Matahari sudah memanjat semakin tinggi. Sinarnya yang mulai menggatalkan kulit menerpa tanah yang lembab di bawah pohon-pohon kembang yang tumbuh di taman yang asri.
Angin yang lembut serasa berbisik lamat-lamat tentang perawan yang sedang berduka, yang duduk diatas sebuah lincak panjang disebelah sebatang kembang soka yang berwarna ungu muda.
Seorang gadis, putera Kangjeng Adipati Wirakusuma, Adipati di Sendang Arum sedang merenungi luka di hatinya.
Biasanya ia duduk dan bercengkerama bersama ibundanya. Dan kadang-kadang bahkan bersama ayahandanya pula di taman. Kadang-kadang ibundanya sendiri merawat pohon-pohon bunga di taman itu. Bunga Soka, bunga ceplok piring, bunga arum dalu dan yang mendapat perawatan khusus adalah segerumbul kembang melati di sudut taman, yang diberi berpagar kayu serta terawat rapi.
Tetapi hari itu Ririswari duduk sendiri.
Meskipun jaraknya tidak lebih dari lima langkah, tetapi gadis itu seakan-akan tidak menyadari kehadiran seorang emban yang duduk mengamatinya.
“Puteri” emban itu bergeser mendekat.
Perawan yang sedang berduka itu tidak berpaling kepadanya.
“Raden Ajeng Ririswari”
Ririswari masih saja berdiam diri.
“Puteri masih nampak selalu berduka.”
Ririswari menarik nafas panjang. Perlahan-lahan iaberpaling. Namun kemudian tatapan matanya kembali menerawang, memandang ke kejauhan.
“Sudahlan Puteri. Puteri jangan memperpanjang duka. Biarlah Puteri berusaha menyembuhkan luka itu. Hamba tahu puteri, bahwa luka itu tentu terasa sangat pedih. Tetapi Puteri tidak seharusnya membiarkan dirinya tersiksa oleh duka.”
“Aku tidak dapat segera melupakannya, emban” sahut Ririswari tanpa berpaling, “ibunda pergi terlalu cepat.”
“Tidak seorang pun dapat mengelak, Puteri. Jika Yang Maha Agung memanggilnya menghadap, maka kita, titahnya harus menghadap. Kapan pun saat itu datang. Siang, malam, pagi dan senja hari pada saat candikala dipajang di langit.”
“Aku mengerti, emban. Nalarku dapat berkata seperti yang kau katakan itu. Tetapi perasaanku sulit aku kendalikan. Kenapa tiba-tiba saja ibunda pergi untuk selamanya.”
“Ampun Puteri, jika hamba mengatakan bahwa ibunda memang dikehendaki oleh Yang Maha Agung kembali kepadanya. Karena itu, sebaiknya kita menyerahkannya dengan ikhlas.”
“Apakah kau dapat berkata seperti itu jika biyung-mu yang dipanggil menghadap ? Emban. Aku masih ingat ketika dua tahun yang lalu, nenekmu meninggal. Ketika seorang keluargamu datang memberitahukannya kepergian nenekmu itu, maka kau langsung menangis, berguling-guling di tanah tanpa dapat ditenangkan, sehingga akhirnya kau jatuh pingsan. Bukankah saat itu, bahkan ibunda sendiri berusaha menenangkan hatimu. Ibunda juga mengatakan sebagaimana kau katakan kepadaku.”
“Hamba Puteri. Tetapi waktu itu, berita meninggalnya nenek hamba itu datang dengan tiba-tiba. Hamba tidak pernah mendengar kabar bahwa nenek sakit. Sepanjang pengetahuan hamba, nenek itu selalu sehat. Bahkan sebulan sebelumnya, ketika hamba mendapat kesempatan pulang selama tiga hari, nenek masih pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. Kemudian, seperti biasanya setiap nenek pergi ke sungai, maka di saat nenek pulang, tentu membawa sebuah batu. Bahkan nenek menganjurkan setiap anggauta keluarganya yang pergi ke sungai, supaya juga membawa sebuah batu sebesar buah kelapa.”
“Batu?”
“Ya, Puteri.”
“Untuk apa ?”
“Dalam setahun, nenek dapat membuat bebatur rumah dari batu yang telah kami kumpulkan. Sehari, tiga orang diantara keluarga kami pergi ke sungai, maka kami akan mengumpulkan tiga buah batu sebesar buah kelapa. Bahkan anak-anak pun telah dibiasakan melakukannya pula, yang tentu saja membawa bebatuan yang lebih kecil.”
“Ternyata nenekmu seorang yang cerdik, emban.”
“Ya. Puteri. Karena itu berita kematiannya sangat mengejutkan.”
“Setelah itu, lebih dari setengah tahun kau masih nampak murung.”
Emban itu terdiam.
“Emban. Ibunda baru seratus hari yang lalu meninggal.”
“Hamba Puteri.”
“Cintaku kepada ibunda tidak akan berakhir disaat ibunda pergi. Apalagi ibunda pergi terlalu cepat.”
“Puteri. Tetapi benar kata orang, bahwa kita jangan terlalu dalam terbenam ke dalam duka. Selain bagi ketenangan Puteri sendiri, jika Puteri kelihatan lebih ceria, akan sangat berpengaruh bagi ayahanda Puteri. Bagi Kangjeng Adipati Wirakusuma.”
Ririswari menundukkan wajahnya.
Kangjeng Adipati akan dapat kembali memusatkan perhatiannya kepada tugas-tugas yang diembannya. Tentu kadang-kadang terbersit pula kenangannya terhadap ibunda Puteri. Tetapi kecerahan wajah Puteri akan menjadi penghiburan yang sangat berarti bagi Kangjeng Adipati. Demikian pula sebaliknya, sehingga akan timbul pengaruh yang baik timbal balik.“
“Emban?”
“Hamba Puteri.”
“Kau pintar emban.”
“Ampun Puteri. Ketika nenekku meninggal, biyung hamba menjadi sangat bersedih sebagaimana hamba. Kami berdua selalu murung. Bahkan setelah hamba kembali ke taman ini. Jika biyung datang menengok hamba, maka kami masih saja menangis bersama-sama mengenang kematian nenek. Ayah hambalah yang menasehati hamba dan biyung hamba agar kami tidak tenggelam ke dalam duka. Jika wajahku cerah, biyung akan terhibur. Sebaliknya jika wajah biyung cerah, aku akan terhibur.”
“Apakah wajahmu tiba-tiba menjadi cerah?“
Emban itu terdiam. Bahkan ia menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Biyung emban. Aku sadari sepenuhnya bahwa apa yang kaukatakan itu benar. Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa nalar dan perasaanku masih belum sejalan. Aku mengerti semua yang dikatakan oleh seseorang yang mencoba menenangkan hatiku. Menghiburkan agar hatiku menjadi tenang. Tetapi perasaanku ternyata bersikap lain.”
“Raden Ajeng. Itulah yang harus Raden Ajeng usahakan. Keseimbangan antara nalar dan perasaan.”
“Siapa yang mengatakan itu, emban.”
“Orang-orang tua yang mencoba menenangkan hati hamba pada waktu itu, Puteri.“
“Emban. Bukan maksudku bahwa aku tidak mau mencobanya. Aku sudah mencoba, emban. Tetapi ternyata hatiku tidak cukup tegar untuk mengimbangi nalarku.”
“Jika saja Puteri berusaha dengan tidak berkeputusan. Kembalikan persoalannya kepada Yang Maha Agung.”
Raden Ajeng Ririswari tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja perhatiannya tertarik kepada suara seruling yang seakan-akan menjerit tinggi. Mengalun bagaikan mengapung diatas angin yang semilir di taman yang asri itu.
“Kau dengar suara seruling, emban.”
“Saatnya anak-anak menggembalakan kambingnya.”
“Dimana mereka menggembala? Suara itu terlalu dekat. Agaknya suara itu bersumber dari bilik dinding keputren ini.”
“Apakah Raden Ajeng tertarik kepada suara seruling itu?”
“Suaranya menyentuh hati, emban. Aku ingin tahu, siapakah yang telah meniup seruling itu.”
“Tentu seorang anak yang sedang menggembala, Puteri.”
“Tentu tidak sedekat itu. Suara itu terdengar dekat sekali, seakan-akan aku dapat menjangkaunya dengan jari-jariku.”
“Suara itu dibawa oleh angin.”
“Emban.”
“Hamba Raden Ajeng.”
“Bukalah pintu butulan.”
“Pintu butulan ?”
“Ya.”
“Apakah itu diperkenankan ?”
“Atas perintahku.”
“Tetapi hanya dalam keadaan yang sangat penting saja pintu itu dibuka.”
“Bagiku, suara seruling itu sangat menarik hatiku. Aku merasa perlu untuk melihat. Seandainya yang meniup seruling itu seorang anak gembala, maka alangkah senangnya ayah dan ibunya mempunyai anak yang mampu meniup seruling seperti itu. Dengar emban. Suara seruling itu bagaikan terbang tinggi, melintasi mega yang sedang berarak, menggapai sap-sap langit yang lebih tinggi, sehingga menyentuh bulan yang sedang tersenyum manis.”
“Angan-angan Raden Ajeng, sebagai seorang perawan yang sedang tumbuh dewasa seperti kembang yang sedang mekar, melambung tinggi mengapung menggapai rembulan. Tetapi sekarang siang hari Puteri.”
“Apakah angan-anganmu tidak pernah melayang-layang bersama awan yang berarak di langit itu emban.?”
“Ah. Indahnya mimpi-mimpi perawan yang sedang menginjak dewasa. Karena itu, Puteri, lupakan duka yang sedang Puteri sandang.”
“Karena itu, bukalah pintu butulan itu, emban.“
Emban itu nampak menjadi ragu-ragu.
“Aku yang akan bertanggung jawab emban. Apalagi hanya sesaat. Aku hanya ingin melihat, siapakah yang membunyikan seruling dibalik dinding keputren ini.”
Emban itu tidak dapat mengelak lagi. Karena itu, maka emban itupun segera pergi ke pintu butulan. Diangkatnya selarak pintu itu, sehingga sejenak kemudian, maka pintu itupun telah terbuka.
Ketika Raden Ajeng Ririswari menjengkuk keluar dinding Keputren, maka Ririswari itu pun terkejut.
“Kakang Jalawaja.”
Suara seruling itupun terhenti. Seorang anak muda yang duduk disebelah pintu butulan itu pun bangkit berdiri.
Hampir diluar sadarnya, maka Ririswari pun melangkah keluar.
“Puteri. Puteri akan pergi kemana?”
“Aku tidak akan kemana-mana, emban. Aku hanya akan berdiri di pintu.”
Emban itupun bergeser pula mendekati Ririswari yang berdiri di pintu. Namun emban itu terhenti ketika ia melihat seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu diluar pintu.
“Kakang Jalawaja. Kenapa kakang berada disini ?”
“Sudah lama aku duduk disini, Riris. Aku tidak berani masuk lewat pintu gerbang.”
“Kenapa kakang. Jika kakang mohon ijin kepada ayahanda untuk menemui aku, ayahanda tentu mengijinkannya.”
“Aku sangsi, Riris. Seandainya aku mohon kepada Kangjeng Adipati, maka aku tentu hanya akan diusirnya.”
“Kau berprasangka buruk terhadap ayahanda.“
“Ayahandamu seorang Adipati.”
”Tetapi ayahanda kakang Jalawaja, saudara sepupu ayahandaku.”
“Kau tahu, apa yang terjadi dengan ayahku?“
“Kenapa dengan paman Reksayuda?”
“Oleh ayahandamu, ayahku telah disingkirkan jauh keluar kadipaten ini.”
“Persoalannya bukan persoalan pribadi, kakang. Aku yakin, bahwa ayahanda akan bersikap baik kepadamu.”
“Aku mengerti, Riris.”
“Tetapi kakang sekarang sudah berada di ambang pintu taman. Apakah keperluan kakang?“
“Jangan tambuh puteri. Jangan berpura-pura tidak tahu.”
Ririswari menundukkan wajahnya.
“Riris Aku perlukan datang menemuimu. Aku ingin mendengar jawabmu atas pernyataan yang pernah aku katakan kepadamu.”
“Kakang Jalawaja” suara Ririswari menjadi dalam sekali, “kau tahu, bahwa aku baru saja kehilangan ibundaku.
“Aku tahu Riris. Tetapi bukankah sudah ada jarak waktu sampai hari ini.”
“Tetapi aku masih belum dapat melupakan saat-saat kepergian ibundaku.”
“Kau harus menghadapi kenyataan Riris. Sepeninggal bibi, matahari masih tetap beredar di jalurnya. Matahari itu tidak dapat berhenti karena seorang gadis sedang berduka. Aku sudah menyatakan, bahwa aku ikut kehilangan sepeninggal bibi. Bibi sangat baik kepadaku, meskipun bibi tahu, bahwa ayahku adalah seorang yang tidak pantas tinggal di kadipaten ini. Tetapi hari-hari akan berlanjut. Hidupku dan hidupmu.“
“Aku mengerti, kakang. Duka keluargaku memang tidak dapat menghentikan matahari yang berputar sesuai dengan iramanya sendiri. Tetapi aku dapat berlindung dibawah rimbunnya dedaunan untuk menghindari teriak sinarnya. Hanya untuk sementara di saat hatiku belum siap menerimanya.”
“Sudah berapa kali aku mendengar jawabmu seperti itu, Riris.”
“Maafkan aku, kakang Jalawaja. Aku tidak berniat melukai hatimu. Tetapi aku minta waktu.“
Wajah Jalawaja menjadi tegang. Tetapi ia pun melangkah surut sambil berdesis, “Aku adalah anak orang buangan, Riris. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. aku minta diri.”
“Kakang. Jangan salah paham. Aku tidak pernah mempersoal-kan bahwa paman Tumenggung Wreda Reksayuda harus meninggalkan tanah ini. Kau tidak tersentuh oleh kesalahan yang pernah dilakukannya.”
“Aku minta diri.”
“Kakang.”
“Bukankah aku harus menunggu? Aku akan menunggu Riris. Sampai pada suatu saat hatimu tidak lagi disaput awan kelabu. Meskipun aku tidak tahu, sampai kapan aku harus menunggu.”
Jalawaja tidak menunggu jawaban Ririswari. Ia pun kemudian melangkah meninggalkan pintu butulan taman keputren yang jarang sekali dibuka itu.
Ririswari berdiri termangu-mangu. Wajahnya nampak muram. Sedangkan matanya berkaca-kaca. Dipandanginya langkah Jalawaja menjauh sehingga hilang dikelokan.
“Puteri.”
Ririswari bagaikan terbangun dari mimpinya yang gelisah.
“Hamba mohon Puteri segera masuk kembali ke taman keputren. Biarlah hamba menutup pintunya. Jika para prajurit yang nganglang melihat pintu ini terbuka, maka mereka tentu akan melaporkannya kepada ayahanda Puteri.”
Ririswari menarik nafas panjang. Sambil mengusap pelupuknya yang basah, Ririswari pun melangkahi tlundak pintu butulan. Tetapi langkahnya terhenti. Dipandanginya sebatang pohon bunga yang tidak terdapat didalam taman. Beberapa kuntum bunga bergelantungan didahannya yang kecil. Seakan-akan menunduk ikut bersedih.
Ketika Ririswari mendekati pohon bunga itu, embannya menahannya sambil berkata, “Jangan Puteri.”
Ririswari berpaling kepadanya. Sementara emban itupun berkata, “Itu kembang kecubung Puteri. Kembang yang menyimpan racun yang memabukkan.”
Ririswari melangkah mundur. Namun kemudian iapun segera berbalik, masuk ke dalam taman keputren.
Emban itupun segera menutup pintu butulan itu dan menyeleraknya dari dalam. Selarak yang terasa berat di tangan emban itu.
Sepeninggal Jalawaja, wajah Ririswari menjadi semakin murung. Dengan lembut emban itu pun berkata, “Sudahlah Puteri. Marilah, aku persilahkan Puteri pergi ke geladri. Mungkin ada sesuatu yang dapat Puteri kerjakan disana.”
Ririswari tidak menjawab. Tetapi gadis itu pun kemudian berjalan dengan langkah-langkah kecil menuju ke geladri.
“Raden Jalawaja tentu akan datang kembali Puteri. Esok atau lusa“ berkata emban yang berjalan disamping Ririswari.”
Tetapi Raden Ajeng Ririswari itu menggeleng. Katanya, “Tidak segera emban.”
“Aku berani bertaruh. Besok suara seruling itu tentu akan terdengar lagi”
“Kakang Jalawaja sekarang tidak lagi tinggal di rumahnya.”
“O”
“Kakang Jalawaja sudah beberapa lama tinggal bersama kakeknya di kaki bukit.”
“Jadi.”
“Jika ia datang kemari, emban, ia telah menempuh perjalanan yang panjang.”
“Puteri. Mumpung belum terlalu jauh. apakah hamba diperkenankan menyusulnya.”
“Jika kau berhasil menyusul kakang Jalawaja, apa yang akan kau katakan kepadanya?”
Emban itu terdiam. Namun kemudian emban itu berdesis, “Apa saja yang Puteri perintahkan.”
“Sudahlah emban. Akupun yakin, bahwa kakang Jalawaja akan kembali. Tetapi kapan?”
“Kenapa tadi Puteri mengusirnya?”
“Aku tidak mengusirnya, emban. Aku hanya mengatakan, bahwa aku belum dapat menjawab pernyataannya beberapa waktu yang lalu.”
“Pernyataan tentang apa, Puteri.”
“Kenapa kau masih menanyakannya?”
“Apakah hamba pernah bertanya sebelumnya.“
“Ah.”
Langkah Ririswari yang kecil-kecil itu menjadi semakin cepat. Berlari-lari kecil emban itu mengikutnya.
Ketika keduanya sampai ke geladri, geladri itu nampak sepi.
Ketika seorang abdi lewat, Ririswari pun bertanya, “Dimana ayahanda?”
“Di ruang depan, Puteri. Dihadap oleh Raden Ayu Rekasayuda. Ki Tumenggung Jayataruna dan Ki Tumenggung Reksabaya.”
“Bibi Reksayuda ada disini?”
“Ya, Puteri.”
“Ada apa?”
“Hamba tidak tahu, Puteri.”
Ketika abdi itu pergi, Ririswari pun berdesis, ”Aku tidak senang kepada perempuan itu.”
“Kenapa Puteri?” bertanya embannya.
“Tidak apa-apa.”
“Tetapi kenapa Puteri tidak senang kepada Raden Ayu.”
Ririswari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak senang melihat sikapnya. Bibi tidak menunjukkan sikap sebagai seorang yang dituakan meskipun ia masih muda. Aku menjadi semakin benci melihat tingkahnya ketika ia menghadap ayahanda beberapa waktu yang lalu, justru pada saat ayahanda masih diliputi perasaan duka atas kepergian ibunda.”
“Hamba tidak melihatnya, Puteri.”
“Ia merasa dirinya perempuan yang paling cantik di dunia ini. Jika kau dengar, bagaimana perempuan itu tertawa. Bagaimana ia tersenyum dan bagaimana ia menangis di hadapan ayahanda. Tingkahnya yang berlebihan membuatnya menjadi semakin tidak pantas.”
“Kenapa ia menangis?”
“Perempuan itu berbicara tentang paman yang masih menjalani hukuman.”
“O”
“Tetapi aku tidak yakin bahwa ia bersikap jujur.” Emban itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Puteri. Sudah lama Puteri tidak menyentuh canting, gawangan dan kain yang sedang di batik itu. Jika Puteri sempat menyelesaikannya, kain itu akan sangat berarti bagi Puteri. Bukankah beberapa coretan pertama dilakukan oleh ibunda?”
Ririswari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata “Ya, emban. Biarlah aku melanjutkannya. Kain itu akan dapat menjadi kenangan bagiku. Bekas tangan ibunda itu akan aku beri tanda agar aku dapat selalu mengingatnya. Kain itu akan aku persembahkan kepada ayahanda. Ayahanda menggemari kain batik parang. Bahkan ayahanda, yang pada waktu itu masih didampingi oleh ibunda, mempunyai kumpulan kain batik dari berbagai jenis parang. Sebagian adalah kain yang dibatik oleh ibunda sendiri.”
“Marilah Puteri. Biarlah aku mempersiapkannya.”
Keduanya pun kemudian pergi ke serambi samping di sebelah kiri. Emban itu masuk kedalam sebuah sentong yang sempit. Di dalam sentong itu disimpan berbagai peralatan batik serta lembar kain yang masih harus digarap.
Ketika gawangan dengan kain yang belum selesai dibatik bergayut di gawangan itu dibawa keluar dari bilik itu, maka Ririswaripun mengusap air matanya yang mengembun. Di luar sadarnya, Ririswari membayangkan ibundanya yang duduk di depan gawangan itu. Sekali-sekali ditiupnya canting yang berisi malam yang cair dan panas. Kemudian digoreskannya paruh canting itu pada kain yang tersangkut digawangan.
Embannya masih saja sibuk menyediakan anglo kecil, wajan yang sering dipakai oleh Ririswari serta ibundanya membatik. Kemudian menyalakan api, meletakkan wajah kecil diatasnya serta menaruh malam kedalamnya. Malam yang berwarna coklat diberi secuil malam yang berwarna putih.
Sejenak kemudian, Ririswari pun duduk di sebuah dingklik kayu yang rendah disamping wajannya yang berisi malam yang sudah mulai mencair diatas bara api arang kayu metir di anglo kecil.
Dicobanya untuk memusatkan perhatiannya pada kain yang sedang dibatiknya.
Dalam pada itu, di ruang depan, ayahandanya, Kangjeng Adipati Wirakusuma duduk dihadap oleh Raden Ayu Reksayuda, Ki Tumenggung Jayataruna serta Ki Tumenggung Reksabawa.
Terasa ruang depan dalem Kadipaten itu diliputi oleh suasana yang tegang.
Raden Ayu Reksayuda telah menghadap Kangjeng Adipati Wirakusuma untuk yang kesekian kalinya. Dengan menahan tangis. Raden Ayu Prawirayuda itu mohon agar diberikan pengampunan bagi suaminya, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang mendapat hukuman, disingkirkan dan tidak boleh menginjak tlatah Kadipaten Sendang Arum untuk waktu lima tahun.
“Ampun dimas Adipati. Hamba mohon keringanan bagi kangmas Tumenggung Reksayuda.”
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang.
“Hamba sudah menghadap beberapa kali. Dimas Adipati masih belum memberikan kepastian, meskipun dimas sudah berjanji akan mengusahakan keringanan itu.”
Kangjeng Adipati masih belum memberikan jawaban.
“Hamba mohon belas kasihan dimas Adipati. Dimas tentu tahu, bahwa ketika kangmas Tumenggung Wreda Reksayuda diusir dari Kadipaten Sendang Arum, kami belum lama hidup bersama sebagai suami isteri. Kami baru saja menikah pada waktu itu.”
“Kangmbok” jawab Kangjeng Adipati, “jika keputusan bahwa kangmas Tumenggung Wreda itu harus disingkirkan dari Sendang Arum dijatuhkan, adalah akibat dari sikap dan tindakan kangmas Tumenggung Reksayuda itu sendiri.”.
“Hamba tahu, dimas. Kangmas Reksayuda memang bersalah. Tetapi bukankah kangmas Reksayuda telah menjalani hukumannya?”
“Kangmas Reksayuda dihukum tidak boleh memasuki telalah Kadipaten Sendang Arum selama lima tahun.”
“Hukuman itu sangat berat bagi kangmas Reksayuda yang sudah lebih dari separo baya itu, dimas.”
“Semuanya itu bukan kehendakku pribadi, kangmbok. Tetapi paugeran dan tatanan di Sendang Arumlah yang menentukan. Jika kangmas Tumenggung yang sudah semakin tua itu tidak melakukan kesalahan, maka kangmas Tumenggung tentu tidak akan menanggung akibat yang mungkin dirasakan sangat berat itu.”
“Dimas, apalagi sekarang menurut berita yang hamba dengar, kangmas Tumenggung Wreda sering sakit-sakitan. Apakah mungkin terjadi, bahwa kangmas Tumenggung tidak lagi sempat melihat terbitnya matahari di Kadipaten Sendang Arum ini?”
Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang.
“Dimas. Apapun yang harus hamba lakukan, akan hamba lakukan bagi pengampunan kangmas Tumenggung Reksayuda.”
“Baiklah, aku akan membicarakannya kangmbok.”
“Beberapa pekan yang lalu, dimas juga mengatakan akan membicarakannya.”
“Aku sudah membicarakannya. Tetapi masih ada beberapa silang pendapat diantara beberapa orang penanggung jawab negeri ini. Agar keputusan yang akan kami ambil tidak menimbulkan persoalan di masa depan, maka kami akan membicarakannya lebih dalam lagi.”
Raden Ayu Prawirayuda mengusap matanya yang basah. Dengan suara yang bergetar ia pun berkata, “Ampun dimas. Jika demikian, hamba akan menunggu. Namun hamba mohon dengan sungguh-sungguh belas kasihan dimas kepadaku dan kepada kangmas Reksayuda. Hamba mohon dimas Adipati memberi kesempatan kepada kami untuk memberikan arti bagi pernikahan kami.”
“Kami masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh kangmas Reksayuda seandainya ia benar-benar aku beri kesempatan untuk pulang.”
“Apa yang dapat dilakukan oleh kangmas Reksayuda yang sudah menjadi semakin tua? Seandainya dimas mengijinkannya pulang, maka yang dapat dilakukannya tidak lebih dari satu kehangatan keluarga diusianya yang semakin tua.“
“Baiklah kangmbok. Beri kesempatan kepada kami untuk membicarakannya dengan beberapa orang pejabat di Kadipaten ini.”
“Hamba dimas. Segala harapan bergayut kepada kebijaksanaan dimas.”
“Aku bersandar kepada kesepakatan para pemimpin di Sendang Arum.”
“Tetapi dimas adalah penguasa tertinggi di Kadipaten ini.”
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah, kangmbok. Apa yang kangmbok inginkan sudah kami ketahui. Karena itu, biarlah kami membicarakannya. Pada saatnya kami akan memberitahukan kepada kangmbok keputusan yang kami ambil.”
Raden Ayu Prawirayuda menundukkan wajahnya. Sekali-sekali tangannya masih mengusap matanya yang basah. Namun kemudian Raden Ayu Prawirayuda itupun mohon diri.
“Aku akan memberitahukan kepada kangmbok secepatnya.”
“Terima kasih, dimas. Hamba menunggu. Siang dan malam hamba berdoa, semoga kangmas Tumenggung Reksayuda segera diperkenankan pulang.”
Raden Ayu Reksayuda itupun kemudian, meninggalkan pertemuan itu. Wajahnya masih nampak muram. Matanya lembab oleh tangisnya yang tertahan-tahan. Namun yang kadang-kadang bendungan itu pecah juga, sehingga air matanya menghambur keluar.
Di ruang depan Kadipaten itu, Kangjeng Adipati, masih dihadap oleh Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumengung Jayataruna.
“Kakang Tumenggung berdua. Bagaimana menurut pertimbangan kalian tentang permohonan kangmbok Reksayuda? Kalian sudah mendengar sendiri. Bukan hanya permohonannya, tetapi juga tangisnya. Apakah kita dapat memaafkan kesalahan Kamas Tumenggung Wreda Reksayuda yang telah berniat untuk memberontak pada waktu itu. Meskipun pemberontakan itu belum nyata dan belum dilakukan, tetapi pemberontakan itu rasa-rasanya sudah disiapkannya”
“Ampun Kangjeng Adipati. Jika diperkenankan, hamba akan mengutarakan pendapat hamba” berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
“Katakan, kakang.”
“Jika berkenan di hati Kangjeng Adipati, apakah sebaiknya Kangjeng Adipati menghubungi Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar. Bukankah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda berada di Pucang-Kembar. Mungkin Kangjeng Adipati di Pucang Kembar dapat memberikan beberapa pertimbangan. Jika menurut pengamatan Kangjeng Adipati di Pucang Kembar, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda bersikap baik dan tidak ada tanda-tandanya untuk melanjutkan niatnya menggeser kedudukan Kangjeng Adipati, maka permohonan Raden Ayu Reksayuda dapat dipertimbangkan.”
“Bagaimana pendapatmu kakang Reksabawa?”
“Kangjeng Adipati. Menurut pendapat hamba, paugeran harus ditegakkan di Sendang Arum. Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah melakukan kesalahan yang sangat berat. Raden Tumenggung telah merencanakan satu pemberontakan untuk menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma. Bahkan tanpa alasan apa-apa selain perasaan iri, bahwa bukan Raden Tumenggung Reksayuda yang menduduki jabatan Adipati di Sendang Arum. Raden Tumenggung Reksayuda akan dapat menjadi Adipati menurut darah keturunan jika eyangnya tidak meninggal dalam usia yang masih terhitung muda, sebelum sempat menggantikan kedudukan ayahnya. Adipati di Sendang Arum sehingga akhirnya Kangjeng Adipati Wirakusuma lah yang sekarang memegang jabatan itu. Jika saja Raden Tumenggung Reksayuda itu mempunyai alasan yang mapan, mungkin banyak orang yang dapat mengerti, kenapa ia melakukannya meskipun ia tetap dianggap bersalah. Tetapi yang dilakukan oleh Raden Tumenggung semata-mata berpusar pada kepentingannya sendiri.”
“Jadi, maksud kakang ?”
“Ampun Kangjeng. Menurut pendapat hamba, perasaan iri di hati Raden Tumenggung Reksayuda itu tidak akan mudah hilang. Jika saja Raden Tumenggung Wreda itu mempunyai alasan tertentu, misalnya tentang ke tataprajaan atau tentang tatanan laku dagang atau tentang persoalan-persoalan mendasar lainnya, masih dapat diharapkan, bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di Kadipaten ini akan dapat memberikan kesadaran baru bagi Kangjeng Raden Tumenggung Wreda. Tetapi jika persoalannya adalah karena iri hati, maka akan sulit dicari jalan pemecahannya”
“Bagaimana kesimpulan kakang?”
“Ampun Kangjeng. Menurut pendapat hamba, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda harus menjalani hukumannya sesuai dengan keputusan yang sudah dijatuhkan. Lima tahun. Sedangkan hukuman itu sampai sekarang baru dijalani selama dua hampir tiga tahun.”
“Jadi menurut kakang, kesalahan yang pernah dilakukan oleh kakangmas Tumenggung Reksayuda itu tidak dapat dimaafkan?”
“Setelah waktu hukumannya diselesaikan.”
“Itu namanya bukan pengampunan, bukan pemaafan atas satu kesalahan. Setelah menjalani hukuman lima tahun, maka hutang kakangmas Reksayuda terhadap Kadipaten ini sudah sah. Sudah lunas Tidak ada lagi pengampunan yang diperlukan.”
“Kangjeng.Raden Tumenggung Reksayuda adalah masih berada dalam lingkaran keluarga Kangjeng Adipati sendiri. Apa kata orang, jika pengampunan itu Kangjeng Adipati berikan kepada keluarga Kangjeng Adipati sendiri yang terang-terangan telah melakukan kesalahan. Lalu bagaimana pula dengan beberapa orang yang mendukungnya, sehingga harus menjalani hukuman pula. Apakah mereka semua juga harus mendapatkan pengampunan ? Jika tidak, maka apakah hanya kerabat Kangjeng Adipati sendiri yang dapat diampuni kesalahannya ? Karena itu, Kangjeng, menurut pendapat hamba, keputusan yang sudah ditetapkan harus ditegakkan.”
“Kakang” tiba-tiba saja Ki Tumenggung Jayataruna menyela keputusan berdasarkan paugeran itu bukan kata-kata mati. Bukankah kangjeng Adipati mempunyai kebijaksanaan yang dapat ditrapkan untuk menentukan keputusan baru ?”
“Apakah yang adi maksud dengan kebijaksanaan? Kebijaksanaan seharusnya bukan berarti satu cara untuk menghindari paugeran yang seharusnya berlaku. Kebijaksanaan bukan cara untuk menembus celah-celah tatanan yang sudah ditetapkan. Memang banyak orang yang mengartikan bahwa kebijaksanaan itu adalah keputusan-keputusan yang diambil untuk melawan paugeran dan tatanan yang berlaku. Atau bahkan mempergunakan celah-celah paugeran untuk memutihkan tindakan-tindakan yang sebenarnya keliru.”
“Itu sudah terlalu jauh kakang. Tetapi agaknya kakang tidak percaya kepada kebijaksanaan yang dapat diambil oleh Kangjeng Adipati.”
“Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi aku tidak sependapat dengan jalan pikiranmu adi.”
“Cukup. Aku memang belum mengambil keputusan, apakah aku akan memaafkan kakangmas Tumengung Wreda Reksayuda atau tidak. Tetapi aku setuju untuk mengumpulkan keterangan-keterangan yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum aku mengambil keputusan. Karena itu, aku perintahkan kakang Tumenggung berdua, Tumenggung Reksabawa dan Tumenggung kakangmas Adipati Jayanegara. Kakang Tumenggung berdua aku perintahkan untuk minta pertimbangan kakangmas Adipati tentang sikap dan tingkah laku kakangmas Reksayuda selama berada di Kadipaten Pucang Kembar.”
“Ampun Kangjeng” sahut Ki Tumenggung Reksabawa, “apakah Kangjeng Adipati Jayanegara akan bersikap jujur ? Mungkin Kangjeng Adipati hanya ingin segera menyingkirkan Raden Tumenggung Reksayuda dari daerahnya, agar Raden Tumenggung itu tidak mengotori Kadipaten Pucang Kembar.”
“Kenapa kau tidak percaya kepada semua orang, kakang?” justru Ki Tumenggung Jayataruna lah yang bertanya.
“Bukan begitu adi Tumenggung. Tetapi aku hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan.”
“Sudah cukup” potong Kangjeng Adipati, “aku perintahkan kakang berdua esok pagi pergi ke Kadipaten Pucang Kembar. Mungkin kakang berdua harus bermalam di Pucang Kembar, karena selain perjalanan yang panjang, belum tentu kakangmas Adipati di Pucang Kembar dapat langsung menerima kalian.”
“Hamba Kangjeng” jawab keduanya hampir berbareng.
“Sekarang aku perkenankan kalian meninggalkan tempat ini.”
Kedua orang Tumenggung itu pun kemudian mohon diri. Mereka harus bersiap-siap, karena esok pagi mereka akan menempuh perjalanan jauh.
Ketika keduanya keluar dari gerbang dalem kadipaten, keduanya tidak banyak berbicara. Baru ketika keduanya akan berpisah, Ki Tumenggung Jayatarunapun bertanya, “Besok pagi-pagi kita bertemu dimana kakang”
“Menjelang keberangkatan kita ke Pucang Kembar?”
“Ya.”
“Bagaimana jika adi Jayataruna singgah di rumahku?”
Ki Tumenggung Jayataruna termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Baik, kakang. Besok pagi-pagi, sebelum matahari terbit, aku sudah akan berada di rumah kakang.”
“Aku akan siap sebelum matahari terbit”
Keduanya pun kemudian berpisah. Ki Tumenggung Jayataruna berbelok ke kiri, sementara Ki Tumenggung Reksabawa mengambil jalan yang lurus.
Demikian keduanya berpisah, maka keduanya menjadi semakin dalam tenggelam kedalam angan-angan mereka masing-masing. Bagi Ki Tumenggung Reksabawa, maka Raden Tumenggung Wreda Reksayuda tidak sepantasnya di ampuni. Hanya berdasarkan atas perasaan iri, maka Raden Tumenggung Reksayuda telah mempersiapkan satu pemberontakan untuk menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma. Mungkin, dalam pembuangan, terbersit penyesalan dan bahkan berjanji kepada diri sendiri untuk melupakan perasaan iri hati itu. Tetapi jika Raden Tumenggung Wreda itu sudah berada di rumahnya, maka perasaan iri itu akan dapat terungkit lagi.
“Raden Tumenggung Reksayuda adalah seorang yang keras hati. Ia seorang prajurit yang baik, yang mumpuni dan di Segani oleh banyak orang. Meskipun Raden Tumenggung itu sudah menjadi semakin tua, namun ia masih akan dapat bangkit lagi untuk memimpin sebuah pemberontakan. Raden Tumenggung itu dapat saja mencari kelemahan-kelemahan yang terdapat didalam diri Kangjeng Adipati Wirakusuma. Sebagai manusia biasa, memang cukup banyak kekurangan dan kelemahan Kangjeng Adipati” berkata Ki Tumenggung Reksabawa didalam hatinya.
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas panjang.
Sementara itu, Ki Tumenggung Jayataruna yang mengambil jalan lain, telah berangan-angan pula disepanjang jalan pulang. Yang nampak jelas di angan-angannya justru bukan Raden Tumenggung Reksayuda yang sedang dipersoalkannya dengan Ki Tumenggung Reksabawa. Tetapi yang nampak jelas di angan-angannya adalah justru wajah Raden Ayu Reksayuda yang dimatanya nampak sangat cantik. Apalagi jika Raden Ayu Reksayuda itu tersenyum kepadanya.
“Gila” desisnya, “kenapa perempuan secantik itu harus menikah dengan Raden Tumenggung Reksayuda yang sudah tua?”
Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas panjang.
Namun kadang-kadang Ki Tumenggung Jayataruna itu tersenyum sendiri.
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna, Kangjeng Adipati Wirakusuma telah masuk ke ruang dalam. Ketika tercium olehnya bau malam yang dipanasi, maka Kangjeng Adipati itu telah pergi ke serambi.
Dipintu Kangjeng Adipati itu berdiri termangu-mangu. Ia melihat puterinya membatik dengan asyiknya.
Embannya yang juga membatik sehelai selendang untuk sekedar menemani Raden Ajeng Ririswari, melihat kehadiran Kangjeng Adipati. Karena itu, maka diletakannya cantingnya Kemudian emban itupun menyembah dengan hormatnya.
Raden Ajeng Ririswari yang melihat embannya menyembah, segera berpaling. Ketika dilihatnya ayahnya berdiri di pintu, maka Ririswari itu pun menyembah pula. Kemudian gadis itu bangkit berdiri sambil berkata, “Ayahanda. Aku akan menyelesaikan batik parang itu. Kelak aku ingin mempersembahkannya kepada ayahanda. Meskipun barangkali batikanku tidak terlalu halus, namun aku akan mohon sekali waktu ayahanda mengenakannya. Tentu saja tidak dalam pertemuan yang besar dan resmi. Tetapi mungkin pada saat-saat bibi Reksayuda menghadap.”
“Bibimu?”
“Ya. Bukankah sekarang bibi sering menghadap? Dengan tingkahnya yang dibuat-buat serta senyumnya yang berhamburan.”
“Ah, kau Riris. Bibimu datang untuk mohon keringanan hukuman bagi uwakmu, kakangmas Tumenggung Wreda Rek-sayuda.”
“Apakah ia berbuat dengan jujur, ayahanda?”
“Jangan berprasangka, Riris. Sekarang lanjutkan saja kerjamu. Aku akan menungguimu disini. Aku senang melihat kau mulai membatik lagi.”
“Ibunda yang mulai dengan beberapa coretan pada kain itu. Ibunda memang minta aku menyelesaikannya.”
“Kau akan menyelesaikannya, Riris.“
“Ayah benar akan menunggui aku disini?”
“Ya. Aku akan duduk di sebelahmu”
“Baik. Aku mohon ayahanda duduk disitu selama aku masih duduk membatik.”
Kangjeng Adipati tertawa.
Namun Kangjeng Adipati duduk pula menunggui Raden Ajeng Ririswari untuk beberapa lama.
Dalam pada itu, dikeesokan harinya, sebelum matahari terbit, Ki Tumenggung Jayataruna seperti yang direncanakan sudah berada di rumah Ki Tumenggung Reksabawa. Ki Tumenggung Reksabawapun telah siap pula untuk berangkat.....
Namun Ki Tumenggung Reksabawa masih sempat mempersilahkan Ki Tumenggung Jayataruna untuk duduk sejenak di pringgitan.
“Minum minuman hangat dahulu, adi Tumenggung Jayataruna.”
“Terima kasih kakang. Baru saja aku minum dan bahkan makan pagi sebelum berangkat.”
“Kalau begitu, kita dapat berangkat sekarang.“
“Mari kakang. Mumpung masih pagi.”
Ki Tumenggung Reksabawa pun kemudian minta diri kepada Nyi Tumenggung yang mengantarnya sampai di tangga pendapa.”
“Tidak duduk dahulu, adi Tumenggung ?” bertanya Nyi Tumenggung kepada Ki Tumenggung Jayataruna.
“Terima kasih, Nyi. Kami akan menempuh jarak yang panjang. Mumpung masih pagi.”
Keduanya pun kemudian meninggalkan regol halaman rumah Ki Tumenggung Reksabawa. Kuda mereka pun segera berlari kencang selagi jalan masih belum terlalu ramai. Meskipun demikian, satu dua orang telah berada di jalan menuju ke pasar.
Namun mereka telah memadamkan obor blarak yang mereka bawa, karena langit mulai terang meskipun matahari belum terbit.
Kedua orang Tumenggung itupun memacu kuda mereka melintasi bulak-bulak panjang di pagi hari yang dingin. Embun masih menitik dari ujung dedaunan yang tumelung ke atas jalan yang mereka lalui.
Dikejauhan terdengar kicau burung liar yang bangkit dari tidurnya ketika langit menjadi kemerah-merahan.
Tidak banyak yang dipercakapkan kedua orang Tumenggung itu disepanjang jalan. Mereka menyadari, bahwa ada perbedaan pendapat diantara mereka tentang kemungkinan pengampunan terhadap Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
Karena itu, maka jika keduanya berbicara diantara mereka, maka yang mereka bicarakan adalah persoalan-persoalan yang lain, yang tidak menyangkut kemungkinan pengampunan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
Ketika kemudian matahari terbit, mereka sudah berada agak jauh dari kadipaten. Mereka tidak saja melintasi bulak-bulak panjang, tetapi mereka juga menerobos padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Melewati padang-padang rumput dan padang perdu di pingir hutan yang lebat.
Matahari yang semakin tinggi sinarnya mulai menggigit kulit Semakin lama sinarnya terasa menjadi semakin terik, sehingga keringat mereka pun mulai membasahi pakaian mereka.
“Kuda-kuda kita mulai letih, kakang” berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
“Ya, adi. Aku merasakannya.”
“Bukan hanya kuda-kuda kita.”
Ki Tumenggung Reksabawa tertawa. Katanya, “Kita juga mulai merasa haus.”
Keduanya pun kemudian sepakat, untuk berhenti di sebuah kedai yang terhitung besar dan ramai di kunjungi orang, dekat sebuah pasar yang nampaknya sedang pasaran, sehingga orang-orang yang berjualan agaknya tidak termuat lagi didalam pasar. Jalan di depan pasar pun menjadi sempit, karena orang-orang yang berjualan di sebelah menyebelah jalan.
Sejenak kemudian, keduanya telah berada didalam kedai itu. Kepada seorang yang bertugas, kedua orang Tumenggung itu menyerahkan kuda mereka untuk diberi minum dan makan secukupnya.
“Pasar itu masih saja ramai di tengah hari” desis Ki Tumenggung Reksabawa.
“Hari ini hari Soma Mancawarna, Ki Sanak” berkata pelayan yang siap melayani mereka berdua.
“Hari pasaran?”
“Ya. Pasar ini adalah pasar yang teramai diantara beberapa pasar yang ada di sekitar tempat ini.”
“Pasar ini pasar apa namanya, Ki Sanak.”
“Pasar Patalan. Karena pasar itu berada di kadem angan Patalan.”
“O.” Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk-angguk.
“Bukankah kita tidak untuk pertama kalinya melewati pasar ini, kakang?”
“Ya. Tetapi aku baru tahu sekarang namanya. Pasar Patalan karena pasar ini berada di Kademangan Patalan.”
Keduanyapun kemudian memesan makanan dan minuman sambil memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat.
Diluar pengetahuan mereka, ampat orang yang juga di-dalam kedai itu telah memperhatikan keduanya. Menilik makanan yang dipesan, sikap serta pakaian mereka, juga kuda-kuda mereka serta kelengkapannya, keduanya adalah orang yang berada. Dihari-hari pasaran, kadang-kadang memang ada orang yang sengaja memperhatikan orang-orang yang hilir mudik di pasar itu. Mereka memperhatikan orang-orang yang dianggapnya memiliki uang atau barang-barang yang berharga. Saudagar-saudagar kaya atau orang-orang yang membawa banyak uang setelah menjual barang-barang berharga mereka.
Tetapi kadang-kadang saudagar-saudagar kaya tidak hanya sendiri atau dua orang tiga orang pergi ke pasar. Tetapi kadang-kadang mereka membawa beberapa orang upahan untuk melindungi mereka jika mereka harus berhadapan dengan para penjahat.
Meskipun demikian, kadang-kadang ada juga orang yang sombong atau lengah, sehingga akan dapat menjadi mangsa orang-orang yang berlaku jahat.
Agaknya kedua orang berkuda itu tidak mengetahuinya. Mereka hanya datang berdua saja.
Ketika pelayan kedai itu menyerahkan pesanan mereka, pelayan itu bertanya perlahan-lahan, “Ki Sanak berdua belum pernah pergi ke pasar ini?”
“Kami pernah lewat jajan ini. “jawab Ki Tumenggung Jayataruna.
“Apakah Ki Sanak tadi juga pergi ke pasar Patalan?”
“Tidak. Kami hanya lewat. Kebetulan saja pasar ini ramai sekali karena hari ini adalah hari pasaran. Bukankah biasanya setelah tengah hari pasar menjadi semakin sepi.”
“Ya, Ki Sanak. Orang-orang dan saudagar-saudagar dari jauh hari ini berdatangan. Mereka menjual bermacam-macam barang, tetapi ada juga mereka yang membeli berbagai macam barang untuk dijual kembali.”
“Tengkulak?”
“Ya.”
Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja pelayan itu berbisik, “Hati-hati dengan empat orang yang duduk di sebelah tiang itu, Ki Sanak.”
Kedua orang Tumenggung itu berdesis hampir berbareng, “Kenapa ?”
“Mereka sering melakukan kejahatan. Tetapi jangan berpaling sekarang.”
“Terima kasih atas keteranganmu Ki Sanak.”
Pelayan itupun kemudian berkata lebih keras, ”Sebaiknya Ki Sanak berdua singgah di pasar itu untuk melihat-lihat.”
“Kami agak tergesa-gesa” jawab Ki Tumenggung Jayataruna.
Ketika pelayan itu pergi, Ki Tumenggung Jayatarunapun berdesis, “Mudah-mudahan mereka tidak mengganggu perjalanan kita.”
“Agaknya kita akan luput dari perhatian mereka. Yang mereka perhatikan adalah para pedagang besar di pasar itu. Para saudagar atau orang-orang yang baru saja menjual barang-barang yang berharaga di pasar yang sedang pasaran itu.”
“Darimana mereka tahu, sedangkan mereka duduk-duduk saja disitu?”
“Tentu ada orang lain yang mengamati para pedagang dan orang-orang yang agaknya dapat mereka jadikan korban mereka di pasar itu.”
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Ia sedang mentertawakan pertanyaannya sendiri.
Namun kedua orang Tumenggung itu sama sekali tidak menjadi gelisah. Mereka makan dan minum dengan tenang sambil beristirahat serta memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat pula.
Tanpa menarik perhatian, keduanya sempat melihat ampat orang yang disebut oleh pelayan kedai itu. Empat orang yang nampaknya memang garang. Wajah mereka nampak gelap. Pakaian mereka dan cara duduk mereka yang nampaknya tanpa dilambari unggah-ungguh justru karena mereka berada diantara banyak orang.
Nampaknya pemilik kedai dan pelayan-pelayannya merasa tidak senang akan kehadiran keempat orang itu. Tetapi mereka tidak dapat mengusirnya karena keempat orang itu tidak berbuat apa-apa di kedai mereka.
Beberapa saat kemudian, kedua orang Tumenggung itu melihat dua orang memasuki kedai itu langsung menuju ke tempat keempat orang yang berwajah gelap itu duduk.
Dengan hati-hati Ki Tumenggung Reksabawa memperhatikan kedua orang yang baru masuk itu.
“Aku tidak mendapat kesempatan untuk melihat apa yang mereka lakukan” desis Ki Tumenggung Jayataruna yang kebetulan duduk menyamping. Jika ia terlalu sering berpaling, maka keempat orang itu tentu akan semakin memperhatikannya pula.
“Keduanya menggeleng-gelangkan kepala mereka” desis Ki Tumenggung Reksabawa.
“Mungkin mereka tidak menemukan orang yang dapat mereka jadikan korban di pasar itu.”
“Mereka tentu akan mencari korban disini”
“Apakah kita kelihatan seperti saudagar yang kaya yang yang membawa banyak uang ?”
Pembicaraan mereka terhenti lagi. Mereka melihat dua orang yang nampaknya orang-orang berada ditilik dari sikap dan pakaian mereka. Namun mereka datang bersama ampat orang yang lain, yang menuntun kuda. Selain kuda mereka masing-masing, mereka juga menuntun dua ekor kuda yang agaknya milik dua orang yang masuk terdahulu.
Tiba-tiba saja Ki Tumenggung Jayataruna memberi isyarat kepada pelayan kedai itu untuk datang kepadanya.
Demikian pelayan itu datang, maka Ki Tumenggung Jayataruna telah memesan dua mangkuk minuman. Dawet cendol.
“Aku…”
Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna memutus kata-kata Ki Tumenggung Reksabawa perlahan-lahan, “Aku memerlukan keterangannya.”
Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Ketika pelayan itu datang sambil membawa pesannya, Ki Tumenggung Jayataruna sempat bertanya, “Siapa yang baru datang bersama beberapa orang itu?”
“Ki Sudagar. Pedagang perhiasan emas berlian. Setiap hari pasaran ia tentu datang untuk menjual dan membeli perhiasan-perhiasan.”
“Apakah orang itu tidak tahu, bahwa ada empat orang penjahat disini?”
“Mereka sudah saling mengenal. Penjahat manapun tidak akan mengganggunya. Keduanya berilmu tinggi serta selalu dikawal oleh orang-orang upahan yang juga berilmu tinggi.”
Ketika pelayan itu kemudian pergi, maka Ki Tumenggung Reksabawa pun berkata, “Nampaknya mereka memperhatikan kita. Jika tidak ada sasaran yang lain, agaknya kita mendapat perhatian mereka.”
“Jika demikian, maka kita dapat berbangga, bahwa penampilan kita mirip orang kaya” sahut Ki Tumenggung Jayataruna sambil tertawa.
Ki Tumenggung Reksabawapun tertawa pula. Di kedai itu mereka sempat melupakan perbedaan pendapat mereka tentang Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
Beberapa saat kemudian, maka Ki TumenggungReksabawa pun berkata, “Marilah kita meneruskan perjalanan.”
“Bagaimana dengan Ki Sudagar?” Ki Tumenggung Jayataruna justru bertanya.
“Nampaknya keduanya memang sudah mengenal keempat orang itu. Mereka saling mengangguk. Bahkan seorang pengawal Ki Sudagar itu mengangkat tangannya sampai ketelinganya.”
Ki Tumenggung Jayataruna itupun kemudian beringsut sambil bangkit berdiri, “Marilah, kita meneruskan perjalanan.”
“Dawet cendol ini sudah terlanjur di pesan. “
“He?” ternyata Ki Tumenggung Jayataruna duduk kembali. Keduanya masih menghirup dawet cendol yang mereka pesan, meskipun mereka tidak menghabiskannya.
Ki Tumenggung Reksabawa lah yang kemudian membayar harga makanan dan minuman mereka. Sambil tersenyum Ki Tumenggung Reksabawa berdesis, “Aku tidak berniat menyuap adi, agar adi menyesuaikankan diri dengan sikapku.”
Ki Tumenggung Jayataruna itu justru tertawa.
Keduanyapun kemudian meninggalkan kedai itu setelah minta diri kepada pelayan dan pemiliknya.
“Bagaimana dengan kuda-kuda kami?” bertanya Ki Tumenggung Jayataruna kepada pemilik kedai itu.
“Silahkan memberi upah langsung kepada anak yang memberi minum dan makan kuda-kuda Ki Sanak itu.”
Demikianlah, setelah memberikan upah kepada anak muda yang merawat kuda-kuda mereka selama beristirahat serta memberikan minum dan makan itu, maka keduanyapun segera meninggalkan kedai itu.
Mereka tidak dapat melarikan kuda mereka, karena jalan yang terlalu ramai di depan pasar, meskipun matahari sudah melewati puncak langit.
Namun setelah mereka meninggalkan keriuhan jalan di depan pasar itu, maka kuda itupun segera berlari kencang.
Demikian mereka memasuki bulak panjang didepan mereka, Ki Tumenggung Reksabawa berpaling.
“Mereka tidak mengejar kita.”
Ki Tumenggung Jayataruna itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Itu satu penghinaan.”
“Kenapa?”
“Dengan demikian mereka tidak menghargai penampilan kita.”
“Maksud adi?”
“Mereka menganggap bahwa kita bukan orang kaya atau orang yang membawa banyak uang.”
Ki Tumenggung Reksabawa tertawa. Namun Ki Tumenggung Jayatarunapun tertawa pula.
Kuda-kuda mereka pun berlari semakin kencang di tengah bulak yang sepi.
Namun tiba-tiba keduanya terkejut. Beberapa puluh patok dihadapan mereka, disebuah simpang ampat di tengah-tengah bulak itu, nampak beberapa orang berdiri sambil memegangi kuda-kuda mereka.
“Edan” geram Ki Tumenggung Reksabawa, “ternyata mereka menghadang kita. Agaknya mereka memotong melalui jalan pintas.”
“Apakah mereka yang tadi berada di kedai itu?”
“Agaknya demikian.”
“Nah, itu baru sikap yang wajar.”
“Apa yang wajar?”
“Penilaian yang tepat. Mereka memang sepatutnya menghargai penampilan kita yang lebih bergaya dari orang-orang lain di kedai itu. Sehingga kita pantas untuk dianggap orang kaya dan memiliki barang-barang berharga yang pantas dirampok di perjalanan.”
“Pendirian kita memang banyak yang berbeda, adi.”
“Menurut kakang ?”
“Aku lebih senang dianggap tidak mempunyai uang dan benda-benda berharga, tetapi yang sebenarnya aku adalah orang yang kaya raya, daripada sebaliknya.”
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya, “Ya. Jalan pikiran kita memang berkebalikan.”
“Tetapi siapapun kita berdua, nampaknya kita memang akan kehilangan banyak waktu.”
Ki Tumenggung Jayataruna mengerutkan dahinya. Katanya”Ya. Itulah yang membuat aku menyesal. Kita akan banyak kehilangan waktu.”
Yang kemudian berdiri di simpang ampat itu ternyata tidak hanya ampat orang. Tetapi dua orang yang menyusul masuk kedalam kedai itu pun ada bersama mereka pula”
“Berhenti, Ki Sanak” berkata seorang yang bertubuh tinggi tegap, berwajah gelap dan bahkan nampak bekas segores luka di keningnya.
Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna pun berhenti pula. Bahkan tiba-tiba saja Ki Tumenggung Jayataruna telah meloncat turun dari kudanya dan langsung mengikat kudanya pada sebatang pohon turi di pinggir jalan.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Reksabawa pun segera meloncat turun pula serta mengikat kudanya disebelah kuda Ki Tumenggung Jayataruna.
Keenam orang yang menghentikan kedua orang Tumenggung itu justru termangu-mangu sejenak melihat sikap Ki Tumenggung Jayataruna.
Baru kemudian orang bertubuh tinggi tegap dengan baju yang terbuka didadanya, sehingga nampak bulu-bulu yang lebat tumbuh didadanya itu bertanya, “Siapakah kalian berdua yang sudah berani melewati daerah kuasa kami tanpa ijin kami?”
“Kalian tidak usah berbicara melingkar-lingkar. Kalian tidak usah berbicara tentang daerah kuasa kalian, karena semuanya itu hanyalah omong kosong. Bahkan seperti celoteh badut-badut yang berusaha mengungkit tawa penontonnya. Katakan saja bahkan kalian adalah sekelompok penyamun. Nah, kebetulan. Kami adalah pedagang-pedagang perhiasan, emas, intan, berlian, batu-batu bertuah dan wesi aji yang nilainya beratus-ratus keping emas. Kami juga sudah membawa uang hasil penjualan perhiasan-perhiasan dan wesi aji di pasar Patalan dan di tempat lengganan-lengganan kami. Kami membawa uang banyak sekali serta sisa perhiasan yang masih ada beberapa kotak kecil. Nah, katakan bahwa kalian akan merampok semuanya itu.”
“Anak iblis” geram pemimpin perampok yang berutuh raksasa itu, “siapakah sebenarya kalian.”
“Sudah aku katakan. Aku mempunyai apa saja yang paling pantas di rampok. Termasuk kuda-kuda kami”
Para perampok itu justru termangu-mangu. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi ragu-ragu untuk berurusan dengan kedua orang itu.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Reksabawa pun berkata, “Ki Sanak. Kami berdua tergesa-gesa. Karena itu, jangan ganggu perjalanan kami. Minggirlah. Kami akan lewat. Sebaiknya kita tidak saling mengganggu.”
“Persetan dengan kalian berdua. Kami memang tidak berminat lagi untuk merampok kalian, karena aku yakin, kalian tidak mempunyai apa-apa. Kalian hanyalah orang-orang yang berlagak dengan pakaian dan kelengkapan kuda yang baik. Tetapi semua itu hanya sekedar untuk menutupi kekurangan kalian. Mungkin kalian telah mencari pinjaman pakaian dan kuda beserta kelengkapannya. Atau bahkan kalian telah mencuri kuda-kuda itu di tengah perjalanan kalian.”
“Kalian telah menyinggung perasaan kami” geram Ki Tumenggung Jayataruna, “kalian harus merampok kami. Setidak-tidaknya kalian menginginkan kuda-kuda kami. Atau pendok kerisku yang terbuat dari emas ini.”
“Aku tidak percaya bahwa pendok kerismu dan barangkali timangmu itu terbuat dari emas. Aku yakin, bahwa semua itu hanya dilapisi dengan emas yang sangat tipis di luarnya.”
“Kau telah merendahkan kami, saudagar terkaya di daerah kami. Jangan banyak bicara. Kalian harus langsung ke persoalannya. Merampok kami berdua.”
“Kenapa kalian menginginkan kami merampok kalian ?”
“Kami mempunyai alasan untuk membunuh kalian berenam.”
Pemimpin perampok yang bertubuh raksasa itu menggeretakkan giginya. Dipandanginya Ki Tumenggung Jayataruna dengan mata yang bagaikan membara oleh kemarahan yang membakar jantungya.
“Kau sangat memuakkan Ki Sanak. Aku telah kehilangan seleraku untuk merampok kalian berdua. Tetapi sekarang yang timbul adalah nafsuku untuk membunuh kalian.”
“Bagus” sahut Ki Tumenggung Jayataruna, “niatmu untuk membunuh kami, dapat kami jadikan alasan untuk membunuh kalian, karena kami sekedar berusaha melindungi diri sendiri.”
Pemimpin sekelompok penyamun itupun segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang segera mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang pohon yang ada di pinggir jalan itu.
“Kita akan bertempur apapun alasan kalian” berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas panjang. Ia memang tidak akan dapat mengelak dari pertempuran yang bakal terjadi. Tetapi ia tidak setuju dengan sikap Ki Tumenggung Jayataruna yang sengaja memancing pertempuran.
“Marilah kakang” berkata Ki Tumenggung Jayataruna, “orang-orang seperti ini memang harus di hapuskan dari tanah tercinta ini.”
“Sebelum kalian mati, sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian berdua ini.”
“Siapapun kami, kalian tidak perlu tahu. Apalagi sebentar lagi kalian akan mati, sehingga tidak ada gunanya kalian mengenal nama-nama kami.”
“Setan alas” geram orang bertubuh raksasa itu, “bunuh mereka berdua.”
“Perintah yang manis. Tetapi perintah itu berlaku juga bagi kami berdua untuk membunuh kalian.”
Kata-kata Ki Tumenggung Jayataruna terputus. Seorang diantara para penyamun itu telah meloncat menyerangnya.
Tetapi Ki Tumenggung yang sudah bersiap sepenuhnya, itu masih sempat mengelak. Bahkan sambil melenting, kakinya terayun mendatar menyambar dagu orang itu.
Orang itu terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Namun dengan tangkasnya orang itu pun segera meloncat bangkit.
Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna tidak sempat memburunya. Orang yang bertubuh raksasa itu telah menyerangnya pula.
Sementara itu, para penyamun yang lainpun telah berloncatan pula. Ki Tumenggung Reksabawa harus menghadapi tiga orang diantara mereka, sedangkan Ki Tumenggung Jayataruna pun bertempur melawan tiga orang pula.
Sejenak kemudian, di simpang ampat bulak panjang yang sepi itu telah terjadi pertempuran yang sengit. Dua orang Senapati bertempur menghadapi enam orang penyamun yang bengis.
Beberapa saat kemudian, para penyamun itu telah menarik senjata-senjata mereka. Pedang, parang, golok dan kapak. Sedangkan untuk melawan senjata-senjata yang berbahaya itu, kedua orang Tumenggung itupun telah menarik pedang mereka. Bahkan Ki Tumenggung Jayataruna telah menggenggam pedang di tangan kanan, dan keris di tangan kiri.
Semakin lama pertarungan itupun menjadi semakin sengit. Para penyamun itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun pemimpin mereka mengatakan, bahwa ia tidak lagi berselera untuk merampok, tetapi apa yang dimiliki oleh kedua orang itu tetap menarik perhatian para penyamun. Setidak-tidaknya mereka akan mendapatkan dua ekor kuda yang baik.
Karena itu, para penyamun itupun telah berusaha untuk benar-benar membunuh kedua orang yang lewat itu. Bahkan pemimpin mereka yang bertubuh raksasa itu, telah berniat untuk dengan cepat menghentikan perlawanan orang yang dianggapnya sangat memuakkan itu.
Namun ternyata kedua orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan para penyamun itu pun kemudian mulai merasakan kesulitan menghadapi ilmu pedang lawan-lawan mereka.
Ki Tumenggung Jayataruna bertempur bagaikan angin pusaran. Tubuhnya seakan-akan tidak menyentuh tanah, berloncatan, berputaran dengan gerak yang menghentak-hentak.
Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara ketiga lawannya itu berteriak sambil mengumpat. Ujung pedang Ki Tumenggung Jayataruna itu telah menyentuh bahu kirinya, sehingga di bahunya itu telah menganga luka yang memanjang.
Namun orang itu tidak ingin menghindar dari arena. Meskipun darah telah mengalir dari lukanya, namun orang itupun segera bergeser kembali mendekati Ki Tumenggung Jayataruna.
Tetapi sebelum orang itu memasuki lingkaran pertempuran, seorang lagi kawannya meloncat surut untuk mengambil jarak. Ternyata orang itu telah terluka pula di lengannya. Sebuah goresan telah mengoyak lengannya itu. Bukan ujung pedang Ki Tumenggung. Tetapi keris di tangan Ki Tumenggung itulah yang menggores lengan.
Orang yang bertubuh raksasa itu menggeram. Kapak di tangannya terayun-terayun mengerikan.
Tetapi jantung Ki Tumenggung Jayataruna sama sekali tidak tergetar oleh ayunan kapak lawannya. Bahkan Ki Tumenggung Jayataruna telah menangkis ayunan kapak itu dengan pedangnya.
Ketika benturan terjadi, terasa getar yang kuat menggoyahkan genggaman tangan raksasa itu, sehingga dengan serta-merta orang itu meloncat surut.
Tangan pemimpin penyamun itu merasa pedih. Benturan itu mengisyaratkan, bahwa lawannya memiliki tenaga yang sangat besar. Meskipun tubuh orang itu tidak sebesar tubuhnya sendiri, namun agaknya tenaga dalam orang itu sangat tinggi.
Dengan demikian, maka pemimpin penyamun itu menjadi lebih berhati-hati. Apalagi kedua orang kawannya telah ter-luka.
Namun ketika Ki Tumenggung Jayataruna mulai melibatnya dalam pertempuran, maka pemimpin penyamun itu menjadi kebingungan. Dua orang kawannya yang telah terluka, tidak terlalu banyak dapat berbuat. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara mereka terpelanting. Luka telah menganga di dadanya.
Ketika orang itu jatuh terlentang di tanah, maka ia tidak lagi bergerak. Darah telah tertumpah dari lukanya.
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Sementara itu kedua orang lawannya mulai menjadi ragu-ragu.
Namun Ki Tumenggung tidak membiarkan mereka. Serangan-serangannya telah datang lagi membadai.
Ketika pemimpin penyamun itu mengayunkan kapaknya dengan sekuat tenaga mengarah ke leher Ki Tumenggung, Ki Tumenggung sama sekali tidak berusaha menghindar. Tetapi dengan sepenuh tenaga pula Ki Tumenggung Jayataruna telah membentur kapak orang itu.
Benturan pun telah terjadi dengan kerasnya. Ternyata bahwa tenaga Ki Tumenggung yang dilambari dengan tenaga dalamnya, jauh lebih besar dari tenaga pemimpin penyamun itu. Sehingga dalam benturan itu, pemimpin penyamun itu tidak mampu menahan kapaknya, sehingga kapak itu tetali terlempar dari tanganya.
Tetapi pemimpin penyamun itu tidak sempat memungut senjatanya. Ki .Tumenggung Jayataruna telah menjulurkan keris di tangan kirinya.
“Cukup, adi” terdengar Ki Tumenggung Reksabawa berteriak.
Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna tidak menghiraukannya. Ujung kerisnya itu kemudian menghunjam di dada pemimpin penyamun itu mengoyak jantungnya.
“Adi Tumenggung” terdengar suara Ki Tumenggung Reksabawa yang bergetar.
Tetapi suara itu hilang di telan suara tertawa Ki Tumenggung Jayataruna.
“Kau bunuh lawan-lawanmu, di ?”
“Mereka pantas mati, kakang” jawab Ki Tumenggung Jayataruna yang menjadi justru bertanya, “Bagaimana dengan lawan-lawan kakang ?”
“Mereka sudah tidak berdaya. Tetapi aku tidak merasa perlu untuk membunuh mereka.”
Ki Tumenggung Jayataruna masih tertawa. Katanya, “Kakang adalah seorang Tumenggung yang terlalu baik hati.”
“Biarlah mereka mengabarkan kepada kawan-kawan mereka, bahwa tidak selamanya orang-orang yang lewat itu pantas untuk.mereka jadikan korban.”
“Terserah kepada kakang. Tetapi mereka justru akan mendendam.”
“Betapapun jahatnya seseorang, tetapi tentu terpercik juga meskipun hanya sepeletik terang di hatinya.”
Ki Tumenggung Jayataruna itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada harapan untuk berubah bagi orang-orang itu. Tetapi baiklah. Marilah kita melanjutkan perjalanan.”
Ki Tumenggung Reksabawa berpaling kepada tiga orang lawannya yang sudah tidak berdaya. Dengan nada datar ia pun berkata, “Ingat. Bahwa disini kau telah dikalahkan. Tetapi aku tidak membunuh kalian sekarang. Tetapi lain kali, jika kita bertemu lagi, maka tidak akan ada ampun bagi kalian.”
Ketiga orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka masih saja berdesah menahan sakit pada luka-lukanya.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna itu sudah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka memacu kuda mereka semakin kencang agar mereka segera sampai ke Kadipaten Pucang Kembar.
Tetapi waktu mereka berdua telah banyak tersita. Karena itu, maka Ki Tumenggung Jayataruna pun berkata,”Waktu kita yang hilang, masih belum seimbang dengan nyawa serigala-serigala lapar itu.”
“Sudahlah. Bukankah dengan demikian kuda-kuda kita sempat beristirahat.”
“Tetapi kuda-kuda kita baru saja beristirahat di kedai itu.”
Ki Tumenggung Reksabawa tersenyum. Katanya, “Kau nampaknya masih mendendam. “
“Mereka berniat untuk membunuh kita. Benar-benar membunuh. Kenapa kita masih harus berbaik hati?”
“Jika kita membunuh mereka semuanya, kita akan tertahan lebih lama lagi, karena kita harus menguburkan mereka. Tetapi jika masih ada yang hidup diantara mereka, biarlah mereka mengubur kawan-kawannya yang telah kau bunuh itu.”
Ki Tumenggung Jayataruna tidak menjawab. Tetapi sikapnya memang berbeda dengan sikap Ki Tumenggung Reksabawa. Bahkan kemudian Ki Tumenggung Jayataruna itu pun bergumam, “Kali ini sikap kita juga berbeda.”
“Bukankah tidak ada salahnya kita berbeda sikap ? Asal kita menyadarinya serta menanggapinya dengan dewasa.”
“Ya” Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk.
Kedua orang berkuda itu masih saja memacu kudanya. Semakin lama semakin dalam memasuki tlatah Pucang Kembar.
Tetapi ketika mereka hampir sampai di depan pintu gerbang Kadipaten Pucang Kembar, langit sudah menjadi suram.
“Apakah mungkin kita menghadap Kangjeng Adipati sekarang, kakang?”
“Agaknya memang tidak, adi Tumenggung. Tetapi meskipun demikian, kita akan mencobanya.”
Beberapa saat kemudian, keduanya telah berhenti di depan pintu gerbang dalem kadipaten di Pucang Kembar. Ketika mereka menyampaikan niat mereka untuk menghadap Kangjeng Adipati kepada prajurit yang bertugas, maka Lurah Prajurit itupun berkata, “Kami tidak tahu, apakah Kangjeng Adipati berkenan menerima tamu pada saat seperti ini. Biarlah aku sampaikan permohonan Ki Tumenggung berdua kepada Ki Tumenggung Prangwandawa. Narpacundaka yang bertugas saat ini.”
“Terima kasih, Ki Lurah.”
“Kami persilahkan Ki Tumenggung berdua menunggu.”
Lurah prajurit itupun kemudian menemui Ki Tumenggung Prangwandawa untuk menyampaikan permohonan kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum untuk menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara dari Pucang Kembar.
“Dari Sendang Arum ?” bertanya Ki Tumenggung Prangwandawa.
“Ya, Ki Tumenggung.”
“Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Kangjeng Adipati, apakah Kangjeng Adipati dapat menerimanya sekarang atau tidak. Nampaknya Kangjeng Adipati masih ingin beristirahat bersama keluarganya.”
Ki Lurah itupun kemudian menunggu Ki Tumenggung Prangwandawa yang akan menyampaikan permohonan dua orang Tumenggung dari Sendang Arum untuk menghadap.
“Apakah keperluan mereka ?”bertanya Kangjeng Adipati ketika Ki Tumenggung Prangwandawa menyampaikan permohonan itu.
“Hamba belum sempat menemui mereka Kangjeng.”
“Mereka baru saja datang dari Sendang Arum?”
“Ya.”
“Baiklah. Siapkan sebuah bilik penginapan bagi mereka. Setelah mandi dan berbenah diri, aku akan menerima mereka.”
“Malam ini Kangjeng?”
“Ya. Justru untuk kawan berbincang setelah makan malam. Aku minta Ki Tumenggung Prangwandawa ikut menemui mereka.”
“Hamba Kangjeng.”
“Sekarang, temui mereka dan persilahkan mereka beristirahat sebentar. Bahkan untuk mandi dan berbenah diri. Dengan demikian, setelah mereka mendapatkan kesegarannya kembali, kita dapat berbincang dengan tubuh yang segar hati yang terang.”
“Apakah Kangjeng berniat untuk makan malam bersama para tamu dari Sendang Arum?”
“Tidak. Persilahkan mereka makan di geladri. Bukan aku tidak mau makan bersama mereka, tetapi justru mereka akan merasa segan, sehingga mereka akan kehilangan selera. Ki Tumenggung Prangwandawa sajalah menemui mereka makan malam. Setelah itu, aku akan menerima mereka di serambi.”
“Hamba Kangjeng.”
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung Prangwandawa itu telah menemui Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna yang menunggunya di gardu para prajurit yang bertugas, sementara seorang abdi telah menyiapkan sebuah bilik bagi mereka berdua, di gandok sebelah kanan dalem Kadipaten Pucang Kembar.
“Silahkan kakang Tumenggung berdua beristirahat lebih dahulu. Mandi dan berbenah diri. Gandok sebelah kanan sudah dibersihkan. Bukankah kakang Tumenggung berdua akan bermalam disini,”
“Jika diperkenankan adi Tumenggung.”
“Tentu. Dengan demikian pertemuan kakang berdua dengan Kangjeng Adipati tidak dalam suasana yang tergesa-gesa.”
“Terima kasih, adi.”
“Setelah mandi dan berbenah diri, maka kakang Tumenggung berdua akan menjadi segar kembali. Hati kakang berdua juga-akan menjadi terang”
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Prangwandawa itupun telah mengantarkan kedua orang tamunya ke gandok sebelah kanan. Seorang prajurit membawa kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu ke belakang dan diserahkan kepada abdi yang mengurus kuda Kangjeng
Malam itu, setelah mandi, berbenah diri dan makan bersama Ki Tumenggung Prangwandawa, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna telah dipersilahkan pergi ke serambi.
“Marilah, kakang. Kangjeng Adipati akan menerima kakang berdua di serambi setelah Kangjeng Adipati makan malam.”
“Terima kasih, adi Tumenggung.”
Diantar oleh Ki Tumenggung Prangwandawa, keduanyapun kemudian telah berada di serambi. Mereka masih harus menunggu Kangjeng Adipati yang masih berada di serambi itu.
“Silahkan duduk dahulu, kakang berdua. Aku akan menghadap Kangjeng Adipati.”
“Silahkan adi.”
Ketika kemudian Ki Tumenggung Prangwandawa masuk ke ruang dalam untuk menyampaikan kepada Kangjeng Adipati, bahwa kedua orang tamu dari Sendang Arum sudah menunggu di serambi, maka Ki Tumenggung Reksabawapun berkata, “Adi Jayataruna. Aku minta nanti adi Jayataruna sajalah yang menyampaikan persoalannya kepada Kangjeng Adipati.”
“Ah. Bukan begitu kakang. Bukankah kakang lebih tua dari aku. Bukan hanya umurnya, tetapi juga kedudukan kakang ?”
“Tetapi adilah yang memahami masalahnya. Aku takut kalau apa yang aku katakan nanti, aku bumbui dengan sikap pribadiku terhadap Raden Tumenggung Reksayuda.”
“Bagaimana sebenarnya sikap kakang terhadap Raden Tumenggung Wreda itu?”
“Aku menganggap bahwa belum saatnya Raden Tumenggung itu diperkenankan kembali ke Sendang Arum. Kakang Adipati di Sendang Arum belum pernah dengari bersungguh-sungguh meneliti sikap jiwani Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Perasasaan iri itu, apa benar-benar sudah dapat disingkirkan dari hati Raden Tumenggung. Apalagi bahwa Raden Tumenggung itu merasa berhak untuk menduduki jabatan tertinggi di Sendang Arum. Raden Tumenggung Wreda tentu menganggap bahwa hak itu tidak akan terhapus oleh keadaan apapun. Bahkan setelah ia di singkirkan dari Sendang Arum untuk waktu lima tahun.”
“Karena itu, kakang tidak setuju jika Raden Tumenggung itu diberi pengampunan dan mendapat kesempatan untuk kembali ke Sendang Arum.”
“Ya.”
“Dengan demikian, maka Raden Ayu Reksayuda itu akan tetap menjadi janda, atau setidak-tidaknya seperti seorang janda.”
“Apa maksudmu, di?”
“Maaf, kakang. Aku tidak bermaksud apa-apa.”
Pembicaraan .mereka terhenti. Ki Tumenggung Prangwandawa pun memasuki serambi itu. Sambil duduk di sebelah Ki Tumenggung Reksabawa itupun berkata, “Sebentar lagi, Kakang Adipati akan hadir di serambi ini.
“Terima kasih adi Tumenggung” desis Ki Tumenggung Reksabawa. Lalu katanya kepada Ki Tumenggung Jayataruna, “Adi sajalah yang menyampaikan masalahnya.”
Ki Tumenggung Jayataruna tersenyum sambil mengangguk, “Baik, kakang.”
Sejenak kemudian, maka Kangjeng Adipati pun telah memasuki Serambi. Sambil tersenyum Kangjeng Adipatipun berkata, “Selamat datang di Pucang Kembar kakang Tumenggung berdua.”
“Terima kasih atas perkenan Kangjeng menerima kami berdua-, “Ki Tumenggung Jayataruna lah yang menjawab.
“Apakah Ki Tumenggung sudah sempat beristirahat serta berbenah diri?”
“Sudah Kangjeng. Kami sudah sempat mandi, berbenah diri dan bahkan makan malam di Kadipaten Pucang Kembar. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih.”
“Tentu terlalu sederhana dibandingkan dengan Kadipaten Sendang Arum.”
“Tidak, Kangjeng. Kami mendapatkan segala-galanya jauh lebih baik dari apa yang ada di Sendang Arum.”
Kangjeng Adipati tertawa.
“Ki Tumenggung berdua” berkata Kangjeng Adipati kernudian, “jika kalian sudah sempat beristirahat, maka sekarang kita dapat berbincang dengan leluasa. Tidak tergesa-gesa dan hati kitapun tidak lagi buram karena tubuh yang letih.“
“Kami sudah menjadi segar kembali, Kangjeng.”
“Nah, sekarang katakan keperluan Ki Tumenggung berdua.”
“Ampun Kangjeng Adipati. Kami berdua menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar atas perintah Kangjeng Adipati di Sendang Arum. Pertama untuk menyampaikan salam taklim Kangjeng Adipati Sendang Arum kepada Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar.”
“Aku terima dengan senang hati, Ki Tumenggung. Jika besok Ki Tumenggung berdua kembali ke Sendang Arum dan menghadap Kangjeng Adipati di Sendang Arum, sampaikan salam taklimku pula.”
“Hamba Kangjeng Adipati” jawab Ki Tumenggung Jayataruna. Kemudian katanya pula “Selanjutnya, pokok persoalan yang harus kami sampaikan kepada Kangjeng Adipati adalah persoalan yang menyangkut Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang sekarang berada di Kadipaten Pucang Kembar.”
“Kenapa dengan kakangmas Tumenggung Reksayuda? Apakah Kehgjeng Adipati di Sendang ‘Arum akan mengambil langkah-langkah tertentu terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda?“
Ki Tumenggung Jayatarunapun kemudian menyampaikan persoalan yang sesungguhnya sedang menjadi bahan pembicaraan di Sendang Arum. Raden Ayu Reksayuda mohon pengampunan bagi suaminya agar diperkenankan kembali ke Sendang Arum. Pulang dan menjadi satu lagi dengan keluarganya.
“Ketika Raden Tumenggung Wreda Reksayuda menerima hukuman, dibuang dari tlatah kadipaten Sendang Arum, Raden Tumenggung itu masih penganten baru. Sehingga kepergian Raden Tumenggung itu membuat hati Raden?Ayu Reksayuda menjadi sangat bersedih. Baru saja mereka memasuki jenjang perkawinan, merekapun segera dipisahkan dengan paksa oleh Kangjeng Adipati di Sendang Arum.”
Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung Reksabawa menyela, “Maaf adi Tumenggung Jayataruna. Yang memisahkan Raden Tumenggung Reksayuda dari isteri mudanya itu bukan Kangjeng Adipati Wirakusuma, tetapi yang memisahkan mereka adalah tatanan dan paugeran di Sendang Arum. Jika itu terjadi adalah karena tingkah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sendiri.”
Kangjeng Adipati Jayanegara tertawa. Katanya, “Ya, ya. Ki Tumenggung Reksabawa benar. Jika kakangmas Tumenggung Reksabawa tidak bertingkah, maka ia tidak akan dikenakan hukuman berdasarkan atas tatanan dan paugeran yang berlaku di Sendang Arum.”
Ki Tumenggung Jayataruna pun mengangguk hormat sambil berkata, “Hamba Kangjeng Adipati. Kakang Tumenggung Reksabawa benar.”
“Karena perbuatannya yang dapat mengguncang ketenangan hidup di Sendang Arum, karena niat kakangmas Tumenggung Reksayuda untuk menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma, maka kakangmas Tumenggung Wreda Reksayuda harus disingkirkan dari Sendang Arum.”
“Ya, Kangjeng Adipati.”
“Nah, sekarang bagaimana Ki Tumenggung? Bagaimana pendapat kangjeng Adipati di Sendang Arum tentang permohonan ampun dari Raden Ayu Reksayuda itu?”
“Kangjeng. Kami berdua diutus oleh Kangjeng Adipati Wirakusuma untuk minta pertimbangan Kangjeng Adipati Jayanegara. Karena selama ini Raden Tumenggung Reksayuda berada di Kadipaten Pucang Kembar, maka pendapat Kangjeng Adipati di Pucang Kembar akan sangat menentukan.”
Kangjeng Adipati Jayanegara itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Selama ini kakangmas Reksayuda memang berada di Pucang Kembar. Beberapa kali aku sendiri telah menemuinya di tempat tinggalnya yang kami sediakan di sini.”
“Bagaimana menurut pendapat Kangjeng Adipati?”
Kangjeng Adipati itu tersenyum. Katanya, “Satu batu ujian yang sulit. Jika aku memberikan jawaban, tetapi ternyata aku keliru, maka Kangjeng Adipati di Sendang Arum akan mengurangi nilai kepemimpinanku.”
“Hamba kira Kangjeng Adipati akan cukup bijaksana. Persoalannya akan ditinjau dari berbagai sisi. Termasuk sisi kemanusiaan. Raden Ayu Reksayuda selama ini merasa tersiksa.”
Kangjeng Adipati Jayataruna tertawa. Katanya, “Kangmbok Reksayuda masih terlalu muda untuk ditinggal sendiri.”
Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk sambil menjawab, “Hamba Kangjeng Adipati.”
“Ki Tumenggung Jayataruna. Menurut pendapatku, kakangmas Tumenggung Wreda Reksayuda sudah menjadi semakin tua. Apalagi setelah ia berada disini, dipisahkan dari keluarganya. Ia tidak lagi mempunyai keinginan apapun selain diperkenankan pulang. Kakangmas Reksayuda ingin mati di kadipaten Sendang Arum, ditunggui oleh isterinya yang masih muda itu serta putera satu-satunya.”
“Apakah Raden Kangjeng Adipati Tumenggung tidak pernah berbicara tentang kedudukan Kangjeng Adipati Wirakusuma yang menurut Raden Tumenggung Reksayuda, kedudukan itu sebenarnya adalah haknya.”
Kangjeng Adipati Jayanegara menggeleng sambil menjawab, “Kakangmas Reksayuda sudah melupakannya. Tidak ada lagi gegayuhan yang ingin dicapainya.”
“Jadi bagaimana menurut Kangjeng Adipati, seandainya kepada Raden Tumenggung Wreda Reksayuda diberikan pengampunan dan diberi kesempatan untuk kembali ke Sendang Arum meskipun hukumannya baru separo dijalani.”
“Aku, sekali lagi, tidak berkeberatan Ki Tumenggung.”
“Ampun Kangjeng Adipati” Ki Tumenggung Reksabawa yang lebih banyak berdiam diri itu bertanya, “jika Kangjeng Tumenggung sependapat, bahwa Raden Tumenggung Wreda Reksayuda itu diberi pengampunan dan diperkenankan kembali ke Sendang Arum, pada dasarnya supaya Raden Tumenggung itu tidak lebih lama lagi mengotori bumi Pucang Kembar, atau karena pertimbangan yang sejujurnya, bahwa Raden Tumenggung benar-benar sudah tidak berbahaya lagi bagi Kangjeng Adipati Wirakusuma.”
Kangjeng Adipati Jayanegara mengerutkan dahinya. Namun Kangjeng Adipati itupun kemudian tertawa sambil berkata, “Pertanyaan yang menggelitik, Ki Tumenggung. Tetapi aku tidak tersinggung meskipun pada dasarnya Ki Tumenggung bertanya, apakah aku menjawab dengan jujur atau tidak. Kecurigaan seperti itu wajar sekali. Tetapi tolong, perhatikan Ki Tumenggung Reksabawa. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan kangmas Tumenggung Reksayuda. Apakah ia akan pulang atau tidak. Disini kangmas Tumenggung juga tidak akan menghabiskan hasil panenan para petani di Pucang Kembar, Tidak pula membuat tanah menjadi sangar. Sedangkan kalau kakangmas Tumenggung Reksayuda kembali ke Sendang Arum, aku juga tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Karena itu, biarlah Kangjeng Adipati Wirakusuma mengambil keputusan. Tetapi jika Ki Tumenggung bertanya kepadaku, maka aku akan menjawab sebagaimana aku katakan. Kangmas Tumenggung Reksayuda tidak lagi mempunyai gegayuhan apa-apa. Hati dan kepalanya sudah kosong. Dalam waktu dua tahun lebih, perasaan dan penalarannya sudah mengering.”
“Perasaannya?” bertanya Ki Tumenggung Jayataruna.
“Maksudku dalam hubungannya dengan gegayuhan yang pernah ingin dicapainya. Tentu saja bukan perasaannya sebagai seorang yang rindu kepada sesuatu. Tanah kelahiran, isterinya, anaknya dan lingkungan kecilnya.”
Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk. Namun Ki Tumengung Jayataruna itu masih bertanya kepada Ki Tumenggung Reksabawa, “Masih ada yang ingin kakang tanyakan?”
Ki Tumenggung Reksabawa menggeleng. Katanya, “Tidak, di.”
“Mumpung masih belum terlalu malam” berkata Kangjeng Adipati, “aku juga sulit tidur sebelum lewat tengah malam. Jika Ki Tumenggung berdua masih ingin menemani aku berbincang, aku akan senang sekali.”
“Ampun Kangjeng Adipati. Keperluan kami sebagai utusan Kangjeng Adipati Wirakusuma telah selesai. Tetapi jika kami masih diperkenankan duduk disini, maka kami akan dengan senang hati melakukannya.”
Namun Kangjeng Adipati itupun tersenyum sambil berkata, “Kakang berdua tentu letih setelah sehari-harian menempuh perjalanan panjang. Karena itu, sebaiknya Ki Tumenggung berdua beristirahat di tempat yang sudah disediakan. Ki Tumenggung berdua perlu menghimpun tenaga kembali bagi perjalanan pulang ke Sendang Arum.”
“Terima kasih, Kangjeng.”
“Ki Tumenggung Prangwandawa”
“Hamba Kangjeng.”
“Antarkan keduanya kembali ke bilik yang sudah disediakan. Biarlah Ki Tumenggung berdua beristirahat.”
“Hamba Kangjeng.”
Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayatarunapun kemudian meninggalkan serambi samping diantar oleh Ki tumenggung Prangwandawa kembali ke bilik mereka.
Ketika mereka sampai di serambi gandok, maka Ki Tumenggung Jayatarunapun menyelinap sebentar sambil berdesis “Aku akan pergi ke pakiwan.”
Namun saat itu agaknya merupakan saat yang baik bagi Ki Tumenggung Reksabawa untuk bertanya kepada Ki Tumenggung Prangwandawa, “Apakah Ki Tumenggung pernah bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda selama ia berada di Pucang Kembar?”
“Pernah. Meskipun tidak terlalu sering.”
“Bagaimana pendapat Ki Tumenggung tentang Raden Tumenggung Reksayuda itu?”
Ki Tumenggung Prangwandawa menarik nafas panjang.
“Apakah benar sebagaimana dikatakan oleh Kangjeng Adipati?”
“Ya. Dihadapan Kangjeng Adipati.”
“Maksud Ki Tumenggung?”
Ki Tumenggung Prangwandawa itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Jangan kakang Tumenggung katakan kepada siapapun juga. Aku hanya memberikan petikan sikap Raden Tumenggung agar kakang Tumenggung Reksabawa mengetahuinya. Seandainya hal ini kakang katakan kepada Kangjeng Adipati Wirakusuma, jangan sebut namaku.”
“Baik”
“Meskipun sudah tua dan mungkin wadagnya sudah menjadi semakin lemah, tetapi setiap kali, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda masih berbicara tentang haknya. Kangjeng Adipati Jayanegara tidak pernah mendengarnya. Tetapi aku pernah mendengar sendiri ketika aku diutus oleh Kangjeng Adipati nenemuinya.”
“Untuk apa adi Prangwandawa menemuinya?“
“Sekedar untuk melihat kesehatannya. Seorang abdi mengatakan bahwa Raden Tumenggung Reksayuda itu sakit.”
“Jadi menurut adi?”
“Terus terang kakang Reksabawa. Aku masih meragukan keikhlasan Raden Tumenggung Reksayuda.”
Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk-angguk. Iapun kemudian bergumam, “berbeda dengan adi Tumenggung Jayataruna yang agaknya yakin, bahwa Raden Tumenggung itu sudah tidak berbahaya lagi. Bagaimana jika adi Prangwandawa memberikan kesan kepada adi Jayataruna.:”
“Sebaiknya tidak usah saja kakang. Kangjeng Adipati sudah memberikan pendapatnya. Jika ada pendapat yang lain, akan dapat timbul masalah. Bahkan mungkin Kangjeng Adipati akan marah kepadaku, seakan-akan aku telah membantah keterangan Kangjeng Adipati Jayanegara.”
“Adi. Apakah kira-kira kami berdua diijinkan menemui Raden Tumenggung Reksayuda?”
“Itu tergantung kepada Kangjeng Adipati.”
“Tolong di. Jika adi Prangwandawa nanti menghadap lagi Kangjeng Adipati, sampaikan permohonanku untuk bertemu dengan Raden Tumenggung Reksayuda.”
“Aku akan menyampaikannya kakang. Tetapi aku tidak yakin, bahwa kangjeng Adipati akan mengijinkannya.”
“Akupun tidak yakin, bahwa adi Jayataruna akan bersedia singgah barang sebentar.”
Sejenak kemdian, maka Ki Tumenggung Jayataruna telah kembali. Ketika ia melihat Ki Tumenggung Prangwandawa masih berada di serambi gandok, maka iapun bertanya, ”Adi Prangwandawa belum mengantuk?”
“Belum kakang. Hari ini aku tidak seletih kakang berdua.”
“Ya. Kami memang agak letih hari ini.”
“Nah, silahkan beristirahat. Aku akan kembali ke serambi.”
“Silahkan adi Prangwandawa.Tetapi apakah kita besok dapat menemui Raden Tumenggung Wreda Reksayuda?” sahut Ki Tumenggung Reksabawa.
Namun Ki Tumenggung Jayataruna dengan cepat menyahut, “Apakah kita harus singgah menemui Raden Tumenggung Wreda?”
“Bukankah itu lebih baik, adi. Sehingga hasil perjalanan kita lebih lengkap.”
“Aku kira itu tidak perlu, kakang. Besok kita langsung saja singgah di kadipaten untuk minta diri. Seandainya kita ingin bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda, Kangjeng Adipati juga belum tentu memberikan ijinnya.”
Ki Tumenggung Reksabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ragu-ragu iapun berkata, “seandainya Kangjeng Adipati mengijinkan?”
“Tidak. Kita tentu tidak akan diijinkan.”
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Aku juga mengira, bahwa Kangjeng Adipati tidak akan memberikan ijinnya.”
“Nah, selamat malam adi Prangwandawa” berkata Ki Tumenggung Jayataruna kemudian.
Ki Tumenggung Prangwandawapun kemudian meninggalkan kedua orang tamunya di gandok. Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna memang letih sehingga merekapun segera merasa mengantuk.
Karena itu, maka sejenak kemudian keduanya telah membaringkan dirinya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Prangwandawa telah berada di serambi. Ternyata Kangjeng Adipati masih duduk sendiri sambil merenungi keberadaan kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu.
“Ampun Kangjeng” berkata Ki Tumenggung Prangwandawa, “ada niat Ki Tumenggung Reksabawa untuk bertemu langsung dengan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.”
“He? Kau pertemukan mereka dengan kakangmas Tumenggung?”
“Tidak, Kangjeng. Ki Tumenggung Reksabawa baru menjajagi kemungkinannya jika diijinkan.”
“Tidak. Aku tidak mengijinkannya.”
“Ki Tumenggung Reksabawa sendiri sudah menduga, bahwa ia tidak akan diijinkan.”
“Bukan karena ada rahasia yang meliputi hubunganku dengan kangmas Tumenggung Reksayuda, tetapi saat ini kangmas Tumenggung masih orang buangan. Karena itu aku wenang untuk memagarinya agar tidak banyak bertemu dengan siapapun dari luar rumah yang kita sediakan baginya. Ada banyak keberatannya, sehingga karena itu maka aku tidak akan mengijinkannya untuk bertemu.”
“Hamba Kangjeng.”
“Katakan kepadanya, bahwa aku berkeberatan.”
“Ia memang sudah menduga, sehingga jika aku tidak datang lagi kepadanya, ia tahu bahwa ia tidak diijinkan untuk bertemu dengan Raden Tumenggung.”
“Jika demikian, baiklah. Sekarang kau sendiri juga perlu beristirahat.”
“Kangjeng sendiri?”
“Biarlah aku seorang diri disini.”
“Ampun Kangjeng, biarlah hamba disini bersama Kangjeng.”
“Aku tidak apa-apa, Ki Tumenggung. Jangan risaukan aku.”
“Ampun Kangjeng. Jika saja hamba diperkenankan untuk mengatakan sesuatu.”
“Apa yang akan kau katakan Ki Tumenggung?”
“Pada saat-saat terakhir, hamba melihat perubahan pada diri Kangjeng. Kangjeng menjadi lebih banyak menyendiri. Merenung dan kadang-kadang sikap Kangjeng Adipati sulit di mengerti.“
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Sementara Ki Tumenggungpun berkata selanjutnya, “Hamba mohon ampun, Kangjeng Adipati. Jika hamba menyampaikan tanggapan hamba terhadap sikap Kangjeng Adipati, semata-mata karena kesetiaan hamba kepada Kangjeng Adipati.”
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Hampir diluar sadarnya iapun berkata, “Aku tidak apa-apa, Ki Tumenggung.”
“Jika demikian, sekarang malam telah larut. Hamba kira, bahkan sudah lewat waktunya bagi Kangjeng Adipati untuk tidur.”
“Ya. Aku akan tidur.”
Kangjeng Adipati itupun kemudian bangkit berdiri. Tetapi pandangan matanya nampak kosong dan bahkan sama sekali tidak ada tanda-tandanya, bahwa Kangjeng Adipati sudah mengantuk.
“Apa sebenarnya yang dipikirkannya?” bertanya Ki Tumenggung Prangwandawa didalam hatinya, “persoalan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sebenarnya bukan persoalan yang perlu dipikirkan terlalu dalam. Persoalan Raden Tumenggung adalah persoalan Kadipaten Sendang Arum. Pucang Kembar hanya memberikan ijin bagi Raden Tumenggung untuk tinggal berdasarkan berbagai macam pertimbangan. Jika kemudian Raden Tumenggung itu diperkenankan pulang kembali ke Sendang Arum, bukankah tidak ada masalah bagi Pucang Kembar?”
“Tentu bukan karena Raden Tumenggung Wreda Reksayuda” Ki Tumenggung Prangwandawa menarik nafas panjang.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Prangwandawapun segera meninggalkan serambi. Seorang abdi yang terkantuk-kantuk di panggilnya untuk menyelarak pintu serambi itu dari dalam.
“Ki Tumenggung akan pergi ke mana?”
“Tidur”
“Ki Tumenggung masih bertugas malam ini?”
“Ya. Sampai esok sore. Nah, selarak pintu. Jangan tidur.”
“Baik, Ki Tumenggung.”
Dalam pada itu, dipembaringannya, Kangjeng Adipati memang tidak segera dapat tidur. Ada sesuatu yang bermain di angan-angannya.
Berbeda dengan Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung Prangwandawa demikian masuk kedalam biliknya di gan-dok sebelah kiri, melepas kerisnya, ikat kepalanya dan kelengkapan-kelengkapan lain, lalu merebahkan dirinya, maka sebentar saja ia sudah tidur dengan nyenyaknya.
Di gandok sebelah, Ki Tumenggung Reksabawa yang letihpun telah tertidur. Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna masih nampak gelisah. Sekali-sekali ia tidur terlentang. Namun kemudian miring kekiri. Sebentar lagi miring kekanan.
Sekali-sekali dengan sengaja Ki Tumenggung Jayataruna mengguncang pembaringannya, sehingga amben kayu itu berderik. Tetapi Ki Tumenggung Reksabawa tidak terbangun.
“Kakang Reksabawa itu seperti orang mati saja” desisnya.
Baru didini hari, Ki Tumenggung Jayataruna itu sempat tidur.
Pagi-pagi sekali mereka berdua sudah bangun. Keduanyapun segera mempersiapkan diri. Pagi itu juga meireka akan kembali ke Sendang Arum.
Ki Tumenggung Prangwandawa ternyata juga bangun pagi-pagi sekali. Ia tahu bahwa kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu akan minta diri.
“Jika Kangjeng Adipati belum bangun, maka biarlah aku saja yang melepas mereka” berkata Ki Tumenggung Prangwandawa didalam hatinya.
Tetapi ternyata bahwa Kangjeng Adipati juga sudah bangun pagi-pagi sekali. Bahkan Kangjeng Adipati sudah mandi pula dan berbenah diri.
Karena itu ketika kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu akan minta diri, Kangjeng Adipati sudah siap menerima mereka.
Ketika hari masih pagi menjelang matahari terbit, kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu sudah meninggalkan dalem Kadipaten Pucang Kembar. Kuda-kuda mereka berlari kencang di jalan-jalan yang masih sepi.
“Kita akan memilih jalan lain” berkata Ki Tumenggung Reksabawa.
“Kenapa? Apakah kakang cemas bahwa para penyamun itu akan menghadang kita lagi? Aku justru masih ingin bertemu dengan mereka dan kawan-kawan mereka. Lebih banyak lebih baik.”
“Aku tidak takut bahwa kita akan dicegat oleh para penyamun itu lagi, adi. Bahkan yang jumlahnya lebih besar. Yang aku takutkan justru karena adi Tumenggung akan membunuh semakin banyak orang.”
“He?” Ki Tumenggung Jayataruna mengerutkan dahinya. Namun terdengar Ki Tumenggung Jayataruna itu tertawa berkepanjangan.
“Bukankah kita prajurit, kakang.”
“Prajurit tidak sejalan dengan pengertian seorang pembunuh. Bahkan sebaliknya.”
“Aku tahu. Tetapi jika aku membunuh penyamun, bukankah itu berarti bahwa aku telah melindungi orang-orang yang tidak berdaya menghadapi mereka?”
“Aku sependapat. Tetapi cara adi membunuh membuat kulitku meremang.”
Ki Tumenggung Jayataruna masih saja tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan membantah. Kita akan mengambil jalan lain. Namun mudah-mudahan kita bertemu lagi dengan sekelompok penyamun di bulak-bulak panjang yang sepi atau di padang perdu atau di pinggir hutan.”
Ki Tumenggung Reksabawa tidak menyahut. Namun kuda mereka berlari semakin kencang di jalan-jalan yang seakan-akan tidak pernah dilalui orang. Lengang.
Tetapi kedua orang Tumenggung itu tidak menjumpai sekelompok penyamun. Yang mereka lihat adalah beberapa orang perempuan yang sibuk matun di sawah yang nampaknya subur. Padi yang sedang tumbuh, terhampar seperti lautan yang hijau. Angin pagi telah mengalunkan gelombang-gelombang kecil pada daun padi yang lebat.
Ketika matahari memanjat langit, terasa sinarnya menyentuh wajah. Adalah kebetulan keduanya sedang menempuh perjalanan ke arah Timur.
Perjalanan mereka tidak terhambat sebagaimana saat mereka berangkat. Ketika mereka berhenti di sebuah kedai untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat serta mendapat makan dan minum dari seorang petugas di kedai itu, keduanyapun sempat minum dan makan pula.
Tidak ada persoalan yang timbul di kedai itu. Tidak ada orang-orang yang berwajah gelap dengan luka menyilang di pelipisnya yang memperhatikan kehadiran mereka di kedai itu.
Dengan demikian, maka perjalanan kembali dari Pucang Kembar itu ternyata lebih cepat dari perjalanan mereka pada saat mereka berangkat. Disore hari, ketika matahari masih nampak terapung dilangit mereka sudah mendekati dalem Kadipaten di Sendang Arum.
“Kakang Reksabawa” bertanya Ki Tumenggung Jayataruna, “Apakah kita akan langsung menghadap Kangjeng Adipati, atau kita pulang dahulu, mandi dan berbenah diri, baru kemudian kita bersama-sama menghadap?”
Ki Tumenggung Reksabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bagaimana pendapat adi, jika kita langsung saja menghadap? Tugas kita segera tuntas. Kangjeng Adipati pun merasa betapa kita mendahulukan penyelesaian tugas kita.”
“Baiklah. Kita langsung pergi ke dalem Kadipaten. Kecuali jika Kangjeng Adipati memerintahkan lain.”
Keduanya pun kemudian langsung menuju ke dalem Kadipaten. Oleh para prajurit yang bertugas, merekapun segera dipersilahkan langsung mohon menghadap jika Kangjeng Adipati berkenan.
Seorang abdi telah memberitahukan kedatangan Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayanfegara kepada Kangjeng Adipati di Sendang Arum.
“Biarlah mereka menunggu sejenak di serambi” berkata Kangjeng Adipati.
Kedua orang Tumenggung itupun kemudian duduk menunggu di serambi sementara Kangjeng Adipati berbenah diri.
“Siapa yang menghadap di sore hari seperti ini, ayahanda?” bertanya Raden Ajeng Ririswari.
“Kakang Tumenggung Reksabawa dan kakang Tumenggung Jayataruna” jawab Kangjeng Adipati.
“Mereka baru pulang dari Pucang Kembar?”
Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil mengangguk iapun menjawab, “Ya, Riris. Keduanya baru pulang dari Pucang Kembar.”
“Apakah keduanya menjemput uwa Tumenggung Reksayuda?”
“Belum Riris. Keduanya baru menjajagi kemungkinan, apakah uwakmu itu akan diperkenankan pulang atau tidak.”
Ririswari tidak menyahut lagi. Gadis itupun kemudian beringsut dan duduk di ruang dalam menghadapi dakon. Jari-jarinya yang lentik bermain dengan kelungsu yang ada di dakonnya.
Sejenak kemudian, Kangjeng Adipati Wirakusuma telah duduk diserambi. dihadap oleh kedua orang Tumenggung yang baru saja datang dari Pucang Kembar itu.
“Kalian baru datang dari Pucang Kembar langsung kemari?” bertanya Kangjeng Adipati.
“Hamba Kanjeng. Hamba tidak ingin ada persoalan yang terlupakan jika kami berdua tidak langsung menghadap.”
Kangjeng Adipati tersenyum. Katanya, “Persoalannya tidak begitu rumit. Tentu tidak ada masalah yang terlupakan seandainya kakang Tumenggung berdua singgah dahulu di rumah kalian. Bahkan seandainya esok pagi sekalipun.“
“Hamba Kangjeng Adipati. Tetapi dengan demikian tugas kamipun segera tuntas.”
“Terima kasih atas kesungguhan kalian” Kangjeng Adipatipun mengangguk-angguk. Lalu dengan nada dalam Kangjeng Adipati itu berkata, “Jika nafas kalian sudah mulai teratur kembali, nah, katakan hasil pembicaraan kalian dengan Kangjeng Adipati Jayanegara.
Ki Tumenggung Jaya-tarunapun berpaling kepada Ki Tumenggung Reksabawa. Namun Ki Tumenggung Reksa-bawa itu berdesis, “Silahkan, di.”
Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas panjang. Namun kemudian Ki Tumeng-gung Jayataruna lah yang memberikan laporan perjalan-an ke Pucang Kembar.
Kangjeng Adipati memang tidak begitu menghiraukan siapakah yang akan memberikan laporan. Karena itu, maka Kangjeng Adipati tidak menaruh perhatian, kenapa justru Ki Tumenggung yang mudalah yang memberikan laporan itu.
“Demikianlah, Kangjeng Adipati. Kangjeng Adipati Jayanegara tidak mampunyai keberatan apa-apa jika Raden Tumenggung Reksayuda di ijinkan pulang ke Sendang Arum.”
Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang. Sementara itu Ki Tumenggung Reksabawa pun berkata, “Kangjeng Adipati. Hamba sudah mencoba untuk mohon ijin, agar hamba berdua diperkenankan bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda. Tetapi kami tidak mendapat ijin itu Kangjeng Adipati.”
“Apakah Kangjeng Adipati Jayanegara menyatakan bahwa kita tidak diijinkan bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda?” Ki menggung Jayataruna justru bertanya.
“Semalam Ki Tumenggung Prangwandawa tidak menemui kita lagi. Itu berarti permohonan kita telah ditolak.”
“Tetapi itu wajar sekali desis Tumenggung. Jayataruna.
“Sebenarnya jika kalian dapat bertemu dengan kangmas Tumenggung Wreda Reksayuda, tentu akan lebih baik karena kalian dapat langsung menjajagi isi hatinya.”
“Tetapi keterangan Kangjeng Adipati Janegara sudah cukup jelas. Kangjeng.”
“Ya.”
“Selanjutnya segala segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Adipati.
“Baiklah. Aku sudah mendengar laporan kalian. Aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan dari segala segi.
“Kami hanya tinggal menunggu, Kangjeng”
“Ya. Kalian tinggal menunggu.”
Kedua orang Tumenggung yang pakaiannya masih dilekati oleh keringat dan debu itu pun segera mohon diri.
“Baiklah, kakang Tumenggung berdua. Kalian tentu letih. Bahkan mungkin haus dan lapar. Karena itu, jika kakang berdua akan pulang, membersihkan diri, berganti pakaian dan sebagainya, silahkan.”
Demikianlah kedua orang Tumenggung itu pun segera meninggalkan dalem Kadipaten.
Demikian Ki Tumenggung Reksabawa sampai rumah, ia masih saja nampak gelisah. Nyi Tumenggung yang kemudian menyediakan minuman hangat dan beberapa potong makanan itu melihat kegelisahan pada sikap dan sorot mata Ki Tumenggung.”
“Apakah ada tugas yang tidak terselesaikan Kakang?” bertanya Nyi Tumenggung.
“Tidak, Nyi. Tugasku kali ini sudah tuntas. Bahkan aku dan adi Jayataruna sudah langsung menghadap Kangjeng Adipati dan melaporkan ha sil perjalanan kami ke Pucang Kembar.”
“Lalu apa lagi yang kakang gelisahkan?”
“Aku menjadi gelisah menunggu keputusan Kangjeng Adipati. Sebenarnya aku masih belum dapat menyetujui jika Raden Tumenggung Wreda diberi pengampunan dan pulang ke Sendang Arum.”
“Kenapa? Bukankah semata-mata berdasarkan atas rasa kemanusiaan?”
“Aku mengerti, Nyi. Tetapi aku masih mencemaskan kesungguhan Raden Tumenggung untuk menyingkirkan perasaan iri hatinya terhadap Kangjeng Adipati. Jika Raden. Tumenggung Wreda itu kelak pulang, bagiku, akan timbul persoalan sebagaimana pernah terjadi di Sendang Arum. Perasaan iri itu akan sangat sulit dihapus dari dinding hati Raden Tumenggung Reksayuda.”
“Ah. Kakang hanya berprasangka. Bukankah Raden Tumenggung itu sudah tua?”
“Ingat, Nyi. Ketika Raden Tumenggung itu disingkirkan, ia memang sudah tua. Apa arti waktu yang hanya dua setengah tahun, atau katakan tiga tahun bagi Raden Tumenggung Reksayuda?”
“Tetapi keadaannya di pembuangan akan merubah jalan pikirannya, kakang.”
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas panjang. Katanya, “Mudah-mudahan Nyi. Tetapi aku tidak yakin. Aku justru menjadi curiga, baRaden Tumenggung Wreda Reksayuda akan bekerja sama dengan Kangjeng Adipati Jayanegara. Setelah Raden Tumenggung Reksayuda berada kembali di Kadipaten ini, maka ia akan dapat mengatur segala sesuatunya. Sementara itu, dengan diam-diam Kangjeng Adipati Jayanegara telah membantunya:”
“Jika demikian, apa pamrih Kangjeng Adipati Jayanegara?”
“Pengaruhnya akan menjadi besar sekali di Kadipaten Sendang Arum. Jika Raden Tumenggung Wreda Reksayuda berhasil menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma, maka Raden Tumenggung Reksayuda akan lebih banyak di kemudikan oleh Kangjeng Adipati Jayanegara. Terutama di lingkungan laku dagang.
Nyi Tumenggung Reksabawa menarik nafas panjang. Katanya, “Jangan terlalu berprasangka kakang. Tunggu sajalah, apa yang akan terjadi setelah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda kembali. Kakang dapat dengan diam-diam bersama satu dua orang kepercayaan kakang mengamati, apa saja yang dilakukan oleh Raden Tumenggung itu.”
“Aku juga mencurigai Raden Ayu Reksayuda. Raden Ayu Reksayuda yang muda ini nampaknya banyak bertingkah. Bahkan kadang-kadang tidak pantas dilakukan oleh seorang isteri keluarga Kangjeng Adipati. Kau tentu melihat, bagaiman berpakaian dan merias diri. Bukankah sangat berlebihan, sementara suaminya tidak di rumah?”
“Nampaknya kakang menaruh perhatian padanya?”
“Bukan begitu. Tetapi apa yang nampak pada kewadagan itu sedikit banyak akan dapat membayang apa yang terdapat dalam hatinya.”
“Apakah karena Raden Ayu yang cantik dan muda itu kakang tidak setuju Raden Tumengung Reksayuda pulang.”
“Nyi. Sejak kapan hatimu diracuni perasaan seperti itu.”
Nyi Tumenggung tertawa. Ia pun kemudian berdiri di belakang suaminya yang duduk di sebuah tempat duduk kayu berukir yang dipesannya dari tukang kayu terbaik di Sendang Arum. Sambil memijit bahu suaminya, Nyi Tumenggung berkata, “Jangan marah kakang. Aku hanya bergurau.”
“Sekarang kau bergurau. Tetapi guraumu dapat menusuk hatimu sendiri.”
“Sudahlah. Lupakan saja. Aku tahu, kakang masih letih. Tetapi kakang sudah dibebani oleh perasaan kecewa.”
“Aku tidak tahu, kenapa adi Tumenggung Jayataruna sangat ingin agar Raden Tumenggung Reksayuda diperkenankan kembali ke SendangArum. Kecemasanku sulit aku singkirkan, bahwa akan timbul persoalan yang rumit di Kadipanetn Sendang Arum.”
“Sebaiknya kakang tidak usah gelisah sejak sekarang. Bukankah Kangjeng Adipati masih belum mengambil keputusan?”
“Nalarku juga memberitahukan kepadaku, bahwa kegelisahanku sekarang tidak akan ada artinya. Sebaiknya aku tidak perlu gelisah sejak sekarang. Tetapi perasaanku berkata lain.”
“Sudahlah, kakang. Di ruang tengah, makan sudah tersedia. Marilah kita makan. Kakang tentu lapar setelah, menempuh perjalanan.”
“Aku sudah singgah di kedai, Nyi”
“Kapan?”
“Di tengah hari.”
“Nah, sekarang sudah lewat senja.”
Ki Reksabawa pun kemudian duduk di ruang tengah bersama isterinya untuk makan malam. Agaknya letih dan lapar membuat Ki Tumenggung Reksabawa makan dengan lahapnya.
Meskipun demikian, ketika malam menjadi semakin dalam, serta Ki Tumenggung telah beradi bilik tidurnya, ternyata ia tidak dapat segera tidur.
Dikeesokan harinya, Pagi-pagi sekali Ki Tumenggung Reksabawa telah bangun. Mandi dan berbenah diri. Seorang abdi dari dalem kadipaten telah memanggil beberapa orang pemimpin di Sendang Arum untuk membicarakan masalah yang menyangkut Raden Tumenggung Reksayuda.
Ketika matahari naik sepenggalah, maka Ki Tumenggung Reksabawa telah pergi menghadap ke Kadipaten.
Pada hari itu Kangjeng Adipati telah menyelenggarakan pertemuan kecil, terbatas pada orang-orang terdekat. Diantara mereka adalah Tumenggung Reksabawa atau KTumenggung Jayataruna.
“Biarlah Ki Tumenggung Reksabawa atau KTumenggung Jayataruna sajalah yang menguraikan hasil perjalanan mereka. Dengan demikian, maka tidak akan ada yang terlampaui.”
Beberapa orang yang hadir itu pun berpaling ke arah kedua orang Tumenggung itu. Namun Tumenggung Reksabawa pun berdesis, “Kau sajalah yang menguraikannya, adi.”
Ki Tumenggung Jayataruna lah yang kemudian menyampaikan kepada para pemimpin.yang hadir itu, apa saja yang telah mereka bicarakan dengan Kangjeng Tumenggung Jayanegara.
“Nah, bagaimana menurut pendapat kalian?” bertanya Kangjeng Adipati kemudian setelah Tumenggung Jayataruna selesai memberikan laporannya.
Seorang Rangga yang sudah tua menyahut, “Ampun Kangjeng. Jika diperkenankan, hamba ingin menyampaikan pendapat hamba”
“Katakan, Ki Rangga.”
“Terima kasih, Kangjeng” Ki Rangga berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian, “Kangjeng Adipati. Umur hamba masih belum setua Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Tetapi selisihnya tidak begitu banyak. Hamba adalah termasuk salah satu abdi di Kadipaten ini yang sering sekali berhubungan dengan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Hamba sering diperintahkan untuk melakukan berbagai macam tugas. Nah, pada saat itulah hamba mengetahui kekerasan hati Raden Tumenggung Wreda itu, hamba mohon segala sesuatunya dipertimbangkan dengan baik.”
“Ampun Kangjeng” seorang yang lain menyahut, “sebenarnya apa yang kita cemaskan seandainya Raden Tumenggung Wreda itu pulang? Ia sudah tua. Sudah pikun. Seandainya di hatinya masih menyala kedengkian dan iri hati, tetapi apa artinya Raden Tumenggung Wreda itu seorang diri. Kecuali ada diantara kita yang bersedia menjadi pengikut untuk menimbulkan kekisruhan di tanah ini.”
Ternyata beberapa orang pemimpin yang terdekat dengan Kangjeng Adipati itu telah berbeda pendapat. Namun sebagian Besar diantara mereka berpendapat, bahwa biar saja Raden Tumenggung itu pulang. Tidak akan masalah yang timbul.
“Jika Raden Tumenggung berbuat macam-macam, bukankah prajurit Sendang Arum telah bersiap untuk mengatasinya” berkata seorang Senapati.
Memang tidak ada kebulatan pendapat. Tetapi nampaknya Kangjeng Adipati sudah mengambil kesimpulan meskipun tidak dikatakannya. Bahkan Kangjeng Adipati itupun berkata, “Besok aku akan menyelenggarakan pertemuan yang lebih besar. Aku minta Ki Tumenggung Reksabawa menghubungi Kangmbok Reksayuda agar Kangmbok Reksayuda besok juga datang dalam pertemuan itu. Aku akan menyampaikan keputusanku yang terakhir tentang pengampun terhadap Kakang Reksayuda.”
Pertemuan hari itupun kemudian telah dibubarkan. Para pemimpin yang ikut hadir segera meninggalkan pendapa Kadipaten. Besok mereka harus datang lagi dalam pertemuan yang lebih besar itu.
Ki Tumenggung Reksabawa juga meninggalka pendapa Kadipeten. Tetapi hatinya masih tetap gelisah. Meskipun berbagai macam alasan telah didengarnya dari mereka yang tidak berkeberatan menerima Raden Tumenggung Reksayuda pulangnamun Ki Tumenggung Reksabawa nasih tetap merasa cemas.
Karena itu, ketika pendapa kadipaten telah kosong, maka Ki Tumenggung Reksayuda yang belum sampai ke rumah itu, telah kembali lagi ke dalem kadipaten.
Dengan berbagai macam alasan, Ki Tumenggung Reksabawa telah menghadap lagi Kangjeng Adipati Wirakusuma yang diterima di serambi samping.
“Hamba mohon ampun. Kangjeng Adipati tentu akan beristirahat, tetapi hamba telah memberanikan diri untuk menghadap”
“Ada apa kakang?”
“Hamba ingin menyampaikan pendapat hamba yang tidak dapat hamba sampaikan di pertemuan itu.”
“Kenapa tidak? Bukankah dalam pertemuan seperti itu, pendapat seseorang akan dapat dinilai bobot dan kepentingannya”