah, Ki Sanak”
Tolong, panggilkan Ki Bekel di padukuhanmu. Atas nama Ki Lurah Kertadangsa. Pemimpin pasukan khusus sekarang ini.”
“Kalian siapa?” bertanya seorang petani.
“Kami adalah prajurit dari Sendang Arum. Lihat pakaian kami dengan ciri-ciri keprajuritan.”
“Prajurit Sendang Arum.?”
“Ya.”
“Lalu, apakah yang sebenarnya terjadi disini?”
“Telah terjadi pemberontakan di SendangArum. Kami. sedang memburu pemimpin pemberontak itu. Kami bertempur disini. Tetapi jumlah para pemberontak terlalu banyak, sehingga kami mengalami kesulitan. Pimpinan kami. Ki Lurah Kertadangsa telah gugur di pertempuran ini.”
Petani itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun telah pergi ke padukuhan dengan tergesa-gesa.
Ki Bekel dan Ki Jagabaya padukuhan itu pun segera pergi ke bulak untuk melihat apa yang telah terjadi. Ternyata di bulak terdapat beberapa orang yang terluka dan bahkan terbunuh.”
“Apa yang harus kami lakukan?” bertanya KiBekel.
“Perintahkan dua atau tiga orang berkuda pergi ke kadipaten. Beritahukan, bahwa sekelompok prajurit telah bertempur melawanpara pemberontak. Tetapi jumlah para pemberontak terlalu banyak, sehingga paraprajurit telah menjadi korban.”
“Baik, Ki Sanak. Aku akan memerintahkan dua orang berkuda pergi ke kadipaten.”
Sementara dua orang anakmuda pergi ke kadipaten, maka orang-orang di padukuhan sebelah telah membantu mengumpulkan mereka yang terbunuh dan mereka yang terluka. Dengan pedati yang ada di padukuhan itu, maka parakorban telah dibawa ke banjar padukuhan terdekat.
“Sayang, kami tidak tahu bahwa peristiwa ini telah terjadi. Jika saja aku tahu. maka seisi padukuhan ini akan keluar dengan, “membawa senjata apa saja yang ada pada kami” berkata seorang laki-laki yang janggutnya sudah mulai memutih.
“Peristiwanya terjadi begitu cepat. Ketika kami sedang lewat untuk memburu para pemberontak, tiba-tiba saja kami disergap oleh sekelompok pemberontak yang jumlahnya banyak sekali. Akhir dari pertempuran itu adalah seperti yang kalian lihat sekarang.”
Ki Bekel, para bebahu dan orang-orang padukuhan itu percaya. Namun dengan demikian, maka mereka mulai gelisah, bahwa keadaan menjadi tidak aman lagi. Para brandal dari kelompok-kelompok penjahat akan segera bangkit lagi dari kehidupan yang sulit karena tindakan tegas dari para prajurit Sendang Arum. Namun tiba-tiba. saja mereka menyaksikan, sepasukan prajurit telah dibantai oleh sekelompok pemberontak. Para pemberontak itu dibelakang hari tentu tidak hanya memusatkan perhatian mereka untuk menggulingkan kedudukan Kangjeng Adipati. Tetapi para perampok itu tentu akan sangat merugikan rakyat.
Sebelum ada langkah-langkah yang diambil olehpara pemimpin di Sendang Arum, maka Ki Bekel pun telah mengambil sikap untuk menguburkan korban yang telah gugur.
Sedangkan mereka yang terluka dikumpulkan di banjar padukuhan.....
Dalam pada itu, di padang perdu yang membentang di-antara beberapa bukit-bukit kecil berbatu-batu padas, dua orang berjalan di jalan setapak yang berbatu-batu runcing.
Seorang laki-laki muda menarik tangan seorang gadis sambil membentak, “Cepat. Kita harus pergi lebih jauh lagi”
“Aku letih sekali, kakang”desis gadis yang berjalan tertatih-tatih. Kakinya terasa sakit sekaliselain terasa sangat letih.
“Jika para pengikut Miranti sempat menyusul kita, maka kita akan ditangkapnya, dan dibawa kembali ke kadipaten. Kita akan menjadi pangewan-ewan. Kita akan dipermalukan dihadapan orang banyak oleh Miranti.”
“Tetapi aku letih sekali.”
“Kita tidak boleh berhenti. Kita harus menyingkir semakin jauh.”
Namun akhirnya keduanya pun berhenti. Gadis yang letih itu langsung menjatuhkan dirinya. Dipijit-pijitnya kakinya serta diurutnya punggung telapak kakinya yang terasa sakit.
Ketika anak muda yang membawanya itu kemudian duduk di sebelahnya maka gadis itu pun menarik nafas panjang.
Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, anak mudaitu sudah geremang, “Kita tidak boleh berhenti terlalu lama. Kita harus segera beranjak dari tempat ini.”
“Ya, kakang. Aku mengerti. Tetapi aku ingin beristirahat sebentar saja disini.”
Anak muda itu tidak menyahut. Tetapi wajahnya nampak gelap. Dari sorot matanya, terpancar kegelisahan yang dalam.
“Kakang” berkata gadis itu, “aku ingin mengucapkan terima kasih, kakang telah menyelamatkan aku dengan membawa aku keluar dari taman kadipaten yang kemudian ternyata telah diserang oleh para pemberontak.”
Laki-laki muda itu masih berdiam diri.
“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih.”
“Kau tidak usah mengucapkan terima kasihkepadaku” berkata laki-laki muda itu.
“Bukankah kakang telah menyelamatkan aku?”
“Siapa yang akan menyelamatkanmu? Aku membawamu pergi dari kadipaten bukan karena aku ingin menyelamatkanmu. Tetapi aku tidak mau kau mati karena tangan orang lain. Kau harus mati karena tanganku sendiri.”
“Kakang. Apa artinya ini semua?”
“Ayahandamu telah membunuh ayahku. Maka sekarang sampai pada gilirannya, aku membunuhmu.”
“Kakang” wajah gadis itu menjadi tegang.
“Jika aku berusaha membawamu keluar dari taman kadipaten, aku memang tidak merelakankau jatuh ketangan Miranti. Aku tahu, Miranti sangat membencimu. Karena itu, jika kau jatuh ke tangannya. maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Tetapi ditanganku nasibmu tidak akan menjadi lebih baik. Ayahmu dengan licik telah membunuh ayahku. Apapun caranya, tetapi yang terjadi itu telah membuat hatiku menjadi luka. Luka yang sangat dalam dan tidak mungkin diobatilagi.”
“Kakang” gadis itu, Ririswari, menjadi sangat cemas. Ia melihat kesungguhan di wajah Jalawaja anak muda yang mengancamnya itu.
“Aku masih belum dapat menunjukkan bakti serta kesetiaanku kepada ayahku. Bahkan ketika kami berpisah sebelum ayah diasingkan, aku telah mengguncang hati ayah. Ternyata sakit hati ayahitu dibawanya sampai hari-harinya yang terakhir. Ketika ditawarkan kepadaku untuk ikut menjemput ayah dari pengasingan, aku tidak bersedia. Ternyata bahwa aku tidak pernah lagi bertemu dengan ayah.”
“Kakang percaya bahwa ayahku yang telahmembunuh ayahmu?”
“Ya. Selain panggraitaku serta perhitunganku yang panjang, disertai dengan bukti yang ada, maka ayahmu telah membunuh ayahku dengancara yang sangat licik.”
“Kakang. Seandainya tuduhan kakang itu benar, bukankah bukan aku yang bersalah?”
“Kau memang tidak bersalah. Tetapi aku tidak dapat membalas membunuh ayahmu karena ayahmu dikelilingi oleh para pengawalnya. Karenaitu, aku akan membunuhmu.”
“Kakang” Ririswari bergeser surut. Tetapi Jalawaja pun melangkah maju mendekatinya.
“Kita sekarang berada di tempat yang terbuka. Jauh dari pemukiman dan bahkan tempat ini jarang sekali didatangi orang. Karena itu, maka kau tidak akari dapat mengelak lagi. Tidak ada orang yang akan dapat menolongmu.”
Wajah Ririswari menjadi semakin tegang. Apalagi ketika kemudian Jalawaja menarik kerisnya sambil berkata, “Pandanglah jagad ini sepuas-puasmu untuk yang terakhir kalinya, Riris. Pandanglah langit serta awan putih yang mengalir ke utara. Sebentar lagi kau akan mati. Aku tidak mau orang lain membunuhmu. Tetapi aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri.”
Keringat dingin mengalir di seluruh tubuh Ririswari. Dipandanginya wajah Jalawaja dengan tajamnya. Sedangkan tubuh gadis itu menjadi gemetar.
“Katakan pesanmu terakhir Riris. Atau pesanmu buat orang lain.”
Ririswari bergeser setapak surut. Namun tiba-tiba saja, seakan-akan begitu saja tumbuh didalam dirinya, keberanian yang luar biasa. Tiba-tiba saja, Ririswari tidak lagi ketakutan melihat keris Jalawaja yang bergetar. Bahkan Ririswari tidak merasa cemas lagi melihat geramnya wajah Jalawaja. Bahkan kemudian Ririswari itupun justru bergeser setapak maju. Dengan mata yang basah dan suara sendat tetapi mantap, Ririswari pun berkata, “Kakang. Jika itu yang kau kehendaki, lakukanlah kakang. Kalau kau ingin membunuhku sekarang. Bunuhlah. Aku memang tidak dapat mengelak lagi. Aku tidak akan dapat lari. Aku juga tidak akan dapat minta tolong kepada siapapun. Tetapi seandainyaa itu dapat aku lakukan, akumemang tidak ingin lari. Aku tidak ingin minta tolong kepada siapapun, jika dengan kematianku, kau akan mendapat kepuasan, maka lakukanlah. Bunuhlah aku. Aku akan merasa gembira di saat-saat akhir hayatku karena kematianku masih mempunyai arti bagimu.”
“Cukup”.
“Kakang, aku masih akan mengucapkan terimakasih kepadamu, bahwa baru sekarang kau akhiri hidupku. Tidak semalam di taman kadipaten, sehingga pagi ini aku masih sempat melihat matahari terbit.”
“Diam. Jangan banyak bicara lagi. Sekarang tundukkan kepalamu. Pejamkan matamu, akuakan menusuk dadamu.”
“Tidak perlu kakang. Aku tidak perlu menundukkan wajahku. Aku tidak perlu memejamkan mataku, Aku ingin melihat kilatan kerismu saat kerismu menikam dadaku. Aku inginmelihat titik-titik darahku yang memancar dari lukaku sebelum aku menarik nafasku yang terakhir. Kakang. Aku akan merelakan hidupku demi kepuasanmu.”
“Diam. Diam kau Riris.”
“Bukankah kakang minta aku memberikan pesanku yang terakhir? Nah, selamat tinggal kakang. Kakang dapat mengatakan kepada Rara Miranti, bahwa aku telah mati di tangan kakangsendiri.”
“Cukup. Cukup Riris.”
“Kakang. Jika kakang ingin melakukannya, lakukan sekarang. Aku sudah siap.”
“Kau tidak takut. Riris?”
“Tidak kakang. Bukankah jalan ini adalah jalan terbaik bagiku.? Kakang telah memberikan artibagi hidupku.”
“Riris. Kenapa kau tidak menjadi ketakutan? Kenapa kau tidak gemetar dan berjongkok dihadapanku untuk minta diampuni?”
“Kenapa aku harus takut menghadapi kematianku. jika kematianku itu membahagiakanmu? Sudahlah kakang. Jangan membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Ayunkan kerismu dan hunjamkan ke dadaku. Akuakan mati. Tubuhku akan terkapar disini. Mungkin nanti atau besok, tubuhku akan menjadi makananburung-burung pemakan bangkai. Tetapi nyawaku akan tersenyum bersamamu kakang. Aku akan ikut merasakan kebahagiaanmu.”
“Diam. Diam. Kau jangan berbicara lagi. Riris” teriak Jalawaja.
Riris terdiam. Tetapi ia masih sajamenengadahkan dadanya.
“Tidak. Tidak” berkata Jalawaja kemudian “aku tidak akan membunuhmu sekarang. Kematianmu sia-sia. Yang akan aku sakiti hatinyaadalah paman Adipati yang telah membunuh ayahku. Karena itu. aku akan membunuhmu dihadapan paman Adipati. Atau setidak-tidaknya paman Adipati tahu. bahwa aku telah membunuhmu. Jika aku bunuh kau sekarang, maka berita kematianmu itu tidak akan sampai ke telinga paman Adipati.”
Ririswari mengerutkan dahinya. Kemudiania pun berkata, “Bukankah kakang dapat berceritera kepada ayah. bahwa aku sudah mati? Bahkan tubuhku atau sisa-sisa tubuhku dan pakaianku akan dapat diketemukan disini? Ayahakan tahu. bahwa aku sudah mati. Kakang dapat mengatakan kepada ayah, bahwa kakang Jalawaja lah yang telah membunuhku.”
“Tetapi itu tidak akan memberiku kepuasan tertinggi. Karena itu maka aku akan membawamu mencari paman Adipati. Aku akan membunuh di hadapan paman Adipati. Aku kira itu adalah cara terbaik untuk mendapatkan kepuasan tertinggi bagiku.”
“Tetapi itu tidak perlu kakang. Tentu pada suatu saat ayah tahu, bahwa aku sudah mati dibunuh oleh kakang Jalawaja, putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang telah dibunuh oleh Kangjeng Adipati di Sendang Arum dengan cara yang sangat licik. Ayah tentu dapat menghubungkan kedua peristiwa itu. Dendam yang menyala di hati kakang Jalawaja, putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda itu.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak akan membunuhmu sekarang. Tidak“ Jalawaja berteriak-teriak sekeras-kerasnya. Suaranya menggetar-kan udaradan membentur dinding-dinding hutan dan pegunungan. Gemanya terdengar bergelombang, susul menyusul.
Ririswari termangu-mangu sejenak. Ketika Jalawaja bergeser menjauh dan membelakanginya, maka Ririswari justru mendekati-nya.
“Kakang. Kakang tidak apa-apa?”
“Aku tidak dapat membunuhmu sekarang Riris. Tetapi aku akan membawamu kepada ayahmu. Aku akan membunuhmu di hadapan paman Adipati untuk meyakinkan apakah paman merasa terpukul oleh kematianmu atau tidak.”
“Jangan kakang. Kau jangan membunuhku dihadapan ayahku.”
“Kenapa?”
“Mungkin kau tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Tetapi akibat lain akan dapat terjadi. Ayah akan marah dan ayah akan bertindak terhadap kakang Jalawaja. Meskipun kakang Jalawaja dapat menjaring angin, tetapi kakang tidak akan dapat menghadapi ayahanda. Baik ayahanda seorang diri, apalagi dengan para pengawalnya.”
“Aku tidak peduli.”
“Kakang dapat membunuhku dengan cara yang lebih aman. Sekarang. Kemudian kakang pergi kepadukuhan. memberitahu orang-orang padukuhan. Pesan kepada mereka agar kematianku dapat didengar oleh Kangjeng Adipati, jika Kangjeng Adipati belum mati dibunuh oleh para pemberontak.”
“Tidak. Biarlah aku berbuat menurut kemauanku sendiri. Kau jangan berbicara apa-apa lagi Riris.”
Teriakan Jalawaja itu menggetarkan jantung Riris. sehingga Ririswaripun berdiam diri.
Namun tiba-tiba saja Jalawaja itu meloncat menyambar pergelangan tangan Ririswari sambil berkata, “Kita harus berjalan lagi. Kita harus mengindari para pengikut Miranti dan paman Tumenggung Jayataruna.”
“Tetapi aku masih lelah, kakang.”
“Aku tidak peduli. Kita harus berjalan lagi.”
Ririswari tidak dapat membantah lagi. Jalawaja pun menariknya agar Ririswari berjalan diatas lorong sempit berbatu-batu padas, menjauhi kadipaten.
Ririswari tidak tahu, ia akan dibawa kemana. Yang dapat dilakukan adalah mencoba berjalan mengikuti irama langkah Jalawaja. Karena itu, maka Ririswari itu kadang-kadang harus berlari-lari kecil.
Dalam pada itu, di kadipaten Sendang Arum, kesibukan masih nampak disana-sini. Namun Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda sudah sempat duduk diruang tengah dalem kadipaten yang telah direbutnya..
“Agaknya tugas terberat kita sudah lewat. Raden Ayu” berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
“Belum kakang. Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa belum tertangkap hidup atau mati. Ririswari dan bahkan juga Jalawaja belum dibawa menghadap kepadaku.”
“Itu bukan tugas yang berat, Raden Ayu. Aku sudah memerintahkan kepada para prajurit untuk tetap memburu Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa. Para prajurit juga sudah melacak ke kademangan Karangwaru. Tetapi Kangjeng Adipati tidak ada disana. Mungkin Kangjeng Adipati telah pergi ke Kadipaten Majawarna. Atau pergi ke tempat yang lain.”
“Untuk menangkap Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa bukannya tugas yang ringan kakang. Juga untuk menemukan Ririswari dan Jalawaja.”
“Aku sudah mengirimkan sekelompok prajurit ke padepokan Ki Ajar Anggara. Sebelumnya, Jalawaja selalu berada di padepokan itu. Tetapi ternyata Jalawaja sudah tidak berada di padepokan itu lagi.”
“Sudah tidak tinggal di padepokan itu, atau sedang pergi meninggalkan padepokan.”
“Para prajurit tidak menemukan Jalawaja di padepokan. Sementara itu Ki Ajar Anggara juga mencarinya. Jalawaja pergi tanpa pamit. Tiba-tiba saja ia tidak nampak berada di padepokan itu.”
“Semuanya itu adalah tugas yang berat yangmasih tersisa.”
“Raden Ayu jangan cemas.”
“Tetapi jika Kangjeng Adjpati berada di Kadipaten Majawarna, maka akan dapat timbul persoalan kakang. Jika Majawarna bersedia membantu Kangjeng Adipati, maka kita akan berhadapan dengan kadipaten yang kuat itu.”
“Tidak. Majawarna tidak akan mau berkorban terlalu banyak bagi Kangjeng Adipati yang sudah tidak berpengharapan lagi. Tidak ada keuntungan apa-apa bagi Kadipaten Majawarna untuk membantu Kangjeng Adipati. Sementara itu, Majawarna harus mengorbankan sejumlah prajuritnya untuk kepentingan yang sia-sia.”
“Kakang Jayataruna yakin?”
“Aku yakin. Kecuali jika kedudukan Kangjeng Adipati masih kokoh. Mungkin ada pertimbangan khusus di Majawarna sehingga Majawarna akan membantunya. Mungkin ada kesediaan Kangjeng Adipati untuk melepaskan hutan Rawa Amba untuk dimasukkan ke tlatah Majawarna. Atau daerah perbukitan yang berhutan lebat di sekitar danau Ketawang. Tetapi sekarang Majawarna tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi dari Kangjeng Adipati, sehingga Majawarna tentu tidak akan membantunya.”
“Tetapi bukankah prajurit yang terluka itu mengatakan bahwa mereka akan pergi ke Kademangan Karangwaru atau ke. Kadipaten Majawarna.”
“Kata-kata itu tentu diucapkan sebagaimana orang mengigau. Tetapi mereka tentu akan memikirkannya lagi sehingga mereka akan mengambil arah yang lain. Namun dengan demikian maka tugas kita masih belum selesai, kakang.”
“Bukankah tinggal tugas-tugas kecil?”
“Jika Kangjeng Adipati bangkit dan berhasil mempengaruhi rakyat?”
“Semua Senapati di Sendang Arum serta para Demang sudah menyatakan setia kepadaku. Seandainya Kangjeng Adipati akan mencoba-coba untuk bangkit, maka ia akan terhimpit oleh kekuatan yang sudah tergalang.”
“Tetapi mungkin saja sikap rakyat Sendang Arum berbeda dengan sikap para pemimpinnya. Bahkan mungkin sikap para prajurit di tataran terbawah akan berpihak kepada Kangjeng Adipati jika Kangjeng Adipati itu tiba-tiba muncul kembali.“
“Tidak ada kekuatan yang akan mendukungnya.”
“Baiklah, kakang. Kita masih akan menyelesaikan tugas kita sampai tuntas.”
“Raden Ayu., Bukankah aku tidak perlu menunggu sampai masalah-masalah kecil harus diselesaikan.”
“Ini bukan masalah kecil, kakang.”
“Jangan mengada-ada, Raden Ayu.”
“Kakang. Apakah yang sebenarnya kakangkehendaki?”
“Aku menagih janji, Raden Ayu.”
Raden Ayu tertawa. Katanya, “Apakah kakang belum pernah menagih janji selama ini?”
“Maksudku, hubungan kita akan menjadi terbuka, Raden Ayu.”
“Kita masih harus berjuang lebih lama lagi kakang. Apa kata para prajurit dan para Demang yang mendukung kita, jika kita langsung menikmati hasil perjuangan yang belum selesai ini.”
“Mereka akan dapat mengerti, Raden Ayu. Justru setelah kita disatukan oleh ikatan jiwani itu, maka perjuangan kita akan menjadi semakin meningkat.”
“Kita masih harus menjaga nama baik kita, kakang. Lagi pula, apa kata anak dan isteri kakang?”
“Itu soal mudah. Aku akan mengatasinya.”
“Tetapi aku minta kakang menjadi sabar. Biarlah hubungan di antara kita berlangsung seperti ini saja untuk sementara. Lain kali, setelah segala sesuatunya selesai, kita akan membicarakannya.”
“Raden Ayu. Aku minta Raden Ayu jangan memandang aku sekarang sebagai seorang Tumenggung yang derajad dan pangkatnya berada dibawah derajad dan pangkat seorang Tumenggung Wreda. Tetapi aku sekarang memegang pimpinan di kadipaten Sendang Arum ini.”
“Aku tahu, kakang. Tetapi kakang harus sabar menunggu segala-galanya selesai sampat tuntas. Baru kita sempat memikirkan kita sendiri.”
Ki Tumenggung Jayataruna tidak sempat menjawab. Raden Ayu itupun kemudian telah bangkit berdiri sambil berkata, ”Maaf kakang. Renungkan. Jangan sakiti hati para prajurit danpara Demang. Perjuangan ini bukan hanya untukkita berdua. Tetapi uniuk menegakkan kebenaran dan keadilan di Kadipaten ini.”
Ki Tumenggung Jayataruna menjadi termangu-mangu. Tetapi ia tidak berkala apa-apa lagi. Dipandanginya saja Raden Ayu yang meninggalkan ruangan itu sambil berkata, “maaf kakang. Bukankah kita mempunyai banyak kesempatan? Karena itu, jangan tergesa-gesa mengikat diri selagi kita masih dapat berbuat dalam kebebasankita masing-masing.”
Ki Tumenggung Jayataruna masih tetap berdiam diri. Namun ia pun kemudian mendengar suara tertawa Raden Ayu Reksayuda.
Namun Ki Tumenggung Jayataruna yang sempat merenung beberapa saat itu pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata kepada diri sendiri, “Raden Ayu benar. Kenapa aku harus tergesa-gesa?”
Namun sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Jayataruna tidak mau terlambat. Jika ada orang lain yang datang dan langsung menarik perhatian Raden Ayu itu lebih dari dirinya?
“Tentu tidak ada” berkata Ki Tumenggung kepada diri sendiri, “agaknya kita hanya akan berhubungan dengan beberapa orang yang sudah kami kenal dengan baik.”
Meskipun demikian, Ki Tumenggung Jayataruna masih tetap merasa bahwa sebelum burung itu terikat sayapnya, ia masih saja dapat terbang dengan bebasnya. Bahkan tiba-tiba saja.
Meskipun demikian Ki Tumenggung Jayatarunajuga tidak dapat memaksa Raden Ayu Reksayuda. Jika terjadi persoalan diantara mereka, maka rencana besar mereka akan dapat menjadi kacau.
Namun sikap Raden Ayu itu telah memaksa Ki Tumenggung Jayataruna untuk bekerja lebih keras lagi. Mereka harus segera menemukan Kangjeng Adipati serta ki Tumenggung Reksabawa. Selain mereka yang harus diserahkan hidup atau mati, KiTumenggung Jayataruna juga memerintahkanuntuk menangkap hidup-hidup Ririswari dan Jalawaja.
Dalam pada itu, Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa telah sampai ke rumah Ki Ajar Anggara. Kedatangan keduanya disertai dua orang anak muda sempat mengejutkan Ki Ajar.
Dengan tergopoh-gopoh Ki Ajaar Anggara mempersilahkan keempat orang tamunya duduk di serambi depan rumahnya.
“Selamat datang Kangjeng, serta Ki Tumenggung dan kedua orang anak muda.”
“Selamat Ki Ajar. Bagaimana keadaan Ki Ajar di padepokan ini.”
“Aku baik-baik saja, Kangjeng. Tetapi sebenarnyalah bahwa tempat tinggalku bukan sebuah padepokan. Rumah ini tidak lebih dari sebuah gubug.”
“Tetapi bukankah disini tinggal para cantrik?”
“Tidak, Kangjeng. Tidak ada seorang cantrik pun yang tinggal disini. Tetapi sebagian anak-anak muda di padukuhan sebelah, yang tidak jauh dari tempat tinggalku ini menganggap aku sebagai guru mereka. Bahkan sebagian dari mereka memanggil aku guru. Padahal tidak ada ilmu yang dapat aku berikan kepada mereka.”
“Bukankah sama saja, Ki Ajar. Apakah murid-murid Ki Ajar tinggal di sini atau tinggal di tempat lain.”
Ki Ajar itu tertawa.
Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung Reksabawa pun bertanya, “Ki Ajar. Aku melihat jejak kaki kuda banyak sekali di halaman.”
Ki Ajar itu tersenyum. Katanya, “Rumah ini baru saja di porak-porandakan oleh beberapa orang prajurit?”
“Rumah ini? Kenapa?”
“Mereka datang untuk mencari cucuku, Jalawaja. Mereka mengatakan bahwa mereka mendapat perintah dari Raden Ayu Reksayuda serta Ki Tumenggung Jayataruna untuk menangkap dan membawa Jalawaja ke kadipaten.”
“Kenapa mereka akan menangkap Jalawaja?”
“Persoalan pribadi, Kangjeng.”
“Persoalan pribadi?”
Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya, Kangjeng.”
“Apakah mereka menemukan angger Jalawaja?“ bertanya Ki Tumenggung Reksabawa.
“Tidak, Ki Tumenggung. Mereka tidak menemukan cucuku. Adalah kebetulan bahwa cucuku tidak ada di rumah.”
“Apakah sekarang Jalawaja sudah pulang?” bertanya Kangjeng Adipati.
“Belum Kangjeng. Jalawaja belum pulang. Sebenarnyalah bahwa aku mencemaskannya. Jalawaja pergi dengan membawa beban dihatinya. Kematian ayahnya sempat mengguncang jiwanya. Sementara itu, ia tidak dapat datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ayahnya itu.”
“Aku memang tidak melihat Jalawaja pada waktu itu. Kenapa? Kenapa ia tidak dapatpulang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ayahnya?”
“Persoalan pribadi itulah, Kangjeng.”
“Jalawaja mempunyai persoalan pribadi dengan kangmbok Reksayuda?”
“Ya, Kangjeng. Persoalan pribadi yang terhitung gawat yang membuat Raden Ayu Reksayuda menjadi gila dan berbuat di luar kendali.”
“Apa yang Ki Ajar maksudkan?”
Ki Ajar Anggara termangu-mangu sejenak. Ia memang merasa ragu untuk menceritakannya. Tetapi mungkin cerita itu akan dapat membantu menelusuri peristiwa yang terjadi di Sendang Arum.
Karena itu. meskipun agak ragu, Ki Ajar Anggara itu pun menjawab, “Kangjeng Adipati. Aku tidak tahu apakah Jalawaja setuju atau tidak setuju, jika aku ceritakan persoalan pribadinya dengan Raden Ayu Reksayuda. Tetapi untuk menghindarkan salah paham, kenapa Jalawaja tidak datang pada saat pemakaman ayahnya yangbaru saja pulang dari pengasingan, maka sebaiknya persoalannya aku beritahukan kepada Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.”
Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
Namun tiba-tiba saja Ki Ajar Anggara itu benanya, “Tetapi siapakah kedua orang anakmuda itu?”
“Mereka adalah anak-anakku, Ki Ajar.”
“Sebenarnya putera Ki Tumenggung?”
“Ya. Mereka adalah anak-anak kandungku. Mereka telah membantu ayahnya serta KangjengAdipati membebaskan diri dari tangan sekelompok prajurit yang memburu kami.”
Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk.
“Tetapi jika mereka tidak sebaiknya mendengarkannya, biarlah mereka berada di luar.“
“Tidak. Tidak apa-apa. Biarlah mereka mendengarkan ceritanya. Ceritera yang menarik. Seperti ceritera dongeng.”
Ki Ajar Anggara berhenti sejenak. Namun kemudian ia berkata pula, “Tetapi aku mohon maaf, jika ceritera itu menyangkut nama Raden Ajeng Ririswari.”
“Ririswari?” bertanya Kangjeng Adipati.
“Ya, Kangjeng.”
“Baiklah. Ceriterakan Ki Ajar.”
Ki Ajar pun kemudian telah menceriterakan hubungan antara Rara Miranti dengan Raden Jalawaja yang juga menyangkut nama Ririswari yang dianggap Miranti menghalangi hubungannya dengan Jalawaja.
Kangjeng Adipati dan Ki Reksabawa mendengarkan ceritera itu dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali keduanya mengangguk-angguk. Namun kemudian menarik nafas panjang.
Demikian Ki Ajar selesai dengan ceriterahya, maka Ki Tumenggung Reksabawa pun berkata, “Itukah yang terjadi? Agaknya Rara Miranti benar-benar telah kehilangan kendali. Perasaan kecewa dan dendam telah membuatnya kehilangan akal dan berbuat diluar kewajaran.”
“Ya, Ki Tumenggung. Dengan demikian, maka Jalawaja telah berjanji kepada dirinya sendiri, selama ibu tirinya masih ada di rumahnya, ia tidak akan mau pulang apapun alasannya.”
Ki Tumenggung pun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Ki Ajar. Sebenarnyalah bahwa kedatangan kami kepadepokan ini juga karena tingkah Rara Miranti dan Ki Tumenggung Jayataruna.”
“Aku mendengar dari para prajurit yang datang mencari Jalawaja, bahwa Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa telah meninggalkan dalem kadipaten.”
“Kami tidak mempunyai tujuan, Ki Ajar. Karena itu, maka kami justru memilih untuk datang kemari. Tetapi ternyata tempat ini pun menjadi sasaran para prajurit yang telah terpengaruh oleh Ki Tumenggung Jayataruna.”
“Tetapi menurut dugaanku, mereka tidakakan segera kembali kemari, Ki Tumenggung. Mereka tentu mengira bahwa Jalawaja tidak akan tinggal di pondok ini lagi selelah para prajurit datang kemari. ”Bahkan mungkin Raden Ayu Reksayuda mengira bahwa yang telah melarikan Raden Ajeng Ririswari itu adalah Jalawaja.”
“Aku berharap demikian, Ki Ajar. Mudah-mudahan Jalawaja dapat menyelamatkan Ririswari.”
“Ya” Ki Ajar mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, “Sebaik-nya Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa berada di pondok ini saja lebih dahulu sambil menunggu perkembangan keadaan. Mudah-mudahan ada titik-titik cerah yang dapat dimanfaatkan untuk mencari jalan keluar dari peristiwa yang memprihatinkan ini.”
“Terima kasih atas kesediaan Ki Ajar Anggara untuk menerima kami. Tetapi jika keberadaan kami justru akan menyulitkan keadaan Ki Ajar, maka aku kira kami dapat mencari jalan lain” berkata Kangjeng Adipati.
“Tidak. Kangjeng. Aku kira para prajurit itu, setidak-tidaknya untuk sementara, seperti yang aku katakan tadi, tidak akan dalang kemari.”
“Baiklah Ki Ajar. Aku akan tinggal disini untukbeberapa lama. Namun sambil menunggu, aku ingin minta kedua anak laki-laki kakang Tumenggung Reksabawa untuk membantu menemukan Ririswari jika Ki Tumenggung tidak berkebaratan.”
“Tentu tidak, Kangjeng. Aku pun yakin bahwa kedua anak-anakku itu akan bersedia melakukannya.”
“Tentu ayah” sahut Ragajati, “kami akan melakukan apa saja jika Kangjeng Adipati memerintahkannya.”
“Nah, pergilah. Cari Raden Ajeng Ririswari sampai ketemu. Kemanapun kalian pergi.”
“Baik, ayah” jawab kedua anak muda itu hampir berbareng, “kami mohon diri.”
Namun Ki Ajar pun menyela, “Jangan sekarang ngger. Beristirahatlah barang sejenak. Minum dan beberapa potong makanan akan membuat angger berdua menjadi segar. Nampaknya angger berdua juga harus mengobati goresan-goresan di tubuh angger.”
“Tidak apa-apa Ki Ajar” jawab Ragajati, “luka-luka kami tidak seberapa. Ayah sudah mengobati luka-luka kami itu.”
“Tetapi biarlah kalian beristirahat dahulu.”
“Baiklah Ragajati dan Ragajaya. Kalian dapatberistirahat dahulu. Kalian tentu juga letih” berkata Ki Tumenggung.
Kedua orang anak muda itu menarik nafas panjang.
“Kalian berdua dapat berangkat esok pagi-pagi.”
“Kami tidak ingin terlambat, Ki Ajar,” Jawab Ragajati, “kami akan segera berangkat meskipun harus berjalan di malam hari.”
Sebenarnyalah anak-anak muda itu tidak mau menunda sampai esok. Waktu sangat berarti bagi mereka berdua.
Karena itu, maka setelah minum dan makan beberapa potong makanan, keduanya pun minta diri.
Ki Ajar Anggara masih memberikan beberapa pesan kepada mereka berdua. Ki Ajar memberikan ancar-ancar jalan pintas dari Sendang Arum sampai ke pondok kecil itu.
“Seandainya. Hanya seandainya, ngger. Jalawaja sempat menyingkirkan Raden Ajeng Ririswari dan berniat membawa ke pondok ini, ia tentu tidak akan mengambil jalan yang terbiasa dilaluinya. Ia tentu akan mengambil jalan pintas. Lewat lorong-lorong sempit di lereng-lereng bukit kecil. Menyusuri padang perdu, sawah dan pategalan.”
“Kami akan menyusuri jalan itu, Ki Ajar.”
“Jalan pintas itu, bukan jalan pintas yang kitalalui” berkata Ki Tumenggung Reksabawa.
“Ya. Ayah. Kami mengerti.”
“Ingat. Di sepanjang perjalanan kaitan. Jangan memberi tahukan kepada siapapun. Dimana Kangjeng Adipati sekarang berada.”
“Baik, ayah” jawab Ragajati.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya pun segera minta diri. Berdasarkan atas ancar-ancar yang diberikan oleh Ki Ajar Anggara, mereka berharap untuk dapat bertemu dengan Raden Ajeng Ririswari. Siapapun yang membawanya keluar dari taman keputren.
Ketika malam turun, maka di langit nampak bulan yang hampir bulat mulai naik. Meskipun cahayanya tidak seterang matahari, tetapi mampu menembus kegelapan sehingga Ragajati dan Ragajaya dapat mengenali jalan yang belum pernah dilaluinya. Mereka hanya sekedar berpegang pada ancar-ancar yang diberikan olehKi Ajar Anggara.
Meskipun demikian, keduanya dapat menelusuri lorong itu tanpa kesulitan. Meskipun mereka harus melewati jajan’ sempit di lereng bukit kecil. Kemudian menuruni tebing-tebing yang tidak terlalu tinggi. Melalui jalan setapak berbatu-batu padas.
Cahaya bulan ternyata sangat membantu perjalanan mereka, sehingga mereka dapat melihat pepohonan, bebatuan dan pertanda lain yang disebut oleh Ki Ajar Anggara.
Dalam pada itu, Jalawaja yang membawa Raden Ajeng Ririswari, berada di tengah-tengah bentangan pategalan yang luas. Ketika Jalawaja menemukan sebuah gubug yang kosong, maka ia memaksa Ririswari untuk masuk ke dalamnya, menutup pintunya dan mengganjalnya dengan batu yang cukup besar dari luar.
Dengan demikian, maka Jalawaja dapat beristirahat sementara Ririswari tidak dapat melarikan diri. Meskipun gubug itu bukan bangunan yang kokoh, tetapi Ririswari tidak akan dapat menerobos keluar.
Ketika malam menjadi semakin jauh, Jalawaja duduk dibawah sebatang pohon di depan gubug kecil itu, bersandar pada batangnya. Setelah seharian berjalan lewat lorong-lorong sempit berbatu-batu padas, maka Jalawaja itu pun merasa letih juga. Angin yang semilir seakan-akan mengipasi wajahnya yang berkeringat.
Sekali-sekali Jalawaja memandang bulan yang hampir bulat, tetapi ia tidak banyak menarik perhatian terhadap bulan. Bahkan matanya tiba-tiba saja menjadi berat.
Beberapa saat kemudian, di luar sadarnya matanya pun telah terpejam.
Namun rasanya Jalawaja itu seperti bermimpi ketika ia mendengar suara tembang. Hanya perlahan-lahan. Tetapi justru di sepinya malam, tembang itu terdengar jelas. Kata demi kata.
Jalawaja merasa seakan-akan ia berada di pondoknya, duduk di serambi depan di bawah cahaya bulan. Kakeknya sedang duduk terkantuk-kantuk. Jalawaja merasa seakan-akan di ruang dalam Ririswari sedang membaca kitab dengan alunan tembang mecapat.
Jalawaja terkejut ketika seekor semut merah menggigit kakinya. Demikian ia membuka matanya, maka ia pun segera sadar, bahwa ia sedang bermimpi. Ia tidak sedang berada di serambi pondok eyangnya. Tetapi ia duduk dibawah sebatang pohon di sebuah pategalan yang sepi.
“Aku bermimpi” desis Jalawaja.
Diluar sadarnya ia mengangat wajahnya. Ia melihat bulan masih mengambang di langit. Cahayanya seakan-akan menjadi semakin terang.
Tetapi sesuatu yang terjadi didalam mimpin yaitu masih tertinggal. Ia mendengar suara tembang sebagaimana didengarnya di dalam mimpi. Perlahan-lahan, tetapi jelas.
Akhirnya Jalawaja menyadari sepenuhnya, bahwa yang mengalunkan tembang itu memang Ririswari sebagaimana yang terjadi didalam mimpinya.
Jalawaja berkisar membelakangi gubug kecil itu. Tetapi suara tembang yang hanya perlahan-lahan itu didengarnya dengan jelas.
Karena itu, maka Jalawaja itupun beringsut beberapa langkah menjauh. Namun ia masih mendengar suara tembang itu. Justru seakan-akan menjadi semakin keras.
Suara tembang itu membuat Jalawaja menjadi gelisah. Meskipun suara tembang yang didengar itu sama dengan suara tembang yang didengar di dalam mimpinya, namun suasananya berbeda. Jalawaja tidak lagi duduk berdua dengan kakeknya yang terkantuk-kantuk diserambi sambil menikmati suara tembang itu. Ririswari juga tidak sedang berada di ruang dalam pondok kecil kakeknya itu. Tetapi Ririswari berada didalam sebuah gubugkecil yang pintunya diganjal batu dari luar.
Tiba-tiba saja Jalawaja itu membentak hampirberteriak, “Diam. Diam kau Riris.”
Tetapi Ririswari tidak segera diam. Ia melanjutkan, melantunkan tembangnya.
“Riris. Kau dengar. Diam, diamlah.”
Tetapi Ririswari masih saja melagukan tembangnya.
Jalawaja yang menjadi sangat gelisah itu pun berlari ke pintu gubug itu. Kedua tangannya berganti-ganti memukul daun pintu itu keras-keras.
“Kau mau berhenti atau tidak?”
Namun Ririswari masih menghabiskan satu bait tembangnya.
“Kalau kau tidak mau diam, aku bakar gubug ini. Kau tidak akan dapat lari kemana-mana.”
Baru kemudian, setelah bait tembangnya habis. Ririswari pun terdiam.
Tetapi gadis itu pun bertanya, “Kau akan membakar gubug ini kakang?”
“Ya”
“Gubug ini terlalu sempit, kakang. Didalam gelap sekali meskipun ada beberapa lubang di dinding” berkata Ririswari kemudian, “kakang. Kenapa aku kau sekap didalam gubug ini? Kenapa aku tidak boleh keluar?”
“Tidak. Kau tidak boleh keluar.”
“Di dalam terasa sumpek sekali, kakang.”
“Tetapi kau tidak boleh keluar.”
“Jika aku tetap berada didalam, aku akandapat pingsan kakang.”
“Pingsanlah. Aku tidak peduli.”
“Tolong kakang. Biarlah aku keluar.”
“Kau akan mencari cara untuk melarikan diri?”
“Bagaimana mungkin aku dapat melarikan diri. Aku sudah tidak bertenaga sama sekali. Kakiku sakit. Berdarah dan bengkak.”
“Aku tidak peduli. Apapun yang akan terjadi atasmu didalam gubug kecil itu, aku tidak peduli. Akhirnya kau juga akan mati.”
“Jika demikian, baiklah kakang. Aku hanya, dapat pasrah, apa yang akan terjadi atas diriku. Pingsan, mati lemas atau apapun yang harus aku jalani. Aku sadari, bahwa bagimu aku tidak lebihdari seonggok sampah.”
“Diam. Diam kau Riris. Kau dengar?”
“Kakang”
Jalawaja menghentakkan tangannya memukul pintu gubug kecil itu, sehingga gubug itu bagaikan diguncang gempa.
Tetapi suara Ririswari tidak berubah. Agaknya ia sudah benar-benar pasrah, sehingga dengan demikian, maka perasaannya justru menjadi tenang.
Dengan irama suara yang damai, Ririswari itu pun bertanya, “Kakang, apakah rembulan itu bulat?”
“Diam, diam. Kau dengar? Kau membuat jantungku berhenti berdetak.”
“Aku hanya ingin melihat rembulan pada saat-saat terakhirku, sebelum kau antar aku menghadap Yang Maha Agung.”
“Tidak ada rembulan di langit. Malam gelap pekat. Akupun tidak melihat apa-apa di luar.”
“Aku melihat berkas-berkas sinarnya lewat lubang-lubang dinding bambu gubug ini.”
“Cukup.”
“Alangkah bahagianya dedaunan dan kuncup-kuncup kembang yang malam ini sempat menyaksikan cahaya rembulan yang menerangi bumi ini. Yang menguak kegelapan dan memancarkan terang.”
“Gila. Apakah kau sudah gila, Riris.”
“Mungkin kakang. Mungkin akumemang sudah menjadi gila, karena aku berada di dalam kegelapan. Apalagi ruangan ini terlalu sempit dan pengap.”
Jalawaja menggeretakkan giginya.
Namun Ririswari masih berbicara terus, ”Sementara itu, diluar bulan bersinar dengan terangnya.”
Jalawaja pun kembali menghentak-hentak pintu gubug kecil itu.
Meskipun demikian Ririswari masih juga berkata, ”Aku merasa iri terhadap burung-burung kecil yang tidur di-sarangnya, yang sempat menyelimuti anak-anaknya sambil memandangi cahaya bulan.”
Jalawaja tidak dapat menahan perasaan lagi. Dengan kakinya di hentakkannya batu yang mengganjal pintu gubug itu. Dengan kasar Jalawaja pun berkata, “Keluar. Keluarlah. Kau membuat darahku berhenti mengalir.”